Anda di halaman 1dari 6

2.1.

DEMOKRASI LIBERAL
Demokrasi liberal adalah sistem politik dengan perlindungan hak individu dari
kekuasan pemerintah secara konstitusional. Robert Dahl menyatakan bahwa terdapat dua hal
penting dalam demokrasi yaitu kontestasi dan partisipasi. Kontestasi (perdebatan) dapat
diwujudkan dengan kebebasan pers yang memicu perbedaan pandangan politik yang
terakomodir. Konsep partisipasi yang dimaksud Dahl dapat diwujudkan melalui pemilu.
Pelaksanaan demokrasi liberal di Indonesia dijalankan sesuai UUDS 1950 dengan
sistem pemerintahan parlementer. Dengan durasi waktu kurang lebih 9 tahun, muncul
partai-partai politik yang mencoba memperoleh kekuasaan eksekutif maupun legislatif.
Kebebasan pers memicu setiap individu bersaing ketat dan menyebabkan 7 kali pergantian
kabinet. Terdapat beberapa tujuan yang ingin dicapai ketujuh kabinet demokrasi liberal,
yaitu peningkatan kemakmuran dan kesejahteraan rakyat, peningkatan keamanan dan
ketertiban rakyat, penyelenggaraan Pemilu, memperjuangkan Irian Barat dan pelaksanaan
politik luar negeri bebas aktif.

2.1.1. Perkembangan Politik Masa Demokrasi Liberal


Periode 1950-1959 merupakan masa jayanya partai-partai politik untuk mengambil alih
kekuasaan. Terdapat dua partai terkuat yaitu PNI dan Masyumi yang silih berganti
memimpin kabinet. Inilah yang memicu ketidakstabilan di bidang politik, sosial, ekonomi,
dan keamanan.

A. Kabinet Natsir (6 September 1950 - 21 Maret 1951)

Kabinet Natsir sesuai dengan penamaannya dipimpin oleh Perdana Menteri


Mohammad Natsir dan didukung oleh Partai Masyumi. Awalnya kabinet Natsir merupakan
koalisi, namun PNI menganggap tidak diberikan jabatan dan kedudukan yang sesuai.
Program Kabinet Natsir adalah; (1) penyelesaian masalah Irian Barat (2) pemulihan
keamanan serta ketertiban, (3) pengadaan Pemilihan untuk pemilihan Konstituante, (4)
penyempurnaan pemerintahan dan militer, (5) peningkatan pada perekonomian, kesehatan,
dan kesejahteraan rakyat.
Kabinet Natsir mengalami kegagalan yang diawali dengan penyerahan Irian Barat
yang tidak dilakukan oleh Belanda. Selain itu, muncul mosi tidak percaya dari Hadikusumo
karena sebuah alasan yaitu pembentukan DPRD (Peraturan Pemerintah No. 39 tahun 1950)
hanya menguntungkan Partai Masyumi. PNI memiliki tuntutan untuk lebih demokratis
dalam pemilihan anggota DPRD. Mosi ini diterima oleh parlemen yang memicu
kerenggangan hubungan parlemen dan kabinet. Apalagi muncul beberapa pemberontakan
seperti Gerakan DI/TII, Gerakan APRA, Gerakan Andi Azis serta Gerakan RMS. Akhirnya,
masa yang belum genap satu tahun itu berakhir dengan Natsir mengembalikan mandat pada
Presiden Soekarno (21 Maret 1951).

B. Kabinet Sukiman (27 April 1951 – 3 April 1952)


Kabinet Sukiman dipimpin oleh Dr. Sukiman Wirjosandjojo dari Masyumi dan
Suwirjo dari PNI. Program kabinet Sukiman antara lain : (1) mementingkan kemakmuran
rakyat secara efisien serta memperbaharui hukum agraria (2) mempercepat persiapan
Pemilu (3) menjalankan tindakan tegas sebagai negara hukum (4) menekankan politik
bebas aktif (5) mengusahakan Irian Barat ke wilayah Republik Indonesia.
Akan tetapi, kabinet Sukiman hanya bertahan selama 10 bulan (mulai April 1952
hingga Juni 1953) dan mendapat pertentangan karena dianggap melanggar politik bebas aktif
karena menandatangani persetujuan bantuan ekonomi dan persenjataan dari Amerika Serikat
yang sering disebut Mutual Security Act (MSA). Akhirnya kabinet Sukiman jatuh karena
lambannya penanganan pemberontakan daerah seperti Kahar Muzakkar yang melakukan
pemberontakan di Sulawesi.

C. Kabinet Wilopo (3 April 1952-3 Juni 1953)


Wilopo adalah salah satu tokoh PNI yang mendapat dukungan dari PNI,
Masyumi, dan PSI. Program kerja mereka yaitu (1) penyelenggaraan pemilu untuk
memilih anggota Dewan Konstituante, DPR dan DPRD, (2) peningkatan kemakmuran
rakyat, (3) pembebasan Irian Barat, (4) penekanan politik luar negeri bebas aktif. Kabinet
ini disebut zeken kabinet yang terdiri atas ahli pakar di masing-masing bidang. Namun
hal tersebut tidak mencegah beberapa masalah muncul menguji Kabinet Wilopo.
Masalah yang cukup berat adalah permasalahan Angkatan Darat (Peristiwa 17
Oktober 1952) yang dilatar belakangi oleh masalah ekonomi yang memicu reorganisasi
tentara oleh parlemen. Saat itu, perekonomian dunia kurang menguntungkan negara. Namun
militer Indonesia harus profesional meski keadaan ekonomi yang kurang menguntungkan.
Maka dari itu, pilihan yang diambil parlemen adalah memberhentikan anggota tentara yang
tidak memenuhi syarat. Tentu saja muncul protes di kalangan militer. Kolonel Bambang
Sugeng mengajukan petisi untuk memberhentikan KSAD Kolonel A.H. Nasution. Pada 17
Oktober 1952, demonstrasi rakyat dengan tuntutan kepada presiden untuk membubarkan
parlemen serta meminta presiden untuk memimpin langsung pemerintahan sampai diadakan
pemilu. Namun presiden melontarkan penolakan untuk menghindari anggapan diktator.
Sekretaris Jenderal Ali Budihardjo (Menteri Pertahanan) beserta perwira-perwira
yang merasa bertanggung jawab atas Peristiwa 17 Oktober 1952 seperti KSAD A.H.
Nasution dan KSAP T.B. Simatupang menyerahkan pengunduran diri. Kedudukan
Nasution digantikan oleh Bambang Sugeng. Karena peristiwa ini, telah muncul keraguan
dalam hati masyarakat.
Muncul masalah lain yakni masalah di Tanjung Morawa, Sumatera Timur.
Perkebunan asing di Tanjung Morawa seperti kelapa sawit, tembakau, dan teh dituntut oleh
pengusaha asing atas pengembalian lahan perkebunan yang telah digarap oleh rakyat sejak
zaman pendudukan Jepang. Namun pemerintah menyatakan persetujuan tuntutan tersebut
dengan alasan meningkatkan devisa dan mengharap modal asing lain berminat pada negara.
Maka pada 16 Maret 1953 terjadilah pentraktoran tanah tersebut. Muncullah protes rakyat
yang dibalas dengan tembakan polisi, sehingga muncul korban di kalangan rakyat.
Kemudian mosi tidak percaya muncul karena insiden tersebut dan akibatnya Wilopo
mengundurkan diri dari jabatannya pada 2 Juni 1953.

D. Kabinet Ali Sastroamidjojo 1 (31 Juli 1953 - 12 Agustus 1955)


Kabinet Ali mendapat dukungan dari PNI dan NU dengan Masyumi sebagai oposisi.
Kabinet Ali mempunyai empat program yaitu, (1) meningkatkan keamanan dan
kemakmuran serta mempercepat pengadaan pemilihan urnum (2) membebaskan Irian Barat
(3) melaksanakan politik bebas aktif serta meninjau kembali perjanjian KMB (4)
menyelesaikan masalah politik dalam negeri.
Kabinet Ali mendapatkan kesulitan dari Persatuan Ulama Seluruh Aceh (PUSA)
yang dipimpin Daud Beureueh karena menuntut perhatian penuh pada pembangunan
Aceh. Namun Daud Beureueh menganggap tuntutannya diabaikan dan akhirnya
menyatakan bahwa Aceh adalah bagian NII Kartosuwiryo. Selain masalah tersebut,
Bambang Sugeng yang menggantikan Nasution sebagai KSAD merasa tugasnya sangat
berat. Maka dari itu, ia memohon untuk berhenti dari jabatan dan dikabulkan oleh
pemerintah. Setelah itu, Bambang Utoyo ditunjuk sebagai KSAD baru. Namun masih ada
pertentangan dan memicu pemboikotan pelantikan Bambang Utoyo. Akhirnya pada 24
Juli 1955, Ali Sastroamidjojo mengembalikan mandatnya kepada wakil presiden karena
presiden saat itu sedang haji. Namun di balik kegagalan tersebut, kabinet Ali masih
memiliki kesuksesan, seperti persiapan pemilihan umum dan penyelenggaraan
Konferensi Asia Afrika.

E. Kabinet Burhanuddin Harahap (12 Agustus 1955-3 Maret 1956)


Burhanuddin Harahap merupakan bagian dari Masyumi, dengan PNI sebagai
oposisi. Hasil kerja dari kabinet ini adalah penyelenggaraan Pemilu untuk kali pertama yang
dilaksanakan pada 29 September 1955 (memilih anggota DPR) dan 15 Desember 1955
(memilih anggota konstituante). Nasution juga dikembalikan posisinya sebagai KSAD dan
mampu menyelesaikan masalah kabinet sebelumnya. Prestasi lainnya yang dicapai adalah
pembubaran Uni Indonesia - Belanda. Namun, hasil Pemilu dianggap tidak memuaskan oleh
Masyumi dan PNI karena tidak mendapat dukungan mutlak dari masyarakat. Ketidakpuasan
tersebut mengakibatkan beberapa partai menarik menteri-menterinya untuk keluar dari
kabinet Burhanuddin Harahap. Akhirnya pada 1956, Burhanudin Harahap mundur dari
jabatan perdana menteri.

F. Kabinet Ali Sastroamidjojo 2 (20 Maret 1956 - 14 Maret 1957)


Ali Sastroamidjojo kembali diserahi mandat untuk membentuk kabinet (PNI-
Masyumi-NU) pada 20 Maret 1956. Rancangan kabinet Ali Sastroamidjojo 2 sebagai
berikut, (1) Pembatalan persetujuan KMB, (2) Pengembalian Irian Barat ke wilayah
Republik Indonesia, (3) Pembangunan pertanian, ekonomi, industri, keuangan,
perhubungan, dan pendidikan, (4) Pemulihan keamanan dan ketertiban Negara. Ali
Sastroamidjojo membatalkan perjanjian KMB secara sepihak pada 3 Mei 1956. Perbaikan
perekonomian tidak berjalan lancar, ditambah dengan pemberontakan PRRI/Permesta.
Kelompok tersebut memiliki anggapan bahwa pemerintah pusat mengabaikan pembangunan
daerah dan menuntut pernggantian cabinet.
Masyumi ingin Ali Sastroamidjojo menyerahkan jabatan perdana menteri sesuai
dengan tuntutan daerah namun Ali Sastroamidjojo memiliki pendapat bahwa kabinet tidak
perlu menyerahkan mandat. Terjadilah perpecahan koalisi Masyumi dan PNI. Akhirnya
pada Januari 1957, Masyumi menarik menteri-menterinya dari kabinet. Sehingga pada 14
Maret 1957, Ali Sastroamidjojo akhirnya menyerahkan jabatannya sebagai perdana menteri.
Akhirnya atas dasar keadaan bahaya (14 Maret 1957) karena gerakan separatisme dan
konflik dalam konstituante, presiden menunjuk dirinya menjadi pembentuk Kabinet Karya
dengan Ir. Djuanda sebagai perdana menterinya.
G. Kabinet Karya (9 April 1957 – 10 Juli 1959)
Kabinet Karya merupakan zaken kabinet yaitu kabinet yang tidak berdasarkan atas
dukungan dari parlemen tetapi lebih berdasarkan keahlian. Tugas dari kabinet ini sangat
berat terutama mengembalikan Irian Barat ke wilayah Indonesia, menghadapi pergolakan di
berbagai daerah, dan menghadapi permasalahan ekonomi serta keuangan. Maka dari itu,
kabinet karya menyusun Pancakarya sebagai berikut, (1) pembentukan Dewan Nasional, (2)
perbaikan keadaan negara, (3) pelaksanaan pembatalan persetujuan KMB, (4) perjuangan
mempertahankan Irian Barat di tangan Indonesia, (5) Percepatan proses pembangunan
negara
Dewan Nasional merupakan badan yang menampung dan menyalurkan aspirasi
nonpartai di masyarakat. Namun masih muncul kesulitan untuk mengoptimalkan tujuan
Dewan Nasional. Pergolakan daerah juga masih berlangsung dan mengganggu stabilitas
nasional. Untuk menghadapi pergolakan daerah, pemerintah menyelenggarakan
Musyawarah Nasional (Munas) pada 14 September 1957 yang membahas masalah
pembangunan nasional dan daerah, pembagian wilayah Indonesia, dan pembangunan
angkatan perang. Sebagai tindak lanjut keputusan Munas, maka pada Desember 1957
diselenggarakan Musyawarah Nasional Pembangunan (Munap) yang merancang
pembangunan dan diharapkan mampu memenuhi harapan masing-masing daerah. Namun,
hal tersebut tidak mampu diimplementasikan karena kemunculan berbagai peristiwa
nasional yang lebih mendesak yaitu percobaan pembunuhan Presiden Soekarno pada 30
November 1957 (Peristiwa Cikini). Dugaan pelaku dibalik peristiwa tersebut yakni pemuda
pendukung Zulkifli Lubis. Muncul pula Gerakan Perjuangan Menyelamatkan Negara
Republik Indonesia pada 10 Februari 1958, yang dipimpin Ahmad Husein atas dukungan
Lubis, Simbolon, Natsir dan Dahlan Jambek, Sumitro Djojohadikusumo. Mereka juga
mengirimkan ultimatum kepada pemerintah yang menuntut pembubaran Kabinet Karya.
Namun, kabinet ini mencetak prestasi yaitu Deklarasi Djuanda pada tanggal 13
Desember 1957 yang mengatur tentang laut pedalaman dan laut teritorial. Apabila deklarasi
Djuanda diberlakukan, maka wilayah Indonesia akan mendapat laut bebas seperti Laut
Jawa, Laut Flores dan laut lainnya yang menciptakan kesatuan daratan dan lautan wilayah
Indonesia.
2.1.2. Perkembangan di Bidang Ekonomi

Perekonomian pada masa Demokrasi Liberal menggunakan prinsip laissez faire yang
berarti mekanisme pasar berdasarkan keadaan pasar tanpa campur tangan pemerintah.
Sistem liberal memperburuk kondisi perekonomian karena baru merdeka terutama
pengusaha pribumi belum mampu bersaing dengan pengusaha non pribumi, terutama Cina.
Beberapa usaha untuk mengatasi masalah ekonomi, diantaranya :

1. Gunting Syarifuddin (pemotongan nilai uang atau yang disebut sanering (20 Maret
1950) untuk mengurangi jumlah uang yang beredar)
2. Program Benteng (upaya menumbuhkan pengusaha pribumi dan mendorong importir
nasional agar bisa bersaing dengan perusahaan impor asing dan memberikan lisensi
impornya hanya pada importir pribumi agar mampu bersaing dengan pengusaha asing)
3. Nasionalisasi De Javasche Bank menjadi Bank Indonesia pada 15 Desember 1951
(UU no.24 th 1951) yang berfungsi sebagai bank sentral dan sirkulasi.
4. Sistem ekonomi Ali-Baba (kerjasama pengusaha Cina dan pribumi. Pengusaha Cina
diwajibkan memberikan pelatihan untuk meningkatkan keterampilan berbisnis
pengusaha pribumi sedangkan pemerintah menyediakan kredit dan lisensi kepada
pengusaha cina.
5. Pembatalan sepihak hasil Konferensi Meja Bundar dan juga pembubaran Uni
Indonesia-Belanda.

2.1.3. Akhir Demokrasi Liberal

Akhir demokrasi liberal ditandai dengan Dekrit Presiden 5 Juli 1959. Tindakan
tersebut didukung militer karena mereka telah disibukkan dengan sejumlah pemberontakan.
Berbagai pertimbangan dikeluarkannya Dekrit Presiden diantaranya:
1. Tidak ada keputusan Konstituante untuk mengembalikan UUD 1945
2. Anggota Konstituante enggan menghadiri sidang
3. Konflik dalam Konstituante membahayakan kesatuan dan keselamatan negara
Sedangkan isi Dekrit Presiden 5 Juli 1959 sebagai berikut:
a. Konstituante dibubarkan
b. UUD 1945 berlaku kembali sebagai UUD Republik Indonesia
c. Membentuk MPRS dan DPAS

Anda mungkin juga menyukai