Anda di halaman 1dari 29

KASUS 1

“GAYA BERJALAN ABNORMAL”

Nn. S umur 23 tahun datang dengan keluhan riwayat kelemahan ringan pada
tungkai bawah sejak tiga hari yang lalu, kedua tungkai “terasa aneh” dan akhir-
akhir ini mudah tersandung ketika berjalan. Klien menjelaskan sekitar dua
minggu yang lalu, dia menerita “flue” dengan gejala pilek dan batuk serta
merasa demam, karena saat itu akhir pekan, dia tidak menemui dokter dan
mengobati sakitnya dengan obat yang dijual bebas serta istirahat. Klien merasa
lebih baik dan dapat bekerja pada hari senin.

Berdasarkan hasil pemeriksaan, klien menunjukkan gaya berjalan yang


abnormal dengan tidak dapat melakukan gerakan fleksi plantar dan penurunan
kemampuan yang nyata dalam melakukan gerakan dorsofleksi, inversi dan
eversi pada kedua kaki. Klien kehilangan sensibilitas terhadap tekanan dalam
pada kedua kaki dan penurunan refleks tendon dalam pada pergelangan kaki dan
lutut. Kekuatan otot kuadrisep berkurang skor 3/5. Pemeriksaan selanjutnya
menunjukkan gangguan sensibilitas dalam hal menentukan posisi dibawah
bagian tengah betis dan sedikit penurunan kemampuan untuk membedakan
rangsangan panas dengan dingin serta benda tajam dengan dengan tumpul.

Fungsi sensorik, motorik, dan kekuatan pada batang tubuh dan kedua lengan
tetap normal. Tidak ada gangguan pada fungsi bicara dan menelan, dan tidak
ditemukan kesulitan bernapas atau aritmia jantung.

A. Klasifikasi Istilah Penting


a. Tungkai : anggota badan bagian bawah tubuh manusia dari pangkal paha sampai
pergelangan kaki. Tungkai pada manusia teridi atas tungkai atas dan tungkai bawah.
Tungkai atas terletak antara paha dan lutut. Tungkai bawah terletak antara lutut dan
pergelangan kaki.
b. Flue : adalah infeksi virus pada saluran pernapasan. Flu adalah kondisi yang datang
secara tiba-tiba, biasanya berlangsung selama 7 sampai 10 hari.  Kasus flu biasanya
lebih musiman dan banyak disebabkan oleh influenza tipe A dan B. (dr. Tania Savitri)
c. Pilek : infeksi saluran pernapasan bagian atas yang disebabkan oleh virus. Dari 100
jenis virus penyebab pilek yang berbeda, rhinovirus merupakan jenis virus yang
paling mudah menularkan pilek sehingga menyebabkan bersin. pilek dapat terjadi
sepanjang tahun. (dr. Tania Savitri)
d. Demam : peningkatan suhu tubuh diatas normal 37◦C yang merupakan respon
fisiologis tubuh terhadap penyakit yang diperantarai oleh sitokin dan ditandai dengan
peningkatan suhu pusat tubuh serta aktivitas system imun ( Hakim dan Ahrens, 2002
dalam Kania, 2007)
e. Gerakan Fleksi Plantar : gerak fleksi pada sendi pergelangan kaki ke arah bawah
telapak kaki, membawa kaki menjauhi tungkai bawah. (Muktasambhava, Rama,
2012)
f. Gerakan Dorso Fleksi : gerak fleksi pada sendi pergelangan kaki ke arah atas,
membawa kaki mendekati tungkai bawah. (Muktasambhava, Rama. 2012)
g. Inversi : menggerakkan sendi kaki ke arah dalam. (Anisyah Citra, S.gz)
h. Eversi : menggerakan sendi ke arah luar. (Anisyah Citra, S.gz)
i. Refleks tendon : Kontraksi otot yang dihasilkan akibat respon terhadap regangan otot.
(Gibson, John. 2002)
j. Otot Kuadrisep : otot yang secara penuh bertanggung jawab untuk meluruskan kaki
(Muttaqin, Arif)
k. Aritmia Jantung : kelainan jantung yang ditandai dengan detak atau ritme yang tidak
normal (dr. Tania Savitri)
B. Kata Kunci
a. Gaya berjalan abnormal
b. Mudah tersandung ketika berjalan
c. Tidak dapat melakukan gerakan fleksi Plantar
d. Penurunan kemampuan dalam gerakan dorsofleksi, inversi dan eversi pada kedua
tungkai
e. Penurunan reflex tendon pada pergelangan kaki dan lutut
f. Kehilangan sensibilitas tekanan pada kedua kaki
g. Kekuatan otot kuadrisep berkurang skor 3/5
h. Penurunan kemampuan membedakan rangsangan panas dingin
i. Fungsi sensorik, motorik, dan kekuatan pada batang tubuh dan kedua lengan tetap
normal
j. Tidak ada gangguan pada fungsi bicara dan menelan
k. Tidak ditemukan kesulitan bernapas dan aritmia jantung

C. Mind Map

Cedera Tulang
Belakang

Stroke Non Gaya berjalan


Paraplegia
Hemoragik abnormal

Syndrom
Guilanebaner
Lembar check list

Tanda dan Gejala Paraplegia Syndrom Stroke Non Cedera Tulang


Guilanebaner Hemoragik Belakang

Gaya berjalan abnormal √ √ √ √

Tidak bisa gerakkan fleksi √ √ √ √


plantar
Penurunan gerakkan dorso √ √ −¿ −¿
fleksi, inversi, eversi kedua
kaki
Kehilangan sensibilitas √ √ −¿ −¿
terhadap tekanan
Otot kuadrisep berkurang √ √ −¿ √
Penurunan kemampuan √ √ −¿ √
rangsangan
Tidak ada gangguan fungsi √ −¿ −¿ √
bicara dan menelan
Tidak di temukan kesulitan √ −¿ −¿ √
bernafas dan aritmia
Fungsi sensori motoric dan √ −¿ −¿ −¿
kekuatan batang tubuh dan
kedua lengan tetap normal

D. Pertanyaan-pertanyaan Penting
1. Apa yang menyebabkan gaya berjalan abnormal dan mudah tersandung pada klien?
2. Mengapa klien tidak mengalami gangguan pada fungsi bicara dan menelan?
3. Mengapa klien mengalami penurunan refleks tendon?
E. Jawaban Pertanyaan Penting

1. Kelemahan pada tungkai bawah yang menyebabkan klien tidak mampu melakukan
gerakan dorsofleksi, fleksiplantar, infers dan eversi. Hal ini bisa disebabkan karena
terjadi multiple sclerosis yang menyebabkan terjadinya kerusakan myelin yang
berfungsi untuk menghantarkan stimulus sensorik dan motorik. Karena adanya
kerusakan myelin sehingga hantaran stimulus sensorik dan motorik ke bagian bawah
berkurang.
2. Berdasarkan analisa, kasus tersebut hanya terjadi kerusakan pada bagian tungkai yang
disebabkan karena adanya kerusakan myelin pada bagian sumsum tulang belakang.
serta dalam kasus fungsi bicara dan menelan tidak ada gangguan Karena tidak terjadi
kerusakan traktus kortikobularis bilatreral dari nervus IX dan X.
3. Penurunan refleks tendon terjadi karena impuls tidak dapat dihantarkan secara normal
oleh myelin. Kerusakan myelin pada bagian serabut saraf di sumsum tulang belakang
menyebabkan terhambatnya refleks untuk sampai ke tempat rangsangan.
F. Tujuan Pembelajaran Selanjutnya
Untuk mengetahui peran persepsi berupa dukungan pada pasien paraplegia yaitu
“dukungan sosial dan dukungan religiusitas”
G. Informasi Tambahan
Dukungan sosial adalah sumber emosional dan informasional atau pendampingan
yang diberikan oleh orang-orang disekitar individu untuk menghadapi setiap
permasalahan dan krisis yang terjadi sehari-hari dalam kehidupan. dukungan sosial
mengacu pada memberikan kenyamanan pada orang lain, merawatnya atau
menghargainya. Hasil penelitian yang sudah dilakukan bahwa dukungan sosial dan
optimisme berkorelasi pada peningkatan kesejahteraan psikologis. Pasien paraplegia
yang memiliki dukungan sosial yang tinggi baik berupa materi ataupun non materi akan
mampu mempengaruhi kondisi emosi seseorang ketika menghadapi permasalahan yang
menekan, seperti perasaan sedih, cemas dan kehilangan harga diri. Perasaan akan menjadi
tenang dan permasalahan akan berkurang setelah memperoleh kehangatan dukungan dan
bantuan dari orang-orang terdekat.dukungan sosial mempengaruhi kesehatan, yaitu
dukungan sosial dapat membantu penurunan dampak negatif akibat kondisi kesehatan
yang buruk, misalnya penurunan stres. Dukungan sosial dapat membantu peningkatan
emosi positif seperti harapan, kepercayaan diri, dan juga rasa aman.

Faktor lain yang dapat meningkatkan kesejahteraan psikologis adalah religiusitas


Upaya memaksimalkan kesejahteraan psikologis bagi orang yang hidup dengan
paraplegia yaitu dengan cara meningkatkan kepercayaan diri melalui dukungan sosial
serta pendekatan religiusitasnya. Penguatan dan pemberdayaan keluarga melalui edukasi,
memberikan perhatian yang lebih serta dukungan sosial dan perawatan pasien membuat
seorang pasien yang mengalami berbagai penyakit kronis lebih bisa bertahan dalam
kehidupannya.
H. Klasifikasi Informasi
Menurut artikel penelitian Peran persepsi dukungan sosial dan religiusitas
terhadap kesehjahteraan psikologis pasien paraplegia tahun 2015 mengenai penyakit
terkait paraplegia.

Penyandang paraplegia umumnya rentan mengalami depresi. Hal ini dikarenakan


faktor fisiologis dan psikologis. Secara fisiologis, adanya komplikasi baik berupa
gangguan motorik, infeksi ginjal, infeksi saluran pernafasan, gangguan saluran kemih,
gangguan organ seksual, gangguan saraf simpatis, dan luka decubitus. Secara psikologis,
penyandang paraplegia karena kecelakaan mengalami kondisi psikologis yang jauh
berbeda dengan penyandang paraplegia dari sejak lahir, sehingga permasalahan yang
diderita sepanjang hidup oleh individu dapat menggangu kondisi psikologisnya dan dapat
menimbulkan depresi. Dukungan sosial sangat dibutuhkan oleh penyandang paraplegia
karena kecelakaan untuk menjalani kesehariannya, mempercepat proses penerimaan diri,
dan penyesuaian diri terhadap perubahan fisik.

I. Analisa dan Sintesa


Berdasarkan pengamatan dari kasus yang ada, klien mengeluh kelemahan pada
tungkai bawah sejak tiga hari yang lalu. Kedua tungkai terasa aneh dan akhir-akhir ini
mudah tersandung.
Berdasarkan hasil pemeriksaan klien menunjukkan gaya berjalan yang abnormal
dengan tidak dapat melakukan gerakan fleksi plantar dan penurunan kemampuan yang
nyata dalam melakukan gerakan dorsofleksi, inversi dan eversi pada kedua kaki dan
penurunan reflex tendon pada pergelangan kaki dan lutut. Kekuatan otot kuadrisep
menurun 3/5. Pemeriksaan selanjutnya menunjukkan gangguan sensibilitas dalam hal
menentukan posisi dibawah bagian tengah betis dan sedikit penurunan kemampuan untuk
membedakan rangsangan panas dan dingin serta benda tajam dan tumpul.
Dari penjelasan klien tersebut kami mengamati gejala yang muncul adalah gejala
Paraplegia jenis “Paraplegia Incomplete”, yaitu paraplegia yang terjadi karena tulang
belakang rusak sebagian dimana perasaan dan gerakan mungkin masih ada sebagian atau
mungkin perasaan dan gerakan mungkin akan kembali membaik sedikit demi sedikit
selama beberapa bulan. Pada penderita paraplegia incomplete mungkin pada beberapa
bagian tubuh mempunyai perasaan dan kemampuan gerakan yang lebih sedikit jika
dibandingkan bagian yang lain. Pada Laporan Penelitian Sosial (1970) dijelaskan bahwa
penderita paraplegia incomplete dimana kelumpuhan tidak total, kadang masih dapat
berjalan sendiri dengan bantuan kruek, brace atau tongkat. Sensasi tidak hilang, hanya
kadang-kadang sensivitasnya agak berkurang.
Paraplegia merupakan kecacatan fisik yaitu kelumpuhan yang terjadi pada
sebagian anggota tubuh. Paraplegia tidak menyerang daerah kepala, sehingga dapat
dipastikan bahwa paraplegia biasanya mempunyai kondisi otak yang baik. Fallon (1985)
mengatakan bahwa secara biologis fungsi otak penderita paraplegia masih normal dan
tidak mengalami masalah maupun mengalami gangguan, termasuk fungsi hypothalamus
yang mengendalikan perilaku seksual tidak mengalami gangguan. Begitu juga fungsi
pusat motoriknya, orang yang menderita paraplegia tidak mengalami masalah pada pusat
motorik di otak dan anggota-anggota gerak itu sendiri masih normal, tetapi karena
kerusakan sumsum tulang belakang yang terjadi, maka koordinasi saraf-sarafnya menjadi
terganggu bahkan terhenti sama sekali.
Cederanya sumsum saraf pada tulang belakang mengakibatkan koordinasi
perintah dari otak ke rangsang-rangsang ke bagian bawah tubuh menjadi terhenti,
demikian pula sebaliknya. Fallon (1985) menjelaskan bahwa akibat itu kadang-kadang
tidak saja terbatas pada kelumpuhan anggota gerak bawah tetapi sampai juga pada sistem
geniorinal dan alat kelaminnya.
Koordinasi saraf-saraf yang terputus ini menyebabkan bagian badan yang lumpuh
tidak dapat merasakan sensasi dan tekanan. Meskipun penderita paraplegia dapat
merasakan tekanan kemungkinan tidak akan dapat menggerakkan anggota badan tersebut.
Demikian pula dengan aliran darah yang akan memberi nutrisi ke kulit akan menjadi
menurun.

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Paraplegia adalah kelumpuhan pada kedua anggota gerak bawah tubuh atau
kedua belah kaki, yang disebabkan karena cedera parah pada spinal cord level bawah
(Taylor, 1995). Cedera tersebut menyebabkan seluruh impuls dari otak tidak dapat
diterima oleh jaringan otot dibawahnya, dan sebaliknya impuls dari bawah level yang
rusak tidak dapat diterima oleh otak. Akibatnya penderita paraplegia kehilangan fungsi
motorik dan sensorik di bawah area yang rusak, kehilangan kekuatan, menjadi lemah
dan layu. Penderita juga kehilangan kemampuan mengendalikan buang air kecil dan
buang air besar (blader and bowel control). Penderita menjadi sangat tergantung pada
orang lain.

Pada perkembangan kasus paraplegia semakin meningkat pesat seiring


meningkatnya pula bencana alam (tsunami, gempa) dan terjadinya kecelakaan (kerja,
lalu lintas, rumah tangga) di beberapa wilayah Indonesia. Sekitar 300 orang menderita
kecacatan seumur hidup karena cedera tulang belakang atau Spinal Cord Injury (SCI).
Menurut Sekretaris Daerah Bantul, Suharjo, jumlah penderita lumpuh permanen
korban gempa di wilayah DIY sebanyak 408 orang, 399 orang di antaranya adalah
warga Bantul. Selain korban yang lumpuh terdapat 400 warga di Kecamatan Jetis,
Bambanglipuro, dan Imogiri yang harus menjalani terapi (Eviyanti, 2007). Koentjoro
(2007) menambahkan jumlah pasien rehabilitasi di Kabupaten Bantul adalah 1.608
orang dengan rincian sebagai berikut : (1) pasien cedera tulang belakang dengan
kelumpuhan sebanyak 229 orang; (2) pasien amputasi sebanyak 28 orang; dan (3)
pasien fraktur (patah tulang) sebanyak 1.250 orang.

Seperti yang di jelaskan oleh Desert (2011), penyebab paraplegia pada umumnya
di kategorikan dalam 2 sebab, yakni sebab trauma dan sebab medis atau penyakit.
Penyebab trauma yang paling umum adalah kecelakaan, baik kecelakaan lalu lintas
maupun kecelakaan kerja. Atau oleh sebab lain seperti peradangan selaput lintas yang
mengelilingi dan melindungi saraf tulang belakang (arachnoiditid), atau fraktur akibat
penyakit rematik, sedangkan penyebab medis atau penyakit biasanya disebabkan oleh
infeksi atau parasite.
B. Tujuan
Untuk menegakan diagnosa pada pasien dengan gangguan sensori dan motorik di
bagian tungkai
BAB II

KONSEP MEDIS

A. Definisi
Paraplegia adalah kondisi hilangnya kemampuan untuk menggerakkan anggota
tubuh bagian bawah yang meliputi kedua tungkai dan organ panggul. Paraplegia dapat
terjadi hanya sementara atau bahkan menjadi permanen tergantung dari penyebabnya.
(sudoyo. 2010)
Paraplegia adalah kelumpuhan pada kedua anggota gerak bawah tubuh atau kedua
belah kaki, yang disebabkan karena cedera parah pada spinal cord level bawah. Cedera
tersebut menyebabkan seluruh impuls dari otak tidak dapat diterima oleh jaringan otot
dibawahnya, dan sebaliknya impuls dari bawah level yang rusak tidak dapat diterima oleh
otak. Akibatnya penderita paraplegia kehilangan fungsi motorik dan sensorik di bawah
area yang rusak, kehilangan kekuatan, menjadi lemah dan layu. Penderita juga kehilangan
kemampuan mengendalikan buang air kecil dan buang air besar (blader and bowel
control). Penderita menjadi sangat tergantung pada orang lain. (Taylor. 2006)
B. Etiologi
Kerusakan atau cedera pada sumsum tulang belakang punggung mengakibatkan
paraplegia (Werner,2002). Hal ini dijelaskan oleh Fallon (1985) mengenai berbagai
macam sebab yang dapat menyebabkan rusaknya sumsum tulang belakang, secara garis
besar dapat digolongkan menjadi dua macam, yaitu :
a. Kerusakan sumsum tulang belakang yang disebabkan oleh kecelakaan. Kecelakaan
meliputi berbagai jenis kecelakaan seperti kecelakaan lalu lintas, luka tembak, luka
tusukan, kecelakaan akibat olahraga biasanya menyelam, jatuh dari pohon, dan
sebagainya. Kerusakan pada sumsum tulang belakang yang diakibatkan oleh
kecelakaan ini disebut juga luka traumatic tulang belakang.
b. Kerusakan tulang belakang yang terjadi karena penyakit yang merusak sumsum
tulang belakang tetapi tidak merusak susunan tulang belakang dimana kerusakan pada
sumsum tulang belakang ini dapat menjadi lebih baik atau tetap pada kerusakan yang
sama. Kerusakan sumsum tulang belakang ini kemudian disebut sebagai kelumpuhan
yang tidak berkembang, non-progresif.
C. Prognosis
Orang yang menderita paraplegia tidak mengalami masalah pada pusat motorik di
otak dan anggota-anggota gerak itu sendiri masih normal, tetapi karena kerusakan
sumsum tulang belakang yang terjadi, maka koordinasi saraf-sarafnya menjadi terganggu
bahkan terhenti sama sekali. Setiap satu kondisi medis penyebab Paraplegia pun
mempunyai angka perbaikan/kesembuhan yang berbeda-beda hal ini tergantung derajat
gangguan saraf yang terganggu.
D. Manifestasi Klinis
a. Gangguan Fungsi Motorik
1. Gaya berjalan abnormal
2. Penurunan kemampuan yang nyata dalam melakukan gerakan fleksiplantar,
dorsofleksi, inversi dan eversi.
b. Gangguan Fungsi Sensorik
1. Kehilangan sensibilitas terhadap tekanan pada kedua kaki
2. Penurunan refleks tendon dalam pada pergelangan kaki dan lutut
3. Penurunan kemampuan membedakan rangsangan panas dengan dingin serta benda
tajam dan tumpul.
E. Klasifikasi
Berdasarkan keadaan kelumpuhan itu sendiri, paraplegia dapat di golongkan
menjadi dua jenis (Werner, 2002) yaitu :
a. Paraplegia Complete, yaitu paraplegia yang terjadi karena tulang belakang rusak
secara menyeluruh, dimana pesan tidak dapat disampaikan melalui saraf sama
sekali, sehingga perasaan dan kontrol dari gerakan di bawah tingkat kerusakan
sumsum tulang belakang hilang secara permanen dan menyeluruh.
b. Paraplegia incomplete, yaitu paraplegia yang terjadi karena tulang belakang
rusak sebagian diaman perasaan dan gerakan mungkin masih ada sebagian atau
mungkin perasaan dan gerakan mungkin akan kembali membaik sedikit demi
sedikit selama beberapa bulan. Pada penderita mungkin pada beberapa bagian
tubuh mempunyai perasaan dan kemampuan gerakan yang lebih sedikit jika
dibandingkan bagian yang lain . Pada Laporan Penelitian Sosial (1970) dijelaskan
bahwa penderita paraplegia incomplete dimana kelumpuhan tidak total, kadang
masih dapat berjalan sendiri dengan bantuan kruck, brace atau tongkat. Sensasi
tidak hilang, hanya kadang-kadang sensivitasnya agak berkurang. Secara fisik,
penderita paraplegia memiliki organ yang lengkap hanya perbedaanya walaupun
organ tubuhnya lengkap, ada beberapa bagian tubuh yang tidak dapat digunakan
kembali dikarenakan rusaknya sumsum saraf pusat pada tulang belakang. Hal
tersebut dapat berpengaruh terhadap mobilitas ketika melakukan kegiatan dan
berperilaku. Cacat paraplegia bersifat permanen sehingga dapat mempengaruhi
perilakunya ( Borwn, dkk. 1999).
F. Patofisiologi
Kerusakan myelin yang disebabkan oleh peningkatan aktivasi system imun akan
menyebabkan kerusakan pada sumsum tulang belakang. Akan tetapi bukan pada susunan
tulang belakang melainkan pada serabut saraf yang ada di sumsum tulang belakang.
Myelin yang berfungsi untuk menghantarkan stimulus sensorik dan motoric pada serabut
saraf mengalami kerusakan hal ini menyebabkan rangsangan perintah dari otak ke bagian
bawah tubuh melambat atu bahkan terhenti. Keadaan ini yang disebut dengan paraplegia
dimana tubuh kehilangan kemampuan untuk menggerakkan anggota tubuh bagian bawah.
Penyakit ini menyebabkan gangguan pada stimulus motoric dan sensorik. Di bagian
motoric, tubuh mengalami kelemahan di tungkai bawah serta penurunan kemampuan
melakukan gerakan fleksiplantar, dorsofleksi, inversi dan eversi yang mengakibatkan
penderita mudah tersandung. Kekakuan sendi dan penurunan kekuatan otot juga terjadi
pada bagian motoric. Di gangguan sensorik, penderita mengalami penurunan kemampuan
sensibilitas dalam membedakan rangsangan panas, dingin dan benda tajam dan tumpul.
G. Komplikasi
Menurut powell (1979), komplikasi yang dapat terjadi pada penderita paraplegia
adalah :
a. Infeksi saluran kencing
b. Infeksi saluran pernapasan
c. Peradangan ginjal
d. Paling sering terjadi adalah luka decubitus
H. Pemeriksaan Laboratorium
a. Hematology:
1) Hemoglobin dapat menurun karena destruksi sumsum tulang
vertebra atau perdarahan.
2) Peningkatan Leukosit menandakan selain adanya infeksi juga
stress fisik ataupun terjadi kematian jaringan.
b. Kimia klinik:
1) PT / PTT untuk melihat fungsi pembekuan darah sebelum
pemberian terapi antikoagulan. Dapat terjadi gangguan elektrolit
karena terjadi gangguan dalam fungsi perkemihan, dan fungsi gastrointerstinal
I. Penatalaksanaan
1. Penatanalaksanaan Medis
a. Obat :
1. Metyl prednisolon 30 mg/kb BB, 45 menit setelah bolus selama 23 jam. Hasil
optimal bila pemberian dilakukan <8 jam onset.
2. Tambahkan profilaksi stress ukus : Antacid/antagonis H2. Jika pemulihan
sempurna, pengobatan tidak diperlukan
3. Berikan Antibiotik, biasanya untuk menyembuhkan. Jika terjadi infeksi
b. Operasi
Dengan menggunakan teknik Harrison roda stabilization (instrument Harrison)
yaitu menggunakan batang distraksi baja tahan karat untuk
2. Penatanalaksanaan Keperawatan
a. Memberikan alat bantu
b. Pemanasan dengan air hangat atau sinar
c. Latihan : disebut dengan Range of Motion (ROM) untuk mengetahui luas gerak
sendi
d. Refleksi Ganda : Penekukan maksimal pada jari kaki keempat.
e. Refleksi Bing : Memberikan rangsangan tusuk pada kulit yang menutupi
metatarsal kelima
BAB II

KONSEP KEPERAWATAN

A. Pengkajian

ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN Ny. S DENGAN


DIAGNOSA MEDIS PARAPLEGIA
DI RUANG ……………………………………
1. Identitas
a. Identitas Pasien
Nama : Ny. S
Umur : 23 tahun
Agama :-
Jenis Kelamin : Perempuan
Status :-
Pendidikan :-
Pekerjaan :-
Suku Bangsa :-
Alamat :-
Tanggal Masuk :-
Tanggal Pengkajian : -
No. Register :-
Diagnosa Medis : PARAPLEGIA “Incomplite”
b. Identitas Penanggung Jawab
Nama :-
Umur :-
Hub. Dengan Klien : -
Alamat :-
2. Status Kesehatan
a. Status Kesehatan Saat Ini
1) Keluhan utama (saat masuk rumah sakit dan saat ini) :
Riwayat kelemahan ringan pada tungkai bawah sejak tiga hari yang lalu
2) Alasan masuk rumah sakit :
Klien mengatakan kedua tungkai “terasa aneh” dan akhir-akhir ini mudah
tersandung ketika berjalan.
3) Penyakit yang pernah dialami : Klien mengatakan sekitar dua
minggu yang lalu, dia menderita “flue” dengan gejala pilek dan batuk serta
merasa demam karena saat itu akhir pekan,
1) Upaya yang dilakukan untuk mengatasi : mengobati sakitnya dengan
obat yang dijual bebas serta istirahat
2) Pernah dirawat :-
3) Alergi :-
4) Kebiasaan (Merokok/kopi/alcohol/dll) :-
b. Riwayat penyakit keluarga :-
c. Diagnosa medis dan Therapy :-
3. Pola Kebutuhan Dasar (Bio-Psiko-Sosio-Kultural-Spiritual)
a. Pola Persepsi dan Menajemen Kesehatan :-
b. Pola Nutrisi-Metabolik
 Sebelum sakit :-
 Saat sakit :-
c. Pola Eliminasi
1) BAB
 Sebelum sakit :-
 Saat sakit :-
2) BAK
 Sebelum sakit :-
 Saat sakit :-
d. Pola Aktivitas dan Latihan :-
e. Pola Kognitif dan Persepsi :-
f. Pola Persepsi-Konsep Diri :-
g. Pola Tidur dan Istirahat
 Sebelum sakit :-
 Saat sakit :-
h. Pola Peran-Hubungan :-
i. Pola Seksual-Reproduksi
 Sebelum sakit :-
 Saat sakit :-
j. Pola Toleransi Stress-Koping :-
k. Pola Nilai Kepercayaan :-
4. Pengkajian Fisik
a. Keadaan Umum :-
b. GCS
1) Verbal :-
2) Psikomotor :-
3) Mata :-
c. Tanda-tanda Vital
1) Nadi :-
2) Suhu :-
3) TD :-
4) RR : Tidak ditemukan kesulitan bernapas
d. Keadaan Fisik
1) Kepala dan Leher :-
 Wajah :-
 Mulut : Tidak ada gangguan fungsi bicara dan
menelan
2) Dada
 Paru-paru :-
 Jantung : Tidak ditemukan aritmia jantung
3) Payudara dan Ketiak :-
4) Abdomen :-
5) Genitalia :-
6) Integumen :-
7) Ekstremitas
 Atas : Fungsi sensorik, motorik, dan kekuatan
pada batang tubuh dan kedua lengan tetap normal
 Bawah :
a. Motorik
a) Tidak dapat melakukan gerakan fleksi plantar
b) Penurunan kemampuan yang nyata dalam melakukan gerakan
dorsofleksi, inverse dan eversi pada kedua kaki.
c) Kehilangan sensibilitas terhadap tekanan dalam pada kedua kaki
d) Penurunan reflex tendon dalam pada pergelangan kaki dan lutut.
e) Kekuatan otot kadrisep berkurang skor 3/5

Pengukuran kekuatan otot menurut (Arif mutaqqin,2008)


Nilai 0  : Bila tidak terlihat kontraksi sama sekali.
Nilai 1 : Bila terlihat kontraksi dan tetapi tidak ada gerakan pada sendi.
Nilai 2 : Bila ada gerakan pada sendi tetapi tidak bisa melawan grafitasi.
Nilai 3 : Bila dapat melawan grafitasi tetapi tidak dapat melawan tekanan
pemeriksaan.
Nilai 4 : Bila dapat melawan tahanan pemeriksaan tetapi        kekuatanya
berkurang.
Nilai 5 : bila dapat melawan tahanan pemeriksaan dengan kekuatan
penuh
b. Sensorik :
a) Penurunan kemampuan untuk membedakan rangsangan panas dan
dingin.
b) Penurunan kemampuan untuk membedakan rangsangan benda tajam
dan tumpul
Penilaian terhadap gangguan motorik dan sensorik dipergunakan Frankel
Score.
FRANKEL SCORE A: kehilangan fingsi motorik dan sensorik lengkap
(complete loss)
FRANKEL SCORE B: Fungsi motorik hilang, fungsi sensorik utuh.
FRANKEL SCORE C: Fungsi motorik ada tetapi secara praktis tidak
berguna (dapat menggerakkan tungkai tetapi tidak dapat berjalan).
FRANKEL SCORE D: Fungsi motorik terganggu (dapat berjalan tetapi
tidak dengan normal ”gait”).
FRANKEL SCORE E: Tidak terdapat gangguan neurologik.
(Menurut Hafas Hanafiah, Majalah Kedokteran Nusantara Volume 40 y No.
2 Juni 2007)
8) Neurologis
 Status mental dan emosi :-
 Pengkajian saraf cranial :-
 Pemeriksaan reflex : Penurunan reflex tendon dalam pada
pergelangan kaki dan lutut.
e. Pemeriksaan Penunjang
1) Data Laboratorium yang Berhubungan
 Hemoglobin :-
 Hematokrit :-
 Leukosit :-
 Trombosit :-
 Eritrosit :-
2) Pemeriksaan Radiologi :-
3) Hasil Konsultasi :-
4) Pemeriksaan Penunjang Diagnostik Lain : -
B. Diagnosa Keperawatan

No Diagnosa Keperawatan Kategori Subkategori


1 Gangguan mobiltas fisik (D.0054) Fisiologis Aktivitas/Istirahat
2 Resiko Jatuh (D.0143) Lingkungan Keamanan dan
proteksi

C. Web Of Caution
D. Rencana Asuhan Keperawatan

No Diagnosa Keperawatan NOC NIC Rasional


1 Gangguan Mobilitas  Cara berjalan  Manajemen
Fisik  Pergerakan sendi Sensasi Perifer
(D.0054)  Pergerakan sendi Observasi Observasi
Kategori : Fisiologis : lutut 1. Monitor sensasi 1. Berikan klien
Subkategori : tumpul atau tajam untuk bisa
Aktivitas/Istirahat Tujuan : setelah di dan panas dan merasakan
Definisi : Keterbatasan lakukan tindakan dingin (yang sensasi panas
dalam gerakan fisik dari keperawatan dalam dirasakan pasien) dan dingin
satu atau lebih ekstermitas waktu…x24jam 2. Hindari dan selalu serta benda
secara mandiri gangguan mobilias monitor tajam dan

fisik dapat di atasi penggunaan terapi tumpul


DS : dengan kompres panas 2. Berikan
- 2 minggu lalu klien Kriteria Hasil : atau dingin seperti edukasi
menderita flue Cara berjalan penggunaan kepada klien
- Pilek - Langkah mantap bantalan panas, untuk
- Batuk (4) botol berisi air pengunaan
- Demam - Keseimbangan panas atau dingin cara kompres
- Kedua tungkai terasa (tubuh) dalam dengan katong es panas dan
aneh berjalan (4) dingin
- Mudah tersandung - Berjalan pada jalur dengan
ketika berjalan lurus (4) menggunakan
DO : bantalan
- Gaya berjalan abnormal Keteranagn : panas serta
- Gangguan sensibilitas 1. Sangat botol yang
- Tidak dapat melakukan terganggu berisi air
gerakan refleks plantar 2. Banyak panas dan
- Penurunan kemampuan terganggu dingin
yang nyata dalam 3. Cukup Mandiri Mandiri
melakukan gerakan terganggu 1. Instruksikan 1. Arahkan
dorsofleksi, inversi dan 4. Sedikit pasien dan klien untuk
eversi pada kedua kaki terganggu keluarga untuk selalu
- Penurunana refleks 5. Tidak terganggu memeriksa adanya memeriksa
tendon dalam pada kerusakan kulit kulitnya
pergelangan kaki dan Pergerakan sendi setiap harinya setiap hari
lutut - Rahang (4) 2. Instruksikan 2. Jadwal klien
- Leher (4) pasien untuk untuk tetap
- Lutut kiri (4) menggunakan merubah
- Lutut kanan (4) waktu sebagai posisinya
Keterangan : penanda untuk berdasarkan
1. Deviasi berat merubah posisi kenyamanan
dari kisaran bukan berdasarkan klien
normal kenyamanan
2. Deviasi yang pasien
cukup besar dari Kolaborasi kolaborasi
kisaran normal 1. Berikan obat 1. Untuk resep
3. Deviasi sedang analgetik obat kepada
dari kisaran kortikosteoid, klien berupa
normal antikonvulsan, analgetik dan
4. Deviasi ringan anti depresan anastesi lokal
dari kisaran trisilik, atau sesuai dengan
normal anestesi lokal kebutuhan
5. Tidak ada sesuai kebutuhan klien sendiri
deviasi dari 2. Diskusikan atau 2. Untuk
kisaran normal identifikasikan memberikan
penyebab sensasi identifikasi
Pergerakan sendi : abnormal atau yang sensasi
lutut perubahan sensasi terhadap
- Ektensi 0 derajat yang terjadi abnormal dan
® (4) perubahan
- Fleksi 130 derajat sensasi yang
® (4) terjadi
- Hiperekstensi 15  Terapi latihan :
derajat ® (4) Ambulasi
- Ekstensi 0 derajat Observasi Observasi
(L) (4) 1. Monitor 1. Bimbing
- Fleksi 130 derajat penggunaan kruk klien untuk
(L) (4) pasien atau alat bisa
- Hiperekstensi 15 bantu berjalan menggunakan
derajat (L) (4) lainnya kruk sebagai
Keterangan : alat bantu
1. Deviasi berat dari untuk ia
kisaran normal berjalan
2. Deviasi yang Mandiri Mandiri
cukup besar dari 1. Bantu pasien 1. Dukung klien
kisaran normal untuk berdiri dan untuk bisa
3. Deviasi sedang ambulasi dengan berdiri
dari kisaran jarak tertentu dan dengan
normal dengan sejumlah menggunakan
4. Deviasi ringan staf tertentu kruk dengan
dari kisaran 2. Bantu pasien jarak tertentu
normal untuk duduk di dan dengan
5. Tidak ada deviasi sisi tempat tidur jumlah staf
dari kisaran untuk tertentu
normal memfasilitasi 2. Arahkan
penyesuaian sikap klien untuk
tubuh bersikap
3. Bantu pasien duduk dengan
untuk berpindah, sisi di tempat
sesuai kebutuhan tidur untuk
memfasilitasi
sikap tubuh
klien
3. Untuk
membantu
klien
berpindah
tempat sesuai
dengan
kebutuhan
2 Resiko Jatuh (D.0143)  Kejadian Jatuh  Manajemen
Kategori : Lingkungan  Keparahan Lingkungan :
Subkategori : Keamanan Cedera Fisik Keselamatan
dan proteksi Observasi : Observasi
Definisi : Berisiko Tujuan : setelah 1. Monitor 1. Untuk
mengalami kerusakan fisik dilakukan tindakan lingkungan melihat apa
dan gangguan kesehatan keperawatan dalam terhadap penyebab
akibat terjatuh waktu…x24jam terjadinya terjadinya
resiko jatuh dapat di perubahan status pasien
DS : atasi dengan keselamatan terjatuh
- 2 inggu yang lalu klien Kriteria Hasil :
menderita flue Kejadian jatuh
- Pilek - Jatuh saat berjalan Mandiri Mandiri
- Batuk (1-3) 1. Identifikasi hal-hal 1. Menghindari
- Demam - Jatuh dari tempat yang terjadinya hal-
- Kedua tungkai terasa tidur (1-3) membahayakan hal yang dapat
aneh - Jatuh saat naik dilingkungan membahayaka
- Mudah tersandung ketika tangga (1-3) (misalnya, bahaya n keselamatan
berjalan - Jatuh saat duduk fisik, biologi, klien
(1-3) kimiawi 2. Untuk
DO : Keterangan : 2. Bantu pasien menghindari
- Gaya berjalan abnormal 1. 10 dan lebih dalam melakukan klien
- Gangguan sensibilitas 2. 7-9 perpindahan mengalami
- Tidak dapat melakukan 3. 4-6 lingkungan yang kejadian
gerakan refleks plantar 4. 1-3 lebih aman (misl, berbahaya
- Penurunan kemampuan 5. Tidak ada rujukan untuk misalkan
yang nyata dalam mempunyai terjatuh saat
melakukan gerakan Keparahan cedera asisten rumah melakukan
dorsofleksi, inversi, fisik tangga) aktivitas
eversi pada kedua kaki - Ekstermitas 3. Memodifikasi rumah tangga
- Penurunan refleks keseleo (4) lingkungan untuk 3. Untuk
tendon dalam pada - Fraktur ekstermitas meminimalkan menghindari
pergelangan kaki dan (4) bahan berbahaya kejadian
lutut - Fraktur tulang dan beresiko berbahaya
punggung (4) yang akan
- Penurunan tingkat terjadi pada
kesadaran (4) klien
Keterangan : Health
1. Berat Health education education
2. Cukup berat 1. Edukasi individu 1. Agar klien
3. Sedang dan kelompok dapat
4. Ringan yang berisiko mengetahui
5. Tidak ada tinggi terhadap apa saja hal
bahaya yang ada dilingkungan
dilingkungan yang sangat
berisiko
terjadinya
jatuh
Kolaborasi Kolaborasi
1. Kolaborasi dengan 1. Untuk
lembaga lain mendapatkan
untuk penanganan
meningkatkan yang optimal
keselamatan ketika
lingkungan (mls, kejadian
dinas kesehatan) jatuh
tersebut
terjadi

 Pencegahan Jatuh
Observasi Observasi
1. Monitor gaya 1. Untuk
berjalan (terutama mengetahui
kecepatan), tindakan
keseimbangan dan selanjutnya
tingkat kelelahan yang akan di
dengan ambulasi lakukan
2. Monitor 2. Untuk
kemampuan untuk mengetahui
berpindah dari kemampuan
tempat ke kursi klien dalam
dan sebagainya melakukan
aktivitas
kecil yang
bisa ia
lakukan

Mandiri Mandiri
1. Bantu keluarga 1. Untuk
mengidentifikasi meminimalk
bahaya dirumah an resiko
dan memodifikasi jatuh pada
(bahaya tersebut) klien ketika
2. Identifikasi klien berada
kekurangan baik dirumah
kognitif atau fisik 2. Untuk
dari pasien yang mengetahui
mungkin tindakan
meningkatkan selanjutnya
potensi jatuh pada yang akan
lingkungan dilakukan
tersebut 3. Untuk
3. Identifikasi meminimalk
karakteristik dari an resiko
lingkungan yang jatuh pada
mungkin klien karena
meningkatkan kondisi
potensi jatuh lingkungann
(misl, lantai licin ya
dan tangga
terbuka)
Health
Health education education
1. Ajarkan anggota 1. Bertujuan
keluarga mengenai agar
faktor resiko yang keluarga
berkontribusi dapat
terhadap adanya mengetahui
kejadian jatuh dan apa saja
bagaimana cara yang
menurunkan menyebabk
resikonya an resiko
klien jatuh
dengan cara
menangani
klien ketika
sebelum di
bawa ke
rumah sakit
Kolaborasi Kolaborasi
1. Berkolaborasi 1. Bertujuan
dengan tim agar klien
kesehatan lainnya mendapatka
untuk n
meminimalkan penanganan
efek samping dari yang
pengobatan yang optimal
berkontribusi selama
pada kejadian menjalanka
jatuh (misl, n perawatan
hipotensi
ortostatik dan
cara berjalan
(terutama
kecepatan) yang
tidak
mantap/seimbang
Pathway
Obat

Resisten

Aktivasi system imun yang


berlebih

Multiple Sclerosis

Kerusakan pada sumsum


tulang belakang

Kerusakan Myelin

Rangsangan perintah dari otak ke


bagian bawah tubuh terhenti

Paraplegia

Gangguan Sensorik
Sendi kaku Gangguan Motorik
dan kekuatan
Penurunan otot menurun
kemampuan Kelemahan Tungkai
sensibilitas bawah
Keterbatasa
n gerak Kemampuan gerakan dorsofleksi,
fleksi plantar, inversi dan eversi

Hambatan
Mudah tersandung
Mobilitas Fisik

Resiko Jatuh
BAB IV

PENUTUP

A. Kesimpulan
Paraplegia merupakan hilangnya kemampuan untuk menggerakkan anggota tubuh bagian
bawah yang meliputi kedua tungkai. Paraplegia dapat terjadi hanya sementara atau
bahkan menjadi permanen tergantung dari penyebabnya (Sudoyo,2010). Paraplegia
muncul dengan manifestasi gangguan fungsi motoric dan sensorik.
B. Saran
Dengan di susunya laporan ini mengharapkan kepada semua pembaca agar dapat
mengetahui dan memahami tentang asuhan keperawatan dari penyakit Paraplegia.
DAFTAR PUSTAKA

Mutaqqin A. Asuhan Keperawatan Klien Dengan Gangguan Persarafan. Jakarta: Salemba


Medika, 2008

Savitri T. Penyakit Pilek dan Flue. Hallo Sehat, 2017

Yudistira B. Perbedaan Penerimaan Kondisi Fisik Diri Penderita Paraplegia Korban Gempa
Yang Mendapatkan Pendampingan Psikologis Dan Yang Tidak Mendapatkan
Pendampingan Psikologis. Yogyakarta : Universitas Sanata Dharma, 2010

Bulechek, Gloria M. dkk. Nursing Intervention classification. Singapore : Elsevier Inc, 2013

Moorhead S. dkk. Nursing outcomes classification. Singapore : Elsevier Inc, 2013

Tim pokja SDKI. Standar diagnosa keperawatan indonesia. Jakarta : Dewan Pengurus Pusat,
2017

Khaerani A. Peran persepsi dukungan sosial dan religiusitas terhadap kesehjahteraan psikologis
pasien paraplegia. http://etd.repository.ugm.ac.id/index.php?
mod=penelitian_detail&sub=PenelitianDetail&act=view&typ=html&buku_id=83332
&obyek_id=4. Dipublikasikan 2015. Diakses 1 desember.

Anda mungkin juga menyukai