Demokrasi Dan Dinamikanya Di Indonesia
Demokrasi Dan Dinamikanya Di Indonesia
OLEH
TATI SARIHATI
1
Andrew Heywood, 2000, Key Concepts in Politics, New York: Palgrave, hlm. 125
pretektif adalah terbatas dan bentuk tidak langsung pemerintahan demokrasi
yang diatur untuk memberikan individu-individu dengan arti pertahanan
melawan pemerintah. Terakhir, demokrasi rakyat, yang berakar dalam
Marxisme ortodoks, menerjemahkan demokrasi dalam pola pencarian yang
membawa persamaan sosial dengan pengkolektifan kekayaan. Berdasarkan
pernyataan di atas dapat dimengerti mengapa banyak sekali makna atau
penafsiran mengenai demokrasi. Sehingga, tidak salah apabila Bernard Crick
menyatakan bahwa demokrasi adalah istilah politik yang paling tidak memilih-
milih, yang berarti bahwa kata demokrasi adalah hal yang berbeda dengan
orang yang berbeda.2
Untuk menjamin suatu pemerintahan yang demokratis hampir setiap Negara
dalam pelaksanaan pemerintahan ditentukan atas dasar mayoritas oleh wakil-
wakil yang diawasi secara efektif oleh rakyat dalam pemilihan-pemilihan
berkala yang didasarkan atas prinsip kesamaan politik dan dilaksanakan
dalam suasana terjaminnya kebebasan politik.
2
Andrew Heywood, 2000, Key Concepts in Politics, New York: Palgrave, hlm. 121
Berdasarkan gambar tersebut dapat dilihat bahwa bentuk Negara demokrasi
menjadi salah satu bentuk Negara yang buruk dikarenakan demokrasi pada
masanya dijalankan oleh banyak orang yang memerintah demi keuntungan
pribadi.
Konsepsi demokrasi telah berubah dalam 2000 tahun dapat dilihat dengan
merujuk pada karya-karya dari dua pemikir politik besar abad ke-17 dan 18
yaitu Thomas Hobbes, seorang filosof politik Inggris, dan Jean Jacques
Rousseau, seorang filosof politik Perancis. Hobbes menyebut “demokrasi”
secara tidak langsung dan ringkas dalam karya utamanya, Leviathan.
Pemikiran tentang penjagaan diri (self-preservation) merupakan tujuan utama
manusia, dan bahwa masyarakat harus diperintah untuk membatasi hasrat
kekerasan dari manusia.
Penulis lain seperti John Locke, seorang filosof politik Inggris abad ke-17, dan
Charles Montesquieu, seorang filosof politik Perancis abad ke-18, mengikuti
pendapat Hobbes ini. Bagi Montesquieu, pemerintahan demokrasi tidak dapat
berlaku cepat dan lebih baik dari pada oligarki dan atau otokrasi, karena
senantiasa diadakan dahulu mufakat orang banyak. Oleh karena itu untuk
membangun suatu sistem pemerintahan demokrasi, Montesquieu membagi
kekuasaan (separation of power) dalam 3 jenis, yaitu: legislatif, eksekutif dan
yudikatif.
Suatu penilaian yang berbeda tentang demokrasi dapat ditemukan dalam
tulisan-tulisan Rousseau. Ia berpendapat bahwa dalam pengertian yang
tepat, tidak ada demokrasi yang asli pernah ada atau akan selalu ada, karena
“hal ini bertentangan pada pengaturan alam yaitu sejumlah besar harus
memerintah dan beberapa diperintah”. Ia menyimpulkan bahwa hanya jika
orang itu adalah tuhan, maka mereka dapat memerintah dirinya secara
demokrasi. Oleh karena itu, bagi Rousseau demokrasi ini dapat dijalankan
melalui perwakilan.
3. Pengertian Demokrasi
Demokrasi Klasik
Berbagai model demokrasi yang telah berkembang memiliki pemikiran yang
beragam tentang keterlibatan ‘rakyat’ dalam pembuatan kebijakan.
Keterlibatan rakyat ini dalam banyak sistem demokrasi menjadi terbatasi
hanya pada proses pemberian suara (voting) dan keterikatan dari keputusan
mayoritas. Pemahaman demokrasi populer ini menempatkan keharusan
adanya suara yang sama (equal vote) di antara warga negara dan kekuasaan
mayoritas.
Demokrasi modern
Inti demokrasi adalah sistem nilai, prosedur, dan institusi (kelembagaan) yang
memungkinkan rakyat mempengaruhi pembuatan kebijakan publik . Aturan
demokrasi lebih berdasarkan pada pembagian kekuasaan daripada
ketundukan/kepatuhan. Demokrasi tidak seperti mesin yang sekali dipasang
akan berjalan tanpa masalah. Demokrasi bergantung pada kondisi-kondisi
tertentu yang harus secara berkala diperbaharui. Demokrasi ialah suatu
prosedur kelembagaan untuk mencapai keputusan politik yang di dalamnya
individu memperoleh kekuasaan untuk membuat keputusan melalui
perjuangan kompetitif dalam rangka memperoleh suara rakyat
4. Dilemma demokrasi
Menurut Alexis de Tocqueville dalam karya utamanya, Democracy in America
(1835), demokrasi itu dapat menciptakan suatu ‘tyranny of the majority’, di
mana hak-hak minoritas dapat terancam oleh massa yang tidak toleran.
Benjamin Franklin, salah satu pendiri Amerika Serikat. Salah satu
karakterisktik dasar dari demokrasi itu sendiri adalah adanya majority rule. Di
negara-negara demokratis proses legislasi dilakukan oleh sekelompok orang
yang dipilih melalui suara terbanyak dari masyarakat. Setiap individu
menawarkan gagasannya dalam pasar ide dan kepada individu lain dan
apabila gagasan tersebut mendapat suara mayoritas dari populasi, maka ia
bisa dilegislasikan dalam bentuk perundang-undangan dan
diimplementasikan dalam berbagai bentuk kebijakan.
Namun situasi seperti ini tidaklah seideal dalam angan-angan teori. Pada
praktiknya demokrasi kerap dijadikan alasan untuk menjustifikasi wewenang
mayoritas yang tidak terbatas. Legitimasi oleh 51% dari populasi dianggap
sebagai satu-satunya syarat mutlak untuk meloloskan suatu peraturan
maupun mengimplementasi suatu kebijakan, tanpa dikaji kembali apakah
kebijakan tersebut mengakibatkan ketidakadilan bagi individu maupun
kelompok lain.
Tesis Robert Michels tentang Hukum Besi Oligarki (The Iron Law of
Oligarchy) bahwa di setiap organisasi partai politik, pada hakikatnya hanya
dikuasai segelintir elite. Dibuktikan dengan maraknya politik keluarga di tubuh
parpol akan mengarah pada dinastitokrasi politik. Pada saat itu, suatu partai
dikuasai dan dikelola sebuah keluarga besar. Parpol seolah menjadi kerajaan
keluarga yang dikuasai dan dikelola turun-temurun. Kondisi ini akan
membahayakan proses demokrasi yang dibangun karena akan memengaruhi
kelembagaan politik internal partai. Parpol pun tidak akan kunjung terlembaga
sebagai organisasi modern dan demokratis. Dinastitokrasi politik tidak hanya
akan menutup peluang kader atau aktivis partai yang benar-benar berjuang
meniti karier politik dari bawah, tetapi juga mendorong berkembangnya
personalisasi kekuasaan dan menyuburkan kepemimpinan oligarkis partai.
Pada tahap itulah akan bertambah subur oligarki elite dan dinastitokrasi politik
di internal parpol.
6. Demokratisasi
Transisi demokrasi dimaknai oleh Juan Linz sebagai suatu proses
terbentuknya suasana ketika seluruh masyarakat politik, pimpinan maupun
warganya, menggunakan kerangka demokrasi sebagai satu-satunya aturan
main (the only game in town) dalam memperjuangkan kepentingan politik
mereka.
Demokratisasi melibatkan pengenalan prinsip-prinsip dasar demokrasi,
seperti transparansi dan pertanggungjawaban ke dalam pembuatan
kebijakan-kebijakan melalui perangkat hukum. Untuk itu, menurut Larry
Diamond, dibutuhkan reformasi inkremental, melalui proses tawar-menawar,
dialog, serta membangun konsensus ketimbang membuka konfrontasi.
Dalam suatu sistem politik, semua sikap, nilai dan perasaan politik bersama
dalam suatu masyarakat mempengaruhi apa yang mereka akan lakukan. Hal
ini akan menentukan budaya politik suatu bangsa. Aspek terpenting dari
budaya politik ini adalah legitimasi dari pemerintahan. Para warga negara
memandang suatu pemerintah itu legitimate, sehingga mereka harus
mematuhi hukum-hukum yang dibuat pemerintah tersebut.
7. Demokrasi di Indonesia
Perkembangan demokrasi di Indonesia mengalami fluktuasi dari masa
kemerdekaan sampai saat ini. Masalah pokok yang dihadapi oleh bangsa
Indonesia adalah bagaimana meningkatkan kehidupan ekonomi dan
membangun kehidupan sosial dan politik yang demokratis dalam masyarakat.
Dalam kurun sejarah Indonesia merdeka sampai sekarang ini, ternyata
pelaksanaan demokrasi mengalami dinamikanya. Indonesia mengalami
praktik demokrasi yang berbeda-beda dari masa ke masa. Beberapa ahli
memberikan pandangannya. Misalnya, Budiardjo (2008) menyatakan bahwa
dari sudut perkembangan sejarah demokrasi Indonesia sampai masa Orde
Baru dapat dibagi dalam empat masa, yaitu:
a. Masa Republik Indonesia I (1945-1959) yang dinamakan masa demokrasi
konstitusional yang menonjolkan peranan parlemen dan partai-partai,
karena itu dinamakan Demokrasi Parlementer,
b. Masa Republik Indonesia II (1959-1965) yaitu masa Demokrasi Terpimpin
yang banyak penyimpangan dari demokrasi konstitusional yang secara
formal merupakan landasan dan penunjukan beberapa aspek demokrasi
rakyat.
c. Masa Republik Indonesia III (1965-1998) yaitu masa demokrasi Pancasila.
Demokrasi ini merupakan demokrasi konstitusional yang menonjolkan
sistem presidensiil.
d. Masa Republik Indonesia IV (1998-sekarang) yaitu masa reformasi yang
menginginkan tegaknya demokrasi di Indonesia sebagai koreksi terhadap
praktik-praktik politik yang terjadi pada masa Republik Indonesia III.
Namun dari semua perkembangan demokrasi di Indonesia yang telah
disebutkan, demokrasi Indonesia tidak lain tidak bukan ialah demokrasi
Pancasila atau demokrasi Permusyawaratan. Hatta menguraikan konsep
demokrasi yang diidealkan, yaitu suatu bentuk demokrasi yang tepat guna,
selaras dengan karakter dan cita-cita kemerdekaan bangsa.
Model demokrasi yang diidealkan, secara ringkas diuraikan oleh Mohamad
Hatta sebagai berikut ( Latif, 2011: 385):
“Negara itu haruslah berbentuk republik berdasarkan kedaulatan
rakyat. Tetapi kedaulatan rakyat yang dipahamkan dan
dipropagandakan dalam pergerakan nasional berlainan dengan
konsepsi Rousseau yang bersifat individualisme. Kedaulatan rakyat
ciptaan Indonesia harus berakar dalam pergaulan hidup sendiri yang
bercorak kolektivisme. Demokrasi Indonesia harus pula perkembangan
daripada demokrasi Indonesia yang “asli”. Semangat kebangsaan yang
tumbuh sebagai reaksi terhadap imperialisme dan kapitalisme Barat,
memperkuat pula keinginan untuk mencari sendisendi bagi Negara
nasional yang akan dibangun ke dalam masyarakat sendiri”.
ini.
DAFTAR PUSTAKA