Anda di halaman 1dari 14

03.

PESTA PERAK IMAMMAT PATER YOSEF BANAMTUAN SVD

a. Biodata pater yosef banamtuan, svd, riwayat panggilan dan refleksi hidup

Lahir di Oebkin/ Noemuti pada tanggal 17 Desember 1952. Anak ke-7 dari 7 bersaudara. Lahir
dari keluarga petani, bapak: Petrus Bnao Banamtuan, dan mama : Theresia Nino Sanam. Anak
ke-2 sampai anak ke-6 bersama dengan kedua orang tua telah meninggal dunia. Mama
meninggal ketika Pater Yosef baru berusia 1 bulan dan bapak meninggal ketika berusia sekitar 6
tahun, menjelang masuk Sekolah Rakyat (SR), sehingga Pater menunda sekolah dan baru
memasuki sekolah di usia 8 tahun.

PENDIDIKAN
 1962-1967 : Sekolah Rakyat Katolik (SRK) di Noemuti- Kefamenanu- TTU
 1962 : Kelas 1 di Oe Ekam/ Noemuti
 1963 : Kelas II di Manikin/ Noemuti
 1964-1967 : Kelas III-VI di Oenak/ Noemuti
 1968-1971 : SMP Kemasyarakatan Katolik St. Yosef Noemuti
 1972 : Masuk Seminari kelas peralihan di Seminari Lalian- Atambua
 1973-1976 : Seminari Lalian Atambua (kelas kami adalah kelas VII yang terakhir)
 Juli- Desember 1976: Menjalani masa praktek kelas VII
Di Ambenu- Oekusi, Timor Timur
 1977-1978 : Novisiat SVD di Ledalero-Maumere. Tepatnya 7 Januari 1977
 12 Maret 1978 : Penerimaan Jubah, pakaian resmi biara
 7 Januari 1979 : Ikrarkan kaul I di Ledalero
 7 Januari 1980 : Pembaharuan Kaul untuk pertama kalinya di paroki Wairpelit
 1978-1980 : Menjalani Study Filsafat di Seminari Tinggi Ledalero
 1981 : Menjalani Study Teologi tahun I
 1982 : Menjalani Tahun Orientasi Pastoral (TOP)
Di Seminari St. Pius XII Kisol-Manggarai- Flores
 1983- Nop 1984 : Menjalani Studi Teologi tahun II di Ledalero
 1 Agustus 1984 : Mengikrarkan Kaul Kekal di Ledalero
 28 Oktober 1984 : Menerima Tahbisan Diakon di Seminari Tinggi
St. Petrus Ritapiret- Nita- Maumere
 Des 1984- Mei 1985 : Menjalankan Praktek Diakonat di Paroki Waibalun-Larantuka-
Flores Timur
 29 Juni 1985 : Bersama ke 8 teman lain dari keuskupan Atambua,
menerima Tahbisan Imamat Suci dari tangan yang Mulia
Uskup Koajutor, Mgr. Anton Pain Ratu SVD di Katedral Atambua
 30 Juni 1985 : Merayakan Misa Perdana di Paroki Noemuti
bersama ke 2 teman seasal paroki Noemuti
 3 Juli 1985 : Merayakan Misa Keluarga di rumah di Seong Koa- Noemuti
 10 Juli 1985 : Meninggalkan kampung halaman menuju Provinsi Ruteng
untuk selanjutnya bertugas di mana serikat mengutus
 Juli – Awal Sept 1985: Menjalani bulan-bulan Orientasi di Ruteng
 17 September 1985 : Untuk pertama kalinya menginjakkan kaki di bumi Sumba
Waingapu untuk berkarya di Sumba/Keuskupan Weetebula
 10 Oktober 1985 : Paroki St. Hendrikus Melolo dipercayakan kepada SVD
oleh keuskupan Weetebula melalui pater Berthol Ney CSsR
sebagai Administrator keuskupan Weetebula
PENGALAMAN KERJA/ KARYA
 10 Okt 1985- Mei 1989: Menjadi Pastor Kapelan Paroki St. Hendrikus Melolo
 Juni 1989- Juni 1991 : Pejabat Sementara (PJS) Pastor Paroki Melolo
 Juli 1991- 2000 : Pastor Paroki Melolo
 Juli 1997 : Mengikuti kursus Respita
Di Giri Sonta- Ungaran- Semarang
 21 Feb- Des. 2000 : Mengikuti Tersiat di Nemi- Roma- Italia
(sebelumnya 4 bulan mengikuti kursus bahasa di Irlandia,
1 bulan mengenal Spiritualitas Pendiri di Steyl)
 5 Jan 2001- Mei 2002 : Pejabat Sementara (PJS) Pastor Paroki Sang Sabda Lewa
 Juni 2002- Sekarang : Pastor Paroki Sang Sabda Lewa
 29 Juni 2009 : Genap 24 tahun dalam Imamat Suci, merayakan Misa
bersama anak-anak SEKAMI di Gereja Lewa
 29 Juni 2010 : Pater Yosef akan merayakan Pesta Perak Imamat Suci
(25 Thn Imamat)
 Selama 25 tahun menjadi imam, Pater Yosef hanya bekerja melayani umat di Sumba,
khusus di paroki St. Hendrikus Melolo (1985-2000) dan di paroki Sang Sabda Lewa
(2001-sekarang). Dua paroki tersebut berada di wilayah kabupaten Sumba Timur- NTT.

RIWAYAT PANGGILAN MENJADI IMAM

Sebagaimana pengalaman anak-anak semasa kecil yang memiliki cita-cita menjadi


Dokter, Polisi, Tentara dan Guru, demikian pun saya memiliki cita-cita menjadi imam.
Ketertarikan menjadi imam muncul ketika saya duduk di bangku Sekolah Rakyat (SR) kelas V,
tepatnya saat mengikuti rekoleksi sekolah di paroki Noemuti, pada tahun 1966. Saat itu, saya
merasa senang memakai jubah putih seperti yang dikenakan oleh Frater pemberi rekoleksi.
Sesudah rekoleksi perasaan tersebut larut dalam perjalanan dalam perjalanan waktu seolah
tenggelam, hilang tak meninggalkan bekas. Perasaan ingin menjadi imam baru muncul kembali
dalam warna atribut lain yakni ketika seorang Frater asal paroki Noemuti memimpin ibadat tanpa
imam di Gereja Noemuti saat berlibur. Rasa ingin menjadi imam muncul dan berbicara: Semoga
saya juga bisa berdiri di altar seperti frater itu pada suatu waktu.”Entah kapan perasaan
kembali menjadi imam itu muncul tetapi yang pasti bahwa ketika saya berada di bangku sekolah
dasar kira-kira tahun 1967. Tetapi perasaan itu pun segera hilang seolah ditelan dalam buana
setelah ibadat sabda bersama frater tersebut.
Luar biasa…Tuhan punya rencana yang penuh misteri namun nyata. Tahun 1968, saya
memasuki Sekolah Menengah Pertama di SMP St. Yosef yang berada di paroki Noemuti, yang
dipimpin oleh P. Roger J. Risse, SVD seorang imam SVD, kelahiran Amerika Latin. Dia adalah
sosok pastor yang berminat terhadap panggilan rohani (Imam, Bruder dan Suster), sehingga
beliau mendirikan sebuah asrama guna menampun anak-anak kampong. Tetapi lebih dari itu,
beliau ingin mendidik anak-anak kampung tersebut lebih disiplin dalam hal rohani maupun
lahiriah. Alhasil di tempat saya menemukan suasana yang kondusif untuk bertumbuh dalam
kehidupan rohani, kepribadian maupun dalam kehidupan akademis karena suasana kedisiplinan
hidup dalam asrama tersebut.
Seiring berjalannya sang waktu, pada tahun 1972 bersama dengan ketiga teman lainnya
dari SMP St. Yosef Noemuti terpilih untuk melanjutkan sekolah di Semenari St. Maria
Imamculata Lalian, Atambua-Timor. Dari keempat semenaris ini, salah satunya kandas di tengah
jalan dan yang berhasil lolos menginjakkan kakinya di Semenari St. Paulus Ledalero-Maumere-
Flores adalah tiga orang termasuk saya sendiri.
Jujur saya harus katakana bahwa motivasi memasuki Semenari Tinggi saat itutidak murni
(sungguh-sungguh menjadi imam), tetapi hanya ingin melihat dan mengalami lebih dekat seperti
apa pulau Flores tersebut. Hingga tepatnya Desember 1976, bersama kedua rekan secita-cita,
kami bertolak dengan sebuah kapal barang dari pelabuhan Atapupu-Atambua menuju pelabuhan
Larantuka-Flores Timur, dan seterusnya ke Maumere-Ledalero. 7 Januari 1977, bersama ke-32
teman lainnya yang berasal dari Semenari-Semenari sedaratan Flores dan Timor, (Semenari St.
Maria Immaculata Lalian-Timor, Semenari St. Pius XII Kisol-Manggarai, Semenari St. Yohanes
Berkmans Mataloko-Todabelu, Semenari Hokeng), kami diterima secara resmi ke dalam
Novisiat SVD di Kapela Semenari Tinggi St. Paulus Ledalero, P. Silvester Pajak, SVD, yang
menjabat sebagi Magister Novis. Sejak saat itu kami memasuki masa Pembinaan Rohani atau
Tahun Rohani yang berlangsung selama dua tahun (1977-1978). Di mana pada tahun yang
kedua, para novis missioner (Novis Tahun Kedua) sudah bisa mengikuti kuliah Filsafat. Pada
tanggal 8 Januari 1977, saya dan teman-teman seangkatan mengikrarkan kaul pertama di
Semenari Tinggi Ledalero.
Patut dicatat bahwa ketika menjalani masa novisiat tahun kedua, sebenarnya saya sudah
berniat untuk meninggalkan teman-teman secita-cita dan Semenari Tinggi. Alasannya adalah
sangat sederhana bahwasannya saya merasa beban tersendiri berhadapan dengan kebiasaan
mencuci piring-piring para Frater Filosofen dan Teologan, selama menjalani masa novisiat.
Padahal jika direnungkan sebenarnya kebiasaan itu merupakan suatu kesempatan untuk melatih
ketekunan, tanggungjawab dari para calon imam.
Tetapi sebelum niat mengundurkan diri menjadi sebuah kenyataan, saya mengalami
peneguhan dari sosok seorang imam juga Dosen Liturgi dengan kata-katanya sebagai berikut
bahwa dulu mereka juga mengalami hal yang sama yakni mencuci piring. Lagipula kebiasaan ini
merupakan suatu latihan rohani. Dengan peneguhan pastor tersebut saya merasa kuat dan
semakin kuat dan tenang menekuni masa Novisiat tahun kedua hingga selesai pada tahun 1979.
Tahun 1980-1981, saya mengikuti kuliah filsafat di Ledalero. Masa ini adalah suatu masa
yang sulit bagi saya. Karena dari segi intelek, saya bukanlah mahasiswa yang pintar melainkan
mahasiswa yang memiliki kemampuan intelek yang pas-pasan, walaupun tidak mau
dikatakanlemah juga. Tetapi justru di dalam kelemahan itulah saya merasa terdorong untuk
semakin tekun dan berjuang tak kenal lelah agar bisa menyelesaikan studi yang terasa berat itu
dengan baik.
Setelah menyelesesaikan kuliah filsafat, timbul keinginan untuk meninggalkan biara lagi
karena merasa bahwa telah ada bekal untuk menjalani kehidupan di luar dengan berbagai aneka
ilmu yang telah diperoleh. Dalam situasi bimbang demikian, saya coba berkonsultasi dengan
kakak sepupu yang adalah juga seorang Frater. Ternyata yang kudapat ialah beliau marah dan
menyatakan kepadaku bahwa: “apakah untuk itu engkau masuk semenari ini?Ataukah engkau
masuk di sini untuk dididik menjadi imam???.” Mendengar kata katanya, saya terdiam
sejenak….dan kemudian saya memutuskan untuk melanjutkan studi teologi (1981).
Akhirnya saya pun memutuskan untuk melanjutkan studi teologi. Tetapi ketika
menjalankan studi teologi, saya jatuh sakit (gejala TBC). Karena itu saya harus menjalani masa
pengobatan secara teratur. Sementara itu tibalah masa Orientasi Pastoral yang harus saya jalani.
Mempertimbangkan kondisi kesehatanku, pimpinan serikat memintaku agar bisa menjalani TOP
di Semenari agar pengobatan dapat berjalan teratur demi penyembuhan penyakit tersebut.
Tahun 1982, saya menjalani TOP di Semenari St. Pius XII Kisol-Manggarai. Pada waktu
itu yang menjabat sebagai rektor semenari adalah P. Eduardus Sangsun, SVD (belum menjadi
Uskup). Prefek SMA adalah P. Bernardus Djebabun, SVD dan Prefek SMP adalah P. Mikael De
Fretes, SVD. Sementara itu, saya menjabat sebagai sub Prefek SMP.
Ketika menjalani masa praktek itulah, saya memutuskan untuk menjadi Imam dan tidak
berpikir lagi untuk menjalani hidup di luar biara. Hal mendasar yang melatarbelakngi
keputusanku adalah suasana kebersamaan yang sangat dijunjung tinggi dalam lingkungan
semenari. Tetapi saya menyadari bahwa keputusan itu adalah semata keputusanku bukan
keputusan Tuhan yang mana Nampak dalam setiap keputusan para pemimpin serikat dan
penilaian teman- teman seangkatan serta pribadi-pribadi lain, yang diyakini merupakan suara
Tuhan. Sesudah menjalani masa TOP, saya kembali ke Ledalero untuk melanjutkan studi
Teologi tahun kedua dan ketiga.
Tahun 1983-1984, saya mengikuti studi Teologi di Ledalero. Tahun-tahun ini merupakan tahun
penetuan bagiku; apakah saya bisa lolos menyelesaikan studi dengan baik dan bakal; lolos
seleksi lamaran ke Roma untuk mengikrarkan kaul kekal dan ditabiskan menjadi diakon dan
imam atau tidak. Oleh karena itu, bagiku masa ini merupakan masa penuh harapan tetapi juga
masa yang mencekam. Masih hangat dalam ingatan saya bahwa pada bulan Mei 1984, saya
mendapat balasan lamaran dari Roma, di mana setiap pelamar diberikan sebuah amplop putih
yang dilem mati. Ketika memberikan amplop tersebut, pater prefek hanya menyampaikan
bahwa; “silahkan menerima amplop dan nanti di kamar masing-masing baru dibuka amplomnya.
Tetapi ingat sebelum dibuka, terlebih dahulu anda harus berdoa.”
Sesudah makan siang, saya segera beranjak ke kamar. Setelah saya memastikan bahwa
pintu kamar telah terkunci saya letakan amplop tersebut di atas meja kerja tepat di bawah salib
lalu berdoa. Saya tidak lagi mengingat rumusan dan isi doaku saat itu, tetapi saya agak
gugup….perasaan saya beragam antara cemas dan gembira….yang terungkap dalam
batin…..diterima atau ditolak? Dalam situasi batin demikian, sikap untuk membuka amplop surat
itu semakin terhalang dan terhambat. Namun saya berusaha untuk menguatkan batin melalui doa
dan memberanikan diri untuk membuka amplop surat itu dan siap menerima jawaban apapun
dengan segala resikonya. Perjuangan untuk membuka amplop itu pun menyita waktu kurang
lebih 45 menit. Akhirnya surat itu pun berhasil dibukanya. Dan ternyat hasilnya sungguh amat
menggembirakan. Puji Tuhan saya diterima untuk megikrarkan kaul kekal dan diterimakan untuk
menerima tabisan diakon dan imam. Pada saat itu, saya menangis. Mengapa??? Karena saya
mengingat kembali bahwa ketika masuk SD kelas V timbul keinginan pertama kali untuk
menjadi imam. Rupanya saat rahmat itu telah tiba terus air mata jatuh melalui pipi kiri-kanan tak
terbendung. Namun suasana itu cepat saya atasi, puji Tuhan….Terima kasih Tuhan….saya
mengelap dan mengeringkan air mataku. Tetapkan batin, akhirnya sekarang tinggal bagaimana
saya menyusun kata dan kalimat yang tepat untuk disampaikan kepada keluarga di Timor-
Noemuti tentang kaul ke kaul dan tabisan imam.
Waktu terus bergulir. Terasa hidupku ringan dan gembira, penuh iman saya
mengikrarkan kaul kekal di Semenari Tinggi di Ledalero pada tanggal 1 Agustus 1984 dan
menerima tabisan diakon di Semenari Tinggi St. Petrus Ritapiret pada tanggal 28 Oktober 1984.
Setelah itu, pada bulan Desember 1984 hingga Mei 1985, saya menjalani masa praktek diakonat
di Paroki Waibalun-Larantuka-Flores Timur. Setelah itu, bersama dengan teman-teman kami
kembali ke Semenari Tinggi Ledalero, untuk menjalani retret selama tiga Minggu menjelang
thabsan imam. Sesudah retret, seingat saya, tanggal 25 Juli saya dengan pesawat dari Maumere
ke Kupang menuju Atambua. Waktu itu saya hanya singga sebentar di kampong untuk
memperlihatkan diri dan bertemu dengan kakak sulung dan om Agus Sanam pada malamnya.
Saya sendiri tidak ingat lagi jam berapa waktu itu, tetapi yang pasti ketika singgah semua orang
di kampong telah lelap dalam tidur. Hanya om dan kakak saja yang tahu. Lalu saya meneruskan
perjalanan ke Atambua.
Di Atambua, kami para Diakon menempati rumah induk SVD di Nenuk. Kami
menempati tempat yang khusus agar kami bisa memiliki waktu berdoa dan beristirahat
menyonsong hari bahagia-hari tabisan suci, 29 Juni 1985. (Tanggal 29 Juni 1985 adalah hari
raya St. Petrus dan St. Paulus, yang merupakan 2 tokoh besar dalam Gereja Katolik). Di gereja
Katederal Atambua, bersama ke-8 teman seangkatan dan sekelas (3 calon imam SVD dan 5
calon imam Keuskupan). Dalam ekaristi yang kudus meriah dan agung, kami urapi menjadi
imam Tuhan melalui penumpangan tangan YM Uskup Atambua Mgr. Anton Pain Ratu, SVD
dengan disaksikan oleh banyak imam, biarawan/wati dan umat Allah yang berdatangan dari
seluruh Kabupaten Belu dan TTU, wilayah tempat tinggal diakon. Perayaan ekaristi tabhisan
imam baru berlangsung kurang lebih empat jam. Sesudah ekaristi diadakan resepsi sederhana di
samping Katederal Atambua dan masing-masing imam baru bersama keluarga berangkat menuju
paroki masing-masing karena umat paroki telah menanti di sana untuk merayakan misa
perdananya bagi umat paroki sebagai ucapan syukur dan berkat imam bagi uamat, panitia dan
semua penjasa dan keluarga yang telah berbuat baik bagi imam baru sepanjang ziarah, jalan
panggilan hingga puncak pentabisan sebagai imam Tuhan.
Perjalanan Atambua-Kefamenanu-Noemuti sepanjang 115 Km, suatu perjalanan yang
cukup panjang tetapi sungguh membahagiakan dan menggembirakan karena perjalanan tersebut
dimaknai sebagai suatu perjalanan iman. Imam barupun segera diarak dari Atambua menuju
Noemuti untuk merayakan misa perdana bagi umat Noemuti yang mengalami krisis hidup
beriman dan sekaligus merindukan seorang imam baru, anak mereka yang terpilih menjadi imam
yang merupakan sebuah kerinduan dan kebahagian.

Kerinduan dan kebahagian itu, umat nyatakan melalui persiapan penerimaan, yang
diawali dengan pengalungan kepada ketiga imam baru diujung jembatan, tepatnya di cabang
masuk kampong Naiabas, lalu mengarak ketiga imam baru dalam mobil terbuka. Sementara itu,
umat Allah berjalan kaki dan anak-anak berlari di samping, depan, delapan kendaraan yang
membawa imam baru tersebut. Ada juga yang mengarak imam baru dengan menggunakan
kendaraan beroda dua dan empat. Sedangkan psukan berkuda menanti imam baru dan
rombongan di tepi kali Kote. Di depan gereja, panitia telah siap menerima ketiga imam baru
dengan sapaan khas adat Noemuti oleh Bapak Fios-resmi anak imam baru diperkenankan
memasuki rumah adat-gereja Noemuti. Gong, tambur berbunyi diiringi tarian membahasakan
kegembiraan umat menanggapi rahmat Tuhan yang tengah terjadi di tengah umat-Nya. Keesokan
harinya, tepatnya pukul 08.00 pagi, misa perdana ketiga imam baru bagi umat Allah di Noemuti
segera dimulai. Para imam bersama ketiga imam baru diarak dengan tarian dari depan pendopo
pastoran menuju Gua Maria, tempat misa perdana dirayakan. Misa deimeriahkan oleh koor dan
tarian sungguh menghantar segenap umat Allah, yang mengikuti misa, masuk ke dalam alam
hidup ilahi. Rasa aman dan bahagia umat kembali dipulihkan setelah hati umat Noemuti
dikacaukan oleh dosa ketidaktaatan dan dosa ketidaksetiaan manusia (Imam berhenti dari
imammat).

Demikian sekelumit jalan panggilanku yang dimulai sejak awal hingga tabisan imam dan
tabisan perdana.
REFLEKSI HIDUP SEBAGAI IMAM
Dalam rangka perak imammat 25 tahun oleh Pater Yosef Banamtuan, SVD

“Imammat adalah rahmat dan berkat tetapi datang melalui derita dan tangis” demikian
refleksi saya yang sudah disheringkan kepada teman-teman ketika mengikuti reuni di gedung
pada hari Jumat 21 Mei 2010 jam 08.00.

Saya bergembira dan berbangga (bukan sombong), hidup sebagai seorang imam Tuhan.
Bergembira dan berbangga karena dipanggil dari sebuah keluarga petani, dari kampong
Seongkoa-noemuti, sebuah kampong yang tidak dikenal oleh kebanyakan orang. Tat kala
memasuki Sekolah Dasar (SD), kedua orang tuaku telah tiada, mereka telah meninggal dunia dan
kelima saudara-saudari pun telah meninggal dunia. Mama tersayang Theresia Nino Sanam
meninggal ketika saya berusia satu bulan. Tak pernah kubayangkan wajahnya seperti apa. Tetapi
menurut cerita saudara-saudariku dan para tetangga, wajah mama seperti wajah saya. Sungguh
agung dan mulia, gambaran wajah Tuhan dalam gambaran dan rupa mama yang tergambar
dalam wajah anaknya Yosef, yang semasa kecil biasanya dipanggil Ose atau di kampong biasa
dipanggil Noni (artinya uang ).
Sedangkan Bapak tercinta meninggal dunia, ketika saya berusia empat tahun. Saya baru
tahu bahwa Bapak meninggal pada saat jenazahnya dipikul untuk disemayamkan pada tempat
peristirahatannya yang terakhir. Roman muka Bapak sudah tidak membekas lagi dibenakku.
Tetapi perbuatannya yang baik masih tersimpan baik dan terpatri mati dalam hati saya yakni
ketika Bapak pulang dari pesta nikah, ia selalu membawa kue Solo untuk saya. Walaupun saya
sudah tertidur nyenyak entah jam berapa saja ia selalu membangunkanku dengan kata-kata yang
masih hidup sampai sekarang yakni “Ose…bangun makan kue” lalu saya bangun dan nikmati
kue yang dibawa Bapak (Saya meneteskan air mata,saat menulis pengalaman ini).
Kedua orang tua, Bapak dan Mama tercinta telah tiada tapi yang ada adalah wajah mama
dalam anak Yosef dan Bapak yang hidup terus dalam kata-katanya yang kuingat terus sampai
saat ini dan pasti sampai saya meninggal. Selebihnya kalau hendak melakukan suatu perjalanan
sang Bapak selalu menunggang kuda tunggangannya. Bapak selalu menyertakan saya pada kuda
tunggangannya. Biasanya saya duduk di bagian depan Bapak dalam setiap perjalanan bersama
Bapak tercinta. Kasih sayang Bapak yang begitu besar kepada saya merupakan wujud konkrit
kasih Allah Bapa Di Surga kepada kita masunia. Semoga kasih Allah Bapa di Surga yang
Nampak dalam putera-Nya Yesus Kristus yang menderita, wafat dan bangkit, MEMBERI
TEMPAT YANG LAYAK bagi Bapak dan Mama tercinta walau mereka tidak menyaksikan
peristiwa tabisan dan 25 tahun imammatku. Tetapi, iman katoliku mengajarkan bahwa dalam
ekaristi kudus kita hidup berkomunio dan saling mendoakan.

Kelima saudara dan saudariku; tiga orang lain (Mika-saudari nomor 2), Olas (saudara
no.3 ) dan Manue (saudara no.6), kami pernah hidup bersama dan saling mengenal dengan baik.
Tetapi dua saudara yang lain……meninggal ketika saya belum dilahirkan atau mungkin ketika
saya masih bayi hingga saya tidak pernah mengenal mereka. Mika dengan nama baptisannya
Theresia mengambil nama mama. Sedangkan Olas dengan nama baptisannya Apolonarius dan
Manue mengambil nama Yesus “Emanuel- Tuhan beserta kita.” Saya sangat menyanyangi
Manue karena kedekatanku dengannya sejak SD, di mana kami sering menjadi ajuda secara
bersama-sama di gereja;biasanya selalu berada di belakangnya saat ajuda, setiap kali pastor
paroki pater Van Ammers, SVD, merayakan ekaristi. Manue sanat sayang kepada saya tetapi
Tuhan berkehendak lain. Ia meninggal ketika saya berada di Semenari Lalian kelas peralihan
(1972).

Kelima saudara-saudariku telah tiada, pergi meninggalkan kami berdua yakni anak
sulung Agustinus Banamtuan, seorang petani kampong yang pada tanggal 29 Juni 2010 akan
genap berusia 80 tahun. Sayang, saya anak bungsu yang pada tanggal 29 Juni 2010 akan berusia
57 tahun 6 bulan.

Saya bergembira dan berbangga, walau sebagai anak bungsu yang menurut pandangan
dan pendapat kebanyakan orang saat itu, saya tidak mungkin menjadi imam karena saya dikenal
sangat manja. Tetapi saya tetap berjuang agar anggapan mereka tidak benar dengan segera
merubah sifat manja tersebut. Dan daa juang untuk dari sifat manja itu, saya lakukan sejak saya
berada di bangku SMPK Noemuti (1968-1971), setelah mendengar pastor Vincent Leko, SVD
yang mengatakan hal itu secara langsung kepadaku bahwa “anak bungsu sulit menjadi seorang
imam”, juga dia katakan bahwa saya adalah seorang Timor yang artinya penakut. Sejak saat
itulah saya membangun niat yang sungguh untuk menjadi imam kelak. Perjuangan itu saya buat
jug ketika saya berada di Semenari Lalian (1972-1976). Puji Tuhan saya sendiri merasakan
perubahannya ketika saya menginjakan kaki di Ledalero untuk memasuki masa Novisiat SVD
(1977-1978), hingga menjalani tahun-tahun selama mengikuti pendidikan-studi Filsafat dan
Teologi di Ledalero. Bahkan hingga di temapat TOP di semenari Kisol dan Waebalun. Dan
sekarang saya bisa berhasil menjadi imam dan kini akan merayakan 25 tahun imammat berkat
rahmat Tuhan.

Saya menjadi imam di tengah dunia yang penuh dengan kemajuan dan gaya hidup
materialistis, hedonistis tetapi saya bergembira dan berbangga karena saya bisa hidup dalam
segala keterbatasanku. Juga saya menyadari bahwa di belahan dunia ini masih banyak orang
yang nota bene hidupnya lebih menderita. Kesadaran inilah yang mendorong saya untuk
menghayati nasehat-nasehat injil dengan setia. Hal itu juga menyadarkan saya bahwa menjadi
seorang imam adalah sebuah rahmat dan berkat yang kuterima cuma-cuma dari Tuhan; karena
itu, dalam refleksiku saya mengambil motto tabhisanku “Kristus Yesus Tuhanku Lebih Mulia
dari Pada Semuanya” (Fil.3:8).

Walaupun demikian, tak dapat dapat dipungkiri bahwa ada saat-saat atau hal-hal yang
juga mengganggu jawabanku untuk menjadi seorang imam Allah. Misalnya, anggota keluarga
yang kadang meminta uang kepada saya untuk membiayai anak sekolah, membangun rumah
tinggal mereka. Tetapi permintaan mereka tidak dikabulkan sehingga hubungan kekeluargaan
sedikit terganggu, kadang juga ada orang tertentu yang meminta agar diperhatikan secara
istimewa tetapi tidak dipenuhi yang juga mempengaruhi hubungan kekeluargaan menjadi rentang
bahkan putus sama sekali.

Namun di antar semua halangan dan kesulitan yang kualami di atas, salah satu
pengalaman yang kuat mempengaruhi hidupku ialah perjalanan tourney ke umat Allah yang
sungguh melelahkan fisik. Misalnya ketika dalam suatu perjalanan kunjungan kepada umat Allah
di Andawai-paroki Melolo, sekitar tahun 1990-an pada musim kemarau, saya harus menempuh
jalan penuh tanjakan, masuk ke luar hutan melewati padang ilalang dari La Au hingga tiba di
Endawai. Seingat saya perjalanan tersebut sungguh melelahkan karena untuk tiba di stasi
tersebut saya harus menghabiskan waktu 10 jam (pergi-pulang). Dalam perjalanan tersebut
terlintas dalam benakku apabila terjadi pembakaran padang rumput ini apalah nasibku yang
terjadi.Sementara itu ragaku terasa tak kuat menahan dahaga….tetapi dimanakah saya bisa
memperoleh setekuk air…tidak mungkin kudapati di tengah padang tersebut. Saya mulai
kehabisan tenaga lalu aku duduk termenung memandang stasi Andawai yang masih jauh dalam
pandangan mataku jauh di lembah sana. Dalam keadaan demikian muncul berbagai pikiran setan
yang menggodaku. Seperti inikah menjadi seorang imam dan misionaris? Pikiran itu terus
menggodaku hingga muncul dalam hati kecilku untuk meninggalkan imamatku.

Tetapi pikiran lain juga muncul saat itu, bahwa jikalau seorang pastor Belanda yang datang
dari Negara yang kaya; Yang bisa naik kuda berjalan keliling dari kampung ke kampung
berteriak seperti orang kampung bercanda ria dengan orang –orang kampung memberi sakramen
tobat, meranyakan misa, mengunjungi orang sakit dan memberikan komuni kepada mereka,
menghibur dan meneguhkan mereka, hingga semua anggota keluarga saya yang dahulu kafir bisa
menjadi katolik. Mengapa saya sendiri tidak bisa sedemikian padahal Pastor itu yang juga telah
membaptis semua keluargaku dan saya sendiri…? Mengingat sang Pastor itu seketika itu,
semangat imamat untuk melayani umat menggerakan saya untuk bangun dan melanjutkan
perjalanan menuju stasi Andawai, di mana umat Allah telah menantikan-nantikan kedatangan
pastornya sejak pagi hari, dengan siri pinangnya (Hapa), dan air panas buat pastornya.

Pengalaman-pengalaman di atas baru merupakan tantangan fisik, belum tantangan dan


kesulitan menyangkut pribadi-pribadi umat yang di layani; kesehatan, ekonomi, budaya, politik,
pendidikan yang banyak kali membuat diriku banyak kali terkadang harus meneteskan air mata.
Tetapi justru di tengah hutan rimba kesulitan-kesulitan tersebut kualami sebagai jalan Tuhan,
permenunganku yang saat-saat hidup Yesus yang tengah berjalan keliling desa ke desa, kota ke
kota tengah berbuat baik (Bdk Matius 9:35 ).

Juga bagaimana pengalaman misionaris dari belahan dunia Eropa dan Amerika, yang telah
merelakan diri menjadi misionaris di Indonesia – ke tanah air kita yang masih kuat percaya
kepada roh leluhur (Animisme). Mereka telah meninggalkan kampung yang serba berkecukupan,
meninggalkan orang tua, sanak-saudara, sahabat kenalan, makan minum dan tempat tinggal yang
serba lux. Mengigat pengorbanan mereka yang begitu besar, saya bertanya pada diri untuk
apakah mereka meninggalkan semuanya?

Hanya demi keselamatan jiwa-jiwa. Hanya supaya manusia Indonesia, manusia Nusa
tenggara menjadi percaya kepada Yesus Kristus sebagai penyelamat. Saya harus bangkit dan
pergi…pergi untuk bertemu dengan Umat Allah.” Yesus Tuhanku lebih mulia dari semuanya”
(Filipi 3:8). Dia yang memanggil dan mengutus, Dia pula yang memelihara, menguatkan dan
menenguhkan saya. Imamat adalah berkat dan rahmat yang harus disyukuri dan dipelihara
karena Tuhan sendiri yang memanggil dan mengutus, Dia sendiri pula yang akan menyertai
seorang imam itu

Di sisi lain, saya juga pernah mengalami sakit berat di tahun 2005 di kesibukan
mempersiapkan tahbisan imam baru di paroki Sang Sabda Lewa, yang selama yang selama 38
tahun baru salah seorang anak terpanggil dan terpilih menjadi imam, dalam diri P. Decius
kaki,CSsR yang ketika itu bersama kelima temannya di tahbiskan di lewa tepatnya 1 Agustus
2005 oleh Uskup Weetebula Mgr. G. Kherubim parera, SVD. Di tengah persiapan itu, saya
merasakan bibirku bengkok, sehingga dengan cepat saya pamitan pada ibu-ibu yang pada itu
mengurus makan minum untuk segera ke rumah sakit guna memeriksa kesehatanku. Berdasarkan
hasil pemeriksaan di rumah Sakit Umum Umbu Rara Meha di Waengapu, ternyata saya
mengalami gejala penyakit strok akibat kelelhan/ kecapaian. Maka selama 4 hari, saya harus
berada di RSU Umbu Rara Meha Waingapu. Pada saat itu, saya sempat mengeluarkan air mata
tetapi hati saya bergembira karena bersama umat Lewa dan umat Allah sedekenat Waengapu,
saya boleh menyiapkan tabisan imam Redepmtoris dengan baik, walau tidak mau dikatakan
sukses hingga hari puncak pentabisan tersebut. Imammat adalah suatu berkat dan rahmat karena
diterima dengan cuma-cuma, dank arena itu diabdikan kepada umat Allah dengan cuma-cuma itu
pula.” Kristus Yesus Tuhanku lebih mulia dari pada semuanya.” (Fil. 3:8), merasa berbahagia
bila membahagiakan orang lain.
Imam membutuhkan persaahabatan karena dia adalah public figure. Persahabatan di
antara para imam sangat dibutuhkan karena jabatan tersebut adalah satu dan sama yakni berasal
dari imam agung Yesus Kristus sendiri untuk tugas pelayanan firman dan sakramen. Maka
seiring pengalaman para imam itu sendiri (diantara teman-teman seiimammat) tanpa
membedakan tarekat-tarekat, asalnya, di antara kalangan biarawan/wati tentang hidup di tengah
dunia dengan segala persoalannya, amat membantu, meneguhkan panggilan dan perutusan
sebagai imam-religius dan misionaris.
Saya merasa bergembira dan berbangga hidup sebagai seorang imam, religious karena
memiliki relasi yang baik dan sehat dengan semua imam, juga di antara biarawan/wati. Bahkan
di antara kaum awam pun, saya berusaha menempatkan diri tanpa kehilangan jati diriku sebagai
seorang imam dan religious. Saya bergembira dan berbangga karena cinta persaudaraan, cinta
adikodrati yang tercipta di antara para imam, yang turut menciptakan iklim kesehatan fisik,
mental dan rohani, yang baik. Semuanya itu dapat terjadi amatlah tergantung pada kearifan
setiap imam di dalam menata hidup persahabatan itu sendiri. Persahabatan sejati yang sungguh
membawa peneguhan dan pertumbuhan dalam diri sang imam itu bisa terjadi apabila
persahabatan tersebut lahir dari sebuah cinta yang tulus, murni dan tak dibungkus oleh hasil
untuk berkuasa, entah itu dalam persahabatan di antara para imam, biarawan/wati maupun kaum
awam. Pengalaman saya sendiri bahwa dalam kenyataan sehari-hari, yang paling sering dikirimi
litany dan atau proposal kebahagiaan ialah imam-imam setarekat, imam-imam dan biarawan/wati
keuskupan, umat Allah di paroki, para donator, anak-anak di pastoran dan yang saya bentuk,
teman-teman kelas, keluarga, orang-orang yang susah dan miskin, orang-orang cacat serta orang-
orang kafir. Juga dalam setiap kesempatan ekaristi pagi, saya lalu mengingat mereka semua
dalam doa-doaku.
Kiranya shering refleksi pengalaman hidup selaku imam, religious dan misionaris ini,
menjadi obor penyuluh jalan bagi hidup dan karyaku di hari-hari yang mendatang dan bagi siapa
saja demi menambah iman akan Tuhan Yesus yang mulia: yang telah menderita, wafat dan
bangkit untuk menyelamatkan kita semua.

Anda mungkin juga menyukai