Anda di halaman 1dari 3

Dani Adi Putra / XI IPS 3 / 08

Meneladani Sikap Nabi terhadap Wabah

Khutbah I

Jamaah sidang khutbah hafidhakumullah, Pada kesempatan yang penuh berkah ini, khatib
mengingatkan diri sendiri dan hadirin sekalian untuk senantiasa meningkatkan kualitas keimanan
dan ketakwaan kita kepada Allah swt; menjalankan seluruh perintah dan menghindari seluruh
larangan-Nya; juga senantiasa berusaha menghadirkan Allah dalam tiap kesadaran dan gerak-gerik
kita. Jamaah sidang khutbah yang semoga dirahmati Allah, Banyak jalan bagaimana musibah itu
hadir di tengah-tengah manusia, termasuk wabah virus Corona sebagaimana yang kita alami
sekarang ini. Sebagian peneliti menilai, SARS-CoV-2 yang menyebabkan penyakit Covid-19
muncul akibat tindakan semena-mena manusia terhadap satwa liar (kelelawar). Satwa liar memang
dikenal menjadi sumber penyakit menular baru. Namun demikian, bagaimanapun saat peristiwa ini
telah terjadi, kita mesti meyakininya sebagai bagian dari ketentuan Allah atas kehidupan ini.
Selebihnya, kita perlu introspeksi (muhasabah) atas berbagai perilaku salah kita. Al-Qur'an surat at-
Taubah ayat 51 mengingatkan:

Artinya, "Katakanlah (Muhammad), 'Tidak akan menimpa kami melainkan apa yang telah
ditetapkan Allah bagi kami. Dialah pelindung kami, dan hanya kepada Allah bertawakallah orang-
orang yang beriman.”

Jamaah sidang khutbah yang berbahagia, Wabah bukanlah peristiwa yang sama sekali baru.
Wabah memiliki sejarah panjang dengan tingkat bahaya yang beragam. Peristiwa wabah penyakit
juga terjadi pada zaman Nabi Muhammad dan para sahabat. Artinya, jika kita kini merasakan
penderitaan akibat pandemi, sadarlah bahwa pengalaman serupa juga pernah dialami orang-orang
paling saleh pada zamannya. Wabah tha'un (penyakit sampar, pes, lepra) pernah menyerang
masyarakat Arab ketika itu dan menelan korban jiwa. Lalu, apa yang dilakukan orang-orang mulia
itu ketika wabah menimpa? Sikap paling jelas dari Rasulullah saat menghadapi wabah adalah
imbauan beliau kepada para sahabatnya untuk menghindari daerah-daerah yang masuk zona
penyakit. Hal ini terekam salah satunya dalam hadits sahih riwayat Imam al-Bukhari berikut ini:

Artinya, “Dari Sayyidah Aisyah ra, ia mengabarkan kepada kami bahwa ia bertanya kepada
Rasulullah saw tentang tha‘un, lalu Rasulullah saw memberitahukannya, ‘Zaman dulu tha’un adalah
azab yang dikirimkan Allah kepada siapa saja yang Dia kehendaki, tetapi Allah menjadikannya
sebagai rahmat bagi orang beriman. Tiada seorang hamba yang sedang tertimpa tha’un, kemudian
menahan diri di negerinya dengan bersabar seraya menyadari bahwa tha’un tidak akan mengenainya
selain karena telah menjadi ketentuan Allah untuknya, niscaya ia akan memperoleh ganjaran seperti
pahala orang yang mati syahid,’” (HR al-Bukhari).
Jamaah sidang khutbah saya cintai, Hadits ini setidaknya menjelaskan tentang dua hal
penting. Pertama, tentang fakta wabah penyakit yang bisa berfungsi sebagai azab dan bisa sebagai
rahmat. Untuk konteks saat ini, dua hal ini bisa dibaca sebagai buah dari sikap manusia terhadap
wabah. Wabah berstatus sebagai azab ketika disikapi dengan kekufuran, kezaliman, kesombongan,
dan laku maksiat lainnya. Sebaliknya, wabah menjelma menjadi rahmat saat direspons dengan bijak
dan penuh kesabaran yang menjadi ciri-ciri sikap kaum beriman.

Wabah bisa menimpa siapa saja, baik mukmin maupun bukan; orang-orang saleh maupun
para pendosa. Namun, masing-masing dari mereka bisa berbeda dalam menyikapi wabah dan saat
itulah mereka secara tidak langsung sedang ikut menentukan, apakah wabah ini menjadi rahmat
(kasih sayang) atau azab (siksa). Sebagaimana ujian sekolah, ia diciptakan agar siswa semakin giat
belajar dan bersiap menyongsong kenaikan kelas. Begitu juga dengan musibah, ia diciptakan untuk
menguji hamba untuk "naik kelas" sebagai mukmin sejati. Kedua, tentang sikap yang dianjurkan
Rasulullah dalam merespons wabah. Dalam hadits yang disebut tadi, Rasulullah menyebut dua
sikap positif, yakni (1) mengisolasi diri sementara dan (2) sabar dalam kesadaran penuh bahwa
Allah penentu segala sesuatu. Jika dua sikap ini diterapkan maka ganjaran yang diperoleh setara
dengan ganjaran orang mati syahid. Jika dicermati, sikap pertama yang disarankan Rasulullah
dalam hadits itu tak lain adalah dorongan untuk senantiasa berikhtiar. Beliau secara terang-terangan
menyuruh para sahabat untuk menahan diri di daerah setempat, yang berarti pula melarang mereka
memasuki zona penularan penyakit.

Anjuran karantina diri saat wabah juga tercantum dalam hadits lain:

Artinya: "Jika kalian mendengar ada wabah tha’un di suatu negeri, janganlah kalian memasuki
negeri tersebut. Namun, bila wabah tha'un itu ada di negeri kalian, janganlah keluar dari negeri
kalian karena menghindar dari penyakit itu” (HR Muslim).

Yang menarik, aspek ikhtiar lahiriah ini disebut pertama kali oleh Nabi, baru kemudian
menekankan bahwa ikhtiar itu mesti dibersamai dengan sikap sabar dan berserah diri kepada
ketentuan Allah. Tentu tidak semua wabah membutuhkan karantina diri, sebagaimana tha'un dan
Covid-19. Tapi poin pokok dari hadits Nabi itu adalah adanya upaya aktif manusia untuk
menanggulangi penyakit, tidak semata pasif menunggu keajaiban datang sendiri meskipun
dibungkus dengan pengakuan tawakal atau semacamnya.

Ikhtiar untuk mencegah segala hal yang mudarat adalah bagian dari pelaksanaan syariat
yang wajib dilakukan seorang hamba. Manusia dibekali naluri mempertahankan diri dan akal untuk
kelangsungan hidupnya. Melakukan mitigasi bencana, mengarantina penularan virus, atau hidup
higienis adalah bagian dari cara mensyukuri anugerah tersebut. Dan yang mesti dicatat pula,
sebagaimana pesan Nabi, berbagai ikhtiar tersebut mesti beriringan dengan kesabaran dan
keyakinan bahwa Allahlah yang menentukan siapa yang bakal terkena musibah. Semoga Allah
menancapkan keimanan pada diri kita semua sekuat-kuatnya, sembari menjauhkan kita dari sikap
sembrono, angkuh, dan meremehkan ujian-ujian yang datang dari-Nya.
Khutbah II

Anda mungkin juga menyukai