Anda di halaman 1dari 4

KARNO BASUSENO

Karya
Darmanto,M.,Pd.

W
aktu lampu jalan bernyalaan, halaman depan rumah itu terlihat sedikit suram.
Baru setelah pembantu rumah tangganya menyajikan dua cangkir kopi panas
beserta sepiring kudapan hangat, kemudian menyalakan lampu taman, keasrian
taman depan rumah itu dapat kami nikmati.
“Hidup perlu hiburan, Mas,” ujar Pak Basuseno memulai perbincangan sore ini. “Bagi
saya keasrian taman ini merupakan satu satunya hiburan yang tak ternilai harganya.”
“Ya, Pak, “ jawabku ringkas.
“Harmonis atau tidaknya kehidupan suatu keluarga itu dapat dilihat dari asri atau
tidaknya taman di halaman rumahnya. Contohnya keluarga saya ini,” lanjut Pak Basuseno sambil
mengumbar senyum lebarnya. Kami pun tertawa renyah.
Rumah ini jauh dari keramaian kota. Dari kejauhan sana terdengar tik tok penjual Bakso
menawarkan dagangannya. Seorang pesepeda melintas pelan di jalan depan rumah,
pengendaranya memekikkan kata merdeka sambil menoleh ke arah Pak Basukarno.
“Merdeka,” jawab Pak Basuseno dengan tegas dan wibawa sambil mengepalkan tangan
kanannya.
“Ngomong omong, Pak. Menurut kabar yang beredar di media sosial perang Baratayuda
akan dilaksanakan dalam waktu dekat. Apa benar demikian,Pak?”
Pak Basuseno tidak segera menjawab pertanyaan saya. Dia mengernyitkan keningnya
beberapa kejap. Setelah menyeruput kopi hangat dan menarik nafas dalam dia mulai menjawab .
“Baratayuda memang harus terjadi di padang Kurusetra. Perang antara keluarga Pendawa
melawan Kurawa.”
“Oh.”
“Itulah yang membingungkan pikiranku, Mas. Terus terang Aku ini masih saudara
kandung dari tiga orang Pandawa. Ya, Puntadwa, Bima dan Arjuna merupakan saudara seibu
denganku, sementara Nakula dan Sadewa merupakan anak anak dari ibu Madrim.”
Nafas Pak Basukarno sedikit tersengal. Ini mungkin karena dia berbicara sedikit
emosinal. Baru setelah mampu mengendalikan nafasnya baru di mulai meneruskan ceritanya.
“Dewi Kunti, anak Raja Mandura, mendadak hamil. Ini akibat dari sebuah mantra yang
diberikan oleh resi Druwasa yang keampuhannya dapat mendatangkan seorang dewa yang
dikehendaki. Tentu saja mantra itu tidak boleh dipergunakan di sembarang waktu, terlebih di saat
sang surya sedang menyinarkan cahayanya karena akan mendatangkan malapetaka kepada
dirinya.”
“Karena penasaran akan keampuhan mantra tersebut, Dewi Kunti membacanya di siang
hari dan tiba tiba datanglah Dewa Surya penguasa alam siang hari yang akan benih suci di rahim
Kunti tanpa harus mengorbankan keperawanannya.”
“Demikianlah, Dewi Kunti hamil. Dan untuk menutupi aib keluarga, Resi Druwasa
membantu persalinan Dewi Kunti. Tapi untuk menjaga keperawanan, jabang bayi itu dikeluarkan
lewat lubang telinga.”
“Sampeyan tahu,Mas. Siapa nama bayi itu?.
Saya cuma menggeleng.
“Sampeyan tidak pernah nonton wayang,ya?”
Saya menunduk malu.
“Masak pengelola rubrik budaya kok tidak kenal cerita wayang?”
Pak Basukarno sedikit tersenyum kecil seperti mendengar ungkapan hati saya.
“Bayi itu diberi nama Karno Basuseno. Karno berarti cahaya, Basu artinya matahari dan
Seno berarti anak. Jadi Karno Basuseno artinya ….”
“Cahaya. putra matahari.”
“Sampeyan sudah mulai belajar wayang, Mas.”
Saya tersenyum malu.
“Nama yang diberikan kepada anak itu merupakan harapan atau malah doa orang tua
kepada anak anaknya. Kalau kita menyimak karya karya sastra Yunani kuno, matahari itu adalah
lambang kebenaran. Dan entah ini kebetulan atau tidak kok sesuai dengan karakter saya. Sebagai
prajurit saya selalu dan harus berpihak pada kebenaran.”
Sunyi melanda teras rumah ini dalam beberapa kejap. Senja pun berubah jadi malam.
Suara serangga semakin jelas kedengarannya.
“Kalau memang demikian ,Pak. Puntadewa, Bima dan Arjuna yang juga anak Dewi
Kunti itu adalah adik adik Kandung Bapak?”, tanya saya untuk sekedar memecahkan kesunyian
malam.
“Benar, karena mereka bertiga merupakan anak anak Dewi Kunti, istri pertama Raden
Pandu Dewanata. Nakula dan Sadewa pun saya anggap sebagai adik walaupan si kembar ini
anak Dewi Madrim, istri kedua Raden Pandu Dewanata”.
“Kalau memang demikian, apakah dalam perang Baratayuda nanti Bapak akan berpihak
pada Pandawa?”
“Tidak. Kalau memang Baratayuda terjadi saya akan berpihak pada Kurawa.”
“Lho?”
“Sampeyan jangan lha lho, Mas! Selama ini keangkaramurkaan dunia ini bersumber pada
ulah Kurawa. Tengok saja lakon Pandawa Dadu di mana secara culas pihak Kurawa melalui
cara sihir Patih Sengkuni, Kurawa mengalahkan Pandawa dalam permainan judi yang berakhir
dengan terampasnya Kerajaan Indraprasta, Pandawa harus dibuang di tengah hutan selama 12
tahun dan Dewi Drupadi, istri Puntadewa dipermalukan dengan cara menelanjanginya di depan
orang banyak. Tengok juga lakon Bale Sigalagala. Pandawa dan Dewi Kunti diundang
bermalam di Balai Sigala-gala yang kemudian dibakar. Untungnya, Adipati Yamawidura, paman
Pandawa, telah memohon bantuan kepada mertuanya, yaitu Resi Landakseta untuk membuatkan
terowongan bawah tanah, sehingga para Pandawa dan sang ibu bisa selamat, ” lanjut Pak
Basukarno dengan tingkat emosi yang lebih tinggi.
“Apakah itu berarti ….”
“Jangan dipotong !Saya belum selesai bicara.”
“Silakan, Pak”
“Duryudana, raja Kurawa, terus terang saja saya katakan bahwa sejak kecil dia itu yang
licik. Kurang punya nyali untuk berperang melawan Pandawa terutama sekali kalau harus
melawan Bima.”
“Tetapi menurut kabar yang viral di medsos ….”
“Duryudana menolak upaya perdamaian yang ditawarkan Pandawa lewat Prabu Kresna?”
Saya mengangguk.
“Terus terang saya katakan di sini bahwa yang memupuk keberanian Kurawa untuk
berperang melawan Pandawa dalam perang Baratayuda nanti adalah saya. Karno Basukarno.
Kalau ada orang bertanya tentang siapakah orang yang paling berperan dalam mempercepat
terjadinya perang Baratayuda? Sayalah orangnya. Sayalah yang selalu mempengaruhi pihak
Kurawa untuk segera berperang melawan Pandawa. Dan saya selalu menolak untuk berpihak
pada Pandawa,” lanjut Basukarno makin bersemangat.
“Apakah Bapak menaruh dendam terhadap ibu Kunti, ibu Bapak dan para Pendawa, yang
telah menelantarkan Bapak dengan cara menghanyutkan di sungai Gangga?”
Basukarno menggeleng tegas.
“Apakah ini upaya Bapak untuk membalas budi terhadap keluarga Kurawa yang telah
memberi jabatan empuk kepada Bapak?”
“Saya tidak gila jabatan, camkan itu!” Dengan keras dia menggebrak meja.
Saya terkesiap beberapa saat.
“Saya sengaja berpihak pada Kurawa karena saya yakin keangkaramurkaan berada di
pihak Kurawa dan kebenaran berada di pihak Pandawa. Saya dengan sadar mempovokasi
Kurawa agar cepat cepat berperang melawan Pendawa sebab saya yakin kebenaran selalu
berkibar di atas keangkaramurkaan. Tanpa Baratayuda Pendawa tidak akan menang dan
kebathilan akan terus berlanjut bersama Kurawa.”
“Maaf, Pak. Sekalilagi saya minta maaf. Apakah Bapak ingin bunuh diri?”
Karno Basuseno tidak menjawab. Mengangguk pun tidak.

Anda mungkin juga menyukai