Anda di halaman 1dari 19

MAKALAH KEPERAWATAN PALIATIF

PERAWATAN PALIATIF PADA PASIEN TB PARU

Disusun oleh :
1. Seva Ikhsan Pambudi (30901800158)
2. Shobahatul Khiyaroh (30901800160)
3. Shofiyana Indah Utami (30901800161)
4. Sigit Setiawan (30901800162)
5. Silviana Riska A (30901800163)
6. Siti Arum Suwanda (30901800165)
7. Siti Khoirunnisa’ (30901800166)
8. Siti Mamdukah (30901800167)
9. Siti Nuraini (30901800168)
10. Siti Nurhaliza (30901800169)

11. Siti Rohmatun (30901800171)

PRODI S1 KEPERAWATAN

FAKULTAS ILMU KEPERAWATAN

UNIVERSITAS ISLAM SULTAN AGUNG SEMARANG


BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Tuberkulosis paru (TB Paru) merupakan penyakit menular
langsung pada parenchim yang disebabkan oleh kuman TB
(Mycobacterium tuberculosis). Kuman tuberculosis paru mempunyai
kuman batang aerob yang bisa tumbuh dan berkembang terutama pada
paru ataupun organ tubuh yang lain. Bakteri ini memiliki kandungan lemak
yang cukup tingi di bagian membrane sel dan bisa mengakibatkan bakteri
tahan terhadap asam (Wulandari, 2019). Penderita tuberculosis paru
selalu meningkat setiap tahunnya, hal tersebut harus benar benar
diperhatikan untuk mencapai penekanan jumlah penderita. Dari data
world health organization (WHO, 2019) secara global Indonesia
menduduki peringkat ke-3 dengan insiden kasus tertingi dengan jumlah
peningkatan kurang lebih setelah negara india dan china dengan jumlah
sebnayak 842.000 kasus penduduk yang menderita TB paru pada ahun
2018 (Patmawati, 2020).
Resiko penularan setiap tahunnya di tunjukkan dengan Annual
Risk of Tuberculosis Infection (ARTI) yaitu proporsi penduduk yang
beresiko terinfeksi Tuberkulosis selama satu tahun.ARTI sebesar 1%
berarti 10 (sepuluh) orang diantara 1000 penduduk terinfeksi setiap
tahun.ARTI di Indonesia bervariasi antara 1-3%, infeksi Tuberkulosis
dibuktikan dengan perubahan reaksi tuberkulin negatif menjadi
positif.Faktor yang mempengaruhi kemungkinan seseorang menjadi klien
Tuberkulosis Paru adalah daya tahan tubuh yang rendah dan malnutrisi
(gizi buruk). Gejala utama adalah batuk selama 2 minggu atau lebih,
batuk disertai dengan gejala tambahan yaitu dahak, dahak bercampur
darah, sesak nafas, badan lemas, nafsu makan menurun, berat badan
menurun, malaise, berkeringat malam hari tanpa kegiatan fisik, demam
lebih dari 1 bulan.. Penyakit TB paru ditanyakan pada responden untuk
kurun waktu ≤1 tahun berdasarkan riwayat diagnosis tenaga kesehatan
melalui pemeriksaan dahak, foto toraks atau keduanya. Berbeda
dibandingkan dengan Riskesdas sebelumnya. Penyakit TB paru
ditanyakan pada responden untuk kurun waktu ≤1 tahun berdasarkan
diagnosis yang ditegakkan oleh dokter melalui pemeriksaan dahak, foto
toraks atau keduanya (Riskesdas sebelumnya melalui riwayat diagnosis
tenaga kesehatan) (RISKESDAS, 2018).
Menurut WHO, perawatan paliatif adalah pendekatan untuk
meningkatkan kualitas hidup pasien dan keluarganya dalam
menghadapi masalah terkait penyakit yang mengancam jiwa,
melalui pencegahan dan penghentian penderitaan dengan identifikasi
dini, penilaian, dan perawatan yang optimal dari rasa sakit dan
masalah lainnya, fisik, psikososial dan spiritual (Naufal & Ahmad, 2021).
Didunia sekitar 40 milyar orang membutuhkan perawatan paliatif,
diantaranya adalah mereka yang menderita penyakit kronis seperti
penyakit kardiovaskular (38.5%), kanker (34%), penyakit paru kronis
(10.3%), AIDS (5.7%), diabetes (4.6%), gagal ginjal, penyakit hati kronis,
multiple sclerosis, Parkinson dan penyakit neurologis, reumatoid radang
sendi, demensia, kelainan bawaan, dan TBC yang resistan terhadap obat
(WHO, 2018). Menurut Kemenkes RI, (2019) lebih dari 1 juta orang di
Indonesia membutuhkan perawatan paliatif (Permenkes RI, 2019).
Perawatan paliatif merupakan tipe perawatan yang tidak hanya
menekankan pada aspek kesembuhan fisik saja, melainkan juga aspek
psikososial dan spiritual baik pasien maupun keluarganya, Hal yang
dilakukan untuk mencegah dan mengurangi penderitaan seorang
pasien paliatif adalah identifikasi awal, penilaian tentang penyakitnya,
penanganan nyeri, dan masalah lainnya (Jenggawah et al., 2018).
Peran perawat secara umum penting untuk mengelola klien Tuberkulosis
Paru dan mencegah terjadinya komplikasi yaitu sebagai care giver.
Dalam peran perawat memberikan asuhan keperawatan dimulai dari awal
pengkajian, menegakkan diagnosa keperawatan, membuat rencana
keperawatan, melaksanakan rencana keperawatan dan mengevaluasi
keadaan pasien setelah tindakan keperawatan.

B. Tujuan Penulisan
Tujuan dari penulisan makalah ini adalah Mahasiswa mampu
memberikan asuhan keperawatan dengan tanggap dan benar pada
pasien Tuberkulosis Paru.
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian
Resistansi Multi drug resistant tuberculosis terhadap OAT adalah
keadaan di mana bakteri tersebut sudah tidak dapat lagi dimusnakan dengan
OAT. TB resistan OAT pada dasarnya adalah suatu fenomena buatan
manusia, sebagai akibat dari pengobatan pasien TB yang tidak adekuat
maupun penularan dari pasien TB resistan OAT. Penatalaksanaan TB
resistan OAT lebih rumit dan memerlukan perhatian yang lebih banyak dari
pada penatalaksanaan TB yang tidak resistan. Penerapan Manajemen
Terpadu Pengendalian TB Resistan Obat menggunakan kerangka kerja
yang sama dengan strategi DOTS dengan beberapa penekanan pada setiap
komponennya (Kemenkes RI, 2013).

B. Penatalaksana Pasien TB MDR


1. Penemuan Pasien
Penemuan pasien TB Resistan Obat adalah suatu rangkaian
kegiatan yang dimulai dengan penemuan suspek TB Resistan Obat
menggunakan alur penemuan baku dilanjutkan proses penegakan
diagnosis TB Resistan Obat dengan pemeriksaan dahak selanjutnya
didukung juga dengan kegiatan edukasi pada pasien dan keluarganya
supaya penyakit dapat dicegah penularannya kepada orang lain. Semua
kegiatan yang dilakukan dalam kegiatan penemuan pasien TB Resistan
Obat dalam.

Manajemen Terpadu Pengendalian TB Resistan Obat harus


dicatat dalam buku bantu rujukan suspek TB MDR, formulir rujukan
suspek TB MDR dan formulir register suspek TB MDR (TB 06 MDR)
sesuai dengan fungsi fasyankes (WHO, 2008).

1. Resistansi terhadap obat anti TB (OAT)


Resistansi kuman M.tuberculosis terhadap OAT adalah keadaan
dimana bakteri sudah tidak dapat lagi dibunuh dengan OAT. Terdapat
5 kategori resistansi terhadap OAT yaitu:

a. Monoresistan : resistan terhadap salah satu OAT, misalnya


resistan isoniazid (H).

b. Poliresistan : resistan terhadap lebih dari satu OAT, selain


kombinasi isoniazid (H) dan rifampisin (R), misalnya resistan
isoniazid dan ethambutol (HE), rifampicin ethambutol
(RE),isoniazid ethambutol dan streptomisin (HES), rifampicin
ethambutol dan streptomisin (RES)

c. Multi Drug Resistan (MDR) : resistan terhadap isoniazid dan


rifampisin, dengan atau tanpa OAT lini pertama yang lain,
misalnya resistan HR, HRE, HRES.

d. Ekstensif Drug Resistan (XDR) : TB MDR disertai resistansi


terhadap salah salah satu obat golongan fluorokuinolon dan salah
satu dari OAT injeksi lini kedua (kapreomisin, kanamisin, dan
amikasin).

e. Total Drug Resistan (Total DR) : Resistansi terhadap semua OAT


(lini pertama dan lini kedua) yang sudah dipakai saat ini.

2. Suspek TB Resistan Obat

Suspek TB Resistan Obat adalah semua orang yang mempunyai


gejala TB yang memenuhi satu atau lebih kriteria suspek di bawah ini:

a. Pasien TB kronik
b. Pasien TB pengobatan kategori 2 yang tidak konversi
c. Pasien TB yang mempunyai riwayat pengobatan TB Non DOTS
d. Pasien TB pengobatan kategori 1 yang gagal
e. Pasien TB pengobatan kategori 1 yang tidak konversi setelah
pemberian sisipan.
f. Pasien TB kasus kambuh (relaps), kategori 1 dan kategori 2
g. Pasien TB yang kembali setelah lalai berobat/default
h. Suspek TB yang mempunyai riwayat kontak erat dengan pasien
TB MDR
i. Pasien koinfeksi TB-HIV yang tidak respon terhadap pemberian
OAT

Definisi kasus TB tersebut di atas mengacu kepada Buku Pedoman


Nasional Pengendalian TB tahun 2011:

1) Kasus Kronik

Yaitu pasien TB dengan hasil pemeriksaan masih BTA positif


setelah selesai pengobatan ulang dengan paduan OAT kategori-2.
Hal ini ditunjang dengan rekam medis dan atau riwayat
pengobatan TB sebelumnya.

2) Kasus Gagal Pengobatan

Yaitu pasien baru TB BTA Positif dengan pengobatan kategori I


yang hasil pemeriksaan dahaknya tetap positif atau kembali positif
pada bulan kelima atau lebih selama pengobatan.

Pasien baru TB BTA Negatif, foto toraks mendukung proses


spesifik TB dengan pengobatan kategori I, yang hasil pemeriksaan
dahaknya menjadi positif pada akhir tahap awal.

3) Kasus Kambuh (relaps)

Yaitu pasien TB yang sebelumnya pernah mendapatkan


pengobatan TB dan telah dinyatakan sembuh atau pengobatan
lengkap, didiagnosis kembali dengan hasil pemeriksaan dahak
mikroskopis dan biakan positif.

4) Pasien kembali setelah lalai berobat/default

Pasien yang kembali berobat setelah lalai paling sedikit 2 bulan


dengan pengobatan kategori-1 atau kategori-2 serta hasil
pemeriksaan dahak menunjukkan BTA positif (Kemenkes RI,
2011).
Pasien yang memenuhi salah satu kriteria suspek TB Resistan
Obat harus dirujuk secara sistematik ke fasyankes rujukan TB MDR untuk
kemudian dikirim ke laboratorium rujukan TB MDR dan dilakukan
pemeriksaan apusan BTA mikroskopis, biakan dan uji kepekaan
M.tuberculosis, baik secara metode konvensional maupun metode cepat
(rapid test). Laboratorium rujukan TB MDR dapat berada di dalam atau di
luar lingkungan fasyankes rujukan TB MDR. Laboratorium rujukan uji
kepekaan. Multi drug resistant tuberculosis dapat berada di luar wilayah
kerja fasyankes rujukan TB MDR, selama aksesibilitas pelayanan
laboratorium dapat dipenuhi (Kemenkes RI, 2012).
Gambar 1. Alur Penemuan Kasus TB MDR

C. Penegakan Diagnosa
1. Strategi Diagnosis TB MDR
Pemeriksaan laboratorium untuk uji kepekaan Multi drug resistant
tuberculosis dilakukan dengan metode standar yang tersedia di
Indonesia:

a. Metode konvensional

Menggunakan media padat (Lowenstein Jensen/ LJ) atau media


cair (MGIT).

b. Tes Cepat (Rapid Test).

Menggunakan cara Hain atau Gene Xpert. Pemeriksaan uji


kepekaan Multi drug resistant tuberculosis yang dilaksanakan
adalah pemeriksaan untuk obat lini pertama dan lini kedua.
Gambar 2. Alur Standard Diagnosis TB MDR

2. Diagnosis TB Resistan Obat


a. Diagnosis TB Resistan Obat dipastikan berdasarkan uji kepekaan
M.tuberculosis, baik secara metode konvensional dengan
menggunakan media padat atau media cair, maupun metode cepat
(rapid test).
b. Untuk keperluan pemeriksaan biakan dan uji
kepekaanM.tuberculosis, suspek TB Resistan Obat diambil
dahaknya dua kali salah satu harus ‘dahak pagi hari.

3. Pemeriksaan laboratorium
Semua fasyankes yang terlibat dalam pelaksanaan Manajemen
Terpadu Pengendalian TB Resistan Obat merujuk semua suspek TB
MDR ke laboratorium rujukan (Drug Sensitivity Test) DST dengan
melalui fasyankes Rujukan TB MDR.

Pemeriksaan laboratorium yang dilakukan adalah:

 Pemeriksaan mikroskopis

Pemeriksaan mikroskopis kuman tahan asam (BTA) dengan


pewarnaan Ziehl Neelsen. Pemeriksaan dahak secara mikroskopis
dilaksanakan untuk:

Pemeriksaan pendahuluan pada suspek TB MDR, yang dilanjutkan


dengan biakan dan uji kepekaan M.tuberculosis.

Pemeriksaan dahak lanjutan (follow-up) dalam waktu-waktu tertentu


selama masa pengobatan, diikuti dengan pemeriksaan biakan,
untuk memastikan bahwa M.tuberculosis sudah tidak ada lagi.

D. Biakan Multi drug resistant tuberculosis


Biakan M. tuberculosis dapat dilakukan pada media padat maupun
media cair. Masing-masing metode tersebut memiliki kelebihan dan
kekurangan masingmasing. Biakan menggunakan media padat relatif lebih
murah dibanding media cair tetapi memerlukan waktu yang lebih lama yaitu
3-8 minggu. Sebaliknya bila menggunakan media cair hasil biakan sudah
dapat diketahui dalam waktu 1-2 minggu tetapi memerlukan biaya yang lebih
mahal. Kualitas proses biakan M. tuberculosis yang dilakukan di
laboratorium sangat menentukan. Proses yang tidak mengikuti prosedur
tetap termasuk pembuatan media, pelaksanaan biakan dapat mempengaruhi
hasil biakan misalnya: proses dekontaminasi yang berlebihan atau tidak
cukup, kualitas media yang tidak baik, cara inokulasi kuman dan suhu
inkubasi yang tidak tepat.

E. Line probe assay (LPA)


1. Pemeriksaan molekuler yang didasarkan pada PCR Dikenal sebagai
Hain test/ Genotype MDRTB plus.
2. Hasil pemeriksaan dapat diperoleh dalam waktu kurang lebih 24 jam.

3. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar dari M.tuberculosis


yang resistan terhadap rifampisin (R) ternyata juga resistan terhadap
isoniazid (H) sehingga tergolong TB-MDR.
F. Klasifikasi Penyakit dan Tipe Pasien TB MDR Klasifikasi TB MDR
(berdasarkan lokasi) :
1. Paru

Apabila kelainan ada di dalam parenkim paru.

2. Ekstra Paru

Apabila kelainan ada di luar parenkim paru.

G. Faktor Intrinsik dan Ekstrinsik yang Berpengaruh terhadap Konversi


TB

MDR

1. Faktor Risiko Intrinsik


a. Umur

Di Negara berkembang, mayoritas yang terinfeksi TB adalah


golongan usia dibawah 50 tahun, namun dinegara maju prevalensi
justru tinggi pada usia yang lebih tua. Pada usia tua, TB mempunyai
gejala dan tanda yang tidak spesifik sehingga sulit terdiagnosis,
sering terjadi reaktivasi fokus dorman, selain itu berkaitan dengan
perkembangan faktor komorbid yang dihubungkan dengan
penurunan cell mediated immunity seperti pada keganasan,
penggunaan obat immunosupresif dan faktor ketuaan. Umur
merupakan faktor predisposisi terjadinya perubahan perilaku yang
dikaitkan dengan kematangan fisik dan psikis dari penderita TB paru.
Pada usia tua angka ketidakteraturan berobat lebih tinggi disebabkan
karena lupa dan kepasrahan mereka terhadap sakit yang diderita
(Ratnawati, 2000). Akibat dari ketidakteraturan berobat inilah yang
menjadi pemicu terjadinya resistan terhadap obat TB. Sekitar 75%
pasien TB adalah kelompok usia yang paling produktif secara
ekonomis (15-50 tahun). Diperkirakan seorang pasien TB dewasa,
akan kehilangan rata-rata waktu kerjanya 3 sampai 4 bulan. b. Jenis
Kelamin

Jenis kelamin laki-laki dan perempuan berbeda dalam hal


prevalensi dari jumlah penderita TB MDR. Menurut penelitian Nofizar
(2010) bahwa laki-laki lebih banyak terkena TB MDR (64%)
dibandingkan perempuan (36%). Kepatuhan menelan obat akan
mempengaruhi konversi pasien TB. Sama halnya dengan penelitian
Simamora (2004) Terdapat perbedaan antara laki-laki dengan
perempuan dalam hal keteraturan menelan obat dimana 62,30%
Perempuan dan 37,7% pada lakilaki.

b. Pendidikan

Pendidikan berkaitan dengan pengetahuan penderita.


Pendidikan rendah mengakibatkan pengetahuan rendah. Rendahnya
pendidikan seorang penderita TB dapat memengaruhi seseorang
untuk mencari pelayanan kesehatan. Masih banyak penderita TB
berhenti berobat karena keluhan sakit sudah hilang, padahal
penyakitnya belum sembuh. Ini terjadi karena kurangnya pemahaman
tentang apa yang telah disampaikan oleh petugas kesehatan
sehingga mengakibatkan kuman TB resisten terhadap obat TB.
Faktor pendidikan erat kaitannya dengan kepatuhan penderita TB
berobat dan minum obat secara teratur (Wirdani, 2000). d. Pekerjaan
Penderita TB MDR ada pada berbagai profesi pekerjaan yang
berarti penularan dapat terjadi di mana saja dan ini juga menunjukkan
bahwa informasi mengenai TB ataupun MDR TB harus disebarkan ke
banyak tempat. Menurut penelitian Sinaga (2013) Karakteristik
pekerjaan pada subjek penelitian ini didapatkan pekerjaan yang
terbanyak adalah sebagai ibu rumah tangga sebanyak 6 orang
(42,87%) dan sebagai petani 4 orang (28,57%). Wiraswasta
sebanyak 2 orang (14,28%), pegawai negeri sipil sebanyak 1 orang
(7,14%), dan sebagai mahasiswa yaitu 1 orang (7,14%). e.
Pengetahuan

Dengan tingkat pengetahuan yang baik terhadap suatu


penyakit bisa mencegah seseorang terhindar dari penularan TB
ataupun TB MDR. Seseorang dengan tingkat pengetahuan yang baik
tentang pengobatan TB MDR menyebabkan menelan obat dengan
teratur maka keberhasilan pengobatan akan lebih baik. Salah satu
indikator keberhasilan pengobatan adalah konversi pasien TB MDR.
f. Efek Samping Obat

Pemantauan terjadinya efek samping sangat penting pada


pengobatan pasien TB MDR, karena dalam paduan OAT MDR
terdapat OAT lini kedua yang memiliki efek samping yang lebih
banyak dibandingkan dengan OAT lini pertama. Semua OAT yang
digunakan untuk pengobatan pasien TB MDR mempunyai
kemungkinan untuk timbul efek samping baik ringan, sedang,
maupun berat. Bila muncul efek samping pengobatan, kemungkinan
pasien akan menghentikan pengobatan tanpa memberitahukan
TAK/petugas fasyankes (default), sehingga KIE mengenai gejala efek
samping pengobatan harus dilakukan sebelum pasien memulai
pengobatan TB MDR. Penanganan efek samping yang adekuat
merupakan salah satu upaya untuk memastikan kepatuhan pasien
TB MDR/ HIV terhadap pengobatan yang diberikan.

Pada pengobatan TB MDR 100% pasien merasakan efek


samping. Sejalan dengan pernyataan responden yang menyatakan
merasakan efek samping saat menjalani pengobatan TB MDR
dengan efek samping yang berbeda dan lebih berat dibandingkan
pada pengobatan TB hal ini dikarenakan jenis obat yang diberikan
pada pengobatan TB MDR dosisnya lebih tinggi. Jenis efek samping
pada pengobatan TB MDR adalah mual, pusing, nyeri sendi,
gangguan penglihatan, gangguan pendengaran, dada panas,
halusinasi, gangguan hati, gangguan ginjal (Munawwarah, 2013).

c. Tipe Pasien

Setelah pasien didiagnosa sebagai penderita TB MDR maka


akan diregistrasi.

Beberapa tipe pasien berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya


yaitu:

d. Pasien baru

Pasien yang belum pernah mendapatkan pengobatan dengan


OAT atau pernah diobati menggunakan OAT kurang dari 1 bulan.

e. Pengobatan Ulangan

Pasien yang mendapatkan pengobatan ulangan karena :


kasus kambuh, pasien yang dating kembali setelah putus berobat,
kasus gagal pengobatan kategori 2, kasus gagal pengobatan
kategori 1.

f. Transfer In

Pasien TB Resisten Obat yang sudah diobati dan sudah


deregister di RS Rujukan/Sub Rujukan lain.

g. Lain Lain

Pasien TB yang riwayat pengobatan sebelumnya tidak jelas


atau tidak dapat dipastikan.

2. Keteraturan berobat

Pasien TB MDR memulai pengobatan bila sudah terkonfirmasi TB


MDR dengan pemeriksaan uji kepekaan M. tuberkulosis. Keteraturan
berobat dapat mencegah resistensi obat yang digunakan sehingga
meningkatkan respon pengobatan.

Indikator respon pengobatan adalah konversi dahak dan biakan. i.


Kepuasan Pasien

Kepuasan adalah perasaan senang, puas individu karena antara


harapan dan kenyataan dalam memakai dan pelayanan yang diberikan
terpenuhi. Memahami kebutuhan dan keinginan konsumen dalam hal ini
pasien TB MDR adalah hal penting yang mempengaruhi kepuasan
pasien. Pasien yang puas merupakan aset yang sangat berharga karena
apabila pasien puas mereka akan terus melakukan pemakaian terhadap
jasa pilihannya dan tetap melanjutkan pengobatan sampai selesai, tetapi
jika pasien merasa tidak puas mereka akan memberitahukan dua kali
lebih hebat kepada orang lain tentang pengalaman buruknya.

3. Pendapatan Keluarga

Walaupun sarana kesehatan yang disediakan pemerintah biayanya


relatih murah, namun masih banyak diantara penduduk Indonesia
terutama yang bermukim di pedesaan tidak dapat menjangkau biaya
tersebut. Biasanya mereka akan pergi ke rumah sakit atau puskesmas
kalau sudah dalam keadaan gawat. Mereka yang berobat ke rumah sakit
ini tidak jarang terjadi ketidaksanggupan menembus obat karena
ketiadaan dana (Gani, 1999).

Bila hal ini dikaitkan dengan penghasilan keluarga perbulan 72%


mengatakan penghasilan keluarga perbulan kurang dari l juta rupiah, 16%
penghasilan l juta s/d 2 juta rupiah dan hanya l2% yang berpenghasilan
>2 juta (Nofizar, 2010). b. Perilaku Petugas Kesehatan

Fasyankes yang melaksanakan Manajemen Terpadu Pengendalian


TB Resistan obat, yang kegiatannya meliputi penjaringan suspek,
melanjutkan pengobatan, pengelolaan logistik dan pencatatan. Kegiatan
tersebut dilaksanakan petugas kesehatan (Permenkes, 2013). Perilaku
petugas kesehatan yang ramah, bertanggung jawab, empati terhadap
pasien menyebabkan kenyamanan terhadap pasien sehingga pasien
dengan teratur melanjutkan pengobatan sampai selesai.
H. 2.3 Landasan Teori

Berdasarkan tinjauan pustaka diatas, Pengobatan pasien TB MDR


dimulai bila sudah terkonfirmasi TB MDR berdasarkan hasil uji kepekaan
M.tuberculosis. Selama menjalani pengobatan, pasien harus dipantau secara
ketat untuk menilai respons pengobatan dan identifikasi efek samping sejak dini.
Gejala TB (batuk, berdahak, demam dan BB menurun) pada umumnya membaik
dalam beberapa bulan pertama pengobatan. Konversi dahak dan biakan
merupakan indikator respons pengobatan. Lamanya konversi sangat penting
untuk mencegah penularan TB MDR dan mengurangi biaya yang berkaitan
dengan lama pengobatan dengan langkah-langkah pengendalian infeksi
(Kemenkes, 2013)

Menurut Kemenkes RI terdapat beberapa faktor yang menyebabkan gagalnya


konversi penderita yaitu :

Faktor Pasien
- Tidak3. Kerangka
Gambar patuh minum obat Efek
Teori Penelitian Faktor Ekstrinsik
samping obat - Pendapatan keluarga
- Memberhentikan pengobatan sepihak - Perilaku petugas Kesehatan
I.Kurangnya informasi
2.4 Kerangka Konsep - PMO (Pengawas menelan obat)
- Tidak ada biaya untuk pemeriksaan - Jarak ke fasilitas kesehatan
kontrol bulanan
- Gangguan penyerapan obat
Variabel Independent Variabel Dependent
- Masalah sosial

Faktor Intrinsik

- Pendidikan
- Pekerjaan
Faktor Intrinsik Faktor Petugas
- Pengetahuan
- Pendidikan- Efek samping obat - Kurangnya penyuluhan
- Pekerjaan - Tipe pasien Konversi TB - Dosis/jumlah obat tidak
- Pengetahuan
- Keteraturan berobat MDR adekuat
- Efek Samping
- Kepuasan
Obat pasien - Kurangnya pengetahuan
- Tipe pasien petugas organisasi
- Keteraturaan berobat program TB kurang baik
Faktor Faktor Program - Tidak ada guideline
- Kepuasan pasienEkstrinsik- Distribusi OAT terlambat
- Rendahnya kualitas
- - Tidak ada program DOTS plus
Pendapatan keluarga pelayanan petugas
- - Keterbatasan alat dan media uji
Perilaku petugas kesehatan
kesehatan biakan
- PMO - Biaya terlalu besar
- - Tidak ada fasilitas khusus TB
Jarak ke fasilitas
kesehatan MDR/Poli MDR
Gambar 4. Kerangka Konsep Penelitian

J. Patofisiologi TB MDR
Multi drug resistant tuberculosis (TB MDR) paling banyak
didahului oleh infeksi tuberkulosis yang disebabkan oleh Mycobacterium
tuberculosis dan mengalami kekebalan obat akibat dua faktor yaitu:
1. Faktor Mikroorganisme
Virulensi kuman menjadi lebih tinggi dengan daya tahan yang
tinggi. Keadaan yang menimbulkan tingginya faktor virulensi ini adalah
sifat kuman yang dapat menginfeksi tubuh pejamu walaupun dalam
jumlah yang kecil dan kemampuan kuman Mycobacterium
tuberculosis yang dapat bermutasi sehingga dapat menahan diri terhadap
reaksi peradangan oleh makrofag pada tubuh pejamu.
Kuman Mycobacterium tuberculosis memiliki protein yang dapat
menimbulkan apoptosis makrofag yang seharusnya memfagosit kuman.
Hal ini akan menimbulkan kerusakan jaringan yang semakin luas. Kuman
ini juga dapat mensintesis protein dan menimbulkan perubahan struktur
kuman sehingga kuman menjadi lebih resisten terhadap pemberian
antibiotik yang sebelumnya sudah digunakan.
2. Faktor Klinis
Mekanisme terjadinya TB MDR terjadinya akibat faktor
penyelenggara kesehatan, faktor obat dan faktor pasien. Faktor
penyelenggara kesehatan antara lain disebabkan oleh keterlambatan
diagnosis, petugas yang kurang terlatih, pemantauan pengobatan yang
tidak sesuai serta adanya fenomena addition syndrome yaitu suatu obat
yang ditambahkan pada satu paduan yang telah gagal, jika kegagalan ini
terjadi akibat kuman yang telah resisten pada paduan yang pertama maka
penambahan obat ini akan meningkatkan resistensi.
Faktor obat antara lain paduan,dosis dan lama pengobatan yang
tidak sesuai, serta toksisitas dan efek samping yang mungkin terjadi.
Faktor pasien yang berperan dalam TB MDR ini adalah ketidaktaatan
pasien dalam mengkonsumsi obat, ketiadaan PMO (Pengawas Minum
Obat), kurangnya pengetahuan pasien terhadap infeksi tuberkulosis dan
adanya gangguan penyerapan obat. Pada beberapa keadaan TB MDR
sering terjadi pada pasien yang terinfeksi HIV-AIDS.

BAB III

KESIMPULAN

A. Kesimpulan
MDR-TB merupakan masalah kesehatan yang penting dan segera
ditanggulangi. Pengobatannya memerlukan waktu lama dimana jauh lebih
sulit dari kasus TB biasa.

Multi drug resistant tuberculosis (TB MDR) paling banyak didahului


oleh infeksi tuberkulosis yang disebabkan oleh Mycobacterium
tuberculosis dan mengalami kekebalan obat akibat dua faktor yaitu:
2. Faktor Mikroorganisme
4. Faktor Klinis
Pada Pasien Pliatif Care maka, perawat selalu memberi suport fisik, psikis
dan spiritual dan selalu mengawasi pasien dalam hal pengobatan.
DAFTAR PUSTAKA

Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan. (2018). Laporan Provinsi Jawa

Tengah Riskesdas 2018. In Kementerian Kesehatan RI.

Jenggawah, N., Pada, S., Berpikir, K., Dan, K., & Belajar, M. (2018). Digital

Digital Repository Repository Universitas Universitas Jember Jember

Digital Jember Digital Repository Repository Universitas Universitas

Jember.

Naufal, H., & Ahmad, K. (2021). EFEKTIFITAS PELAYANAN HOME CARE

PADA PERAWATAN PALIATIF PENDERITA PENYAKIT KRONIS :

KANKER. 93–106.

Patmawati, I. M. (2020). Asuhan keperawatan pada pasien tuberkulosis paru

dengan masalah keperawatan bersihan jalan napas tidak efektif. 1–8.

Permenkes RI No. 43 2019. (2019). Hubungan Pengetahuan Dengan

Kepercayaan Diri Pada Perawat Dalam Perawatan Paliatif Di Ruang

Insentif ICU dan ROI RSUP Dr. M. Djamil Padang Tahun 2020. 2, 1–13.

Wulandari, S. (2019). Asuhan keperawatan keluarga pada pasien TB paru

dengan masalah keperawatan ketidakpatuhan minum obat di wilayah kerja


puskesmas sukorejp kabupaten ponorogo. c, 1–43.

Anda mungkin juga menyukai