Anda di halaman 1dari 4

NAMA : HENI DIANA

KELAS : VI.B (ENAM)

SEKOLAH DASAR NEGERI 34 TALANG KELAPA


TAHUN PELAJARAN 2017-2018
CERPEN KESATU

Cirela dan Sepatu Bata

Cirela adalah anak bungsu dari empat bersaudar. Kakak-kakak Cirela bernama Cikuni,
Cimera, dan Cibiru. Ketiga kakak Cirela tidak menyukai adik bungsu mereka. Mereka merasa
Pak Gae dan Bu Gae, orang tua mereka, lebih sayang pada Cirela. Sebenarnya tidak demikian,
Cirela sering sekali sakit. Itu sebabnya Pak Gae dan Bu Gae merasa perlu memberi perhatian
lebih padanya.
Pak Gae adalah seorang ilmuwan. Pekerjaannya sehari-hari menciptakan segala macam
alat yang unik. Ciptaan Pak Gae yang paling baru adalah sepatu serba guna. Pak Gae
menciptakan sepatu itu untuk persiapan lomba lari tahunan di negerinya.
Hampir semua pria di kota itu mengikuti lomba lari tahunan. Itu bukan lomba sembarang
lomba. Di sanalah segala macam sepatu canggih dipamerkan. Ada sepatu yang bisa memantul-
mantul, bertenaga jet, dan segala macam sepatu penemuan baru yang aneh-aneh.
Pak Gae tak pernah ketinggalan mengikutsertakan ciptaannya. Sepatu ciptaannya selalu
tampil lebih hebat dari ciptaan penemu lain. Setiap tahun semua orang penasaran, sepatu seperti
apa lagi yang diciptakan Pak Gae?
Tahun ini Pak Gae telah bekerja lebih keras. Tahun lalu ia membuat tiga pasang sepatu.
Namun tahun ini ia membuat empat pasang. Cirela anak bungsunya telah cukup umur untuk
mengikuti lomba. Meskipun Cirela sakit-sakitan, Pak Gae memberinya semangat. Sepatu
ciptaannya yang canggih bisa diandalkan untuk menutupi kelemahan Cirela.
Cikuni, Cibiru, dan Cimera tidak suka Cirela ikut lomba lari.
“Tidur saja sana, minta digendong Ibu!” bentak Cimera marah.
“Huh, apa kau kira ini seperti lomba minum susu?” ejek Cibiru.
“Hei, jangan jahat pada Cirela! Ayo kita ajak dia latihan!” Cikuni berlagak manis di
depan Cirela.
Sebenarnya Cikuni punya rencana jahat. Ia telah mematikan fungsi canggih sepatu Cirela.
Sepatu itu pun menjadi sepatu biasa. Cikuni juga memasukkan lempengan besi di dalamnya
sehingga sepatu itu menjadi berat.
Mereka mengajak Cirela berlatih lari dengan sepatu baru. Cimera langsung memamerkan
gaya berselancar di bebatuan. Cibiru bersalto tak kenal lelah. Cikuni bisa memanjat dinding
seperti cicak. Akan tetapi Cirela cuma bisa terengah-engah mengangkat sepatunya. Ketiga
kakaknya tertawa geli.
“Kenapa sepatuku berat sekali?” Tanya Cirela heran.
“Itu disebut sepatu bata. Sepatu pemula memang harus berat seperti batu bata,” jawab
Cikuni.
Cirela percaya meskipun ketiga kakaknya tertawa semakin keras. Ia ingin seperti kakak-
kakaknya. Dengan sekuat tenaga ia mencoba menggerakkan sepatunya. Tak putus asa ia melatih
kakinya yang lemah.
Setiap hari Cirela ikut latihan lari bersama ketiga kakaknya. Setiap hari juga ia berlatih
dengan sepatunya yang seberat batu bata. Melihat Cirela mulai terbiasa dengan sepatu itu,
Cimera diam-diam menambah lempengan besi di sepatu adiknya. Sepatu Cirela menjadi semakin
berat. Namun Cirela tetap giat berlatih, diiringi tawa ketiga kakaknya.
Hari perlombaan pun akhirnya tiba. Cirela masih tertatih-tatih dengan sepatunya.
“Memalukan kalau Cirela ikut lomba!” sungut Cimera.
“Biar saja dia ikut. Biar Ayah tahu akibat memanjakan anak kesayangannya!” bisik
Cikuni.
Pak Gae dan istrinya mengantar keempat anaknya.
“Lomba kali ini agak berbeda dengan tahun lalu. Hadiahnya juga jauh lebih besar dari
lomba tahun lalu,” kata panitia lomba lewat pengeras suara. “Pemenang lomba tahun ini harus
benar-benar pelari yang hebat! Untuk itu, panitia telah menyediakan sepatu yang sama untuk
semua peserta.”
Semua peserta saling pandang heran. Dengan berat hati mereka mengganti sepatu
canggih mereka dengan sepatu biasa yang disediakan panitia.
Lomba lari dimulai. Penonton agak kecewa karena tak jadi melihat atraksi sepatu-sepatu
canggih. Namun mereka lalu ramai dan tertawa geli melihat gaya para peserta lomba. Ada yang
berjingkat-jingkat, ada yang menangis kesakitan, ada yang terguling-guling. Lomba lari berubah
menjadi sirkus lucu. Itu karena banyak pelari yang selama ini hanya mengandalkan kecanggihan
sepatunya. Kaki-kaki mereka jadi tidak sehat dan rapuh.
Hanya Cirela yang berbeda! Ia telah terbiasa berlatih dengan sepatu seberat batu bata.
Kini ia berlomba dengan sepatu biasa yang sangat ringan. Cirela berlari sangat kencang. Ia
berhasil meninggalkan semua peserta lain. Para penonton mengelu-elukannya. Cirela sampai di
garis finish sendirian.
“Hebat, hebat! Siapa yang melatihmu hingga kau hebat begini?” Tanya panitia lomba.
“Ketiga kakakku. Cikuni, Cimera dan Cibiru. Mereka melatihku menggunakan sepatu
batu bata!” jawab Cirela.
Pak Gae dan istrinya menangis karena haru. Cikuni, Cimera, dan Cibiru malu sekali.
Mereka telah berbuat jahat, namun Cirela malah menganggap mereka sebagai pelatih. Akhirnya
mereka minta maaf dan berpelukan. Cikuni, Cimera, dan Cibiru berjanji akan berlatih lari seperti
cara Cirela berlatih selama ini. Mereka juga akan memakai sepatu seberat batu bata. Sepatu
canggih hanya mereka pakai untuk bermain-main.

Unsur Intrinsik :

1. Tema :

2. Tokoh :

3. Watak :

4. Alur/Latar :

5. Amanat:

CERPEN KEDUA

Uji Keberanian

Sepulang sekolah, Umar dan Yadi melewati Gedung Budaya. Rupanya ada pameran seni
rupa. Di halaman gedung berdiri sekelompok patung tentara yang sedang melangkah dengan
kaki kanan diayunkan ke depan. Masing-masing menggendong mayat. Patung-patung itu tampak
hidup.
“Pandai sekali perupa ini!” puji Umar.
“Iya, kalau malam hari lewat sini dan orang tidak tahu ada pameran, pasti orang akan
sangat terkejut!” kata Yadi sambil tersenyum penuh arti. “Nanti malam aku akan mengajak Pino
dan Mul ke sini. Aku suruh mereka berjalan sendiri. Kalau tidak takut, aku akan traktir mereka
mie rebus! Kamu ikut saja. Kita saksikan wajah mereka yang pucat dan lari terbirit-birit
ketakutan!” Yadi menjelaskan idenya. Dalam hati Umar kurang setuju.
“Maaf, aku tak bisa. Nanti malam aku disuruh Ibu membayar uang arisan ke rumah Tante
Eni!” Umar mengelak.
“Ya sudah, aku saja sendiri!” kata Yadi.
Malamnya, Mul dan Pino sudah berada di ujung jalan Gedung Budaya. Suasana jalan itu
memang gelap karena tak ada penerangan lampu jalan dan sepi karena pada malam hari jarang
dilalui orang dan kendaraan. Namun, di depan Gedung Budaya ada lampu.
“Ini namanya uji keberanian. Tugas kalian hanyalah jalan dari sini ke ujung jalan, lalu
kembali lagi. Kalau berhasil, kalian akan kutraktir mie rebus!” kata Yadi. “Jalannya sendiri,
bukan berdua!”
“Baik, aku duluan saja!” kata Mul. “Siapa takut?”
“Silakan,” kata Yadi. Hatinya berdebar-debar menantikan adegan lucu yang akan
dilihatnya.
Mul melangkah maju. Yadi dan Pino menyaksikannya. Di depan Gedung Budaya tiba-
tiba Mul berteriak.
“Tolooong… addaaa… maaa… maaa… yaaat!” Lalu Mul berlari sekencang-kencangnya
ke tempat kedua kawannya berada.
Yadi tertawa terbahak-bahak. Wajah Mul pucat dan Pino tampak takut.
“Nah, Pino, sekarang giliranmu. Hadiah ditambah menjadi mie rebus dan segelas kopi
susu!” kata Yadi.
“Kamu sendiri berani tidak?” tantang Mul. “Jangan-jangan kamu sendiri juga tidak
berani!”
Dengan pongah Yadi menjawab, “Tentu saja aku berani. Aku akan berjalan dan kembali
ke sini dengan tenang! Malah di depan gedung aku akan berhenti sejenak!” Yadi melangkah
maju.
Di ujung jalan, Mul dan Pino menyaksikan dengan tegang. Yadi berjalan dengan gagah.
Sesuai janjinya di depan Gedung Budaya ia berhenti sejenak.
Yadi menggosok-gosok matanya. Di antara para tentara ada sosok pendek sebaya dengan
dirinya. Tapi wajahnya, kok, hitam seperti orang utan dan kedua tangannya menggapai-gapai.
Sosok itu melangkah maju, semakin jelas kelihatan taringnya yang putih dan ia mengeluarkan
bunyi gerrr… gerrr… gerrr.
Jantung Yadi berdegup keras dan tak ayal lagi ia berteriak,
“Hantuuu… hantuuu… hantuuu!”
Mendengar jeritan Yadi, Mul dan Pino lari. Yadi menyusul di belakangnya. Mereka terus
berlari sampai di dekat gerobak tukang mie rebus.
“Ada apa?” Tanya tukang mie rebus.
“Ada hantu di depan Gedung Budaya!” Yadi menjelaskan.
“Oooh, di situ memang angker. Lagipula untuk apa kalian ke sana?”
Tukang mie rebus menanggapi, sekaligus bertanya.
“Maksudnya dia ingin menguji keberanian kami. Tidak tahunya dia sendiri juga lari
ketakutan!” kata Mul. “Sudahlah, kita makan mie rebus saja, bayar sendiri-sendiri. Aku jadi
lapar!”
Ketiga anak itu makan mie rebus. Mie baru saja dihidangkan ketika Umar dating
membawa plastik besar.
“Kok, kamu ke sini? Katanya mau antar uang arisan!” Tanya Yadi.
“Iya, rumah Tante Eni, kan, tak begitu jauh dari sini. Sekalian saja aku ke sini. Mau lihat
hasil uji keberanian kalian. Sekalian aku yang traktir kalian!” kata Umar.
“Terima kasih, Mar. Terima kasih,” kata anak-anak itu.
“Mar, kamu bawa apa, tuh?” Tanya Pino sambil menunjuk tas plastik hitam yang dibawa
Umar.
“Hadiah dari Tante Eni. Dia beli untuk anaknya, tapi anaknya ternyata takut sama topeng
ini!” kata Umar dan ia mengeluarkan topeng wajah monyet yang sedang menyeringai. Umar
memandang Yadi penuh arti dan Yadi tersenyum kecut.
Unsur Intrinsik :

1. Tema :

2. Tokoh :

3. Watak :

4. Alur/Latar :

5. Amanat:

Anda mungkin juga menyukai