Harga Wajar/Target Price (TP) biasa disebut juga dengan Nilai Valuasi Suatu
Saham. Dalam menentukan nilai TP ini yang terpenting adalah kita dapat
menghitung Nilai Laba perlembar Saham (EPS, Earning Per Share) dan
Menentukan PER (price Earning Ratio)
Mari Kita Menggali lebih dalam 3 Faktor diatas, yaitu : Harga Wajar/Target Price,
EPS dan PER
Sebagai catatan :
a. Nilai PER tersebut adalah sesuatu yang bersifat ASUMSI cara pandang
kita
b. Nilai EPS untuk data historical adalah sesuatu yang sudah baku
c. Nilai EPS untuk data forcasting/masa depan adalah bersifat ASUMSI
Mari Kita Bahas satu persatu, Kita Mulai dari EPS (Earning Per Share)
1
Earing Per Share (EPS)
EPS merupakan Singkatan dari Earning Pershare atau Laba perlembar saham.
Arti dan makna nya adalah setiap 1 lembar saham yang kita miliki memiliki suatu
besaran laba sebesar EPS tersebut.
Cara pandang berfikirnya adalah “apabila saat ini saya memiliki saham ABC
dimana laba perlembar sahamnya melekat Rp 10/lembar, maka di kemudian
hari saya berharap laba yang melekat pada saham tersebut harus naik
menjadi Rp. 15/lembar”
cara menghitung EPS ini mudah, sesuai namanya maka EPS = Laba Bersih
dibagi dengan Jumlah Saham Beredar.
Sebagai catatan, Untuk setiap menghitung EPS, laba Bersih sebaiknya di
anualisasi....
Mengapa rumusnya begitu?, Pola Pikir nya adalah, 1 tahun ada 4 kuartal, maka
apabila mengitung anualisasi kuartal pertama maka harus dikali 4 untuk setahun
Untuk menghitung anualisasi kuartal ke-3, maka dibuatkan ke satu kuartal dulu
dengan membagi 3 kemudian di kalikan 4.
Contoh :
2
Ditanya : Berapakah EPS di setiap Kuartal
Dijawab :
Mudah kan?
Mari Kita Bahas Lanjutan Berikutnya yaitu PER (Price Earning ratio)
Misalnya PER nya 10 x, berarti apabila saham ABC pada harga sekarang saya
beli maka 10 tahun lagi modal saya kembali.
Bahasa awamnya adalah selama 10 tahun saya terima Bagi Hasil dari
perusahaan ABC maka dana yang saya terima adalah sebesar modal saya.
Balik Lagi kita pada Philosopy EPS diatas, yaitu Laba yang melekat pada 1
lembar saham. Dan perhatikan pula Philosopy PER...
Maka timbulah korelasi antara PER dan EPS
3
PER adalah Harga Wajar (TP) : EPS
Penentuan PER
PER itu ditentukan oleh cara pandang masing-masing investor. Tiap org
memandang atau punya estimasi/perkiraan, tolak ukur serta pribadi yang
berbeda-beda.
Nilai PER ini yang menentukan apakah saham tersebut harganya sudah over
value atau under value....
Apabila under value, maka kita sebaiknya membeli saham, kalau sdh over value
maka sebaiknya saham ini kita hindari.
Semakin sahamnya over value atau mendekati over value maka saham akan lebih
aktif.
4
Contoh :
Diketahui : Saham ABC memiliki PER sejak tahun 2008 – 2013 berturut-turut
adalah 9,10,12,14,11,10
Cara Menghitung PER dari Data historical tidaklah susah, bila kita sudah dapat
menghitung EPS nya per kuartal atau pertahun, maka kita dapat
menghitung PER di kuartal atau ditahun tersebut.
Investor cukup melihat pada grafik historical berapak harga saham penutupan di
tanggal pelaporan tersebut, kemudian dibagi dengan EPS di tanggal pelaporan
tersebut, maka investor dapatlah harga PER nya.
5
Menghitung harga wajar emiten/Perusahan TBK
Mari kita lebih dalam lagi masuk pada Laporan Keuangan Emiten/Perusahaan
Tbk.
Diketahui :
• Laba bersih Telkom desember 2015 adalah 15,489 Triliyun
• Saham beredar Telkom adalah 100.799.996.400
Dijawab :
EPS TLKM 2015 adalah 15,489 T / 100.799.996.400 maka EPS nya adalah Rp
153.66/lembar saham
PER TLKM :
supaya cepat sy melihat di idx saja dengan cara :
• buka web. Www.idx.co.id
• masuk ke bagian publikasi
• masuk ke kategori ringkasan kinerja perusahaan tercatat
• cari emiten/perusahaan tbk yang anda mau lihat
• kemudian klik unduh
• scroll kebawah ke halaman 2 nya, kemudian kiri bawah ada PER nya
http://www.idx.co.id/Portals/0/StaticData/ListedCompanies/PerformanceSummary/
TLKM.pdf
Supaya cepat cara pandang saja PER nya asumsi saya adalah 18 x
6
Menghitung Margin of Safety, dan Nilai Intrinsik Saham
Konsep MOS pertama kali diperkenalkan oleh investor guru, Benjamin Graham,
dan partnernya, David Dodd, pada tahun 1928, dengan poin utamanya adalah
menentukan nilai intrinsik tadi. Anak didik Graham yang paling terkenal, Warren
Buffett, bisa menjadi sangat sukses sebagai investor saham karena keahliannya
yang luar biasa dalam menentukan nilai intrinsik dari suatu saham. Simpelnya,
ketika Buffett bisa dengan akurat menentukan bahwa nilai intrinsik dari saham A,
B, dan C, masing-masing adalah 100, 150, dan 200, sementara harga dari ketiga
saham tersebut di market masing-masing adalah 80, 70, dan 250, maka saham
yang akan dipilih Buffett adalah? Sudah tentu, saham B, karena diskonnya paling
besar (harga saham B di pasar cuma 70, padahal nilai intrinsiknya mencapai 150).
Buffett tidak peduli jika saham B ini harganya dari sisi PER atau PBV cukup
mahal, asalkan perusahaannya benar-benar bagus yang ditunjukkan dengan nilai
intrinsiknya yang tinggi. Bagi chairman Berkshire Hathaway ini, lebih baik
berinvestasi pada perusahaan yang luar biasa bagus (baca: nilai intrinsiknya
sangat tinggi) dengan harga saham yang masuk akal (gak harus murah),
ketimbang berinvestasi pada perusahaan yang biasa-biasa saja, meski harga
sahamnya murah. Karena logikanya, barang yang bagus tentunya tidak mungkin
bisa didapat pada harga yang terlalu murah, bukan begitu?
7
Okay, lalu bagaimana cara Buffett dalam menghitung nilai intrinsik suatu saham?
Sebelum ke bagian tersebut, mari kita sepakati dulu, apa yang dimaksud dengan
‘nilai intrinsik’ disini. Berdasarkan berbagai definisi yang penulis kumpulkan dari
berbagai sumber, nilai intrinsik adalah nilai yang sesungguhnya dari suatu saham,
dan itu berbeda dengan nilai pasar (harga saham) atau nilai buku (book value,
atau ekuitas). Nilai intrinsik ini sudah termasuk memperhitungkan aset yang
terlihat (ekuitas tadi) dan yang tidak terlihat (prospek, nama besar perusahaan,
kekuatan merek produk, dll). Karena aset yang tidak terlihat ini seringkali sulit
untuk dikalkulasi (karena di laporan keuangan juga nggak ada angka
Rupiah/Dollar-nya), maka dua orang investor kemungkinan akan menjawab
berbeda jika ditanya berapa nilai intrinsik dari satu saham yang sama, tergantung
dari sisi mana mereka menghitung nilai intrinsik tersebut. Yup, nilai intrinsik adalah
suatu ukuran yang sangat subjektif, dan karenanya tidak pernah ada nilai intrinsik
yang benar-benar tepat untuk sebuah saham.
However, jika melihat track record dari Warren Buffett yang sangat sangat sukses
di pasar saham dengan berbekal kemampuan spesialnya dalam mengitung nilai
intrinsik, maka jika ada rumus cara menghitung nilai intrinsik, rumus Buffett-lah
yang bisa kita pakai. Dan berikut berikut ini adalah langkah-langkah menghitung
nilai intrinsik ala Warren Buffett, dan trust me, cara mengitungnya jauh lebih
sederhana dari yang anda kira :)
8
Logo PT Charoen Pokphand Indonesia, Tbk, perusahaan poultry terbesar
di tanah air
Kinerja perusahaan yang stabil dalam jangka panjang ini sangat penting untuk
diperhatikan, karena salah satu elemen dari menghitung nilai intrinsik ala Warren
Buffett adalah dengan memperkirakan berapa kira-kira pertumbuhan ekuitas dan
laba bersih perusahaan kedepannya, dimana perusahaan dengan track record
kinerja yang bagus tentunya akan lebih berpeluang untuk mencatat kinerja yang
sama bagusnya di masa yang akan datang. Meski tentunya tidak ada jaminan
bahwa perusahaan dengan kinerja yang stabil akan tetap mencatat kinerja yang
stabil kedepannya, sama halnya dengan perusahaan yang baru berdiri atau punya
kinerja amburadul di masa lalu bisa saja menjadi perusahaan yang bagus suatu
hari nanti, namun tetap saja: Sebuah perusahaan dengan track record kinerja
yang bagus tentunya bisa lebih dipercaya ketimbang perusahaan yang
sebelumnya rugi melulu. Analoginya jika sebuah perusahaan membutuhkan
seorang karyawan untuk posisi manager atau direktur, maka mungkinkah
perusahaan tersebut merekrut karyawan fresh graduate yang belum
berpengalaman, atau karyawan berpengalaman namun punya catatan buruk,
katakanlah pernah tersangkut masalah hukum? Anda tahu jawabannya.
9
Selain punya kinerja yang stabil di masa lalu, anda juga harus mengerti benar
tentang perusahaan serta jenis usaha/bisnisnya, sehingga dalam hal ini anda
harus mempelajari tentang perusahaannya dulu sebelum kemudian baru masuk
ke langkah berikutnya. Analoginya balik lagi ke perusahaan yang merekrut
pegawai tadi: Apakah sebuah perusahaan akan langsung mempekerjakan
seorang karyawan hanya karena CV-nya (baca: track record pengalamannya)
bagus? Jelas tidak. Minimal ia harus melalui proses wawancara dengan pemilik
perusahaan, atau pegawai yang posisinya lebih tinggi, atau HRD, dan jika cocok
barulah ia akan diterima bekerja.
Selanjutnya, menurut Buffett, yang disebut dengan nilai intrinsik adalah jumlah
uang cash yang bisa ditarik dari perusahaan selama perusahaan tersebut masih
beroperasi. Dan yang disebut dengan ‘uang cash’ tersebut adalah angka ekuitas
terakhir perusahaan (atau disebut juga nilai buku/book value), plus akumulasi
dari laba bersih yang akan perusahaan peroleh/kumpulkan kedepannya, yaitu
selama perusahaan tersebut terus beroperasi.
Contohnya kalau kita pakai CPIN, berikut adalah data laporan keuangan
perusahaan untuk tahun penuh 2012 (kita pakai laporan keuangan untuk tahun
penuh, bukan yang kuartalan).
10
Namun, perhitungannya belum selesai. Diatas disebutkan bahwa ‘nilai intrinsik’
sebesar Rp2,139 tersebut adalah dengan mengasumsikan bahwa CPIN masih
akan beroperasi hingga 10 tahun mendatang, dan bahwa selama 10 tersebut
perusahaan berhasil mencetak EPS Rp164 per tahunnya. Jadi pertanyaannya
sekarang ada dua: Pertama, apakah anda cukup yakin bahwa CPIN bisa
beroperasi selama lebih dari 10 tahun, katakanlah 20 tahun? Untuk pertanyaan ini
misalnya kita jawab saja: Ya.
Kemudian pertanyaan kedua, apakah selama 20 tahun tersebut EPS CPIN akan
tetap Rp164 per tahunnya? Tentu tidak, melainkan kemungkinan bakal naik terus
setiap tahunnya, karena dalam lima tahun terakhir, rata-rata kenaikan laba bersih
CPIN mencapai lebih dari 50% per tahun. Okay, kita ambil angka konservatif saja,
yaitu bahwa setiap tahunnya laba bersih CPIN hanya akan naik 20%. Itu berarti
EPS CPIN pada tahun 2013 akan menjadi Rp197, pada tahun 2014 menjadi
Rp236, dan demikian seterusnya hingga di tahun 2032 (selama 20 tahun) CPIN
akan mencetak EPS Rp6,287. Maka, jumlah akumulasi EPS selama 20 tahun
tersebut, yaitu antara tahun 2013 - 2032, akan mencapai Rp36,740.
Sekedar catatan, EPS untuk tahun 2012 yang sebesar Rp164 nggak ikut dihitung,
karena EPS tersebut sudah termasuk dalam ekuitas perusahaan di tahun yang
sama (dalam bentuk saldo laba). Sekali lagi, ingat bahwa dalam menghitung nilai
intrinsik, yang dihitung adalah akumulasi dari laba bersih yang akan perusahaan
kumpulkan kedepannya, jadi nggak termasuk laba bersih yang sudah diperoleh
di tahun 2012.
Sekarang, ingat bahwa uang sebesar Rp1,000 pada sepuluh tahun yang lalu,
nilainya berbeda dengan Rp1,000 pada saat ini (jaman penulis kuliah dulu, seribu
perak masih bisa dapet sebungkus nasi putih di warteg, tapi sekarang buat bayar
parkir aja masih kurang). Dan pada sepuluh tahun kedepan, sangat mungkin
bahwa uang Rp1,000 tersebut akan semakin tidak bernilai lagi. Itu artinya, ketika
kita mengatakan bahwa akumulasi laba bersih CPIN adalah 36,740 pada tahun
2032, dan mengingat bahwa nilai dari duit sebesar 35 ribu perak di tahun segitu
tentunya akan berbeda dengan 35 ribu perak pada saat ini, maka angkanya
kemudian harus disesuaikan. Caranya? Dengan membaginya dengan angka
11
bunga per tahun yang ditawarkan oleh instrumen investasi yang paling aman,
dalam hal ini (menurut Buffett) bunga dari obligasi yang diterbitkan Pemerintah.
Kalau di Indonesia sendiri, ada beberapa jenis obligasi Pemerintah seperti itu,
seperti SUN, ORI, hingga sukuk. Katakanlah kita ambil suku bunga sukuk, yang
angkanya 6.25% per tahun. Maka, uang sebesar Rp36,740 di tahun 2032 adalah
setara dengan Rp34,579 di tahun 2031, dan setara dengan Rp32,544 di tahun
2030, dan demikian seterusnya hingga menjadi.. Rp10,928, di tahun 2012.
Ditambah dengan posisi ekuitas terakhir perusahaan, yaitu Rp499, maka totalnya
menjadi Rp11,427. Maka bisa disimpulkan bahwa nilai intrinsik saham CPIN pada
saat ini adalah kurang lebih 11,427, masih jauh lebih tinggi ketimbang harga
sahamnya, yang cuma 4,950. Kesimpulannya, saham CPIN masih murah! Karena
margin of safety-nya mencapai 130% (11,427 berbanding 4,950). Buffett sendiri
menganggap bahwa MOS yang cukup safe alias aman untuk sebuah saham
adalah minimal 25%.
However, angka 11,427 tadi bisa keluar sebagai nilai intrinsik untuk CPIN, kalau
kita mengasumsikan bahwa CPIN ini cukup tangguh untuk secara stabil terus
beroperasi hingga setidaknya 20 tahun kedepan. Sementara jika asumsi kita
tidak seoptimis itu, yaitu bahwa CPIN hanya akan beroperasi hingga 10 tahun
kedepan, maka nilai intrinsik CPIN, setelah penulis hitung, cuma Rp3,285 per
saham, yang dengan demikian bisa dikatakan bahwa harga saham CPIN pada
saat ini sudah overvalue. Buffett sendiri biasa menggunakan angka 10 tahun
kedepan untuk menghitung akumulasi laba bersih yang bisa dikumpulkan sebuah
perusahaan.
Dengan demikian, berikut adalah beberapa hal yang bisa disimpulkan dari ilustrasi
perhitungan nilai intrinsik dan margin of safety diatas.
Konsep dasar dari nilai intrinsik adalah, ketika misalnya sebuah perusahaan
memiliki modal bersih Rp500 milyar di neracanya (yang disebut juga nilai buku),
maka itu bukan berarti nilai intrinsik perusahaannya adalah sama persis Rp500
12
milyar juga, melainkan seharusnya lebih dari itu. Kenapa? Karena dari modal
tersebut perusahaan bisa mencetak laba, katakanlah jika ROE-nya 20% maka
labanya Rp100 milyar setahun. Laba sebesar Rp100 milyar tersebut kemudian
menjadi milik si pemegang saham, entah dalam bentuk dividen ataupun
peningkatan modal, sehingga jumlah ‘uang’ yang dimiliki si pemegang saham,
setelah setahun, akan menjadi Rp600 milyar (modal awal Rp500 plus laba bersih
100 milyar), dan demikian di tahun-tahun berikutnya akan meningkat terus seiring
dengan meningkatnya jumlah laba perusahaan. Jadi ketika ada investor yang
membeli sebuah perusahaan bagusdengan nilai ekuitas sebesar Rp500 milyar,
pada harga Rp500 milyar juga (atau jika jumlah sahamnya 1 milyar lembar, maka
itu berarti Rp500 per saham), atau dengan kata lain pada PBV 1 kali, maka dia
boleh dibilang baru dapet rejeki nomplok. Rata-rata PBV dari saham-saham di BEI
sendiri, dalam kondisi market normal alias tidak bullish ataupun bearish, adalah
2.0 – 2.2 kali. Untuk contoh CPIN diatas, PBV-nya pada harga saham 4,950
adalah 9.1 kali.
Meski demikian, harap diingat untuk menggaris bawahi kata ‘perusahaan bagus’
tadi. Karena beberapa perusahaan yang PBV-nya rendah, katakanlah kurang dari
2 kali, itu bisa saja bukan karena sahamnya murah, melainkan karena
perusahaannya emang nggak bagus, katakanlah laba bersihnya minus alias rugi,
yang itu berarti modal perusahaan kedepannya bukannya naik tapi malah turun
karena tergerus kerugian. Atau, perusahaan masih mampu mencetak laba,
namun persentase kenaikan labanya masih kalah dibanding laju inflasi (baca:
penurunan nilai uang).
Dan kalau yang penulis perhatikan sendiri, dalam kondisi market yang normal, di
BEI memang ada beberapa saham yang PBV-nya persis atau kurang dari 1 kali,
tapi biasanya mereka tidak memenuhi kriteria saham yang bisa dihitung nilai
intrinsiknya, yaitu kinerja perusahaan yang konsisten dalam jangka panjang, dan
utang yang manageable (akan dijelaskan dibawah). Sementara saham yang
memenuhi kriteria tersebut, seperti UNVR, CPIN, dan SMGR diatas, penulis kira
sampai kapanpun kita nggak akan bisa beli sahamnya pada harga yang
mencerminkan PBV 1 kali.
13
2. Perhatikan Utang Perusahaan
Seperti yang dikatakan Buffett, nilai intrinsik adalah modal awal plus akumulasi
laba yang dikumpulkan perusahaan di masa depan (yang kemudian didiskon
dengan persentase laju inflasi/suku bunga obligasi pemerintah, untuk memperoleh
nilainya pada saat ini). Tapi bagaimana jika perusahaan memiliki utang? Ya itu
berarti, perusahaan menanggung beban bunga yang akan mengurangi potensi
laba. Meski demikian, mengingat bahwa ketika sebuah perusahaan mengambil
utang, tujuannya adalah untuk menambah modal kerja yang pada akhirnya
meningkatkan pendapatan dan laba, maka jika utang (atau tambahan modal
kerja) ini bisa dikelola/dimanfaatkan dengan baik, maka jumlah peningkatan
laba yang dihasilkan akan lebih besar dari beban bunga yang harus dibayar.
Karena itulah ketika kita mencari saham yang akan dihitung nilai intrinsiknya,
salah satu kriteria yang juga tidak boleh dilewatkan adalah bahwa perusahaan
yang bersangkutan harus memiliki jumlah utang yang tidak hanya tidak terlalu
banyak, tetapi juga dikelola dengan baik, sehingga kemudian kita boleh
mengasumsikan bahwa utang tersebut tidak akan mengganggu jumlah laba. Yang
dimaksud dengan 'dikelola dengan baik' itu adalah jumlah utangnya wajar
(sebaiknya jangan terlalu tinggi dibandingkan ekuitasnya, maksimal DER 2 kali),
jumlah bunganya wajar (9 - 16% per tahun, lebih kecil lebih baik), dan perusahaan
memiliki cukup aset untuk membayarnya hingga lunas.
Dan terkait hal ini maka kita tidak bisa memilih saham-saham yang jumlah
utangnya tidak terkendali, yang dari waktu ke waktu tidak pernah dilunasi
melainkan gali lobang tutup lobang. Misalnya saham-saham Grup Bakrie.
Dalam contoh perhitungan nilai intrinsik diatas, tampak jelas bahwa dua asumsi
yang berbeda, yaitu asumsi pertama bahwa perusahaan akan beroperasi selama
20 tahun, dan asumsi kedua bahwa perusahaan hanya akan beroperasi selama
10 tahun, ternyata menghasilkan nilai intrinsik yang juga jauh berbeda, yakni
11,427 dan 3,285. Jika pada saat ini CPIN berada di posisi 5,000-an, dan stabil di
14
posisi tersebut (yang itu berarti boleh dikatakan bahwa para pelaku pasar
‘sepakat’ bahwa nilai intrinsik/harga wajar dari CPIN adalah 5,000-an), maka apa
itu artinya? Artinya, mayoritas pelaku pasar cukup optimis bahwa CPIN masih
bisa membuat pakan ayam dan nugget hingga 10 tahun kedepan, namun tidak
cukup optimis bahwa CPIN bisa melakukan itu hingga 20 tahun kedepan.
Faktanya, CPIN sendiri berdiri dan beroperasi di Indonesia sudah cukup lama,
yaitu sejak tahun 1972, dan penulis tidak tahu bagaimana track record kinerjanya
sejak tahun 1972 tersebut, tapi yang jelas sejak tahun 2005 CPIN ini untung terus.
Dan kalau dibandingkan dengan perusahaan-perusahaan lainnya di Indonesia,
yang rata-rata memiliki kinerja jangka panjang yang tidak stabil, maka track record
cemerlang sejak tahun 2005 tersebut tentunya sudah relatif cukup untuk
mengatakan bahwa ‘Saya optimis bahwa CPIN akan bisa terus beroperasi hingga
lebih dari 10 tahun mendatang, tapi mungkin nggak sampai 20 tahun juga.’
Contoh lainnya, jika kita pakai UNVR, penulis belum menghitung nilai intrinsik
UNVR ini menggunakan rumus diatas, namun dilihat dari PBV-nya yang mencapai
40-an kali, maka UNVR ini jelas sangat-sangat mahal ketimbang CPIN, yang
PBV-nya cuma 9.1 kali. Namun tahukah anda kenapa UNVR dihargai jauh lebih
mahal? Yap, benar sekali, itu karena perusahaan memiliki rekam jejak yang jauuh
lebih lama ketimbang CPIN, yaitu sejak tahun 1933, dan rasio profitabilitasnya
juga lebih besar. Artinya, jika untuk CPIN orang masih agak ragu ketika dikatakan
bahwa perusahaannya akan bertahan hingga 20 tahun kedepan, maka untuk
UNVR, jangankan 20 tahun, hingga 40 tahun kedepan juga orang masih akan
percaya bahwa perusahaan ini masih akan tetap beroperasi dengan baik.
Karena itulah, seperti yang sudah disebut diatas, track record kinerja perusahaan
dalam jangka panjang di masa lalu sangatlah penting dalam mengukur nilai
intrinsik ini. Buffett sendiri lebih suka berinvestasi pada perusahaan-perusahaan
yang sudah berdiri dan beroperasi sejak lama, ketimbang perusahaan ‘kemarin
sore’, dan itu sebabnya ia juga tidak suka saham-saham IPO. Forbes pernah
mengeluarkan daftar ‘100 Perusahaan dari Seluruh Dunia yang akan bertahan
hingga 100 Tahun Mendatang’, dan sebagian besar penghuni daftar tersebut
merupakan perusahaan-perusahaan yang sudah beroperasi sejak sangaaat lama,
seperti Coca Cola, Prudential, Unilever NV, Walt Disney, hingga L’Oreal.
15
4. Sebaiknya hindari saham komoditas
However, dalam hal ini penulis punya pandangan yang sedikit berbeda. Yang
disebut dengan komoditas, seperti emas, minyak, aneka jenis logam, batubara,
hingga crude palm oil (CPO), harganya memang berfluktuasi setiap tahun, seperti
batubara dan CPO yang pernah mahal di tahun 2010 dan 2011, sekarang menjadi
murah meriah, dan pada akhirnya menyebabkan kinerja buruk bagi perusahaan
yang memproduksi dua jenis komoditas ini. Namun dalam jangka yang benar-
benar panjang, harga dari berbagai jenis komoditas ini akan senantiasa naik
karena inflasi dan meningkatnya permintaan seiring bertambahnya jumlah
penduduk dunia. Artinya? Jika sewaktu-waktu ada saham yang jatuh karena
turunnya harga komoditasnya, contohnya seperti saham-saham batubara dan
CPO yang sudah disebut diatas, maka itu justru merupakan buying
opportunity, karena nanti kedepannya harga dua komoditas itu akan naik lagi.
Dan itu sebabnya, Lo Kheng Hong melalui Kontan.co.id mengatakan bahwa ia
pada saat ini justru sedang tertarik untuk membeli saham-saham batubara, dan
juga saham perkebunan kelapa sawit, ketimbang saham lainnya.
16
5. Ambil nilai intrinsik yang terendah, dan belilah saham pada harga
maksimal 25% dibawahnya. Lebih dari itu, berarti sahamnya mahal.
Seperti sudah disebut diatas, Buffett hanya memilih saham yang punya track
record kinerja puluhan, bahkan ratusan tahun (salah satu saham Buffett, yaitu
Coca Cola tadi, pertama kali beroperasi pada tahun 1888, persis 100 tahun ketika
Buffett mulai mengkoleksinya tahun 1988). Meski demikian, dalam menghitung
nilai intrinsik, Buffett hanya melihat akumulasi laba perusahaan dalam 10
tahun kedepan saja, tidak lebih. Dan entah ada hubungannya atau tidak, namun
dalam kaitannya menghitung harga wajar saham menggunakan PER, maka
sebuah saham bagus bisa disebut murah kalau PER-nya 10 kali (yang itu berarti,
harga sahamnya sama dengan jumlah laba dikali sepuluh tahun), atau kurang dari
itu. However, ketika Buffett pertama kali melirik Coca Cola, PER-nya ketika itu
mencapai lebih dari 20 kali, yang itu berarti kemungkinan Buffett menyadari
bahwa perusahaan ini punya potensi untuk bertahan jauh lebih lama dari sekedar
10 tahun. Dan faktanya hingga hari ini, atau 25 tahun sejak Buffett pertama kali
membelinya, Coca Cola masih nongkrong di portofolio Berkshire Hathaway.
Nah, sekarang bagaimana jika saya menemukan saham bagus dengan nilai
intrinsik (setelah saya hitung) 1,000, tapi harganya di market 1,500. Apa yang
harus saya lakukan? Menurut Buffett, ‘harga saham di pasar seringkali berbeda
dengan harga/nilai intrinsiknya, dan seringkali pula hal itu terjadi dalam waktu
yang cukup lama. Namun pada akhirnya, harga suatu saham akan bertemu
(menjadi sama) dengan nilai intrinsiknya tersebut.’ Artinya, jika anda menemukan
bahwa nilai intrinsik saham A adalah 1,000, sementara harganya di market 1,250,
maka dengan catatan anda telah menghitung nilai intrinsik tersebut dengan baik,
itu berarti hanya ada satu kemungkinan: Market, atau saham itu sendiri,
sedang bubble. Dan jika itu terjadi, maka opsi yang terbaik adalah menunggu
terjadinya ‘mekanisme alam’, dimana cepat atau lambat bursa saham (IHSG)
akan terkoreksi, dan harga-harga saham akan turun hingga mencapai harga
wajar/nilai intrinsiknya masing-masing. Dan ketika koreksi tersebut sudah cukup
dalam, dimana saham A tadi sudah turun ke katakanlah 750, maka itulah saatnya
untuk belanja.
17
Disisi lain, jika anda menemukan saham B dengan nilai intrinsik 2,000, sementara
harganya di market cuma 1,000, maka meski IHSG sedang tinggi-tingginya
sekalipun, langsung saja beli saham B tersebut. Buffett, seperti juga value
investor lainnya (kalau di Indonesia, Lo Kheng Hong), tidak begitu memperhatikan
posisi indeks ketika mengincar suatu saham. Yang mereka perhatikan hanyalah
nilai intrinsik dari saham yang mereka incar saja, apakah masih mahal atau sudah
cukup murah.
Satu hal lagi, seiring dengan pertumbuhan perusahaan, maka nilai intrinsiknya
juga akan terus naik, dan demikian pula halnya dengan harga sahamnya. So, jika
anda sewaktu-waktu sudah membeli saham pada harga yang lebih rendah dari
nilai intrinsiknya, yaitu ketika terjadi momentum koreksi pasar, maka selanjutnya
tinggal duduk saja untuk menonton perusahaan anda bertumbuh, dan juga harga
sahamnya.
Dari contoh perhitungan nilai intrinsik diatas, disebutkan bahwa ketika kita hendak
mendiskon nilai saham di masa yang akan datang agar diperoleh nilainya pada
saat ini, maka kita bisa menggunakan tingkat suku bunga sukuk sebagai patokan,
yang sebesar 6.25% tadi. However, bunga sukuk tidak selalu 6.25% per tahun,
melainkan berubah-ubah setiap saat tergantung inflasi, dimana jika inflasi
meningkat, maka bunga sukuk juga akan meningkat. Dan jika bunga sukuk
meningkat, maka harga saham akan semakin terdiskon, alias semakin rendah,
atau dengan kata lain: Nilai intrinsik suatu saham akan semakin rendah ketika
inflasi meninggi.
Dalam kondisi perekonomian negara yang normal, tingkat inflasi memang berubah
setiap saat, namun pada akhirnya akan menemui titik keseimbangan di level
tertentu. Contohnya untuk Indonesia, rata-rata inflasinya sejak selesainya krismon
1998 adalah 7% per tahun (atau tepatnya 6%, jika mengabaikan perubahan
kenaikan inflasi yang signifikan di tahun 2008), dengan inflasi pada saat ini 5.5%
(atau 5.9%, barusan udah berubah lagi). Tapi tahukah anda, berapa tingkat inflasi
kita di tahun 1998 dan 2008? Percaya atau tidak, inflasi kita di tahun 1998 pernah
18
mencapai 82.4%, dan 12.1% di tahun 2008. Dan menurut anda, bagaimana nasib
saham-saham di BEI ketika itu?
However, bagi investor jangka panjang, yang patut diwaspadai disini adalah jika
terjadi perubahan signifikan dalam perekonomian makro, dimana inflasi, dan
juga indikator perekonomian lainnya, berubah jauh lebih besar dari biasanya,
seperti yang terjadi pada 1998 dan 2008 lalu. Sementara perubahan kecil-kecil
yang terjadi hampir setiap saat, misalnya seperti inflasi yang bisa dipastikan akan
naik karena kenaikan harga BBM, itu tidak begitu penting. Sama halnya seperti
harga saham yang naik turun setiap saat, itu juga tidak penting selama laba
perusahaan serta nilai intrinsik sahamnya terus bertumbuh. Tapi jika anda lebih
condong sebagai trader, maka hal ini jelas penting.
Kesimpulan
Okay, sebenarnya selain 6 poin diatas, di kepala penulis masih ada banyak lagi
pembahasan soal ‘menghitung nilai intrinsik’ ini, sehingga artikel ini sejatinya
belum selesai, karena ternyata hal ini memang merupakan inti utama dari
berinvestasi di saham secara keseluruhan. Namun berhubung artikelnya sudah
cukup panjang, maka untuk sekarang ini kita simpulkan saja dulu artikel diatas.
Kesimpulannya, jika kita berniat untuk berinvestasi jangka panjang, maka jangan
kompromi dengan saham ‘abal-abal’, melainkan pastikan bahwa saham yang
anda pilih benar-benar bagus. Dan kriteria dari saham bagus tersebut minimal ada
tiga:
19
Selanjutnya terkait timing untuk masuk/membeli sahamnya, adalah ketika harga
suatu saham turun hingga lebih rendah minimal 25% dibanding nilai intrinsiknya
(selisih 25% ini kemudian disebut margin of safety), dan itu biasanya baru terjadi
ketika market atau IHSG dilanda koreksi, entah besar atau kecil. Karena dalam
kondisi normal, harga saham biasanya mengikuti/sama dengan nilai intrinsiknya
masing-masing, atau bahkan lebih tinggi jika market sedang bullish.
Dan karena kalkulator ini bersifat free, maka anda juga diperbolehkan meng-
sharing-nya kepada teman-teman anda sesama investor. Berikut
screenshot/tampilan kalkulatornya, klik gambar untuk memperbesar.
20
Btw, berikut adalah beberapa hal yang perlu dicatat sebelum anda menggunakan
kalkulator diatas:
21
Berikut ini adalah contoh penggunaan kalkulatornya, dalam hal ini untuk
menghitung saham Bank BRI (BBRI). Sebelumnya, kita cek dulu apakah BBRI ini
memenuhi syarat untuk bisa dihitung nilai intrinsiknya:
1. Punya kinerja konsisten, setidaknya dalam lima tahun terakhir? Ya.
Dalam kurun waktu 2008 - 2012, BBRI selalu mencatat kenaikan ekuitas
dan juga laba bersih, dan tidak pernah mencatat laba minus alias rugi
(Catat bahwa untuk saham-saham yang lain, terkadang laba
perusahaannya mengalami naik turun dalam lima tahun terakhir. Tapi
selama perusahaan tersebut tidak sampai mencatat kerugian, maka dia
juga boleh dibilang memenuhi syarat pertama ini, meski tentu, anda
sebaiknya memilih saham yang kinerja/labanya naik terus tanpa pernah
turun).
2. Memiliki Return on Equity (ROE) yang besar, dalam hal ini 10% atau
lebih? Ya. Terakhir pada tahun 2012, ROE BBRI tercatat 38.7%. Pada
tahun-tahun sebelumnya, ROE BBRI juga rata-rata segitu.
3. Utangnya kecil, atau dalam hal ini struktur permodalannya kuat? Ya.
Pada tahun 2012 BBRI mencatat CAR (capital adequacy ratio) sebesar
17.0%, jauh diatas batas minimum CAR yang ditetapkan oleh Bank
Indonesia/BI sebesar 11%, yang itu berarti jumlah modal BBRI masih
cukup tinggi dibanding jumlah utang/kewajibannya.
Dengan demikian, BBRI memenuhi syarat.
Kemudian kita hitung CAGR (compounded annual growth rate), interest rate, dan
MOS (margin of safety). Pada kolom laba awal (2008), masukkan angka laba
22
bersih BBRI di tahun 2008, yakni Rp5,958 milyar (angkanya jangan lupa harus
dimasukkan dalam milyar Rupiah, jadi yang anda ketik di kalkulatornya adalah
5,958). Sedangkan pada kolom laba akhir (2012), masukkan angka laba bersih
BBRI di tahun 2012, yakni 18,687.
Lalu pada kolom BI Rate, masukkan angka BI Rate yang terakhir, misalnya 6.50.
Dan pada kolom current price (untuk menghitung MOS), masukkan angka posisi
terakhir saham BBRI, katakanlah 8,150.
Dengan demikian semua kolom sudah terisi, dan kolom nilai intrinsik serta MOS-
nya akan sudah terisi secara otomatis, dimana kita akan memperoleh nilai intrinsik
BBRI adalah 28,426, dan MOS-nya adalah 248.8%. Silahkan dicek.
Karena itulah, jika kita menganggap bahwa growth rate yang konservatif bagi
BBRI ini adalah 15%, atau maksimal 20% per tahun, maka nilai intrinsik yang
dihasilkan juga akan menjadi lebih realistis. Sekarang kita coba, silahkan anda
masukkan angka 15 atau 20 di kolom CAGR (angka laba awal dan laba akhirnya
bisa dikosongkan dulu). Hasilnya nilai intrinsik BBRI akan menjadi masing-masing
11,747 dan 14,793, sementara MOS-nya akan menjadi masing-masing 44.1 dan
81.5%. Dengan demikian, kita bisa bisa katakan bahwa nilai intrinsik BBRI
berdasarkan asumsi konservatif, adalah somewhere
between 11,747 and 14,793.
23
Lalu bagaimana kalau CAGR perusahaan dalam lima tahun terakhir kurang dari
15%? Ya gak papa, berarti growth rate-nya bisa pakai angka CAGR tersebut (gak
usah dikurangi lagi).
24
2 Cara Mengetahui Harga Saham Murah atau Mahal ala Warren Buffett
Ukuran mahal atau murah bukan dilihat dari nilai rupiah per lembarnya.
Misalnya saja, jika saham PT. Astra International Tbk dengan
kode ASII seharga Rp6.500 per lembar, sedangkan saham PT. Perusahaan
Gas Negara hanya Rp1.700 per lembar, maka kita tidak bisa langsung
bilang kalau saham PGAS lebih murah dari ASII.
Dalam menilai murah tidaknya suatu saham maka yang dinilai adalah nilai
buku dari perusahaannya atau pun dari persentase pendapatan per lembar
sahamnya.
Adapun untuk mengetahui berapa nilai buku yang sebenarnya dari suatu
saham maka seorang investor harus merujuk pada data yang valid, yakni
dari laporan keuangan langsung perusahaan yang bersangkutan.
Dari situs IDX itulah semua emiten yang tercatat (kurang lebih 500 emiten)
bisa didownload dengan bebas laporan keuangan tahunan maupun per
kuartal-nya.
Yang sering terjadi di pasar saham dimana orang yang masih pemula sering
kali tidak mau tau soal valuasi saham, yang penting kelihatan harganya
rendah sudah langsung diputuskan untuk dibeli.
Dan terkadang juga banyak yang sudah lama bergelut di dunia ini tapi tetap
saja punya pemikiran yang keliru seperti itu. Alasannya kebanyakan karena
malas menganalisa.
Kalau anda membeli tanah atau rumah tanpa pertimbangan yang matang,
asalkan lokasinya tidak bermasalah saja, seperti soal banjir, air rob,
lingkungannya tidak aman dan lainnya, maka besar kemungkinan – jika
25
investasi tersebut ditahan dalam sekian tahun ke depan – harganya akan
naik dengan sendirinya.
Sangat jauh berbeda dengan saham, kalau awal belinya saja tidak menil ai
terlebih dahulu valuasinya, prospeknya, sektornya, pergerakan IHSG dan
segala yang terkait dengan saham tersebut, maka akan sulit menolak
petaka cut loss yang nilainya bisa hingga puluhan persen.
Tentunya semua kembali pada kesadaran tiap investor bahwa main saham
itu resikonya besar. Itulah sebabnya saham disebut juga dengan investasi
“high risk, high return”.
Hanya saja, kalau kita mau berkaca pada apa yang selama ini di praktekkan
oleh Warren Buffett, beliau ternyata hanya menggunakan 2 rasio valusi
saham – akan disebutkan di bawah.
Lebih parah lagi kalau analisanya rumit dan berbelit, megang sahmanya
lama, tapi setelah ditunggu lama ternyata rugi, kan gak ada artinya. Sudah
buang energi dan waktu, ditambah kehilangan dana karena rugi tersebut.
26
1. Rasio PER atau P/E – Price Earning Ratio
2. Rasio PBV – Price to Book Value
Sebagian ada yang lebih memilih menggunakan PER untuk menilai saham
murah atau mahal, tapi sebagian lagi ada yang lebih menggunakan PBV.
Katanya, kalau sahamnya dari bluechip atau LQ45 maka sebaiknya nilai
dengan PER, tapi kalau dari saham second liner maka gunakan PBV karena
lebih mewakili nilai dari perusahaan bersangkutan.
Untuk menghitung harga wajar saham dengan PER maka data yang
dibutuhkan adalah harga saham terbaru dan EPS.
EPS sendiri dihitung dari membagi jumlah laba bersih dengan jumlah lembar
saham yang beredar di pasar saham.
Barulah setelah ditemukan berapa EPS atau laba per sahamnya kemudian
membagi harga sahamnya dengan EPS tersebut.
Sedangkan untuk PBV, data yang wajib ada adalah harga saham dan book
value atau nilai buku per lembar saham.
Book value ini juga ada rumusnya. Caranya dengan membagi ekuitas
dengan jumlah saham yang beredar.
Menilai Valuasi Saham Jangan Hanya dari Rasio PER dan PBV
Mengapa demikian? Ya, karena tak selamanya saham murah itu bagus. Ada
juga saham yang bahkan kelewat murah tapi tidak layak invest, sebut saja
saham yang hampir bangkrut, saham gorengan dan lain sebagianya.
Selain itu, terkadang ada juga saham yang memang murah dan
fundamentalnya bagus tapi belum bisa dikatakan waktu yang tepat membeli
saham tersebut. Sehingga, jika keadaannya seperti ini, maka investor harus
‘wait and see’ atau menunggu dulu sampai keadaannya membaik.
27
Salah satu hal yang dihindari membeli saham yang sudah murah adalah
pada saat saham tersebut masih dalam keadaan downtrend atau cenderung
turun atau istilah lainnya bearish.
Jika keadaan seperti di atas terjadi maka sebaiknya dananya ditahan dulu
atau bisa juga digunakan membeli saham yang murah lainnya dan sudah
tampak uptrend atau cenderung naik pergerakan harganya.
Intinya, menilai valuasi saham murah atau mahal dengan PER dan PBV
bukanlah analisis yang sempurna, kita masih harus menilai aspek lainnya,
seperti kondisi ekonomi global dan mikro, pergerakan IHSG, nilai tukar mata
uang rupiah terhadap dollar, sektornya dan lain sebagainya yang bisa jadi
pemicu naik turunnya harga saham.
Tujuan utama dari melakukan analisa terhadap harga suatu saham adalah
untuk bisa membeli saham yang harganya murah dan menjualnya saat
harganya sudah mahal. Tentunya ini untuk menghasilkan return saham yang
tinggi dan untuk mempercepat pertumbuhan aset trader.
28