Anda di halaman 1dari 21

Tugas 1 Rancangan Pabrik PLTU di Indonesia yang menggunakan

Sistem Cofiring dan Ringkasan Cofiring

Kelompok RP.26 :
1. Rahmat Haikal (13018108)
2. M.As’ad.Ramadhan (13018038)
3. Syafi Laksono (13018020)

1. PLTU yang sudah menggunakan system cofiring di Indonesia


Uji coba program co-firing sedang dilakukan di 52 Lokasi PLTU dengan total kapasitas 18.154 MW,
terdiri dari 16 PLTU yang berada di Jawa Madura Bali (Jamali) dan 36 PLTU di luar Jamali. Dari total
16 unit PLN di Jamali, sekitar 14 unit sudah melakukan uji coba co-firing, di mana 13 unit PLTU (Per
maret 2021) sudah implementasi. Sementara di luar Jawa, program co-firing telah dilakukan uji coba di
27 PLTU, sebanyak 5 PLTU sudah dalam tahap implementasi.

Program co-firing pada PLTU merupakan program energi baru terbarukan (EBT) yang bertujuan untuk
membantu PLN dalam mengurangi konsumsi batu bara sehingga bisa menekan emisi karbon. Selain
itu, program ini bisa mengatasi permasalahan sampah/limbah di Indonesia. Biomassa yang diambil bisa
dari limbah pertanian, limbah industri pengolahan kayu, hingga limbah rumah tangga. Beberapa PLTU
yang sudah menggunakan system cofiring di Indonesia :
No. Nama PLTU Jenis Biomassa Lokasi
1. PLTU Paiton (800 MW) Sawdust Kabupaten Probolinggo,
Jawa Timur

2. PLTU Jeranjang (150 MW) SRF-sampah Desa Taman Ayu,


Kecamatan Gerung,
Kabupaten Lombok Barat,
NTB
3. PLTU Sanggau (14 MW) Cangkang sawit Sungai Muntik, Kec.
Kapuas, Kabupaten
Sanggau, Kalimantan Barat
4. PLTU Ketapang (20 MW) Cangkang sawit Ketapang, Kalimantan Barat.
5. PLTU Suralaya (1600 MW) Sekam padi Cilegon, Banten
6. PLTU Barru (100MW) SRF-sampah Kabupaten Barru, Provinsi
Sulawesi Selatan
7. PLTU Pacitan (630 MW) Sawdust Kabupaten Probolinggo,
Jawa Timur
8. PLTU Anggrek (56 MW) SRF-sampah Kecamatan Anggrek,
Kabupaten Gorontalo Utara

1
9. PLTU Rembang (630 MW) Wood pellet Desa Leran dan desa Trahan
Kecamatan Sluke Kabupaten
Rembang.
10. PLTU Labuan (600 MW) SRF-sampah Pandeglang, Banten
11. PLTU Lontar (945 MW) Sekam padi Lontar, Kemiri, Tangerang,
Banten
12. PLTU Adipala (660 MW) Sawdust Kec. Adipala, Kabupaten
Cilacap, Jawa Tengah
13. PLTU Pelabuhan Ratu Sawdust Pelabuhan Ratu, Sukabumi
(1050 MW)
16. PLTU Tanjung Awar-awar Tidak diketahui Tuban, Jawa Timur
17. PLTU Indramayu Tidak diketahui Sumuradem, Kec. Sukra,
Kabupaten Indramayu, Jawa
Barat
18. PLTU Sintang (21 MW) Cangkang sawit ( 5 Sintang, Kalimantan Barat
%)
19. PLTU Ropa (14 MW ) Rumput kering Kabupaten Ende, Nusa
Tenggara Timur
20. PLTU Asam-asam (65 MW) Sawdust (3-5 %) Asri Mulia, Kalimantan
Selatan
21. PLTU Pulau pisang Tidak diketahui Desa Buntoi, Kahayan Hilir,
Kuala Kapuas, Kalimantan
Tengah

Keterangan :
Warna kuning : PLTU dalam tahap ujicoba sistem cofiring.

Gambar 1.1 Peta Persebaran PLTU yang melakukan sistem cofiring secara komersial (Sumber :
esdm,go.id)

Beberapa jenis biomassa yang digunakan di PLTU Indonesia yaitu:


1. Sawdust atau limbah serbuk kayu
Sawdust berhasil digunakan sebagai biomassa pada PT Pembangkitan Jawa Bali

2
Gambar 1.2 Sawdust
(Sumber: id.wikipedia.org)
2. Woodchip atau kepingan kayu

Gambar 1.3 Woodchip


(Sumber: en.wikipedia.org)

3. Solid recovered fuel (limbah padat)


Solid recovered fuel (limbah padat) berhasil digunakan sebagai biomassa pada PT
Indonesia Power

3
Gambar 1.4 Solid recovered fuel
( Sumber: scholarspower.uk)
4. Sekam padi
Sekam padi berhasil digunakan sebagai biomassa pada PT Indonesia Power

Gambar 1.5 Sekam Padi


(Sumber: id.wikipedia.org)
5. Cangkang sawit
Cangkang sawit digunakan sebagai biomassa pada PLTU Ketapang dan PLTU Sanggau

Gambar 1.6 Cangkang sawit


(Sumber: sawitindonesia.com)

4
2. Ringkasan cofiring biomass
Cofiring biomassa merupakan proses pencampuran antara biomassa dengan coal, dengan coal yang
biasanya jumlahnya lebih dominan dalam pembakarannya. Proses ini dilakukan dalam boiler, tipe
boiler yang digunakan biasanya adalah pulverized coal boiler. Tujuan dari proses ini adalah
mengurangi emisi dan juga untuk meningkatkan efisiensi proses tanpa meningkatkan cost secara
signifikan dan investasi infrastruktur.

Gamabr 2.1 Perbandingan proses cofiring dengan pembakaran biomassa murni (Sumber : Xu et al.,
2020)
2.1 Coal dan Biomassa
Dua bahan penting dalam proses ini adalah coal dan biomassa. Coal bisa diklasifikasikan menjadi 4
tipe secara berurutan yaitu lignite, subbituminous, bituminous, dan anthracite. Semakin ke kanan coal
memiliki fixed carbon concentracion yang tinggi sedangakan moisture dan oxygen content berkurang.
Tingkatan dari tipe coal tersebut dipengaruhi oleh jumlah dari karbon dan jumlah energi panas yang
dapat dihasilkan coal tersebut.

5
Gambar 2.2 Struktur bituminous coal. (Sumber : Tillman et al., 2012)
Biomassa yang digunakan pada proses cofiring cenderung memiliki heat content yang lebih rendah
dibandingkan dengan coal. Beberapa contoh biomassa yang digunakan seperti saw dust, waste,
switchgrass, dan corn stover. Umumnya pada biomassa ikatannya karbon alifatik, aromatik, dan
memiliki ikatan eter. Konten silika pada biomassa berkisaran di angka 10 % - lebih dari 50 %,
contohnya pada saw dust kandungan silikanya kecil. Bila dibandingkan dengan coal konten nitrogen
dan sulfur pada biomassa lebih rendah sehingga cocok sebagai substitusi untuk menghilangkan emisi
gas SOx dan NOx.

Gambar 2.3 Analisis ultimat dan proksimat berbagai macam coal. (Sumber : Tillman et al., 2012)
Kandungan dari tiap bahan bakar (coal dan biomassa) berpengaruh penting pada proses pembakaran
yang akan terjadi, berikut beberapa tabel analisis proksimat dan ultimat pada coal dan biomassa.

6
Gambar 2.4 Analisis ultimat dan proksimat berbagai macam coal. (Sumber : Tillman et al., 2012)

Gambar 2.5 Analisis ultimat dan proksimat berbagai macam biomassa. (Sumber : Tillman et al., 2012)

7
Terlihat bahwa pada gambar 1.3 dan 1.4 kandungan volatile matters pada biomassa lebih tinggi
daripada coal, hal ini sesuai dengan ikatan yang ada pada biomassa dimana terdapat ikatan eter yang
menyusun polimer dimana ikatan ini lebih mudah dipisahkan dan diuapkan daripada ikatan pada coal
yang umumnya poliaromatik. Kandungan moisture pada biomassa bila dibandingkan dengan coal
cenderung lebih rendah, sedangkan kandungan ash pada coal lebih tinggi daripada biomassa. Abu
merupakan residu yang masih tersisa setelah proses pembakaran terjadi, pada coal abu yang
dihasilkan dapat diklasifikasikan menjadi basa dan asam. Kondisi asam dan basa abu berpengruh pada
temperature leleh abu dan viskositas abu. Abu pada biomassa teridir dari beberapa macam senyawa
logam dan non logam. Adanya senyawa logam seperti Ca, Fe, dan Mg dapat menyebabkan slagging,
fouling, corrosion, dan erosion.
Berikut merupakan data abu dari berbagai macam biomassa dan coal.

Gambar 2.6 Kandungan abu beberapa jenis coal (Sumber : Tillman et al., 2012)

Gambar 2.7 Kandungan abu beberapa jenis biomassa (Sumber : Tillman et al., 2012)
2.2 Cofiring

8
Metode cofiring mulai banyak digunakan karena dapat mengurangi dampak emisi gas rumah kaca
(GHG) dari pembakaran bahan bakar fosil. Berdasarkan dari (Basu, 2018) terdapat beberapa
keuntungan metode cofiring :
1. Merupakan metode yang secara harga dan prakteknya paling efektif untuk mereduksi emisi
GHG (green house gas).
2. Memiliki efisiensi yang lebih tinggi daripada metode pembakaran fossil.
3. Metode ini mempunyai lower technical risk daripada metode pembakaran konvensional.
4. Cofiring biomass memiliki biaya unit operasi terendah ($/kWh) bila dibandingkan dengan
produksi listrik berbasis biomassa.
5. Kandungan nitrogen dan sulfur pada biomassa lebih rendah daripada coal sehingga
meminimalisir adanya emisi gas NOx dan SOx.
Terdapat 3 konfigurasi cofiring :
1. Direct cofiring
2. Indirect cofiring
3. Parallel cofiring

Gambar 2.8 Beberapa tipe konfigurasi cofiring (Sumber : Gil and Rubiera, 2018)
2.2.1 Direct Cofiring
Konfigurasi ini merupakan konfigurasi paling simpel, murah, dan yang banyak digunakan di
Industri. Keunggulan dari proses ini adalah tidak membutuhkan peralatan eksternal seperti
gasifier sehingga capital cost pada konfigurasi ini paling rendah selain itu konfigurasi ini
memiliki efisiensi tinggi dan meningkatkan kualitas proses pembakaran akibat kandungan
volatile matter pada biomassa. Konfigurasi ini juga mempunyai limitasi seperti memproduksi
deposit abu yang banyak, tidak bisa diaplikasikan ke semua biomassa, dan aplikasi untuk
besar range pabriknya terbatas. Pada banyak kasus thermal input yang diinjeksikan sebesar
10 % pada konfigurasi ini karena keterbatasan segi ekonomik, masalah ini dapat diatasi
dengan melakukan torekfasi.

2.2.2 Indirect Cofiring


Konfigurasi ini melibatkan gasifikasi biomassa terlebih dahulu pada unit gasifier yang
terpisah. Dimana biomassa tersebut dikonversi menjadi fuel gas terlebih dahulu lalu dibakar
dengan coal di unit boiler. Metode ini tentunya lebih mahal daripada konfigurasi direct
karena melibatkan alat eksternal gasifier. Keunggulan dari proses ini adalah dapat

9
menggunakan banyak tipe biomassa dan lebih banyak presentasi biomassa yang dapat di
gunakan. Keunggulan lain dari konfigurasi ini adalah mengurangi adanya slagging karena
biomassa tersebut tidak langsung diinput ke boiler. Karena biomassa yang masuk kedalam
boiler berupa gas dan dapat dinjeksikan dengan berbagai cara, maka pabrik dapat
menghindari konversi energi yang hilang serta menghemat pembersihan gas buang dari
boiler.

2.2.3 Parallel Cofiring


Konfigurasi ini menggunakan 2 buah boiler, dimana coal dan biomassa di masukkan kedalam
dua buah boiler yang berbeda. Aktivitas Pretreatment, feeding, dan combustion dilakukan
secara terpisah. Konfigurasi ini memiliki keunggulan penggunaan biomassa dengan presentasi
yang tinggi, dapat diaplikasikan untuk biomassa yang memiliki struktur senyawa kompleks,
dan dapat menghasilkan kualitas abu yang bagus. Biasanya konfigurasi ini digunakan di
industry pulp and paper dengan biomassa yang digunakan adalah kulit pohon dan limbah
kayu. Meskipun konfigurasi ini jauh lebih mahal dari konfigurasi direct namun masih lebih
murah bila dibandingkan dengan pembakaran yang menggunakan 100% biomassa.
Efisienyang dihasilkan oleh konfigurasi ini juga lebih tinggi daripada pembakaran yang
menggunakan 100% biomassa.
2.3 Rasio cofiring

Rasio optimum dari cofiring biomassa dan coal ditentukan berdasarkan cost dan performa dari
pablik yang menggunakan konfigurasi cofiring. Rasio yang umumnya digunakan pada tahap
komersial adalah 5% - 10 %. Beberapa hal yang mempengaruhi efisiensi furnace seperti ukuran
partikel biomassa, laju injeksi biomassa, perilaku termal feed dan dinamika fluidanya, dan design
dari burner. Efisiensi hasil pembakaran biomassa dan coal yang di konversi menjadi energi listrik
berkisar di angka 33 % - 37 %, total net efisiensi listrik berkisar 35 % -44 %. Perbandingan dari
coal dan biomassa juga mempengaruhi karakteristik api yang digunakan, seperti ignition point
dan kecerahannya.

2.4 Pretreatment Biomassa


Sebelum biomassa masuk kedalam boiler, biomassa mengalami beberapa proses seperti
tranportasi biomassa, penyimpanan, pengurungan ukuran, pengeringan, dan feeding. Pada proses
pengurangan ukuran material di proses melalui milling dan grinding dihasilkan biomassa yang
bersifat fibrous dan memiliki densitas rendah. Tidak feasible untuk mendapatkan biomassa yang
memiliki ukuran yang sama dengan coal yang ingin diproses. Densitas rendah ini disebabkan oleh
kandungan tinggi dari moisture biomassa, hal ini menyebabkan kesulitan dalam mentransportasi
biomassa. Oleh karena itu dibutuhkan suatu proses pretreatment untuk meningkatkan densitas
dari biomassa. Beberapa proses yang dapat dilakukan seperti : leaching, torrefaction, dan
Pelletization.

2.4.1 Leaching

Biomassa mengandung berbagai macam jenis logam dan nonlogam, seperti natrium, kalium,
sulfur, dan klorida. Logam alkali pada biomassa seperti kalium dan kalsium dapat menyebabkan
slagging pada furnace. Logam alkali ini akan bereaksi dengan unsur nonlogam dan menjadi
sebuah senyawa endapan yang akan mengahalangi feed dari biomassa dan coal, menyebabkan

10
aglomerasi, serta menghalangi laju perpindahan panas pada boiler. Adanya unsur nonlogam asam
seperti klorida (Cl) menyebabkan korosi pada dinding tube. Proses leaching dilakukan dengan
dengan mencuci biomassa dengan larutan asam, dimana larutan asam ini akan mengurangi jumlah
logam alkali yang ada pada biomassa. Pencucian ini memadukan proses dewatering dan rinsing
larutan asam pada biomassa.

2.4.2 Torrefaction
Pretreatment jenis ini dilakukan dengan mengubah karakteristik fisik biomassa agar menjadi
seperti coal. Metode yang digunakan adalah thermal pretreatment dimana terdapat dua tipe
torrefacition yaitu dry torrefaction dan wet torrefaction. Pada kasus dry biomassa dipanasakan
dengan kehadiran oksigen pada suhu 200-300 °C selama satu jam. Proses ini menghasilkan
biomassa yang berkurang sifat moisture nya, ukurannya lebih kecil, mikroba degradasinya
berkurang, dan densitas energi biomassa bertambah. Berkurangnya moisture dari biomassa
membuat meningkatnya heating value dari biomassa tersebut, sehingga menyebabkan
kemungkinan biomassa menyerap air menjadi kecil dan biomassa dapat ditransportasikan serta
disimpan tanpa perlu khawatir akan menyerap air dari lingkungan sekitar. Masalah biomassa yang
bersifat serat juga dapat diatasi dengan masalah ini dimana setelah torefaksi biomassa meningkat
densitas energinya dan menyebabkan mudah untuk dilakukan grinding dan milling. Pada wet
torrefaction digunakan H2O panas yang terkompresi dimana produknya juga sama dengan tipe
dry, namun pada tipe wet dihasilkan juga laruton aqueous yang merupakan gula terlarut.

2.4.3 Pelletization
Pretreatment jenis ini dilakukan untuk meningkatkan energi densitas dari biomassa dengan cara
merubah biomassa menjadi bahan yang lebih compact, low moisture, dan berbentuk kapsul/pellet.
Proses ini menggunakan tekanan dan suhu untuk memanipulasi karakteristik fisik tersebut, proses
dibagi menjadi 3 tahap yaitu drying, grinding, dan compaction. Pada drting biomassa direduksi
kondisi airnya menjadi 10 %, proses grinding menggunakan hammer mill, dan compaction
menggunakan press mill.

Gambar 2.9 Energi densitas beberapa jenis biomassa (Sumber : Gil and Rubiera, 2018)

11
2.5 Tipe Boiler Cofiring

Terdapat beberapa tipe boiler yang digunakan pada proses cofiring seperti : grated combustor,
pulverized fuel combustor, FBC (Fluidized bed combustor), dan cyclone boiler.
2.5.1 Grated combustor
Grated combustion system menggunakan grate fired furnaces dan underfeed stokers (rantai).
Bahan bakar langsung dimasukkan kedalam grated combustor tanpa adanya proses atau
sirkulasi dengan udara sebelum masuk boiler, udara dialirkan dari bawah rantai (stoker)
sehigga coal dan biomassa dapat terbakar. Boiler ini sangat sederhana prosesnya dan
merupakan design terlama, namun boiler jenis ini sangat tidak efisien dan menyebabkan emisi
gas yang tinggi. Temperatur pembakaran pada grate combustion sekitar 1300°C-1400 °C,
dimana dapat menyebabkan abu hasil pembakaran meleleh dan menyebabkan korosi.
Beberapa jenis boiler ini dapat bersifat fixed, moving, dan vibrating. Sebagai contohnya water
cooled vibrating grate boiler digunakan untuk pembangkit listrik biomassa limbah kayu.
Boiler jenis grated umumnya digunakan untuk pembakaran bahan bakar yang bersifat low
heating value dengan humiditas 30 %. Boiler jenis ini meskipun hemat di sektor operasional
dan pemeliharaan alat namun efisiensi yang terbatas membuat boiler jenis PFC dan FBC lebih
diminati.

Gambar 2.10 Boiler tipe Grated (Sumber : Tillman et al., 2012)


2.5.2 Pulverized fuel combustor
Pada boiler jenis PFC, bahan bakar harus tereduksi ukuran partikelnya (10-20 mm) dan
kemudian partikel yang sudah sesuai ukurannya ditransportasi secara pneumatik kearah
burner. Proses ini memiliki keuntungan seperti efisiensnya yang tinggi dan juga mengurangi
emisi NOx . Boiler ini biasanya digunakan pada tipe direct cofiring, pembakaran dapat bekerja
apabila ukuran bahan bakar terjaga dan moisture sebaiknya tidak melebihi 20 %.

12
Gambar 2.11 Boiler tipe PFC (Pulverized Fuel Combustor). (Sumber : Tillman et al., 2012)
2.5.3 Fluidized bed combustor
Berbeda dengan tipe sebelumnya yang menggunakan stoker, tipe boiler ini menggunakan
tumpukan bed, bed ini menggunakan bahan silika atau limestone). Bed berfungsi sebagai
buffer untuk menahan temperatur tinggi pembakaran, suhu pembakaran berkisar 800 °C – 900
°C. terdapat dua tipe boiler ini yaitu bubbling fluidized bed combustor dan circulating
fluidized bed combustor. Boiler jenis ini dapat memproses coal dengan tingkatan lebih tinggi
daripada grate boiler dan PFC. Biomassa yang bisa diproses pada boiler jenis ini memiliki
moisture dikisaran 10 % - 50 % dan partikel lebih besar daripada boiler jenis PFC ( 72mm
max ). Kelemahan dari boiler jenis ini adalah dapat terjadi agglomerasi pada bed akibat
adanya logam kandungan logam alkali.

Gambar 2.12 Boiler tipe BFBC dan CFBC (Sumber : Tillman et al., 2012)

2.5.4 Cyclone boiler


Boiler jenis ini dilengkapai dengan water cooled burner yang dipasang secara horizontal dan
furnace eksternalnya dapat mencapai suhu 1650 -2000 °C. Mineral bahan bakar yang
oversized terkonversi menjadi slag dan bahan bakar yang volatil dan tidak oversized terbakar
dalam bentuk suspensi. Akibat dari suhu tinggi pada boiler ini, slag yang terbentuk akan

13
terbakar. Untuk performa yang optimum kandungan abu yang dihasilkan harus melebihi 6 %,
zat volatil lebih dari 15 %, dan konten moisture tidak kurang dari 20 %.

2.5.5 Gasifier
Teknologi gasifikasi umumnya digunakan pada proses indirect cofiring, sebelum memasuki
gasifier bahan bakar direduksi ukurannya dikisaran 10 – 30 mm. Gasifier beroperasi pada 10
15 MWe power capacity. Fluidized bed gasification merupakan jenis gasifier paling efektif
untuk indirect cofiring, dimana bubbling fluidized bed gasification dan circulating fluidized
bed gasification dapat digunakan dengan mengunakan berbagai macam variasi biomassa.
Gasifier beroperasi pada suhu 1200 °C – 2000 °C dengan tekanan 50 bar, proses ini
cenderung cepat (beberapa detik saja).

2.6 Masalah Lingkungan


2.6.1 Emisi CO2
Masalah utama dalam banyak proses pembakaran adalah emisi gas CO2 yang dihasilkan dari
pembakaran karbon, namun dengan adanya cofiring biomassa emisi ini dapat berkurang.
Meskipun terdapat juga beberapa solusi emisi CO2 , seperti CCS ( carbon capture and
storage) metode cofiring dinilai lebih murah dan mudah untuk diintegrasikan di pabrik.
Berdasarkan tabel terlihat perbandingan sisi ekonomis CO2 avoidance cost penggunaan CCS
dan cofiring.

Gambar 2.13 Perbandingan avoidance cost CO2 metode CCS dan cofiring. (Basu, 2018)

2.6.2 Emisi gas NOx dan SOx


Emisi gas NOx dan SOx berasal dari kandungan nitrogen pada udara dan coal dan juga
kandungan sulfur pada coal. Penambahan biomassa menyebabkan pengurangan coal yang
digunakan sehingga sulfur dan nitrogen yang dibakar juga lebih sedikit. Meskipun di
biomassa juga terdapat sulfur namun jumlahnya sedikit, Adapun sulfur yang terdapat pada
pemprosesesan hilang karena bereaksi dengan logam alkali tanah dari biomassa membentuk
slag. Nitrogen pada biomassa dikonversi pembakarannya menghasilkan NH3, dimana gas ini
mereduksi gas NOx yang menjadi emisi. Berdasarkan percobaan eksperimental dengan

14
mencampurkan biomassa sekitar 0 – 16 % dengan feed rate 24 t/h dengan energi 300 MW,
terjadi reduksi gas NOx mencapai 10 %.

2.6.3 Abu
Abu pada hasil pembakaran dapat menyebabkan fouling, corrosion, dan agglomeration. Abu
yang dihasilkan pada biomassa tidak sebanyak abu yang dihasilkan coal, namun kandungan
biomassa yang memiliki banyak macam logam alkali menyebabkan beberapa masalah.
Umumnya abu pada biomassa terbagi menjadi 3 yaitu :

1. Abu kaya akan kalsium dan kalium namun sedikit mengandung silika (biomassa berbahan
kayu)
2. Abu kaya silika namun rendah akan kalsium dan kalium (sekam padi, Jerami, dan ampas
tebu).
3. Abu kaya akan fosfor, kalsium, dan kalium.
Pada abu tipe 1 dapat terendapkan menjadi CaO, CaSO4, dan K2SO4. Endapan ini akan
menjadi keras seiring bertambahnya waktu dan menghalangi laju perpindahan panas. Abu tipe
1 ini juga dapat bereaksi dengan quartz dan terjadi aglomerasi. Pada abu tipe 2 besarnya
kandungan Si menyebabkan terjadinya aglomerasi dengan beraksi dengan kalsium dan
kalium. Pada abu tipe 3 terdapat kandungan fosfor yang tinggi sehingga dapat menghasilkan
CaSO4, dimana senyawa ini menyebabkan fouling. Untuk mencegah fouling tersebut dapat
ditambahkan limestone sehingga bukan CaSO4 yang terbentuk namun K2SO4.

2.7 Contoh Pabrik yang menggunakan proses cofiring


2.7.1 Albright Generating Station

Albright Generating Station Boiler 3 merupakan boiler berkekuatan 140 MWe dengan tipe T-
fired four cornered furnace. Lokasi dari pabrik ini terletak di West Virginia, confiring
digunakan untuk mengurangi emisi dari pembentukan gas NOx. Untuk mengontrol
pembentukan gas NOx digunakan SOFA (Separated overfire air) juga. Serbuk gergaji menjadi
bahan biomassa dan dimasukkan bersama dengan coal (berasal dari pitthsburg), presentasi
biomassa berkisar 0 – 10 % berdasarkan basis massa. Boiler pada stasiun ini dirancang untuk
bitominous coal.

15
Gambar 2.14 Kandungan abu yang dihasilkan Pabrik Albright. (Sumber : Tillman et al., 2012)

Serbuk gergaji diinjeksikan secara terpisah dengan coal pada proses ini, dimana serbuk
gergaji diterima melalui receiver (berbentuk seperti conveyor) yang dapat menampung
seluruh isi serbuk gergaji yang ada dalam sebuah truk. Screw conveyor mentransportasikan
sebuk gergaji dengan laju 30 ton/jam. Proses ini dilengkapi dengan disc screen yang
digunakan untuk mengurangi debu pada biomassa. Ukuran biomassa di screening menjadi <
6,35 mm. Biomassa yang memenuhi ukuran tersebut ditransportasikan ke bagian silo
sedangkan material yang ukurannya tidak sesuai / oversized diumpankan kedalam grinder dua
tahap. Dari silo tersebut, serbuk gaji ditransportasi ke hopper, setelah ditampung di hopper
serbuk diangkut menggunakan weight belt conveyor. Kemudian serbuk dikeluarkan ke arah
rotary airlock (blower). Biomassa memasuki boiler melalui 2 arah di tiap sudut bagian kanan
boiler. Jumlah blower yang digunakan ada 2 buah, hal ini digunakan agar biomassa masuk ke
arah boiler dengan laju alir yang sama.

Gambar 2.15 Transportasi biomassa di Pabrik Albright. (Sumber : Tillman et al., 2012)

16
Hasil dari pembakaran menunjukan oksidasi karbon cenderung lebih cepat, selain itu sifat
volatile yang rendah pada sawdust membuat ignition api cenderung lebih cepat. Emisi gas
SOx dan NOx berkurang setelah pembakaran, hal ini masuk akal karena sawdust tidak
mengandung banyak konten sulfur. Adanya biomassa yang digunakan tidak mempengaruhi
pengurangan kapasitas pabrik.

Gambar 2.16 Penurunan emisi gas Sox dan NOx pada Pabrik Albright. (Sumber : Tillman et
al., 2012)

2.7.2 Virginia City Hybrid Energy Center


Pabrik VCHEC berlokasi di Virginia mempunyai net kapasitas 585 MWe. Pabrik ini
menggunakan sistem cofiring dengan 2 circulating fluidized bed boiler, bahan bakar yang
digunakan pabrik ini adalah waste coal dan waste wood. Presentasi biomassa yang digunakan
adalah 20 %. Kandungan abu pada waste coal lebih tinggi bila dibandingkan dengan tipe
bituminous dan subbituminous. Biomassa diproses melalui 2 feed system tiap boilernya.
Proses menuju boilernya menggunakan alat wood feed bin, drag chain conveyor, robbing
screw, dan rotary airclock. Fungsi dari rotary airclock, untuk mencegah backflow dari gas.
VCHEC merupakan pabrik dengan pembakaran coal terbersih di Amerika Serikat.

2.7.3 Gadsden Unit 2

Unit Gadsden terletak di Alabama, boiler yang digunakan pada pabrik ini adalah PV
(Pulverized Coal) yang terpasang secara tangensial. 40 tes dilakukan pada unit ini selama
kurun waktu 6 minggu. Biomassa yang digunakan adalah switchgrass yang diperoleh dari
lahan Lincoln dan Winterboro dan coal yang digunakan adalah tipe bituminous coal. Proses
injeksi biomassa di pabrik ini hamper sama dengan yang ada di Albright generation dimana
biomassa diinjeksikan di dua sudut berlawanan pada tungku 4 sudut (four cornered furnace).

17
Gambar 2.17 Kandungan bahan bakar yang digunakan unit Gadsden (Sumber : Tillman et al.,
2012)

Setelah pembakaran diamati, didapat bahwa emisi merkuri dan emisi gas SOx berkurang.
Tidak diperhatikan bagaimana pengaruh biomassa terhadap emis NOx, lalu jumlah karbon
yang tidak terbakar juga meningkat. Efisiensi boiler berkurang sekitar 0,3 % – 1 %, namun
economizer O2 meningkat dari 2,7 % menjadi 3,5 %.10 % dari total energi unit berasal dari
biomassa (switchgrass).

Gambar 2.18 Sistem cofiring di Pabrik Gadsden (Sumber : Tillman et al., 2012)

18
2.8 Lampiran

Lampiran 1. Alur Proses Studstrupværket power plant. (Sumber : Karampinis et al., 2014)

Lampiran 2. Process Flow Kingston Booiler dan Neraca Massa Kingston Boiler. (Sumber : Bruce,
1996)

19
Lampiran 3. Beberapa Pabrik yang menggunakan sistem cofiring beserta biomassanya. (Sumber : Xu
et al., 2020)

20
Daftar Pustaka :

• Bruce, A. (1996): EVALUATION, I, 71–78.

• Hidayat, K. (2021). Setelah co-firing 17 PLTU, PLN hasilkan energi hijau setara 189 MW.
Kontan.co.id. Diakses pada tanggal 05 November 2021 dari
https://industri.kontan.co.id/news/setelah-co-firing-17-pltu-pln-hasilkan-energi-hijau-setara-
189-mw.

• Karampinis, E., Grammelis, P., Agraniotis, M., Violidakis, I., and Kakaras, E. (2014): Co-
firing of biomass with coal in thermal power plants: Technology schemes, impacts, and future
perspectives, Wiley Interdisciplinary Reviews: Energy and Environment, 3(4), 384–399.
https://doi.org/10.1002/wene.100.

• Prismono (2020). Cofiring PLTU Ketapang dan PLTU Sanggau dengan Cangkang Sawit.
Petrominer. Diakses pada tanggal 05 November 2021 dari https://petrominer.com/cofiring-
pltu-ketapang-dan-pltu-sanggau-dengan-cangkang-sawit/.

• Rencana Co-Firing pada PLTU - Kementerian ESDM. Diakses pada tanggal 4 November
2021 dari https://www.esdm.go.id.

• Tillman, D. A., Duong, D. N. B., and Harding, N. S. (2012): Blending Coal with Biomass,
Solid Fuel Blending, 125–200. https://doi.org/10.1016/b978-0-12-380932-2.00004-0.

• Xu, Y., Yang, K., Zhou, J., and Zhao, G. (2020): Coal-biomass co-firing power generation
technology: Current status, challenges and policy implications, Sustainability (Switzerland),
12(9). https://doi.org/10.3390/su12093692.

• Basu, P. (2018): Biomass combustion and cofiring, Biomass Gasification, Pyrolysis and
Torrefaction: Practical Design and Theory, 393–413. https://doi.org/10.1016/B978-0-12-
812992-0.00011-X.

21

Anda mungkin juga menyukai