Anda di halaman 1dari 15

II.

TINJAUAN PUSTAKA

A. Morfologi Tanaman Kelapa Sawit


Tanaman kelapa sawit dibedakan menjadi dua bagian, yaitu bagian
vegetatif dan bagian generatif. Bagian vegetatif meliputi akar, batang, dan daun
sedangkan bagian generatif merupakan perkembangan dari bunga dan buah (Adi,
2010).

1. Bagian vegetatif
a. Akar (Radix)
Menurut Putranto (2010), akar kelapa sawit adalah akar serabut, yang
memiliki sedikit percabangan, membentuk anyaman rapat dan tebal. Kelapa sawit
merupakan tumbuhan monokotil. Pada saat dalam fase kecambah memiliki akar
tunggang yang memanjang ke bawah selama 6 bulan sampai 15 cm, dan kemudian
perakaran akan berubah menjadi akar serabut. Akar primer pada umumnya
berdiameter 6-10 mm, keluar dari pangkal batang dan menyebar secara horizontal
dan menghujam ke dalam tanah dengan sudut yang beragam. Selanjutnya akar
primer membentuk akar sekunder yang diameternya 2-4 mm. Akar sekunder
bercabang membentuk akar tertier yang berdiameter 0,7-1,2 mm dan umumnya
bercabang lagi membentuk akar kuarterner.

Akar yang paling aktif dalam menyerap air dan unsur hara adalah akar
tersier dan kuarterner yang berada di kedalaman 0-60 cm dengan jarak 2-3 meter
dari pangkal pohon (Lubis dan Agus Widanarko, 2011).

5
b. Batang (Caulis)
Menurut Wahyuni, M (2007) tanaman kelapa sawit berbatang lurus, tidak
bercabang. Bakal batang disebut plumula (seperti tombak kecil). Pada tanaman
dewasa diameternya mencapai 45-60 cm. Bagian batang bawah biasanya lebih
gemuk, disebut bonggol dengan diameter 60-100 cm. Pertambahan tinggi batang
kelapa sawit dipengaruhi oleh jenis tanaman, tanah, iklim, pupuk, kerapatan
tanam dan lain-lain.

Pertumbuhan batang kelapa sawit terbagi menjadi dua fase. Sejak ditanam
sampai berumur 3,5 tahun, pertumbuhan batang difokuskan pada pembentukan
pangkal batang hingga diameternya mencapai 60 cm dan pertumbuhan meninggi
sangat kecil. Setelah 3,5 tahun, batang tumbuh ke atas dengan kecepatan hingga
60 cm/tahun, tetapi melambat pada umur di atas 15 tahun. Selain dipengaruhi
faktor genetik, kecepatan meninggi batang kelapa sawit juga oleh kompetisi
memperoleh cahaya matahari. Kekurangan cahaya matahari mendorong batang
kelapa sawit tumbuh cepat ke atas dan mengurangi potensi hasil. Jarak tanam
yang terlalu rapat mengakibatkan kerugian secara ekonomi akibat penurunan hasil
(Andoko dan Widodoro, 2013).

Di batang terdapat pangkal pelepah-pelepah daun yang melekat dan sukar


terlepas, meskipun daun telang kering dan mati. Batang tanaman kelapa sawit
diselimuti bekas pelepah hingga umur 12 tahun. Setelah itu pelepah yang
mengering akan terlepas sehingga menjadi mirip dengan tanaman kelapa
(Sunarko, 2009).

c. Daun (Folium)
Daun kelapa sawit terdiri dari beberapa bagian, yaitu sebagai berikut.

1. Kumpulan anak daun (leaflets) yang mempunyai helaian (lamina) dan


tulang anak daun (midrib).
2. Rachis yang merupakan tempat anak daun melekat.
3. Tangkai daun (petiole) yang merupakan bagian antara daun dan
batang.

6
4. Seludang daun (sheath) yang berfungsi sebagai perlindungan dari
kuncup dan memberi kekuatan pada batang.
Seperti jenis palma lainnya, daunnya tersusun majemuk, bersirip genap,
dan bertulang sejajar. Anak-anak daun (foliage leaflet) tersusun berbaris dua
sampai ke ujung daun yang panjangnya 7-9 meter. Di tengah-tengah setiap anak
daun terbentuk lidi sebagai tulang daun. Jumlah anak daun di setiap pelepah
berkisar 250-400 helai daun (Hartanto, 2011).

Daun cepat membuka pada tanah yang subur sehingga efektif dalam
melakukan fotosintesis dan sebagai alat respirasi. Semakin lama proses
fotosintesis berlangsung, semakin banyak bahan makanan yang dibentuk. Jumlah
pelepah, panjang pelepah, dan jumlah anak daun tergantung pada umur tanaman.
Semakin tua tanaman semakin banyak jumlah pelepah dan anak daun. Tanaman
dewasa umumnya memiliki 40-50 pelepah. Saat tanaman berumur 10-13 tahun,
dapat ditemukan daun yang luas permukaannya mencapai 10-15 m2 yang
berhubungan dengan produktivitas tanaman. Semakin luas permukaan atau
semakin banyak jumlah daun, maka produksinya akan meningkat karena proses
fotosintesis akan berjalan dengan lancar (Andoko dan Widodoro, 2013).

2. Bagian Generatif
a. Bunga (Flos)
Kelapa sawit merupakan tanaman monoecious (berumah satu). Artinya
bunga jantan dan bunga betina berada pada satu pohon, tetapi tidak pada tandan
yang sama. Tanaman kelapa sawit yang berumur 3 tahun sudah mulai dewasa dan
mulai mengeluarkan bunga jantan dan bunga betina. Bunga jantan berbentuk
lonjong memanjang, sedangkan bunga betina agak bulat. Tanaman kelapa sawit
mengadakan penyerbukan silang (cross pollination). Artinya, bunga betina dari
pohon yang satu dibuahi oleh bunga jantan dari pohon yang lainnya dengan
perantara angin dan atau serangga penyerbuk (Putranto, 2010).

Perbandingan bunga betina dan jantan (sex ratio) sangat dipengaruhi oleh
pupuk dan air. Jika tanaman kekurangan pupuk atau kekurangan air, bunga jantan

7
akan lebih banyak keluar. Produktivitas akan menjadi baik jika unsur hara dan air
tersedia dalam jumlah yang banyak dan seimbang. Sex ratio mulai terbentuk 24
bulan sebelum dipanen. Artinya, calon bunga (primordia) telah terbentuk dua
tahun sebelum panen. Karena itu, perencanaan produksi dihitung minimal tiga
tahun sebelumnya, sehingga perencanaan pemupukan dapat dijadwalkan
(Sunarko, 2009).

b. Buah
Bunga kelapa sawit betina yang telah diserbuki akan tumbuh menjadi buah
dan matang pada 5,5 bulan kemudian. Buah kelapa sawit berbentuk lonjong
membulat dengan panjang 2-3 cm dan bergerombol pada tandan yang muncul dari
setiap ketiak daun. Jumlah buah biasa mencapai sekitar 2000 buah pada setiap
tandan dengan tingkat kematangan yang bervariasi. Karena pengaruh klorofil,
buah kelapa sawit muda berwarna hujau. Meski demikian, ada beberapa varietas
yang buahnya sejak muda berwarna ungu kehitaman (Andoko dan Widodoro,
2013).

Buah kelapa sawit mempunyai warna bervariasi dari hitam, ungu, hingga
merah tergantung bibit yang digunakan. Buah bergerombol dalam tandan yang
muncul dari tiap pelepah dan kandungan minyak bertambah sesuai dengan
kematangan buah. Setelah melewati fase matang, kandungan asam lemak bebas
(FFA, free fatty acid) akan meningkat dan buah akan rontok dengan sendirinya
(Putranto, 2010).

Menurut Sunarko (2009) buah muda berwarna hijau pucat. Semakin tua
berubah menjadi hijau hitam hingga kuning. Buah sawit yang masih mentah
berwarna hitam (nigrescens), beberapa diantaranya berwarna hijau (virescens).
Sementara itu buah matang berwarna merah kuning (orange).

8
B. Ekologi Kelapa Sawit
Sawit dapat tumbuh dengan baik di daerah tropis. Tanaman ini tumbuh
sempurna di ketinggian 0-500 m dari permukaan laut dengan kelembaban 80-90
persen. Sedangkan intensitas penyinaran matahari yang cocok untuk penanaman
kelapa sawit adalah sekitar 5-7 jam per hari (Hartanto, 2011).

1. Iklim
Faktor iklim sangat berpengaruh terhadap pertumbuhan dan produksi
tandan kelapa sawit. Kelapa sawit dapat tumbuh dengan baik pada daerah tropis
diantara 15o LU - 15 o LS pada ketinggian 0-500 m dari permukaan laut dengan
kelembaban 80-90 persen. Sedangkan intensitas penyinaran matahari yang cocok
untuk penanaman kelapa sawit adalah sekitar 5-7 jam per hari (Hartanto, 2011).

a. Curah Hujan
Tanaman kelapa sawit menghendaki curah hujan 1500-4000 mm per
tahun, tetapi curah hujan optimal adalah 2000-3000 mm per tahun, dengan jumlah
hari hujan tidak lebih dari 180 hari per tahun. Pembagian hujan yang merata
dalam satu tahunnya berpengaruh kurang baik karena pertumbuhan vegetatif lebih
dominan daripada pertembuhan generatif, sehingga bunga atau buah yang
terbentuk pun relatif lebih sedikit (Hartanto, 2011).

Keadaan curah hujan yang baik, misalnya adalah di kawasan Sumatera


Utara, yakni berkisar antara 2000-4000 mm per tahun, dengan musim kemarau
jatuh pada bulan Juni hingga September, tetapi masih ada hujan turun yang
menyediakan kebutuhan air bagi tanaman. Keadaan iklim ini mendorong kelapa
sawit membentuk bunga dan buah secara terus menerus sehingga diperoleh hasil
buah yang tinggi (Hartanto, 2011).

Jika tanah dalam keadaan kering, akar tanaman akan sulit menyerap
mineral dari tanah. Musim kemarau yang berturut-turut selama tiga bulan aau
lebih dapat mempengarui pembentukan bunga dan sex ratio. Karena itu, musim
kemarau yang panjang dapat menurunkan produksi kelapa sawit (Sunarko, 2009).

9
b. Sinar Matahari
Kelapa sawit termasuk tanaman yang menyukai cahaya matahari.
Penyinaran matahari sangat berpengaruh terhadap perkembangan buah kelapa
sawit. Tanaman yang kurang mendapat sinar matahari karena jarak tanam yang
sempit, pertumbuhannya akan terhambat karena hasil asimilasinya kurang
(Putranto, 2010).

Tanaman dewasa yang ternaungi, produksi bunga betinanya sedikit


sehingga perbandingan bunga betina dan bunga jantan (sex ratio) kecil. Penelitian
menunjukan pada bulan-bulan yang penyinaran mataharinya lebih panjang
mempunyai korelasi positif dengan produksi buah kelapa sawit. Kebun-kebun
kelapa sawit di Indonesia panjang penyinarannya tidak ada masalah karena letak
geografisnya dekat dengan garis katulistiwa (Putranto, 2010).

c. Suhu
Perbedaan suhu dapat mempengaruhi pertumbuhan dan produksi buah.
Suhu 20o C merupakan suhu minimum bagi pertumbuhan vegetative. Sementara
itu, suhu 22-23o C merupakan suhu rata-rata tahunan yang diperlukan untuk
produksi buah. Suhu terkait dengan garis lintang dan elevasi di suatu daerah.
Berdasarkan hasil pengamatan, lokasi tumbuh kelapa sawit lebih optimal berada
di daerah tropis (Lubis dan Agus Widanarko, 2011).

d. Kelembaban Udara dan Angin


Kelembaban udara dan angin adalah faktor penting yang menunjang
pertumbuhan kelapa sawit. Kelembaban udara dapat mengurangi penguapan,
sedangkan angin berfungsi untuk membantu penyerbukan secara alamiah.
Namun, angin yang bersifat kering justru dapat menyebabkan penguapan yang
lebih besar, mengurangi kelembaban, dan kelayuan (Sunarko, 2009).

Kelembaban optimum bagi pertumbuhan kelapa sawit adalah 80-90 %.


Manfaatkan keadaan iklim selama pertumbuhan untuk mencapai kelembaban
optimum dengan cara penyimpanan air di waktu musim hujan dan membuat

10
sumur serapan. Faktor-faktor yang mempengaruhi kelembaban adalah suhu, sinar
matahari, lama penyinaran, curah hujan, dan evapotranpirasi (Sunarko, 2009).

e. Bentuk Wilayah
Bentuk wilayah merupakan faktor penentu produktivitas yang akan
mempengaruhi kemudahan panen, pengawetan tanah dan air, pembuatan jaringan
jalan, serta efektivitas pemupukan. Bentuk wilayah yang cocok untuk kelapa
sawit adalah pertama, wilayah dengan kemiringan lereng 0-8 persen. Kedua, di
wilayah bergelombang sampai berbukit (kemiringan lereng 8-30 persen), kelapa
sawit masih dapat tumbuh dan berproduksi dengan baik melalui upaya
pengelolaan tertentu seperti pembuatan teras (Hartanto, 2011).

2. Tanah
Sifat tanah yang ideal dalam batas tertentu dapatmengurangi pengaruh
buruk dari keadaan iklim yang kurang sesuai. Tekstur tanah yang paling ideal
untuk kelapa sawit adalah lempung berdebu, lempung liat berdebu, lempung
berliat dan lempung liat berpasir. Kedalaman efektif tanah yang baik jika <100
cm dengan tingkat keasaman (pH) tanah yang optimal adalah pH 5,0 s/d 6,0
namun kelapa sawit masih toleran terhadap pH < 5 misalnya pada pH 3,5 s/d 4
(pada tanah gambut). Kelapa sawit menghendaki tanah yang gembur subur, datar,
berdrainase baik dan memiliki lapisan solum yang dalam tanpa lapisan padas
(Hartanto, 2011).

Adapun kriteria kesesuaian lahan untuk kelapa sawit pada tanah mineral
dapat dilihat pada tabel berikut.

11
Tabel 1. Kriteria keseuaian lahan untuk kelapa sawit pada tanah mineral

Intensitas Faktor Pembatas


N Karakteristik Simb
Tanpa Ringan Sedang
o lahan ol Berat (3)
(0) (1) (2)
1.750-
Curah hujan 1.750- 1.500-
1 H 1500 <1.250
(mm) 3.000 1.250
>3.000
Bulan kering
2 K <1 2-Jan 3-Feb >3
(bln)
Ketinggian di
atas
3 L 0-200 200-300 300-400 >400
permukaan
laut (m)
Bentuk Beromb Bergelo
wilayah/ Datar- ak- bang- Berbukit-
4 kemiringan W beromb bergelo berbukit bergunung
lereng (% ak <8 mbang >30
15-30
volume) 8-15
Batuan di
permukaan
5 dan di dalam B <3 15-Mar 15-40 >40
tanah (%
volume)
Kedalaman
6 S >100 100-75 75-50 <50
efektif (cm)
Lempu Liat, liat
ng berpasir, Pasir
Liat berat,
7 Tekstur tanah T berdebu lempung berlem-
pasir
, berpasir, pung
lempun lempung

12
g liat
berpasir
,
lempun
g liat
berdebu
,
lempun
g
berliat
Sangat
Agak
Cepat, cepat,
Kelas Baik, terhamb
8 D terhamb sangat
drainase sedang at, agak
at terhambat,
cepat
tergenang
Kemasaman 4,0-5,0 3,5-4,0 <3,0
9 A 5,0-6,0
tanah (pH) 6,0-6,5 6,5-7,0 >7,0
Sumber: Pusat Penelitian Kelapa Sawit Medan

13
3. Perkembangbiakan
Kelapa sawit berkembang biak dengan cara generatif. Kelapa sawit
memiliki banyak jenis, berdasarkan ketebalan cangkangnya kelapa sawit dibagi
menjadi Dura, Psifera dan Tenara. Dura merupakan sawit yang buahnya memiliki
cangkang tebal sehingga dianggap memperpendek umur mesin pengolahan namun
baisanya tandan buahnya besar dan kandungan minyak pertandannya berkisar 18
persen. Psifera buahnya tidak memiliki cangkang namun bunga betinanya steril
sehingga sangat jarang menghasilkan buah. Sedangkan Tenera adalah persilangan
antara induk Dura dan Psifera. Jenis ini dianggap bibit unggul sebab melengkapi
kekurangan masing-masing induk dengan sifat cangkang tipis namun bunga
betinanya tetap fertil. Persentase daging buah dari Tenera dapat mencapai 90
persen per tandannya. Dan kandungan minyak per tandannya dapat mencapai 28
persen (Hartanto, 2011).

C. Penyakit Busuk Tandan Buah (M. palmivorus)


Penyakit busuk tandan disebabkan oleh jamur M. palmivorus. Jamur ini
tumbuh dan berkembang di kulit buah tandan. Ciri kerusakannya yaitu daging
buah berubah menjadi warna coklat, lalu menjadi berwarna hitam dan membusuk.
Buah yang busuk akan gugur sehingga terjadi kegagalan masak tandan. Serangan
penyakit ini sering terjadi pada tanaman muda yang mulai panen hingga tanaman
berumur tujuh tahun. Penyakit ini beresiko terjadi saat kondisi kelembaban di
kebun yang cukup tinggi. Intensitas penyakit ini biasanya meningkat selama
musim penghujan. Penyakit ini menyebabkan turunnya kualitas dan kuantitas
buah yang dipanen (Sulistyo, dkk 2010).

Busuk tandan (bunch rot) terdapat di semua negara penanam kelapa sawit,
dengan derajat kerugian yang berbeda-beda. Kerugian yang paling besar terjadi di
Indonesia, Malaysia Semenanjung, dan Sabah. Dari pengamatan Puspa dan
Purba (1987) diketahui bahwa di kebun-kebun muda di daerah pengembangan
perkebunan, penyakit terdapat pada lebih kurang 25% dari tandan buah. Besar

14
kecilnya kerugian yang ditimbulkannya sangat tergantung dari keadaan
lingkungannya (Semangun, 2008).

Penyakit ini awalnya berkembang di ujung tandan buah segar (TBS), di


bagian buah yang terjepit antara batang, dan pelepah daun di atasnya. Mula-mula,
jamur membentuk benang-benang atau miselium berwarna putih mengkilap yang
banyak menutupi kulit buah. Selanjutnya, jamur menyerang daging buah yang
mengakibatkan buah membusuk berwarna cokelat muda. Jika seluruh tandan
telah terserang, jamur membentuk tubuh buah berupa payung dengan diameter
2,5-7,5 cm yang ditunjang oleh batang yang panjangnya 2,5-3,0 cm. Pada
permukaan bawah payung, terdapat papan-papan (bilah) seperti insang ikan berisi
spora (Andoko dan Widodoro, 2013).

Benang-benang jamur yang berwarna putih mengkilat meluas di


permukaan tandan buah. Pada tingkatan ini jamur belum menimbulkan kerugian
pada tandan. Miselium lebih banyak terdapat pada pangkal tandan yang melekat
pada pangkal pelepah daun yang mendukungnya, karena di sini kelembapannya
paling tinggi. Keadaan ini dapat dilihat pada buah-buah yang masih mentah.
Pada tingkatan berikutnya miselium yang berada di permukaan buah itu
mengadakan penetrasi ke dalam daging buah (mesocarp) yang menyebabkan
busuk basah. Buah berwarna coklat muda, berbeda jelas dari buah yang sehat.
Pembusukan ini sangat meningkatkan kadar asam lemak buah karena terjadinya
penguraian lemak (lipolisis). Jika buah yang sakit tidak diambil, miselium dapat
meluas dalam tajuk (mahkota) tanaman, sehingga semua tandan yang berkembang
akan terserang (Semangun, 2008).

15
D. Faktor Penyebab Penyakit Busuk Tandan Buah (M. palmivorus)
Busuk tandan Marasmius disebabkan oleh jamur patogenik M. palmivorus
Sharples, suatu jamur saprofit yang umum terdapat pada bermacam-macam bahan
mati. Namun jika terdapat bekal makanan yang cukup banyak, jamur mampu
mengadakan infeksi pada jaringan hidup, dan dapat berubah menjadi parasit.
Jamur membentuk rhizomorf yang ujungnya seperti kipas, biasanya berwarna
putih atau merah muda. Badan buahnya berbentuk seperti payung dengan
diameter 2,5-7,5 cm, tepinya berbalik ke atas bila sudah matang, dihasilkan dalam
jumlah besar pada tandan-tandan yang terserang berat, berwarna putih dalam
keadaan kering dan merah muda bila basah, tangkainya 2,5-3,5 cm. Pada sisi
bawah badan buah terdapat banyak basidium yang menghasilkan basiospora
dalam jumlah sangat banyak (Semangun, 2008).

Marasmius adalah jamur saprofit yang selalu terdapat dimana-mana.


Dengan demikian sumber infeksi selalu ada. Jamur akan berkembang menjadi
parasit tergantung dari keadaan, antara lain cuaca (kelembapan) dan tersedianya
banyak bahan organik di kebun (Semangun, 2008).

Gejala awal dari infeksi penyakit busuk tandan buah terlihat dengan
adanya benang-benang jamur (rizomorf) yang berwarna putih. Pada tingkatan ini
jamur sudah mulai menimbulkan kerusakan pada tandan. Pada tingkatan yang
lebih lanjut miselium yang berada di permukaan buah ini mengadakan penetrasi
ke dalam daging buah (mesocarp). Serangan terjadi pada buah busuk karena
lewat matang dimana sebahagian atau seluruh buah pada tandan menjadi busuk.
Buah berwarna coklat muda, berbeda jelas dari buah yang sehat. Pembusukan ini
sangat meningkatkan kadar asam lemak bebas karena terjadinya penguraian lemak
(lipolisis) (Purba, 2009).

Miselium jamur mula-mula berkembang pada permukaan tandan. Ini


hanya dapat terjadi kalau kelembapan udara cukup tinggi. Sedang kelembapan
tinggi dalam kebun dapat terjadi karena cuaca, karena jarak tanam yang terlalu
rapat, pemangkasan daun (penunasan) yang terlambat, dan sebagainya. Jarak

16
tanam yang terlalu rapat juga menyebabkan daun-daun menjadi lebih tegak,
sehingga kelembapan diantara pelepah daun (tempat terdapatnya tandan-tandan)
menjadi lebih tinggi (Semangun, 2008).

Penyakit ini lebih banyak terdapat di kebun yang berumur 3-9 tahun,
khususnya dalam kebun-kebun yang tanamannya baru mulai berbuah. Dalam
kebun-kebun seperti ini terdapat banyak tandan buah busuk karena berbagai hal,
yang dapat menjadi alas makanan bagi Marasmius. Tandan-tandan yang busuk
ini dapat terjadi karena penyerbukan yang kurang sempurna, yang umum terdapat
pada kebun muda. Dalam kebun-kebun muda terdapat banyak tandan-tandan
kecil yang kurang menguntungkan untuk dipanen sehingga dibiarkan membusuk
di tanaman kelapa sawit. Di samping itu sering terdapat kebun-kebun baru yang
sudah mulai berbuah pada waktu fasilitas pengolahan belum siap (Semangun,
2008).

Beberapa faktor pendorong yang menyebabkan terjadinya infeksi dan


penyebaran penyakit busuk tandan buah ini adalah kelembaban udara yang tinggi
di dalam kebun sangat mendorong perkembangan busuk tandan Marasmius, hal
ini bisa terjadi karena faktor cuaca khusunya selama musim hujan, jarak tanam
yang terlalu dekat, tidak dilakukannya kastrasi pada saat masa TBM, penunasan
dan penyiangan gulma yang terlambat, dan karena pusingan panen yang terlalu
lama (lebih dari dua minggu) (Purba, 2009).

Beberapa faktor-faktor lingkungan yang mendorong terjadinya infeksi dan


perkembangan penyakit busuk tandan buah antar lain adalah 1) adanya sejumlah
besar massa bahan organik di sekitar pangkal batang dan ketiak pelepah yang
sesuai untuk kolonisasi jamur dari saprofitik menjadi parasitik, 2) penyerbukan
yang tidak sempurna pada tanaman muda karena tepung sari (pollen) kurang
tersedia dan kurangnya serangga penyerbukan dapat menyebabkan pembentukan
buah terganggu dan tandan menjadi longgar sehingga mendorong penyakit masuk,
3) curah hujan yang tinggi meningkatkan kelembaban yang secara langsung
mendorong perkembangan jamur dan tanaman kelapa sawit yang pertumbuhannya

17
jelek karena kondisi tanah yang asam, dan 4) defisiensi hara khusunya Mg dan K
lebih rentan terhadap serangan penyakit (PPKS, 2006).

E. Kerugian Serangan Penyakit Tandan Buah (M. palmivorus)


Penyakit busuk tandan buah (Bunch rot) terdapat disemua negara penanam
kelapa sawit dengan derajat serangan atau kerugian yang berbeda. Serangan yang
paling besar terjadi di Indonesia adalah di kebun-kebun daerah pengembangan
yang dapat mencapai 25% (4-5 tandan per pokok pada tanaman muda). Serangan
penyakit ini dapat menyebabkan kerugian secara langsung terhadap produksi baik
dalam hal kualitas maupun kuantitas. Tandan buah yang terserang atau mengalami
hambatan dalam proses kematangan buah sehingga menjadi busuk, dan bila diolah
akan meningkatkan kadar asam lemak bebas (Purba, 2009).

Menurut Fajar (2012), pada awal stadium serangan M. palmivorus, hanya


kecil kerugian ekonomi yang diderita. Bila penyebaran miselium semakin
berlanjut dan tidak segera dikendalikan, maka seluruh permukaan tandan buah
akan terinfeksi dan sampai menembus daging buah. Jika perikarp sudah terinfeksi
jamur Marasmius, akan terjadi busuk berair yang berwarna coklat muda dan akan
mengakibatkan meningkatnya kandungan asam lemak bebas.

18
F. Pengendalian Penyakit Busuk Tandan Buah (M. palmivorus)
Penyakit ini dapat dicegah dengan melakukan penyerbukan buatan,
kastrasi dan sanitasi kebun, terutama pada musim hujan. Semua bunga dan buah
yang membusuk sebaiknya dibuang. Pengendalian secara mekanis dengan
mengumpulkan tandan yang terserang, lalu mengubur ke dalam tanah atau
membakarnya (Andoko dan Widodoro, 2013).

Menurut Purba (2009), pengendalian penyakit busuk tandan buah dapat


dilakukan dengan cara sebagai berikut.

1. Mengurangi kelembaban di kebun dengan cara menanam dengan jarak


tanam yang sesuai yaitu 126-130 pohon per Ha.
2. Melaksanakan kastrasi pada TBM.
3. Membuang semua bunga dan buah yang busuk dan membakarnya di
tempat terbuka.
4. Melaksanakan penunasan pelepah secara teratur dengan pusingan kurang
dari 9 bulan.
5. Melakukan penyiangan gulma di lingkup piringan setidaknya dengan
rotasi 1 x 2 bulan pada tanaman muda.
6. Pusingan panen hendaknya tepat waktu yaitu kurang dari 10 hari , tandan-
tandan yang mencapai kriteria matang panen harus dipanen dan tidak
boleh dibiarkan membusuk di pohon.
Pengendalian dengan cara kimiawi dilakukan apabila pengendalian secara
kultur teknis tidak dapat menekan penyebaran dan perkembangan penyakit. Maka
pengendalian secara kimiawi harus dilakukan agar penyakit penyakit tidak
menyerang ke tandan yang lain. Pengendalian secara kimiawi dilakukan dengan
menggunakan fungisida Dithane M-45 80 WP dengan bahan aktif Mankozeb yang
akan disemprotkan pada buah yang terserang penyakit maupun tidak terserang
penyakit (Andoko dan Widodoro, 2013).

19

Anda mungkin juga menyukai