Anda di halaman 1dari 5

ICD – 10

Sejauh ini pengaplikasian atau penerapan ICD-10 telah diwajibkan kepada


puskesmas maupun rumah sakit (RS) di indonesia. Umumnya pelaksanaan
pemberi kode (kodefikasi) di RS dikerjakan oleh 'prkatisi rekam medis' (dalam
paradigma baru disebut praktisi manajemen informasi kesehatan). Dalam
prakteknya, aplikasi ICD-10 masih mengalami beberapa hambatan. Hal yang
menonjol yaitu masih kurangnya sosialisasi tentang ICD -10 dikalangan tenaga
kesehatan sehingga tidak sedikit tenaga kesehatan yang belum mengenal apa itu
ICD-10. Oleh karena itu ICD-10 masih perlu disosialisasikan secara kontinyu.

1. Pengenalan tentang ICD-10


   a. Definisi ICD
ICD merupakan singkatan dari International Statistical Classification of Diseases
and Related Health Problems. ICD memuat klasifikasi diagnostik penyakit dengan
standar international yang disusun berdasarkan sistem kategori dan
dikelompokkan dalam satuan penyakit menurut kriteria yang telah disepakati
pakar internasional.
b. Tujuan dan Kegunaan ICD
        Tujuan klasifikais ini adalah unuk membuat catatan menjadi sistemik,
membantu penganalisisan, menerjamahkan dan membandingkan peristiwa
penyakit dan kematian yang telah dikumpulkan di berbagai tempat, negara pada
saat yang berlainan. Kegunaan ICD-10 yang menonjol adalah sebagai sarana
penterjemah diagnosis penyakit dan masalah kesehatan dari bentuk kata menjadi
kode atau sandi alfanumerik sehingga memudahkan untuk disimpan, dicari dan
kemudian dianalisis.
Keunggulan ICD-10 sebagai klasifikasi diagnostik standar internasional
dibandingkan yang  terdahulu :
- Memberi ruang gerak bagi kepentingan epidemiologi dan berbagai masalah
upaya kesehatan
- Menganalisis keadaan kesehatan suatu kelompok penduduk
- Memantau kasus baru (insiden) dan semua kasus (prevalensi) penyakit dan
masalah kesehatan lain dalam hubungannya dengan beberapa variabel seperti ciri
dan keadaan dari orang yang terkena.
2. Struktur buku ICD-10
- Volume 1 merupakan himpunan klasifikasi itu sendiri yang disebut Tabular List.
Di dalam volume 1 diagnosis dikategorikan dalam kelompok kategori sehingga
memudahkan dalam pemilihannya (subkategori) dan perhitungan statistik
- Volume 2 merupakan manual atau pedoman tentang cara menggunakan volume
1 dan 3
- Volume 3 disebut Alphabetical Index (index abjad) yang berfungsi sebagai
'kamus'-nya volume 1.
Dalam volume 3 ini terdapat 3 seksi. Seksi 1 merupakan 'kamus' klasifikasi
diagnosis yang tertera dalam vol. 1 kecuali untuk obat - obatan dan zat kimia;
seksi 2 sebagai 'kamus' untuk mencari penyebab luar morbiditas, mortalitas dan
memuat istilah dari bab 20, kecuali untuk obat - obatan dan zat kimia; seksi 3
merupakan tabel obat - obatan dan zat kimia sebagai sambungan dari bab 19,20
dan menjelaskan indikasi kejadiannya.
Pada saat ICD-10 terbit tahun 1996, volume 1 terdiri dari 21 bab. Namun dengan
adanya sidang koreksi UCR, tepatnya mulai bulan oktober 2003, ICD-10
ditetapkan menjadi 22 bab, yakni dengan ditetapkannya kode U (U00-U99) untuk
kegunaan khusus (codes for special purpose) (misalnya U04.9 untuk SARS).
Tahun 2004 terbit ICD-10 edisi ke-2 yang menambah 1 bab baru yaitu bab 22
sebagai berikut :
I       Certain infectious and parasitic diseases
II      Neoplasms
III     Diseases of the blood and blood-forming organs and certain disorders
involving the immune mechanism
IV     Endocrine, nutritional and metabolic diseases
V      Mental and behavioural disorder
VI     Diseases of the nervous system
VII    Diseases of the eye and adnex
VIII   Diseases of the ear and mastoid process
IX      Diseases of the circulatory system
X       Diseases of the respiratory system
XI      Diseases of the digestive system
XII     Diseases of the skin and subcutaneous tissue
XIII    Diseases of the musculoskeletal system and connective tissue
XIV    Diseases of the genitourinary system
XV     Pregnancy, childbirth and the puerperium
XVI    Certain conditions originating in the perinatal period
XVII   Congenital malformations, deformations and chromosomal abnormalities
XVIII  Symptoms, signs and abnormal clinical and laboratory findings, not
elsewhwre classified
XIX     Injury, poisoning and certainother consequences of external causes
XX       External causes of morbidity and mortality
XXI     Factors influencing health status and contact with health services
XXII    Codes for special purposes (BARU)
3. Hal penting yang terdapat dalam ICD-10
ICD-10 memuat peraturan dan pedoman penetapan kode untuk mortalitas dan
morbiditas yang harus diketahui praktisi kesehatan dan terutama praktisi kode :
- Pedoman tentang pengisian sertifikat kematian dan peraturan penetapan kode
(rules antecedent cause 1,2,3 dan 32 examples); (modification rules A,B,C,D,E,F
dan examples 33-69)
- Catatan untuk digunakan dalam underlying cause mortality coding
- Ringkasan keterkaitan nomor kode dan ringkasan kode yang tidak digunakan
dalam underlying coding
- Tata cara dalam mengintrepretasikan masukan (entry) penyebab kematian (vol. 2
: 4.2.1 - 4.2.13)
- Penanganan kode dan pelaporan kematian perinatal berupa pedoman pengisian
sertifikat kematian perinatal dan peraturan penetapan kode (rules P 1,2,3,4)
- Peraturan tentang penetapan kode morbiditas (rules MB 1-5)
4. Tendon ICD-10
WHO telah memberikan pelatihan ICD-10 dengan perangkat lunak yang
dinamakan Tendon.
Melalui Tendon, prktisi kode dapat belajar tentang prinsip ICD-10. tendon juga
dilengkapi dengan atlas anatomi sederhana sehingga membantu praktisi kode
dalam ketepatan pemberian kode.
Meskipun demikian, pelatihan kode tetap harus didampingi oleh instruktur ang
mahir dan mutahir. Selain itu berbagai pembuat perangkat lunak (software house)
terutama di AS banyak membuat produk perangkat lunak untuk memudahkan
pekerjaan praktisi kode. Perangkat lunak yang ditawarkan oleh pihak pembuat
perangkat lunak di AS masih mengacu pada ICD-9 CM dan sistem kode lainnya
yang khas untuk kepentingan AS. Dengan terbitnya ICD-9 CM dengan sendirinya
secara berangsur penggunaan ICD-9 CM akan ditinggalkan.
5. Publikasi ICD-10 versi terakhir
Sejauh ini ICD-10 telah menerbitkan buku edisi ke-2 dan CD-ROM serta ICD-10
edisi 2 dalam versi yang dapat di-download melalui situs WHO.
Keilmuan yang harus dimiliki praktisi kode di Indonesia
Persyaratan ilmu yang harus dipelajari untuk menjadi praktisi kode yang baik
mencakup keilmuan dasar tentang :
a. Anatomi dan fisiologi
b. Terminologi medis
c. Pathophisiologi dan pharmakologi
d. Mengerti bahasa inggris
e. Bekali dengan atlas anatomi dan berbagai buku tentang ilmu kesehatan
Himbauan kepada Sarana Pelayanan Kesehatan (Hatta, 2006)
1. Diagnosis akhir harus segera ditegakkan saat pasien pulang dan ditulis dalam
rekam medis / rekam kesehatan (RM / K). Yakni setelah dokter utama
memeriksan seluruh data / informasi yang ada dalam RM / K, terasuk hasil
laboratorium dan penunjang lainnya.
2. Diagnosis akhir ditetapkan oleh dokter utama yang merawat pasien dan
dicantumkannya dalam ringkasan riwayat pulang (resume) dan ringkasan masuk
dan keluar (halaman pertama rekam medis)
3. Parktisi kode mmeberi kode ICD-10 sesuai dengan diagnosis morbiditas yang
ditetapkan dokter.
Untuk kode operasi / tindakan gunakan standar WHO yaitu dari buku ICOPIM
atau kode dari buku ICHI (mulai 2005) (International Classification of Health
Intervention).
4. Informasi untuk penagihan asuransi harus berdasarkan kode diagnosis akhir
(final diagnose) seperti yang dicantumkan dalam ringkasan masuk dan keluar
(halaman pertama rekam medis). Jangan memberikan diagnosis ke pihak asuransi
saat pasien masih dalam perawatan karena diagnosis seperti itu masih cenderung
bersifat diagnosis sementara (diagnosis kerja) dan bukan diagnosis akhir.
5. Praktisi kode harus ditingkatkan kualitasnya secara kontinyu mengingat
kemahiran tidak datang secara mendadak
6. Praktisi kode yang sudah mahir sebaiknya jangan dipindahkan sehingga dirinya
akan menjadi ahli kode. Bila praktisi kode harus pindah, harus meninggalkan
koder pengganti yang handal
7. Fakultas kedokteran sudah saatnya memberikan perkuliahan tentang standar
klasifikasi yang digunakan, khususnya ICD-10 (pada saat ini).
8. APIKES harus lebih meningkatkan mutu pengajaran klasifikasi, baik dari sisi
pengajar dan persyaratan mahasiswanya.
9. Instansi pelayanan kesehtaan sedah harus meningkatkan kualitas praktisi kode.
Dapat dibuat pelatihan dalam instansi (in-house training) dengan memanggil
pihak-pihak yang mempunyai keterampilan dalam mengajar ICD, seperti a.l.
organisasi profesi (PORMIKI).
Akasah, Modul : Pengelolaan Sistem Rekam medis II, Politeknik Piksi Ganesha
Bandung, 2008, Bandung

Anda mungkin juga menyukai