Disusun oleh :
1. Seva Ikhsan Pambudi (30901800158)
2. Shobahatul Khiyaroh (30901800160)
3. Shofiyana Indah Utami (30901800161)
4. Sigit Setiawan (30901800162)
5. Silviana Riska A (30901800163)
6. Siti Arum Suwanda (30901800165)
7. Siti Khoirunnisa’ (30901800166)
8. Siti Mamdukah (30901800167)
9. Siti Nuraini (30901800168)
10. Siti Nurhaliza (30901800169)
PRODI S1 KEPERAWATAN
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Tuberkulosis paru (TB Paru) merupakan penyakit menular
langsung pada parenchim yang disebabkan oleh kuman TB
(Mycobacterium tuberculosis). Kuman tuberculosis paru mempunyai
kuman batang aerob yang bisa tumbuh dan berkembang terutama pada
paru ataupun organ tubuh yang lain. Bakteri ini memiliki kandungan lemak
yang cukup tingi di bagian membrane sel dan bisa mengakibatkan bakteri
tahan terhadap asam (Wulandari, 2019). Penderita tuberculosis paru
selalu meningkat setiap tahunnya, hal tersebut harus benar benar
diperhatikan untuk mencapai penekanan jumlah penderita. Dari data
world health organization (WHO, 2019) secara global Indonesia
menduduki peringkat ke-3 dengan insiden kasus tertingi dengan jumlah
peningkatan kurang lebih setelah negara india dan china dengan jumlah
sebnayak 842.000 kasus penduduk yang menderita TB paru pada ahun
2018 (Patmawati, 2020).
Resiko penularan setiap tahunnya di tunjukkan dengan Annual
Risk of Tuberculosis Infection (ARTI) yaitu proporsi penduduk yang
beresiko terinfeksi Tuberkulosis selama satu tahun.ARTI sebesar 1%
berarti 10 (sepuluh) orang diantara 1000 penduduk terinfeksi setiap
tahun.ARTI di Indonesia bervariasi antara 1-3%, infeksi Tuberkulosis
dibuktikan dengan perubahan reaksi tuberkulin negatif menjadi
positif.Faktor yang mempengaruhi kemungkinan seseorang menjadi klien
Tuberkulosis Paru adalah daya tahan tubuh yang rendah dan malnutrisi
(gizi buruk). Gejala utama adalah batuk selama 2 minggu atau lebih,
batuk disertai dengan gejala tambahan yaitu dahak, dahak bercampur
darah, sesak nafas, badan lemas, nafsu makan menurun, berat badan
menurun, malaise, berkeringat malam hari tanpa kegiatan fisik, demam
lebih dari 1 bulan.. Penyakit TB paru ditanyakan pada responden untuk
kurun waktu ≤1 tahun berdasarkan riwayat diagnosis tenaga kesehatan
melalui pemeriksaan dahak, foto toraks atau keduanya. Berbeda
dibandingkan dengan Riskesdas sebelumnya. Penyakit TB paru
ditanyakan pada responden untuk kurun waktu ≤1 tahun berdasarkan
diagnosis yang ditegakkan oleh dokter melalui pemeriksaan dahak, foto
toraks atau keduanya (Riskesdas sebelumnya melalui riwayat diagnosis
tenaga kesehatan) (RISKESDAS, 2018).
Menurut WHO, perawatan paliatif adalah pendekatan untuk
meningkatkan kualitas hidup pasien dan keluarganya dalam
menghadapi masalah terkait penyakit yang mengancam jiwa,
melalui pencegahan dan penghentian penderitaan dengan identifikasi
dini, penilaian, dan perawatan yang optimal dari rasa sakit dan
masalah lainnya, fisik, psikososial dan spiritual (Naufal & Ahmad, 2021).
Didunia sekitar 40 milyar orang membutuhkan perawatan paliatif,
diantaranya adalah mereka yang menderita penyakit kronis seperti
penyakit kardiovaskular (38.5%), kanker (34%), penyakit paru kronis
(10.3%), AIDS (5.7%), diabetes (4.6%), gagal ginjal, penyakit hati kronis,
multiple sclerosis, Parkinson dan penyakit neurologis, reumatoid radang
sendi, demensia, kelainan bawaan, dan TBC yang resistan terhadap obat
(WHO, 2018). Menurut Kemenkes RI, (2019) lebih dari 1 juta orang di
Indonesia membutuhkan perawatan paliatif (Permenkes RI, 2019).
Perawatan paliatif merupakan tipe perawatan yang tidak hanya
menekankan pada aspek kesembuhan fisik saja, melainkan juga aspek
psikososial dan spiritual baik pasien maupun keluarganya, Hal yang
dilakukan untuk mencegah dan mengurangi penderitaan seorang
pasien paliatif adalah identifikasi awal, penilaian tentang penyakitnya,
penanganan nyeri, dan masalah lainnya (Jenggawah et al., 2018).
Peran perawat secara umum penting untuk mengelola klien Tuberkulosis
Paru dan mencegah terjadinya komplikasi yaitu sebagai care giver.
Dalam peran perawat memberikan asuhan keperawatan dimulai dari awal
pengkajian, menegakkan diagnosa keperawatan, membuat rencana
keperawatan, melaksanakan rencana keperawatan dan mengevaluasi
keadaan pasien setelah tindakan keperawatan.
B. Tujuan Penulisan
Tujuan dari penulisan makalah ini adalah Mahasiswa mampu
memberikan asuhan keperawatan dengan tanggap dan benar pada
pasien Tuberkulosis Paru.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian
Resistansi Multi drug resistant tuberculosis terhadap OAT adalah
keadaan di mana bakteri tersebut sudah tidak dapat lagi dimusnakan dengan
OAT. TB resistan OAT pada dasarnya adalah suatu fenomena buatan
manusia, sebagai akibat dari pengobatan pasien TB yang tidak adekuat
maupun penularan dari pasien TB resistan OAT. Penatalaksanaan TB
resistan OAT lebih rumit dan memerlukan perhatian yang lebih banyak dari
pada penatalaksanaan TB yang tidak resistan. Penerapan Manajemen
Terpadu Pengendalian TB Resistan Obat menggunakan kerangka kerja
yang sama dengan strategi DOTS dengan beberapa penekanan pada setiap
komponennya (Kemenkes RI, 2013).
a. Pasien TB kronik
b. Pasien TB pengobatan kategori 2 yang tidak konversi
c. Pasien TB yang mempunyai riwayat pengobatan TB Non DOTS
d. Pasien TB pengobatan kategori 1 yang gagal
e. Pasien TB pengobatan kategori 1 yang tidak konversi setelah
pemberian sisipan.
f. Pasien TB kasus kambuh (relaps), kategori 1 dan kategori 2
g. Pasien TB yang kembali setelah lalai berobat/default
h. Suspek TB yang mempunyai riwayat kontak erat dengan pasien
TB MDR
i. Pasien koinfeksi TB-HIV yang tidak respon terhadap pemberian
OAT
1) Kasus Kronik
C. Penegakan Diagnosa
1. Strategi Diagnosis TB MDR
Pemeriksaan laboratorium untuk uji kepekaan Multi drug resistant
tuberculosis dilakukan dengan metode standar yang tersedia di
Indonesia:
a. Metode konvensional
3. Pemeriksaan laboratorium
Semua fasyankes yang terlibat dalam pelaksanaan Manajemen
Terpadu Pengendalian TB Resistan Obat merujuk semua suspek TB
MDR ke laboratorium rujukan (Drug Sensitivity Test) DST dengan
melalui fasyankes Rujukan TB MDR.
Pemeriksaan mikroskopis
2. Ekstra Paru
MDR
b. Pendidikan
c. Tipe Pasien
d. Pasien baru
e. Pengobatan Ulangan
f. Transfer In
g. Lain Lain
2. Keteraturan berobat
3. Pendapatan Keluarga
Faktor Pasien
- Tidak3. Kerangka
Gambar patuh minum obat Efek
Teori Penelitian Faktor Ekstrinsik
samping obat - Pendapatan keluarga
- Memberhentikan pengobatan sepihak - Perilaku petugas Kesehatan
I.Kurangnya informasi
2.4 Kerangka Konsep - PMO (Pengawas menelan obat)
- Tidak ada biaya untuk pemeriksaan - Jarak ke fasilitas kesehatan
kontrol bulanan
- Gangguan penyerapan obat
Variabel Independent Variabel Dependent
- Masalah sosial
Faktor Intrinsik
- Pendidikan
- Pekerjaan
Faktor Intrinsik Faktor Petugas
- Pengetahuan
- Pendidikan- Efek samping obat - Kurangnya penyuluhan
- Pekerjaan - Tipe pasien Konversi TB - Dosis/jumlah obat tidak
- Pengetahuan
- Keteraturan berobat MDR adekuat
- Efek Samping
- Kepuasan
Obat pasien - Kurangnya pengetahuan
- Tipe pasien petugas organisasi
- Keteraturaan berobat program TB kurang baik
Faktor Faktor Program - Tidak ada guideline
- Kepuasan pasienEkstrinsik- Distribusi OAT terlambat
- Rendahnya kualitas
- - Tidak ada program DOTS plus
Pendapatan keluarga pelayanan petugas
- - Keterbatasan alat dan media uji
Perilaku petugas kesehatan
kesehatan biakan
- PMO - Biaya terlalu besar
- - Tidak ada fasilitas khusus TB
Jarak ke fasilitas
kesehatan MDR/Poli MDR
Gambar 4. Kerangka Konsep Penelitian
J. Patofisiologi TB MDR
Multi drug resistant tuberculosis (TB MDR) paling banyak
didahului oleh infeksi tuberkulosis yang disebabkan oleh Mycobacterium
tuberculosis dan mengalami kekebalan obat akibat dua faktor yaitu:
1. Faktor Mikroorganisme
Virulensi kuman menjadi lebih tinggi dengan daya tahan yang
tinggi. Keadaan yang menimbulkan tingginya faktor virulensi ini adalah
sifat kuman yang dapat menginfeksi tubuh pejamu walaupun dalam
jumlah yang kecil dan kemampuan kuman Mycobacterium
tuberculosis yang dapat bermutasi sehingga dapat menahan diri terhadap
reaksi peradangan oleh makrofag pada tubuh pejamu.
Kuman Mycobacterium tuberculosis memiliki protein yang dapat
menimbulkan apoptosis makrofag yang seharusnya memfagosit kuman.
Hal ini akan menimbulkan kerusakan jaringan yang semakin luas. Kuman
ini juga dapat mensintesis protein dan menimbulkan perubahan struktur
kuman sehingga kuman menjadi lebih resisten terhadap pemberian
antibiotik yang sebelumnya sudah digunakan.
2. Faktor Klinis
Mekanisme terjadinya TB MDR terjadinya akibat faktor
penyelenggara kesehatan, faktor obat dan faktor pasien. Faktor
penyelenggara kesehatan antara lain disebabkan oleh keterlambatan
diagnosis, petugas yang kurang terlatih, pemantauan pengobatan yang
tidak sesuai serta adanya fenomena addition syndrome yaitu suatu obat
yang ditambahkan pada satu paduan yang telah gagal, jika kegagalan ini
terjadi akibat kuman yang telah resisten pada paduan yang pertama maka
penambahan obat ini akan meningkatkan resistensi.
Faktor obat antara lain paduan,dosis dan lama pengobatan yang
tidak sesuai, serta toksisitas dan efek samping yang mungkin terjadi.
Faktor pasien yang berperan dalam TB MDR ini adalah ketidaktaatan
pasien dalam mengkonsumsi obat, ketiadaan PMO (Pengawas Minum
Obat), kurangnya pengetahuan pasien terhadap infeksi tuberkulosis dan
adanya gangguan penyerapan obat. Pada beberapa keadaan TB MDR
sering terjadi pada pasien yang terinfeksi HIV-AIDS.
BAB III
KESIMPULAN
A. Kesimpulan
MDR-TB merupakan masalah kesehatan yang penting dan segera
ditanggulangi. Pengobatannya memerlukan waktu lama dimana jauh lebih
sulit dari kasus TB biasa.
Jenggawah, N., Pada, S., Berpikir, K., Dan, K., & Belajar, M. (2018). Digital
Jember.
KANKER. 93–106.
Insentif ICU dan ROI RSUP Dr. M. Djamil Padang Tahun 2020. 2, 1–13.