Anda di halaman 1dari 7

Penanganan Pandemi Dalam Terang Eksistensialisme

Oleh : Rahmat Wijaya Ramadhani

Filosofia Pandemi

Dalam kamus epidemiologi, wabah menjadi bagian paling kecil dalam penularan
penyakit. Meningkat dari wabah, epidemi menandakan jangkauan penyebaran penyakit
yang lebih luas disertai penularan yang terjadi dengan cepat. Epidemi bisa berubah
menjadi endemi yang umumnya menyerang satu negara, wilayah, atau benua. Pandemi
dikenal dalam dunia epidemiologi atau ilmu yang mempelajari pola penyebaran
penyakit.

WHO (World Health Organization) mengungkapkan pandemi termasuk dalam


epidemi yang telah menyebar ke berbagai benua dan negara, umumnya menyerang
banyak orang. Sementara epidemi sendiri adalah sebuah istilah yang telah digunakan
untuk mengetahui peningkatan jumlah kasus penyakit secara tiba-tiba pada suatu
populasi area tertentu.Pasalnya, istilah pandemi tidak digunakan untuk menunjukkan
tingginya tingkat suatu penyakit, melainkan hanya memperlihatkan tingkat
penyebarannya saja.

Lalu pada akhir tahun 2019 dunia di gemparkan dengan berita dari Wuhan,
China tentang ditemukannya kasus covid-19 pada akhir tahun 2019. Pandemi yang
berasal dari virus ini diangap memiliki penularan yang sangat cepat melaui udara
langsung antar manusia jarak dekat, dan dalam waktu yang cukup singkat wabah ini
menular ke berbagai penjuru dunia. “Lawan yang tidak terlihat”, adalah ucapan banyak
orang ketika berbicara mengenai covid-19 ini. Pada mulanya hal ini menggemparkan
China namun tidak berlaku bagi negara-negara lain..

Di Indonesia, meyakini bahwa pandemi Covid-19 merupakan hal yang di


kaitkan dengan spiritualisme yaitu Covid-19 merupakan azab dari Allah. Hal ini yang
lalu membuat bahwa Indonesia aman karena banyak muslim nya. Sikap apatis ini
berubah setelah akhirnya di umumkan kasus positif pertama covid-19 pada Maret 2020.
Apatisme dan Skeptisme masyarakat pun berubah menjadi ketakutan sehingga
penerapan lockdown di berlakukan guna memutus rantai penyebaran Covid-19 ini.
Yang harus dipikirkan dan disadari bersama sekarang ini adalah resiko tingkat
mortalitas akibat hadirnya faktor-faktor penghambat penanganan wabah ini. Salah satu
faktor yang dapat memperlambat, bahkan memperburuk, penanganan persebaran Covid-
19 adalah anakronisme perspektif yang beredar luas di masyarakat. Yang dimaksud
anakronisme perspektif di sini adalah cara pandang yang kurang tepat dalam menyikapi
dan merespons persebaran virus ini. Dalam banyak kasus, anakronisme ini membuncah
menjadi semacam “kengototan”—untuk tidak mengatakan kekonyolan—sosial yang
pada gilirannya turut menghambat penanganan Covid-19 ini.

Pandemi dalam kacamata Eksistensialisme

Ilmu filsafat berkembang pesat pada abad ke-19 dan populer pada abad ke-20.
Salah satu ilmu filsafat yang populer yaitu eksistensialisme. Eksistensialisme menyasar
masalah-masalah fundamental manusia yaitu, kematian, kecemasan, politik, religious,
dan komitmen seksual, kebebasan dan tanggung jawab serta makna dari eksistensi itu
sendiri.

Eksistensi mendahului esensi adalah inti pokok dari filsafat eksistensialisme


yang dikemukakan oleh Jean Paul Sartre. Sartre melawan pandangan lama dalam dunia
filsafat yakni “esensi mendahului eksistensi.” Hal ini di lakukan oleh Sartre guna
menolak determinisme pra-eksistensial dan determinisme psikologis. Menurut Sartre
terdapat dua cara berada (modes of being) yaitu, “ada pada dirinya” (being-in-itself) dan
“ada bagi dirinya” (being-fot-itself). Being in itself berarti ada tanpa kesadaran.
Sedangkan being for itself berarti menyadari keberadaan dirinya atau kesadaran akan
sesuatu.

Mengenai hal di atas Sartre mengungkapkan “ tidak ada apapun baik di belakang
atau di depan kita, dalam ranah nilai, sarana atau pembenaran atau alasan apapun. Kita
ditinggalkan sendirian dan tanpa alasan. Itulah maksudnya Ketika saya mengatakan
bahwa manusia di kutuk untuk bebas: dikutuk karena dia tidak menciptakan dirinya,
tetapi juga bebas, karena seketika ia terlempar ke dunia, ia bertanggung jawab atas
semua yang ia lakukan.” Jadi Eksistensialisme mengingatkan manusia bahwa manusia
bertanggung jawab penuh dalam semua tindakan nya. Karena manusia di kutuk untuk
bebas dalam melakukan Tindakan sehingga manusia pun secara penuh bertanggung
jawab.
Jadi kalau kita runutkan dengan konsisten dan pemikiran sarte mengenai eksistensi
yang tidak dapat di konseptualisasi dan tidak bisa di bendung dalam kategori-kategori
rasional atau pemaknaan-pemaknaan tertentu. Maka babak Covid-19 persis
mengafirmasi konsep itu. Maka pandemi Covid-19 ini merupakan ketersingkapan
eksistensi yang artinya eksistensi itu dilucuti dari klise-klise religious, ideologis,
budaya, dan lain-lain nya. Lalu terdapat dua hal yang menjadi ketersingkapan eksistensi
terhadap pandemi Covid-19 ini.

1. Inkonsistensi Realitas
Albert Camus pernah mengatakan bahwa wabah atau epidemi dengan
perang itu memiliki kesamaan yakni sama-sama menemui manusia dalam
keadaan tidak siap. Jadi dari ungkapan tersebut menunjukan bahwa pandemi
Covid-19 ini mendatangi manusia tanpa di sadari oleh manusia yang bahkan
menyebabkan masalah yang tidak bisa di tebak dan diluar kendali kita. Karena
hal ini kita menyadari bahwa realitas ini susah di tebak. Oleh karena itu, persis
disini sasaran eksistensialisme diafirmasi bahwa realitas hanya satu gerak acak
yang tidak punya asal dan tujuan apapun.
2. Desekralisasi Kematian
Kematian merupakan hal yang kita anggap sebagai sesuatu yang hal
yang wajar terjadi dalam agama-agama dan di anggap sebagai bagian dari suatu
takdir yang telah menjadi rencana dari Allah SWT. Tapi Ketika kita melihat
kematian dalam kasus pandemic Covid-19 ini. Hal itu menunjukan bahwa
kematian merupakan sesuatu hal yang sepele. Jutaan orang meninggal hanya
karna virus yang kecil dan tak kasat mata dengan begitu jika tidak ada pandemi
Covid-19 maka orang-orang yang meninggal itu tetap hidup. Tapi karena kita
tidak bisa menangani Covid-19 mereka meninggal.

Peradaban Manusia Dalam Menghadapai Pandemi

1. Fenomena Thaun
Kemudian terdapat cerita pula dari sahabat rosul yaitu Umar Bin Khattab
yang kala itu ingin mengunjungi wilayah Saragh, sebuah daerah di Lembah
Tabuk dekat Syam. Yang kala itu daerah Saragh mengalami wabah Thaun
merupakan wabah yang sangat besar dan memakan korban yang banyak.
Sahabat Rosul yang satu ini pun menunda perjalanan nya tersebut seperti yang
disabda kan baginda Rasulullah SAW: "Apabila kalian mendengar ada suatu
wabah di suatu daerah, maka janganlah kalian mendatanginya. Sebaliknya kalau
wabah tersebut berjangkit di suatu daerah sedangkan kalian berada di sana, maka
janganlah kalian keluar melarikan diri darinya."
Yang kemudian wabah penyakit di Syam baru mereda setelah Amr bin
Ash menjabat gubernur. Dia mencoba menganalisa penyebab munculnya wabah
dan kemudian melakukan isolasi, orang yang sakit dan sehat dipisahkan. Wabah
penyakit di Syam pun perlahan-lahan mulai hilang.
2. Fenomena Ebola
Namun terdapat cerita menarik dari sebuah negara Republik Sierra
Leone di Afrika Barat, tepatnya di pesisir Samudra Atlantik. Negeri ini
berbatasan dengan Guinea di sebelah utara, Liberia di tenggara dan Samudra
Atlantik di barat daya. Mereka memiliki pengalaman dalam menangani pandemi
pada tahun 2014 negara ini diserang virus ebola dalam kejadian tersebut
memakan korban hingga 3.956 (Tempo.co).
Dari pengalaman mengalami virus Ebola ini republik Sierra Leone
melakukan Tindakan siaga dengan salah satu cara dengan menutup perbatasan
negara dan karena hal ini Republik Sierra Leone merupakan salah satu negara
yang tidak mengalami dampak dari pandemi corona hanya dengan
mengandalkan pengalaman.
3. Fenomena Virus Spanyol (H1N1)
Awal mula merebaknya flu Spanyol yang bermula dari Kansas, Amerika
Serikat hingga menyebar melalui mobilisasi tentara dan penduduk ke seluruh
penjuru dunia termasuk ke wilayah nusantara. Ia pun menyebut angka korban flu
Spanyol di nusantara hingga 1,5 - 4,37 juta jiwa hanya di Pulau Jawa dan
Sumatera saja.
Penanganan dilakukan dengan melakukan penelitian ilmiah mengenai flu
Spanyol yang dilakukan oleh Influenza Komisi bentukan pemerintah Hindia
Belanda menjadi salah satu terobosan penting. Dimana mereka menyebarkan
kuesioner ke berbagai dokter yang tersebar di Hindia-Belanda untuk mengetahui
dan mempelajari penanganan flu Spanyol dari berbagai daerah.
Dari sinilah awal pemerintah kolonial merumuskan berbagai kebijakan
penanggulangan pandemi yang kemudian berujung pada dibentuknya Influenza
Odonasi pada tahun 1920. Influenza Odonasi merupakan kebijakan pemerintah
kolonial yang dinilai paling signifikan, dengan mengatur hukuman terhadap
yang melanggar, peraturan turun-naik penumpang dan juga angkut barang
misalnya di pelabuhan. Dari pelabuhan inilah diduga kuat sebagai sarana utama
penyebaran virus flu Spanyol. Namun langkah tersebutpun dianggapnya cukup
terlambat.
4. Fenomena Flu Burung (H5N1)
Virus flu burung pertama kali terdeteksi pada angsa China di tahun 1996.
Dikenal pula sebagai H5N1, virus ini pertama kali terdeteksi pada manusia pada
1997 selama wabah unggas di Hong Kong. Virus lantas menyebar ke 50 negara
di Afrika, Asia, Eropa, sampai Timur Tengah. Menjangkiti unggas dan burung
liarnya.Saat itu, ada enam negara yang dianggap jadi endemik virus, yakni
Bangladesh, China, Mesir, India, Indonesia, dan Vietnam.
Penanganan di Indonesia dilakukan dengan strategi memusnahkan
unggas-unggas yang telah terkontaminasi atau yang dipelihara di permukiman
penduduk di wilayah yang terindikasi atau diduga telah terjangkit virus flu
burung (avian influenza) dan memberikan kompensasi yang wajar; 3.
mengalokasikan dana untuk pelaksanaan penanganan dan pengendalian virus flu
burung (avian influenza)
5. Fenomena Cacar
Cacar adalah salah satu penyakit yang paling ditakuti di dunia. Pada abad
ke-20 saja, cacar membunuh setidaknya 300 juta orang. Penyakit ini sangat
menular dan bisa menyebar jika percikan dari mulut atau hidung seseorang yang
terinfeksi virus dihirup oleh orang-orang di sekitarnya. Percikan berisi virus
variola inilah yang kemudian membuat orang lain tertular. Gejalanya mencakup
demam dan letih dan setelah itu muncul lebih kecil berisi nanah pada kulit
penderita.
Sekitar tiga dari sepuluh penderita cacar meninggal dunia. Cacar
termasuk penyakit kuno dan diketahui sudah ada sejak 3.000 tahun yang lalu.
Bukti fisik paling awal ditemukan pada mumi raja Mesir yang meninggal dunia
pada 1157 Sebelum Masehi. Penyakit ini dibawa para pedagang dari Mesir ke
India pada milenium pertama Sebelum Masehi.
World Health Organization (WHO) telah meminta kepada negara-negara yang
terdampak Covid-19 ini untuk melakukan Isolasi dan harus menerapkan protokol
Kesehatan yang ketat.Yang kemudian Negara Republik Indonesia pun menerbitkan
kebijakan guna memutus rantai penyebaran Covid-19 ini. Kebijakan tersebut di antara
lain yaitu PSBB yang diterapkan pada bulan April 2020 yang di tetapkan dalam PP
Nomor 21 tahun 2020 mengenai penerapan PSBB (Pembatasan Sosial Berskala Besar).
Kemudian di susul dengan kebijakan yang baru-baru ini di terapkan yaitu PPKM
(Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat) yang di terapkan pada bulan Juli
2021 yang kemudian di perpanjang hingga bulan agustus. Hal ini di harapkan dapat
menurunkan jumlah kasus positif Covid-19 di Indonesia.

Cara penanganan pandemi atau wabah yaitu dengan cara melakukan isolasi dan
menjauhi atau menghindari daerah yang terpapar oleh Covid-19 ini. Bahkan baginda
Rasulullah SAW pun menganjurkan untuk janganlah mendatangi suatu daerah yang
tengah mengalami wabah atau pandemi. Dan yang kita butuh kan saat ini adalah sikap
yang telah menjadi budaya kita yaitu gotong royong, tolong menolong, ramah dan
saling peduli, saling berbagi, yang sebenarnya sudah berjalan dan menjadi bagian dari
kearifan lokal, yang saat ini mungkin sedang mengendur. Karena dengan sikap tersebut
maka kita bersama-sama dapat membantu sesama dalam menghadapi pandemi ini.

Kesimpulan

Mari tumbuhkan kembali jati diri kita agar menjadi bangsa yang mengutamakan
kebersamaan dan saling tolong menolong apabila ada saudara yang atau tetangga yang
sedang terkena musibah maka kita dapat menolong nya mungkin tidak besar namun
bantuan kecil dari kita dapat menumbuhkan rasa kegotong royongan masyakat yang
lain.

Daftar Pustaka
Benyamin Molan “Relevansi Pemikiran Emanuel Levinas dalam Konteks Pandemi
Covid-19”, Respons, volume 25 no. 02, 2020, Hal 202
Firdaus M. Yunus “Kebebasan Dalam Filsafat Eksistensialisme Jean Paul Sartre”, Al
Ulum, Volume. 11, Nomor 2, 2011, Hal 267-282
Hassan, Fuad, “Berkenalan Dengan Eksistensialisme”, Pustaka Jaya, 2001
Dian Ekawati, “Eksistensialisme”, Tarbawi yah, Vol. 12, No. 01, 2015, Hal 137-153
Barnes, Hazel, “Being and Nothingness”, Philosophical Library, New York 1953
https://mediaindonesia.com/opini/314173/filsafat-dan-pandemi-covid-19

https://www.kompas.com/global/read/2021/06/02/111500670/sejarah-infeksi-flu-
burung-pada-manusia?page=all

https://covid19.go.id/p/berita/belajar-strategi-penanganan-pandemi-dari-masa-lalu

Prof. H. Masdar Hilmy, S.Ag., MA, Ph.D. (2020), “SIKAP ILMIAH MENGHADAPI
PANDEMI COVID-19”. Diakses pada 27 juli 2021.

Maria Elena Navas (2020). “Covid-19: Cacar, penyakit yang diberantas dalam waktu
200 tahun, satu-satunya yang berhasil dibasmi dalam sejarah manusia, apa yang
bisa dipelajari dalam hadapi wabah virus corona”. Di akses pada 27 juli 2021.

Anda mungkin juga menyukai