Anda di halaman 1dari 19

Kisah Sukses Lo Kheng Hong - Warren Buffett Indonesia

Lo Kheng Hong, Menjadi Kaya Sambil Tidur

Sembari ongkang-ongkang kaki, lenggang kangkung, dan tidur pulas, Lo


Kheng Hong bisa menjadi miliarder di pasar saham dan mengeduk gain
hingga 150.000%. Itukah buah filosofi ‘menjadi kaya sambil tidur’?

Asetnya di pasar saham disebut-sebut bernilai triliunan rupiah. Ia


mengoleksi sejumlah saham yang mampu mencetak keuntungan investasi
(capital gain) hingga ratusan, ribuan, bahkan ratusan ribu persen.
Tapi, jangan bayangkan pria berusia 52 tahun ini punya karakter dan
penampilan glamour, agresif, dinamis, meledak- ledak, atau
beradrenalin tinggi.

Lo Kheng Hong adalah pribadi yang bersahaja, sabar, rendah hati,


kalem, bahkan terkesan dingin. Boleh jadi, pembawaannya inilah yang
menjadikan Kheng Hong sukses sebagai investor di pasar saham.

Yang pasti, Kheng Hong tak hanya lihai memilih saham-saham yang mampu
menghasilkan gain besar. Ia juga mahir memosisikan diri di lantai
bursa, baik saat pasar bearish maupun bullish. Tapi Kheng Hong bukan
tipe investor yang sepanjang hari memelototi pergerakan harga saham
atau setiap saat mencermati perkembangan isu, rumor, dan berita di
lantai bursa, dengan kewaspadaan ekstra tinggi. Ia juga tidak
melengkapi diri dengan handphone canggih, laptop terkini, notebook,
iPad, atau perangkat paling mutakhir sejenisnya.

Kheng Hong memang lebih memosisikan diri sebagai investor jangka


panjang ketimbang investor jangka pendek atau trader. Mungkin, itulah
sebabnya, kalangan praktisi pasar saham menjulukinya sebagai ‘Warren
Buffett Indonesia’.

“Investor di pasar saham kebanyakan ikut-ikutan dan tidak mengerti


saham apa yang dibeli. Kebanyakan orang panik karena mereka tidak tahu
apa yang mereka beli. Semakin cepat panik seorang investor, semakin
menunjukkan bahwa ia tidak tahu apa-apa,” kata Lo Kheng Hong kepada
wartawan Investor Daily Nurfiyasari dan Abdul Aziz serta pewarta foto
Eko S Hilman di Jakarta, baru-baru ini.

Bagi ayah dua anak ini, lebih menguntungkan menjadi investor jangka
panjang dibanding menjadi trader. “Kalau trading, dapatnya receh dan
bisa bikin stres. Kalau pegang saham dalam jangka panjang, dapat
uangnya besar,” ujar Kheng Hong.

Kematangan, kecerdasan, ketenangan, dan kesabaran telah menjadikan Lo


Kheng Hong sebagai pemain saham sejati. Berkat itu pula ia berhasil
lolos dari krisis moneter 1997- 1998, bahkan kemudian menangguk
keuntungan hingga 150.000%. ”Waktu krisis 2008, saya sempat jatuh.
Malah sewaktu krisis 1997-1998, saya sempat jatuh hingga uang saya
1
tinggal 15%. Tapi uang itu saya tukar ke saham. Akhirnya uang saya
meningkat 150.000% sampai saat ini,” tuturnya.

Yang unik, aset kekayaan Lo Kheng Hong hampir seluruhnya dalam bentuk
saham sejumlah emiten di Bursa Efek Indonesia (BEI). Ia sama sekali
tidak tergoda untuk mendiversifikasi investasinya ke instrumen lain,
seperti emas, properti, atau kendaraan Bahkan, mantan kepala cabang
Bank Ekonomi ini sama sekali tak tertarik untuk mendirikan perusahaan,
termasuk perusahaan sekuritas.

“Saya hanya punya 15% dana cash untuk jaga-jaga supaya kalau terjadi
krisis saya masih punya uang untukmembeli saham. Saya tidak bekerja,
tidak punya perusahaan, tidak punya pelanggan seorang pun, tidak punya
karyawan seorang pun, dan tak punya bos. Hanya punya seorang sopir dan
dua pembantu,” papar Lo Kheng Hong yang sudah 22 tahun bermain saham.

Apa saja tips Lo Kheng Hong hingga ia mampu mengeduk keuntungan besar
dari pasar saham? Bagaimana harus bersikap saat pasar mengalami
bullish, bearish, atau crash? Berikut petikan lengkap wawancara dengan
pria yang mengaku berasal dari keluarga tak mampu dan kelak berniat
menyumbangkan kekayaannya kepada fakir miskin tersebut.

Kenapa Anda tertarik bermain saham?


Saya tertarik bermain saham karena saham dapat memberikan keuntungan
yang besar dan tidak capek seperti di sektor riil.

Apa enaknya menjadi investor saham?


Pertama, seorang pemain saham dapat menjadi orang yang terkaya di
dunia, seperti Warren Buffett. Banyak orang yang tidak tahu dan tidak
percaya. Mereka hanya tahu banyak orang yang rugi, orang kaya jadi
miskin karena bermain saham, bahkan ada yang bunuh diri karena saham.

Kedua, seorang pemain saham punya banyak waktu, bebas, dan tidak
dipusingkan oleh urus-mengurus karyawan, pelanggan, dan lain-lain. Di
perusahaan, status investor saham adalah sleeping partner, sehingga
waktu luangnya bisa diisi dengan hal-hal yang disukai.

Ketiga, semua keuntungan perusahaan menjadi milik pemegang saham,


padahal yang bekerja keras adalah direksi, komisaris, manajer, dan
seluruh karyawan, tetapi mereka hanya menerima gaji dan bonus. Mereka
tidak punya hak untuk mendapatkan bagian dari keuntungan perusahaan.
Memiliki perusahaan yang untung besar seperti memiliki mesin pencetak
uang.

Sejak kapan Anda bermain saham?


Saya bermain saham sejak 1989, 22 tahun yang lalu. Saya dilahirkan
dari keluarga yang berpenghasilan rendah. Orangtua hanya pegawai
kecil. Saat tamat SMA, saya belum punya biaya untuk kuliah. Kemudian
saya jadi pegawai tata usaha di bank, waktu itu saya disuruh-suruh
untuk fotokopi dan lainnya. Kemudian saya bisa bekerja sambil kuliah.

2
Saya pilih kampus yang murah sesuai kemampuan keuangan. Saat bekerja
di bank itulah, saya mulai main saham. Saya sempat menjadi kepala
cabang. Saya kemudian keluar dari bank dan fokus main saham.

Anda saat ini punya saham apa saja?


Saya punya saham sekitar 30 emiten, antara lain di Multibreeder
Adirama Indonesia Tbk (MBAI), dengan kepemilikan 8,29% lebih. Saham
saya banyaknya bukan di LQ45. Kepemilikan saya di saham lain di bawah
5%. Saya tipe investor jangka panjang.

Kalau trading, dapatnya receh, kalau jangka panjang dapat uangnya


besar. Saya pegang saham ini sudah enam tahun. Saya beli tahun 2005
seharga Rp 250 dan harganya sempat menyentuh Rp 31.500. Belum saya
jual, padahal gain-nya sudah 12.600%.

Cara Anda memilih saham?


Saya lihat manajemen. Apakah menerapkan good corporate governance
(GCG) atau tidak. Saya cari dari kompetitornya, biasanya mereka tahu.
Saya cari tahu agar tidak beli kucing dalam karung, karena ini
menyangkut harta saya. Jangan membeli sesuatu yang tidak kita tahu.
Lihat manajemen, apakah pengelolanya jujur atau tidak. Jangan sampai
pengelolanya suka ambil uang perusahaan, sehingga saya sebagai
sleeping partner dirugikan.

Istilahnya, yang menjadi pertimbangan pertama adalah manajemen, kedua


manajemen, ketiga manajemen, baru yang lain. Kemudian lihat sektor
usahanya, bagus atau tidak. Ada sektor yang kurang menarik, misalnya
sepatu, tekstil, dan garmen. Tetapi ada juga yang menarik, seperti
kelapa sawit dan pakan ayam.

Orang banyak makan ayam karena ayam merupakan sumber protein termurah
dan dampak negatifnya terhadap kesehatan lebih rendah dibanding yang
lain. Perhatikan juga apakah emiten bersangkutan mengalami pertumbuhan
atau tidak.

Kriteria pertumbuhan, konkretnya seperti apa?


Ada empat tipe perusahaan. Pertama, perusahaan yang rugi terus, ada
yang kadang untung, dan kadang merugi. Kemudian, perusahaan yang
untung besar terus, tapi stagnan. Ada juga perusahaan yang growing
secara berkala, misalnya dari Rp 2 triliun, Rp 5 triliun, dan
seterusnya. Ini perusahaan yang baik dan yang saya cari. Lihat
kinerjanya lima tahun ke belakang. Lihat masa lalunya.

Bagaimana jika lima tahun pertama tumbuh, tetapi lima tahun berikutnya
ternyata turun?
Biasanya kalau lima tahun ke belakang tumbuh, ke depannya akan
mengalami hal yang sama. Kalau sudah lima tahun berturut-turut
growing, tandanya itu super company.

Setelah melihat fundamental emiten, apa lagi yang Anda perhatikan?

3
Harga. Saya lihat dari price to earning ratio (PER)-nya. Jangan bilang
saham A karena harganya Rp 250 dibilang murah, dan saham B yang
harganya Rp 70.000 dibilang mahal. Maksudnya, saham yang harganya Rp
70.000 bisa lebih murah dibanding saham yang harganya Rp 250. Kita
lihat kemampuan emitennya dalam membukukan keuntungan.

Berapa PER yang ideal saat membeli suatu saham?


Saya pikir, yang reasonable untuk dibeli yaitu yang PER-nya di bawah
lima kali, itu sangat menarik dan potensial. Tapi biasanya perusahaan
yang sudah baik dan manajemennya bagus, PER-nya sudah di atas 10 kali.

Soal timing, kapan saat yang paling tepat untuk masuk pasar?
Yang paling bagus membeli saham adalah saat sedang krisis seperti di
Yunani, Eropa, dan AS. Ada pepatah lama yang tidak perlu dilupakan,
buy on weakness. Dan, harus be greedy when others are fearful dan
sebaliknya, be fearful when others greedy.

Bukankah itu sulit diterapkan?


Saya banyak baca buku tentang Warren Buffett. Saya belajar dari orang
yang sudah terbukti berhasil investasi di pasar saham. Dia sudah
membuktikannya, bahkan menjadi salah satu orang terkaya di dunia.
Nggak mungkin kan kalau saya belajar dari Bernard Madoff? Ha, ha, ha,
ha...

Ternyata orang seperti Madoff, mantan bos bursa Nasdaq tapi tidak bisa
mengelola uang nasabah. Ini menunjukkan bahwa dia hanya tahu semua
peraturan di bursa saham, tetapi tidak mengetahui bagaimana cara
menjadi kaya di pasar saham.

Berarti, kuncinya ada di mental?


Mental bisa bagus saat kita tahu apa yang kita beli. Kebanyakan orang
panic karena mereka tidak tahu apa yang mereka beli. Ini pelajaran
penting. Saya berikan ilustrasi. Waktu itu saya ke Harvard University,
saya tanya biaya kuliah di sana berapa? Ternyata bisa sampai US$
40.000, keluar dari sana semua jadi orang pintar. Dengan belajar
seharga US$ 40.000, kita bisa menjadi orang pintar.

Tapi di pasar saham, kita sudah habiskan puluhan miliar rupiah belum
tentu jadi pintar, malah bisa tambah bingung, seperti Madoff yang
sudah menghabiskan uang masyarakat sebesar US$ 60 miliar, apakah dia
menjadi pintar? Bisa saja di penjara dia berpikir, kenapa saham yang
dibeli turun dan yang dijual justru naik.

Jadi, intinya pintar saja tidak cukup. Untuk menjadi investor yang
kuat, kita harus mengetahui perusahaan satu per satu. Semua orang bisa
seperti itu, asalkan mau baca. Bacalah laporan keuangan emiten satu
per satu.

Jadi, Anda tipe investor fundamental?


Saya 100% fundamental karena lihat manajemennya atau pertumbuhan

4
perusahaan. Kalau teknikal, hanya grafik, semuanya diabaikan. Saya
yakin itu tidak benar. Tapi memang harus selektif. Dari 400-an saham
yang ada di bursa domestik, cukup banyak yang fundamentalnya bagus.
Terkadang, ada yang terjebak.

Anda tidak memantau pergerakan harga saham setiap saat?


Kenapa kita pusing? Karena kita beli saham yang tidak kita ketahui.
Ada yang tidak bisa tidur karena PER sahamnya 100 kali atau 200 kali.
Lalu, kenapa kita tidak bisa tidur kalau PER-nya hanya lima kali?

Bukankah investor sering terbawa arus karena faktor nonfundamental?


Saya lihat investor di pasar modal kebanyakan ikut-ikutan. Saat market
mengalami booming, semua masuk. Saat market buang-buang saham, mereka
ikut-ikutan. Mayoritas hanya ikut-ikutan dan tidak mengerti apa yang
dibeli. Jadi, belajarlah dari orang yang memang sudah berhasil dan
ikuti langkahnya. Jangan percaya saat ada iklan yang bilang dapat
untung besar saat indeks turun. Kalau bisa seperti itu, hebat sekali.
Bahkan, orang sekelas Warren Buffett saja, saat pasar saham AS turun,
dia juga mengalami kerugian.

Anda berinvestasi pada instrument selain saham?


Tidak, hanya saham. Hampir semua uang saya ada di pasar modal. Dana
tunai saya hanya 15%, sisanya portofolio saham. Kenapa saya sisakan
segitu? Itu untuk antisipasi kalau pasar modal kita jatuh, sehingga
saya masih bisa beli saham lagi.

Dari mana Anda membiayai kebutuhan hidup sehari-hari?


Saya bisa hidup dari dividen yang saya terima. Misalnya harga saham
suatu emiten yang saya beli bulan lalu Rp 610, sekarang harganya Rp
2.375, kemudian saya jual. Awalnya saya berniat menahannya untuk
jangka panjang. Tapi kalau untungnya sudah sampai 300% dalam sebulan,
saya lepas. Untuk emiten yang bagus sekali, tetap saya keep untuk
jangka panjang. Kalau emitennya kurang meyakinkan dan naiknya
signifikan, lebih baik saya lepas.

Saat krisis moneter 1997-1998 dan krisis finansial 2008, Anda


mengalami kerugian juga?
Saya sempat mengalaminya juga. Waktu krisis 2008, saya sempat jatuh,
tapi tetap be greedy when others are fearful. Malah sewaktu krisis
1997-1998, saya sempat jatuh hingga uang saya tinggal 15%. Tapi uang
itu saya tukar ke saham, karena saya tahu pasar modal akan naik lagi.
Dan, itu terbukti. Akhirnya uang saya meningkat 150.000%.

Bagaimana Anda menyikapi perkembangan harga saham saat ini, terutama


yang terkait dengan krisis utang di Eropa dan krisis finansial di AS?
Saat IHSG terkoreksi, wajar saja kalau nilai portofolio saya ikut
turun. Tetapi ketika turun, saya sama sekali tidak ikut-ikutan
menjual, bahkan saya membeli dan menambah saham saya, karena saya
yakin satu hari saham-saham saya akan naik kembali, bahkan dapat lebih
tinggi dari sebelumnya.

5
Apa filosofi hidup Anda?
Filosofi hidup saya adalah bagaimana saya bisa menjadi kaya sambil
tidur. Karena di perusahaan status saya adalah sleeping partner, saya
tidur tetapi saham-saham perusahaan saya bekerja buat saya secara
dahsyat. Getting rich while sleeping. Saya pakai waktu saya delapan
jam untuk tidur, selebihnya saya pakai untuk bersenang-senang dan
mengerjakan apa yang saya sukai.

Kisah Sukses Lo Kheng Hong – Warren Buffett Indonesia

Sembari ongkang-ongkang kaki, lenggang kangkung, dan tidur pulas, Lo


Kheng Hong bisa menjadi miliarder di pasar saham dan mengeduk gain
hingga 150.000%. Itukah buah filosofi ‘menjadi kaya sambil tidur’?

Asetnya di pasar saham disebut-sebut bernilai triliunan rupiah. Ia


mengoleksi sejumlah saham yang mampu mencetak keuntungan investasi
(capital gain) hingga ratusan, ribuan, bahkan ratusan ribu persen.
Tapi, jangan bayangkan pria berusia 52 tahun ini punya karakter dan
penampilan glamour, agresif, dinamis, meledak- ledak, atau
beradrenalin tinggi.

Lo Kheng Hong adalah pribadi yang bersahaja, sabar, rendah hati,


kalem, bahkan terkesan dingin. Boleh jadi, pembawaannya inilah yang
menjadikan Kheng Hong sukses sebagai investor di pasar saham.

Yang pasti, Kheng Hong tak hanya lihai memilih saham-saham yang mampu
menghasilkan gain besar. Ia juga mahir memosisikan diri di lantai
bursa, baik saat pasar bearish maupun bullish. Tapi Kheng Hong bukan
tipe investor yang sepanjang hari memelototi pergerakan harga saham
atau setiap saat mencermati perkembangan isu, rumor, dan berita di
lantai bursa, dengan kewaspadaan ekstra tinggi. Ia juga tidak
melengkapi diri dengan handphone canggih, laptop terkini, notebook,
iPad, atau perangkat paling mutakhir sejenisnya.

Kheng Hong memang lebih memosisikan diri sebagai investor jangka


panjang ketimbang investor jangka pendek atau trader. Mungkin, itulah
sebabnya, kalangan praktisi pasar saham menjulukinya sebagai ‘Warren
Buffett Indonesia’.

“Investor di pasar saham kebanyakan ikut-ikutan dan tidak mengerti


saham apa yang dibeli. Kebanyakan orang panik karena mereka tidak tahu
apa yang mereka beli. Semakin cepat panik seorang investor, semakin
menunjukkan bahwa ia tidak tahu apa-apa,” kata Lo Kheng Hong kepada
wartawan Investor Daily Nurfiyasari dan Abdul Aziz serta pewarta foto
Eko S Hilman di Jakarta, baru-baru ini.

Bagi ayah dua anak ini, lebih menguntungkan menjadi investor jangka
panjang dibanding menjadi trader. “Kalau trading, dapatnya receh dan
6
bisa bikin stres. Kalau pegang saham dalam jangka panjang, dapat
uangnya besar,” ujar Kheng Hong.

Kematangan, kecerdasan, ketenangan, dan kesabaran telah menjadikan Lo


Kheng Hong sebagai pemain saham sejati. Berkat itu pula ia berhasil
lolos dari krisis moneter 1997- 1998, bahkan kemudian menangguk
keuntungan hingga 150.000%. ”Waktu krisis 2008, saya sempat jatuh.
Malah sewaktu krisis 1997-1998, saya sempat jatuh hingga uang saya
tinggal 15%. Tapi uang itu saya tukar ke saham. Akhirnya uang saya
meningkat 150.000% sampai saat ini,” tuturnya.

Yang unik, aset kekayaan Lo Kheng Hong hampir seluruhnya dalam bentuk
saham sejumlah emiten di Bursa Efek Indonesia (BEI). Ia sama sekali
tidak tergoda untuk mendiversifikasi investasinya ke instrumen lain,
seperti emas, properti, atau kendaraan Bahkan, mantan kepala cabang
Bank Ekonomi ini sama sekali tak tertarik untuk mendirikan perusahaan,
termasuk perusahaan sekuritas.

“Saya hanya punya 15% dana cash untuk jaga-jaga supaya kalau terjadi
krisis saya masih punya uang untukmembeli saham. Saya tidak bekerja,
tidak punya perusahaan, tidak punya pelanggan seorang pun, tidak punya
karyawan seorang pun, dan tak punya bos. Hanya punya seorang sopir dan
dua pembantu,” papar Lo Kheng Hong yang sudah 22 tahun bermain saham.

Apa saja tips Lo Kheng Hong hingga ia mampu mengeduk keuntungan besar
dari pasar saham? Bagaimana harus bersikap saat pasar mengalami
bullish, bearish, atau crash? Berikut petikan lengkap wawancara dengan
pria yang mengaku berasal dari keluarga tak mampu dan kelak berniat
menyumbangkan kekayaannya kepada fakir miskin tersebut.

Kenapa Anda tertarik bermain saham?


Saya tertarik bermain saham karena saham dapat memberikan keuntungan
yang besar dan tidak capek seperti di sektor riil.

Apa enaknya menjadi investor saham?


Pertama, seorang pemain saham dapat menjadi orang yang terkaya di
dunia, seperti Warren Buffett. Banyak orang yang tidak tahu dan tidak
percaya. Mereka hanya tahu banyak orang yang rugi, orang kaya jadi
miskin karena bermain saham, bahkan ada yang bunuh diri karena saham.

Kedua, seorang pemain saham punya banyak waktu, bebas, dan tidak
dipusingkan oleh urus-mengurus karyawan, pelanggan, dan lain-lain. Di
perusahaan, status investor saham adalah sleeping partner, sehingga
waktu luangnya bisa diisi dengan hal-hal yang disukai.

Ketiga, semua keuntungan perusahaan menjadi milik pemegang saham,


padahal yang bekerja keras adalah direksi, komisaris, manajer, dan
seluruh karyawan, tetapi mereka hanya menerima gaji dan bonus. Mereka
tidak punya hak untuk mendapatkan bagian dari keuntungan perusahaan.

7
Memiliki perusahaan yang untung besar seperti memiliki mesin pencetak
uang.

Sejak kapan Anda bermain saham?


Saya bermain saham sejak 1989, 22 tahun yang lalu. Saya dilahirkan
dari keluarga yang berpenghasilan rendah. Orangtua hanya pegawai
kecil. Saat tamat SMA, saya belum punya biaya untuk kuliah. Kemudian
saya jadi pegawai tata usaha di bank, waktu itu saya disuruh-suruh
untuk fotokopi dan lainnya. Kemudian saya bisa bekerja sambil kuliah.
Saya pilih kampus yang murah sesuai kemampuan keuangan. Saat bekerja
di bank itulah, saya mulai main saham. Saya sempat menjadi kepala
cabang. Saya kemudian keluar dari bank dan fokus main saham.

Anda saat ini punya saham apa saja?


Saya punya saham sekitar 30 emiten, antara lain di Multibreeder
Adirama Indonesia Tbk (MBAI), dengan kepemilikan 8,29% lebih. Saham
saya banyaknya bukan di LQ45. Kepemilikan saya di saham lain di bawah
5%. Saya tipe investor jangka panjang.

Kalau trading, dapatnya receh, kalau jangka panjang dapat uangnya


besar. Saya pegang saham ini sudah enam tahun. Saya beli tahun 2005
seharga Rp 250 dan harganya sempat menyentuh Rp 31.500. Belum saya
jual, padahal gain-nya sudah 12.600%.

Cara Anda memilih saham?


Saya lihat manajemen. Apakah menerapkan good corporate governance
(GCG) atau tidak. Saya cari dari kompetitornya, biasanya mereka tahu.
Saya cari tahu agar tidak beli kucing dalam karung, karena ini
menyangkut harta saya. Jangan membeli sesuatu yang tidak kita tahu.
Lihat manajemen, apakah pengelolanya jujur atau tidak. Jangan sampai
pengelolanya suka ambil uang perusahaan, sehingga saya sebagai
sleeping partner dirugikan.

Istilahnya, yang menjadi pertimbangan pertama adalah manajemen, kedua


manajemen, ketiga manajemen, baru yang lain. Kemudian lihat sektor
usahanya, bagus atau tidak. Ada sektor yang kurang menarik, misalnya
sepatu, tekstil, dan garmen. Tetapi ada juga yang menarik, seperti
kelapa sawit dan pakan ayam.

Orang banyak makan ayam karena ayam merupakan sumber protein termurah
dan dampak negatifnya terhadap kesehatan lebih rendah dibanding yang
lain. Perhatikan juga apakah emiten bersangkutan mengalami pertumbuhan
atau tidak.

Kriteria pertumbuhan, konkretnya seperti apa?


Ada empat tipe perusahaan. Pertama, perusahaan yang rugi terus, ada
yang kadang untung, dan kadang merugi. Kemudian, perusahaan yang
untung besar terus, tapi stagnan. Ada juga perusahaan yang growing
secara berkala, misalnya dari Rp 2 triliun, Rp 5 triliun, dan

8
seterusnya. Ini perusahaan yang baik dan yang saya cari. Lihat
kinerjanya lima tahun ke belakang. Lihat masa lalunya.

Bagaimana jika lima tahun pertama tumbuh, tetapi lima tahun berikutnya
ternyata turun?
Biasanya kalau lima tahun ke belakang tumbuh, ke depannya akan
mengalami hal yang sama. Kalau sudah lima tahun berturut-turut
growing, tandanya itu super company.

Setelah melihat fundamental emiten, apa lagi yang Anda perhatikan?


Harga. Saya lihat dari price to earning ratio (PER)-nya. Jangan bilang
saham A karena harganya Rp 250 dibilang murah, dan saham B yang
harganya Rp 70.000 dibilang mahal. Maksudnya, saham yang harganya Rp
70.000 bisa lebih murah dibanding saham yang harganya Rp 250. Kita
lihat kemampuan emitennya dalam membukukan keuntungan.

Berapa PER yang ideal saat membeli suatu saham?


Saya pikir, yang reasonable untuk dibeli yaitu yang PER-nya di bawah
lima kali, itu sangat menarik dan potensial. Tapi biasanya perusahaan
yang sudah baik dan manajemennya bagus, PER-nya sudah di atas 10 kali.

Soal timing, kapan saat yang paling tepat untuk masuk pasar?
Yang paling bagus membeli saham adalah saat sedang krisis seperti di
Yunani, Eropa, dan AS. Ada pepatah lama yang tidak perlu dilupakan,
buy on weakness. Dan, harus be greedy when others are fearful dan
sebaliknya, be fearful when others greedy.

Bukankah itu sulit diterapkan?


Saya banyak baca buku tentang Warren Buffett. Saya belajar dari orang
yang sudah terbukti berhasil investasi di pasar saham. Dia sudah
membuktikannya, bahkan menjadi salah satu orang terkaya di dunia.
Nggak mungkin kan kalau saya belajar dari Bernard Madoff? Ha, ha, ha,
ha…

Ternyata orang seperti Madoff, mantan bos bursa Nasdaq tapi tidak bisa
mengelola uang nasabah. Ini menunjukkan bahwa dia hanya tahu semua
peraturan di bursa saham, tetapi tidak mengetahui bagaimana cara
menjadi kaya di pasar saham.

Berarti, kuncinya ada di mental?


Mental bisa bagus saat kita tahu apa yang kita beli. Kebanyakan orang
panic karena mereka tidak tahu apa yang mereka beli. Ini pelajaran
penting. Saya berikan ilustrasi. Waktu itu saya ke Harvard University,
saya tanya biaya kuliah di sana berapa? Ternyata bisa sampai US$
40.000, keluar dari sana semua jadi orang pintar. Dengan belajar
seharga US$ 40.000, kita bisa menjadi orang pintar.

Tapi di pasar saham, kita sudah habiskan puluhan miliar rupiah belum
tentu jadi pintar, malah bisa tambah bingung, seperti Madoff yang
sudah menghabiskan uang masyarakat sebesar US$ 60 miliar, apakah dia
9
menjadi pintar? Bisa saja di penjara dia berpikir, kenapa saham yang
dibeli turun dan yang dijual justru naik.

Jadi, intinya pintar saja tidak cukup. Untuk menjadi investor yang
kuat, kita harus mengetahui perusahaan satu per satu. Semua orang bisa
seperti itu, asalkan mau baca. Bacalah laporan keuangan emiten satu
per satu.

Jadi, Anda tipe investor fundamental?


Saya 100% fundamental karena lihat manajemennya atau pertumbuhan
perusahaan. Kalau teknikal, hanya grafik, semuanya diabaikan. Saya
yakin itu tidak benar. Tapi memang harus selektif. Dari 400-an saham
yang ada di bursa domestik, cukup banyak yang fundamentalnya bagus.
Terkadang, ada yang terjebak.

Anda tidak memantau pergerakan harga saham setiap saat?


Kenapa kita pusing? Karena kita beli saham yang tidak kita ketahui.
Ada yang tidak bisa tidur karena PER sahamnya 100 kali atau 200 kali.
Lalu, kenapa kita tidak bisa tidur kalau PER-nya hanya lima kali?

Bukankah investor sering terbawa arus karena faktor nonfundamental?


Saya lihat investor di pasar modal kebanyakan ikut-ikutan. Saat market
mengalami booming, semua masuk. Saat market buang-buang saham, mereka
ikut-ikutan. Mayoritas hanya ikut-ikutan dan tidak mengerti apa yang
dibeli. Jadi, belajarlah dari orang yang memang sudah berhasil dan
ikuti langkahnya. Jangan percaya saat ada iklan yang bilang dapat
untung besar saat indeks turun. Kalau bisa seperti itu, hebat sekali.
Bahkan, orang sekelas Warren Buffett saja, saat pasar saham AS turun,
dia juga mengalami kerugian.

Anda berinvestasi pada instrument selain saham?


Tidak, hanya saham. Hampir semua uang saya ada di pasar modal. Dana
tunai saya hanya 15%, sisanya portofolio saham. Kenapa saya sisakan
segitu? Itu untuk antisipasi kalau pasar modal kita jatuh, sehingga
saya masih bisa beli saham lagi.

Dari mana Anda membiayai kebutuhan hidup sehari-hari?


Saya bisa hidup dari dividen yang saya terima. Misalnya harga saham
suatu emiten yang saya beli bulan lalu Rp 610, sekarang harganya Rp
2.375, kemudian saya jual. Awalnya saya berniat menahannya untuk
jangka panjang. Tapi kalau untungnya sudah sampai 300% dalam sebulan,
saya lepas. Untuk emiten yang bagus sekali, tetap saya keep untuk
jangka panjang. Kalau emitennya kurang meyakinkan dan naiknya
signifikan, lebih baik saya lepas.

Saat krisis moneter 1997-1998 dan krisis finansial 2008, Anda


mengalami kerugian juga?
Saya sempat mengalaminya juga. Waktu krisis 2008, saya sempat jatuh,
tapi tetap be greedy when others are fearful. Malah sewaktu krisis
1997-1998, saya sempat jatuh hingga uang saya tinggal 15%. Tapi uang

10
itu saya tukar ke saham, karena saya tahu pasar modal akan naik lagi.
Dan, itu terbukti. Akhirnya uang saya meningkat 150.000%.

Bagaimana Anda menyikapi perkembangan harga saham saat ini, terutama


yang terkait dengan krisis utang di Eropa dan krisis finansial di AS?
Saat IHSG terkoreksi, wajar saja kalau nilai portofolio saya ikut
turun. Tetapi ketika turun, saya sama sekali tidak ikut-ikutan
menjual, bahkan saya membeli dan menambah saham saya, karena saya
yakin satu hari saham-saham saya akan naik kembali, bahkan dapat lebih
tinggi dari sebelumnya.

Apa filosofi hidup Anda?


Filosofi hidup saya adalah bagaimana saya bisa menjadi kaya sambil
tidur. Karena di perusahaan status saya adalah sleeping partner, saya
tidur tetapi saham-saham perusahaan saya bekerja buat saya secara
dahsyat. Getting rich while sleeping. Saya pakai waktu saya delapan
jam untuk tidur, selebihnya saya pakai untuk bersenang-senang dan
mengerjakan apa yang saya sukai.

Warren Buffett ala Indonesia?


January 7, 2013

By admin

Banyak orang berasumsi bahwa mayoritas pemain di bursa saham Indonesia adalah trader dan
spekulan (short-term). Pertanyaannya, adakah pemain di bursa saham kita yang benar-benar
investor fundamental (long-term)?

Sebenarnya beberapa pemain kelas kakap di negeri ini. Yang cukup besar dan menggurita
mungkin bisa disebut Hary Tanoesoedibjo (MNC group) dan James Riady (Lippo group). Ada
juga Danny Tanoto yang membandari Central Korporindo Internasional (CNKO) atau Benny
Tjokro yang menjaga Mitra Adiperkasa (MAPI). Keduanya masih terafiliasi. Benny sendiri
dulunya adalah putera mahkota dari Pemilik Batik Keris di Solo. Benny Tjokro juga ada
kepemilikan di Rukun Rajarja (RAJA).

Berikutnya, ada Eddy Kusnadi Sariaatmadja yang merupakan eksekutif di PP London Sumatera
Indonesia (LSIP), yang juga pemilik Elang Mahkota Teknologi (EMTK) dan Surya Citra Media
(SCMA). Nama lain yang juga sering muncul adalah Edy Suwarno, yang berada di belakang
Delta Dunia Makmur (DOID) dan Pan Brothers (PBRX). Ada juga nama Benny Wirawansa yang
membidani pergantian pemilik BUMA dari PT. Texta Indonesia ke Northstar. Benny Wirawansa
juga ada di belakang DOID dan Bumi Teknokultura Unggul (BTEK). Nama lain yang juga
cukup dikenal adalah Prem Harjani dari Renaissance Capital. Sayangnya, nama-nama tersebut di
atas belum bisa disebut sebagai investor jangka panjang.

Tapi ada dua nama yang cukup menarik perhatian saya: Surono Subekti dan Lo Kheng Hong.

Surono Subekti adalah orang di balik Multi Indocitra (MICE). Ia melakukan pembelian di harga
rata-rata Rp 110-180 per lembar lewat broker Bhakti Sekuritas (EP). Surono Subekti adalah
tipikal investor fundamental sejati. Dia berani masuk sekalipun tidak ada berita atau corporate
11
action. Selain MICE, Surono Subekti juga memiliki Asuransi Multi Artha Guna (AMAG) dalam
jumlah besar. Beliau ini lulusan Akuntansi UNAIR, pernah bekerja di Bentoel dan Unilever,
namun sekarang menjadi dosen dan juga menulis buku.

Tapi yang mungkin paling bisa disebut sebagai Warren Buffett-nya Indonesia adalah Lo Kheng
Hong. Kakek ini mudah dikenali karena sering hadir pada RUPS/annual meeting dengan
mengenakan tracktop atau varsity jacket warna merah marun khas Berkshire Hathaway. Orang
yang mengenakan tracktop/jacket tersebut hanya orang-orang yang sudah lama memegang
saham Berkshire Hathaway (BRK) dan langganan hadir di annual meeting-nya di Omaha.

Kakek Lo Kheng Hong ini kabarnya punya sekitar 200 ribu lot saham AMAG di harga beli
sekitar Rp 80 per saham. Selain itu, nama kakek ini juga sering muncul sebagai pemegang saham
yang cukup besar di saham-saham lain seperti Gajah Tunggal (GJTL), Multibreeder Adirama
Indonesia (MBAI), dan beberapa lagi lainnya. Wisdom dan insight kakek ini sungguh sangat
berharga. Anda bisa melihat dari pertanyaan-pertanyaan yang beliau ajukan ketika hadir di
RUPS.

Biarpun tidak mengenal dua nama terakhir tersebut secara pribadi, menurut saya, ada beberapa
hal menarik yang bisa kita pelajari bersama. Pertama, menjadi investor jangka panjang perlu
memahami potensi ekonomi, industri, dan kebijakan politik terkait dengan industri tersebut.
Kedua, kita perlu menemukan perusahaan yang terbaik di bidang industrinya dengan valuasi
yang relatif murah dibandingkan perusahaan sejenis namun dengan potensi pertumbuhan yang
tinggi.

Berikutnya, kita perlu menentukan siklus pergerakan harga saham untuk menilai kapan waktu
yang tepat untuk masuk dan keluar. Tak kalah penting, investor fundamental juga perlu
kesabaran tingkat tinggi hingga saham yang dimilikinya akan ter-unlock dan melejit ke harga
yang “seharusnya.” Dalam konteks ini, kita perlu tidak bicara bulanan atau tahunan, melainkan
bisa belasan atau bahkan puluhan tahun.

Akhir kata, berinvestasilah sejak dini supaya Anda bisa memanfaatkan compounding power
secara maksimal. Kedua, kalau Anda tidak mahir menentukan siklus/gelombang, maka
gunakanlah metode sederhana dollar cost averaging dalam berinvestasi.

Lo Kheng Hong, Menjadi Kaya Sambil Tidur


January 7, 2013

Sembari ongkang-ongkang kaki, lenggang kangkung, dan tidur pulas, Lo Kheng Hong bisa
menjadi miliarder di pasar saham dan mengeduk gain hingga 150.000%. Itukah buah filosofi
‘menjadi kaya sambil tidur’?

Asetnya di pasar saham disebut-sebut bernilai triliunan rupiah. Ia mengoleksi sejumlah saham
yang mampu mencetak keuntungan investasi (capital gain) hingga ratusan, ribuan, bahkan
ratusan ribu persen. Tapi, jangan bayangkan pria berusia 52 tahun ini punya karakter dan
penampilan glamour, agresif, dinamis, meledak- ledak, atau beradrenalin tinggi.

Lo Kheng Hong adalah pribadi yang bersahaja, sabar, rendah hati, kalem, bahkan terkesan
dingin. Boleh jadi, pembawaannya inilah yang menjadikan Kheng Hong sukses sebagai investor
di pasar saham.
12
Yang pasti, Kheng Hong tak hanya lihai memilih saham-saham yang mampu menghasilkan gain
besar. Ia juga mahir memosisikan diri di lantai bursa, baik saat pasar bearish maupun bullish.
Tapi Kheng Hong bukan tipe investor yang sepanjang hari memelototi pergerakan harga saham
atau setiap saat mencermati perkembangan isu, rumor, dan berita di lantai bursa, dengan
kewaspadaan ekstra tinggi. Ia juga tidak melengkapi diri dengan handphone canggih, laptop
terkini, notebook, iPad, atau perangkat paling mutakhir sejenisnya.

Kheng Hong memang lebih memosisikan diri sebagai investor jangka panjang ketimbang
investor jangka pendek atau trader. Mungkin, itulah sebabnya, kalangan praktisi pasar saham
menjulukinya sebagai ‘Warren Buffett Indonesia’.

“Investor di pasar saham kebanyakan ikut-ikutan dan tidak mengerti saham apa yang dibeli.
Kebanyakan orang panik karena mereka tidak tahu apa yang mereka beli. Semakin cepat panik
seorang investor, semakin menunjukkan bahwa ia tidak tahu apa-apa,” kata Lo Kheng Hong
kepada wartawan Investor Daily Nurfiyasari dan Abdul Aziz serta pewarta foto Eko S Hilman
di Jakarta, baru-baru ini.

Bagi ayah dua anak ini, lebih menguntungkan menjadi investor jangka panjang dibanding
menjadi trader. “Kalau trading, dapatnya receh dan bisa bikin stres. Kalau pegang saham dalam
jangka panjang, dapat uangnya besar,” ujar Kheng Hong.

Kematangan, kecerdasan, ketenangan, dan kesabaran telah menjadikan Lo Kheng Hong sebagai
pemain saham sejati. Berkat itu pula ia berhasil lolos dari krisis moneter 1997- 1998, bahkan
kemudian menangguk keuntungan hingga 150.000%. ”Waktu krisis 2008, saya sempat jatuh.
Malah sewaktu krisis 1997-1998, saya sempat jatuh hingga uang saya tinggal 15%. Tapi uang itu
saya tukar ke saham. Akhirnya uang saya meningkat 150.000% sampai saat ini,” tuturnya.

Yang unik, aset kekayaan Lo Kheng Hong hampir seluruhnya dalam bentuk saham sejumlah
emiten di Bursa Efek Indonesia (BEI). Ia sama sekali tidak tergoda untuk mendiversifikasi
investasinya ke instrumen lain, seperti emas, properti, atau kendaraan Bahkan, mantan kepala
cabang Bank Ekonomi ini sama sekali tak tertarik untuk mendirikan perusahaan, termasuk
perusahaan sekuritas.

“Saya hanya punya 15% dana cash untuk jaga-jaga supaya kalau terjadi krisis saya masih punya
uang untukmembeli saham. Saya tidak bekerja, tidak punya perusahaan, tidak punya pelanggan
seorang pun, tidak punya karyawan seorang pun, dan tak punya bos. Hanya punya seorang sopir
dan dua pembantu,” papar Lo Kheng Hong yang sudah 22 tahun bermain saham.

Apa saja tips Lo Kheng Hong hingga ia mampu mengeduk keuntungan besar dari pasar saham?
Bagaimana harus bersikap saat pasar mengalami bullish, bearish, atau crash? Berikut petikan
lengkap wawancara dengan pria yang mengaku berasal dari keluarga tak mampu dan kelak
berniat menyumbangkan kekayaannya kepada fakir miskin tersebut.

Kenapa Anda tertarik bermain saham?


Saya tertarik bermain saham karena saham dapat memberikan keuntungan yang besar dan tidak
capek seperti di sektor riil.

Apa enaknya menjadi investor saham?


Pertama, seorang pemain saham dapat menjadi orang yang terkaya di dunia, seperti Warren

13
Buffett. Banyak orang yang tidak tahu dan tidak percaya. Mereka hanya tahu banyak orang yang
rugi, orang kaya jadi miskin karena bermain saham, bahkan ada yang bunuh diri karena saham.

Kedua, seorang pemain saham punya banyak waktu, bebas, dan tidak dipusingkan oleh urus-
mengurus karyawan, pelanggan, dan lain-lain. Di perusahaan, status investor saham adalah
sleeping partner, sehingga waktu luangnya bisa diisi dengan hal-hal yang disukai.

Ketiga, semua keuntungan perusahaan menjadi milik pemegang saham, padahal yang bekerja
keras adalah direksi, komisaris, manajer, dan seluruh karyawan, tetapi mereka hanya menerima
gaji dan bonus. Mereka tidak punya hak untuk mendapatkan bagian dari keuntungan perusahaan.
Memiliki perusahaan yang untung besar seperti memiliki mesin pencetak uang.

Sejak kapan Anda bermain saham?


Saya bermain saham sejak 1989, 22 tahun yang lalu. Saya dilahirkan dari keluarga yang
berpenghasilan rendah. Orangtua hanya pegawai kecil. Saat tamat SMA, saya belum punya biaya
untuk kuliah. Kemudian saya jadi pegawai tata usaha di bank, waktu itu saya disuruh-suruh
untuk fotokopi dan lainnya. Kemudian saya bisa bekerja sambil kuliah. Saya pilih kampus yang
murah sesuai kemampuan keuangan. Saat bekerja di bank itulah, saya mulai main saham. Saya
sempat menjadi kepala cabang. Saya kemudian keluar dari bank dan fokus main saham.

Anda saat ini punya saham apa saja?


Saya punya saham sekitar 30 emiten, antara lain di Multibreeder Adirama Indonesia Tbk
(MBAI), dengan kepemilikan 8,29% lebih. Saham saya banyaknya bukan di LQ45. Kepemilikan
saya di saham lain di bawah 5%. Saya tipe investor jangka panjang.

Kalau trading, dapatnya receh, kalau jangka panjang dapat uangnya besar. Saya pegang saham
ini sudah enam tahun. Saya beli tahun 2005 seharga Rp 250 dan harganya sempat menyentuh Rp
31.500. Belum saya jual, padahal gain-nya sudah 12.600%.

Cara Anda memilih saham?


Saya lihat manajemen. Apakah menerapkan good corporate governance (GCG) atau tidak. Saya
cari dari kompetitornya, biasanya mereka tahu. Saya cari tahu agar tidak beli kucing dalam
karung, karena ini menyangkut harta saya. Jangan membeli sesuatu yang tidak kita tahu. Lihat
manajemen, apakah pengelolanya jujur atau tidak. Jangan sampai pengelolanya suka ambil uang
perusahaan, sehingga saya sebagai sleeping partner dirugikan.

Istilahnya, yang menjadi pertimbangan pertama adalah manajemen, kedua manajemen, ketiga
manajemen, baru yang lain. Kemudian lihat sektor usahanya, bagus atau tidak. Ada sektor yang
kurang menarik, misalnya sepatu, tekstil, dan garmen. Tetapi ada juga yang menarik, seperti
kelapa sawit dan pakan ayam.

Orang banyak makan ayam karena ayam merupakan sumber protein termurah dan dampak
negatifnya terhadap kesehatan lebih rendah dibanding yang lain. Perhatikan juga apakah emiten
bersangkutan mengalami pertumbuhan atau tidak.

Kriteria pertumbuhan, konkretnya seperti apa?


Ada empat tipe perusahaan. Pertama, perusahaan yang rugi terus, ada yang kadang untung, dan
kadang merugi. Kemudian, perusahaan yang untung besar terus, tapi stagnan. Ada juga
perusahaan yang growing secara berkala, misalnya dari Rp 2 triliun, Rp 5 triliun, dan seterusnya.

14
Ini perusahaan yang baik dan yang saya cari. Lihat kinerjanya lima tahun ke belakang. Lihat
masa lalunya.

Bagaimana jika lima tahun pertama tumbuh, tetapi lima tahun berikutnya ternyata
turun?
Biasanya kalau lima tahun ke belakang tumbuh, ke depannya akan mengalami hal yang sama.
Kalau sudah lima tahun berturut-turut growing, tandanya itu super company.

Setelah melihat fundamental emiten, apa lagi yang Anda perhatikan?


Harga. Saya lihat dari price to earning ratio (PER)-nya. Jangan bilang saham A karena harganya
Rp 250 dibilang murah, dan saham B yang harganya Rp 70.000 dibilang mahal. Maksudnya,
saham yang harganya Rp 70.000 bisa lebih murah dibanding saham yang harganya Rp 250. Kita
lihat kemampuan emitennya dalam membukukan keuntungan.

Berapa PER yang ideal saat membeli suatu saham?


Saya pikir, yang reasonable untuk dibeli yaitu yang PER-nya di bawah lima kali, itu sangat
menarik dan potensial. Tapi biasanya perusahaan yang sudah baik dan manajemennya bagus,
PER-nya sudah di atas 10 kali.

Soal timing, kapan saat yang paling tepat untuk masuk pasar?
Yang paling bagus membeli saham adalah saat sedang krisis seperti di Yunani, Eropa, dan AS.
Ada pepatah lama yang tidak perlu dilupakan, buy on weakness. Dan, harus be greedy when
others are fearful dan sebaliknya, be fearful when others greedy.

Bukankah itu sulit diterapkan?


Saya banyak baca buku tentang Warren Buffett. Saya belajar dari orang yang sudah terbukti
berhasil investasi di pasar saham. Dia sudah membuktikannya, bahkan menjadi salah satu orang
terkaya di dunia. Nggak mungkin kan kalau saya belajar dari Bernard Madoff? Ha, ha, ha, ha…

Ternyata orang seperti Madoff, mantan bos bursa Nasdaq tapi tidak bisa mengelola uang
nasabah. Ini menunjukkan bahwa dia hanya tahu semua peraturan di bursa saham, tetapi tidak
mengetahui bagaimana cara menjadi kaya di pasar saham.

Berarti, kuncinya ada di mental?


Mental bisa bagus saat kita tahu apa yang kita beli. Kebanyakan orang panic karena mereka tidak
tahu apa yang mereka beli. Ini pelajaran penting. Saya berikan ilustrasi. Waktu itu saya ke
Harvard University, saya tanya biaya kuliah di sana berapa? Ternyata bisa sampai US$ 40.000,
keluar dari sana semua jadi orang pintar. Dengan belajar seharga US$ 40.000, kita bisa menjadi
orang pintar.

Tapi di pasar saham, kita sudah habiskan puluhan miliar rupiah belum tentu jadi pintar, malah
bisa tambah bingung, seperti Madoff yang sudah menghabiskan uang masyarakat sebesar US$
60 miliar, apakah dia menjadi pintar? Bisa saja di penjara dia berpikir, kenapa saham yang dibeli
turun dan yang dijual justru naik.

Jadi, intinya pintar saja tidak cukup. Untuk menjadi investor yang kuat, kita harus mengetahui
perusahaan satu per satu. Semua orang bisa seperti itu, asalkan mau baca. Bacalah laporan
keuangan emiten satu per satu.

15
Jadi, Anda tipe investor fundamental?
Saya 100% fundamental karena lihat manajemennya atau pertumbuhan perusahaan. Kalau
teknikal, hanya grafik, semuanya diabaikan. Saya yakin itu tidak benar. Tapi memang harus
selektif. Dari 400-an saham yang ada di bursa domestik, cukup banyak yang fundamentalnya
bagus. Terkadang, ada yang terjebak.

Anda tidak memantau pergerakan harga saham setiap saat?


Kenapa kita pusing? Karena kita beli saham yang tidak kita ketahui. Ada yang tidak bisa tidur
karena PER sahamnya 100 kali atau 200 kali. Lalu, kenapa kita tidak bisa tidur kalau PER-nya
hanya lima kali?

Bukankah investor sering terbawa arus karena faktor nonfundamental?


Saya lihat investor di pasar modal kebanyakan ikut-ikutan. Saat market mengalami booming,
semua masuk. Saat market buang-buang saham, mereka ikut-ikutan. Mayoritas hanya ikut-ikutan
dan tidak mengerti apa yang dibeli. Jadi, belajarlah dari orang yang memang sudah berhasil dan
ikuti langkahnya. Jangan percaya saat ada iklan yang bilang dapat untung besar saat indeks
turun. Kalau bisa seperti itu, hebat sekali. Bahkan, orang sekelas Warren Buffett saja, saat pasar
saham AS turun, dia juga mengalami kerugian.

Anda berinvestasi pada instrument selain saham?


Tidak, hanya saham. Hampir semua uang saya ada di pasar modal. Dana tunai saya hanya 15%,
sisanya portofolio saham. Kenapa saya sisakan segitu? Itu untuk antisipasi kalau pasar modal
kita jatuh, sehingga saya masih bisa beli saham lagi.

Dari mana Anda membiayai kebutuhan hidup sehari-hari?


Saya bisa hidup dari dividen yang saya terima. Misalnya harga saham suatu emiten yang saya
beli bulan lalu Rp 610, sekarang harganya Rp 2.375, kemudian saya jual. Awalnya saya berniat
menahannya untuk jangka panjang. Tapi kalau untungnya sudah sampai 300% dalam sebulan,
saya lepas. Untuk emiten yang bagus sekali, tetap saya keep untuk jangka panjang. Kalau
emitennya kurang meyakinkan dan naiknya signifikan, lebih baik saya lepas.

Saat krisis moneter 1997-1998 dan krisis finansial 2008, Anda mengalami kerugian juga?
Saya sempat mengalaminya juga. Waktu krisis 2008, saya sempat jatuh, tapi tetap be greedy
when others are fearful. Malah sewaktu krisis 1997-1998, saya sempat jatuh hingga uang saya
tinggal 15%. Tapi uang itu saya tukar ke saham, karena saya tahu pasar modal akan naik lagi.
Dan, itu terbukti. Akhirnya uang saya meningkat 150.000%.

Bagaimana Anda menyikapi perkembangan harga saham saat ini, terutama yang terkait
dengan krisis utang di Eropa dan krisis finansial di AS?
Saat IHSG terkoreksi, wajar saja kalau nilai portofolio saya ikut turun. Tetapi ketika turun, saya
sama sekali tidak ikut-ikutan menjual, bahkan saya membeli dan menambah saham saya, karena
saya yakin satu hari saham-saham saya akan naik kembali, bahkan dapat lebih tinggi dari
sebelumnya.

Apa filosofi hidup Anda?


Filosofi hidup saya adalah bagaimana saya bisa menjadi kaya sambil tidur. Karena di perusahaan
status saya adalah sleeping partner, saya tidur tetapi saham-saham perusahaan saya bekerja buat
saya secara dahsyat. Getting rich while sleeping. Saya pakai waktu saya delapan jam untuk tidur,
selebihnya saya pakai untuk bersenang-senang dan mengerjakan apa yang saya sukai.

16
Resep Memilih Saham yang Menguntungkan ala Lo Kheng
Hong
Ilustrasi: http://www.surabayapost.co.id

BISNIS.COM,JAKARTA–Bagi Anda investor pasar saham di Indonesia, tentu tidak asing


dengan sosok Lo Kheng Hong. Kalaupun tidak mengenal secara pribadi orangnya, minimal
pernah mendengar nama yang kerap disebut-sebut sebagai Warren Buffet-nya Indonesia.

Lo Kheng Hong merupakan investor saham yang dinilai cukup sukses. Di usia yang tak lagi
muda, dia kini kerap mondar mandir diminta menjadi pembicara untuk sekedar berbagi kiat
sukses berinvestasi di pasar modal.

Gaya bertuturnya kalem, pelan, dan tak ada kesan menggurui. Dia sering menggambarkan gaya
investasi sahamnya seperti halnya orang tidur.

Jika seorang investor saham jeli memilih saham perusahaan yang berkinerja dan prospek yang
baik, tentu harga saham perusahaan itu berpeluang akan terus naik.

Artinya, tanpa perlu memantau dari hari ke hari perkembangan harga sahamnya di pasar, sebuah
perusahaan yang berkinerja baik tentu akan memberi imbal hasil yang optimal ke depan.

Ada sisi menarik yang dapat dipelajari dari Lo Kheng Hong, terutama dari cara dan gaya dia
menganalisa prospek saham sebuah perusahaan.

Hal pertama yang digarisbawahi olehnya, setiap investor saham harus rajin menggali sebanyak
mungkin informasi, baik melalui keterbukaan informasi yang disampaikan perusahaan kepada
Bursa Efek Indonesia (BEI), membaca referensi lainnya, atau paling mudah dengan membaca
koran.

“Koran itu sumber informasi berharga. Saya langganan empat koran. Bayangkan, hanya dengan
membayar Rp360.000 per bulan, saya bisa dapat banyak informasi dari sana,” ujarnya dalam
sebuah seminar “Market Update, Economic Outlook, How To Be A Succes Investor” IDX
Investor Club, Sabtu (29/6/2013).

Selain itu, dia memegang betul prinsip ‘buy what you know and know what you buy’. Kenali
betul perusahaan yang Anda beli sahamnya.

Hal ini untuk memastikan kinerja perusahaan ke depan sehingga dana investasi yang dikeluarkan
benar-benar akan memberi keuntungan.

Meski banyak bermunculan berbagai macam model analisa mengenai pergerakan harga saham,
Lo Kheng Hong menilai itu semua bukan menjadi tolak ukur utama.

Meskipun dia secara pribadi lebih percaya diri menggunakan analisa fundamental untuk memilih
sebuah saham perusahaan tercatat.

Dia memberi istilah analisa saham secara fundamental maupun teknikal ibarat kandang dan sapi.

17
Sering kali, katanya, investor saham hanya melihat sapi yang ada didalam kandang. Uniknya
lagi, sapi yang diperhatikan betul itu hanya buntut-nya saja.

“Selama buntut sapi masih bergerak naik turun, maka investor melihat itu sebagai peluang untuk
mendapatkan untung. Dia tidak melihat bagaimana kandangnya atau kondisi sapinya,” katanya.

Dengan kata lain, pemahaman secara fundamental yang di antaranya mencakup bisnis yang
dijalankan perusahaan, bagaimana prospek pasarnya, lebih kerap dikesampingkan.

Investor lebih senang melihat fluktuasi pergerakan harga sahamnya dibandingkan dengan
memperhatikan dan mendalami kinerja perusahaannya.

Dia mengaku hampir semua investasi yang dijalankan bersifat jangka panjang dan selama ini
memberi keuntungan yang menjanjikan.

Dengan model investasi jangka panjang, saat kondisi pasar anjlok seperti yang terjadi dalam
sebulan terakhir lalu, ‘tidurnya’ tetap saja nyenyak karena gaya investasi jangka panjang
dipilihnya.

“Tuhan itu Maha Pengampun, tapi pasar saham tak mengenal ampun,” jelasnya.

4 Jurus Beli Saham Ala Lo Kheng Hong


“…tidak perlu menunggu saat yang tepat, apalagi menunggu rekomendasi dari orang lain”

Lo Kheng Hong sangat terinspirasi oleh Warren Buffet. Berdasarkan pengalamannya, ia


menetapkan empat syarat yang harus dipenuhi sebelum memutuskan untuk membeli saham
tertentu. Syarat yang pertama dan paling utama adalah manajemen, termasuk pemegang saham
pengendali yang menunjuk jajaran manajemen.

Ini penting karena menjadi investor di suatu perusahaan berarti mempercayakan seluruh harta
milik kita ke manajemen.  “Jika dalam membeli properti pertimbangan utamanya adalah lokasi,
lokasi, dan lokasi. Maka dalam membeli saham yang menjadi pertimbangan utama adalah
manajemen, manajemen, dan manajemen.”

Meski suatu perusahaan atau emiten memiliki fundamental bisnis yang sangat bagus, bagi Kheng
Hong, hal itu tidak akan berarti apa pun jika manajemennya ternyata suka mengambil uang
perusahaan. Secara spesifik, dia mengakui emiten-emiten dalam Grup Astra, Unilever, dan
BUMN telah terbukti baik.

Selanjutnya, adalah profil bisnis yang dimiliki emitan harus hebat. Ini bisa diukur dari tingkat
profitabilitas suatu perusahaan, misalnya saja dari tingkat Return on Equity (ROE) yang tinggi,
atau dengan menghitung marjin laba bersih.

Untuk kategori bisnis yang hebat ini, Kheng Hong menunjuk bisnis produksi DOC milik
Multibreeder yang sulit dimasuki pemain lain. Saat ini, praktis di Indonesia hanya ada dua
pemain yang bisa eksis di bisnis yang harus dikelola dengan standar biosecurity yang sangat
tinggi ini.

18
“Pemain baru tidak ada yang berani masuk ke bisnis ini karena memang sulit. Padahal, tingkat
marjinnya sangat tinggi,” katanya. Pada tahun 2010 lalu, tingkat ROE Multibreeder tercatat
mencapai 58,7 persen. Dengan nilai buku ekuitasnya hanya 436 miliar rupiah, Multibreeder bisa
membukukan laba bersih 256 miliar rupiah. “Ini adalah bisnis yang hebat,” katanya.

Syarat yang ketiga, adalah kemampuan perusahaan untuk tumbuh. Untuk ini, ada empat kategori
perusahaan, pertama adalah perusahaan yang terus merugi, kedua adalah perusahaan yang
kadang untung dan kadang rugi, ketiga yakni perusahaan yang laba terus tetapi stagnan.“Jenis
perusahaan yang keempat itu adalah perusahaan yang bisa menghasilkan laba yang terus
bertumbuh setiap tahunnya. Ini adalah perusahaan yang growing,” kata pria yang punya hobi
mengamati laporan keuangan emiten ini.

Terakhir, pertimbangan Kheng Hong dalam memilih saham adalah valuasi yang murah. Berbeda
dengan investor umumnya, Kheng Hong konsisten memvaluasi saham berdasarkan
kemampuannya mencetak laba (Price Earning Ratio). Dia tidak mempermasalahkan jika harga
suatu saham telah naik tinggi, asalkan PE nya masih relatif kecil.

Setelah keempat syarat itu terpenuhi, Kheng Hong tidak akan ragu lagi untuk membeli saham
yang dirasa bagus tersebut. Jika sudah menemukan saham yang sudah bagus, Kheng Hong
mengaku tidak perlu menunggu saat yang tepat, apalagi menunggu rekomendasi dari orang lain.

“Tapi saat yang paling baik untuk masuk itu sebenarnya ketika krisis, ketika orang lain semua
takut masuk. Ketika inilah kita bisa menemukan saham-saham bagus dengan harga yang sangat
murah. Krisis itu adalah kesempatan emas,” tegasnya.

Hal itu telah dilakukannya ketika krisis 1998 lalu. Saat itu, Kheng Hong berani menaruh seluruh
kekayaannya hanya di satu macam saham, yakni PT United Tractors Tbk. Ketika itu, dia masuk
ketika harga saham perusahaan di Grup Astra itu sempat menyentuh level 125 rupiah per saham.

“Akhirnya saham itu kemudian terbukti naik hingga 400 ribu persen sampai sekarang, (jika
dihitung termasuk bonus, dividen, dan stock split),” jelas Kheng Hong yang mengaku menyesal
ketika melepas saham tersebut lima tahun kemudian.

19

Anda mungkin juga menyukai