“Wafi anfusikum afala tubshirun (dan pada dirimu sendiri, apakah kamu tidak melihatnya dengan
mendalam)” (QS Al-Dzariyat: 21).
Pandemi mematikan tersebut tidak pandang bulu, siapapun orangnya (kaya atau miskin, muda
ataupun tua, dan sebagainya) bisa tertular Covid-19. Karenanya, ibadah puasa di tengah wabah
Covid-19 me-restart diri manusia agar merenung dan mengingat kembali kekuasaan Allah SWT.
Sehebat apapun manusia berencana, Tuhanlah yang menentukan. Selain itu, kita berharap
puasa di tengah pandemi tidak hanya mampu menumbuhkan kepekaan spiritual seseorang,
namun juga kepekaan sosial. Wujud dari kepekaan sosial ialah sikap empati dan pro-sosial.
Empati berarti suatu keadaan di mana orang merasa dirinya berada dalam perasaan atau pikiran
yang sama dengan orang lain. Sementara pro-sosial merupakan tindakan moral seperti rela
membantu seseorang yang membutuhkan.
Sebagai musibah kemanusiaan, wabah Covid-19 bukan saja persoalan kesehatan, namun
punya ekses turunan berupa dampak sosial ekonomi. Ketua Gugus Tugas Percepatan
Penanganan Covid-19 Doni Monardo mengatakan, akibat Covid-19, setidaknya terdapat sekitar
1,6 juta warga negara Indonesia yang telah mendapatkan PHK dan dirumahkan. Sementara
Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) memproyeksikan, seiring dengan
meluasnya wabah Covid-19, maka tingkat kemiskinan di Indonesia juga makin bertambah.
Sebagai contoh, saat ini saja ada sebanyak 115 juta masyarakat rentan miskin di Tanah Air.
Dengan adanya musibah Covid-19, golongan tersebut rentan sekali jatuh ke bawah garis
kemiskinan.Sehingga proyeksi penduduk miskin per-September 2020 akan berada di kisaran 26-
26,5 juta jiwa. Karena itu, umat Islam sebagai mayoritas penduduk di Tanah Air (jumlahnya 89
persen menurut data survei lembaga Arus Survei Indonesia, April 2019) harus mampu
menjadikan bulan puasa di tengah pandemi ini sebagai momentum me-restart kesadaran untuk
berbagi dan berderma. Semua harus bahu membahu dan saling membantu antar-sesama.
Semoga
Ibnu Hajar Al-Asqalani menulis karya seputar wabah thaun dari segi teologi, hadits,
dan historis yang pernah terjadi di dunia Islam. Al-Asqalani juga menyinggung
beberapa peristiwa wabah dengan beragam durasinya bertahan di masyarakat.
(Al-Asqalani, Badzlul Ma‘un fi Fadhlit Tha‘un, [Riyadh, Darul
Ashimah: tanpa tahun]).
Cerita Ibnu Katsir, kutip Al-Asqalani, menyebut suatu masa wabah bertahan sejak
Rabiul Awal hingga akhir tahun di Damaskus. Selama 9 bulan wabah memakan
korban hingga pernah mencapai 1000 jiwa per hari dari warga yang terhitung di
dalam gerbang Kota Damaskus. (Al-Asqalani: 329).
Wabah penyakit juga pernah terjadi selama tiga hari. Hal ini terjadi di zaman Nabi
Daud AS. (Al-Asqalani: 82). Allah memberikan tiga pilihan azab kepada Nabi Daud AS
atas kedurhakaan umatnya, yaitu kemarau panjang selama dua tahun, penindasan
musuh selama dua bulan, atau wabah penyakit selama tiga hari. Pilihan itu
disampaikan oleh Nabi Daud kepada umatnya.
Di hari pertama, wabah thaun menyerang. Sejak pagi hingga gelincir matahari atau
sekira waktu masuk Shalat Dzuhur, wabah telah menelan korban sebanyak konon
sebanyak 70.000 (bahkan ada yang mengatakan 100.000 jiwa). Nabi Daud AS tidak
tahan. Ia berdoa kepada Allah. Wabah pun diangkat dari umatnya.
Wabah penyakit pernah terjadi di luar negeri Syam dan Mesir. Wabah itu menyerang
masyarakat dalam durasi cukup lama, sekira satu tahun tiga bulan. Wabah mulai
menjangkiti masyarakat pada Dzulqa‘dah 48 Hijriyah. Wabah kemudian
mereda pada Shafar 50 Hijriyah. (Al-Asqalani: 224).
Pada tahun 782, wabah menewaskan banyak orang di negeri Syam. Sebanyak 10-20
orang dimakamkan pada satu liang kubur tanpa dimandikan dan dishalatkan. Konon
wabah ini bertahan di tengah masyarakat selama kurang lebih tiga tahun. Tetapi
situasi pada tahun pertama adalah yang paling sulit. (Al-Asqalani, 1986 M/1406 H:
I/155).
Memasuki tahun 49 Hijriyah, wabah terus menyebar hingga seluruh pelosok desa-
desa di Mesir. Wabah itu memuncak di negeri Mesir pada bulan Sya’ban Ramadhan,
dan Syawal. Wabah mereda pada pertengahan bulan Dzulqaedah 49 Hijriyah. Wabah
penyakit ini menewaskan ribuan warga di sana. (Al-Maqrizi, As-Suluk li Marifati
Duwalil Muluk, juz II, halaman 152).
ika dirunut dari sejarah terjadinya, penyakit-penyakit wabah semacam corona ini atau
pun tho’un , sudah ditemukan sejak masa Nabi Muhammad ﷺ, bahkan jauh sebelum Nabi
diutus, yaitu pada zaman Bani Isra’il.
Di dalam kitab al-Isya’ah li Asyrot al-Sa’ah yang ditulis oleh al-‘Allamah al-Muhaqqiq Muhammad
bin Rasul al-Husaini (1040 H- 1103 H) disebutkan bahwa tho’un yang paling berbahaya dalam
Islam ada lima, yaitu. Pertama, Tho’un Syirawaih, kejadian ini pada masa Nabi
Muhammad ﷺ. kedua, Tho’un ‘Amwas pada masa Umar bin Khattab. Ketiga, Tho’un al-Jarif,
terjadi pada Ibnu Zubair. Keempat, Tho’un Fatayat, terjadi pada tahun 87H. Kelima,Tho’un al-
Asyraf.
Lebih rinci lagi dalam kitab tersebut dijelaskan bahwa Tho’un ‘Amwas terjadi pada masa
pemerintahan Umar bin Khattab pada tahun 17 H, dan ada yang mengatakan
bahwa tho’un pada tahun 18 H telah merenggut lebih kurang 25 ribu nyawa tentara kaum
Muslim.
Dinamakan dengan Tho’un ‘Amwas, karena sebelum menyebar ke daerah-daerah lain, wabah
tersebut hanya terjadi di daerah ‘Amwas saja.
Adapun para Sahabat Nabi yang meninggal, disebabkan Tho’un ‘Amwas ini di antaranya : Abu
‘Ubaidab bin Jarrah, Mu’adz bin Jabal, Syurahbil bin Hasanah, al-Fadhl bin ‘Abbas, Abu Malik al-
Asy’ary, Yazid bin Abi Sufyan, al-Harits bin Hisyam, Abu Jandal, Suhail bin ‘Amar.
Kemudian setelah Tho’un ‘Amwas ini berakhir, tho’un berikutnya terjadi di al-Kufah pada tahun
49 H, dan 4 tahun berikutnya muncul lagi wabah Tho’un pada tahun 53 H.
Setelah kejadian wabah Tho’un di al-Kufah, dalam waktu yang tidak terlalu lama, terjadi lagi
wabah yang sangat mengerikan di Bashra sekitar tahun 69H, penyakit yang membahayakan ini
dinamakan dengan Tho’un al-Jarif.
Sebagian ulama mengatakan, bahwa tho’un ini dinamakan dengan Jarif, karena ia menyapu
manusia sebagaimana banjir besar menyapu bersih tanah-tanah. Ibnu Katsir menerangkan hari
pertama masyarakat di Bashra yang meninggal sebanyak 70 ribu, hari keduanya meninggal 70
ribu, hari ketiga 73 ribu, sedangkan pada hari keempatnya seakan-akan semua manusia itu
meninggal, kecuali sedikit saja yang masih hidup.
Al-Hafidz Abu Nu’aim al-Ashfahani saksi sejarah pada saat itu menerangkan, pada awalnya kami
mendatangi setiap kabilah-kabilah, jika ada yang meninggal kami tetap menguburkannya,
namun ketika sudah banyak sekali yang meninggal, kami pun tak sanggup untuk menguburkan.
Sehingga setiap kami memasuki rumah, kami menemukan penghuninya sudah tergeletak di
depan pintu.
Kemudian tidak lama setelah itu, pada tahun 87 H, terjadi lagi peristiwa wabah tho’un yang
mana pada saat itu mayoritas para gadis-gadis yang menjadi korbannya, sehingga dinamakan
penyakit tersebut dengan Tho’un al-Fatayat, yang bermakna para pemudi.
Ibnu Abi al-Dunya menerangkan di dalam kitabnya al-I’tibar, bahwa ada seorang laki-laki arab
bersama 10 orang anak gadisnya datang ke Bashra, hanya berselang beberapa hari saja 10
orang anak gadisnya itu langsung meninggal dunia. Begitulah gambarannya wabah tho’un pada
saat itu.
Kemudian setelah wabah yang menyerang mayoritas para gadis berakhir, terjadi lagi Tho’un al-
Asyraf, dinamakan dengan Tho’un al-Asyraf, karena pada peristiwa ini di antara korban yang
meninggal, mayoritasnya adalah manusia-manusia yang terhormat.
Kemudian terus berlanjut pada tahun 100 H dinamai dengan Tho’un ‘Ady bin Arthah, berlanjut
pada tahun 107 H terjadi Tho’un di Syam, kemudian pada tahun 115 H juga terjadi di Syam,
kemudian pada tahun 127 H terjadi Tho’un Ghurab. Artinya pada masa tersebut umat Islam
memang diuji betul keimanan dan kesabaranya dalam menghadapi berbagai tho’un yang terjadi
dari tahun ke tahun berikutnya.
Kemudian pada bulan Rajab tahun 131 H terjadi Tho’un Muslim bin Quthaibah, terus berlanjut
ke Sya’ban dan Ramadhan, kemudian wabah ini berkurang pada bulan Syawwal. Wabah ini
memakan korban sebanyak hampir 1000 orang perhari.
Semua wabah tho’un tersebut, kebanyakannya terjadi pada masa pemerintahan Bani Umayyah.
Kemudian wabah penyakit tho’un pada masa itu bukan hanya sekedar di daerah Syam saja.
Sehingga para pemimpin bani Umayyah ketika terjadi wabah tho’un mereka pergi mengungsi ke
padang pasir.
Kemudian pada masa Bani ‘Abbasiyah wabah tho’un sudah sangat berkurang, uniknya
sebagian pemimpin-pemimpin mereka berpidato di Syam : “Bersyukurlah kepada Allah yang
telah menghilangkan wabah penyakit tho’un dari kalian semenjak kami yang menjadi
pemimpin”.
AS: 1.527.664 kasus, 90.978 meninggal,. Russia: 290.678 kasus, 2.722 meninggal,
Spanyol: 277.719 kasus, 27.650 meninggal, 195.945 sembuh Inggris: 243.695
kasus, 34.636 meninggal, N/A sembuh Brasil: 241.080 kasus, 16.122 meninggal,
94.122 sembuh Italia: 225.435 kasus, 31.908 meninggal, 125.176 sembuh Prancis:
179.569 kasus, 28.108 meninggal, 61.213 sembuh Jerman: 176.651 kasus, 8.049
meninggal, 154.600 sembuh Turki: 149.435 kasus, 4.140 meninggal, 109.962
sembuh Iran: 120.198 kasus, 6.988 meninggal, 94.464 sembuh.
Dia juga menukil dari Imam Ibnu al-Malaqqin bahwa bintang ini akan
muncul pada awal Mei
Puasa bukanlah dari makan, minum (semata), tetapi puasa itu menahan diri dari perbuatan sia-
sia dan keji. Jika ada orang yang mencelamu, katakanlah : Aku sedang puasa, aku sedang
puasa” [Hadits Riwayat Ibnu Khuzaimah]