Anda di halaman 1dari 55

TUGAS PRAKTEK FARMASETIKA TERAPAN

HIPERTENSI

Galuh Putri Trijayanti


1041411068

PROGRAM STUDI S1 FARMASI


SEKOLAH TINGGI ILMU FARMASI “YAYASAN PHARMASI SEMARANG”
2017
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Masyarakat saat ini banyak yang kurang memperhatikan makanan yang

dikonsumsi setiap hari. Kolesterol dan lemak dalam darah umumnya berasal dari

menu makanan yang dikonsumsi. Salah satu makanan yang memiliki kadar

kolesterol tinggi misalnya: daging, kuning telur dan hati. Makanan tinggi

kolesterol dapat meningkatkan kadar kolesterol total, hal ini diperburuk dengan

kebiasaan masyarakat seperti kurangnya olahraga sehingga menyebabkan

penyakit seperti jantung koroner, tekanan darah tinggi dan stroke (Gunawan, 2007

: 373).

Kolesterol sebenarnya bukan suatu penyakit, melainkan suatu hasil dari

metabolisme tubuh terhadap lemak yang dikonsumsi. Kolesterol juga dibuat oleh

organ hati karena memang diperlukan untuk membentuk otak, membangun sel-sel

serta memproduksi empedu dan memproduksi hormon-hormon. Tubuh

sebenarnya memerlukan kolesterol dalam jumlah tertentu, akan tetapi kolesterol

yang berlebih akan menyebabkan gumpalan dalam saluran pembuluh darah

sehingga fungsi jantung dan otak menjadi terganggu. Kolesterol menjadi

masalah kesehatan di masyarakat saat ini, terutama yang tinggal di perkotaan

(Agustina, 2012).

Penggunaan obat tradisional telah dilakukan sejak dulu terutama untuk

menanggulangi masalah kesehatan yang dihadapi masyarakat. Obat tradisional


yang berasal dari bahan alam menggunakan bagian dari tumbuhan yang diduga

mengandung bahan yang berkhasiat seperti : daun, batang, akar, buah / bagian lain

dari tumbuhan (Januarita, 2012).

Selama ini, pengobatan yang dilakukan untuk menurunkan kadar kolesterol

adalah dengan menggunakan obat-obatan sintetik. Obat sintetik cenderung

harganya mahal dan memiliki efek samping bila dikonsumsi, hal tersebut

mendorong berbagai usaha mencari alternatif penggunaan obat tradisional yang

berasal dari tanaman obat (Sitepoe, 1993 : 11).

Tanaman yang berperan dalam kesehatan salah satunya adalah famili

Gnetaceae. Famili ini dikenal dengan nama tanaman melinjo (Gnetum gnemon L.)

sering dimanfaatkan untuk mengobati berbagai jenis penyakit seperti susah buang

air kecil, digigit anjing, penyakit mata, anemia dan busung lapar (Hariana, 2008).

Daun melinjo memiliki kandungan senyawa aktif seperti alkaloid, flavonoid,

steroid dan tanin (Kining, 2015).

Berdasarkan latar belakang tersebut, penelitian ini dimaksudkan untuk

mengetahui kemampuan daun melinjo (Gnetum gnemon L.) sebagai penurun

kadar kolesterol secara in vitro.

1.2 Rumusan masalah

1. Adakah pengaruh ekstrak etanol, fraksi etil asetat, dan air daun melinjo

(Gnetum gnemon L.) terhadap penurunan kadar kolesterol secara in vitro?

2. Adakah perbedaan ekstrak etanol, fraksi etil asetat, dan air daun melinjo

(Gnetum gnemon L.) terhadap penurunan kadar kolesterol secara in vitro?


3. Berapakah konsentrasi maksimal ekstrak etanol, fraksi etil asetat, dan air

daun melinjo (Gnetum gnemon L.) yang dapat memberikan penurunan kadar

kolesterol secara in vitro?

1.3 Batasan masalah

1. Tanaman yang digunakan dalam penelitian ini adalah tanaman melinjo

(Gnetum gnemon L.). Bagian tanaman yang digunakan adalah daun yang

berwarna hijau sampai hijau tua yang dari daerah Gunungpati Semarang.

2. Proses ekstraksi daun melinjo dilakukan dengan metode remaserasi

menggunakan pelarut etanol 70%.

3. Fraksinasi menggunakan pelarut etil asetat, dan air.

4. Analisis kualitatif digunakan dengan reaksi warna dan metode pemisahan

secara Kromatografi Lapis Tipis (KLT).

5. Baku yang digunakan dalam penentuan kadar kolesterol adalah baku

kolesterol 94%.

6. Metode pengukuran penurunan kadar kolesterol menggunakan metode

Liebermann-Burchard.

7. Penurunan kadar kolesterol diuji secara in vitro menggunakan

spektrofotometer shimadzu UV-Vis 1700 Double beam.

1.4 Tujuan penelitian

1. Untuk mengetahui pengaruh ekstrak etanol, fraksi etil asetat, dan air daun

melinjo (Gnetum gnemon L.) terhadap penurunan kadar kolestrol secara

in vitro.
2. Untuk mengetahui adanya perbedaan ekstrak etanol, fraksi etil asetat, dan air

daun melinjo (Gnetum gnemon L.) terhadap penurunan kadar kolestrol secara

in vitro.

3. Untuk mengetahui konsentrasi maksimal ekstrak etanol, fraksi etil asetat, dan

air daun melinjo (Gnetum gnemon L.) yang dapat menurunkan kadar

kolesterol secara in vitro.

1.5 Manfaat Penelitian

1. Memberikan informasi kepada masyarakat untuk menggunakan daun melinjo

(Gnetum gnemon L.) dapat digunakan sebagai penurun kolestrol.

2. Penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan dan pengetahuan bagi

masyarakat serta memperkaya data ilmiah tentang penggunaan daun melinjo

(Gnetum gnemon L.) sebagai penurun kolestrol.

3. Memberi manfaat serta khusus kepada penderita hiperkolesterolemia bahwa

daun melinjo (Gnetum gnemon L.) sebagai salah satu pilihan dalam

pengobatannya.
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA DAN HIPOTESIS

2.1 Tinjauan Pustaka

2.1.1 Tinjauan tentang Tanaman Melinjo

2.1.1.1 Klasifikasi Tanaman

Secara garis besar, klasifikasi tanaman melinjo dalam dunia tumbuh –

tumbuhan adalah sebagai berikut:

Kingdom : Plantae

Divisi : Spermatophyta

Subdivisi : Gymnospermae

Kelas : Gnetinae

Ordo : Gnetales

Famili : Gnetaceae

Genus : Gnetum

Spesies : Gnetum gnemon L. (Tumbuhan Obat dan Khasiatnya 2, 2008)


Gambar 1. Tanaman melinjo (Gnetum gnemon L.)

2.1.1.2 Morfologi Tanaman

Tanaman melinjo adalah suatu spesies berbiji terbuka (gymnospermae)

berbentuk pohon yang berasal dari Asia Tropik dan Pasifik Barat. Melinjo

merupakan tanaman tahunan berumah dua (dioecious) dari famili Gnetaceae.

Batangnya kokoh dan daunnya tunggal berbentuk oval dengan ujung tumpul.

Tumbuhan ini mulai berbuah pada umur 3-4 tahun. Melinjo (Gnetum gnemon L.)

adalah tanaman tahunan yang dapat tumbuh dengan keadaan tanah yang kurang

baik.

Seperti umumnya tumbuhan tingkat tinggi, pohon melinjo juga dapat

dibedakan atas akar, batang, daun, dan bunga. Melinjo yang tumbuh dari biji

bersistem perakaran tunggang, seperti halnya tumbuhan Dicotyledone. Batang

melinjo berkayu dan bercabang. Tinggi pohon ini antara 5 – 22 meter. Bentuk

percabangannya sangat khas. Pohon melinjo berdaun rimbun (Tim Penulis PS,

1999).

Daun : tunggal, duduk berhadapan, berbentuk elip memanjang dengan

ujung runcing, berwarna hijau dan rata ditepinya, serta tulang

daunnya menyirip. Warna yang dimiliki adalah hijau tua dan

mengkilap dengan ukuran dan bentuk yang bervariabel. Ukuran

panjangnya 10-20 cm dan lebar 4-7 cm.

Batang : berdiri tegak, lurus, berkayu, cabang mendatar, yang makin keatas

makin memendek, sehingga tajuknya menyerupai piramida.


Bunga : bunga melinjo membentuk kerucut dengan karangan bunga

melingkar. Tanaman melinjo merupakan tanaman berumah dua,

dalam satu pohon terdapat bunga jantan saja atau bunga betina saja.

Bunga jantan tersusun dalam strobilus jantan yang mempunyai

tenda bunga berbentuk butiran kecil dengan ukuran panjang 3-5

cm. Bunga betina tersusun dalam strobilus betina yang mempunyai

tenda bunga berbentuk butiran lebih besar yang berukuran 6-10

cm.

Buah : tidak terbungkus daging, tetapi hanya terbungkus kulit buah tipis

yang merupakan ciri gymnospermae. Buah berwarna kuning, ungu-

merah, dan jingga-merah (matang). Panjang buah 1-3,5 cm.

Biji : tidak besar dengan bentuk bulat atau lonjong untuk setiap buah.

2.1.1.3 Kandungan Kimia

Menurut balai penelitian tanaman industri dan penyegar, litbang departemen

pertanian, Republik Indonesia menyatakan bahwa melinjo memiliki kandungan

karbohidrat, protein, vitamin, dan mineral yang cukup tinggi. Adapun kandungan

kimia melinjo (Gnetum gnemon L.) terutama pada daunnya antara lain

mengandung saponin, flavonoida, alkaloid dan tanin. (Hisada, et al., 2005)

mengemukakan melinjo tanaman kaya akan komponen polifenol.

1. Alkaloid

Alkaloid adalah suatu golongan senyawa organik yang terbanyak ditemukan

di alam. Hampir seluruh senyawa alkaloid berasal dari tumbuh - tumbuhan dan

tersebar luas dalam berbagai jenis tumbuhan. Semua alkaloid mengandung paling
sedikit satu atom nitrogen yang biasanya bersifat basa dan dalam sebagian besar

atom nitrogen ini merupakan bagian dari cincin heterosiklik (Lenny, 2006).

Penggolongan alkaloid dilakukan berdasarkan sistem cincinnya, misalnya

piridina, piperidina, indol, isokuinolina, dan tropana. Senyawa ini biasanya

terdapat dalam tumbuhan sebagai garam berbagai senyawa organik dan sering

ditangani di laboratorium sebagai garam dengan asam hidroklorida dan asam

sulfat (Robinson, 1995).

Alkaloid dikenal baik untuk potensi aktivitas farmakologis seperti obat

penghilang sakit, antimalaria dan antispasmotic (Pasaribu, 2008). Pada penelitian

Sumaryanto (2009) alkaloid diekstraksi menggunakan pelarut polar etanol dan

dapat digunakan sebagai antimikroba.

Pelarut atau pereaksi alkaloid biasanya menggunakan kloroform, aseton,

amoniak dan metilena klorida. Pereaksi Mayer (kalium tetraiodomerkurat) paling

banyak untuk mendeteksi alkaloid karena pereaksi ini mengendapkan hampir

semua alkaloid. Pereaksi lain yang sering digunakan seperti pereaksi Wagner

(iodium dalam kalium iodida), asam silikotungstat 5 %, asam tanat 5 %, pereaksi

Dragendorff (kalium tetraiodobismutat), dan iodoplatinat. Kromatografi lapis tipis

merupakan salah satu cara cepat untuk pemisahan alkaloid dengan silika gel

sebagai penjerapnya. Pereaksi yang paling umum digunakan untuk menyemprot

kromatogram adalah pereaksi Dragendorff (Robinson, 1995). Struktur senyawa

kimia alkaloid disajikan pada gambar 2


Gambar 2. Struktur Kimia Alkaloid (Robinson, 1995)

2. Flavonoid

Flavonoid merupakan salah satu golongan fenol alam yang terbesar.

Sebenarnya, flavonoid terdapat dalam semua tumbuhan hijau sehingga pastilah

ditemukan pula pada setiap telaah ekstrak tumbuhan (Markham, 1988 : 1).

Struktur umum senyawa flavonoid disajikan pada gambar 3.

2’ 3’
8 1 1’
O B 4’
7 9
6’ 5’
A C
6 10 3
5 4
O

Gambar 3. Struktur Kimia Flavonoid (Markham, 1988 : 3)

Flavonoid mempunyai sejumlah gugus hidroksil yang tidak tersubstitusi

atau suatu gula flavonoid yang merupakan senyawa polar, sehingga flavonoid

larut dalam pelarut polar seperti etanol, metanol, butanol, aseton dan air. Gula

yang terikat pada flavonoid menyebabkan senyawa tersebut mudah larut dalam

air, maka campuran pelarut polar tersebut merupakan pelarut yang baik untuk

glikosida. Aglikon yang kurang polar seperti isoflavon, flavonon, flavon, serta

flavonol cenderung mudah larut dalam eter dan kloroform (Markham, 1988 : 15).

Identifikasi flavonoid secara sederhana adalah dengan cara menambahkan


serbuk Mg dan dua tetes HCl pekat. Larutan berwarna merah yang terbentuk

menunjukkan flavonol, flavon, dan xanton. Warna kuning menunjukkan isoflavon

(Markham, 1988 : 75).

Identifikasi flavonoid secara KLT dengan fase diam silika gel dapat

digunakan fase gerak seperti n-butanol : asam asetat : air dengan perbandingan

4:1:5 (Markham, 1988 : 18). Identifikasi flavonoid pada sinar tampak setelah

diuapi ammonia kemudian disemprot dengan larutan AlCl3 1% dalam etanol, bila

mengandung flavonoid akan memberikan noda berwarna kuning pucat atau hijau

kuning pada sinar tampak (Harborne, 1996 : 70).

3. Tanin

Tanin merupakan salah satu jenis senyawa yang termasuk ke dalam

golongan polifenol. Senyawa tanin ini banyak di jumpai pada tumbuhan. Tanin

dahulu digunakan untuk menyamakkan kulit hewan karena sifatnya yang dapat

mengikat protein. Selain itu juga tanin dapat mengikat alkaloid dan gelatin. Tanin

secara umum didefinisikan sebagai senyawa polifenol yang memiliki berat

molekul cukup tinggi (lebih dari 1000) dan dapat membentuk kompleks dengan

protein (Harbone, 1996 :102).

Secara kimia terdapat dua jenis tanin. Tanin terkondensasi dan tanin yang

terhidrolisiskan. Tanin terkondensasi atau flavon hampir terdapat di alam semesta

dalam paku-pakuan dan gymnospermae, serta tersebar luas dalam angiospermae,

terutama pada jenis tumbuh-tumbuhan berkayu. Sebaliknya, jenis tanin yang

terhidrolisis penyebarannya terbatas pada tumbuhan berkeping dua. (Harborne,


1996 : 103).

Tanin yang terhidrolisis merupakan ikatan ester antara suatu monosakarida

terutama D-glukosa yang gugus hidroksilnya terikat dengan asam galat, digalat,

trigalat, dan asam heksahidroksidifenat (Manitto, 1981 : 382). Sebagian besar

tumbuhan yang banyak bertanin dihindari oleh hewan pemakan tumbuhan karena

rasanya yang sepat. Salah satu fungsi utama tanin dalam tumbuhan ialah sebagai

penolak hewan pemakan tumbuhan (Harborne, 1996 : 103). Selain itu, digunakan

sebagai antifungi dengan cara menghambat DNA jamur (Robinson, 1995 : 72).

Tanin dari alam mudah dikenali melalui pengenalan gugus fenol,yang dapat

memberikan warna biru kehitaman dengan pereaksi besi (III) klorida. Tanin dapat

mengendapkan larutan gelatin 1% (Anonim, 2011). Tanin dapat larut di dalam air,

alkohol, gliserol, aseton dan sedikit alkalis. Tanin dipisahkan secara kualitatif

dengan KLT menggunakan fase gerak etil asetat : metanol : air (77:15:8) dan fase

diam silika gel GF 254 menggunakan deteksi FeCl 3 10%. Hasil positif jika

menimbulkan noda berwarna biru kehitaman, hijau, atau biru kehijauan (Trease

and Evans, 1978 : 366).

Struktur senyawa kimia tanin disajikan pada gambar 4


Gambar 4. Struktur Kimia Tanin (Anonim, 2011 : 12)

4. Saponin

Saponin adalah senyawa aktif permukaan yang kuat, yang menimbulkan

busa bila dikocok dalam air, beberapa saponin bekerja sebagai antimikroba.

Saponin tertentu menjadi penting karena dapat diperoleh dari beberapa tumbuhan

sebagai bahan baku sintetis hormon steroid yang digunakan dalam bidang

kesehatan (Robinson, 1995 : 157).

Saponin tersebar luas diantaranya dalam tanaman tinggi. Keberadaan

saponin sangat mudah ditandai dengan pembentukan larutan koloidal dengan air

yang apabila dikocok menimbulkan buih dan stabil. Saponin merupakan senyawa

pahit yang menusuk dan menyebabkan bersin dan sering mengakibatkan iritasi

terhadap selaput lendir. Saponin pada konsentrasi yang rendah sering

menyebabkan hemolisis sel darah merah. Dalam larutan yang sangat encer

saponin banyak digunakan sebagai racun ikan (Harborne, 1987 : 151). Struktur

senyawa saponin disajikan pada gambar 5.


Gambar 5. Struktur Kimia Saponin (Harborne, 1987)

2.1.1.4 Manfaat Tanaman

Kulit batang pohon melinjo dapat dijadikan tali untuk jala atau tali panjat.

Kayunya dapat digunakan untuk perkakas dapur, bahkan dapat diproses menjadi

kertas yang kualitasnya baik (Heyne, 1917). Menurut Grevost dalam Susilowati,

(2003) kayu melinjo digunakan juga sebagai bahan bangunan untuk pembuatan

rumah dan papan kayunya dapat dibuat peti kemas. Kulit batangnya banyak

mengandung serat dan dapat dipintal menjadi benang yang kuat. Manfaat lain

tanaman melinjo adalah dapat digunakan sebagai tanaman pelindung disekitar

rumah, tanaman sela dipinggir tegakan hutan atau tanaman penghijauan di tanah-

tanah terbuka dan sebagai tanaman untuk konservasi tanah (Setiawan, 1993).

Selain manfaatnya dalam furnitur, kandungan senyawa kimia dalam melinjo

juga bermanfaat dalam kesehatan. Manfaat yang diperoleh dari daun belinjo

antara lain adalah sebagai peluruh air seni, penyakit mata seperti rabun senja,

sembelit dan busung lapar (Hariana, 2008).

2.1.2 Tinjauan tentang Kolesterol

2.1.1.5 Pengertian Kolesterol


Kolesterol (Yunani : chole = empedu, stereos = padat) adalah zat alamiah

dengan sifat fisik serupa lemak tetapi berumusan steroida, seperti banyak senyawa

alamiah lainnya (Tjay dan Rahardja, 2002 : 536). Kolesterol adalah senyawa

lemak yang lunak seperti malam (wax).Sebagian besar kebutuhan kolesterol tubuh

dibuat oleh hati, tetapi tubuh juga mendapat tambahan kolesterol dari

makanan.Kolesterol merupakan hasil khas metabolisme hewan, dengan demikian

terdapat dalam segala makanan yang berasal dari hewan.Struktur senyawa

kolesterol dapat dilihat pada gambar 2.

Gambar 2. Struktur Kolesterol (Murray dkk, 2003 : 273)

Kolesterol merupakan zat gizi atau komponen lemak kompleks yang

dibutuhkan oleh tubuh sebagaimana zat gizi lain seperti karbohidrat, protein,

vitamin dan mineral. Oleh karena itu, sebagai komponen lemak, kolesterol

menjadi salah satu sumber energi yang memberikan kalori paling tinggi yang juga

merupakan bahan dasar pembentukan hormon steroid (Fikri, 2009 : 11).

Orang dewasa rata-rata membutuhkan 1,1 gram kolesterol untuk kebutuhan

tubuhnya. Dari jumlah itu, 25-40% atau 200-300 mg secara normal berasal dari

makanan dan selebihnya dari endogen (biosintesis) terutama oleh hati kemudian

oleh usus kecil.Kolesterol teksturnya lembut dan berlilin, dengan konsistensi

seperti tetesan lilin panas, warna putih kehijauan, substansi berlemak, merupakan
bagian terbesar yang dibentuk oleh tubuh di hati. Sekitar dua pertiga kolesterol

diproduksi dengan cara ini, menggunakan substansi yang diperoleh dari lemak

pada makanan, sehingga makin banyak lemak yang dimakan, hati makin terpacu

untuk membuat lebih banyak kolesterol (Povey, 2001 : 5).

Resiko penyakit jantung aterosklerosis meningkat bersama peningkatan

konsentrasi Low Density Lipoprotein (LDL), kaitannya berbanding terbalik

dengan kadar High Density Lipoprotein (HDL) yang semakin menurun (Katzung,

2002 : 427). Batasan kadar kolesterol total dapat dilihat pada tabel 1.

Tabel 1. Kadar Kolesterol Total untuk Orang Dewasa

Kolestrol total (mg/dl)


Diinginkan < 200
Perbatasan hingga tinggi 200 – 239
Tinggi ≥ 240
(Katzung, 2002)
Kolesterol dapat larut dalam pelarut organik, misalnya eter, kloroform,

benzene, karbon disulfida, aseton, dan alkohol panas, tetapi tidak larut dalam air,

asam atau basa. Pada kosentrasi tinggi, kolesterol mengkristal dalam bentuk

kristal tak berwarna, tidak berasa, tidak berbau dan memiliki titik lebur 150° -

151°C (Poedjiadi, 1994 : 147-150). Keberadaan kolesterol dalam bahan makanan

dapat diisolasi dengan cara ekstraksi menggunakan pelarut organik. Sedangkan

secara kualitatif menggunakan uji pendahuluan dan kuantitatif dapat diidentifikasi

dengan menggunakan Uji Salkowski atau Uji Liebermann-Burchard (Riawan,

1990 : 309).

2.1.1.6 Macam-macam Kolesterol

Berdasarkan densitas dan ukurannya, terdapat empat jenis kolesterol, mulai

yang paling kecil yaitu kilomikron, Very Low Density Lipoprotein (VLDL), Low
Density Lipoprotein (LDL), dan High Density Lipoprotein (HDL) (Karyadi,

2002).

1. Kilomikron

Kilomikron adalah lipoprotein yang paling besar yang dibentuk dalam usus

dan membawa trigliserida yang berasal dari makanan (Graha, 2010).

2. Very Low Density Lipoprotein (VLDL)

VLDL adalah partikel lipoprotein dengan diameter 40-80 nm dan

mempunyai densitas 0,95-1,006 g/mL. VLDL mengandung 50-65% trigliserida,

8-14% phospholipid, dan 5-10% protein. VLDL disekresi oleh hati dan

menyediakan sarana untuk mengekspor trigliserida ke jaringan perifer.

Dalam susunan kolesterol VLDL memiliki jumlah trigliserida yang

terbanyak dibanding protein dan kolesterol. VLDL ini merupakan kolesterol yang

memiliki sifat seperti kolesterol LDL tetapi kandungan terbesar yang dimilikinya

bukanlah kolesterol tetapi trigliserida, sebagai salah satu jenis lemak yang ada

dalam darah (Graha, 2010).

3. Low Density Lipoprotein (LDL)

Jenis kolesterol ini berbahaya, kolesterol LDL mengangkut kolesterol paling

banyak di dalam darah. Tingginya kadar LDL menyebabkan pengendapan

kolesterol dalam arteri. Kolesterol LDL merupakan faktor resiko utama penyakit

jantung koroner sekaligus target utama dalam pengobatan (Prangdimurti, 2007).

4. High Density Lipoprotein (HDL)


HDL mengandung 25 – 30 % phospholipid, 15 – 20 % kolesterol, 3%

trigliserida, dan 45 – 59 % protein. Dalam susunan kolesterol HDL memiliki

jumlah protein terbanyak dibandingkan trigliserida dan juga kolesterol. Dari

kolesterol yang dibawa oleh LDL, ada kemungkinan terjadi kelebihan kolesterol

yang tidak dipergunakan oleh sistem tubuh. Kelebihan yang dibawa oleh LDL itu,

akan diambil oleh HDL untuk dibawa ke hati untuk selanjutnya diuraikan lalu

dibuang ke kandung empedu (Graha, 2010).

Kolesterol ini tidak berbahaya, kolesterol HDL mengangkut kolesterol lebih

sedikit dari LDL dan membuang kelebihan kolesterol jahat di pembuluh drah

arteri kembali ke hati, untuk di proses dan dibuang. HDL mencegah kolesterol

mengendap di arteri dan melindungi pembuluh darah dari proses aterosklerosis

(terbentuknya plak pada dinding pembuluh darah) (Prangdimurti, 2007).

2.1.1.7 Manfaat Kolesterol Dalam Tubuh

Sebagai bahan dasar sel-sel, jaringan-jaringan maupun organ-organ tubuh,

kolesterol merupakan zat penting tubuh :

1. Pembentukan dinding sel tubuh

Kolesterol dibutuhkan sebagai salah satu komponen pembentuk dinding-

dinding sel pada tubuh.Dinding-dinding sel itulah yang membentuk tubuh dengan

baik.Sel-sel saraf terdiri atas kolesterol, sel-sel di otak terdiri pula atas

kolesterol.Seluruh bagian sel-sel yang ada ditubuh memerlukan kolesterol.

2. Pembentuk Hormon-hormon

Hormon adalah zat aktif yang dihasilkan oleh tubuh, dalam hal ini oleh

kelenjar endokrin. Hormon yang dihasilkan itu akan masuk ke peredaran darah,
kemudian mempengaruhi jaringan dan juga aktivitas organ-organ lain didalam

tubuh. Kolesterol merupakan bahan penting yang dibutuhkan oleh tubuh sebagai

bahan dasar pembentuk hormon seperti testosteron, esterogen, dan progesteron.

3. Pembentukan Vitamin D

Kolesterol merupakan perkusor vitamin D. Kolesterol diubah menjadi

kolekalsiferol yaitu bentuk aktif vitamin D. Vitamin D dibutuhkan untuk

kesehatan tulang dan mengontrol kadar kalsium di dalam darah (Syahrullah dkk,

2013).

4. Sumber Energi

Sebagai salah satu senyawa lemak, maka kolesterol itu merupakan salah

satu sumber energi yang memberikan kalori yang sangat tinggi bagi tubuh.Kalori

dibutuhkan oleh tubuh untuk bergerak dan beraktivitas (Graha, 2010).

2.1.1.8 Bahaya Kolesterol Dalam Tubuh

Kolesterol yang berlebih di dalam tubuh akan menimbulkan masalah

kesehatan. Beberapa bahaya kolesterol adalah sebagai berikut :

1. Penyakit jantung koroner

Peningkatan kolesterol plasma merupakan faktor risiko penting untuk

berkembangnya penyakit jantung koroner. Kadar kolesterol total dapat

meningkatkan risiko empat kali lipat. Kadar kolesterol dapat mengendap di dalam

pembuluh arteri yang dapat menyebabkan areterosklerosis (Zahrawardani, dkk.,

2013 : 19).
2. Tekanan darah tinggi (hipertensi)

Kadar kolesterol pada penerita hipertensi lebih tinggi daripada orang sehat.

Kadar kolesterol total merupakan faktor risiko terjdinya hipetensi sebesar 2,09

kali dari kolesterol normal. Hal ini diawali dari pembentukan arterosklerosis pada

pembuluh darah akibat terbentuknya gel busa. Kemudian membentuk bercak

perlemakan yang dapat menghambat aliran darah (Feryadi, dkk., 2014 : 209).

3. Stroke

Hiperkolesterol menyebabkan dan memperburuk arterosklerosis. Akibatnya

terjadi penebalan dan kerusakan dinding pembuluh darah secara berangsur-angsur

dan mempercepat kemungkinan munculnya stroke (Herliana dan Sitanggang,

2009 : 23)

4. Diabetes mellitus

Pasien dengan diabetes mellitus sering memiliki level kolesterol tidak sehat

termasuk di dalamnya kadar kolesterol LDL dan trigliserida yang tinggi serta

kadar kolesterol HDL yang rendah. Kelainan lipid dapat berhubungan dengan

resistensi insulin (Yuliani, dkk., 2014 : 39).

5. Gangguan ginjal

Kadar LDL yang tinggi serta HDL yang rendah menyebabkan peningkatan

kreatinin > 1,5 mg/dL dan penurunan kliren kreatinin sampai < 55 mL/min.
Penderita hiperkolesterol dengan rasio LDL/HDL > 4,4, terjadi penurunan fungsi

ginjal 20% lebih tinggi dibanding pada subyek dengan rasio 3,2. Hal ini terjadi

karena penyempitan pembuluh darah di ginjal akibat penumpukan kolesterol

sehingga kerja ginjal menjadi lebih keras (Herliana dan Sitanggang, 2009 : 13).

2.1.1.9 Metode Pengukuran Kolesterol

1. Metode Lieberman – Burchard

Pada metode ini, kolesterol total berupa kolesterol bebas dan ester kolesterol

diekstrasi. Jumlah kolesterol ditentukan secara kolorimetris dengan menerapkan

reaksi Lieberman – Burchard dan dibandingkan dengan larutan standar kolesterol

yang diketahui. Reaksi Lieberman – Burchard merupakan dasar penentuan

fotometri kolesterol. Cuplikan kolesterol dilarutkan dalam kloroform direaksi

dengan asam asetat anhidrat dan sedikit asam sulfat pekat akan terjadi pewarnaan

yang khas untuk sterol tunggal. Pada reaksi ini larutan akan berubah warna

dengan segera menjadi merah dengan cepat akan menjadi biru-violet

(kolekalsiterol kolesterol) dan untuk selanjutnya akan menjadi hijau

(ergokalsiferol) (Schunack dkk., 1990).

2. Metode Gravimetri

Penentuan kolesterol dengan metode gravimetri didasarkan pada prinsip

pengendapan kolesterol.Kolesterol diendapkan dengan senyawa digitonin.Sampel

darah dicampurkan dengan digitonin kemudian pelarut diuapkan dan endapan

disaring kemudian ditimbang sampai bobot konstan.Metode ini memiliki

kelemahan yaitu harga digitonin yang cukup mahal (Schunack dkk, 1990).
3. Metode Enzimatik

Metode penetapan ini berdasarkan pembentukan hidrogen peroksida

sebagai hasil reaksi oksidasi kolesterol bebas dengan adanya enzim kolesterol

oksidase. Hidrogen peroksida yang terbentuk kemudian ditetapkan dengan cara

kolorimetri (Inawati dkk, 2006).

4. Metode Fast Protein Liquid Chromatografi(FPLC)

FPLC merupakan metode pemurnian protein dengan prinsip kromatografi.

Pemisahan didasarkan atas kekuatan ikatan sampel dengan fase gerak atau fase

diam. Fase gerak pada FPLC adalah larutan buffer sedangkan fase diamnya adalah

resin yang cross-linked dengan agarosa (Schunack dkk, 1990).

2.1.3 Tinjauan Tentang Ekstraksi

Ekstraksi merupakan kegiatan penarikan kandungan kimia yang dapat larut

sehingga terpisah dari bahan yang tidak dapat larut dengan pelarut cair (Depkes

RI, 2000 : 1). Tujuan dari ekstraksi adalah untuk pemurnian, pemekatan atau

pemisahan untuk tujuan analitik. Pemilihan ekstraksi tergantung dari bahan

tanaman yang akan diekstraksi (Depkes RI, 2000 : 10).

Ekstrak adalah sediaan kental yang diperoleh dengan mengekstraksi

senyawa aktif dari simplisia nabati atau simplisia hewani menggunakan pelarut

yang sesuai, kemudian semua atau hampir semua pelarut di uapkan kemudian

massa atau serbuk yang tersisa diperlakukan sedemikian hingga memenuhi baku

yang telah di tetapkan (Depkes RI, 2000 : 5).


Ekstrak yang dihasilkan dapat berupa kering (serbuk), kental dan cair.

Pembuatan ekstrak dimaksudkan agar zat berkhasiat dalam simplisia mempunyai

kadar yang tinggi. Tujuan ekstraksi adalah pemurnian, pemekatan atau pemisahan

untuk tujuan analitik (Harbone,1996 : 20).

Metode ekstraksi dapat dilakukan dengan 2 cara, yaitu yang pertama metode

ekstraksi cara dingin yang terdiri dari : maserasi dan perkolasi. Keuntungan dari

metode ekstraksi cara dingin adalah alat yang digunakan sederhana untuk proses

ekstraksi dan senyawa yang tidak stabil terhadap panas tidak akan rusak.

Kelemahan dari metode ekstraksi cara dingin adalah proses ekstraksi

membutuhkan waktu yang lama dan butuh penyari dengan volume yang cukup

banyak untuk proses ekstraksi. Metode yang kedua yaitu metode ekstraksi cara

panas yang terdiri dari : digesti, refluks, infusa, destilasi dan soxhletasi.

Keuntungan dari metode ekstraksi cara panas ini adalah proses ekstraksi tidak

membutuhkan waktu yang lama dan penyari yang digunakan relatif sedikit.

Sedangkan kelemahan dari ekstraksi cara panas adalah membutuhkan alat yang

rumit untuk proses ekstraksi dan senyawa yang tidak stabil terhadap panas akan

rusak (Handa, 2008 : 22).

1. Ekstraksi Dengan Cara Maserasi

Maserasi adalah proses pengekstrakan simplisia dengan menggunakan

pelarut dengan beberapa kali pengocokan atau pengadukan pada temperatur

ruangan (kamar). Cairan penyari akan menembus dinding sel dan masuk ke dalam

rongga sel yang mengandung zat aktif yang akan larut, karena adanya perbedaan

konsentrasi antara larutan zat aktif di dalam sel dan di luar sel maka larutan

terpekat didesak keluar (Depkes RI, 1986).


2. Ekstraksi Dengan Cara Perkolasi

Perkolasi adalah cara penyarian yang dilakukan dengan mengalirkan cairan

penyari melalui serbuk simplisia yang telah dibasahi (Departemen Kesehatan RI,

1986:16). Tahap perkolasi sebenarnya (penetesan / penampungan ekstrak), terus

menerus sampai diperoleh ekstrak (perkolat) yang jumlahnya 1-5 kali

bahan (DepkesRI,2000:11).

3. Ekstraksi Dengan Cara Refluks

Refluks adalah ekstraksi dengan pelarut pada temperatur titik didihnya

selama waktu tertentu dan jumlah pelarut terbatas yang relatif konstan dengan

adanya pendingin balik. Umumnya dilakukan pengulangan proses pada residu

pertama sampai 3-5 kali sehingga dapat termasuk proses ekstraksi sempurna

(Depkes RI,2000: 11).

4. Ekstraksi Dengan Cara Soxhlet

Soxhlet adalah ekstraksi menggunakan pelarut yang selalu baru yang

umumnya dilakukan dengan alat khusus sehingga terjadi ekstraksi kontinyu

dengan jumlah pelarut relatif konstan dengan adanya pendingin balik

(Departemen Kesehatan RI , 2000:11). Uap cairan penyari naik keatas melalui

pipa samping, kemudian diembunkan kembali oleh pendingin tegak. Cairan turun

kelabu melalui tabung yang berisi serbuk simplisia. Cairan penyari sambil turun

melarutkan zat aktif serbuk simplisia. Setelah cairan mencapai permukaan sifon,

seluruh cairan akan kembali akan kembali kelabu. Cara ini lebih menguntungkan

karena uap panas tidak melalui serbuk simplisia, tetapi melalui pipa samping

(Departemen Kesehatan RI, 1986: 26).


5. Ekstraksi Dengan Cara Digesti

Digesti adalah maserasi kinetik (dengan pengadukan kontinyu) pada

temperatur yang lebih tinggi dari temperatur ruangan (kamar), yaitu secara umum

dilakukan pada temperatur 40 - 50oC (Departemen Kesehatan RI,2000:11). Cara ini

hanya dapat dilakukan untuk simplisia yang zat aktifnya tahan terhadap

pemanasan (Departemen KesehatanRI,1986:12).

6. Ekstraksi Dengan Cara Infusa

Infusa adalah ekstraksi dengan pelarut cair pada temperatur penangas air

(bejana infus tercelup dalam penangas cair mendidih, temperatur terukur 96-98o C

selama 15-20 menit (Departemen Kesehatan RI, 2000:11). Penyarian dengan cara

ini menghasilkan sari yang tidak stabil dan mudah tercemar oleh kuman dan

kapang. Oleh sebab itu sari yang diperoleh dengan cara ini tidak boleh disimpan

lebih dari 24 jam (Departemen Kesehatan RI, 1986:8).

7. Ekstraksi Dengan Cara Dekok

Dekok adalah infus pada waktu yang lebih lama (30 menit) dan temperatur

sampai titik didih air (100oC) (Departemen Kesehatan RI, 2000: 11).

8. Ekstraksi Dengan Cara Distilasi Uap

Distilasi uap didefinisikan sebagai proses pemisahan komponen-komponen

suatu campuran yang terdiri atas dua cairan atau lebih berdasarkan perbedaan

tekanan uap, atau berdasarkan perbedaan titik didih komponen-komponen

senyawa tersebut (Sastrohamidjodo, 2004:3). Distilasi uap biasanya digunakan

untuk menyari senyawa kandungan menguap seperti minyak atsiridarisimplisia

dengan uap air.


Metode ekstraksi dipilih berdasarkan beberapa faktor seperti sifat bahan

mentah obat, daya penyesuian dengan tiap macam metode ekstraksi dan

kepentingan dalam memperoleh ekstrak yang sempurna dan mendekati sempurna

(Ansel, 2005 : 607). Metode ekstraksi yang digunakan dalam penelitian ini adalah

metode maserasi cara cepat. Bahan obat mentah yang berasal dari tumbuh-

tumbuhan atau hewan tidak perlu diproses lebih lanjut kecuali dikumpulkan atau

dikeringkan. Tiap-tiap bahan mentah disebut ekstrak, tidak mengandung hanya

satu unsur saja tetapi berbagai macam unsur, tergantung pada obat yang

digunakan dan kondisi ekstraksi (Ansel, 2005 : 605).

2.1.1.10 Metode Maserasi

Maserasi adalah cara ekstraksi yang paling sederhana. Bahan simplisia yang

dihaluskan sesuai dengan syarat – syarat farmakope (umumnya terpotong –

potong atau berupa serbuk kasar) disatukan dengan bahan pengekstrasi.

Selanjutnya rendaman tersebut disimpan terlindung dari cahaya (mencegah reaksi

yang dikatalisis cahaya atau perubahan warna) dan diaduk kembali. Waktu

maserasi pada umumnya 5 hari, karena biasanya setelah waktu tersebut,

keseimbangan antara bahan yang diekstraksi pada bagian dalam sel dengan yang

masuk dalam cairan telah tercapai. Keadaan diam selama maserasi menyebabkan

turunnya perpindahan bahan aktif. Untuk mencegahnya, dapat dilakukan dengan

pengadukan, yang bertujuan agar keseimbangan konsentrasi bahan dalam cairan

cepat tercapai (Voigt, 1994 : 566).

Maserasi digunakan untuk penyarian simplisia yang mengandung zat aktif

yang mudah larut dalam cairan penyari, tidak mengandung zat yang mudah
mengembang dalam cairan penyari, tidaklah mengandung benzoin, stirak dan lain-

lain.

Cairan penyari yang digunakan dapat berupa air, etanol, air etanol atau

pelarut lain. Bila cairan penyari digunakan air maka untuk mencegah timbulnya

kapang, dapat ditambahkan bahan pengawet, yang diberikan pada awal penyarian.

Keuntungan cara penyarian dengan maserasi adalah cara pengerjaan dan

peralatan yang digunakan sederhana dan mudah diusahakan. Sedangkan kerugian

cara maserasi adalah pengerjannya lama dan penyariannya kurang sempurna

(Depkes RI, 1986 : 10).

2.1.1.11 Remaserasi

Serbuk simplisia dimaserasikan dua kali dengan bahan pelarut yang sama,

artinya mula – mula dengan setengah bagian, kemudian dengan sisanya. Serbuk

simplisia mula – mula ditarik dengan sedikit bagian bahan pelarut (20%) dan

akhirnya ditarik dengan sisanya (Voigt, 1994 : 567).

2.1.4 Tinjauan Tentang Fraksinasi

Fraksinasi cair-cair merupakan proses pemisahan di mana suatu zat terbagi

dalam dua pelarut yang tidak bercampur. Koefisien distribusi (KD) atau koefisien

partisi yang merupakan tetapan keseimbangan yang merupakan kelarutan relatif

dari suatu senyawa terlarut dalam dua pelarut yang tidak bercampur. C1 dan C2

adalah kadar senyawa terlarut dalam pelarut 1 dan pelarut 2, dengan rumus

sebagai berikut :

KD = C2/C1
Pelarut pertama yang sering digunakan adalah air sedangkan sebagai pelarut

kedua adalah pelarut organik yang tidak bercampur dengan air. Dengan demikian

ion anorganik atau senyawa organik polar sebagian besar akan terdapat dalam fasa

air, sedangkan senyawa organik nonpolar sebagian besar terdapat dalam fasa

organik. Hal ini yang disebut “like disolves like” yang berarti bahwa senyawa

polar akan mudah larut dalam pelarut polar, dan senyawa nonpolar mudah larut

dalam senyawa nonpolar (Sudjadi, 1988 : 50).

2.1.5 Tinjauan Tentang Cairan Penyari

Cairan pelarut adalah pelarut yang baik atau optimal untuk senyawa

kandungan yang berkhasiat atau yang aktif. Dengan demikian senyawa tersebut

dapat terpisahkan dari bahan dan dari senyawa kandungan lainnya, serta ekstrak

hanya mengandung sebagian besar senyawa kandungan yang diinginkan. Dalam

hal ekstrak total, maka cairan pelarut dipilih yang melarutkan hampir semua

metabolit sekunder yang terkandung (Depkes RI, 2000:9).

Faktor utama untuk pertimbangan pada pemilihan cairan penyari adalah

sebagai berikut : selektivitas, kemudahan bekerja dan proses dengan cairan

tersebut, ekonomis, ramah lingkungan dan keamanan.

Sampai saat ini berlaku aturan bahwa pelarut yang diperbolehkan adalah air

dan alkohol (etanol) serta campurannya. Jenis pelarut lain seperti metanol,

heksana, toluen, kloroform, aseton, umumnya digunakan sebagai pelarut untuk

tahap separasi dan tahap pemurnian (fraksinasi). Khusus metanol, dihindari

penggunaannya karena sifatnya yang toksik akut dan kronik, namun demikian jika
dalam uji ada sisa pelarut dalam ekstrak menunjukkan negatif, maka metanol

sebenarnya pelarut yang lebih baik dari etanol (Depkes RI, 2000 : 9).

Cairan pelarut dapat dikelompokkan ke dalam deret eluotropik berdasarkan

polaritasnya. Deret eluotropik dapat dilihat pada tabel 3.

Tabel 3. Indeks Polaritas Pelarut

Pelarut Indeks Polaritas


Heksan (C6H14) 0
Toluen (C7H8) 2,4
Dietil Eter (C4H10O) 2,8
Diklormetan (CH2Cl2) 3,1
Butanol (C4H9OH) 3,9
Kloroform (CHCl3) 4,1
Etil Asetat (C2H5COOCH3) 4,4
Aseton (CH3COCH3) 5,1
Metanol (CH3OH) 5,1
Etanol (C2H5OH) 5,2
Asetonitril (CH3CN) 5,8
Asam asetat (CH3COOH) 6,2
Air (H2O) 9,0
(Watson, 2009 : 372)

2.1.6 Tinjauan Tentang Kromatografi

2.1.1.12 Kromatografi Lapis Tipis (KLT)

Prinsip dari kromatografi lapis tipis adalah suatu analit bergerak naik atau

melintasi fase diam (paling umum digunakan adalah gel silika), dibawah pengaruh

fase gerak (biasanya campuran pelarut organik), yang bergerak melalui fase diam

oleh kerja kapiler. Jarak pemindahan oleh analit tersebut ditentukan oleh afinitas

relatifnya untuk fase diam dibanding fase gerak (Watson, 2009 : 369).

Kromatografi lapis tipis (KLT) merupakan bentuk kromatografi planar,

selain kromatografi kertas dan elektroforesis. Berbeda dengan kromatografi

kolom yang mana fase diamnya diisikan atau dikemas didalamnya, pada

kromatografi lapis tipis, fase diamnya berupa lapisan yang seragam (uniform)
pada permukaan bidang datar yang didukung oleh lempeng kaca, plat alumunium,

atau plat plastik (Rohman dan Gandjar, 2007 : 353).

Fase diam yang sering digunakan pada KLT adalah silika dan serbuk

selulosa, mekanisme perpindahan solute dari fase diam ke fase gerak atau

sebaliknya adalah partisi dan adsorbsi. Beberapa prosedur kromatografi, terutama

pemisahan yang menggunakan larutan pengembang anhidrat, menyaratkan adanya

kontrol kandungan air dalam silika antara 11-12% (Rohman, 2009 : 46).

Fase gerak pada KLT dapat dipilih dari pustaka, tetapi lebih sering dengan

mencoba-coba karena waktu yang diperlukan hanya sebentar. Sistem yang paling

sederhana dalam fase gerak kromatografi lapis tipis adalah campuran dua pelarut

organik karena daya elusi campuran kedua pelarut ini mudah diatur sedemikian

rupa, sehingga pemisahan dapat terjadi secara optimal. Beberapa petunjuk dalam

memilih dan mengoptimalkan fase gerak adalah sebagai berikut :

1. Fase gerak harus mempunyai kemurnian yang sangat tinggi karena

kromatografi lapis tipis merupakan teknik yang sensitif.

2. Daya elusi fase gerak harus diatur sedemikian rupa sehingga harga Rf terletak

antara 0,2-0,8 untuk memaksimalkan pemisahan.

3. Pemisahan menggunakan fase diam polar seperti silika gel, polaritas fase

gerak akan menentukan migrasi solute dan nilai Rf. Penambahan pelarut yang

sedikit polar kedalam pelarut non polar akan meningkatkan harga Rf secara

signifikan.
4. Solute-solute ionic dan solute-solute polar lebih baik digunakan campuran

pelarut sebagai fase geraknya, seperti campuran air dan metanol dengan

perbandingan tertentu (Rohman dan Gandjar, 2007 : 360).

Deteksi senyawa yang dipisahkan dilakukan dengan membandingkan harga

Rf (Retardation factor) sampel dengan baku senyawa murni. Nilai Rf merupakan

jarak pengembangan senyawa pada kromatogram.

Jarak yang ditempuh senyawa pelarut


Rf =
Jarak yang ditempuh pelarut
Bercak pemisahan pada KLT umumnya merupakan bercak yang tidak

berwarna. Untuk penentuanya dapat dilakukan secara kimia, yaitu dengan

mereaksikan bercak dengan suatu pereaksi melalui cara penyemprotan, sehingga

bercak menjadi jelas (Rohman, 2009 : 52). Untuk penentuannnya dapat dilakukan

secara kimia, fisika maupun biologi. Cara kimia yaitu dengan mereaksikan bercak

dengan suatu pereaksi melalui cara penyemprotan sehingga bercak menjadi jelas.

Cara fisika dengan pencacahan radioaktif dan flueoresensi sinar ultraviolet.

Lampu ultraviolet yang dipakai yaitu lampu ultraviolet dengan panjang

gelombang emisi 254 nm atau 366 nm (Rohman dan Gandjar, 2007 : 362).

2.1.7 Tinjauan Spektrofotometri UV-Vis

Spektroskopi adalah alat analisis yang menggunakan radiasi sebagai sumber

energi. Sinar atau radiasi merupakan gelombang yang mempunyai energi

berbanding terbalik dengan panjang gelombang (Sitorus, 2009 : 1).


Spektrum serapan kandungan senyawa tumbuhan dapat diukur dalam

larutan yang sangat encer dengan pembanding blanko pelarut. Sinar ultraviolet

mempunyai panjang gelombang antara 200-400 nm, sedangkan sinar visibel

mempunyai panjang gelombang antara 400-750 nm (Rohman dan Gandjar, 2007 :

222).

Prinsip spektrofotometri UV-Vis adalah radiasi pada rentang panjang

gelombang 200-700 nm dilewatkan melalui suatu larutan senyawa. Elektron-

elektron pada ikatan di dalam molekul menjadi tereksitasi, sehingga menempati

keadaan kuantum yang lebih tinggi dan dalam proses menyerap sejumlah energi

yang melewati larutan tersebut. Semakin longgar elektron tersebut ditahan di

dalam ikatan molekul, semakin panjang panjang gelombang (energi lebih rendah)

radiasi yang diserap (Watson, 2009 : 105).

Ada beberapa hal yang harus diperhatikan dalam analisis dengan

spektrofotometri UV-Vis terutama untuk senyawa yang semula tidak berwarna

yang akan dianalisis dengan spektrofotometri visibel karena senyawa tersebut

harus diubah terlebih dahulu menjadi senyawa yang berwarna.

Berikut adalah tahapan-tahapan yang harus diperhatikan :

1. Pembentukan molekul yang dapat menyerap sinar UV-Vis

Hal ini perlu diperhatikan jika senyawa yang dianalisis tidak menyerap

pada daerah tersebut. Cara yang digunakan adalah dengan merubah menjadi

senyawa lain atau direaksikan dengan pereaksi tertentu. Pereaksi yang digunakan

harus memenuhi beberapa persyaratan yaitu :

a. Reaksi selektif dan sensitif

b. Reaksinya cepat, kuantitatif dan reprodusibel (ajeg)


c. Hasil reaksi stabil dalam jangka waktu yang lama

Keselektifan dapat dinaikan dengan mengatur pH, pemakaian masking

agent atau penggunaan teknik ekstraksi (Rohman dan Ganjar, 2012 : 105)

2. Waktu operasional (Operating time)

Cara ini biasa digunakan untuk pengukuran hasil reaksi atau pembentukan

warna.Tujuannya adalah untuk mengetahui waktu pengukuran yang stabil. Waktu

yang operasional ditentukan dengan mengukur hubungan antara waktu

pengukuran dengan absorbsi larutan (Rohman dan Ganjar, 2012 : 107).

3. Pemilihan panjang gelombang

Panjang gelombang yang digunakan untuk analisis kuantitatif adalah

panjang gelombang yang mempunyai absorbsi maksimal. Pada penentuan panjang

gelombang maksimum didasar atas perhitungan pergeseran panjang gelombang

maksimum karena adanya penambahan gugus pada sistem kromofor induk (Mulja

dan Suharman, 1995).

4. Pembuatan kurva baku

Seri larutan baku dibuat dari zat yang akan dianalisis dengan berbagai

konsentrasi. Masing-masing absorbansi larutan dengan berbagai konsentrasi

diukur, kemudian dibuat kurva yang merupakan hubungan antara absorbsi dengan

konsentrasi. Bila hubungan Lambert-Beer terpenuhi maka kurva baku berupa

garis lurus (Rohman dan Ganjar, 2007 : 256).

5. Pembacaan absorbansi sampel atau cuplikan


Absorban yang terbaca pada spektrofotometer hendaknya antara 0,2-0,8

atau 15-70% jika dibaca sebagai transmitan. Ini berdasarkan anggapan bahwa

kesalahan dalam pembacaan adalah 0,005 atau 0,5% (kesalahan fotometrik)

(Rohman dan Ganjar, 2007 : 252-256).

2.1.1.13 Instrumen Spektrofotometri UV-Vis

Instrumen yang digunakan untuk mempelajari serapan atau emisi radiasi

elektromagnetik sebagai fungsi dari panjang gelombang disebut spektrometer atau

spektrofotometer.

Sumber Monokromator Sampel Detektor

Bagian Listrik
Penguat

Pembaca

Gambar 5. Komponen dalam Spektrofotometer


(Underwood dan Day, 2002 : 397)

Komponen-komponen dalam spektrofotometer adalah:

1. Sumber energi radiasi

Sumber energi radiasi yang biasa untuk daerah tampak (dari) spektrum itu

maupun daerah ultraviolet dekat adalah sebuah lampu pijar dengan kawat rambut

terbuat dari wolfram (Underwood dan Day, 2002 : 397).

2. Monokromator
Ini adalah piranti optis untuk mengisolasi suatu berkas radiasi dari suatu

sumber berkesinambungan, berkas mana mempunyai kemurnian spektral yang

tinggi dengan panjang gelombang apa saja yang diinginkan.

3. Sampel

Kebanyakan spektrofotometri melibatkan larutandan karenanya kebanyakan

wadah sampel adalah sel untuk menaruh cairan ke dalam berkas cahaya

spektrofotometer. Sel itu haruslah meneruskan energi radiasi dalam daerah

spektral yang diminati.

4. Detektor

Merupakan salah satu bagian dari spektrofotometer UV-Vis yang berfungsi

mengubah sinyal radiasi yang diterima menjadi sinyal elektronik (Underwood dan

Day, 2002).

5. Penguat (Amplifier)

Berfungsi untuk memperbesar arus yang dihasilkan oleh detektor agar dapat

dibaca oleh indikator. Indikator yang biasa digunakan dalam analisis

spektrofotometer UV-Vis dapat berupa recorder ataupun komputer.

6. Pembaca (Read Out)

Merupakan suatu sistem baca yang menangkap besarnya isyarat listrik yang

berasal dari detektor.

2.2 Hipotesis

Hipotesis dalam penelitian ini adalah :


1. Ada pengaruh ekstrak etanol, fraksi etil asetat, dan air daun melinjo (Gnetum

gnemon L.) terhadap penurunan kadar kolesterol secara in vitro.

2. Terdapat konsentrasi maksimal dari ekstrak etanol, fraksi etil asetat, dan air

daun melinjo (Gnetum gnemon L.) yang dapat menurunkan kada kolesterol

secara in vitro

3. Ada perbedaan aktivitas penurunan kadar kolesterol dari ekstrak etanol, fraksi

etil asetat, dan air daun melinjo (Gnetum gnemon L.) secara in vitro.
BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Obyek Penelitian

Objek yang digunakan dalam penelitian ini adalah pengujian ekstrak etanol,

fraksi etil asetat, dan air daun melinjo (Gnetum gnemon L.) terhadap penurunan

kadar kolesterol secara in vitro.

3.2 Sampel dan Teknik Sampling

3.2.1 Sampel

Sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah daun melinjo (Gnetum

gnemon L.) yang diperoleh dari daerah Gunungpati, Semarang.

3.2.2 Teknik Sampling

Teknik sampling yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik acak

sederhana atau simple random sampling, setiap anggota populasi mempunyai

peluang yang sama.

3.3 Variabel Penelitian

Variabel penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Variabel bebas

Konsentrasi ekstrak etanol, fraksi etil asetat, dan air daun melinjo (Gnetum

gnemon L.) yaitu 50, 100, 150, 200, dan 250 ppm.
2. Variabel terikat

Aktivitas penurunan kadar kolesterol oleh ekstrak etanol, fraksi etil asetat,

air daun melinjo (Gnetum gnemon L.) secara in vitro

3. Variabel terkontrol

a. Konsentrasi kolesterol 320 ppm.

b. Metode ekstraksi adalah remaserasi.

c. Pelarut yang digunakan untuk ekstraksi adalah etanol 70%.

d. Metode penurunan kolesterol Liebermann-Burchard.

3.4 Alat dan Bahan

3.4.1 Alat yang Digunakan

Spektrofotometer UV-Vis double beam (Shimadzu UV-Vis 1700 series),

neraca analitik (Santorius 2402), rotary vacum evaporator, alat-alat gelas (iwaki

pirex), waterbath, ayakan 30/40, tabung reaksi, pipa kapiler, plat tetes, chamber,

lempeng Silika Gel GF 254, lampu UV 254 nm, kuvet, filler, vortex, stopwatch).

3.4.2 Bahan yang Digunakan

1. Simplisia daun melinjo (Gnetum gnemon L.).

2. Reagen pada uji kualitatif :

Larutan FeCl3, larutan gelatin, pereaksi dragendroff, larutan meyer, pereaksi

Tollens, asam klorida 2N, Etanol 70%, asam klorida 2N, asam klorida pekat,

serbuk magnesium, eter, silika gel GF 254, kertas saring, eluen n-butanol,

asam asetat glasial, ammoniak pekat, toluene, etil asetat,

3. Reagen pada penurunan kolesterol :

Asam asetat anhidrat, asam sulfat pekat, kloroform.


3.5 Prosedur Kerja

3.5.1 Determinasi Tanaman Melinjo

Tujuan dilakukannya determinasi adalah untuk memperoleh kepastian

bahwa tanaman yang digunakan dalam penelitian merupakan tanaman yang

dimaksud sehingga dapat meminimalisir kesalahan dan pengumpulan bahan

penelitian. Identifikasi dan determinasi tanaman melinjo (Gnetum gnemon L.)

dilakukan di Laboratorium Biologi Farmasi Sekolah Tinggi Ilmu Farmasi

“Yayasan Pharmasi” Semarang.

3.5.2 Penyiapan Simplisia

Daun melinjo (Gnetum gnemon L.) yang digunakan yaitu daun yang

berwarna hijau sampai hijau tua, yang diperoleh dari daerah Gunungpati,

Semarang. Daun melinjo tersebut dicuci bersih dan dibuang tangkainya, kemudian

dikeringkan di bawah sinar matahari secara tidak langsung dengan ditutup dengan

kain hitam. Daun yang sudah kering kemudian diserbuk dan diayak dengan

ayakan No. 30/40 mesh.

3.5.3 Pembuatan Ekstrak Daun Melinjo (Gnetum gnemon L.)

Simplisia daun melinjo (Gnetum gnemon L.) yang sudah diayak ditimbang

kurang lebih 50 gram, kemudian dimasukkan dalam bejana tertutup, lalu

ditambahkan 500 mL etanol 70% sebagai cairan penyari hingga simplisia

terendam seluruhnya. Penyarian dilakukan dengan metode remaserasi selama 3 x

24 jam pada suhu ruang. Maserat yang diperoleh dikumpulkan dalam satu wadah.

Proses pemekatan dilakukan menggunakan rotary vacum evaporator. (Depkes RI,

1986:33).
3.5.4 Fraksinasi Ekstrak Daun Melinjo

Ekstrak etanol kental sebanyak 10,0 gram difraksinasi dengan pelaut

n-heksan dan air dengan perbandingan 1:1 (100 mL: 100 mL) di dalam corong

pisah, kemudian dikocok lalu didiamkan hingga memisah menjadi dua fase yaitu

fraksi air dan fraksi n-heksana. Penambahan pelarut n-heksan diulang hingga tiga

kali hingga tersari sempurna. Fase n-heksana dipisahkan dari fraksi air

difraksinasi kembali menggunakan pelarut etil asetat dengan perbandingan 1:1

(100 mL: 100 mL), fraksinasi dengan pelarut etil asetat dilakukan tiga kali dan

dipisahkan hingga memisah. Masing-masing pelarut yang telah terkumpul

dikentalkan menggunakan water bath, sehingga diperoleh fraksi kental, yaitu

fraksi n-heksana, fraksi etil asetat, dan fraksi air.

3.5.5 Uji Skrining Fitokimia

1. Polifenol

Sampel sebanyak 1 ml ditambah dengan campuran kalium heksasianoferat

dan FeCl3 5%. Adanya polifenol ditandai dengan terbentuknya warna biru sampai

hitam (Depkes RI, 1986).

2. Flavonoid

Sampel ditambahkan etanol 2 mL ditambahkan dengan sedikit serbuk Mg

dan 1 mL HCl pekat, selanjutnya ditambah amyl alkohol, kocok dengan kuat dan

biarkan hingga memisah. Terbentuknya warna merah, kuning atau coklat dalam

senyawa amyl alkohol menunjukkan adanya flavonoid (Robinson, 1995 : 207).

3. Saponin

Sejumlah serbuk dan ekstrak etanol larutan ekstrak etanol dimasukkan ke

dalam tabung reaksi. Ditambah air panas, didinginkan kemudian dikocok kuat-
kuat selama 10 detik. Terbentuknya buih yang mantap setinggi 1-10 cm, tidak

kurang dari 10 menit dan tidak hilang dengan penambahan asam klorida 2 N

menunjukkan adanya saponin (Depkes RI, 1989).

4. Tanin

Sampel serbuk dan ekstrak etanol masing-masing ditambahkan 10 mL

aquadest, dipanaskan selama 15 menit, didinginkan kemudian disaring. Filtrat

sebanyak 2 ml ditambah 2-3 tetes larutan FeCl3 10%, positif mengandung tanin

apabia berwarna hijau kehitaman atau biru tua (Depkes RI, 1986).

5. Alkaloid

Sampel serbuk dan ekstrak etanol ditambahkan aquadest dan larutan HCl

2N kemudian dipanaskan di atas penangas air selama 2 menit, didinginkan dan

disaring. Filtrat yang diperoleh dibagi 2, filtrat I ditambah pereaksi Dragendorf

dan filtrat II ditambah pereaksi Meyer (Depkes RI, 1995) positif mengandung

alkaloid apabila berwarna merah kuning atau jingga dengan pereaksi dragendroff

dan endapan putih dengan pereaksi Mayer (Depkes RI, 1986 : 166).

6. Terpenoid

Sampel serbuk dan ekstrak etanol masing-masing ditambahkan 1 ml asam

asetat glasial dan 1 ml asam sulfat pekat. Terbentuknya warna merah

menunjukkan terpenoid (Edeoga, 2007).

3.5.6 Uji Penegasan dengan KLT Senyawa aktif

1. Identifikasi Alkaloid

Uji alkaloid dilakukan dengan cara ekstrak etanol dan baku kafein

ditotolkan pada lempeng KLT lalu dielusi dengan eluen etil asetat : metanol : air
(100 : 13,5 : 10) hingga batas elusi (DepKes, 1987 : 54-62). Bila sudah kering

dideteksi pada lampu UV 254 nm atau menggunakan pereaksi Dragendorf.

Dikatakan mengandung alkaloid apabila terbentuk warna cokelat atau jingga pada

sinar tampak dan biasanya warnanya tidak stabil.

2. Identifikasi Flavonoid

Uji flavonoid dipertegas dengan menggunakan uji KLT yaitu dengan cara

ekstrak etanol dan baku rutin ditotolkan pada lempeng KLT lalu dielusi dengan

eluen butanol : asam asetat : air (4:1:5). Setelah elusi selesai, lempeng

dikeringkan kemudian lempeng tersebut diuapi dengan menggunakan uap

ammonia pekat. Terbentuknya noda warna biru, hijau kekuningan, lembayung dan

kuning kecoklatan menunjukkan adanya kandungan flavonoid (Harbone. 1987 :

70).

3. Identifikasi Tanin

Uji tanin dilakukan dengan cara ekstrak etanol ditotolkan pada lempeng

KLT lalu dielusi dengan eluen butanol : asam asetat glasial : air (4 : 1 : 5). Setelah

kering, kemudian lempeng tersebut disemprot dengan penampak bercak FeCl 3

1% atau Vanilin-asam sulfat. Terbentuknya warna biru kehitaman, hijau, hijau

kehitaman atau biru kehijauan menunjukkan adanya kandungan tanin (Sari dkk,

2015). Kemudian dihitung nilai Rf dan dibandingkan menurut literatur nilai

senyawa tanin.

4. Identifikasi Saponin

Uji saponin dilakukan dengan cara ekstrak etanol ditotolkan pada lempeng

KLT lalu dielusi dengan eluen kloroform : methanol : air (64 : 50 : 10) hingga
batas elusi. Setelah kering kemudian lempeng silika dideteksi dengan sinar UV

254 nm serta disemprot dengan anisaldehid : H2SO4(P) di oven pada suhu 110oC

selama 5-10 menit . Terbentuknya warna biru, ungu, atau kuning menunjukkan

adanya saponin (Sulistyani, dkk., 2012). Kemudian dihitung nilai Rf dan

dibandingkan menurut literatur nilai senyawa saponin.

5. Uji Terpenoid

Uji KLT pada terpenoid dilakukan dengan cara ekstrak etanol ditotolkan

pada lempeng silica GF 254 nm. Kemudian dielusi dengan eluen n-heksan –

kloroform (1:1). Kemudian dideteksi dengan sinar UV 254 nm serta disemprot

dengan anisaldehida-asam sulfat LP, di oven pada suhu 110oC selama 5-10 menit.

Terbentuknya noda warna violet atau merah violet menunjukkan adanya

kandungan terpenoid (Bahri, 2005). Kemudian dihitung nilai Rf dan dibandingkan

menurut literatur nilai senyawa terpenoid.

6. Uji Polifenol

Uji KLT pada polifenol dilakukan dengan cara ekstrak etanol ditotolkan

pada lempeng silika gel GF 254 nm. Selanjutnya dielusi dengan kloroform : etil

asetat : asam formiat (0,5 : 9 : 0,5) hingga batas elusi. Setelah lempeng kering,

dideteksi dengan sinar UV 254 nm dan UV 366 nm serta disemprot dengan

penampak bercak FeCl3. Terbentuknya noda warna hitam menunjukan adanya

senyawa polifenol (Kusuma dan Nanik, 2012: 12). Kemudian dihitung nilai Rf

dan dibandingkan menurut literatur nilai senyawa polifenols.


3.5.7 Uji Penurunan Kadar Kolesterol

Sejumlah dari ekstrak etanol, fraksinasi etil asetat, dan air ditimbang.

Masing-masing campuran dibuat deret konsentrasi 50, 100, 150, 200 dan 250

ppm. Deret konsentrasi tersebut dilakukan pengujian aktivitas penurunan kadar

kolesterol dengan metode Liebermann-Burchard.

3.5.8 Penentuan Aktivitas Penurunan Kolesterol

1. Penentuan Skrining λ Maksimum

Penentuan λ maksimum dapat ditentukan dengan cara dipilih salah satu seri

kolesterol sebanyak 5,0 mL direaksikan dengan 2,0 mL asam asetat anhihdrat dan

0,1 mL H2SO4 pekat. Dilakukan pengukuran pada λ 400 – 800 nm.

2. Penentuan Operating Time

Penentuan operating time dapat ditentukan dengan cara dipilih salah satu

seri konsentrasi kolesterol, kemudian diambil salah satu seri kolesterol sebanyak

5,0 ml direaksikan dengan 2,0 mL asam asetat anhidrat dan 0,1 mL H 2SO4

pekat. Diukur pada menit ke 0, 1, 2, sampai 36 menit dengan λ maksimum.

3. Pembuatan Larutan Standart Kolesterol

Dibuat larutan standar 320 ppm. Dilakukan pengukuran absorbansi dengan

spektrofotometer visibel pada λ maksimum.

4. Penentuan Penurunan Kolesterol

Dalam penelitian ini, Ekstrak etanol, etil asetat, dan air daun melinjo

(Gnetum gnemon L.) masing-masing dilarutkan dengan kloroform dan dibuat

konsentrasi 50, 100, 150, 200 dan 250 ppm. Dari masing-masing konsentrasi

diambil 5,0 mL dimasukkan dalam tabung reaksi, kemudian ditambahkan dengan

5,0 mL baku kolesterol dihomogenkan dengan divortex. Diambil 5,0 mL


campuran, ditambah 2,0 mL larutan asam asetat anhidrat dan 0,1 mL H 2SO4 pekat.

Larutan didiamkan di tempat gelap selama waktu Operating Time yang telah

ditentukan dan terbentuk perubahan warna menjadi biru hijau, kemudian diukur

absorbansinya dengan menggunakan spektrofotometer UV-Vis Double Beam

pada panjang gelombang 659,0 nm. Sebagai kontrol digunakan larutan standar

kolesterol yang ditambahkan dengan pelarut kloroform 5 mL.


3.6 Skema Kerja

Ditimbang 50 gram serbuk daun melinjo

Dimaserasi dengan 500 mL etanol 70% (selama 3


hari penyari diganti setiap 1 x 24 jam) dan
dilakukan pengadukan setiap 6-12 jam perhari

Filtrat I Ampas
Dimaserasi kembali dengan 500 mL
etanol 70 % baru

Filtrat II Ampas

Dimaserasi kembali dengan 500 mL


etanol 70 % baru

Filtrat III Ampas

Semua filtrate dikumpulkan dan dipekatkan


menggunakan rotary vacuum evaporator

Diperoleh Ekstrak Daun Melinjo

Diperoleh Ekstrak kental Daun Melinjo

Dilakukan uji kualitatif dan uji penurunan kolesterol

Gambar 1. Skema Kerja Pembuatan Ekstrak Daun Melinjo (Gnetum gnemon L.)
Ekstrak kental daun melinjo 10,0 gram

Air : n-heksana (1:1)


(100,0 mL: 100,0 mL)
diulangi sebanyak 3 kali

Fraksi air Fraksi n-heksan

Difraksinasi dengan - Diuapkan di atas


100,0 mL etil asetat, penangas air
diulangi sebanyak 3
kali

Fraksi n-heksan kental

Analisis kualitatif
Fraksi air Fraksi etil asetat

- Diuapkan di atas - Diuapkan di


penangas air ataspenangas air

Fraksi air kental Fraksi etil asetat kental

Analisis kualitatif Analisis kualitatif

Gambar 2. Pembuatan Fraksi Kental Daun Melinjo (Gnetum gnemon L.)


Serbuk, Ekstrak Etanol, Fraksi Etil
Asetat dan Air Daun Melinjo

Uji kualitatif

Polifenol Flavonoid Tanin Alkaloid Saponin Terpenoid

ditambah ditambah 1 ditambah ditambah 1


ditambah 1 serbuk Mg ditambah 10 mL HCl 2N air panas mL asam
mL ditambah 1 mL ditambah 5 ditambah 1 asetat
K4FeCN6 mL HCl pekat aquadest mL air panas mL HCl glasial
ditambah ditambah 2- ditambah 1 2N dikocok ditambah 1
amyl alkohol 3 tetes mL dragen- 10 menit mL asam
dorff sulfat pekat
FeCl3 10%

Terbentuk Terbentuk Terbentuk Terbentuk Terbentuk Terbentuk


warna biru endapan warna hijau warna buih mantap warna
sampai kemerahan,ku kehitaman merah tidak kurang merah
hitam ning pada atau biru tua kuning atau dari 10
lapisan amyl jingga menit
alkohol

Gambar 3. Uji Skrining Fitokimia Daun Melinjo (Gnetum gnemon L.)


Uji penegasan
(KLT)

Dicukupkan dengan aquadest sampai tanda dan


dihomogenkan

Dicukupkan dengan aquadest sampai tanda dan


dihomogenkan
Tanin Flavonoid Alkaloid Terpenoid Saponin Polifenol
Ditotolkan ekstrak etanol dan fraksi daun belimbing manis
dan daun belimbing
Baku : rutin Baku : kafeinwuluh dengan konsentrasi 5%
Fase diam ; Fase diam ; Fase diam ; asetatFase
Air : etil (1:1)diam ; Fase diam ; Fase diam ;
silika GF 254 silika GF 254 silika GF 254 silika GF 254 silika GF 254 silika GF 254
Fase gerak ; Fase gerak ; Fase gerak ; Fase gerak ; Fase gerak ; Fase gerak ;
butanol : n- butanol : etil asetat : n-heksan : kloroform : kloroform :
asam asetat asam aseta : metanol : air kloroform metanol : air etil asetat :
glasial : air (4 air (4:1:5) (100:16,5:13, (1:1). (64 : 50 : 10). asam formiat
: 1 : 5) Penampak 5) Penampak Penampak (0,5 : 9 : 0,5).
Penampak bercak ; Uap Penampak bercak ; bercak ; Penampak
bercak ; amonia bercak ; Anisaldehid- Anisaldehid- bercak FeCl3
Vanilin-asam Dragendorff asam sulfat asam sulfat 1%
sulfat LP atau lalu lalu
FeCl3 1% dipanaskan dipanaskan
pada suhu pada suhu
110 C selama
º 110 º
C selama
5-10 menit 5-10 menit

Terbentuk Terbentuk Terbentuk Terbentuk Terbentuk Terbentuk


noda warna noda warna noda warna noda warna noda warna noda warna
biru biru,hijau coklat atau violet atau hijau hitam
kehitaman,hij kekuningan jingga merah violet kebiruan atau
au kehitaman coklat kuning

Gambar 4. Uji Penegasan dengan KLT Senyawa Aktif Daun Melinjo (Gnetum gnemon
L.)
Dipipet 5,0 mL konsentrasi larutan standar kolesterol 320
ppm
Ditambah 5,0 mL kloroform
p.a

Dipipet 5,0 mL campuran


+ 2,0 mL asam asetat
anhidrat + 0,1 mL H2SO4
pekat
Diamkan selama 18 menit pada tempat
gelap

Ukur absorbansi kolesterol pada panjang


gelombang max (659 nm)

Gambar 4. Skema KerjaPengukuran Panjang Gelombang dan Operating Time

Ekstrak etanol, fraksi etil asetat, dan air daun melinjo

Masing-masing dilarutkan dengan kloroform, dan dibuat


konsentrasi 50, 100, 150, 200, dan 250 ppm.

Diambil 5,0 mL masing – masing konsentrasi.


Ditambah 5,0 mL larutan kolesterol 320 ppm, vortex

Diambil 5,0 mL larutan, ditambahkan dengan 2,0 mL asam


asetat anhidrat dan 0,1 mL H2SO4 pekat

Diamkan selama waktu Operating Time ditempat gelap


( terbentuk perubahan warna menjadi hijau )

Diukur absorbansi kolesterol pada panjang gelombang


maksimal 659 nm
Gambar 5. Skema Kerja Pengukuran Kadar Kolesterol pada Berbagai Konsentrasi

3.7 Analisis Data Hasil Penelitian

Analisis data dilakukan dengan mengukur absorbansi kadar kolesterol

sesudah penambahan ekstrak etanol, fraksi etil asetat dan air daun melinjo,

kemudian dihitung sebagai persentase penurunan kadar kolesterol.

Persentase penurunan kadar kolesterol ditentukan dengan rumus :

C−B
A= ×100 %
C

Keterangan :
A : Persentase penurunan kolesterol
B : absorbansi sampel
C : absorbansi kontrol

Untuk mengetahui pengaruh antara ekstrak etanol, fraksi etil asetat dan air

daun melinjo terhadap penurunan kadar kolesterol antara kelompok yang satu

dengan kelompokyang lain dilakukan uji anava dua jalan dengan program SPSS

versi 23.
DAFTAR PUSTAKA

Agustina, D.C.2012. Uji Toksisitas Ekstrak Etil Asetat Teraktif Daun Dandang
Gendis (Cinacanthus nutans) Menggunakan Uji Letalitas Larva Udang.
Skripsi.Bogor : IPB

Anonim .2011. Tanin dan Polifenol. http://scribd.com/doc/59594349/


PERCOBAAN-IV ( 2 Januari 2015).

Ansel, H.C. 2005. Pengantar Bentuk Sediaan Farmasi. Edisi 4. Jakarta : UI Press

Departemen Kesehatan RI.1986. Sediaan Galenik. Jakarta : Depkes RI

Fikri, F. 2009. Bahaya Kolesterol : Memahami, Mendeteksi dan Mengontrol


Kolesterol. Yogyakarta : Katahati Fitriyati, A. 2013. Pengaruh Pemberian
Karotenoid Ekstrak n-Heksan Rhodosporidium paludigenum Terhadap
Penurunan Kolesterol Secara In Vitro. Skripsi. Semarang : STIFAR
“Yayasan Pharmasi”

Graha, C. 2010. 100 Questions & Answers. Jakarta : PT Gramedia

Gunawan, S.G.2007. Farmakologi dan Terapi Edisi 5.Jakarta: FK UI

Harbone, J.B .1996. Metode Fitokimia Penuntun Cara Modern Menganalisis


Tumbuhan. Bandung. Penerbit ITB Hainida, E., Ismail, A., Hasyim, N.,
Mohd, E.N., Zakiah, A., 2008, Effects of deffated dried roselle (Hibiscus
sabdariffa L) seed powder on lipid profiles of hypercholesterolemia rats,
Journal of the Science of Food and Agriculture, Vol.88, No. 6, Malaysia.

Handa, S.S., Khanuja, S.P.S., Longo, G., dan Rakesh, D.D. 2008. Extraction
Technologies for Medicinal and Aromatic Plants. Italy : Trieste

Heyne, K. 1917. Tumbuhan Berguna Indonesia Jilid III Cetakan I.Badan Litbang
Hutan. Jakarta.

Hisada. H., Asahara. M., Kato. E., Sakan. F. 2005. Antibacterial and
Antioxidative Constituents of Melinjo Seeds and their Application to foods.
Japan: Science Links Japan

Inawati, S., Winarno, H. 2006. Pengaruh Ekstrak Daun Inai (Lawsonia inermis
Linn.) Terhadap Penurunan Kadar Glukosa, Kolesterol Total dan
Trigliserida Darah Mencit yang Diinduksi Aloksan. Jurnal Kimia Indonesia.
Volume 1 :98
Januarita, R. 2012. Perbedaan Efek Antikolesterol Antara Etanol dan Isolat
Flavonoid Daun Sambung Nyawa (Gynura procumbens (Lour.) Merr.)
Secara In Vitro. Skripsi. Semarang : Stifar Yayasan Pharmasi

Karyadi, E. 2002. Kiat Mengatasi Penyakit. Jakarta : PT Intisari Mediatama

Katzung, B. G. 2002. Farmakologi Dasar dan Klinik. Edisi III. Universitas


Surabaya : Salemba Medika

Lenny, S. 2006. Uji Bioaktifitas Kandungan Kimia Utama Puding Merah dengan
Metode Brine Shirmp. Jurnal. Medan: USU.

Markham, K.R. 1988. Cara Mengidentifikasi Flavonoid. Bandung : Institut


Teknologi Bandung.

Mulja, M. Dan Suharman. 1995. Analisis Instrumental. Surabaya : Airlangga


University Press

Murray, R.K., Granner, D.K., Mayes, P.A., dan Rodwell, V.W. 2003. Biokimia
Harper. Jakarta : EGC Penerbit Buku Kedokteran.

Pasaribu, G., dan Wibowo, S. 2008. Potensi Sumberdaya Hutan Dalam Bidang
Farmasi. Makalah. Medan : Ekspose Hasil Penelitian.

Poedjiadi, A. 1994. Dasar-dasar Biokimia. Jakarta : UI Press

Povey, R. 2001. Memantau Kolesterol Anda. Terjemahan Wulandari Widayanti


D. Jakarta : Penerbit Arcan

Riawan, S. 1990. Kimia Organik Untuk Mahasiswa Kedokteran, Kedokteran gigi


dan Perawat. Tanggerang : Binarupa Aksara. Hal : 128

Robinson, T. 1995. Kandungan Organik Tumbuhan Tinggi. Bandung : Institut


Teknologi Bandung.

Rohman, A. dan Gandjar I. G. 2007. Metode Kromatografi untuk Analisis


Makanan. Yogyakarta : Pustaka Pelajar

Rohman, A. dan Gandjar I. G. 2012. Analisis Obat Secara Spektrofotometri dan


Kromatografi. Yogyakarta : Pustaka Pelajar

Rohman, A. 2009. Kromatografi untuk Analisis Obat. Yogyakarta : Graha llmu

Sastrohamidjojo, H. 2001. Spektroskopi. Yogyakarta: Gajah Mada University


Press

Sitopoe, M.1993. Kolesterol Fobia. Jakarta : PT.Gramedia Pustaka Utama


Sitorus, M. 2009. Spektroskopi Elusidasi Struktur Molekul Organik. Yogyakarta :
Graha Ilmu

Schunack, Walter; Mayer, Klaus and Haake; Manfred. 1990. Senyawa Obat, Buku
Pelajaran Kimia Farmasi. Edisi kedua. (Terjm. Joke R. Wattimena dan
Sriwoelan Soebito). Yogyakarta : GMU-Press

Sudjadi. 1988. Metode Pemisahan. Edisi Pertama. Yogyakarta : Kanisius.

Sumaryanto, A. 2009. Isolasi Karakterisasi Senyawa Alkaloid Dari Kulit Batang


Tanaman Angsret (Spathoda campanulata Beauv) Serta Uji Aktivitas
Biologisnya Dengan Metode Uji Brine Shrimp. Skripsi. Malang:
Universitas Brawijaya.

Susilowati, A. 2003. Stek Mikro Melinjom (Gnetum gnemon). Skripsi Sarjana.


Institute Pertanian Bogor.

Syahrullah, R.R, Assa, Y., dan Tiho, M. 2013. Gambaran Kadar High Density
Lipoprotein (HDL) pada Laki-laki Berusia 40-59 Tahun. Laporan
Penelitian. Manado : Fakultas Kedokteran Universitas Sam Ratulangi
Manado

Tjay, T.H., dan Raharja, K.2002. Obat-obat penting, Khasiat Penggunaan dan
Efek Samping. Ed IV. Jakarta : gramedia

Trease, G. E., Evans, W.C . 1978. Pharmacognosy. 11thedition. London :


Baillince Tindall.

Underwood dan Day, Jr. 2002. Analisis Kimia Kuantitatif. Diterjemahkan oleh
Pudjaatmaka. Edisi V. Jakarta : Erlangga

Voight, R. 1994. Buku Pelajaran Teknologi Farmasi. Diterjemahkan oleh


Soendani N. Edisi V. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Watson, D.G. 2009. Analisi Farmasi. Ed 2 Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran
EGC

Anda mungkin juga menyukai