Anda di halaman 1dari 3

Purwakarta, 4 Juni 2009. https://www.mashani77.

net/2009/06/04/kembali-masalah-komunikasi-
dokter-pasien-menjadi-penyebab-petaka

Dalam salah satu millist profesi, saya pernah menulis tentang lemahnya kemampuan komunikasi
dokter dan pasien. Menurut saya, pokok persoalan dari kasus Bu Prita sesungguhnya sederhana,
yaitu bahwa dokter tidak mampu berkomunikasi dengan baik dengan pasien. Ini terbukti dari tulisan
Bu Prita dalam surat elektronik yang dikirimnya : “Saya lalu di-infus dan diberi suntikan obat tanpa
ada PENJELASAN dan tanpa adanya persetujuan dari saya “. Komunikasi yang dimaksud adalah
komunikasi dengan bahasa awam yang mudah dipahami dan dimengerti oleh pasien dan
keluarganya. Dokter kerap kali tidak mampu menterjemahkan atau meng-konversikan bahasa-
bahasa medis menjadi bahasa publik yang dimengerti oleh masyarakat. Sehingga yang terjadi
adalah sebuah kesalahpahaman atau miskomunikasi. Dokter merasa sudah mejelaskan dengan
sebenar-benarnya, akan tetapi si pasien menterjemahkan dengan informasi yang berlaian pula,
yang pada akhirnya pasien akan mengambil sebuah kesimpulan sendiri yang celakanya justru
bertentangan dan bertolakbelakang dengan apa yang ada di benak dokter.

Sungguh persoalan komunikasi memang sangatlah penting. Terbukti sekali lagi bahwa persoalan
komunikasi bisa merembet ke ranah hukum yang prosesnya begitu panjang dan melelahkan. Saya
mencoba untuk bersikap netral dan memandang persoalan ini dari sebuah frame yang mungkin
nampak sederhana, padahal begitu berat implikasinya. Kesimpulan saya tetap bahwa persoalan ini
bermula dari KETIDAKMAMPUAN DOKTER UNTUK BERKOMUNIKASI DENGAN BAIK KEPADA
PASIEN DAN KELUARGANYA….Seorang dokter ternyata gagal menterjemahkan isi pikiran dan
infromasi menjadi sebuah bahasa yang mudah ditangkap oleh pasien.

Sama dengan tulisan saya di millist tersebut, saya juga mengkritik sistem pendidikan dokter di
Indonesia. Saat itu ada temen sejawat yang membantah bahwa sistem pendidikan dokter di
Indonesia salah. Saya tekankan bahwa ada sesuatu yang salah dengan Kurikulum Pendidikan
Dokter Indonesia (KIPDI). Ukuran kompetensi seorang dokter itu meliputi : Aspek
Knowledge/sciene, aspek skill dan aspek attitude. Ok kita anggap bahwa konwledge atau science
cukup bagus bahkan lebih dari cukup, tetapi bagaimana dengan skills nya??? Bahasan saya
tentang skills di sini bukan skill medis nya yang saya yakin sudah bagus bahkan di atas bagus lah,
akan tetapi skills yang saya maksudkan adalah skills atau keterampilan berkomunikasi dengan
pasien/masyarakat secara baik dengan bahasa yang mudah dipahami dan dimengerti….

Saat ini metode pembelajaran di pusat-pusat pendidikan dokter sudah banyak yang menggunakan
Skills Lab (laboratorium Keterampilan)…sayangnya titik berat dari skills lab itu hanya pada aspek
skill medis nya saja, tetapi khusus skills komunikasi dengan pasien agak terlupakan. Kita harus jujur
mengakui hal ini….Andai saja di skills lab tersebut mata ajar tentang kemampuan berkomunikasi
dengan pasien diperkuat, terus metode ujian dibanahi dengan benar-benar mendatangkan orang
awam dan si calon dokter tersebut diuji untuk berkomunikasi dengan bahasa awam….mungkin saja
produk2x dokter Indonesia memilki kemampuan yang lebih mumpuni….Mohon Dirjen DIKTI
Depdiknas bersama-sama dengan organisasi profesi dapat duduk bersama dan ber-rembug
merumuskan sebuah Kurikulum Pendidikan Dokter yang lebih bagus dan komprehensif.

Akhirnya, tanpa ada pretensi apapun juga, saya salut dengan keberanian Bu Prita, hanya
sayangnya memang kasus ini terlalu premature diseret ke ranah publik oleh Bu Prita, akan tetapi
yang jauh lebih disayangkan lagi adalah respon RS yang langsung menyeret kasus ini ke ranah
Hukum….Jujur saja dalam benak saya yakin bahwa dokter sudah melakukan hal yang benar
menurut sudut pandang medis, yakni merawat pasien atas indikasi medis, bukan indikasi
laboratorium. Kita harus ingat bahwa pemeriksaan penunjang adalah “Good Servant, But Bad
Father” artinya pemeriksaan penunjang adalah PELAYAN YANG BAIK, TETAPI TUAN YANG
BURUK…maknanya adalah bahwa pemeriksaan penunjang memang sangat membantu kita, tetapi
jangan jadikan sebagai pengambil keputusan, jangan sekali-kali hasil dari pemeriksaan penunjang
itu dijadikan pijakan dokter dalam mengambil keputusan medis, karena ini adalah sebuah kesalahan
yang fundamental. Hanya persoalan-nya adalah dokter tersebut dalam memberikan alasan kenapa
dia memutuskan untuk merawat pasien ternyata tidak menggunakan bahasa verbal yang mudah
dipahami oleh pasien. Yang terjadi adalah pasien salah dalam mengartikan dan mengambil
kesimpulan….sehingga seperti yang kita lihat sendiri bahwa akhirnya kasus ini berkembang ke
mana-mana…..Saya pribadi hanya ingin menikmati saja jalannya kasus ini dan bagaimana bagian
akhir atau ending-nya. Mari kita lihat dan kita nikmati saja….

Semoga banyak hikmah yang dapat kita petik dari kasus ini, saya sependapat sekali dengan
statement Bu Menkes terbaru bahwa kasus ini mungkin tidak akan melebar kalau RUU Rumah Sakit
sudah disahkan oleh DPR menjadi UU. Menurut saya tepat sekali bahwa kasus ini adalah sebuah
momentum yang paling tepat bagi kita semua untuk mendesak Legislatif sesegera mungkin
mengesahkan RUU Rumah Sakit yang terkatung-katung selama hampir 3 tahun. Setiap tahun selalu
menjadi agenda PROLEGNAS, tetapi tidak pernah dibahas dengan serius oleh DPR. Apakah kita
harus menunggu sampai muncul “Bu Prita-Bu Prita” susulan ??? WallahuAllam….
Wass…

Contoh Kasus Komunikasi Bisnis

Contoh Ilustrasi Kasus  :


Seperti yang sudah diketahui, struktur organisasi harusnya berjenjang. Namun proses komunikasi
antara bawahan dengan atasan sudah menyalahi aturan tersebut.
Dalam kasus ini, Kepala Departemen berulang kali melapor langsung kepada Direktur Utama
jika ingin meminta hal-hal penting tertentu, padahal seharusnya Kepala Departemen bertanggung
jawab langsung kepada Wakil Direktur sebagai atasannya.
Mengapa bisa terjadi hal semacam itu ?
Diagnosa  Masalah :
Menganalisis kasus diatas, kemungkinan adanya prosedur struktur organisasi yang tidak jelas,
pola sikap atasan yang tidak menghargai bawahan meskipun bawahan merupakan orang yang
lebih tua, atau mungkin management kedisiplinan yang tidak tegas dan bijak.

 
Penyelesaian Kasus Komunikasi Bisnis
Wakil Direktur harus melakukan komunikasi dengan Direktur Utama untuk membicarakan
segala permasalahan yang ada dan sudah terjadi guna mempertegas lagi peran dan tanggung
jawab masing-masing individu sesuai dengan prosedur struktur organisasi.

Dalam hal ini kepemimpinan Direktur Utama sangat kurang, karena Direktur Utama harusnya
tidak bisa memberikan instruksi kepada Kepala Departemen.

Semua masalah yang ada didepartemennya harus dikomunikasikan kepada Wakil Direktur,
sehingga dia memiliki tanggung jawab untuk memecahkan masalah terlebih dahulu.

Jika masalahnya tidak selesai atau terlalu rumit, Wakil Direktur bisa meminta bantuan Direktur
Utama.

Namun apabila penanggung jawab departemen berkomunikasi langsung dengan Direktur Utama,
hal ini akan sangat tidak efisien dan malah terkesan menyalah gunakan wewenangnya.

Memperbaiki dan meningkatkan nilai-nilai yang dipegang oleh seluruh individu dalam
perusahaan. Hal ini bertujuan agar individu dalam organisasi memiliki sikap saling menghormati
dan berperilaku tanpa rasa senioritas.

Karena kualifikasi akan membuat individu lebih mementingkan kepentingannya sendiri. Karena
komunikasi bisnis dalam organisasi memegang peranan yang sangat penting dalam mencapai
keberhasilan seluruh organisasi.

Anda mungkin juga menyukai