Anda di halaman 1dari 30

LAPORAN PENDAHULUAN FRAKTUR

DI RUANG RAWAT INAP FLAMBOYAN


RSU NEGARA

OLEH

MUNAWARAH

20089142201

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN BULELENG

PROGRAM STUDI PROFESI NERS

TAHUN AKADEMIK

2021/2022
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Fraktur merupakan salah satu penyakit yang dapat mempengaruhi kualitas
hidup seseorang. Fraktur disebabkan oleh trauma atau tenaga fisik, kecelakaan, baik
kecelakaan kerja maupun kecelakaan lalu lintas (Noorisa dkk, 2017). Fraktur
merupakan ancaman potensial maupun aktual terhadap integritas seseorang, sehingga
akan mengalami gangguan fisiologis maupun psikologis yang dapat menimbulkan
respon berupa nyeri. Nyeri operasi fraktur menyebabkan pasien sulit untuk memenuhi
Activity Daily Living. Nyeri terjadi karena luka yang disebabkan oleh patahan tulang
yang melukai jaringan sehat (Kusumayanti, 2015).
Badan kesehatan duniaWorld Health of Organization (WHO) tahun 2019
menyatakan bahwa Insiden Fraktur semakin meningkat mencatat terjadi fraktur kurang
lebih 15juta orang dengan angka prevalensi 3,2%. Fraktur pada tahun 2018 terdapat
kurang lebih 20juta orang dengan angka prevalensi 4,2% dan pada tahun 2018
meningkat menjadi 21 juta orang dengan angka prevalensi 3,8% akibat kecelakaan lalu
lintas (Mardiono dkk, 2018). Data yang ada di Indonesia kasus fraktur paling sering
yaitu fraktur femur sebesar 42% diikuti fraktur humerus sebanyak 17% fraktur tibia dan
fibula sebanyak 14% dimana penyebab terbesar adalah kecelakaan lalu lintas yang
biasanya disebabkan oleh kecelakaan mobil, motor atau kendaraan rekreasi 65,6% dan
jatuh 37,3% mayoritas adalah pria 73,8% (Desiartama & Aryana, 2018).
Dampak lain yang timbul pada fraktur yaitu dapat mengalami perubahan pada
bagian tubuh yang terkena cidera, merasakan cemas akibat rasa sakit dan rasa nyeri.
Nyeri terjadi akibat luka yang mempengaruhi jaringan sehat. Nyeri mempengaruhi
homeostatis tubuh yang akan menimbulkan stress, ketidaknyamanan akibat nyeri harus
diatasi apabila tidak diatasi dapat menimbulkan efek yang membahayakan proses
penyembuhan dan dapat menyebabkan kematian (Septiani, 2015). Seseorang yang
mengalami nyeri akan berdampak pada aktivitas sehari-hari seperti gangguan istirahat
tidur, intoleransi aktivitas, personal hygine, gangguan pemenuhan nutrisi (Potter &
Perry, 2015). Penatalaksanaan pada fraktur dengan tindakan operatif atau pembedahan
(Mue DD, 2016).
Penatalaksanaan fraktur tersebut dapat mengakibatkan masalah atau komplikasi
seperti kesemutan, nyeri, kekakuan otot bengkak atau edema serta pucat pada anggota
gerak yang di operasi (Carpintero, 2016). Manajemen untuk mengatasi nyeri dibagi
menjadi 2 yaitu manajemen farmakologi danmanajemen non farmakologi. Manajemen
farmakologi dilakukan antara dokter dan perawat, yang menekankan pada pemberian
obat yang mampu menghilangkan rasa nyeri, manajemen non farmakologi teknik yang
dilakukan dengan cara pemberian kompres hangat, teknik relaksasi, imajinasi
terbimbing, distraksi, stimulus saraf elektrik transkutan, stimulus terapi musik dan
massage yang dapat membuat nyaman karena akan merileksasikan otot otot sehingga
sangat efektif untuk meredakan nyeri(Mediarti, 2015). Berdasarkan latar belakang dan
data yang didapatkan, penulis tertarik untuk membuat “ Asuhan Keperawatan pada
Pasien Faktur Femur di Ruang Flamboyan RSUD Jembrana”.

B. Tujuan Umum dan Tujuan Khusus


1 Tujuan umum.
Mendeskripsikan asuhan keperawatan pada pasien fraktur femur post ORIF di
Ruang Rawat Inap Flamboyan RSU Jembrana.
2. Tujuan Khusus.
a. Mendeskripsikan hasil pengkajian asuhan keperawatan pada pasien fraktur femur
post ORIF di Ruang Rawat Inap Flamboyan RSU Jembrana
b. Mendeskripsikan rumusan diagnosa asuhan keperawatan pada pasien faktur femur
post ORIF di Ruang Rawat Inap Flamboyan RSU Jembrana
c. Mendeskripsikan rencana asuhan keperawatan pada pasien fraktur femur post
ORIF di Ruang Rawat Inap Flamboyan RSU Jembrana
d. Mendeskripsikan tindakan asuhan keperawatan pada pasien fraktur femur post
ORIF di Ruang Rawat Inap Flamboyan RSU Jembrana
e. Mendeskripsikan evaluasi hasil asuhan keperawatan pada pasien fraktur femur post
ORIF di Ruang Rawat Inap Dahlia RSU Jembrana
BAB II
TINJAUAN TEORI

A. Definisi
Fraktur adalah terputusnya kontinuitas tulang dan ditentukan sesuai jenis dan
luasnya. Fraktur terjadi jika tulang dikenai stress yang lebih besar dari yang dapat
diabsorpsinya. Fraktur dapat disebabkan oleh pukulan langsug, gaya meremuk,
gerakan puntir mendadak, dan bahkan kontraksi otot ekstrem. Meskipun tulang
patah, jaringan sekitarnya juga akan terpengaruh, mengakibatkan edema jaringan
lunak, perdarahan ke otot dan sendi, dislokasi sendi, ruptur tendon, kerusakan saraf,
dan kerusakan pembuluh darah. Organ tubuh dapat mengalami cedera akibat gaya
yang disebabkan oleh fraktur atau akibat fragmen tulang (Brunner & Suddarth,
2013).
Fraktur adalah suatu kondisi yang terjadi ketika keutuhan dan kekuatan dari
tulang mengalami kerusakan yang disebabkan oleh penyakit invasif atau suatu
proses biologis yang merusak (Kenneth et al., 2015).
Fraktur atau patah tulang disebabkan karena trauma atau tenaga fisik, kekuatan
dan sudut dari tenaga tersebut, keadaan tulang dan jaringan lunak disekitar tulang
merupakan penentu apakah fraktur terjadi lengkap atau tidak lengkap (Astanti,
2017).
B. Anatomi
a. Anatomi Fisiologi Sistem Muskuloskeletal
Sistem musculoskeletal terdiri dari tulang, sendi, otot dan struktur
pendukung lainnya (tendon, ligament, fasia dan bursae). Pertumbuhan dan
perkembangan struktur ini terjadi selama masa kanak-kanak dan remaja
(Apley, 2010)

Gambar 1. Anatomi sistem muskuloskeletal tubuh manusia


(Dikutip dari Moore & Dalley, 2013)
a. Tulang
Struktur tulang dan jaringan ikat menyusun kurang lebih 25% berat badan
dan otot menyusun kurang lebih 50%. Kesahatan dan fungsi sistem
musculoskeletal sangat bergantung pada sistem tubuh lain. Struktur tulang
memberi perlindungan terhadap organ vital, termasuk otak, jantung dan paru-
paru. Kerangka tulang merupakan kerangka yang kuat untuk menyangga
struktur tubuh. Otot yang melekat ke tulang memungkinkan tubuh
bergerak.Jenis tulang, yaitu:
1) Tulang Panjang
Tulang panjang (missal: femur, humerus) bentuknya silindris dan
berukuran panjang seperti batang (diafisis) tersusun atas tulang kompakta,
dengan kedua ujungnya berbentuk bulat (epifisis) tersusun atas tulang
kanselus. Tulang diafisis memiliki lapisan luar berupa tulang kompakta yang
melindungi sebuah rongga tengah yang disebut kanal medulla yang
mengandung sumsum kuning. Sumsum kuning terdiri dari lemak dan
pembuluh darah, tetapi suplai darah atau eritrositnya tidak banyak. Tulang
epifisis terdiri dari tulang spongiosa yang mengandung sumsum merah yang
isinya sama seperti sumsum kuning dan dibungkus oleh selapis tipis tulang
kompakta. Bagian luar tulang panjang dilapisi jaringan fibrosa kuat yang
disebut periosteum. Lapisan ini kaya dengan pembuluh darah yang
menembus tulang.
Periostenum memberi nutrisi tulang dibawahnya melalui pembuluh
darah. Jika periostenum robek, tulang di bawahnya akan mati. Periostenum
berperan untuk pertambahan kekebalan tulang melalui kerja osteoblas.
Periostenum berfungsi protektif dan merupakan tempat pelekatan
tendon.Periostenum tidak ditemukan pada permukaan sendi.
2) Tulang Pendek
Tulang pendek (misal: ruas-ruas tulang belakang, tulang pergelangan
tangan, tulang pergelangan kaki) bentuknya hampir sama dengan tulang
panjang, tetapi bagian distal lebih kecil dari pada bagian proksimal, serta
berukuran pendek dan kecil. Berfungsi sebagai tempat pembentukan sel
darah merah dan sel darah putih.
3) Tulang Pipih
Tulang pipih (misal: sternum, kepala, scapula, panggul, tulang dada,
tulang belikat) bentuknya gepeng, berisi sel-sel pembentuk darah merah dan
putih, dan melindungi organ vital dan lunak dibawahnya. Tulang pipih
terdiri dari 2 lapis tulang kompakta dan di bagian tengahnya terdapat lapisan
spongiosa. Tulang ini juga dilapisi oleh periostenum yang dilewati oleh dua
kelompok pembuluh darah menembus tulang untuk menyuplai tulang
kompakta dan tulang spongiosa.
4) Tulang Tidak Beraturan
Tulang tidak beraturan (misal: vertebra, telinga tengah) mempunyai
bentuk yang unik sesuai fungsinya. Tulang tidak beraturan terdiri dari tulang
spongiosa yang dibungkus oleh selapis tipis tulang kompakta. Tulang ini
diselubungi periostenum kecuali pada permukaan sendinya seperti tulang
pipih. Periostenum ini memberi dua kelompok pembuluh darah untuk
menyuplai tulang kompakta dan spongiosa.
5) Tulang Sesamoid
Tulang sesamoid (misal: patella) merupakan tulang kecil yang terletak
disekitar tulang yang berdekatan dengan persendian, berkembang bersama
tendon dan jaringan fasia.
6) Tulang Pipa
Tulang pipa bentuknya bulat, panjang, dan tengahnya berongga. Contoh
tulang pipa yaitu: tulang paha, tulang lengan atas, tulang jari tangan. Fungsi
tulang ini adalah sebai tempat pembentukan sel darah merah.
b. Struktur Tulang
Tersusun oleh jaringan tulang kompakta (kortikal) dan kanselus (trabekular
atau spongiosa). Tulang kompakta terlihat padat. Akan tetapi jika diperiksa
dengan makroskop terdiri dari system havers. System havers terdiri dari kanal
havers. Sebuah kanal havers mengandung pembuluh darah, saraf, dan pembuluh
limfe, lamela (lempengan tulang yang mengelilingi kanal sentral), kaluna (ruang
diantara lamella yang mengandung sel-sel tulang atau osteosit dan saluran
limfe), dan kanalikuli (saluran kecil yang menghubungkan lacuna dan kanal
sentral). Saluran ini mengandung pembuluh limfe yang membawa nutrient dan
oksigen ke osteosit. Sel – sel penyusun tulang terdiri dari:
1) Osteoblas berfungsi menghasilkan jarinagan osteosid dan menyekresi
sejumlah besar fosfatase alkali yang berperan penting dalam pengendapan
kalsium dan fosfat kedalam matriks tulang.
2) Osteosit adalah sel-sel tulang dewasa yang bertindak sebagai lintasan untuk
pertukaran kimiawi melalui tulang yang padat.
3) Osteoklas adalah sel-sel berinti banyak yang memungkinkan mineral dan
matriks tulang dapat diabsorbsi. Sel-sel ini menghasilkan enzim proteolitik
yang memecah matriks dan beberapa asam yang melarutkan
mineral tulang, sehingga kalsium dan fosfat terlepas kedalam darah.
c. Sendi
Pergerakan tidak mungkin terjadi jika kelenturan dalam rangka tulang tidak
ada. Kelenturan dimungkinkan oleh adanya persendian. Sendi adalah suatu
ruangan, tempat satu atau dua tulang berada saling berdekatan. Fungsi utama
sendi adalah memberikan pergerakan dan fleksibilitas dalam tubuh. Bentuk
persendian ditetapkan berdasarkan jumlah dan tipe pergerakannya, sedangkan
klasifikasi sendi berdasarkan pada jumlah pergerakan yang dilakukan. Menurut
klasifikasinya, sendi terdiri dari:
1) Sendi sinartrosis (sendi yang tidak bergerak sama sekali). Contohnya satura
tulang tengkorak.
2) Sendi amfriartosis (sendi bergerak terbatas) contohnya pelvik, simfisis, dan
tibia.
3) Sendi diartrosis/sinoval (sendi bergerak bebas). Contohnya siku, lutut, dan
pergelangan tangan.
Berdasarkan strukturnya, sendi dibedakan atas:
1) Fibrosa
Sendi ini tidak memiliki lapisan tulang rawan, dan tulang yang satu
dengan yang lainnya dihubungkan oleh jaringan penyambung pibrosa.
Contohnya, sutura tulang tengkorak perlekatan tulang tibia dan fibula
bagian distal.
2) Kartilago
Sendi yang ujung-ujung tulungnya terbungkus oleh tulang rawan
hialin, disokong oleh ligament dan hanya dapat sedikit bergerak. Sendi ini
terbagi menjadi 2, yaitu:
a) Sinkondrosissendi-sendi yang seluruh persendiannya diliputi oleh
tulang rawan hialin. Contohnya, sendi-sendi kostokondral.
b) Simfisissendi yang tulang-tulangnya memiliki suatu hubungan
fibrokartilago dan selapis tipis tulang rawan hialin yang menyelimuti
permukaan sendi. Contohnya, simfisis pubis dan sendi tulang
punggung.
3) Sendi synovial
Sendi tubuh yang dapat digerakan serta memiliki rongga sendi dan
permukaan sendi yang dilapisi tulang rawan hialin. Sendi ini adalah jenis
sendi yang paling umum dalam tubuh dan berasal dari kata sinovium yang
merupakan membran yang menyekresi cairan synovial untuk lumbrikasi dan
absorpsi syok.
Kondrosit merupakan satu-satunya sel hidup di dalam tulang rawan
sendi. Kondrosit ini dipengaruhi oleh faktor anabolik dan faktor katabolik
dalam mempertahankan keseimbangan sintesis dan degradasi. Faktor
katabolik utama diperankan oleh sitoksin interkeukin 1 beta, dan tumor
nekrosis faktor alfa. Sedangkan faktor anabolik diperankan oleh
transforming growth factor (TGF beta) dan insulin-like growth factor 1
(IGF 1). Dalam menjaga keseimbangan atau homeostasis apabila terjadi
osteoarthritis kondrosit akan meningkatkan aktivitas sitokinin yang
menyebabkan dikeluarkannya mediator inflamasi dan matriks
metalloproteinase (MMP).
d. Otot
Otot skeletal secara volunter dikendalikan oleh system syaraf pusat dan
perifer. Penghubung antara saraf motorik perifer dan sel-sel otot dikenal sebagai
motor end-plate. Otot dibagi dalam tiga kelompok, yaitu:
1) Otot rangka (lurik)
Diliputi oleh kapsul jaringan ikat. Lapisan jaringan ikat yang
membungkus otot disebut fasia otot atau episium. Otot ini terdiri dari
berkas-berkas sel otot kecil yang dibungkus lapisan jaringan ikat yang
disebut perimisium. Sel otot ini dilapisi jaringan ikat yang disebut
endomisium.
2) Otot visceral (polos)
Terdapat pada saluran pencernaan, saluran perkemihan, dan
pembuluh darah. Otot ini dipersarafi oleh sistem saraf otonom dan
kontraksinya tidak dibawah kontrol keinginan.
3) Otot jantung
Ditemukan hanya pada jantung dan kontraksinya diluar kontrol atau
diluar keinginan. Otot berkontraksi jika ada rangsangan dari adenosine
trifosfat (ATP) dan kalsium.
Fungsi Otot Skeletal
Fungsi otot skeletal adalah mengontrol pergerakan, mempertahankan postur
tubuh dan menghasilkan panas.
1) Eksitabilitas adalah kesanggupan sel untuk menerima dan merespons
stimulus. Stimulus biasanya dihantarkan oleh nuerotransmiter yang
dikeluarkan oleh neuron dan respons yang distransmisikan dan dihasilkan
oleh potensial aksi pada membran plasma dari sel otot.
2) Kontraktibilitas adalah kesanggupan sel untuk merespons stimulus dengan
memendek secara paksa.
3) Ekstensibilitas adalah kesanggupan sel untuk merespons stimulus dengan
memperpanjang dan memperpendek serat otot saat relaksasi ketika
berkontraksi dan memanjang jika rileks. Elastisitas adalah kesanggupan sel
untuk menghasilkan waktu istirahat yang lama setelah memendek dan
memanjang (Moore & Dalley, 2013).
C. Etiologi
Fraktur dapat disebabkan oleh beberapa faktor diantaranya adalah cidera, stress,
dan melemahnya tulang akibat abnormalitas seperti fraktur patologis(Apleys &
Solomon, 2018). Menurut Purwanto (2016)
Etiologi/ penyebab terjadinya fraktur adalah :
1. Trauma langsung
Terjadi benturan pada tulang yang menyebabkan fraktur
2. Trauma tidak langsung
Tidak terjadi pada tempat benturan tetapi ditempat lain, oleh karena itu
kekuatan trauma diteruskan oleh sumbu tulang ke tempat lain.
3. Kondisi patologis
Terjadi karena penyakit pada tulang (degeneratif dan kanker tulang)
D. Klasifikasi
Fraktur dapat sangat bervariasi tetapi untuk alasan yang praktis, dibagi menjadi
beberapa kelompok, yaitu :
1. Berdasarkan sifat fraktur (luka yang ditimbulkan):
a. Fraktur Tertutup (closed)
Bila tidak terdapat hubungan antara fragmen tulang dengan dunia luar,
disebut juga fraktur bersih (karena kulit masih utuh) tanpa komplikasi.
b. Fraktur Terbuka (open/compound)
Bila terdapat hubungan antara hubungan antara fragmen tulang dengan dunia
luar karena adanya permukaan kulit.
2. Berdasarkan komplit atau ketidakkomplitan fraktur :
a. Fraktur komplit
Bila garis patah melalui seluruh penampang tulang atau melalui kedua
korteks tulang.
b. Fraktur inkomplit
Bila garis patah tidak melalui seluruh penampang tulang.
3. Berdasarkan bentuk garis patah dan hubungannya dengan mekanisme trauma :
a. Fraktur Transversal
Fraktur yang arahnya melintang pada tulang dan merupakan akibat trauma
angulasi atau langsung.
b. Fraktur Oblik
Fraktur yang arah garis patahanya membentuk sudut terhadap sumbu tulang
dan merupakan akibat trauma angulasi juga
c. Fraktur Spiral
Fraktur yang arah garis patahnya berbentuk spiral yang disebabkan trauma
rotasi.
d. Fraktur Kompresi
Fraktur yang terjadi karena trauma aksial fleks yang mendorong tulang kea
rah permukaan lain.
e. Fraktur Avulasi
Fraktur yang diakibatkan karena trauma tarikan atau traksi otot pada
insersinya pada tulang.
4. Berdasarkan jumlah garis patah.
a. Fraktur komunitif
Fraktur dimana garis patah lebih dari satu dan saling berhubungan.
b. Fraktur Segmental
Fraktur dimana garis patah lebih dari satu tapi tidak berhubungan.
c. Fraktur Multiple
Fraktur dimana garis patah lebih dari satu tapi tidak pada tulang yang sama.
5. Berdasarkan pergeseran fragmen tulang.
a. Fraktur Undisplaced (tidak bergeser)
Garis patah lengkap tetapi kedua fragmen tidak bergeser dan periosteum
masih utuh.
b. Fraktur Displaced (bergeser)
Terjadi pergeseran fragmen tulang yang juga disebut lokasi fragmen.
6. Berdasarkan posisi fraktur Sebatang tulang terbagi menjadi tiga bagian :
a. 1/3 proksimal
b. 1/3 medial
c. 1/3 distal
7. Fraktur kelelahan : fraktur akibat tekanan yang berulang-ulang
8. Fraktur patologis : fraktur yang diakibatkan karena proses patologis tulang.
Pada fraktur tertutup ada klasifikasi tersendiri yang berdasarkan keadaan jaringan
lunak sekitar trauma, yaitu
a. Tingkat 0 : fraktur biasa dengan sedikit atau tanpa cedera jaringan lunak
sekitarnya.
b. Tingkat 1 : fraktur dengan abrasi dangkal atau memar kulit dan jaringan subkutan
c. Tingkat 2 : fraktur yang lebih berat dengan kontusio jaringan lunak bagian dalam
dan pembengkakan
d. Tingkat 3 : cedera berat dengan kerusakan jaringan lunak yang nyata dan ancaman
sindroma kompartement. (Wahid, 2013)
E. Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis pada fraktur :
1. Nyeri
Nyeri terus menerus dan bertambah beratnya sampai fragmen tulang
diimmobilisasi. Spasme otot yang menyertai fraktur merupakan bentuk bidai
alamiah yang dirancang untuk menimimalkan gerakan antar fragmen tulang.
2. Deformitas
Setelah terjadi fraktur, bagian-bagian tak dapat digunakan dan cenderung
bergerak secara tidak alamiah (gerakan luar biasa) bukannya tetap rigid seperti
normalnya. Pergeseran fragmen pada fragmen lengan atau tungkai menyebabkan
deformitas (terlihat maupun teraba) ekstremitas yang bias diketahui dengan
membandingkan dengan ekstremitas normal. Ekstremitas tak dapat berfungsi
dengan baik karena fungsi normal otot bergantung pada integritas tulang tempat
melengketnya otot.
3. Pemendekan
Pada fraktur panjang, terjadi pemendekan tulang yang sebenarnya karena
kontraksi otot yang melekat diatas dan bawah tempat fraktur. Fragmen sering
saling melengkapi satu sama lain sampai 2,5 sampai 5 cm (1 sampai 2 inci).
4. Krepitus
Saat ekstremitas diperiksa dengan tangan teraba adanya derik tulang dinamakan
krepitus yang teraba akibat gesekan antara fragmen satu dengan lainnya. (Uji
krepitus dapat mengakibatkan kerusakan jaringan lunak yang lebih berat.)
5. Pembengkakan
Pembengkakan dan perubahan warna lokal pada kulit terjadi sebagai akibat
trauma dan perdarahan yang mengikuti fraktur. Tanda ini bisa baru terjadi setelah
beberapa jam atau hari setelah cedera.

F. Patofisiologi
Fraktur dibagi menjadi fraktur terbuka dan fraktur tertutup. Tertutup bila tidak
terdapat hubungan antara fragmen tulang dengan dunia luar oleh karena perlukaan
di kulit. Sewaktu tulang patah perdarahan biasanya terjadi disekitar tempat patah ke
dalam jaringan lunak disekitar tulang tersebut, jaringan lunak yang biasanya
mengalami kerusakan. Reaksi perdarahan biasanya timbul hebat di sekitar fraktur.
Sel-sel darah putih dan sel-sel anast berkamulasi mengakibatkan peningkatan aliran
darah ketempat tersebut aktifitas osteoblast terangsang dan terbentuk tulang
baruamatir yang disebut callus. Bekuan fibrin di reabsorbsi dan sel-sel tulang baru
mengalami remodelling untuk membentuk tulang sejati.
Insufisiensi pembuluh darah atau penekanan serabut saraf yang berkaitan
dengan pembengkakan yang tidak ditangani dapat menurunkan asupan darah ke
ekstermitas dan mengakibatkan kerusakan saraf perifer. Bila tidak terkontrol
pembengkakan akan mengakibatkan peningkatan tekanan jaringan, oklusa darah
total dan berakibat anoreksia mengakibatkan rusaknya serabut saraf maupun
jaringan otot. Komplikasi ini dinamakan sindrom compartment (Brunner &
Suddart, 2015).
G. Pathway

Trauma langsung Trauma tidak langsung Kondisi patologis

Fraktur

Pergeseran fragmen tulang

Diskontinuitas tulang Timbul respon stimulus nyeri Tindakan ORIF / ORIF

Fraktur terbuka Fraktur tertutup Pengeluaran histamin Pemasangan platina/ fiksasi eksternal

Laserasi kulit Perubahan fragmen tulang Reaksi nosiseptor Perawatan post op

Putus vena/arteri

Perdarahan Spasme otot, ruptur vena/arteri Respon reflek protektif pada tulang Gangguan fungsi tulang

Kehilangan Protein plasme darah


volume cairan Edema
Nyeri Akut Hambatan mobilitas
Penekanan pembuluh darah
fisik
Resiko syok
hipovolemik Ketidakefektifan
perfusi jaringan
H. Pemeriksaan Penunjang
Adapun beberapa periksaan penunjang yang dilakukan untuk menegakkan
diagnosa fraktur adalah sebagai berikut.
1. Pemeriksaan rontgen
Menentukan lokasi/luasnya fraktur/trauma
2. Scan tulang/scan CT/MRI
Memperlihatkan fraktur juga dapat digunakan untuk mengidentifikasi
kerusakan jaringan lunak.
3. Arteriogram
Dilakukan bila kerusakan vaskuler di curigai
4. Hitung darah lengkap
HT mungkin meningkat (hemokonsentrasi) atau menurun (pendarahan
bermakna pada sisi fraktur) perdarahan bermakna pada sisi fraktur atau organ
jauh pada mulltipel.
5. Kreatinin
Trauma otot meningkatkan beban kreatinin untuk klirens ginjal.
6. Profil kagulasi
Penurunan dapat terjadi pada kehilangan darah, transfuse multiple, atau cidera
hati (Doenges dalam Jitowiyono, 2016).

I. Penatalaksanaan Medis dan Keperawatan

Tindakan penanganan fraktur dibedakan berdasarkan bentuk dan lokasi serta


usia, berikut adalah tindakan pertolongan awal pada fraktur menurut (Muttaqin,
2015) :
1. Kenali ciri awal patah tulang memperhatikan riwayat trauma yang terjadi karena
benturan, terjatuh atau tertimpa benda keras yang menjadi alasan kuat pasien
mengalami fraktur.
2. Jika ditemukan luka yang terbuka, bersihkan dengan antiseptic dan bersihkan
perdarahan dengan cara di perban.
3. Lakukan reposisi (pengembalian tulang ke posisi semula) tetapi hal ini hanya
boleh dilakukan oleh para ahli dengan cara operasi oleh ahli bedah untuk
mengembalikan tulang ke posisi semula.
4. Pertahankan daerah patah tulang dengan menggunakan bidai atau papan dari
kedua posisi tulang yang patah untuk menyangga agar posisi tulang tetap stabil.
5. Berikan analgesic untuk mengurangi rasa nyeri pada sekitar perlukaan.
6. Beri perawatan pada perlukaan fraktur baik pre operasi maupun post operasi.
Prinsip penanganan fraktur adalah mengembalikan posisi patahan tulang ke
posisi semula(reposisi) dan mempertahankan posisi itu selama masa
penyembuhan patah tulang atau imobilisasi (Sjamsuhidayat & Jong, 2015).

Penatalaksanaan yang dilakukan adalah :


1. Fraktur Terbuka
adalah kasus emergency karena dapat terjadi kontaminasi oleh bakteri dan
disertai perdarahan yang hebat dalam waktu 6-8jam (golden period). Kuman
belum terlalu jauh dilakukan : pembersihan luka, exici, heacting situasi,
antibiotic. Ada beberapa prinsipnya yaitu :
a. Harus ditegakkan dan ditangani terlebih dahulu akibat trauma yang
membahayakan jiwa airway, breathing dan circulation.
b. Semua patah tulang terbuka adalah kasus gawat darurat yang memerlukan
penanganan segera yang meliputi pembidaian, menghentikan perdarahan
dengan bidai, menghentikan perdarahan besar dengan klem.
c. Pemberian antibiotic
d. Dibredemen dan irigasi sempurna
e. Stabilisasi.
f. Penutup luka
g. Rehabilitasi.
h. Life saving.
Semua penderita patah tulang terbuka diingat sebagai penderita dengan
kemungkinan besar mengalami cidera ditempat lain yang serius. Hal ini perlu
ditekankan bahwa terjadinya patah tulang diperlukan gaya yang cukup kuat
yang sering kali dapat berakibat total dan berakibat multi organ. Untuk life
saving prinsip dasar yaitu : airway, breathing, and circulation. Semua patah
tulang terbuka dalam kasus gawat darurat Dengan terbukanya barrier
jaringan lunak maka patah tulang tersebut terancam untuk terjadinya infeksi
seperti kita ketahui bahwa periode 6 jam sejak patah tulang terbuka luka yang
terjadi masih dalam stadium kontaminasi (golden period) dan setelah waktu
tersebut luka berubah menjadi luka infeksi. Oleh karena itu penanganan patah
tulang terbuka harus diakukan sebelum golde periode terlampaui agar sasaran
terakhir penanganan patah tulang terbuka tercapai walaupun ditinjau dari segi
prioritas penanganannya. Tulang secara primer menempati urutan prioritas
ke 6. Sasaran akhir ini adalah mencegah sepsis, penyembuhan tulang, dan
pulihnya fungsi.
j. Pemberian Antibiotik
Mikroba yang ada dalam luka patah tulang terbuka sangat bervariasi
tergantung dimana patah tulang itu terjadi. Pemberian antibiotik yang tepat
sukar untuk ditentukan hanya saja sebagai pemikiran sadar. Sebaliknya
antibiotika dengan spectrum luas untuk kuman gram positif maupun negatif.
k. Debridemen dan Irigasi
Debridemen untuk membuang semua jaringan mati pada daerah patah
terbuka baik berupa benda asing maupun jaringan lokal yang mati. Irigasi
untuk mengurangi kepadatan kuman dengan cara mencuci luka dengan
larutan fisiologis dalam jumlah banyak baik dengan tekanan maupun tanpa
tekanan.
l. Stabilisasi
Untuk penyembuhan luka dan tulang sangat diperlukan stabilisasi fragmen
tulang, cara stabulisasi tulang tergantung derajat patah tulang terbukanya dan
fasilitas yang ada. Pada derajat 1 dan 2 dapat dipertimbangkan pemasangan
fiksasi dalam secara primer, untuk derajat 3 dianjurkan fiksasi luar.
Stabilisasi ini harus sempurna agar dapat segera dilakukan langkah awal dari
rehabilitasi pengguna.
2. Fraktur tertutup
Penatalaksanaan fraktur tertutup yaitu dengan pembedahan, perlu diperhatikan
karena memerlukan asuhan keperawatan yang komprehensif perioperatif yaitu
Reduksi tertutup dengan memberikan traksi secara lanjut dan counter traksi
yaitu memanipulasi serta imobilisasi eksternal dengan menggunakan gips.
Reduksi tertutup yaitu dengan memberikan fiksasi eksternal atau fiksasi
perkuatan dengan K-wire.
3. Seluruh Fraktur
a. Rekoknisis/Pengenalan
Riwayat kajian harus jelas untuk menentukan diagnosa dan tindakan
selanjutnya.
b. Reduksi/ Manipulasi/Reposisi
c. Upaya untuk memanipulasi fragmen tulang supaya kembali secara optimal
seperti semula. Dapat juga diartikan reduksi fraktur (setting tulang) adalah
mengembalikan fragmen tulang pada posisi kesejajarannya rotasfanatomis
d. OREF (Open Reduction an`d External Fixation)
Penanganan intraoperative pada fraktur terbuka derajat III yaitu dengan cara
reduksi terbuka di ikuti fiksasi eksternal OREF sehingga diperoleh
stabilisasi fraktur yang baik. Keuntungan fiksasi eksternal adalah
memungkinkan stabilisasi fraktur sekaligus menilai jaringan lunak sekitar
dalam masa penyembuhan fraktur. Penanganan pasca operasi yaitu
perawatan luka dan pemberian antibiotik untuk mengurangi resiko infeksi,
pemberian radiologic serial, darah lengkap serta rehabilitasi berupa latihan-
latihan secara teratur dan bertahap sehingga ketiga tujuan utama penanganan
fraktur bisa tercapai yaitu union (penyambungan tulang kembali secara
sempurna) sembuh secara otomatis (penampakan fisik organ anggota gerak
baik proporsional) dan sembuh secara fungsional (tidak ada kekakuan dan
hambatan lain dalam melakukan gerakan).
e. ORIF (Open Reduction Internal Fixation)
ORIF adalah suatu bentuk pembedahan dengan pemasangan internal fiksasi
pada tulang yang mengalami fraktur. Fungsi ORIF untuk mempertahankan
posisi agar fragmen tulang agar tetap menyatu dan tidak mengalami
pergeseran. Internal fiksasi ini berupa Intra Modullary Nail biasanya
digunakan untuk fraktur tulang panjang dengan tipe fraktur transfer.
f. Retensi/Imobilisasi
Upaya yang dilakukan untuk menahan fragmen tulang sehingga kembali
seperti semula secara optimal. Setelah fraktur di reduksi, fragmen tulang
harus di imobilisasi atau dipertahankan kesejajarannya yang benar sampai
terjadi penyatuan. Imobilisasi dapat dilakukan dengan fiksasi eksternal atau
internal. Metode fiksasi eksternal meliputi pembalutan gips, bidai, traksi
kkontinu, dan teknik gips atau fiksator eksternal. Implant logam dapat
digunakan untuk fiksasi internal untuk imobilisasi fraktur.
g. Rehabilitasi
Menghindari atropi dan kontraktur dengan fisioterapi. Segala upaya
diarahkan pada penyembuhan tulang dan jaringan lunak. Reduksi dan
imobilisasi harus dipertahankan sesuai kebutuhan. Status neurovaskuler
(misal Pengkajian peredaran darah, nyeri, perabaan, gerakan) dipantau dan
ahli bedah ortopedi diberitahu segera bila ada tanda gangguan neurovaskuler.

J. Pengkajian keperawatan
1. Pengkajian
a. Identitas pasien terkait nama, jenis kelamin, umur, agama, status perkawinan,
pekerjaan, pendidikan terakhir, alama, no. CM, diagnosa medis
b. Penanggung jawab terkait : nama, umur, pendidikan, pekerjaan, alamat

2. Riwayat Keperawatan
a. Riwayat Kesehatan Pasien
Riwayat Penyakkit Sekarang
1) Keluhan utama :
Pada umumnya keluhan utama pada kasus fraktur adalah rasa nyeri. Nyeri
tersebut bias akut atau kronik tergantung dari lamanya serangan. Untuk
memeperoleh pengkajian yang lengkap tentang rasa nyeri pasien
digunakan :
a) Provoking incident: apakah ada pristiwa yang menjadi factor
presipitasi nyeri.
b) Quality of pain: seperti apa rasa nyeri yang dirasakan atau digambarkan
pasien. Apakah seperti terbakar, berdenyut, atau menusuk.
c) Region: radiation, relief: apakah rasa sakit bisa reda, apakah rasa sakit
menjalar atau menyebar, dan dimana rasa sakit terjadi.
d) Severity (scale) of pain: seberapa jauh rasa nyeri yang dirasakan
pasien, bisa berdasarkan skala nyeri atau pasien menerangkan seberapa
jauh rasa sakit mempengaruhi kemampuan fungsinya.
e) Time: berapa lama nyeri berlangsung, kapan, apakah bertambah buruk
pada malam hari atau siang hari.
2) Kronologi penyakit saat ini :
Pengumpulan data yang dilakukan untuk menetukan sebab dari fraktur,
yang nantinya membantu rencana tindakan terhadap pasien. Ini bisa
berupa kronologi terjadinya penyakit tersebut sehingga nantinya bisa
ditentukan kekuatan yang terjadi dan bagian tubuh mana yang terkena
(Ignatavicius, Dona D, 2006)

3) Riwayat penyakit dahulu


Pada pengkajian ini ditemukan kemungkinan penyebab fraktur dan
memberi petunjuk berapa lama tulang tersebut akan menyambung.
Penyakit-penyakit tertentu seperti kanker tulang dan penyakit paget’s
yang menyebabkan fraktur patologis yang sering sulit untuk menyambung

b. Riwayat Kesehatan Keluarga

Penyakit keluarga yang berhubungan dengan penyakit tulang merupakan salah


satu factor predisposisi terjadinya fraktur, seperti diabetes, osteoporosis, yang
sering terjadi pada beberapa keturunan, dan kanker tulang yang cendrung
diturunkan secara genetik.

c. Pengkajian Biologis
1) Pola Nutrisi dan Metabolisme
Pada pasien fraktur harus mengkonsumsi nutrisi melebihi kebutuhan sehari-
harinya seperti kalsium, zat besi, protein, vit. C dan lainnya untuk membantu
proses penyembuhan.
2) Pola Eliminasi
BAK/BAB dalam sehari, apakah mengalami kesulitan waktu BAB di
kaenakan imobilisasi, feses warna kuning, pada pasien fraktur tidak ada
gangguan BAK.
3) Pola Istirahat Tidur
Kebiasaan pada pola tidur apakah ada gangguan yang disebabkan karena
nyeri, misalnya nyeri karena fraktur.
4) Pola Aktivitas dan Latihan
Aktivitas pada klien yang mengalami gangguan karena fraktur
mengakibatkan kebutuhan pasien perlu dibantu oleh perawat atau keluarga.
5) Pola Persepsi dan Konsep Diri
Klien mengalami gangguan percaya diri sebab tubuhnya perubahan pasien
takut cacat / tidak dapat bekerja lagi
6) Pola Sensori Kognitif
Adanya nyeri yang disebabkan kerusakan jaringan, jika pada pola kognotif
atau pola berfikir tidak ada gangguan.
7) Pola Hubungan Peran
Terjadi hubungan peran interpersonal yaitu klien merasa tidak berguna
sehingga menarik diri.
8) Pola Management stress
Penting ditanyakan apakah membuat pasien menjadi depresi / kepikiran
mengenai kondisinya.
9) Pola Persepsi
Klien fraktur apakah akan mengalami perubahan atau gangguan pada
personal hygiene atau mandi
10) Pola Reproduksi Seksual
Jika pasien sudah berkeluarga maka mengalami perubahan pola seksual dan
reproduksi, jika pasien belum berkeluarga pasien tidak mengalami gangguan
pola reproduksi seksual.
11) Pola Tata Nilai dan Kepercayaan
Terjadi kecemasan/stress untuk pertahanan klien meminta mendekatakan diri
pada Allah SWT.

d. Pemeriksaan fisik
Menurut (Muttaqin 2015) ada dua macam pemeriksaan fisik yaitu pemeriksaan
fisik secara umum (status general)untuk mendapatkan gambaran umum dan
pemeriksaan setempat (local). Hal ini diperlukan untuk dapat melaksanakan
perawatan total (total care).
1) Pemeriksaan fisik secara umum
a) Keluhan utama:
 Kesadaran klien : apatis, sopor, koma, gelisah, komposmentis yang
bergantung pada klien
 Kedaaan penyakit : akut, kronis, ringan, sedang, berat.
 Tanda-tanda vital tidak normal terdapat gangguan lokal, baik fungsi
maupun bentuk.
b) Pemeriksaan fisik secara Head To Toe:
Kepala
Inspeksi : simetris, ada pergerakan
Palpasi : tidak ada nyeri tekan
Leher
Inspeksi : simetris, tidak ada penonjolan
Palpasi : tidak ada nyeri tekan, reflek menelan ada
Wajah
Inspeksi : simetris, terlihat menahan sakit,
Palpasi : tidak ada perubahan fungsi maupun bentuk, tidak ada lesi, dan
tidak ada oedema.
Mata
Inspeksi : simetris
Palpasi : tidak ada gangguan seperti kongjungtiva tidak anemis (karena
tidak terjadi perdarahan)
Telinga
Inspeksi : normal, simetris
Palpasi : tidak ada lesi, dan nyeri tekan
Hidung
Inspeksi : normal, simetris
Palpasi : tidak ada deformitas, tidak ada pernafasan cuping hidung
Thoraks
Inspeksi : simetris, tidak ada lesi, tidak bengkak
Palpasi : iktus cordis tidak teraba
Perkusi : pekak
Auskultasi : tidak ada ronchi, wheezing, dan bunyi jantung I, II reguler
Paru
Inspeksi : pernafasan meningkat,regular
Palpasi : pergerakan simetris, fermitus teraba sama.
Perkusi : sonor, tidak ada suara tambahan.
Auskultasi :suara nafas normal, tidak ada wheezing atau suara tambahan
lainnya.
Jantung
Inspeksi : tidak tampak iktus jantung
Palpasi : nadi meningkat, iktus tidak teraba
Auskultasi :suara S1 dan S2 tunggal
Abdomen
Inspeksi : simetris,bentuk datar
Palpasi : turgor baik, tidak ada pembesaran hepar.
Perkusi : suara timpani, ada pantulan gelombang cairan
Auskultasi : peristaltic usus normal ± 20 x/menit
Ekstremitas
Inspeksi : apakah ada jaringan parut,warna kemerahan atau kebiruan
atau hiperpigmentasi, apa ada benjolan dan pembengkakan
atau adakah bagian yang tidak normal.
Palpasi : suatu pada kulit, apakah teraba denyut arterinya, raba apakah
adanya pembengkakan, palpasi daerah jaringan lunak
supaya mengetahui adanya spasme otot,artrofi otot, adakah
penebalan jaringan senovia,adannya cairan didalam/di luar
sendi, perhatikan bentuk tulang ada/tidak adanya penonjolan
atau abnormalitas.
Pergerakan : perhatikan gerakan pada sendi baik secara aktif/pasif, apa
pergerakan sendi diikuti adanya krepitasi, lakukan
pemeriksaan stabilitas sandi, apa pergerakan menimbulkan
rasa nyeri, pemeriksaan (range of motion) danpemeriksaan
pada gerakan sendi aktif ataupun pasif.
K. Diagnosa keperawatan
1. Nyeri akut b/d terputusnya kontinuitas jaringan atau cidera jaringan lunak.
2. Hambatan mobilitas fisik b/d nyeri, pembengkakan, prosedur bedah, imobilisas
3. Ketidakefektifan perfusi jaringan perifer b/d edema.
4. Resiko syok hipovolemik b/d perdarahan
L. Rencana Keperawatan

No. Diagnosa NOC NIC Rasional


1. Nyeri akut Setelah dilakukan tindakan Manajemen nyeri Manajajemen nyeri
keperawatan selama ... x 24 jam maka
a. Observasi nyeripasien a. Pengkajian penting
nyeri pasen terkontrol dengan kriteria :
Outcome untuk mengukur PQRST tiap 6 jam dilakukan untuk mengetahui
penyelesaian Diagnosis
status nyeri pasien sehingga
 Status kontrol nyeri dapat menentukan
 Nyeri terkontrol intervensi yang diberikan.
Outcome tambahan untuk mengukur
batasan karakteristik b. Anjurkan melakukan b. Kompres hangat
Status kontrol nyeri stimulasi massage kinestetik meningkatkan vasodilatasi
 Ekspresi wajah tampak rileks
 Skala nyeri 1 (0-10) memberikan rasa nyaman.
 Mampu tidur 6-8 jam malam hari c. Ajarkan teknik deep breath c. Deep breath exercise
 Mampu melakukan teknik relaksasi
exercise meningkatkan oksigen ke
tingkat sel dan membuat
rileks
d. Jelaskan penyebab nyeri dan d. Meningkatkan pengetahuan
cara mengatasi nyeri pasien sehingga mampu
memilih cara penanganan
nyeri
e. Kolaborasi dengan dokter e. Analgetik menurunkan
pemberian analgetik sensasi rangsangan nyeri

2. Hambatan Setelah dilakukan tindakan Manajemen mobility level Manajemen mobility level
mobilitas fisik keperawatan selama ... x 24 jam maka a. Kaji kemampuan mobility / a. Pengkajian penting
pergerakan pasien terarah dengan pergerakan pasien. dilakukan untuk
kriteria : mengetahui status
oksigenasi pasien sehingga
Outcome untuk mengukur dapat menentukan
penyelesaian Diagnosis intervensi yang diberikan.
Status oksigenasi:
 Pergerakan optimal b. Latih pasien dalam b. Meningkatkan kemampuan
 ADLs terpenuhi pemenuhan kebutuhan ADLs otot pasien dan cegah
Outcome tambahan untuk mengukur Secara mandiri sesuai atropi otot
batasan karakteristik kemampuan
a. Status mobility
 Aktivitas fisik klien meningkat
 Mengerti tujuan dalam
peningkatan mobilitas c. Ajarkan pasien merubah c. Meningkatkan kemampuan
 Menggunakan alat bantu untuk posisi dan tawarkan bantuan gerak dan mencegah atropi
berpindah jika diperlukan. otot

d. Ajarkan ROM d. Meningkatkan


kemampuan gerak dan
cegah atropi otot
e. Jelaskan makanan yang perlu e. Meningkatkan asupan
dikonsumsi untuk pemulihan makanan berutrisi untuk
proses pemulihan
f. Kolaborasi dengan rehab
medik
f. Meningkatkan kerja sama
dengan tenaga kesehatan
lainnya

3 Ketidakefektifan Setelah dilakukan tindakan Manajemen oksigenasi Manajemen respirasi


perfusi jaringan keperawatan selama ... x 24 jam maka a. Observasi vital sign, sianosis, a. Pengkajian penting
perifer meningkatan perfusi jaringan pasien SaO2, CRT tiap 6 jam/ hari. dilakukan untuk
dengan kriteria mengetahui status
Outcome untuk mengukur oksigenasi pasien sehingga
penyelesaian Diagnosis dapat menentukan
Status oksigenasi: intervensi yang diberikan.
 Perfusi jaringan optimum
Outcome tambahan untuk mengukur b. Monitori daerah hanya peka b. Menentukan adanya
batasan karakteristik terhadap panas/ dingin/ tajam parastesia
Status cirkulasi / tumpul
 Tekanan darah : c. Instruksikan kepada keluarga c. Meningkatkan partisipasi
Sistolik 100- 120 mmHg untuk mengobservasi adanya dalam merawat pasien
Diastolik 60 – 80 mmHg lesi
 Nadi : 60-100 x/menit
 Respirasi : 16-18 x/ menit d. Ajarkan ROM d. Mencegah tromboplebitis.
 Suhu : 36 – 37 °C
 CRT < 3 detik e. Jelaskan penyebab edema e. Meningkatkan
 SaO2 : 94-100% pengetahuan pasien

f. Kolaborasi dengan dokter f. Mengurangi sensasi nyeri


pemberian analgetik
4 Resiko syok Setelah dilakukan tindakan Pencegahan syok Pencegahan syok
hipovolemik keperawatan selama ... x 24 jam maka a. Observasi status cairan a. Pengkajian penting
aliran darah pasien meningkat dengan ( turgor kulit, rasa haus, tanda dilakukan untuk mengetahui
kriteria vital, intake dan output cairan) status cairan pasien
Outcome untuk mengukur tiap 6 jam/ hari. sehingga dapat menentukan
penyelesaian Diagnosis intervensi yang diberikan.
Status oksigenasi: b. Tentukan status cairan pasien b. Membantu memenuhi
 Aliran darah optimum dan kemampuan untuk kebutuhan cairan yang
Outcome tambahan untuk mengukur memenuhi kebutuhan cairan dibutuhkan pasien.
batasan karakteristik c. Anjurkan mengkonsumsi air c. Memenuhi kebutuhan
Status cirkulasi putih sesuai berat badan cairan sesuai berat badan
 Tekanan darah : rumus Kg BB x 30 dan mencegah dehidrasi
Sistolik 100- 120 mmHg d. Jelaskan resiko terjadi syok d. Meningkatkan pengetahuan
Diastolik 60 – 80 mmHg pasien mencegah syok
 Nadi : 60-100 x/menit
 Respirasi : 16-18 x/ menit
 Suhu : 36 – 37 °C e. Kolaborasi dengan dokter e. Memenuhi kebutuhan
 CRT < 3 detik pemberian cairan dan obat cairan.
 SaO2 : 94-100%
Status hidrasi
 Turgor kulit elastis
 Mukosa bibir lembap
DAFTAR PUSTAKA
Amin dan Hardi. 2015. Aplikasi Nanda Nic-Noc Jilid 3. Yogyakarta:MediAction.

Brunner, Suddarth. 2015. Buku Ajar keperawatan medikal bedah, edisi 8 vol.3. EGC.

Jakarta.

Desiartama, A., & Aryana, I. W. 2017. Gambaran Karakteristik Pasien Fraktur

Akibat Kecelakan Lalu Lintas Pada Orang Dewasa Di Rumah Sakit Umum Pusat

Sanglah Denpasar Tahun 2013. E-Jurnal Medika Udayana, 6(5).

Lestari, Y. E. (2017). Pengaruh Rom Exercise Dini Pada Pasien Post Operasi

Fraktur Ekstermitas Bawah Fraktur Femur Dan Fraktur Cruris Terhadap Lama

Hari Rawat Di Ruang Bedah Rsud Gambiran Kota Kediri. Jurnal Ilmu Kesehatan,

3(1), 34-40

Muttaqin.A. 2015.Asuhan Keperawatan Gangguan Integumen.Jakarta:Selemba.

Sjamsuhidayat & Jong. 2015 .Buku Ajar Ilmu Bedah.Edisi 3.Jakarta:EGC

Sulistyaningsih. 2016. Gambaran kualitas hidup pada pasien pasca open reduction

internal fixation (orif) ekstermitas bawah di poli ortopedi rs ortopedi prof. dr. r.

soeharso surakarta.

Tim Pokja SDKI DPP PPNI. 2016. Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia.

Jakarta : DPP PPNI

Anda mungkin juga menyukai