Anda di halaman 1dari 18

REFRAT

SINUSITIS DENGAN POLIP

Disusun Oleh :
Shafira Kurnia Warianti
I4061192016

Pembimbing:
dr. Eva Nurfarihah, M.Kes, Sp.THT-KL

SMF TELINGA HIDUNG DAN TENGGOROK


RUMAH SAKIT UMUM DAERAH
SULTAN SYARIF MOHAMAD ALKADRIE
PONTIANAK
2021
TINJAUAN PUSTAKA
A. Sinus
1. Anatomi Sinus
Sinus paranasal berpasangan dan termasuk sinus frontalis, maksilaris, ethmoid, dan
sphenoid. Sinus frontalis, maksilaris, dan ethmoid anterior mengalir ke meatus tengah. Sinus
ethmoid posterior dan sphenoid mengalir ke meatus superior. Sinus maksila adalah sinus
berisi udara terbesar di tubuh, tetapi ostiumnya rata-rata hanya berdiameter 2,4 mm. Hidung
dan sinus paranasal dilapisi dengan epitel kolumnar semu bersilia. Lapisan mukosiliar
dibentuk oleh sel goblet yang menghasilkan lendir, yang mengikat partikel berbahaya.
Partikel yang terperangkap diangkut dari sinus ke nasofaring oleh gerakan silia. Faktor
lingkungan dan host menyebabkan peradangan atau perubahan anatomis / fisiologis yang
mengganggu pembersihan mukosiliar. Target dari perawatan medis dan pembedahan adalah
untuk memulihkan dan membantu pembersihan mukosiliar.1
2. Sinusitis/Rhinosinusitis
Sinus adalah ruang kosong di antara tulang wajah Anda. Sinusitis adalah peradangan
pada sinus yang terjadi ketika sinus terinfeksi oleh virus, bakteri, atau keduanya. Sinusitis
kadang-kadang disebut rinosinusitis atau infeksi sinus. Gejala yang dapat ditemui pada
sinusitis berupa keluhan nyeri pada wajah, hidung tersumbat (kongesti), pilek disertai nasal
discharge mukopurulen, gangguan menghidu, demam, dapat ditemukan batuk pada anak.
Pada pemeriksaan endoskopi ditemukan adanya polip hidung, keluarnya discharge
mukopurulen dari meatus medial, edema/obstruksi pada meatus medial.
Sinusitis sering terjadi setelah common cold. Saat flu, lapisan sinus menjadi bengkak,
dan lendir menjadi kental dan lengket serta tidak mengalir dengan baik. Lendir yang
menumpuk menyebabkan mikroorganisme menempel dan tumbuh dengan baik.
Mikroorganisme ini dapat menyebabkan infeksi pada sinus. 2
a. Rhinosinusitis Akut
1) Definisi dan etiologi
Rinosinusitis akut adalah penyakit inflamasi yang menyerang hidung dan sinus
paranasal dengan durasi hingga 12 minggu. Penyebab utamanya adalah infeksi virus
(common cold) yang dapat berlangsung lama (post-viral) dan, pada sejumlah kecil
pasien, dapat berkembang menjadi infeksi bakteri. Penting untuk membedakan
fenotipe ARS yang berbeda untuk memahami persyaratan diagnostik dan terapeutik
dalam setiap kasus individu.1,2
Rhinosinusitis akut terdapat dua atau lebih gejala pada hidung, salah satunya
adalah hidung tersumbat/kongesti/obstruksi atau rinore (anterior atau post-nasal drip),
sedangkan gejala lainnya dapat berupa nyeri/tekanan pada wajah atau berkurang/
hilangnya penciuman, berlangsung hingga 12 minggu. Pada anak-anak, rhinitis akut
harus dipertimbangkan jika terdapat dua atau lebih gejala berikut seperti hidung
tersumbat, cairan hidung berubah warna, dan batuk, walaupun perlu diperhatikan
bahwa ada etiologi infeksi lain seperti bakteri dan jamur namun yang paling umum
disebabkan oleh virus. Penyakit ini dapat muncul dalam tiga fenotipe klinis utama
berupa rhinosinusitis akut virus atau pilek biasa jika episode berlangsung hingga 10
hari dan rhinosinusitis akut pasca virus bila gejala bertahan lebih lama dari 10 hari
atau memburuk setelah 5 hari. Rhinosinusitis akut bakteri didefinisikan dengan adanya
tiga atau lebih gejala klinis berikut, seperti demam (≥38 ° C), nyeri lokal yang parah,
mual dua kali lipat, penyakit unilateral (dengan mucus berubah warna), atau
peningkatan C-reactive protein (CRP)/rasio sedimentasi eritro-site (ESR) dalam tes
darah.1,2
Gambar 1. Definisi fenotipe Acute Rhinosinusitis (ARS) berdasarkan Konsensus EPOS 2020. Durasi gejala
digunakan untuk membedakan ARS virus (commoncold) dari ARS pasca-virus, yang dipertimbangkan jika
gejalanya menetap lebih dari 10 hari atau memburuk setelah 5 hari. ARS bakterial harus dicurigai setiap saat
ketika tiga atau lebih gejala yang berhubungan dengan ARS bakteri ditemukan. 1,2
2) Epidemiologi
Prevalensi ARS pada populasi umum bervariasi tergantung pada penelitian yang
berbeda, tercatat antara 6% dan 15% 3,4 ARS virus atau flu biasa memiliki kejadian
yang sangat tinggi, dengan 2-5 episode per orang dalam setahun. 5 Pada anak-anak,
kejadian ini bisa sampai empat kali lebih tinggi. 6 ARS pasca-virus lebih jarang terjadi,
dengan kejadian sekitar 3 episode per 100 penduduk per tahun 7 pada orang dewasa
(Islandia) dengan frekuensi yang lebih rendah pada populasi anak-anak dan perbedaan
yang tercatat di antara kelompok usia yang berbeda (2 kasus per 100.000 dalam≤4
tahun) tahun, 4–7 kasus per 100.000 dalam 5–14 tahun, dan 18 kasus per 100.000 pada
usia 15–17 tahun) [11]. Dalam penelitian terbaru di Jerman, kejadian ditemukan
menjadi 18,8 episode per 1000 penduduk per tahun. 8 Secara klasik, kejadian ISPA
bakteri diperkirakan 0,5-2% dari semua infeksi virus ARS, meskipun penelitian
terbaru telah menyatakan adanya peningkatan. Tingkat kultur positif sekitar 50% pada
pasien dengan kecurigaan klinis ARS bacterial.
Banyak faktor predisposisi untuk ARS telah dijelaskan seperti kelembaban
lingkungan, faktor anatomi (terutama episode ARS yang berulang, 9 gangguan
mukosiliar, merokok, serta kecemasan dan depresi. 10 Ada juga insiden episode yang
lebih tinggi selama bulan-bulan dingin (terutama pada pasien dengan cronic
rhinosinusitis pada awal.11 Di sisi lain, refluks laring-faring tidak ditemukan sebagai
faktor yang mendasari kejadian ARS. 10
Salah satu faktor predisposisi yang paling menarik dan kontroversial yang dapat
emncetuskan ARS adalah allergic rhinitis (AR). Insiden ARS pada pasien AR
dilaporkan 4,4 kali lebih tinggi dibandingkan pada rinitis non-alergi tetapi penulis lain
telah menyimpulkan bahwa adanya alergi pada pasien ARS mungkin bersifat
incidental.12,13 Sebuah studi baru-baru ini mendukung peran fenotipe atopik sebagai
faktor risiko untuk mengembangkan ARS pada anak-anak sementara penelitian lain
telah menunjukkan bahwa AR merupakan faktor risiko yang tidak signifikan. 14,15
Karena ada perbedaan yang jelas dalam membedakan eksaserbasi AR dan ARS, gejala
eksplorasi, seperti bersin, gatal, dan gejala pembengkakan spesifik, yang
mengindikasikan AR, bisa sangat membantu.
3) Diagnosis
Menurut EPOS dan pedoman Amerika, diagnosis ARS secara ketat didasarkan
pada onset mendadak dari> 2 gejala nasals (hidung tersumbat / obstruksi, rinore,
tekanan wajah, atau hilangnya bau).10,16 Diagnosis ini mungkin didukung oleh temuan
endoskopi (edema mukosa atau rinore), tetapi tidak diperlukan dalam konsultasi
perawatan primer. Meskipun penggunaan tes pencitraan tidak dianjurkan, kecuali
dalam kasus yang rumit.17,18
Masalah tersulit adalah mendiagnosis bakteri ARS (ABRS) dengan benar.
Meskipun dengan teknik yang invasif, gold standart untuk mendiagnosis ABRS
adalah antral puncture dan kultur.19 Kultur sekresi meatus tengah yang diperoleh
dengan visualisasi underendoscopic telah dibuktikan memiliki spesifisitas dan
sensibilitas yang baik.20 Namun, hasil kultur membutuhkan waktu beberapa hari, dan
tidak berguna dalam situasi akut. Beberapa penulis menganggap adanya kekeruhan di
sinus dalam sinar-X atau CT dapat memprediksi asal bakteri; namun, telah dibuktikan
dengan jelas bahwa ini tidak spesifik untuk ABRS. Faktanya, mayoritas pasien
dengan gejala flu biasa dengan kekeruhan akibat mukosa di sinus paranasal. 21 Untuk
alasan ini, penelitian terbaru telah mencoba menemukan penanda biokimia atau gejala
spesifik yang dapat membantu membedakan ARS bakteri dari non-bakteri. Mengenai
gejala, nyeri wajah atau gigi unilateral telah diidentifikasi sebagai prediktor yang baik
untuk ARS bakterial tetapi dengan bukti yang terbatas. Nyeri gigi di rahang atas
baru-baru ini diidentifikasi sebagai gejala yang paling terkait erat dengan ARS
bacterial.22,23
Suhu tubuh ≥38 ° C juga dikaitkan dengan risiko tinggi infeksi bakteri. 24
Mengenai biomarker inflamasi, Hansen et al. 25 dan Autio et al. 26 dalam tinjauan
sistematis baru-baru ini, mencatat bahwa peningkatan protein C-reaktif (CRP)
dan/atau laju sedimentasi eritrosite (ESR) mendukung diagnosis ABRS, tetapi dengan
sensitivitas yang rendah dan tanpa dianggap sebagai penanda diagnostik penyakit.
Dengan demikian, tampak jelas bahwa adanya tingkat CRP yang rendah memberikan
bukti terhadap indikasi penggunaan antibiotik27
Konsensus EPOS merekomendasikan penggunaan kombinasi tanda dan gejala
untuk menentukan probabilitas asal bakteri dan menentukan ABRS ketika 3 atau
lebih dari lima kriteria berikut ini seperti discharge berubah warna dengan dominasi
unilateral, nyeri lokal yang parah, demam ≥38 ° C, mual hebat, atau peningkatan CRP
/ ESR.10 Kriteria EPOS ini telah dibuktikan memiliki spesifisitas yang lebih baik
daripada kriteria IDSA (Infectious Diseases Society of America). 28 Pedoman IDSA
mempertimbangkan ARS bakterial bila terdapat ≥1 kriteria berikut, gejala yang
berlangsung lebih dari 10 hari tanpa perbaikan, gejala parah sejak onset (demam ≥39
° C atau pelepasan warna berubah dari awal dan selama 3 – 4hari), atau memberat
setelah 5–6 hari.29
4) Tatalaksana
a) Common cold
 Terapi simtomatik : Paracetamol; obat antiinflamasi non steroid (NSAID);
antihistamin generasi kedua dengan manfaat jangka pendek dalam
mengurangi gejala pada 2 hari pertama dekongestan pada hidung tersumbat
kombinasi analgesik dan dekongestan; ipratropiumbromide untuk
mengurangi rinore; probiotik; zing diberikan dalam 24 jam pertama setelah
timbulnya gejala; irigasi saline hidung, vitamin C, pada pasien tertentu
dengan kecurigaan defisit dengan aktivitas fisik tingkat tinggi. 30-36
 Hindari penggunaan antibiotik dan kortikosteroid intranasal
 Anjurkan konsumsi probiotik dan olahraga sedang yang teratur
b) Postviral ARS
 Terapi simtomatik : Paracetamol; obat antiinflamasi non steroid (NSAID);
ipratropiumbromide untuk mengurangi rinore; probiotik; zing diberikan
dalam 24 jam pertama setelah timbulnya gejala; irigasi saline hidung, vitamin
C, pada pasien tertentu dengan kecurigaan defisit dengan aktivitas fisik
tingkat tinggi.33-36
 Hindari penggunaan antibiotik, kortikosteroid sistemik, dekongestan dan
antihistamin generasi kedua.
c) Bakterial ARS
 Terapi yang dianjurkan : pengobatan simtomatik dan antibiotik, terutama
amoksisilin/penisilin (beta-laktam) efektif pada pasien dewasa dengan tanda
dan gejala ABRS; Data sangat terbatas pada anak-anak, menunjukkan
kurangnya kemanjuran dibandingkan dengan plasebo, tetapi dengan lebih
banyak efek samping [1]. Kortikosteroid oral yang ditambahkan ke antibiotik
telah menunjukkan efek sedang yang mengurangi nyeri wajah.

Tabel. 1 Pengobatan rinosinusitis akut dan rekomendasi untuk orang dewasa dan anak-anak berdasarkan EPOS2020
(Fokkens 2020). BNO1016 (Sinupret) adalah ekstrak dari lima jamu (akar gentian, bunga prímula, herba coklat
kemerah-merahan, bunga elder, dan herba verbena). 1a: Tinjauan sistematis (dengan homogenitas) RCT. 1b:
Individual RCT (dengan interval kepercayaan yang sempit)
b. Rhinosinusitis Kronis
1) Definisi dan Klasifikasi
Cronic Rhinosinusitis (CRS) adalah gejala yang menetap selama lebih dari 12
minggu termasuk hidung tersumbat, sekret hidung, nyeri/tekanan wajah dan gangguan
penghidu. Penilaian pasien CRS harus mengikuti prinsip-prinsip yang dijelaskan untuk
ARS. Rhinoskopi anterior untuk menentukan ada atau tidaknya polip sangat penting
untuk memandu pengobatan. Riwayat gejala alergi harus dieksplorasi, termasuk
bersin, rinorea berair, hidung gatal dan mata yang gatal dan berair. Tes alergi formal
dapat dilakukan jika dicurigai, dan rujukan ke ahli alergi harus dipertimbangkan.
CRS ada dalam dua bentuk, yang dibedakan dengan adanya poliposis hidung yaitu
CRS dengan poliposis hidung (CRSwNP) dan CRS tanpa poliposis hidung (CRSsNP).
Diketahui bahwa pasien CRSwNP memiliki beban penyakit yang lebih besar
dibandingkan dengan mereka yang menderita CRSsNP sehubungan dengan tingkat
keparahan penyakit dan hasil pengobatan yang buruk Selain itu secara biologis,
CRSwNP dan CRSsNP diketahui memiliki karakteristik yang berbeda. 37,38
 CRSwNP, peradangan akibat subset sel T-helper tipe 2 (Th2) yang dominan
mengakibatkan eosinofilia jaringan dengan prevalensi tinggi pada asma. 39-51
 CRSsNP diperkirakan sebagai akibat dari episode rinosinusitis akut yang berulang
atau oklusi ostium sinus akibat variasi anatomi, yang dapat berkontribusi pada
perkembangan hipoksia pada rongga sinus. Sebelumnya, diperkirakan bahwa
inflamasi akibat subset tipe Th1 adalah tipe inflamasi yang dominan.
2) Patofisiologi 40
Mekanisme yang mendasari yang berkontribusi pada inflamasi sinonasal
kronis yang diamati pada CRSwNP tidak sepenuhnya ditentukan. Berbagai
kelompok penelitian telah berfokus untuk mengeksplorasi peran sel epitel
sinonasal, sistem kekebalan tubuh, dan patogen yang mungkin berperan dalam
patogenesis CRSwNP (Gambar ). Dihipotesiskan bahwa gangguan penghalang
epitel sinonasal dapat menyebabkan peningkatan paparan patogen, antigen, dan
partikulat yang dihirup yang, dalam pengaturan respons imun tubuh yang tidak
teratur, dapat meningkatkan peradangan kronis.
Dalam kondisi sehat, sel epitel yang melapisi mukosa sinonasal tidak
hanya membentuk penghalang fisik untuk melindungi inang dari patogen dan
partikulat pernapasan yang dihirup, tetapi juga memainkan peran penting dalam
pembersihan mukosiliar dan pertahanan inang. Dalam CRSwNP, penghalang
epitel sinonasal rusak yang menyebabkan peningkatan permeabilitas jaringan,
penurunan resistensi epitel, akantosis, dan akantolisis. Mengapa penghalang
epitel rusak di CRSwNP masih belum jelas. Mungkin saja sel epitel abnormal
pada CRSwNP. Sebagai alternatif, faktor ekstrinsik yang unik untuk CRSwNP
dapat merusak penghalang epitel yang utuh dan menyebabkan kerusakan yang
diamati pada CRSwNP. Untuk tujuan ini, Pothoven dan rekannya mencatat
bahwa oncostatin M, IL-6, meningkat pada polip hidung CRSwNP dan dapat
menyebabkan permeabilitas jaringan, mengganggu persimpangan yang ketat,
dan menurunkan hambatan listrik pada sel epitel manusia yang dikultur.
Aspek lain dari pertahanan epitel host juga terganggu pada CRSwNP.
Misalnya, kadar protein antimikroba yang diturunkan dari epitel termasuk
lisozim, S100A7, S100A8 / 9, beta-defensins, dan protein Klon Epitel Paru-
paru, Paru-paru, dan Hidung (PLUNC) berkurang pada pasien CRSwNP
dibandingkan dengan kontrol yang sehat. Pendrin, transporter ion epitel yang
dapat meningkatkan produksi lendir, dan Muc5AC, sejenis musin, meningkat
di CRSwNP versus kontrol. Temuan ini menunjukkan bahwa penurunan
pembersihan mukosiliar, penurunan sekresi protein pertahanan antimikroba,
dan kerusakan penghalang fisik dapat menyebabkan paparan kronis mediator
patogen dan non-patogen dan pengembangan respons inflamasi kronis.
Disregulasi sistem kekebalan tubuh juga telah dievaluasi secara ekstensif
dalam CRSwNP. Awalnya, penyakit ini dikategorikan oleh respon inflamasi
tipe-2 dengan peningkatan eosinofilia jaringan. Kadar protein granul eosinofilik
(misalnya protein kationik eosinofil (ECP)), faktor kelangsungan hidup
eosinofilik (IL-5), dan protein kemotaktik eosinofil (misalnya Eotaxin-1,
Eotaxin-2, Eotaxin-3, MCP-4) semuanya meningkat di CRSwNP polip hidung
dibandingkan dengan kontrol sehat. Penelitian juga melaporkan CRSwNP
memiliki peningkatan jumlah basofil, sel limfoid bawaan tipe 2 dan sel mast.
Selain itu, sitokin tipe 2 termasuk IL-5 dan IL-13 serta stroma timus yang
diturunkan dari sel epitelial. limfopoietin (TSLP) meningkat pada CRSwNP.
Sementara lingkungan inflamasi di CRSwNP telah dikarakterisasi secara
ekstensif, kejadian dan sinyal spesifik yang memulai respons ini tidak
didefinisikan dengan baik.
Lebih rumit lagi studi patogenesis CRSwNP adalah pengamatan bahwa
tidak semua polip hidung memiliki tampilan histologis yang sama. Studi asli
tentang inflamasi tipe-2 dan polip hidung diselesaikan pada pasien CRSwNP
keturunan Eropa. Namun, sebuah makalah yang diterbitkan pada tahun 2008
menunjukkan bahwa polip hidung pasien Asia yang tinggal di Asia kekurangan
peningkatan jaringan eosinofilia, memiliki kadar IL-5 yang lebih rendah, dan
peningkatan kadar sitokin IFN-γ tipe-1 bila dibandingkan dengan polip hidung
dari pasien Eropa. Akibatnya, faktor genetik juga dapat berkontribusi pada
patologi CRSwNP seperti yang dibahas di bawah ini.
Selain respon imun bawaan, sistem imun adaptif inang juga mengalami
disregulasi dalam CRSwNP. Sel B naif dan sel plasma teraktivasi meningkat di
polip hidung dibandingkan dengan kontrol sehat. Ini kemungkinan besar
sebagai respons terhadap polip hidung yang juga memiliki peningkatan kadar
CXCL-12 dan CXCL-13 (faktor penting untuk kemotaksis sel B) serta BAFF
dan IL-6 (faktor yang menyebabkan proliferasi dan aktivasi sel B). Kadar IgG1,
IgG2, IgG4, IgA, IgE dan IgM meningkat pada polip hidung tetapi tidak dalam
sirkulasi pasien dengan CRSwNP menunjukkan bahwa faktor lokal dalam polip
hidung dapat mengaktifkan sel B. Spesifisitas yang tepat dari antibodi yang
terdeteksi di CRSwNP masih belum jelas tetapi merupakan fokus investigasi
yang sedang berlangsung. Penelitian telah memberikan bukti bahwa beberapa
antibodi yang terdeteksi dalam polip CRSwNP diarahkan melawan antigen
nuklir dan sitokin. Bagaimana autoantibodi tersebut berkontribusi pada gejala
klinis CRSwNP masih belum jelas.
Sistem kekebalan adaptif juga terdiri dari sel T yang penting tidak hanya
untuk fungsi sitotoksik langsungnya tetapi juga untuk kemampuannya
memediasi respons imun yang sedang berlangsung. Pada polip hidung dari
pasien Eropa, fraksi yang signifikan dari sel T CD4 dapat menghasilkan sitokin
tipe-2 dibandingkan dengan kontrol, sementara sel T yang diisolasi dari polip
hidung dari pasien Asia lebih cenderung melepaskan mediator inflamasi tipe-1
dan tipe-17. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa sel pengatur T rusak
dalam CRSwNP sebagaimana ditentukan oleh penurunan kadar faktor
transkripsi Foxp3 dan peningkatan kadar SOCS3, pengatur negatif ekspresi
Foxp3. Ketidakseimbangan dalam sel pengatur T ini dapat menyebabkan a
kurangnya penekanan kekebalan selanjutnya yang pada gilirannya dapat
meningkatkan peradangan kronis yang terlihat pada CRSwNP. Namun, lebih
banyak penelitian diindikasikan di bidang ini terutama karena sebuah penelitian
yang diterbitkan pada tahun 2014 melaporkan bahwa sel pengatur T meningkat
di polip hidung.
Akhirnya, patogen dapat secara langsung dan tidak langsung berkontribusi
pada patogenesis CRSwNP. Baik Pseudomonas aeruginosa dan Staphylococcus
aureus mengganggu penghalang epitel di sel epitel hidung manusia yang
dikultur. Penghalang yang rusak ini dapat menyebabkan peningkatan paparan
patogen serta peningkatan kolonisasi bakteri. Untuk tujuan ini, diperkirakan
sebanyak 63% pasien CRSwNP terkolonisasi dengan Staphylococcus aureus
dan sebagian dari pasien ini dapat mengembangkan antibodi IgE spesifik
terhadap Staphylococcus aureus enterotoxins. Kadar IgE spesifik berkorelasi
signifikan dengan kadar IL-5 dan jumlah total eosinofil di polip hidung yang
menunjukkan antibodi ini mungkin penting dalam mendorong patogenesis.
Rongga sinonasal memiliki campuran bakteri patogen dan komensal dan
sifat mikrobioma ini telah dieksplorasi di CRS, tetapi tidak secara spesifik di
CRSwNP. Sampai saat ini, keragaman bakteri yang berkurang telah dilaporkan
pada pasien CRS dibandingkan dengan kontrol yang sehat tetapi belum ada
organisme spesifik yang dikaitkan dengan penyebab CRS. Selain itu, mikroba
patogen tradisional termasuk Streptococcus pneumoniae, Haemophilus
influenzae, dan Moraxella catarrhalis telah ditemukan di rongga sinonasal
pasien tanpa CRS, sehingga mengaburkan peran organisme ini dalam penyakit.
Oleh karena itu, penyelidikan lebih lanjut diperlukan untuk sepenuhnya
mengkarakterisasi dan menentukan peran bakteri patogen dan komensal di
CRSwNP.
3) Patogenesis40
Patogenesis CRSwNP berkaitan dengan pertumbuhan dari polip
hidung itu sendiri. Secara umum, protein plasma diperkaya pada sinus yang
terkena dan jaringan polip karena vaskular bocor dan dapat melintasi
penghalang epitel disfungsional ke lumen pada pasien dengan CRS. Dalam
penelitian polip hidung telah ditunjukkan deposisi fibrin meningkat, yang pada
gilirannya dapat membentuk perancah, menjebak protein plasma dan
meningkatkan jaringan edema. Jaring fibrin ini selanjutnya distabilkan oleh
Faktor XIIIa,kadarnya juga meningkat pada pasien dengan CRSwNP dan
dianggap sebagai tanda lain dari peradangan tipe 2 lingkungan. Selain itu,
polip hidung juga sudah berkurang tingkat aktivator plasminogen jaringan,
enzim yang penting untuk kerusakan jaring fibrin, serta D-dimer, produk dari
degradasi fibrin. Secara keseluruhan, studi ini menunjukkan bahwa
ketidakseimbangan dalam pembentukan fibrin (peningkatan fibrin dan Faktor
Tingkat XIIa) dan degradasi (mengurangi level aktivator jaringan plasminogen
dan D-dimer) mungkin berkontribusi pada pertumbuhan polip diamati pada
pasien dengan CRSwNP.
4) Diagnosis
Diagnosis rinosinusitis kronik tanpa polip nasi (pada dewasa)
berdasarkan EP3OS 2007 ditegakkan berdasarkan penilaian subyektif,
pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang lainnya. 1 Penilaian subyektif
berdasarkan pada keluhan, berlangsung lebih dari 12 minggu:1
 Buntu hidung, kongesti atau sesak
 Sekret hidung / post nasal drip, umumnya mukopurulen
 Nyeri wajah / tekanan, nyeri kepala dan
 Penurunan / hilangnya penciuman
Pemeriksaan fisik yang dilakukan mencakup rinoskopi anterior dan posterior. 1
Yang menjadi pembeda antara kelompok rinosinusitis kronik tanpa dan dengan
nasal polip adalah ditemukannya jaringan polip / jaringan polipoid pada
pemeriksaan rinoskopi anterior.Pemeriksaan penunjang yang dilakukan antara
lain endoskopi nasal, sitologi dan bakteriologi nasal, pencitraan (foto polos
sinus, transiluminasi, CT-scan dan MRI), pemeriksaan fungsi mukosiliar,
penilaian nasal airway, fungsi penciuman dan pemeriksaan laboratorium.1
a) Anamnesis
Anamnesis yang cermat dan teliti sangat diperlukan terutama dalam
menilai gejala-gejala yang ada pada kriteria diatas, mengingat patofisiologi
rinosinusitis kronik yang kompleks. Adanya penyebab infeksi baik bakteri
maupun virus, adanya latar belakang alergi atau kemungkinan kelainan
anatomis rongga hidung dapat dipertimbangkan dari riwayat penyakit yang
lengkap.18 Informasi lain yang perlu berkaitan dengan keluhan yang dialami
penderita mencakup durasi keluhan, lokasi, faktor yang memperingan atau
memperberat serta riwayat pengobatan yang sudah dilakukan.2 Beberapa
keluhan/gejala yang dapat diperoleh melalui anamnesis dapat dilihat pada
tabel 1 pada bagian depan. Menurut EP3OS 2007, keluhan subyektif yang
dapat menjadi dasar rinosinusitis kronik adalah:
 Obstruksi nasal
Keluhan buntu hidung pasien biasanya bervariasi dari obstruksi aliran
udara mekanis sampai dengan sensasi terasa penuh daerah hidung dan
sekitarnya
 Sekret / discharge nasal
Dapat berupa anterior atau posterior nasal drip
 Abnormalitas penciuman
Fluktuasi penciuman berhubungan dengan rinosinusitis kronik yang
mungkin disebabkan karena obstruksi mukosa fisura olfaktorius dengan
/ tanpa alterasi degeneratif pada mukosa olfaktorius
 Nyeri / tekanan fasial
Lebih nyata dan terlokalisir pada pasien dengan rinosinusitis akut, pada
rinosinusitis kronik keluhan lebih difus dan fluktuatif.
Selain untuk mendapatkan riwayat penyakit, anamnesis juga dapat
digunakan untuk menentukan berat ringannya keluhan yang dialami
penderita. Ini berguna bagi penilaian kualitas hidup penderita. Ada
beberapa metode/test yang dapat digunakan untuk menilai tingkat
keparahan penyakit yang dialami penderita, namun lebih sering digunakan
bagi kepentingan penelitian, antara lain dengan SNOT-20 (sinonasal
outcome test), CSS (chronic sinusitis survey) dan RSOM-31 (rhinosinusitis
outcome measure)1,2,11
Major factors Minor factors
Facial pain, pressure (alone does not constitute a Headache
suggestive history for rhinosinusitis in absence of another
Fever
major symptom)
(all nonacute)
Facial congestion, fullness
Halitosis
Nasal obstruction/blockage
Fatigue
Nasal discharge/ purulence/ discolored nasal drainage
Dental pain
Hyposmia/anosmia
Cough
Purulence in nasal cavity on examination
Ear pain/pressure/
Fever (acute rhinosinusitis only) in acute sinusitis alone
does not constitute a strongly supportive history for acute in fullness
the absence of another major nasal symptom or sign

Tabel 1. Faktor-faktor yang berkaitan dengan diagnosis rinosinusitis kronik,


terdiri dari faktor mayor (utama) dan faktor minor (pelengkap).7
b) Pemeriksaan Fisik
 Rinoskopi anterior dengan cahaya lampu kepala yang adekuat dan
kondisi rongga hidung yang lapang (sudah diberi topikal dekongestan
sebelumnya)1,2,18 Dengan rinoskopi anterior dapat dilihat kelainan
rongga hidung yang berkaitan dengan rinosinusitis kronik seperti udem
konka, hiperemi, sekret (nasal drip), krusta, deviasi septum, tumor atau
polip.18
 Rinoskopi posterior bila diperlukan untuk melihat patologi di belakang
rongga hidung.18
c) Pemeriksaan Penunjang
 Transiluminasi, merupakan pemeriksaan sederhana terutama untuk
menilai kondisi sinus maksila. Pemeriksaan dianggap bermakna bila
terdapat perbedaan transiluminasi antara sinus kanan dan kiri.18
 Endoskopi nasal, dapat menilai kondisi rongga hidung, adanya sekret,
patensi kompleks ostiomeatal, ukuran konka nasi, udem disekitar
orifisium tuba, hipertrofi adenoid dan penampakan mukosa sinus. 1,13
Indikasi endoskopi nasal yaitu evaluasi bila pengobatan konservatif
mengalami kegagalan.18 Untuk rinosinusitis kronik, endoskopi nasal
mempunyai tingkat sensitivitas sebesar 46 % dan spesifisitas 86 %.18
 Radiologi, merupakan pemeriksaan tambahan yang umum dilakukan,
meliputi X-foto posisi Water, CT-scan, MRI dan USG. CT-scan
merupakan modalitas pilihan dalam menilai proses patologi dan anatomi
sinus, serta untuk evaluasi rinosinusitis lanjut bila pengobatan
medikamentosa tidak memberikan respon.1,18 Ini mutlak diperlukan pada
rinosinusitis kronik yang akan dilakukan pembedahan. 1,2,18 Contoh
gambaran CT-scan rinosinusitis kronik tanpa polip nasi pada orang
dewasa dapat dilihat pada gambar 4.
 Pemeriksaan penunjang lain yang dapat dilakukan antara lain:1,2,13,18
1. Sitologi nasal, biopsi, pungsi aspirasi dan bakteriologi
2. Tes alergi
3. Tes fungsi mukosiliar : kliren mukosiliar, frekuensi getar siliar,
mikroskop elektron dan nitrit oksida
4. Penilaian aliran udara nasal (nasal airflow): nasal inspiratory
peakflow, rinomanometri, rinometri akustik dan rinostereometri
5. Tes fungsi olfaktori: threshold testing
6. Laboratorium : pemeriksaan CRP ( C-reactive protein)

Gambar 4. CT-scan penampang koronal menunjukkan rinosinusitis


kronik akibat konka bulosa sehingga mengakibatkan penyempitan
KOM.19

5) Tatalaksana
Pilihan pengobatan medis untuk pasien dengan CRSwNP tetap terbatas.
Menurut pedoman AS terbaru, baik kortikosteroid topikal dan irigasi saline
hidung direkomendasikan sebagai terapi medis awal untuk pasien yang
terkena . Kortikosteroid intranasal dapat mengurangi ukuran polip hidung,
mengurangi gejala sinonasal, dan meningkatkan kualitas hidup pasien.
Kortikosteroid oral juga dapat mengurangi ukuran polip dan memperbaiki
gejala tetapi harus selalu diberikan dengan hati-hati mengingat hubungannya
dengan efek samping sistemik yang seriuS. Antibiotik mungkin berguna dalam
mengobati eksaserbasi infeksius CRSwNP, tetapi kemanjuran yang signifikan
secara klinis (yaitu, penyusutan polip) dalam jumlah besar, uji coba acak
kurang.
Pasien dengan penyakit sinonasal yang signifikan dan / atau mereka yang
gagal dalam penatalaksanaan medis harus dievaluasi untuk operasi sinus.
Dalam analisis retrospektif, penundaan selama lebih dari 5 tahun dari diagnosis
awal CRS hingga operasi sinus dikaitkan dengan pemanfaatan perawatan
kesehatan pasca operasi yang lebih besar dibandingkan dengan ketika operasi
dilakukan dalam 12 bulan setelah diagnosis
DAFTAR PUSTAKA
1. Bell GW, Joshi BB, Macleod RI. Maxillary sinus disease: Diagnosis and treatment. Br
Dent J 2011;210(3):113–18.
2. Snow V, Mottur-Pilson C, Hickner JM. Principles of appropriate antibiotic use for
acute sinusitis in adults. Ann Intern Med 2001;134(6):495–97.
3. okkens WJ, Lund VJ, Mullol J, Bachert C, Alobid I, Baroody F,et al. European
position paper on rhinosinusitis and nasal polyps2012. Rhinol Suppl. 2012;23:1–
298.6.
4. Wang DY, Wardani RS, Singh K, Thanaviratananich S, Vicente G,Xu G, et al. A
survey on the management of acute rhinosinusitisamong Asian physicians. Rhinology.
2011;49(3):264–71.7.
5. Turner RB. Epidemiology, pathogenesis and treatment of the com-mon cold. Ann
Allergy Asthma Immunol. 1997;78:531–40
6. achert C, Hormann K, Mosges R, Rasp G, Riechelmann H,Müller R, et al. An update
on the diagnosis and treatment of sinus-itis and nasal polyposis. Allergy.
2003;58:176–91.
7. Oskarsson JP, Halldorsson S. An evaluation of diagnosis and treat-ment of acute
sinusitis at three healthcare centers. Laeknabladid.2010;96:531–5.
8. Hoffmans R, Wagemakers A, van Drunen C, Hellings P, FokkensW. Acute and
chronic rhinosinusitis and allergic rhinitis in relationto comorbidity, ethnicity and
environment. PloS one. 2018;13:e0192330. This is the more recent study talking
about ARSprevalence. Using a questionnaire sent to a random sample ofthe Dutch
population (>8,000), 18% met the criteria for ARS.
9. Loftus PA, Lin J, Tabaee A. Anatomic variants of the paranasalsinuses in patients
with recurrent acute rhinosinusitis. Int ForumAllergy Rhinol. 2016;6:328–33.
10. Fokkens W, Lund V, Hopkins HP, Kern R, Reitsma S, et al.EPOS2020: European
Position Paper on Rhinosinusitis and NasalPolyps 2020. Rhinology. 2020;58(Suppl
S29):1–464
11. Kuiper JR, Hirsch AG, Bandeen-Roche K, Tan BK, Schleimer RP,Kern RC, et al.
Prevalence, severity, and risk factors for acuteexacerbations of nasal and sinus
symptoms by chronicrhinosinusitis status. Allergy. 2018;73:1244–53This paper ana-
lyzes the factors that exacerbate nasal symptoms in patientswith CRS, being winter
season one of them.
12. Schatz M, Zeiger RS, Chen W, Yang S-J, Corrao MA, Quinn VP.The burden of
rhinitis in a managed care organization. Ann AllergyAsthma Immunol.
2008;101:240–7
13. Pant H, Ferguson BJ, Macardle PJ. The role of allergy inrhinosinusitis. Curr Opin
Otolaryngol Head Neck Surg. 2009;17:232–8.
14. Lin SW, Wang SK, Lu MC,Wang CL, Koo M. Acuterhinosinusitis among pediatric
patients with allergic rhinitis: a na-tionwide, population-based cohort study. PLoS
One. 2019;14(2):e0211547This cohort study compares the incidence of ARS
inchildren with and without allergic rhinitis, and showed thatallergic rhinitis was
significantly associated with a higher riskof acute rhinosinusitis among pediatric
patients
15. Leo G, Incorvaia C, Cazzavillan A, Consonni D, Zuccotti GV.Could seasonal allergy
be a risk factor for acute rhinosinusitis inchildren? J Laryngol Otol. 2018;132(2):150–
3
16. Orlandi RR, Kingdom TT, Hwang PH, Smith TL, Alt JA, BaroodyFM, et al.
International Consensus Statement on Allergy andRhinology: Rhinosinusitis. Int
Forum Allergy Rhinol.2016;6(Suppl 1):S22–S209.
17. Scadding G, Hellings P, Alobid I, Bachert C, Fokkens W, van WijkRG, et al.
Diagnostic tools in rhinology EAACI position paper. ClinTransl Allergy. 2011;1(1):
18. Ebell MH, McKay B, Guilbault R, Ermias Y. Diagnosis of acuterhinosinusitis in
primary care: a systematic review of test accuracy.Br J Gen Pract. 2016;66:e612–32.2
19. Benninger MS, Appelbaum PC, Denneny JC, Osguthorpe DJ,Stankiewicz JA.
Maxillary sinus puncture and culture in the diag-nosis of acute rhinosinusitis: the case
for pursuing alternative cul-ture methods. Otolaryngol Head Neck Surg. 2002;127:7–
12.
20. Benninger MS, Payne SC, Ferguson BJ, Hadley JA, Ahmad N.Endoscopically
directed middle meatal cultures versus maxillarysinus taps in acute bacterial maxillary
rhinosinusitis: a meta-analy-sis. Otolaryngol Head Neck Surg. 2006;134:3–9
21. Gwaltney JM, Phillips CD, Miller RD, Riker DK. Computed tomo-graphic study of
the common cold. N Engl J Med. 1994;330:25–30
22. Berg O, Carenfelt C. Analysis of symptoms and clinical signs in themaxillary sinus
empyema. Acta Otolaryngol. 1988;105:343–9.30.••Ebell MH, McKay B, Dale A,
Guilbault R, Ermias Y. Accuracy ofsigns and symptoms for the diagnosis of acute
rhinosinusitis andacute bacterial rhinosinusitis. Ann Fam Med. 2019;17:164–8
23. Hansen JG, Hojbjerg T, Rosborg J. Symptoms and signs in culture-proven acute
maxillary sinusitis in a general practice population.APMIS. 2009;117:724–9.
24. Autio TJ, Koskenkorva T, Leino TK, Koivunen P, Alho OP.Longitudinal analysis of
inflammatory biomarkers during acuterhinosinusitis. Laryngoscope.
2017;127(2):E55–61
25. Seresirikachorn K, Snidvongs K, Chitsuthipakorn W, et al.EPOS2012 has better
specificity com-pared to IDSA2012 for di-agnosing acute bacterial rhinosinusitis.
Rhinology. 2018;56:241–4
26. Chow AW, Benninger MS, Brook I, Brozek JL, Goldstein EJ,Hicks LA, et al. IDSA
clinical practice guideline for acute bacterialrhinosinusitis in children and adults. Clin
Infect Dis. 2012;54:e72–e112. 28 Page 8 of 10Curr Allergy Asthma Rep (2020) 20:28
27. Lotfinejad N, Peters A, Pittet D. Hand hygiene and the novel coro-navirus pandemic:
the role of healthcare workers. J Hosp Infect.2020
28. De Sutter AI, Saraswat A, van Driel ML. Antihistamines for thecommon cold.
Cochrane Database Syst Rev. 2015:CD009345
29. Deckx L, De Sutter AI, Guo L, Mir NA, van Driel ML. Nasaldecongestants in
monotherapy for the common cold. CochraneDatabase Syst Rev. 2016;10:CD009612.
30. De Sutter AI, van Driel ML, Kumar AA, Lesslar O, Skrt A. Oralantihistamine-
decongestant-analgesic combinations for the com-mon cold. Cochrane Database Syst
Rev. 2012:CD004976.
31. Singh M, Das RR. Zinc for the common cold. Cochrane DatabaseSyst Rev.
2011;2013:CD001364.
32. Hemila H, Fitzgerald JT, Petrus EJ, Prasad A. Zinc acetate lozengesmay improve the
recovery rate of common cold patients: an indi-vidual patient data meta-analysis.
Open Forum Infect Dis. 2017;4:
33. King D, Mitchell B, Williams CP, Spurling GK. Saline nasal irri-gation for acute
upper respiratory tract infections. CochraneDatabase Syst Rev. 2015:CD006821.
34. Hemila H, Chalker E. Vitamin C for preventing and treating thecommon cold.
Cochrane Database Syst Rev. 2013:CD00098.
35. Fokkens WJ, Lund VJ, Mullol J, Bachert C, Alobid I, Baroody F, Cohen N, Cervin A,
Douglas R, Gevaert P, Georgalas C, Goossens H, Harvey R, Hellings P, Hopkins C,
Jones N, Joos G, Kalogjera L, Kern B, Kowalski M, Price D, Riechelmann H,
Schlosser R, Senior B, Thomas M, Toskala E, Voegels R, Wang de Y, Wormald PJ.
EPOS 2012: European position paper on rhinosinusitis and nasal polyps 2012. A
summary for otorhinolaryngologists. Rhinology 2012;50:1-12
36. Toros SZ, Bölükbasi S, Naiboğlu B, Er B, Akkaynak C, Noshari H, Egeli E.
Comparative outcomes of endoscopic sinus surgery in patients with chronic sinusitis
and nasal polyps. Eur Arch Otorhinolaryngol 2007;264:1003-8.
37. Banerji A, Piccirillo JF, Thawley SE, Levitt RG, Schechtman KB, Kramper MA,
Hamilos DL. Chronic rhinosinusitis patients with polyps or polypoid mucosa have a
greater burden of illness. Am J Rhinol 2007;21:19-26.
38. Van Zele T, Claeys S, Gevaert P, Van Maele G, Holtappels G, Van Cauwenberge P,
Bachert C. Differentiation of chronic sinus diseases by measurement of inflammatory
mediators. Allergy 2006;61:1280-9.
39. Stevens WW, Ocampo CJ, Berdnikovs S, Sakashita M, Mahdavinia M, Suh L,
Takabayashi T, Norton JE, Hulse KE, Conley DB, Chandra RK, Tan BK, Peters AT,
Grammer LC 3rd, Kato A, Harris KE, Carter RG1, Fujieda S, Kern RC, Schleimer
RP. Cytokines in chronic rhinosinusitis: role in eosinophilia and aspirin-exacerbated
respiratory disease. Am J Respir Crit Care Med 2015;192:682-94.
40. Stevens WW, Schleimer RP, Kern RC. Chronic Rhinosinusitis with Nasal Polyps. J
Allergy Clin Immunol Pract. 2016;4(4):565-572. doi:10.1016/j.jaip.2016.04.012

Anda mungkin juga menyukai