Anda di halaman 1dari 17

Urgensi Deradikalisasi Dalam Pendidikan Islam di Sekolah

Sebagai Upaya Melawan Radikalisme

Oleh: Nadia Putri Mulya Sulistyo (1805162)


Universitas Pendidikan Indonesia
nadiaapms.student@upi.edu

ABSTRAK

Artikel ini bertujuan untuk mengungkap pentingnya deradikalisasi dalam


pendidikan Islam. Adapun metode yang digunakan dalam penelitian ini yaitu library
research, di mana data dikumpulkan dari berbagai referensi. Hasil dari penelitian ini
menunjukkan bahwa radikalisme perilaku keagamaan merupakan permasalahan yang
harus segera dicarikan jalan keluarnya. Hal ini dikarenakan jika problematika ini
dibiarkan, lambat laun akan menjadi fenomena gunung es yang sewaktu-waktu dapat
meledak secara masif dan membahayakan keberlangsungan Negara Kesatuan Republik
Indonesia (NKRI) dan kerukunan hidup umat beragama. Maraknya aksi kekerasan atas
nama agama akhir-akhir ini diakui atau tidak merupakan suatu “keberhasilan” kaderisasi
yang dilakukan oleh kalangan Islam radikal. Oleh karena itu, upaya melakukan
deradikalisasi pendidikan agama (Islam) merupakan suatu keniscayaan, agar bibit-bibit
kelompok radikal tidak tumbuh berkembang di tengah-tengah kebhinekaan agama, ras,
suku, bangsa dan bahasa.

Kata Kunci: Deradikalisasi, Radikalisme


PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Indonesia adalah negara kepulauan dengan lebih dari 17.000 pulau dengan
populasi sekitar 255 juta orang, hal ini menjadikan Indonesia negara terpadat keempat
di dunia. Angka ini juga berarti bahwa negara tersebut memiliki banyak keragaman
mulai dari keragaman budaya, suku, agama dan bahasa. Karena berkat keberagaman
inilah bangsa Indonesia menjadi bangsa yang multikultural. Fakta ini jika tidak
ditangani secara arif dan bijaksana dapat menimbulkan bentrokan, perselisihan, dan
konflik antar komponen bangsa. Sebab multikultural sendiri ibarat dua mata pisau, satu
sisi menjadikan bangsa yang kaya akan khazanah kebudayaan, dan di sisi lain, rentan
menimbulkan benturan antar kelompok yang tidak jarang berakhir pada konflik
(Baidhawy, 2005). Bentrokan ini sangat mungkin terjadi, mengingat perbedaan
seringkali menimbulkan konflik dan tindakan anarkis radikal. Kita bisa melihat banyak
bentrokan dan konflik kekerasan yang terjadi di negara ini, yang disebabkan oleh
kurangnya pemahaman dan kesadaran hidup di antara bangsa multikultural ini.

Dalam pandangan Johan Galtung (R & Eka, 2015) agama memang berpeluang
melahirkan tindakan kekerasan budaya, karena tidak jarang doktrin-doktrin agama
dijadikan justifikasi terhadap tindakan pembenar untuk melakukan tindak kekerasan
terhadap pihak lain. Oleh karenanya, penting kita memahami apakah Islam secara
implisit mengedepankan visi radikal tersebut.

Islam yang yang berasal dari kata salima dengan jelas menggambarkan pesan
ketaatan, perdamaian dan keamanan. Bahkan Alquran sendiri menggambarkan Islam
sebagai misi kenabian dari semua nabi dan rasul. Ini berarti bahwa pesan para nabi dan
rasul memenuhi misi suci untuk mendorong kerukunan, perdamaian dan keamanan bagi
umat manusia. Jika atas nama agama dan Tuhan maka umat beragama saling
bermusuhan, bukan berarti agama membawa sebutir permusuhan dalam doktrinnya,
tetapi karena faktor tafsir, dan tidak jarang karena pragmatis (dan temporal) kepentingan
para pengikutnya. Meski demikian, misi tersebut dikirim oleh Nabi Muhammad. itu
untuk membawa pesan perdamaian dan keamanan. Namun suara perdamaian dan
keselamatan ini terkadang lebih pelan daripada jeritan kebencian di antara rekan-rekan
seiman.

Misalnya dalam konteks Islam di Indonesia, radikalisme merupakan realitas


sosial dan sejarah yang tidak lagi dirahasiakan. Solusi atas kondisi ini harus segera
ditemukan, agar umat Islam menyadari secara luas bahwa Islam adalah agama yang
rahmatan lil „âlamîn. Untuk itu, agar tidak menjadi ancaman bagi masa depan
kehidupan beragama, berbangsa, dan bernegara di Indonesia, maka perlu dilakukan
gerakan deradikalisasi massal umat Islam dengan mengembangkan gerakan Islam yang
moderat, toleran, pluralis dan inklusif di kalangan masyarakat. dan lembaga pendidikan
(formal atau informal).

A. Identifikasi Masalah
Artikel ini mengangkat judul “Urgensi Deradikalisasi dalam Pendidikan Islam
di Sekolah Sebagai Upaya Melawan Radikalisme”. Topik tersebut sekaligus menjadi
pembahasan yang dapat diidentifikasikan sebagai berikut:
1. Indonesia merupakan negara dengan potensi keberagaman yang besar. Dengan
berbagai keberagaman dari sisi bahasa, budaya, suku, kondisi alam, dan agama.
2. Rentan terjadinya bentrokan antar kelompok yang diakibatkan adanya
perbedaan.
3. Maraknya ujaran kebencian antar kelompok akibat faham radikalisme

C. Rumusan Masalah
Berdasarkan pada identifikasi masalah di atas, maka dapat dirumuskan
permasalahan dalam penelitian sebagai berikut:
A. Bagaimana urgensi deradikalisasi dalam pendidikan Agama Islam?
B. Bagaimana pengaruh deradikalisasi terhadap terorisme?
C. Bagaimana peran pendidik dalam mengedukasi konsep deradikalisasi?
D. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian menunjukkan hasil yang ingin dicapai dalam penelitian.
Berdasarkan latar belakang diatas, maka dapat disimpulkan tujuan dari penelitian ini
yaitu sebagai berikut:

1. Untuk mengkaji seberapa besar urgensi deradikalisasi dalam Pendidikan Agama


Islam
2. Untuk mengkaji seberapa besar pengaruh deradikalisasi terhadap terorisme
3. Untuk mengkaji seberapa besar pengaruh pendidik dalam mengedukasi konsep
deradikalisasi

E. Manfaat Penelitian
Selain tujuan yang hendak dicapai oleh peneliti, terdapat pula beberapa
manfaat dalam penelitian ini, antara lain:

a. Bagi guru
Penelitian ini diharapakan menjadi acuan bagi guru untuk memperdalam,
mengimplementasikan, serta menyebarluaskan konsep deradikalisasi sebagai
upaya melawan radikalisme.
b. Bagi siswa
Sebagai masukan kepada siswa mengenai urgensi deradikalisasi
c. Bagi lembaga sekolah
Diharapkan sekolah mendapatkan sumbangan pemikiran dalam upaya melawan
radikalisme melalui penerapan konsep deradikalisasi dalam pembelajaran
siswa.
d. Bagi penulis
Meningkatkan pengetahuan tentang pengaruh konsep deradikalisasi terhadap
faham radikalisme
e. Bagi pembaca dan peneliti selanjutnya
Dapat menambah pengetahuan dan wacana tentang pentingnya konsep
deradikalisasi sebagai upaya melawan radikalisme
F. Fokus Kajian
Karena pembahasan pada artikel ini sangat luas, maka peneliti menetapkan
fokus kajian artikel ini agar pembahasan tidak terlalu melebar sehingga keluar dari jalur
pembahasan seharusnya. Oleh karena itu, pada artikel ini peneliti menetapkan fokus
kajian pada konsep deradikalisasi pada pendidikan, dan Faham Radikalisme saja.
TINJAUAN PUSTAKA

A. Radikalisme Agama
a. Pengertian Radikalisme Agama
Istilah radikalisme berasal dari bahasa Latin “radix” yang artinya akar,
pangkal, bagian bawah, atau bisa juga berarti menyeluruh, habis-habisan dan amat keras
untuk menuntut perubahan. Dalam bahasa Inggris kata radical dapat bermakna ekstrim,
menyeluruh, fanatik, revolusioner, ultra dan fundamental. Sedangkan radicalism artinya
doktrin atau praktik penganut paham radikal atau paham ekstrim (Nuhrison, 2009).
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (Pusat Bahasa Depdiknas RI, 2008).
radikalisme berarti (1) paham atau aliran yang radikal dalam politik; (2) paham atau
aliran yang menginginkan perubahan atau pembaharuan sosial dan politik dengan cara
kekerasan atau drastis; (3) sikap ekstrem dalam aliran politik.
Menurut (Kartrodirjo, 1985) mengartikan radikalisme sebagai “gerakan sosial
yang menolak secara menyeluruh tertib sosial yang sedang berlangsung dan ditandai
oleh kejengkelan moral yang kuat untuk menentang dan bermusuhan dengan kaum yang
memiliki hak-hak istimewa dan yang berkuasa.” Menurut (Masduqi, 2013) radikalisme
adalah fanatik kepada satu pendapat serta menegasikan pendapat orang lain,
mengabaikan terhadap kesejarahan Islam, tidak dialogis, suka mengkafirkan kelompok
lain yang tak sepaham, dan tekstual dalam memahami teks agama tanpa
mempertimbangkan tujuan esensial syariat (maqâshid al-syarî’at).
Dengan demikian, radikalisme merupakan gejala umum yang dapat terjadi
pada masyarakat dengan berbagai motif sosial, politik, budaya atau agama yang
bercirikan kekerasan, ekstrim dan tindakan anarkis sebagai bentuk penolakan gejala.
Radikalisme agama dapat menjangkiti semua pemeluk agama, termasuk umat Islam.
Kelompok Islam radikal biasanya menerapkan pemahaman dan nilai-nilai ajaran agama
melalui kekerasan, fanatisme, ekstrem, atau landasan, sehingga mereka melakukan
tindakan kekerasan dan anarkis, membenarkan segala tindakan untuk mencapai tujuan
mereka. Padahal tidak dapat dipungkiri bahwa ada kelompok radikal yang hanya
terbatas pada pemikiran dan ideologi serta tidak menggunakan kekerasan dalam
pelaksanaan ajarannya.

b. Faktor Timbulnya Radikalisme Agama


Kemunculan dan peningkatan radikalisme keagamaan di Indonesia disebabkan
oleh banyak faktor, seperti penafsiran doktrin agama yang terlalu rigit dan tekstualis,
bacaan yang salah terhadap sejarah Islam, dan deprivasi politik (Azra, 2011). Pertama,
pemahaman agama yang literal, tidak memahami tafsir Al-Quran seacra menyeluruh
atau hanya sepotong-sepoting. Pemahaman seperti itu hampir tidak menyisakan ruang
untuk akomodasi dan kompromi dengan kelompok Muslim lain, yang umumnya
moderat dan karenanya menjadi arus utama umat. Kedua, kesalahan membaca sejarah
Islam yang dikombinasikan dengan idealisasi Islam yang berlebihan pada waktu
tertentu. Ini terbukti dalam pandangan dan gerakan Salafi-Wahabi yang muncul di
Jazirah Arab pada akhir abad ke-18 hingga ke-19 dan terus menyebar. Tema utama
kelompok dan sel Salafi ini adalah pembersihan Islam, yaitu pembersihan Islam dari
pemahaman dan praktik keagamaan yang mereka anggap bid'ah yang sering mereka
lakukan melalui kekerasan. Ketiga, deprivasi politik, sosial dan ekonomi yang masih
bertahan dalam masyarakat. Pada saat yang sama, disorientasi dan dislokasi sosial
budaya, dan ekses globalisasi, dan semacamnya sekaligus merupakan tambahan faktor-
faktor penting bagi kemunculan kelompok-kelompok radikal
Hampir senada dengan Azra, menurut (Al-Qardhawi, n.d.) penyebab dan faktor
timbulnya radikalisme antara lain: pertama, pengetahuan agama yang setengah-
setengah melalui proses belajar yang doktriner; kedua, literal dalam memahami teks-
teks agama sehingga kalangan radikal hanya memahami Islam dari kulitnya saja tetapi
minim wawasan tentang esensi agama; ketiga, tersibukkan oleh masalah-masalah
sekunder seperti menggerak-gerakkan jari ketika tasyahud, memanjangkan jenggot, dan
meninggikan celana sembari melupakan masalah-masalah primer; keempat, berlebihan
dalam mengharamkan banyak hal yang justru memberatkan umat; kelima, lemah dalam
wawasan sejarah dan sosiologi sehingga fatwa-fatwa mereka sering bertentangan
dengan kemaslahatan umat, akal sehat, dan semangat zaman; keenam, radikalisme tidak
jarang muncul sebagai reaksi terhadap bentuk-bentuk radikalisme yang lain seperti
sikap radikal kaum sekular yang menolak agama; ketujuh, perlawanan terhadap
ketidakadilan sosial, ekonomi, dan politik di tengah-tengah masyarakat.

c. Pencegahan Radikalisme Agama


Menanggulangi terorisme dan radikalisme Islam bukanlah kasus yang mudah karena
terorisme dan radikalisme Islam bukan semata-mata gerakan sosial belaka, tetapi pula
adalah ideologi. Ideologi tidak mungkin bisa dibasmi hanya menggunakan pendekatan
militer/keamanan saja. Masih banyaknya aksi terorisme pada bumi Indonesia adalah
bukti nyata betapa penggunaan pendekatan militer/ keamanan saja tidak cukup relatif
efektif untuk membasmi terorisme & radikalisme Islam sampai akar-akarnya. Oleh
lantaran itu, aneka macam pendekatan penanganan terorisme & radikalisme Islam
lainnya harus senantiasa diupayakan & diatasi, salah satunya dengan menggunakan
gerakan deradikalisasi.

Menurut (Masduqi, 2013) solusi-solusi untuk mengatasi masalah radikalisme


antara lain; pertama, menghormati aspirasi kalangan Islamis radikalis melalui cara-cara
yang dialogis dan demokratis; kedua, memperlakukan mereka secara manusiawi dan
penuh persaudaraan; ketiga, tidak melawan mereka dengan sikap yang sama-sama
ekstrem dan radikal. Artinya, kalangan radikal ekstrem dan kalangan sekular ekstrem
harus ditarik ke posisi moderat agar berbagai kepentingan dapat dikompromikan;
keempat, dibutuhkan masyarakat yang memberikan kebebasan berpikir bagi semua
kelompok sehingga akan terwujud dialog yang sehat dan saling mengkritik yang
konstruktif dan empatik antar aliran-aliran; kelima, menjauhi sikap saling mengkafirkan
dan tidak membalas pengkafiran dengan pengkafiran; keenam, mempelajari agama
secara benar sesuai dengan metode-metode yang sudah ditentukan oleh para ulama
Islam dan mendalami esensi agama agar menjadi Muslim yang bijaksana; ketujuh, tidak
memahami Islam secara parsial dan reduktif. Caranya adalah dengan mempelajari
esensi tujuan syariat (maqâshid syarî’ah).
B. Deradikalisasi
a. Pengertian Deradikalisasi
Deradikalisasi adalah upaya sistematis untuk membangun kesadaran
masyarakat bahwa fanatisme sempit, fundamentalisme, dan radikalisme berpotensi
membangkitkan terorisme (Azra, 2011). Deradikalisasi dapat pula dipahami sebagai
segala upaya untuk menetralisasi paham-paham radikal melalui pendekatan
interdisipliner, seperti agama, psikologi, hukum serta sosiologi, yang ditujukan bagi
mereka yang dipengaruhi paham radikal (Wijaya, 2010). Sebagai rangkaian program
yang berkelanjutan, menurut (Golose, 2009), deradikalisasi ini meliputi banyak program
yang terdiri dari reorientasi motivasi, re-edukasi, resosialisasi, serta mengupayakan
kesejahteraan sosial dan kesetaraan dengan masyarakat lain bagi mereka yang terlibat
dengan tindak pidana terorisme (para terpidana tindak pidana terorisme).
Dari beberapa pemikiran tentang makna deradikalisasi tersebut, terlihat bahwa
deradikalisasi bertitik tolak dari konsep radikalisme yang menyimpang, sehingga
dengan deradikalisasi mereka yang berpandangan radikal atau mereka yang melakukan
tindakan radikal dapat dicegah, di ubah, atau diluruskan supaya menjadi tidak radikal.
Artinya, deradikalisasi memerlukan pendekatan yang interdisipliner bagi mereka yang
dipengaruhi atau terekspose paham radikal dan prokekerasan serta arogan, dan
deradikalisasi ini harus melibatkan semua pihak.

b. Metode Deradikalisasi
Program dan usaha deradikalisasi secara umum telah dijalankan oleh berbagai
instansi pemerintah sebagaimana yang telah dilakukan oleh BNPT (Badan Nasional
Penanggulanagan Terorisme) dan Kepolisian dan juga oleh masyarakat umum sesuai
dengan peran dan kapasitasnya. Dalam hal ini, FKPT (Forum Koordinasi Pencegahan
Terorisme) yang merupakan mitra strategis bagi BNPT telah melakukan upaya
pemberdayaan masyarakat di daerah dalam rangka mensinergikan upaya pencegahan
terorisme dengan berbasiskan penerapan nilai kearifan lokal, dengan melakukan
pemberdayaan tokoh agama, tokoh adat, tokoh masyarakat, tokoh pendidikan, tokoh
pemuda dan perempuan. Kemitraan dalam program pemberdayaan ini meliputi:
Kemendagri, Kemenag, Kemenpora, Kemenristek Dikti, Pemda, Ulama, tokoh adat dan
tokoh masyarakat (Sb, 2016)

Di kalangan ormas Islam juga telah melakukan langkah-langkah deradikalisasi


dalam hal-hal yang berkaitan dengan keagamaan berupa :

a. Meluruskan kembali ajaran-ajaran Islam yang disesatkan.


b. Memberikan penegasan bahwa seorang radikalis justru dilaknat oleh
Allah SWT.
c. Memberikan landasan agama bahwa Islam adalah agama perdamaian,
universal dan menentang segala bentuk radikalisme.
d. Memberikan landasan agama sebagai penyeimbang hidup antara dunia
dan akhirat (Qodir, 2012).

Lembaga-lembaga pendidikan dengan berfikir kritis dan analistis juga telah


berjuang untuk menangkal ajaran radikalisme dengan mewujudkan kegiatan-kegiatan
yang berupa :

a. Pemberian bekal kepada anak didik untuk mampu berfikir secara kritis
dan analitis sehingga tidak menerima informasi begitu saja sebagai
kebenaran absolute tanpa disaring terlebih dahulu.
b. Menanamkan pemehaman multikulturalisme dan demokrasi
c. Menyusun pengajaran yang dialogis.
d. Melatih anak didik untuk berargumen dan menyanggah suatu argumen.
e. Memberikan soal khusus kepada anak didik untuk dianalisis (Sb, 2016)
METODE PENELITIAN

A. Metode Penelitian
Dalam penulisan penelitian ini mempergunakan metode kualitatif yaitu
memberikan gambaran menyeluruh tentang suatu masalah yang berkembang di
masyarakat, sejalan dengan (Slamet, 2011) yang mengartikan bahwa gejala sosial dalam
masyarakat dengan objek berdasarkan pada indikator-indikator yang dijadikan dasar
dari ada tidaknya suatu gejala yang diteliti sangat berkorelasi pada metode penelitian
kualitatif. Data diambil dari hasil studi literatur.
Literatur dan hasil penelitian yang telah didapatkan pada tahap ini, selanjutnya
dilakukan pengelolahan data dengan cara mengedit atau kalimatnya kemudian
disesuaikan dengan alur kepenulisan. Penyesuaian yang dilakukan tanpa merubah
maksud dan tujuan dari penulisan tersebut, sehingga diperoleh suatu pembahasan yang
sistematis dari judul penelitian yang telah digagas yakni.

B. Teknik Penelitian
Alat pengumpulan data adalah segala peralatan yang digunakan untuk
memperoleh, mengolah, dan menginterpretasikan informasi dari para responden yang
dilakukan dengan pola pengukuran yang sama. Yang digunakan dalam studi kasus
dalam model penelitian ini adalah teknik keterlibatan si peneliti dalam kehidupan
sehari-hari dari kelompok sosial yang sedang diamati (participant observer technique)
dengan bahan dan sumber referensi dikumpulakan dari berbagai macam literatur yang
berasal dari penelitian dalam jurnal ilmiah, artikel ilmiah, serta buku teks ilmiah dan
berbagai sumber yang berhubungan dengan penelitian tentang. Sedangkan untuk
pendekatan yang dipergunakan ialah dengan metode studi kasus, yakni metode
penelitian yang dilakukan melalui serangkaian pengamatan tentang keadaan, kelompok,
masyarakat setempat, lembaga-lembaga, ataupun individu-individu (Bagja, 2009).
HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Hasil Penelitian
Waktu penulisan artikel ini disusun dan diselesaikan pada bulan Mei 2021. Studi
kepustakaan yang digunakan pada artikel ini yaitu teknik mengumpulkan data dengan
cara menganalisis dan memahami dari berbagai sumber yang relevan seperti jurnal,
buku, laporan, website, dan literatur jenis lainnya yang relevan dengan masalah yang
sedang dikaji. Senada dengan itu, menurut Mardalis (Mardalis, 1999) studi kepustakaan
merupakan suatu studi yang digunakan dalam mengeumpulkan informasi dan data
dengan bantuan berbagai macam material yang ada di perpustakaan seperti dokumen,
buku, majalah, kisah-kisah sejarah, dsb. Studi kepustakaan juga dapat mempelajari
beberbagai buku referensi serta hasil penelitian sebelumnya yang sejenis yang berguna
untuk mendapatkan landasan teori mengenai masalah yang akan diteliti (Sarwono,
2006). Studi kepustakaan juga berarti teknik pengumpulan data dengan melakukan
penelaahan terhadap buku, literatur, catatan, serta berbagai laporan yang berkaitan
dengan masalah yang ingin dipecahkan (Nazir, 1998). Sedangkan menurut ahli lain
studi kepustakaan merupakan kajian teoritis, referensi serta literatur ilmiah lainnya yang
berkaitan dengan budaya, nilai dan norma yang berkembang pada situasi sosial yang
diteliti (Sugiyono, 2013).

B. Pembahasan
Dalam konteks ini, pendidikan agama (Islam) sebagai media penyadaran umat
dihadapkan pada problem bagaimana mengembangkan pola keberagamaan berbasis
inklusivisme, pluralis dan multikultural, sehingga pada akhirnya dalam kehidupan
masyarakat tumbuh pemahaman keagamaan yang toleran, inklusif dan berwawasan
multikultur. Hal ini penting sebab dengan tertanamnya kesadaran demikian, sampai
batas tertentu akan menghasilkan corak paradigma beragama yang hânif. Ini semua
mesti dikerjakan pada level bagaimana membawa pendidikan agama dalam paradigma
yang toleran dan inklusif (Susanto, 2018). Salah satunya adalah dengan didikan orang
tua dan lingkungan, hal ini juga selaras dengan pendapat yang menyatakan bahwa
pendidikan atau kebiasaan yang ditanamkan oleh kedua orang tua sejak dini akan sangat
mempengaruhi tumbuh dan berkembangnya seorang anak (Hayangsewu et al., 2020).

Sejalan dengan tanggungjawab tersebut, Amin Abdullah (Abdullah, 1999)


menggarisbawahi lima tugas utama pendidikan (agama) Islam, khususnya di Sekolah
Menengah dan Perguruan Tinggi dalam menghadapi keragaman agama, yaitu (1)
mengenalkan isu-isu kontemporer yang dihadapi umat Islam, bersamaan dengan upaya
menjelaskan ajaran Islam klasik, (2) mengarahkan tujuan utama Islam pada pemecahan
permasalahan mengenai hubungan antar manusia, (3) mengkontekstualisasikan Islam,
(4) mengkritisi penekanan pendidikan agama hanya pada domain kognitif, dan (5)
mendedikasikan Islam tidak semata-mata untuk pengembangan moralitas individu,
melainkan juga moralitas publik.

Karena itu, dengan meminjam filsafat pendidikan yang dikembangkan Paulo


Freire (1986) yang menegaskan bahwa pendidikan harus difungsikan untuk pembebasan
(liberation) dan bukan penguasaan (domination) maka pendidikan harus menjadi proses
pemerdekaan, bukan domestikasi dan bukan penjinakan sosial budaya (social and
cultural domestication). Pendidikan bertujuan menggarap realitas manusia sehingga
secara metodologis bertumpu pada prinsip aksi dan refleksi total, yakni prinsip
bertindak untuk mengubah realitas yang menindas sekaligus secara bersamaan dan terus
menerus berusaha menumbuhkan kesadaran akan realitas dan hasrat untuk mengubah
kenyataan yang menindas tersebut.

Hal ini menurut Susanto (Susanto, 2018) dilakukan karena telah terjadi kegagalan
dalam mengembangkan semangat toleransi dan pluralitas dalam pendidikan agama,
yang pada gilirannya telah menumbuhsuburkan gerakan radikalisme agama. Hal inilah
yang mesti kita renungkan bersama agar pendidikan agama kita tidak menyumbangkan
benih-benih konflik antar agama.

Oleh karena itu, kebijakan pendidikan yang mengeliminasi arti signifikan


keanekaragaman dan kemajemukan agama, perlu diantisipasi bersama, sehingga dalam
merancang sistem pendidikan tidak hanya mengandalkan basis kognisi, tetapi juga
bagaimana membentuk kesadaran beragama dalam tata pergaulan masyarakat yang
damai dan sejahtera. Fakta lain membuktikan bahwa untuk mengembangkan gerakan
deradikalisasi khususnya di kalangan perguruan tinggi memang sangat rumit.
Tantangannya bukan hanya dari siswa atau mahasiswa yang sudah menjadi eksponen
gerakan Islam radikal, akan tetapi juga para guru Sekolah Menengah dan para dosen di
Perguruan Tinggi. Sebagaimana diketahui bahwa ideologi radikalisme ini merupakan
ideologi yang sangat kuat tertanam di dalam diri seseorang. Ketika seseorang sudah
masuk di dalamnya, maka akan sangat sulit keluar, yang mungkin adalah menjadi
semakin kuat dan bertambah kuat.
PENUTUP

A. Kesimpulan
Akhirnya, perlu disadari bahwa menanggulangi paham radikalisme
(deradikalisasi) agama bukanlah pekerjaan yang bisa dilakukan sambil lalu. Perlu
kerjasama yang erat antar berbagai elemen seperti kepala sekolah, guru, siswa, orang
tua siswa, dan masyarakat sekitar agar paham-paham radikalisme tidak tumbuh subur di
sekolah. Perlu segera diwaspadai, jika ada anggota masyarakat sekolah yang
menunjukkan gejala terindikasi paham radikalisme, yang nampak dalam ciri-ciri fisik
maupun jalan berpikirnya. Mereka bukan untuk dihindari tetapi perlu dirangkul dan
diajak untuk kembali ke jalan Islam yang penuh kedamaian dan kesejukan. Sebagai
bentuk upaya pencegahan terjadinya radikalisme agama di sekolah, maka ada beberapa
hal yang dapat dilakukan dalam pendidikan agama Islam di sekolah, diantaranya yaitu
dengan menerapkan pendidikan Islam yang toleran dan inklusif, memberikan penjelasan
kepada siswa tentang Islam secara memadai, mengedepankan dialog dalam
pembelajaran agama Islam, pemantauan terhadap kegiatan dan materi mentoring
keagamaan, pengenalan dan penerapan pendidikan multikultural.

B. Saran
Diharapkan seluruh komponen lapisan masyarakat turut ikut serta dalam
menggaungkan dan mengimplementasikan gerakan deradikalisasi ini, guna melawan
gerakan radikal.
DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, A. (1999). Studi Agama: Normativitas atau Historisitas. Pustaka Pelajar.


Al-Qardhawi, Y. (n.d.). al-Shahwah al-Islamiyah bayn al-Juhud wa al-Tatarruf. Bank
Al-Taqwa.
Azra, A. (2011). Akar Radikalisme Keagamaan Peran Aparat Negara, Pemimpin
Agama dan Guru untuk Kerukunan Umat Beragama.
Bagja, W. (2009). Sosiologi: Menyelami Fenomena Sosial di Masyarakat. Pusat
Perbukuan Departemen Pendidikan Nasional.
Baidhawy, Z. (2005). Pendidikan Berwawasan Multikultural. Erlangga.
Golose, P. R. (2009). Deradikalisasi Terorisme: Humanis, Soul Approach dan
Menyentuh Akar Rumput. Yayasan Pengembangan Kajian Ilmu Kepolisian.
Hayangsewu, P., Parhan, M., & Fu‟adin, A. (2020). ISLAMIC PARENTING:
PERANAN PENDIDIKAN ISLAM DALAM POLA ASUH ORANG TUA
TERHADAP ANAK USIA DINI DI (PEMBINAAN ANAK-ANAK SALMAN)
PAS-ITB. Pendidikan Agama Islam, 18(2).
Kartrodirjo, S. (1985). Ratu Adil. Sinar Harapan.
Mardalis. (1999). Metode Penelitian Suatu Pendekatan Proposal. Bumi Aksara.
Masduqi, I. (2013). Deradikalisasi Pendidikan Islam Berbasis Khazanah Pesantren.
Jurnal Pendidikan Agama Islam, 2(1).
Nazir, M. (1998). Metode Penelitian. Ghalia Indonesia.
Nuhrison, M. N. (2009). Faktor-Faktor Penyebab Munculnya Paham/Gerakan Islam
Radikal di Indonesia. Harmoni Jurnal Multikultural & Multireligius, VIII.
Pusat Bahasa Depdiknas RI. (2008). Kamus Bahasa Indonesia. Pusat Bahasa
Depdiknas.
Qodir, Z. (2012). Deradikalisasi Islam Dalam Perspektif Pendidikan Agama.
Pendidikan Agama Islam, 1(2), 98–100.
R, H. A., & Eka. (2015). Pengarusutamaan Pendidikan Damai (Peaceful Education)
dalam Pendidikan Agama Islam (Solusi Alternatif Upaya Deradikalisasi
Pandangan Agama). Jurnal At-Turats, 9(1).
Sarwono, J. (2006). Metode Penelitian Kuantitatif dan Kualitatif. Graha Ilmu.
Sb, A. (2016). Deradikalisasi Nusantara, perang semesta berbasis kearifan lokal
melawan radikalisasi dan terorisme. Daulat Press.
Slamet, Y. (2011). Metode Penelitian Sosial. LPP UNS.
Sugiyono. (2013). Metode Penelitian Kombinasi (Mixed Methods). Alfabeta.
Susanto, N. H. (2018). Menangkal Radikalisme Atas Nama Agama Melalui Pendidikan
Islam Substantif. Nadwa. Pendidikan Agama Islam.
Wijaya, E. (2010). Peranan Putusan Pengadilan dalam Program Deradikalisasi
Terorisme di Indonesia.

Anda mungkin juga menyukai