Anda di halaman 1dari 10

PSISULA: Prosiding Berkala Psikologi

Vol. 2, 2020
E-ISSN: 2715-002X

Tolak Balak Wabah Pandemi Covid-19 dari Sisi Budaya Jawa

Ratna Supradewi
Fakultas Psikologi Universitas Islam Sultan Agung Semarang
ratnavina4@gmail.com

Abstrak

Tulisan ini memaparkan sisi budaya Jawa dalam menghadapi wabah (pageblug).
Virus Corona yang telah menjadi pandemi bagi masyarakat di seluruh dunia, perlu
dilakukan tindakan untuk mencegah, menanggulangi, dan menyirnakannya dari
alam ini. Beragam strategi, pendekatan, dan teknik digunakan untuk menanggani
wabah pandemi Corona ini. Secara umum ada dua cara, yaitu medis dan non medis.
Covid-19 sebagai suatu penyakit akan ditangani secara medis. Sebagai suatu wabah,
sebagai ujian dan cobaan dari Tuhan, keberhasilan penangganannya bukan semata-
mata karena medis, tetapi ada uluran tangan Tuhan sebagai sumber kekuatan
religio magis. Oleh karena itu, cara non medispun perlu diupayakan. Terutama bagi
masyarakat Jawa yang masih kental menjunjung nilai-nilai budaya dan
mempraktekannya dalam kehidupan sehari-hari. Pada masyarakat Jawa menolak
balak, wabah, atau malapetaka dapat diselenggarakan dengan berbagai cara.
Antara lain, doa atau mantra, sesajian, dan benda atau simbol magis yang lain. Salah
satu ritual yang masih dilakukan melakukan doa atau mantra, dan menyanyikan
kidung-kidung yang dianggap mempunyai kekuatan untuk menolak bala.
Kata kunci: Pandemi Covid-19, ritual budaya Jawa, kidung penolak bala

Pendahuluan
Secara terminologi pandemi adalah suatu epidemi penyakit yang menyebar
di wilayah yang luas, yang bersifat mendunia atau di seluruh dunia. Pada awalnya
wabah tersebut bermula dari lingkup kecil tertentu yang biasa disebut “outbreak”.
Saat laju wabah tersebut lebih besar dari dugaan dan menyerng wilayah yang lebih
luas, maka dinyatakan sebagai epidemi (Syamsudin, 2020). Dalam sejarah penyakit
menular yang bersifat pandemik, dapat dikemukan perkembangan pandemi yang
menimpa dunia (Syamsudin, 2020), yaitu:
1. Wabah Antonine, terjadi tahun 165 M. Diduga penyakit tersebut adalah
campak atau cacar meskipun tidak ada yang benar-benar dapat
membuktikan kepastian jenis penyakit tersebut. Penyebabnya tidak

Dipresentasikan dalam Seminar Nasional “Membangun Resiliensi Era Tatanan Baru (New Normal) 339
Melalui Penguatan Nilai-Nilai Islam, Keluarga dan Sosial
Fakultas Psikologi Universitas Islam Sultan Agung, 18 November 2020
PSISULA: Prosiding Berkala Psikologi
Vol. 2, 2020
E-ISSN: 2715-002X

diketahui dan wabah ini dicurigai sebagai pandemi kuno yang menyerang
Asia Kecil, Mesir, Yunani, dan Italia. Total kematian diperkirakan 5 juta jiwa.
2. Wabah Justinian, terjadi tahun 541-542 M. Diperkirakan lima ribu
orang terbunuh setiap harinya karena wabah ini sehingga pada masa itu
sebanyak 40% populasi kota meninggal dan lenyap. Wabah ini menyerang
Kekaisaran Bizantium dan kota-kota pelabuhan Mediterania. Penyebabnya
Pes dan penyakit ini diperkirakan telah membunuh setengah populasi Eropa.
Total kematian diperkirakan 25 juta jiwa.
3. The Black Death, terjadi tahun 1346-1353 M. Wabah ini dibawa oleh
kutu yang tinggal pada tikus dan menumpang hidup di atas kapal dagang.
Fatalnya, pada tahun-tahun tersebut, perdagangan dunia sedang berada di
titik puncak sehingga memudahkan penyebaran wabah tersebut yang
akhirnya menelan korban puluhan juta jiwa. Penyebabnya Pes dan penyakit
ini juga menjadi salah satu wabah paling mengerikan yang pernah tercatat
oleh dunia. Wabah ini menghancurkan penduduk tiga benua sekaligus yaitu
Asia, Afrika, dan Eropa. Total kematian diperkirakan 25 juta jiwa.
4. Kolera, terjadi tahun 1852-1860 M. Seorang dokter di Inggris bernama John
Snow berhasil melacak bahwa penyebab wabah ini berasal dari air yang
tercemar. Di Inggris, sebanyak 23 ribu orang meninggal karena wabah ini.
Penyebabnya kolera. Wabah kolera pertama dan kedua dan ketiga berasal
dari India. Wabah ini menyebar dari sungai Gangga hingga ke Asia, Eropa,
Afrika, dan Amerika Utara. total kematian diperkirakan 1 juta jiwa.
5. Flu Rusia, terjadi tahun 1889-1890 M. Flu yang menyerang pada tahun-
tahun awal disebut "Flu Asia" atau "Flu Rusia". Penyebabnya influenza.
Pertumbuhan populasi yang cepat membantu penyebaran wabah ini meluas
hingga ke seluruh dunia. Tercatat selama kurun waktu tersebut, satu juta
orang dilaporkan meninggal karena wabah ini.
6. Kolera, terjadi tahun 1910-1911 M. total kematian diperkirakan sekitar
800 ribu jiwa. Penyebabnya kolera. Wabah ini berasal dari India dan

Dipresentasikan dalam Seminar Nasional “Membangun Resiliensi Era Tatanan Baru (New Normal) 340
Melalui Penguatan Nilai-Nilai Islam, Keluarga dan Sosial
Fakultas Psikologi Universitas Islam Sultan Agung, 18 November 2020
PSISULA: Prosiding Berkala Psikologi
Vol. 2, 2020
E-ISSN: 2715-002X

menyebar hingga ke Timur Tengah, Afrika Utara, Eropa Timur, dan Rusia.
Wabah ini juga tercatat sebagai wabah kolera terakhir di Amerika Serikat.
Otoritas Kesehatan Amerika yang telah belajar dari masa lalu bergerak cepat
dengan mengisolasi pasien yang terinfeksi sehingga hanya ada 11 kematian
yang terjadi di Amerika. Pada 1923, wabah kolera di India berkurang secara
drastis meskipun masih ada beberapa kasus yang tercatat.
7. Flu Spanyol, terjadi tahun 1918-1920 M, total kematian diperkirakan 50
juta jiwa. Penyebabnya influenza. Dalam kurun waktu tersebut, muncul
wabah influenza yang mematikan dan menginfeksi hampir sepertiga
populasi dunia. Yang menyebabkan pandemi influenza 1918 berbeda
dengan yang lainnya adalah para korban justru berusia produktif. Wabah ini
bukan hanya menyerang orang tua atau pasien yang daya tahan tubuhnya
lemah, namun juga menyerang mereka yang berusia dewasa produktif dan
dalam kondisi sehat. Ini menyebabkan anak-anak mereka atau generasi
setelah mereka menjadi lemah.
8. Flu Asia, terjadi tahun 1956-1958 M. Penyebabnya influenza. Wabah ini
menyerang penduduk Cina. Selama kurun waktu tersebut, wabah ini
menyebar dari provinsi Guizhou ke Singapura, Hongkong, dan Amerika
Serikat. Total kematian diperkirakan 2 juta jiwa.
9. Flu Hong Kong, terjadi tahun 1968 M. Penyebabnya influenza. Pandemik ini
disebut juga sebagai flu kategori 2 atau "Flu Hongkong" karena menginfeksi
pertama kali di Hongkong. Berdasarkan catatan laporan tentang pandemik
ini, kasus "Flu Hongkong" pertama kali dilaporkan pada 13 Juli 1968.
Setelah itu, hanya butuh waktu tiga bulan sampai virus ini menyerang
penduduk di Singapura, Vietnam, Filipina, India, Australia, Eropa, hingga
Amerika Serikat. Meski tingkat kematiannya relatif rendah (0,5%), pandemik
ini mengakibatkan lebih dari satu juta orang meninggal dan separuh di
antaranya adalah penduduk Hongkong.

Dipresentasikan dalam Seminar Nasional “Membangun Resiliensi Era Tatanan Baru (New Normal) 341
Melalui Penguatan Nilai-Nilai Islam, Keluarga dan Sosial
Fakultas Psikologi Universitas Islam Sultan Agung, 18 November 2020
PSISULA: Prosiding Berkala Psikologi
Vol. 2, 2020
E-ISSN: 2715-002X

10. HIV/AIDS, terjadi tahun 1976 M. Penyebabnya HIV/AIDS. Penyakit ini


pertama kali terindetifikasi di Kongo pada 1976 dan ditetapkan sebagai
pandemik global karena telah menewaskan 36 juta orang sejak 1981.
Hingga kekinian, terdapat 31 juta jiwa yang hidup dengan HIV. Beruntung,
sejak kesadaran mulai tumbuh dalam mengatasi penyakit ini, perawatan
baru telah dikembangkan. Dengan begitu, membuat HIV jauh lebih mudah
dikelola sehingga banyak dari mereka yang terinfeksi dapat terus menjalani
kehidupan yang produktif.

Pandemi dalam Perspektif Budaya Jawa


Pandemi Covid-19 dalam budaya Jawa tradisional tetap dinilai dengan hal
yang mistis. Karena masyarakat Jawa percaya bahwa gangguan
ketidakseimbangnya kehidupan dapat berbentuk seperti wabah penyakit, bencana
alam, dan paceklik. Dan pandemi Covid-19 sebagai bentuk nyata gangguan
ketidakseimbangan kehidupan itu (Sukrin, 2020).
Pandemi Covid-19 atau dalam versi Jawa dikenal dengan istilah “pagebluk”
adalah suatu sebutan untuk suatu wabah penyakit yang sedang terjadi. Kata dasar
(tembung lingga) dari pagebluk adalah “gebluk”. Baik dalam bahasa Jawa maupun
Sunda, kata “gebluk” atau “bluk” dapat berarti jatuh, tersungkur, tumbang ataupun
dapat juga disebut ledakan. Dengan demikian pagebluk menggambarkan suatu
kondisi banyak korban berjatuhan, bertumbangan, ataupun jatuh tersungkur yang
terjadi secara serentak bahkan berskala luas, yang karena besarnya hal tersebut
maka menimbulkan korban yang banyak, sehingga menyerupai arti “gebluk” yaitu
ledakan. Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa pagebluk merupakan suatu
istilah lokal yang digunakan untuk menyebut istilah pandemi (Bayuadhy, 2018).
Pandangan masyarakat Jawa pageblug dipahami sebagai sebuah fenomena
kosmologis. Hal itu mendorong manusia harus mengembalikan keseimbangan.
Keselarasan antara diri pribadi, manusia dengan sesama dan lingkungannya serta
manusia dengan Tuhan. Ketidakseimbangan kehidupan sebagai penderitaan.

Dipresentasikan dalam Seminar Nasional “Membangun Resiliensi Era Tatanan Baru (New Normal) 342
Melalui Penguatan Nilai-Nilai Islam, Keluarga dan Sosial
Fakultas Psikologi Universitas Islam Sultan Agung, 18 November 2020
PSISULA: Prosiding Berkala Psikologi
Vol. 2, 2020
E-ISSN: 2715-002X

Penderitaan harus diakhir untuk mewujudkan ketenangan dan ketentraman hidup


(Endraswara, 2013).
Sampai pada pertengahan tahun 2020 ini, banyak dianggap terjadi berbagai
musibah tak terkecuali terjadinya pagebluk Corona. Apabila melihat dengan
menggunakan logika berfikir secara umum tidak ada yang salah dengan tahun 2020,
karena memang hanyalah angka dan seperti tahun-tahun sebelumnya. Namun,
apabila kita melihat dari sudut pandang lain, terjadinya berbagai musibah hampir di
seluruh penjuru dunia pada tahun 2020 ini telah diramalkan oleh Prabu Jaya Baya,
seorang Raja di kerajaan Kediri pada masa lalu dalam Jangka JayaBaya (Pratista,
2020).
Lebih lanjut (Pratista, 2020) mengemukakan telah disebutkan bahwa “sesuk
yen wis ketemu tahun sing kembar bakal ketemu jamane langgar bubar, mesjid
korat-karit, Kabah ora kaambah, begajul padha ucul, manungsa seda tanpa
diupakara, kawula cilik padha keluwen, para punggawa negara makarya nganti lali
kaluwarga”. Narasi tersebut memiliki arti sebagai berikut, “apabila besok telah
bertemu tahun kembar maka akan bertemu masanya surau bubar, masjid tidak
teturus, Ka’bah tidak dikunjunjungi, para penjahat lepas, manusia meninggal tidak
diurus sebagaimana mestinya, rakyat kecil kelaparan, dan para pejabat atau
pegawai bekerja sampai lupa keluarga”.
Dalam setengah tahun pertama di tahun kembar ini (2020, dengan angka
kembar 20) upaya pencegahan penyebaran virus Corona yang dimulai dari anjuran
untuk dirumah saja, PSBB, hingga lockdown dilakukan semata-mata untuk
mencegah menyebarnya virus tersebut. Dampaknya, masyarakat umat beragama
dianjurkan untuk melakukan ibadah di rumah masing-masing sebagai akibat
penutupan sebagian besar tempat ibadah termasuk musola dan masjid. Pemerintah
Arab Saudi juga menutup Ka’bah, dan akses ibadah umrah ke tanah suci untuk
sementara waktu. Begajul padha ucul (penjahat lepas). Guna mencegah penyebaran
virus Corona, Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (HAM) mengeluarkan
kebijakan dengan melakukan pembebasan lebih dari 36 ribu narapidana atau dapat

Dipresentasikan dalam Seminar Nasional “Membangun Resiliensi Era Tatanan Baru (New Normal) 343
Melalui Penguatan Nilai-Nilai Islam, Keluarga dan Sosial
Fakultas Psikologi Universitas Islam Sultan Agung, 18 November 2020
PSISULA: Prosiding Berkala Psikologi
Vol. 2, 2020
E-ISSN: 2715-002X

disebut para penjahat lepas sesuai dengan ramalan Prabu Jaya baya. Dampak
selanjutnya yang terlihat akibat pandemi Corona adalah Kawula cilik padha
keluwen. Kawula cilik padha keluwen atau rakyat kecil banyak yang kelaparan
terjadi akibat banyak lapangan pekerjaan tidak dapat dikerjakan sebagaimana
mestinya sebagai contoh, driver ojol dan pedagang kaki lima yang mulai kehilangan
pelanggannya, bahkan tidak sedikit perusahaan yang memutuskan untuk melakukan
PHK untuk meminimalisir kerugian yang ditimbulkan akibat pagebluk Corona.
Dengan demikian dapat dimengerti bahwa hal yang terjadi saat ini telah diramalkan
oleh Prabu Jaya Baya ratusan tahun lalu ( Pratista, 2020).
Di seluruh negeri di dunia, termasuk di bumi Nusantara, telah lama dikenal
berbagai cara dan upaya masyarakat lokal untuk melawan atau menanggulangi
terhadap apa yang mereka anggap penyakit. Dengan demikian, ini berarti bahwa
nilai dan norma kebudayaan serta sistem sosial menentukan usaha kesehatan, tidak
saja dari aspek biomedis (medis modern) atau kesehatan tradisional (medis
tradisional), tetapi juga dalam kesehatan keluarga atau upaya sendiri (home atau
self treatment) (Manullang, 2020).
Salah satunya dengan cara memasak makanan. Bila dipandang dari sudut
sains-medis mengkonsumsi sayuran termasuk 7 macam sayuran dalam sayur lodeh
dapat memberikan dampak positif bagi tubuh manusia karena sayur memang
memiliki kandungan nutrisi maupun vitamin yang tinggi. Namun bagi masyarakat
Jawa terutama masyarakat Jogja, sayur lodeh 7 macam memiliki makna tersendiri .
Berdasarkan pendapat dari para sesepuh, makna 7 macam sayuran tersebut adalah:
1. Kluwih: kluwargo luwihono anggone gulowentah gatekne (perintah untuk lebih
memperhatikan keluarga); 2. Cang gleyor (kacang panjang): cancangen awakmu ojo
lungo-lungo( tetap di rumah jangan bepergian apabila tidak bermanfaat).; 3.Terong:
terusno anggone olehe manembah Gusti ojo datnyeng (Teruslah beribadah dan
menyembah Gusti Allah Tuhan YME); 4. Kulit melinjo: ojo mung ngerti njobone,
ning kudu ngerti njerone babakan pagebluk (Jangan hanya melihat dari luar saja
mengenai suatu pagebluk/wabah, namun analisislah secara mendalam); 5. Waluh:

Dipresentasikan dalam Seminar Nasional “Membangun Resiliensi Era Tatanan Baru (New Normal) 344
Melalui Penguatan Nilai-Nilai Islam, Keluarga dan Sosial
Fakultas Psikologi Universitas Islam Sultan Agung, 18 November 2020
PSISULA: Prosiding Berkala Psikologi
Vol. 2, 2020
E-ISSN: 2715-002X

uwalono ilangono ngeluh gersulo (Jangan sering mengeluh dan perbanyak


bersyukur); 6. Godong so: golong gilig donga kumpul wong sholeh sugeh kaweruh
(Berkumpul, dan berdoa bersama orang-orang saleh dan berilmu); 7. Tempe:
temenono olehe dedepe nyuwun pitulungane Gusti Allah (Yakinlah dalam memohon
pertolongan kepada Allah dan Yakinlah Allah akan memberi pertolongan) (Pratista,
2020). Selain hal-hal tersebut di atas, masyarakat Jawa masih percaya adanya
kidung-kidung/tembang (nyanyian-nyanyian) dalam rangka tolak balak pagebluk.

Kidung Rumeksa Ing Wengi Dari Sunan Kalijaga


Kidung Rumeksa Ing Wengi merupakan sarana dakwah dalam bentuk tembang
yang popular dan menjadi “kidung wingit” karena dipercaya membawa tuah seperti
mantra sakti. Dakwah itu dirangkai menjadi sebuah tembang bermetrum Dandhanggula
berisi sembilan bait dan seolah-olah sampai saat ini abadi. Orang-orang pedesaan
masih banyak yang hafal dan mengamalkan syair kidung ini.Sebagai sarana dakwah
kepada anak cucu, nasehat dalam bentuk tembang lebih langgeng dan awet dalam
ingatan. Sepeninggal Sunan Kalijaga, Kidung ini menjadi milik rakyat, mereka dengan
tulus membaca dan mengamalkannya sebagai doa ( Purwadi, 2003 ).
Kidung Rumeksa Ing Wengi ditulis oleh Sunan Kalijaga untuk menjembatani hal-
hal yang bersifat supranatural. Pada tahun- tahun awal perkembangan Islam di Jawa
bersifat sangat mistis yang pada dasarnya merupakan kepercayaan pra-Islam yang masih
sangat dipengaruhi oleh paham animisme dan dinamisme. Kenyataan yang terjadi pada
saat Sunan Kalijaga menyebarkan Islam adalah serangan dari lawan-lawannya dengan
menggunakan ilmu hitam (black magic). Guna membentengi diri dan para pengikutnya,
Sunan Kalijaga menggubah Kidung tersebut yang berisi berbagai macam mantra (doa)
untuk menolak segala macam penyakit, juga teluh, tenung, santet, dan lain-lain
(Sakdullah, 2014).
Gambaran teologis Islam dalam Kidung Rumeksa Ing Wengi (Purwadi,
2004) terdapat tentang Tuhan dalam bait pertama, yaitu:

Dipresentasikan dalam Seminar Nasional “Membangun Resiliensi Era Tatanan Baru (New Normal) 345
Melalui Penguatan Nilai-Nilai Islam, Keluarga dan Sosial
Fakultas Psikologi Universitas Islam Sultan Agung, 18 November 2020
PSISULA: Prosiding Berkala Psikologi
Vol. 2, 2020
E-ISSN: 2715-002X

Ana Kidung rumeksa ing


wengi Teguh hayu luputa
ing lara Luputa bilahi
kabeh
Jim setan datan
purun Paneluhan
tan ana wani
Miwah panggawe
ala Gunaning wong
luput Geni
atemahan tirta
Maling adoh tan ana ngarah mring mami
Guna duduk pan sirna

Ada nyanyian yang menjaga di


malam hari Kukuh selamat terbebas
dari penyakit Terbebas dari semua
malapetaka
Jin setan jahat pun tidak ada yang berani
Segala jenis sihir tidak berani
Apalagi perbuatan
jahat Guna-guna pun
tersingkir Api akan
menjadi air
Pencuri pun jauh tak ada yang menuju padaku
Guna-guna sakti pun lenyap.

Dalam kidungnya ini Sunan Kalijaga memaparkan bahwa setiap hari manusia
tidak bisa terlepas dari istirahat (tidur), khususnya dimalam hari, namun malam
merupakan tempat berlindung yang baik bagi perbuatan jahat. Kelemahan di waktu
malam ini sangat penting agar besoknya bisa melanjutkan kehidupan di bumi.
Iamenawarkan tata cara berdoa keselamatan di malam hari karena keselamatan
merupakan bagian pokok dari misi agama. Agama apa saja kurang memiliki makna
bagi pemeluknya jika tidak ada keselamatan yang bisa ditawarkan kepada pemeluknya
(Purwadi, 2004).

Kesimpulan

Dipresentasikan dalam Seminar Nasional “Membangun Resiliensi Era Tatanan Baru (New Normal) 346
Melalui Penguatan Nilai-Nilai Islam, Keluarga dan Sosial
Fakultas Psikologi Universitas Islam Sultan Agung, 18 November 2020
PSISULA: Prosiding Berkala Psikologi
Vol. 2, 2020
E-ISSN: 2715-002X

Dalam menghadapi pandemi Covid-19 ini bagi masyarakat budaya Jawa


dapat meninjaunya dari berbagai sudut. Bukan hanya sudut yang kasat mata dari
segi medis saja, tetapi juga berhubungan dengan kosmologi, religio mistis. Wabah
sebagai penyeimbang alam, dan mengingatkan manusia untuk bergantung
meminta pertolongan kepada Tuhan yang Maha kuasa. Cara melakukan tolak
balaknya pun bermacam-macam. Dari memenuhi anjuran protokol kesehatan,
memakai cara-cara filosofis yang mempunyai makna, gotong royong, memasak
sayur lodeh, bahkan mengumandangkan kidung-kidung “wingit” sebagai mantra
atau doa kepada Tuhan agar terhindar dari segala penyakit dan kejahatan yang
dapat menimpa. Salah satu kidung yang terkenal adalah kidung “Rumeksa ing
Wengi” yang digubah oleh Sunan Kalijaga.

Daftar Pustaka
Bayuadhy, G. (2018). Tradisi adiluhung para leluhur jawa. Jakarta : Dian Rakyat.

Endraswara, S. (2013). Ilmu jiwa jawa. Yogyakarta: Narasi

Manullang, P. (2020) https://www.beritasatu.com/opini/7075/pendekatan-budaya-


menghadapi-covid19

Pratista, M.I. 2020. Pagebluk Corona dari sudut pandang mitos. Yogyakarta: Gama
Cendekia.

Purwadi. 2003. Sejarah Sunan Kalijaga : Sintesis ajaran Walisanga vs Syekh Siti
Jenar. ( 2003). Yogyakarta: Persada

Purwadi. 2004. Dakwah Sunan Kalijaga : penyebaran agama islam berbasis kultural.
Pustaka Pelajar.

Sakdullah, M. 2014.Kidung rumeksa ing wengi karya Sunan Kalijaga dalam kajian
teologis. Teologia, 25 (5), h.11- 17, Juli-Desember.

Sukrin. Z.A. 2020.https ://akurat.co/news/id-1063244-pandemi-covid19.

Dipresentasikan dalam Seminar Nasional “Membangun Resiliensi Era Tatanan Baru (New Normal) 347
Melalui Penguatan Nilai-Nilai Islam, Keluarga dan Sosial
Fakultas Psikologi Universitas Islam Sultan Agung, 18 November 2020
PSISULA: Prosiding Berkala Psikologi
Vol. 2, 2020
E-ISSN: 2715-002X

Syamsudin, M. 2020. Buku bunga rampai asosiasi pengajar hukum adat ( APHA) :
Menolak balak wabah pandemi covid 19 dari sisi religio-magis hukum adat
jawa, h. 327-348. Jakarta : Lembaga Studi Hukum Indonesia.

Dipresentasikan dalam Seminar Nasional “Membangun Resiliensi Era Tatanan Baru (New Normal) 348
Melalui Penguatan Nilai-Nilai Islam, Keluarga dan Sosial
Fakultas Psikologi Universitas Islam Sultan Agung, 18 November 2020

Anda mungkin juga menyukai