Anda di halaman 1dari 11

PAPER SEJARAH LINGKUNGAN

RELASI TIKUS DENGAN KEHIDUPAN MANUSIA

Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Pengantar Sejarah Lingkungan A


Dosen Pengampu
Prof. Drs. Nawiyanto, M.A., Ph.D.
Suharto, S.S., M.A

Oleh
Alyana Ulfa Rahmawati
NIM 200110301015

PROGRAM STUDI S1 ILMU SEJARAH


FAKULTAS ILMU BUDAYA
UNIVERSITAS JEMBER
2020
BAB I
PENDAHULUAN

Sebuah anggapan bahwa tikus mengganggu kehidupan manusia memang


tidak mampu disangkal. Hewan pengerat ini memiliki kerakusan untuk memakan
segala macam makanan. Tidak hanya itu, tikus juga kerap merusak berbagai
peralatan rumah tangga. Tinggal di tempat kotor seperti saluran air, tidak heran
jika tikus sanggup menyebarkan penyakit pada manusia. Dalam tubuh tikus,
kemungkinan terdapat cacing parasit. Dari 129 ekor tikus, yang dipelajari
kandungan cacing parasitnya ditemukan 45 ekor yang mengandung cacing parasit
(Suyanto et al, 1984:217). Salah satu jenis parasit tersebut yakni Angiostrongylus
cantonensis. Nomura dan Lim menyebut parasit ini Haemostrongylus ratti dan
menganggap bahwa penyebab infeksinya adalah memakan makanan mentah yang
telah terkontaminasi oleh tikus (Dyah Widiastuti, 2011:25). Angiostrongylus
cantonensis menyebabkan penyakit radang selaput otak pada manusia. Namun,
tidak mudah membasmi hama tikus karena daya reproduksinya yang tinggi.
Tikus sudah sejak lama berinteraksi dengan manusia tepatnya 12.000 SM.
Komunitas manusia tersebut adalah pemburu-pengumpul Natufian di Levant.
Wabah Justinian di Byzantium dan black death juga disebabkan oleh tikus. Selain
itu, tikus juga hidup bersama tentara di dalam parit pada Perang Dunia 1.
Berdasarkan beberapa kesaksian, pertumbuhan tikus parit sangat tinggi dan
menjadi salah satu bagian yang mengganggu perang saat itu. Tikus juga memiliki
mitos yang beredar di masyarakat. Di Jerman, terdapat cerita rakyat wabah tikus
yang diberantas oleh si peniup seruling. Dia disewa oleh Hamelin namun berakhir
dengan penculikan anak-anak. Kisah tersebut dikenal sebagai oleh The Pied Piper
of Hamelin. Para petani di Gunung Kidul menganggap tikus merupakan jelmaan
prajurit Nyi Roro Kidul yang merusak padi di sawah. Hal-hal tersebut
memperkuat bukti bahwa keberadaan tikus sangat dekat dan tidak dapat
dipisahkan dari kehidupan manusia.

1
BAB II
PEMBAHASAN

Sejarah relasi manusia dengan tikus tidak diragukan lagi telah terjadi sejak
sejak Holosen Awal kira-kira 12.000 SM. Sejak Pleistosen Akhir, terjadi
penurunan mobilitas pemburu-pengumpul Natufian dan memulai sedentisme di
Levant, Mediterania. Mereka menetap di sebuah desa yang terdiri dari beberapa
rumah melingkar kecil dengan pondasi batu yang cukup untuk menampung
keluarga inti. Penyebutan pemburu-pengumpul disebabkan oleh sebuah alasan
yakni kegiatan mereka yang berburu hewan dan mengumpulkan biji-bijian. Maka
dari itu, orang-orang Natufian dengan intens mengeksploitasi semua sumber
makanan hewan dan tumbuhan yang tersedia di sekitar pemukiman.
“Eksperimental dan mikroskopis studi tentang bilah sabit, yang mengkilap,
menunjukkan bahwa Natufian memanen sereal liar yang tumbuh secara spontan di
wilayah ini”(Thomas Cucchi dan Jean Denis Vigne, 2006:3). Hal tersebut
menandakan bahwa orang-orang Natufian awalnya hanya mengumpulkan biji-
bijian liar.
Sedentisme tidak hanya mempengaruhi pola kehidupan orang-orang
Natufian, melainkan juga lingkungan sekitarnya. Kegiatan pemburu-pengumpul
yang menetap seperti konstruksi bangunan, penyimpanan makanan, akumulasi
limbah mempengaruhi populasi hewan di sekitar pemukiman. Seiring berjalannya
waktu, muncul praktik pertanian yang disebabkan peningkatan pola pikir orang-
orang Natufian untuk memanfaatkan lingkungan secara maksimal. Dibangunlah
penyimpanan biji-bijian hasil pertanian untuk sumber makanan maupun ditabur di
ladang. Babi hutan, kambing, sapi, serigala diperkirakan tertarik pada sumber
makanan di gudang penyimpanan. Inilah yang memicu kemunculan domestikasi
yang mengembangkan mutualisme jangka panjang dengan hewan-hewan tersebut.
Namun, berbeda dengan tikus yang tidak mungkin mengalami domestikasi oleh
manusia. Akhirnya menyebabkan komensalisme dengan tikus, tepatnya tikus
rumahan (Mus musculus domesticus). “Bukti untuk tikus rumahan Holosen Awal
didahului oleh beberapa milenium penurunan mobilitas pemukiman, elaborasi
sosial, dan pergeseran subsisten antara pemburu-pengumpul kompleks di Levant
selatan”(Lior Weissbrod et al, 2017:4099). Peningkatan sumber daya disebabkan
oleh pola perilaku orang-orang Natufian yang menyimpan biji-bijian dan
membuang sisa makanan menjadi efek penyangga ekologis bagi tikus. Terjadilah
perkembangan populasi tikus rumah secara permanen dan dominan di pemukiman
pemburu-pengumpul yang menetap.
Dalam penelitian situs Natufian di Gua Hayonim dan Ain Mallaha, Israel
ditemukan sampel arkeologi spesies Mus macedonicus (tikus liar) yang
diperkirakan berasal dari Pra-Natufian. Namun pada awal Natufian di situs Ain
Mallaha, tidak ditemukan sampel arkeologi spesies tersebut. Temuan ini
menunjukkan bahwa ada pergantian tajam Mus macedonicus oleh Mus domesticus
di situs Natufian. Mus domesticus diperkirakan tidak berbagi habitat dengan Mus

2
macedonicus. Alasan tersingkirnya spesies Mus macedonicus yakni kemampuan
Mus domesticus yang lebih cocok dengan sedentisme orang-orang Natufian. Ciri
fenotipe Mus domesticus memiliki ekor lebih panjang, tengkorak lebih pendek,
dan bulu lebih gelap. Ciri-ciri tersebut yang penting untuk penyamaran dan
kelincahan dalam pergerakan serta kemungkinan respon lebih tinggi. Mus
domesticus juga lebih lentur dan adaptif dibandingkan dengan Mus macedonicus.
Inilah perbedaan dengan Mus macedonicus yang memiliki ekor pendek dan bulu
cokelat. Akhirnya Mus domesticus adalah spesies yang berhasil hidup di
lingkungan yang sama dengan orang-orang Natufian. Tidak ada bukti mengenai
usaha untuk membasmi Mus domesticus oleh orang-orang Natufian, jadi
kesimpulan dari hubungan tersebut yakni komensal antara Mus domesticus
dengan orang-orang Natufian. Namun, menjelang akhir Natufian, Mus domesticus
mengalami kepunahan karena iklim yang memburuk (dingin dan gersang) dan
Mus macedonicus menguasai habitat kembali karena daya tahan lebih dari yang
dimiliki Mus macedonicus. Orang-orang Natufian juga mulai mengembalikan
sistem nomaden karena alasan yang sama.
Selain menciptakan hubungan komensal dengan orang-orang Natufian,
hewan pengerat ini juga mampu mengkolonisasi pulau. Hal tersebut diawali
dengan eksplorasi pulau-pulau Mediterania yang dimulai dari milenium ke-9 SM
oleh orang-orang Neolitik. “Bukti tidak langsung yaitu di antara sisa-sisa
arkeologi dari gua Franchti adalah keberadaan obsidian dari Pulau Sikladik
Melos, serta sisa-sisa ikan tuna yang melimpah, yang ditangkap di laut
lepas”(Thomas Cucchi dan Jean Denis Vigne, 2006:5). Ini menunjukkan bukti
kuat bahwa orang Epipaleolitik/Awal Neolitik yang menetap di pantai Argolid
(Yunani) menggunakan kerajinan tangan yang mampu melakukan penyeberangan
jarak jauh. Siprus adalah tempat pertama yang didatangi orang-orang Neolitik.
Kelak mereka akan mendatangi pulau-pulau Mediterania yang lain. Tujuan
mereka adalah mengkolonisasi pulau. Bersamaan dengan itu, terjadi transfer
manusia dan hewan peliharaan secara maritim untuk mencukupi populasi di
wilayah baru. Migrasi besar-besaran dilakukan dengan bantuan kapal penjajah
Neolitik yang sangat besar dan kedap air. Mereka membawa hewan peliharaan
seperti kambing, babi, sapi, domba, rubah, kelinci, serta rusa. Namun ada mamalia
yang tidak sengaja diperkenalkan pada alam Pulau Mediterania, tidak lain hewan
pengerat tikus.
Ketidaksengajaan tersebut tentu tidak disadari oleh orang-orang neolitik.
Namun, telah ditemukan bukti arkeologi yang mendukung pernyataan kolonisasi
tikus. “Rahang tikus rumah (Mus musculus domesticus) telah dijelaskan sebagai
bagian dari kargo kapal karam Uluburun Zaman Perunggu Akhir dan tengkorak
tikus cokelat (Rattus norvegicus) ditemukan di bangkai kapal Galleon pada abad
ke-18 M yang ditemukan di lepas pantai utara Korsika”(Thomas Cucchi dan Jean
Denis Vigne, 2006:7). Bukti ini menjelaskan penyebaran tikus terjadi secara pasif
dan terjadi berangsur-angsur yang dilatarbelakangi oleh navigasi laut orang-orang
Neolitik. Tikus menjadi hewan tersebut menjadi tamu tak diundang di kompleks
pertanian di Siprus. Proses kolonisasi tikus di daerah tersebut berlangsung sangat
cepat, namun berbeda dengan kolonisasi di Mediterania Barat yang lebih lambat.

3
Alasannya yaitu pulau Siprus mengalami transfer secara intens mulai dari lembah
Efrat tengah dan atas hingga ke seluruh wilayah. Media yang digunakan tikus
untuk menyelinap ke dalam kapal adalah wadah, karung, keranjang yang
menampung benih. Keberhasilan kolonisasi pulau yang dilakukan tikus
bergantung pada lalu lintas maritim yang memungkinkan hewan pengerat ini
mencapai wilayah dimana mereka mampu bersaing dengan hewan pengerat asli
Pulau Mediterania. Spesies asli tersebut seperti tikus sawah ekor panjang
(Apodemus sylvaticus). Namun, dapat dipastikan tikus rumah menyebar secara
masif dan cepat dalam beberapa abad di seluruh Pulau Mediterania.
Dari migrasi tikus, kini beralih pada tikus yang menyebabkan salah satu
wabah terburuk di dunia yaitu wabah Justinian pada 541 M. Wabah ini
disebabkan oleh bakteri Yersinia pestis yang merupakan organisme penyakit pes
dan disebarkan oleh tikus. Wabah ini pertama kali muncul di Konstantinopel,
Kekaisaran Byzantium. Gejala penyakit pes adalah jaringan tubuh dirusak oleh
bakteri dan menghitam dan darah yang mengalir ke bagian tubuh tersebut akan
berkurang. Asal mula kemunculan wabah Justinian di Kekaisaran Byzantium
memiliki beberapa hipotesis yang lebih meyakinkan dibanding yang lain yaitu
India dan Afrika (Peter Sarris, 2002:170). Hipotesis wabah Justinian berasal dari
India memiliki kelogisan mengingat fakta bahwa hubungan perdagangan
Byzantium dengan India telah terjalin baik selama awal abad ke-6. Cosmas
Indicopleustes yang merupakan penjelajah abad ke-6 yang melakukan beberapa
perjalanan ke India pada masa kaisar Yustinianus. Dia menggambarkan
perdagangan antara Bizantium dan timur melalui Taprobane (Sri Lanka).
Namun, terdapat sanggahan bahwa India bukanlah asal wabah Justinian.
Pertama, hubungan Byzantium dan India tidak sesering Byzantium dengan Cina
pada saat itu. Akan tetapi, penyebutan pes di Cina belum dikenal sebelum 610 M.
Kedua, terdapat bukti positif jika wabah Justinian berasal dari Afrika. Sejarawan
gereja Byzantium Evagrius mengklaim wabah berasal dari Ethiopia. Pernyataan
tersebut ditolak oleh Allen karena dianggap sebagai prasangka kuno yang
menuduh Ethiopia sebagai sumber penyakit. Pernyataan sejarawan gereja
Byzantium Evagrius sebenarnya tidak sepenuhnya salah karena saat periode abad
pertengahan, sumber-sumber Arab mencatat bahwa Ethiopia dan Sudan penuh
dengan wabah penyakit. Selain itu, terdapat pendapat yang semakin memperkuat
Afrika adalah asal wabah Justinian secara kronologis dan geopolitik. Awal abad
ke-6 tepatnya dari 502 M hingga 503 M, Byzantium berperang melawan Persia.
Hal tersebut mewajibkan Byzantium mempererat hubungan militer, diplomatik,
dan ekonomi dengan Kekaisaran Axum. Para penguasa Kristen Ethiopia tersebut
dijadikan sebagai penyeimbang pengaruh Persia di selatan Arab. Pada saat yang
sama, orang Ethiopia memiliki kontak ekonomi yang erat dengan penduduk
Afrika bagian dalam sehingga wabah tersebut menular dengan cepat.
Sumber naratif kontemporer yang berasal dari timur atau barat dengan
bahasa Latin, Yunani, Syriac, atau Arab tersedia bagi sejarawan. Inti yang
dibicarakan dalam sumber-sumber tersebut adalah penggambaran wabah Justinian
yang sangat berdampak bagi demografi entah itu perkotaan maupun pedesaan.

4
Sejarawan Procopius yang datang ke Konstantinopel pada tahun 542 menjelaskan
bahwa wabah Justinian menghasilkan korban sebanyak 10.000 dalam satu hari.
Demikian pula Yohanes dari Efesus menggambarkan desa-desa telah binasa
penduduknya. Dalam catatan John, ia menyaksikan rumah dan jalan raya hanya
ditempati orang mati, mayat tergeletak di lapangan dan di sepanjang pinggir
jalan, dan ternak mengembara sampai perbukitan. Dalam sumber berbahasa Arab
pra- Islam, penyair Hassan Ibn Thabit mencatat penyakit sampar (pes) yang
digambarkan sebagai sengatan jinn telah menghancurkan pedesaan di bagian
timur Kekaisaran Byzantium.
Terdapat bukti epigrafi dari prasasti penguburan mayat wabah Justinian.
Penguburan saat itu dilakukan secara massal karena tingginya tingkat kematian
sehingga dengan terpaksa praktik penguburan tradisional harus ditinggalkan.
Seluruh kota digali di semua tempat dan satu demi satu orang-orang mati
dibaringkan di sana. Yohanes dari Efesus mencatat Kaisar Yustinianus yang
berkuasa dari 527 M hingga 565 M memerintahkan penggalian kubur massal di
Galata. Muncul pula masalah mengenai pembuangan mayat di Yerusalem dan
kota-kota di Palestina. John memiliki klaim bahwa banyak mayat di
Konstantinopel dibuang begitu saja ke laut. Terdapat pernyataan Procopius
mengenai kekejaman Yustinianus yang menyapu bersih buruh tani untuk keluar
dari wilayah karena wabah Justinian.
Wabah pes yang sama buruknya dengan wabah Justinian adalah black
death dari 1347 hingga 1352. Black Death diawali oleh tentara Tartar dari Khan
Janibeg yang berasal dari Asia. Tentara-tentara tersebut mengepung Kota Kaffa
(sebuah kota perdagangan Genoa di tepi laut Hitam) dan mengalami kegagalan.
Sebagai ungkapan balas dendam, mereka melemparkan mayat yang terserang
wabah ke para pedagang Genoa. Para pedagang Genoa mengalami kepanikan dan
melarikan diri ke Konstantinopel dengan menyeberangi Mediterania ke Messina,
Sisilia dan akhirnya tempat-tempat tersebut menjadi sumber wabah karena
penyakit sudah menyerang para pedagang Genoa. Pada 1348,wabah merambat
dengan cepat ke Marseille, Paris, Jerman, dan Spanyol. Tak berhenti di sana, pada
1349 Inggris dan Norwegia telah diserang dan akhirnya pada 1350 wabah
mencapai Eropa Timur. Namun, orang-orang Tartar masih menyebarkan wabah
itu dengan pergi ke India dan Rusia.
Giovanni Boccaccio dalam bukunya Decameron menjelaskan
serangkaian cerita sekelompok orang Florentines yang mengasingkan diri untuk
menghindari wabah : “... pada pria dan wanita sama-sama pertama kali dikhianati
dengan munculnya tumor tertentu di selangkangan atau ketiak. Beberapa di
antaranya tumbuh sebesar apel biasa, yang lain seperti telur, beberapa lebih kecil,
yang oleh orang awam disebut gavocciolo. Dari dua bagian tubuh tersebut,
gavocciolo yang mematikan ini segera mulai menyebar dan menyebar ke segala
arah dengan acuh tak acuh. Setelah itu bentuk penyakit mulai berubah, bintik
hitam atau pucat muncul dalam banyak kasus di lengan atau paha atau di tempat
lain...” (John Frith, 2012:13). Orang-orang mengalami kematian dengan cepat
dan menyebabkan tidak ada waktu melakukan kremasi maupun penguburan.
Mayat

5
dilemparkan ke lubang besar bahkan hanya terbaring di rumah maupun jalan.
Diduga penularan penyakit melalui uap air mayat atau napas orang yang
terinfeksi. Ada pula yang mengira bahwa Black Death adalah hukuman Tuhan
atas perilaku tidak bermoral manusia. Orang-orang meminta perlindungan kepada
santo pelindung seperti St Roch, St Sebastian, atau Perawan Maria. Ada dari
mereka bergabung dalam prosesi flagellant yang mencambuk diri sendiri dengan
cambuk yang tertanam paku dan menyanyikan himne atau doa saat mereka
memasuki kota ke kota lain. Pengobatan yang dilakukan saat itu adalah
menghirup uap aromatik dari mawar, thyme, kamper, dan aloe. Terjadi pula
kekurangan dokter dan diganti dengan dukun gadungan yang menjual jimat yang
mereka klaim menawarkan perlindungan magis.
Tikus juga memiliki peran besar dalam salah satu peristiwa bersejarah
yaitu Perang Dunia I dari 28 Juli 1914 hingga 11 November 1918. Salah satu
lokasi tempur dalam Perang Dunia I adalah parit di sepanjang perbatasan Belgia
dan Perancis. Pemilihan lokasi parit berdasarkan pengalaman Jepang yang
memenangkan perang atas Rusia karena metode parit. Saat itu Jepang berhasil
mendekati Port Arthur (benteng Rusia) sambil menyembunyikan diri ke dalam
parit untuk meminimalisir korban. Diharapkan berdasarkan pengalaman tersebut,
perang akan berjalan sesuai dengan keinginan masing-masing negara yang
berperang.
Namun, ada banyak variabel yang mempengaruhi jalannya perang salah
satunya sanitasi yang tidak mungkin diterapkan pada lingkungan parit. Hal
tersebut tentu mengundang banyak hal negatif, seperti tikus. Robert Graves
berkomentar dalam bukunya, Goodbye to All That : “Tikus muncul dari kanal,
memakan banyak mayat, dan berkembang biak dengan sangat pesat. Sementara
saya tinggal di sini bersama Welch. Seorang perwira baru bergabung dengan
perusahaan dan, sebagai tanda selamat datang , diberi sebuah gali berisi tempat
tidur pegas. Ketika dia berbalik pada malam itu, dia mendengar suara gesekan,
menyorotkan senternya ke tempat tidur, dan menemukan dua tikus di selimutnya
bergumul karena memiliki tangan yang putus”. Parit yang berlumpur bahkan
tergenang air merupakan kondisi yang ideal untuk tikus. Di setiap tubuh mayat
dapat dipastikan tikus ditemukan di sana, menggerogoti daging mayat. Harry
Patch, seorang prajurit dari Front Barat mengklaim bahwa ada tikus sebesar
kucing. Sedangkan prajurit lain menulis: “Tikus-tikus itu sangat besar. Mereka
begitu besar sehingga mereka akan memakan orang yang terluka jika dia tidak
bisa membela diri”. George Coppard memberikan alasan mengapa tikus-tikus itu
begitu besar: “Tidak ada sistem pembuangan limbah yang tepat dalam kehidupan
parit. Semua jenis kaleng kosong dibuang ke atas di kedua sisi parit. Jutaan
kaleng tersedia untuk semua tikus di Prancis dan Belgia dalam ratusan mil parit.
Selama saat-saat hening singkat di malam hari, orang dapat mendengar derak
kaleng yang terus menerus bergerak melawan satu sama lain. Tikus membalikkan
mereka”.
Selain itu, tikus juga menyebarkan penyakit pada para prajurit. “Letnan W.
J Rutherford, misalnya, menyarankan bahwa tikus atau tikus lapangan biasa dapat
menularkan penyakit. Kapten B Hughes, mengklaim bahwa demam parit mungkin

6
hasil dari infeksi yang diturunkan dari tikus, dikombinasikan dengan
sembelit”(R.L Atenstaedt, 2006:564). Selain melawan musuh, para prajurit harus
berhati-hati pada tikus. Namun, kecil kemungkinan untuk bebas dari gangguan
tikus yang ganas berkembang biak di lingkungan parit. Untuk mengatasi
problematika tersebut, para prajurit telah mencoba berbagai cara. Beberapa
prajurit menembak tikus meskipun terdapat larangan karena dianggap sebuah
pemborosan amunisi. Kucing dan terrier juga dipelihara untuk menangkap tikus.
Terrier dianggap lebih efektif karena setelah mengejar satu tikus, kucing masih
menghabiskan waktu untuk memakan tikus atau bermain-main dengan mayat
buruannya. Sedangkan terrier dapat menangani tikus dalam hitungan jam. Hal ini
disebabkan setelah membunuh tikus, mereka langsung beralih ke tikus lain.
Tubuhnya juga lebih besar dan kuat daripada kucing. Begitu pula rahangnya yang
besar dan sangat buas membunuh tikus. Namun, upaya tersebut tidak sepenuhnya
efektif karena sepasang tikus mampu menghasilkan hingga 900 keturunan
setahun.
Mitos yang berkaitan dengan tikus juga beredar di masyarakat. Di Jerman,
terdapat cerita rakyat The Pied Piper of Hamelin yang mengisahkan si peniup
seruling disewa Hamelin untuk membersihkan kota dari wabah tikus. Seruling
ajaib tersebut mampu menghipnotis hewan-hewan pengerat untuk berjalan
melewati gerbang kota. Namun setelah kinerja si peniup seruling, pemerintah
enggan membayar jasanya. Akhirnya julukan sang penyelamat telah berubah
menjadi penjahat yang yang menghipnotis anak-anak untuk keluar kota dan
menghilang tanpa jejak. Cerita rakyat ini diadaptasi oleh beberapa karya sastra
seperti The Children of Hamelin oleh Grimm Bersaudara, sajak Goethe dengan
judul Der Rattenfanger dan puisi The Pied Piper of Hamelin karya Robert
Browning.
Di Indonesia, juga terdapat mitos mengenai tikus seperti di Gunung Kidul
yang memiliki kepercayaan bahwa tikus adalah jelmaan dari prajurit penguasa
laut selatan Nyi Roro Kidul. Tikus-tikus tersebut konon muncul bersamaan
dengan pecahnya buih laut selatan di pagi hari. Tikus tersebut dinamakan Den
Baguse yang harus dilakukan ritual agar tidak merusak padi dengan memberikan
sesaji nasi tiwul. Para petani berharap dengan pemberian sesaji akan
menyelamatkan hasil panen dari Den Baguse.

7
BAB III
PENUTUP

Sejarah relasi tikus dengan manusia telah terjadi sejak 12.000 SM di


Levant. Pemburu-pengumpul Natufian yang memulai sedentisme di sana memicu
kemunculan tikus di penyimpanan biji-bijian mereka. Tikus juga mampu
melakukan migrasi yang tidak disadari oleh pelaut Neolitik ke Pulau Mediterania.
Media yang dipilih tikus untuk bersembunyi adalah wadah atau karung tempat
biji-bijian di kapal orang-orang Neolitik. Selain memakan biji-bijian, tikus juga
pembawa wabah pes di Kekaisaran Byzantium yang disebut Wabah Justinian.
Wabah pes kedua yaitu Black Death dari 1347 hingga 1352 yang merenggut
banyak nyawa di dataran Eropa. Pada perang parit di Perang Dunia 1, tikus
sangat mengganggu tentara dengan menggerogoti luka atau mayat tentara. Selain
itu, tikus parit juga membawa penyakit seperti trench fever. Dalam mitos pun,
tikus muncul yang sebagian besar memiliki peran negatif seperti di cerita rakyat
The Pied Piper of Hamelin. Di Indonesia, tepatnya Gunung Kidul tikus dikenal
sebagai jelmaan prajurit Nyi Roro Kidul yang merusak padi para petani. Dari
semua hal tersebut, bisa disimpulkan bahwa sebagian besar tikus memiliki relasi
dengan manusia dan bercitra negatif membawa kerugian bagi manusia.

8
DAFTAR REFERENSI

Anonim. 2009. Petani Masih Percaya Mitos Hama Tikus.


https://regional.kompas.com/read/2009/08/06/18083488/petani.masih.perc
aya.mitos.hama.tikus (diakses pada 27 November 2020)
Anonim, 2020. Fakta dan Misteri Hilangnya Ratusan Anak di Jerman dalam
Dongeng ‘Peniup Seruling dari Hamelin’.
https://www.bbc.com/indonesia/vert-tra-54041359 (diakses pada 27
November 2020)
Anstead, Gregory M. 2016. The Centenary of the Discovery of Trench Fever, an
Emerging Infectious Disease of World War 1. CrossMark. 16(08):164-
172. www.thelancet.com/infection (diakses pada 15 Oktober 2020)
Atenstaedt, R L. 2006. Trench Fever: the British Medical Response in the Great
War. J R Soc Med. 99(11):564-568.
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC1633565/ (diakses pada
15 Oktober 2020)
Boyd, Brian. 2006. On ‘sedentism’ in the Later Epipalaeolithic (Natufian) Levant.
Taylor & Francis. 38(2):164-178.
https://www.tandfonline.com/doi/abs/10.1080/00438240600688398#:~:tex
t=A%20poorly%20defined%20notion%20of,Neolithic%20transition%20i
n%20Levantine%20prehistory. (diakses pada 13 Oktober 2020)
Bramanti, Barbara. 2019. The Third Plague Pandemic in Europe. The Royal
Society. 286:1-8. http://dx.doi.org/10.1098/rspb.2018.2429 (diakses pada
16 November 2020)
Cucchi, Thomas, dan Jean Denis Vigne. 2006. Origin and Difussion of the House
Mouse in the Mediterranean. Springer Science + Bussines Media. 1-12.
https://link.springer.com/article/10.1007/s11598-006-9011-
z#:~:text=Presently%2C%20it%20appears%20that%20the,massively%20a
nd%20rapidly%2C%20and%20colonised (diakses pada 13 Oktober 2020)
Duncan, C J, dan S Scott. 2005. What Caused the Black Death?. Postgrad Med.
81:315-320. https://pmj.bmj.com/content/81/955/315 (diakses pada 16
November 2020)
Frith, John. 2012. The History of Plague – Part 1 The Three Great Pandemics.
Australian Defence Force. 20(02):11-16. https://jmvh.org/article/the-
history-of-plague-part-1-the-three-great-pandemics/ (diakses pada 26
November 2020)
Munro, Natalie D. 2004. Zooarchaeological Measures of Hunting Pressure and
Occupation Intensity in the Natufian. The University of Chicago Press.
45(04):5-34. https://www.jstor.org/stable/10.1086/422084?seq=1 (diakses
13 Oktober 2020)

9
Sarris, Peter. 2002. The Justinianic Plague: Origins and Effects. Cambrige
University Press. 17(02):169-182.
https://www.cambridge.org/core/journals/continuity-and-
change/article/justinianic-plague-origins-and-
effects/F48D7B45421836E3F25613CF68EE6F30 (diakses pada 16
November 2020)
Simkin, John. 1997. Trench Rats. https://spartacus-
educational.com/FWWrats.htm#:~:text=Many%20men%20killed%20in%
20the%20trenches%20were%20buried%20almost%20where%20they%20f
ell.&text=These%20corpses%2C%20as%20well%20as,were%20soon%20
swarming%20with%20them. (diakses pada 16 November 2020)
Suyanto et al. 1984. Jenis-jenis Tikus dan Cacing Parasitnya di Das Sekampung,
Lampung. Berua Biologi 2. 9(10):217-221. https://e-
journal.biologi.lipi.go.id/index.php/berita_biologi/article/view/1422
(diakses pada 02 November 2020)
Weissbrod, Lior. 2017. Origins of House Mice in Ecological Niches Created by
Settled Hunter-gatherers in the Levant 15,000 y ago. PNAS.
114(16):4099-4104. www.pnas.org/cgi/doi/10.1073/pnas.1619137114
(diakses pada 9 Oktober 2020)
Widiastuti, Dyah. 2011. Angiostrongylus cantonensis. BALABA. 07(01):25-26.
https://ejournal.litbang.kemkes.go.id/index.php/blb/article/view/1198
(diakses pada 02 November 2020)

10

Anda mungkin juga menyukai