OLEH:
KRISTIDA ADITAMA
2114314901011
A. Definisi
a. Hiperbilirubin adalah meningkatnya kadar bilirubin dalam darah yang
kadar nilainya lebih dari normal (Suriadi, 2007). Nilai normal bilirubin
indirek 0,3 – 1,1 mg/dl, bilirubin direk 0,1 – 0,4 mg/dl.
b. Hiperbillirubin ialah suatu keadaan dimana kadar billirubinemia
mencapai suatu nilai yang mempunyai potensi menimbulkan kernikterus
kalau tidak ditanggulangi dengan baik (Prawirohardjo, 2007).
c. Hiperbilirubinemia (ikterus bayi baru lahir) adalah meningginya kadar
bilirubin di dalam jaringan ekstravaskuler, sehingga kulit, konjungtiva,
mukosa dan alat tubuh lainnya berwarna kuning (Ngastiyah, 2009).
B. Epidemiologi
Pada sebagian besar neonatus, ikterik akan ditemukan dalam minggu pertama
kehidupannya. Dikemukan bahwa angka kejadian iketrus terdapat pada 60 %
bayi cukup bulan dan 80 % bayi kurang bulan. Ikterus ini pada sebagian
penderita dapat berbentuk fisiologik dan sebagian lagi patologik yang dapat
menimbulkan gangguan yang menetap atau menyebabkan kematian.
C. Klasifikasi
a. Ikterik fisiologis
Ikterus fisiologik adalah ikterus yang timbul pada hari kedua dan ketiga
yang tidak mempunyai dasar patologis, kadarnya tidak melewati kadar
yang membahayakan atau mempunyai potensi menjadi “kernicterus”
dan tidak menyebabkan suatu morbiditas pada bayi. Ikterus patologik
adalah ikterus yang mempunyai dasar patologis atau kadar bilirubinnya
mencapai suatu nilai yang disebut hiperbilirubin.
Ikterus pada neonatus tidak selamanya patologis. Ikterus fisiologis
adalah ikterus yang memiliki karakteristik sebagai berikut menurut
(Hanifah, 1987), dan (Callhon, 1996), (Tarigan, 2003) dalam (Schwats,
2005):
1. Timbul pada hari kedua - ketiga.
2. Kadar bilirubin indirek setelah 2x24 jam tidak melewati 15 mg%
pada neonatus cukup bulan dan 10 mg% pada kurang bulan.
3. Kecepatan peningkatan kadar bilirubin tidak melebihi 5 mg%
perhari.
4. Kadar bilirubin direk kurang dari 1 mg%.
5. Ikterus hilang pada 10 hari pertama.
6. Tidak mempunyai dasar patologis; tidak terbukti mempunyai
hubungan dengan keadaan patologis tertentu.
7. Ikterus yang kemungkinan menjadi patologis atau
hiperbilirubinemia dengan karakteristik sebagai berikut Menurut
(Surasmi, 2003) bila
Ikterus terjadi pada 24 jam pertama sesudah kelahiran.
b. Ikterus Patologis
Menurut Tarigan, (2003) adalah suatu keadaan dimana kadar
konsentrasi bilirubin dalam darah mencapai suatu nilai yang mempunyai
potensi untuk menimbulkan kern ikterus kalau tidak ditanggulangi
dengan baik, atau mempunyai hubungan dengan keadaan yang
patologis. Brown menetapkan hiperbilirubinemia bila kadar bilirubin
mencapai 12 mg% pada cukup bulan, dan 15 mg% pada bayi kurang
bulan. Utelly menetapkan 10 mg% dan 15 mg%.
c. Kern Ikterus
Adalah suatu kerusakan otak akibat perlengketan bilirubin indirek pada
otak terutama pada korpus striatum, talamus, nucleus subtalamus,
hipokampus, nukleus merah, dan nukleus pada dasar ventrikulus IV.
Kern ikterus ialah ensefalopati bilirubin yang biasanya ditemukan pada
neonatus cukup bulan dengan ikterus berat (bilirubin lebih dari 20 mg%)
dan disertai penyakit hemolitik berat dan pada autopsy ditemukan
bercak bilirubin pada otak. Kern ikterus secara klinis berbentuk kelainan
syaraf simpatis yang terjadi secara kronik. (Ngastiyah, 2009).
D. Etiolog
Peningkatan kadar bilirubin dalam darah tersebut dapat terjadi karena keadaan
sebagai berikut (Ngastiyah, 2009) :
1. Pembentukan bilirubin yang berlebihan.
2. Gangguan pengambilan (uptake) dan transportasi bilirubin dalam hati.
3. Gangguan konjugasi bilirubin.
4. Penyakit Hemolitik, yaitu meningkatnya kecepatan pemecahan sel
darah merah. Disebut juga ikterus hemolitik. Hemolisis dapat pula timbul
karena adanya perdarahan tertutup.
5. Gangguan transportasi akibat penurunan kapasitas pengangkutan,
misalnya Hipoalbuminemia atau karena pengaruh obat-obatan tertentu.
6. Gangguan fungsi hati yang disebabkan oleh beberapa mikroorganisme
atau toksin yang dapat langsung merusak sel hati dan sel darah merah
seperti : infeksi toxoplasma. Siphilis.
7. Penyebab ikterus pada bayi baru lahir dapat berdiri sendiri ataupun
dapat disebabkan oleh beberapa faktor:
8. Produksi yang berlebihan
9. Hal ini melebihi kemampuannya bayi untuk mengeluarkannya, misal
pada hemolisis yang meningkat pada inkompabilitas darah Rh, ABO,
golongan darah lain, defisiensi enzim G6PD, piruvat kinase, perdarahan
tertutup dan sepsis.
10. Gangguan proses “uptake” dan konjugasi hepar.
Gangguan ini dapat disebabkan oleh immturitas hepar, kurangnya
substrat untuk konjugasi bilirubin, gangguan fungsi hepar, akibat
asidosis, hipoksia dan infeksi atau tidak terdapatnya enzim glukoronil
transferase (sindrom Criggler-Najjar) penyebab lain atau defisiensi
protein Y dalam hepar yang berperan penting dalam “uptake” bilirubin
ke sel hepar.
11. Gangguan transportasi
12. Bilirubin dalam darah terikat pada albumin kemudian diangkat ke hepar.
Ikatan bilirubin dengan albumin dapat dipengaruhi oleh obat misalnya
salisilat, dan sulfaforazole. Defisiensi albumin menyebabkan lebih
banyak terdapat bilirubin indirek yang bebas dalam darah yang mudah
melekat ke sel otak.
13. Gangguan fungsi hati; defisiensi glukoronil transferase, obstruksi
empedu (atresia biliari), infeksi, masalah metabolik galaktosemia,
hipotiroidjaundice ASI
Adanya komplikasi; asfiksia, hipotermi, hipoglikemi. Menurunnya ikatan
albumin; lahir prematur, asidosis.
Rumus Kramer
E. Manifestasi Klinisi
Menurut Surasmi (2003) gejala hiperbilirubinemia dikelompokkan menjadi :
1.Gejala akut : gejala yang dianggap sebagai fase pertama kernikterus
pada neonatus adalah letargi, tidak mau minum dan hipotoni.
2.Gejala kronik : tangisan yang melengking (high pitch cry) meliputi
hipertonus dan opistonus (bayi yang selamat biasanya menderita gejala
sisa berupa paralysis serebral dengan atetosis, gengguan pendengaran,
paralysis sebagian otot mata dan displasia dentalis)
Sedangakan menurut Handoko (2003) gejalanya adalah warna kuning
(ikterik) pada kulit, membrane mukosa dan bagian putih (sclera) mata terlihat
saat kadar bilirubin darah mencapai sekitar 40 µmol/l.
F. Komplikasi
Terjadi kern ikterus yaitu keruskan otak akibat perlangketan bilirubin indirek
pada otak. Pada kern ikterus gejala klinik pada permulaan tidak jelas antara lain
: bayi tidak mau menghisap, letargi, mata berputar-putar, gerakan tidak
menentu (involuntary movements), kejang tonus otot meninggi, leher kaku, dn
akhirnya opistotonus
G. Patofisiologi
1. Peningkatan kadar Bilirubin tubuh dapat terjadi pada beberapa keadaan
. Kejadian yang sering ditemukan adalah apabila terdapat penambahan
beban Bilirubin pada sel Hepar yang berlebihan. Hal ini dapat ditemukan
bila terdapat peningkatan penghancuran Eritrosit, Polisitemia.
2. Gangguan pemecahan Bilirubin plasma juga dapat menimbulkan
peningkatan kadar Bilirubin tubuh. Hal ini dapat terjadi apabila kadar
protein Y dan Z berkurang, atau pada bayi Hipoksia, Asidosis. Keadaan
lain yang memperlihatkan peningkatan kadar Bilirubin adalah apabila
ditemukan gangguan konjugasi Hepar atau neonatus yang mengalami
gangguan ekskresi misalnya sumbatan saluran empedu.
3. Pada derajat tertentu, Bilirubin ini akan bersifat toksik dan merusak
jaringan tubuh. Toksisitas terutama ditemukan pada Bilirubin Indirek
yang bersifat sukar larut dalam air tapi mudah larut dalam lemak. sifat
ini memungkinkan terjadinya efek patologis pada sel otak apabila
Bilirubin tadi dapat menembus sawar darah otak. Kelainan yang terjadi
pada otak disebut Kernikterus. Pada umumnya dianggap bahwa
kelainan pada saraf pusat tersebut mungkin akan timbul apabila kadar
Bilirubin Indirek lebih dari 20 mg/dl.
4. Mudah tidaknya kadar Bilirubin melewati sawar darah otak ternyata
tidak hanya tergantung pada keadaan neonatus. Bilirubin Indirek akan
mudah melalui sawar darah otak apabila bayi terdapat keadaan Berat
Badan Lahir Rendah , Hipoksia, dan Hipoglikemia ( AH, Markum,2007)
Sumber : ( AH, Markum,2007)
H. Pemeriksaan Diagnostik
Laboratorium (Pemeriksan Darah)
1. Pemeriksaan billirubin serum. Pada bayi prematur kadar billirubin lebih
dari 14 mg/dl dan bayi cukup bulan kadar billirubin 10 mg/dl merupakan
keadaan yang tidak fisiologis.
2. Hb, HCT, Hitung Darah Lengkap.
3. Protein serum total.
4. USG, untuk mengevaluasi anatomi cabang kantong empedu.
5. Radioisotop Scan, dapat digunakan untuk membantu membedakan
hapatitis dan atresia billiari.
I. Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan Radiologi
Diperlukan untuk melihat adanya metastasis di paru atau peningkatan
diafragma kanan pada pembesaran hati, seperti abses hati atau
hepatoma
2. Ultrasonografi
Digunakan untuk membedakan antara kolestatis intra hepatic dengan
ekstra hepatic
3. Biopsy hati
Digunakan untuk memastikan diagnosa terutama pada kasus yang
sukar seperti untuk membedakan obstruksi ekstra hepatic dengan intra
hepatic selain itu juga untuk memastikan keadaan seperti hepatitis,
serosis hati, hepatoma
J. Penatalaksanaan
Berdasarkan pada penyebabnya, maka manejemen bayi dengan
Hiperbilirubinemia diarahkan untuk mencegah anemia dan membatasi efek dari
Hiperbilirubinemia. Pengobatan mempunyai tujuan :
1. Menghilangkan Anemia
2. Menghilangkan Antibodi Maternal dan Eritrosit Tersensitisasi
3. Meningkatkan Badan Serum Albumin
4. Menurunkan Serum Bilirubin
Metode therapi pada Hiperbilirubinemia meliputi : Fototerapi, Transfusi
Pengganti, Infus Albumin dan Therapi Obat.
a. Pemberian ASI
b. Foto terapi
Fototherapi dapat digunakan sendiri atau dikombinasi dengan
Transfusi Pengganti untuk menurunkan Bilirubin. Memaparkan
neonatus pada cahaya dengan intensitas yang tinggi ( a bound of
fluorencent light bulbs or bulbs in the blue-light spectrum) akan
menurunkan Bilirubin dalam kulit. Fototherapi menurunkan kadar
Bilirubin dengan cara memfasilitasi eksresi Biliar Bilirubin tak
terkonjugasi. Hal ini terjadi jika cahaya yang diabsorsi jaringan
mengubah Bilirubin tak terkonjugasi menjadi dua isomer yang
disebut Fotobilirubin. Fotobilirubin bergerak dari jaringan ke
pembuluh darah melalui mekanisme difusi. Di dalam darah
Fotobilirubin berikatan dengan Albumin dan dikirim ke Hati.
Fotobilirubin kemudian bergerak ke Empedu dan diekskresi ke
dalam Deodenum untuk dibuang bersama feses tanpa proses
konjugasi oleh Hati (Avery dan Taeusch, 1984).
Fototherapi mempunyai peranan dalam pencegahan peningkatan
kadar Bilirubin, tetapi tidak dapat mengubah penyebab
Kekuningan dan Hemolisis dapat menyebabkan Anemia. Secara
umum Fototherapi harus diberikan pada kadar Bilirubin Indirek 4 -5
mg / dl. Neonatus yang sakit dengan berat badan kurang dari 1000
gram harus di Fototherapi dengan konsentrasi Bilirubun 5 mg / dl.
Beberapa ilmuan mengarahkan untuk memberikan Fototherapi
Propilaksis pada 24 jam pertama pada Bayi Resiko Tinggi dan
Berat Badan Lahir Rendah.
\
ASUHAN KEPERAWATAN
1. . Pengkajian
A. Pengumpulan Data
1. Riwayat Penyakit
Perlunya ditanyakan apakah dulu pernah mengalami hal yang sama,
apakah sebelumnya pernah mengkonsumsi obat-obat atau jamu
tertentu baik dari dokter maupun yang di beli sendiri, apakah ada
riwayat kontak denagn penderiata sakit kuning, adakah rwayat operasi
empedu, adakah riwayat mendapatkan suntikan atau transfuse darah.
Ditemukan adanya riwayat gangguan hemolissi darah (ketidaksesuaian
golongan Rh atau darah ABO), polisitemia, infeksi, hematoma,
gangguan metabolisme hepar, obstruksi saluran pencernaan dan ASI,
ibu menderita DM.
2. Riwayat orang tua :
Ketidakseimbangan golongan darah ibu dan anak seperti Rh, ABO,
Polisitemia, Infeksi, Hematoma, Obstruksi Pencernaan dan ASI.
3. Pengkajian Psikososial :
Dampak sakit anak pada hubungan dengan orang tua, apakah orang
tua merasa bersalah, masalah Bonding, perpisahan dengan anak.
4. Pengetahuan Keluarga meliputi :
5. Penyebab penyakit dan pengobatan, perawatan lebih lanjut, apakah
mengenal keluarga lain yang memiliki yang sama, tingkat pendidikan,
kemampuan mempelajari Hiperbilirubinemia .
B. Pola Kebutuhan sehari-hari.
Data dasar klien:
1. Aktivitas / istirahat : Latergi, malas
2. Sirkulasi : Mungkin pucat, menandakan anemia.
3. Eliminasi : Bising usus hipoaktif, Pasase mekonium mungkin lambat,
Feses lunak/coklat kehijauan selama pengeluaran bilirubin,Urine gelap
pekat, hitam kecoklatan ( sindrom bayi bronze )
4. Makanan/cairan : Riwayat perlambatan/makan oral buruk, ebih mungkin
disusui dari pada menyusu botol, Palpasi abdomen dapat menunjukkan
perbesaran limfa, hepar.
5. Neurosensori : Hepatosplenomegali, atau hidropsfetalis dengan
inkompatibilitas Rh berat. Opistetanus dengan kekakuan lengkung
punggung,menangislirih, aktivitas kejang (tahap krisis).
6. Pernafasan : Riwayat afiksia
7. Keamanan : Riwayat positif infeksi/sepsis neonatus , Tampak ikterik
pada awalnya di wajah dan berlanjut pada bagian distal tubuh, kulit
hitam kecoklatan sebagai efek fototerapi.
8. Penyuluhan/Pembelajaran : Faktor keluarga, misal: keturunan etnik,
riwayat
hiperbilirubinemia pada kehamilan sebelumnya,
penyakithepar,distrasias darah (defisit glukosa-6-fosfat dehidrogenase
(G-6-PD). Faktor ibu, mencerna obat-obat (misal: salisilat),
inkompatibilitas Rh/ABO. Faktor penunjang intrapartum, misal:
persalinan pratern.
C. Pemeriksaan Fisik :
Pada pemeriksaan fisik didapatkan pemeriksaan derajat ikterus, ikterus terlihat
pada sclera, tanda-tanda penyakit hati kronis yaitu eritema palmaris, jari tubuh
(clubbing), ginekomastia (kuku putih) dan termasuk pemeriksaan organ hati
(tentang ukuran, tepid an permukaan); ditemukan adanya pembesaran limpa
(splenomegali), pelebaran kandung empedu, dan masa abdominal, selaput
lender, kulit nerwarna merah tua, urine pekat warna teh, letargi, hipotonus,
reflek menghisap kurang/lemah, peka rangsang, tremor, kejang, dan tangisan
melengking
D. Pemeriksaan Diagnostik
1. Golongan darah bayi dan ibu, mengidentifikasi inkompatibilitas ABO.
2. Bilirubin total: kadar direk bermakna jika melebihi 1,0 – 1,5 mg/dL kadar
indirek tidak boleh melebihi peningkatan 5 mg/dL dalam 24 jam, atau
tidak boleh lebih 20 mg/dL pada bayi cukup bulan atau 15 mg/dL pada
bayi pratern.
3. Darah lengkap: Hb mungkin rendah (< 1 mg/dL) karena hemolisis.
4. Meter ikterik transkutan: mengidentifikasi bayi yang memerlukan
penentuan bilirubin serum.
E. Diagnosa Keperawatan
1. Ketidak seimbangan volume cairan berhubungan dengan pemajanan
sinar (panas) yang lama sekunder foto terapi, belum matangnya sistem
pencernaan bayi karena bayi lahir berat rendah.
2. Gangguan thermogulasi ( Peningkatan suhu badan) berhubungan
dengan pemajanan panas yang lama sekunder foto terapi
3. Resiko kerusakan integritas kulit berhubungan denga peningkatan
bilirubin dikulit dan efek foto terapi
F. Rencana Keperawatan
DIAGNOSA TINDAKAN KEPERAWATAN
KEPERAWATAN
TUJUAN & RASIONAL
& DATA TINDAKAN
KRITERIA HASIL
PENUNJANG
baik sebagai
patokan
Jumlah intake
pemberian
dan output
intake
seimbang
yang baik
bisa
dipertahanka
n
Menunjukan
terjadinya
proses
penyembuha
n luka
DAFTAR PUSTAKA
Arief, Sjamsul. 2010. Deteksi dini kolestasis neonatal. Divisi Hepatologi Bagian
Ilmu Kesehatan Anak FK UNAIR/RSU Dr Soetomo, Surabaya.
Mansjoer A. et al, 2002. Kapita Selekta Kedokteran. Jilid I, Ed.3. hal 510-512.
Jakarta: Media Aesculapius, FKUI
Meidian, JM. (2000). Nursing Outcomes Classification (NOC). United States of America: