Anda di halaman 1dari 14

MAKALAH TOLERANSI IMUNOLOGI

OLEH

KELOMPOK II

1. Poppy cinthya dewi 1701055

2. Deci Ika Putri 1801024

3. Intan Idriani 1801042

4. Dwinabellamaharani 1801150

5. Bagas sembeja 1701044

6.Vivi Arfiani 1701090

7. Resi nadya 1701093

8. Annisa Ardila 19011005

9. akhyar aditya pratama 19011033

DOSEN PENGAMPU : apt. FITRATUL WAHYUNI, S.farm

SEKOLAH TINGGI ILMU FARMASI

PADANG

2021
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Toleransi atau kegagalan membentuk antibodi atau mengembangkan repon


imunseluler  pasca pajanan pajanan denganimunogen atau dengan imunogen atau
antigen antigen terjadi terjadi hanya terhadap terhadap antigentertentu
antigentertentu saja dan tidak disertai gangguan terhadap respon antigen yang lain.
Tubuhmempunyai mekanisme kuat utuk mencegah terjadinya autoimunitas. Sel T
terutama sel CD4+ memiliki peran sentral dalam CD4+ memiliki peran sentral
dalam mengontrol hampit semua respon imun.oleh karenaitu toleransii sel T
merupakan hal yang jauh lebih penting disbanding toleransi terhadapsel B. hampir
semua sel B self-reacive tidak akan dapat memproduksi autoantibodykecuali
mendapat bantuan yang benar dari sel T.

B. Rumusan Masalah

1. Apa yang dimaksud dengan toleransi imun ?

2. Apa yang dimaksud dengan inersi dan anergi ?

3. Apa yang dimaksud dengan regulasi oleh sel B dan sel T ?

4. Apa yang dimaksud dengan terminasi toleransi ?

5. Bagaimana Pengamanan dan pencegahannya ?

C. Tujuan

Pembuatan makalah ini bertujuan untuk menambah wawasan dan


pengetahuan lebih dalam mengenai toleransi imunologik serta untuk memenuhi
tugas mata kuliah Serologi & Imunologi.
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Toleransi imun


Toleransi atau kegagalan membentuk antibodi atau mengembangkan respon
imun seluler pasca pajanan dengan imunogen atau antigen terjadi hanya terhadap
antigen tertentu saja dan tidak disertai gangguan terhadap respon antigen yang
lain. Tubuh mempunyai mekanisme kuat utuk mencegah terjadinya autoimunitas.
Sel T terutama sel CD4+ memiliki peran sentral dalam mengontrol hampir semua
respon imun oleh karena itu toleransi sel T merupakan hal yang jauh lebih penting
dibanding toleransi terhadap sel B. hampir semua sel B self-reacive tidak akan
dapat memproduksi autoantibody kecuali mendapat bantuan yang benar dari sel T.
Mekanisme proteksi yang kuat diperlukan untuk mencegah terjadinya
penyakit autoimun, melindungi individu dari limfosit yang potensial self-reaktif
tensial self-reaktif terhadap antigen terhadap antigen sel tubuh sendiri yang
disebut toleransi. Mekanisme tersebut dapat primer terjadi pada organ limfoid
primer, seperti sumsum tulang dan timus, yang disebut toleransi sentral dan di
perifer yang disebut toleransi perifer. Toleransi terhadap antigen sendiri terjadi
selama hidup fetal melalui inaktivasi atau dihancurkan limfosit self-reaktif. Proses
tersebut disebut clonal abortion, clonal deletion atau seleksi.

2.2 Inersi dan Anergi


Inersi adalah imunosupresi yang berhubungan dengan antigen histokompatibel
yang terjadi misalnya selama masa hamil, berupa supresi reaktifitas imun ibu
terhadap antigen histokompatibel janin. Anergi adalah menurunnya atau
menghilangnya fungsi sel b atau sel t. Anergi di induksi oleh pengenalan antigen
tanpa adan di induksi oleh pengenalan antigen tanpa adanya kostimulator yang
cukup dan dapat di timulator yang cukup dan dapat di induksi oleh mutasi antigen
peptida.
2.3 Regulasi oleh antigen dan antibodi
1. Regulasi oleh antigen
Antigen diperlukan untuk mengawali respon imun yang derajatn derajatnya
dipengaruhi faktor genetik ya dipengaruhi faktor genetik (gen MHC). Tidak
semua suntikan antigen menimbulkan respons imun. Respon imun dipengaruhi
jenis antigen, larut atau berupa partikel, dosis, waktu pemberian, sifat dan
komposisi antigen (protein atau hidrat arang).
2. Regulasi oleh antibodi
Pembentukan antibodi berakhir dalam pencegahan umpan balik. Antibodi
atau mencegah produksi immunoglobulin (IgG, umpan balik negative).
Timbulnya antibodi IgM berakhir dalam penghentian produksinya dan mulainya
sintesis IgG. Hal ini diduga terjadi oleh karena adanya kompetisi antigen dan
reseptor untuk IgG pada permukaan sel B. demikian  pula bila kadar antibodi
meningkat, kadar antigen akan menurun.

2.4 Toleransi sel B dan sel T


2.4.1 Toleransi Sel B
A. Toleransi Sentral
Sel B imatur yang merupakan sel terdini Sel B imatur yang merupakan sel
terdini dalam perkembangan sel, mengekspresikan BCR. Seleksi terhadap sel B
autoreaktif mulai terjadi pada stadium ini dan terjadi dalam sumsum tulang. BCR
berfungsi mengikat molekul ekstraseluler dan mengawali sinyal sitoplasmik yang
antigen spesifik. Bila BCR tidak yang antigen spesifik. Bila BCR tidak berikatan
dengan antigen spesifik, sinyal BCR tetap ada pada ambang basal dan sel
memasuki fase transisi untuk dilepas ke sirkulasi perifer. Sel B imatur yang
terpajan dengan antigen ekstraseluler akan meningkatkan sinyal melalui BCR
untuk berhenti berkembang.
Prinsip seleksi dan eliminasi sel yang self-reaktif (seleksi negative) pada
toleransi sel T  berlaku  berlaku juga untuk sel B. Sel B yang self-reaktif self-
reaktif dihancurkan dalam sumsum tulang. Toleransi sentral sel B terjadi bila sel
B imatur terpajan dengan self-antigen yang multivalent dalam sumsum tulang.
Hal tersebut menimbulkan apoptosis atau spesifitas baru pesifitas baru yang
disebut receptor editing.

B. Toleransi perifer
Seperti dengan sel T, sel B terus berfungsi dalam pengawasan perifer untuk
mempertahankan toleransi. Meskipun sel B yang meninggalkan sumsum tulang
yang meninggalkan sumsum tulang adalah toleran terhadap self-antigen. Namun,
beberapa sel terlepas dari proses seleksi negative. Untuk mencegah autoimunitas,
ada proses pencegahan toleransi kedua diperifer. Setelah meninggalkan sumsum
tulang, sel B yang relative imatur, bermigras tive imatur, bermigrasi ke zona sel T
ke zona sel T luar dalam limpa. Sel B dengan seleksi negative menempati limpa,
diproses untuk induksi anergi, dicegah bermigrasi sel ke folikel sel B dan
apoptosis ditin apoptosis ditingkatkan. Siklus sel B self- gkatkan. Siklus sel B self
reaktif dalam limpa adalah 1-3 hari. namun beberapa sel B antigen dengan
aviditas tinggi  berperan dalam respons terhadap antigen asing.
2.4.2 Toleransi sel T
Mekanisme toleransi dapat primer yang terjadi di organ limfoid pirmer seperti
sumsum tulang dan timus, yang disebut toleransi sentral, dan di perifer yang
disebut toleransi  perifer.
A. Toleransi sentral
Sel T diproduksi di dalam sumsung tulang, namun pematangan dan
perkembangannya terjadi dalam timus. Prekursor sel T yang berasal dari sumsum
tulang bermigrasi melalui darah ke korteks kelenjar timus. Toleransi sentral
adalah induksi toleransi saat limfosit berada dalam perkembangannya di timus.
Proses seleksi terjadi untuk menyingkirkan timosit ang self reaktif. Melalui proses
yang disebut seleksi positif, sel T hidup dengan berikatan dengan MHC. Sel T
dengan TCR yang gagal berikatan dengan self engan self-MHC dalam timus akan
mati melalui apoptosis. Ikatan sel T dengan reseptornya dengan afinitas Ikatan sel
T dengan reseptornya dengan afinitas rendah akan tetap hidup. Namun sel T yang
mengikat kompleks peptida-MHC dengan afinitas tinggi dalam tubuh, akan
memiliki  potensi untuk mengenal sel-antigen yang menimbulkan autoimunitas.
Oleh karena itu selsel tersebut disingkirkan, dan proses itu disebut seleksi negatif
atau edukasi timus. Timosit timus. Timosit yang mengalami proses seleksi negatif
dihancurkan dan gagal untuk berfungsi. Pada beberapa hal, sel T yang self reaktif
dapat lolos dari seleksi negatif dari timus dan muncul di perifer. Toleransi perifer
menginaktifkan sel-sel tersebut yang dapat diartikan sebagai inaktivaasi sel T
yang masih self-reaktif di perifer.

B. Toleransi Perifer
Toleransi perifer merupakan mekanisme yang diperlukan untuk
mempertahankan toleransi terhadap antigen yang tidak ditemukan di organ
limfoid primer atau terjadi bila ada klon sel dengan reseptor afinitas tinggi yang
lolos dari seleksi primer. Mekanisme yang dapat mencegah toleransi perifer
adalah ignorance, anergi dan konstimulasi, dan mekanisme regulasi oleh sel Treg.
1. Ignorance
Ignorance imunologis adalah keadaan bila antigen tidak dihiraukan? Tidak
kelihatan/ dikenal oleh sistem imun.
2. Sel T autoreaktif yang dipisahkan
dipisahkan Self-antigen dan limfosit juga dipisahkan oleh jalur sirkulasi limfosit
yang terbatas. Sehingga membatasi limfosit naif yang tidak bebas bergerak ke
jaringan limfoid sekunder dah darah.
3. Anergi dan kostimulasi
kostimulasi Sel yang self-reaktif disingkirkan melalui apoptosis atau induksi
anergi/ keadaan tidak responsif.
2.5 Terminasi Toleransi
A. Berbagai cara manipulasi
Beberapa jenis toleransi dapat diakhiri dengan manipulasi melalui beberapa cara
sebagai  berikut :
1. Suntikan dengan sel T normal dapat mengakhiri toleransi terhadap γ
globulin heterolog. erhadap γ globulin heterolog.
2. Suntikan sel alogenik dapat mengakhiri atau mencegah toleransi.
Mekanismenya tidak spesifik dan melibatkan faktor efek alogenik dengan aktivasi
populasi asal sel T yang tidak responsive.
3. Suntikan LPS, yan g merupakan activator sel B poliklonal dapat
mengakhiri toleransi sel B kompeten dan tidak melibatkan sel T.
B. Komplek antigen-antibodi
Komplek antigen-antibodi kadang-kadang dapat menimbulkan toleransi melalui
blockade reseptor. Tetapi komplek imun dapat pula jadi sangat imunogenik,
tergantung dari sifat dan  perbandingan antigen dan antibodi.
C. Molekul Pembawa Non-imunogenik
Molekul pembawa noni munogenik seperti molekul sendiri atau molekul yang
sulit dirusak dapat mengubah tolerogenisitas hapten yang pada keadaan biasa
antigenik.
D. Peran Sel-sel Asesori Pada Toleransi
APC dan makrofag merupakan sel-sel pertama yang bekerja dalam respon imun.
Pada umumnya bila antigen sampai dikenal makrofag, imunitas akan diperoleh.
Bila makrofag dilewati, beberapa jenis toleransi dapat terjadi. Rusaknya makrofag
oleh berbagai bahan yang terjadi sebelum antigen diberikan, dapat menimbulkan
toleransi. APC mempresentasikan antigen ke sel T naïf dan perkembangan sel T
selanjutnya menjadi Th1, Th2, atau Th3 tergantung dari sitokin. Parasit
intraseluler menginduksi terutama produksi IL-12 dan Th1, sedangkan parasit
ekstraseluler IL-12 dan Th1, menginduksi produksi IL-4 atau IL-13. Sel Th1
memproduksi IFN-γ yang mengaktifkan makrofag dalam fase efektor. Toleransi
bersifat epitope spesifik, tidak ada respon terhadap semua epitope dari antigen
tertentu. Deviasi imun ( split tolerance tolerance) hanya mengenai respon
humoral atau seluler saja, tetapi tidak keduanya.

2.6 Induksi toleransi


Tolerogen adalah antigen yang dapat menginduksi toleransi imunologik.
Terjadinya toleransi atau imunitas sebagai respon terhadap antigen tergantung dari
berbagai variabel seperti keadaan fisik antigen, rute pemberian, ambang maturasi
sistem imun resipien atau kompetensi imun. Pada umumnya toleransi lebih mudah
diinduksi pada sel imatur dibanding sel matang dan toleransi dapat diinduksi
dengan antigen dosis lebih kecil. Menginduksi toleransi sel T lebih mudah dan
toleransinya lebih lama dibandingkan dengan sel B.
A. Antigen Larut
Antigen larut pada umumnya tidak begitu imunogenik dan lebih tolerogeni, oleh
karena APC tidak dapat mempresentasikannya. Mungkin pula oleh karena
reseptor limf karena reseptor limfosit dan rangsangan osit dan rangsangan sel T
dicegah.
B. Rute Fetal (neonatal)
Toleransi dapat diinduksi dengan inokulasi sel alogenik ke neonates atau janin in
utero sebelum janin in utero sebelum sistem imun resipien menjadi matang.
C. Toleransi oral-rute oral
Tidak adanya respon oral merupakan kemampuan selektif sistem imun mukosa
agar tidak memberikan respon imun terhadap antigen dalam makanan dan
mikroorganisme. Toleransi oral diduga berkembang untuk memudahkan sistem
imun saluran cerna terpajan dengan protein eksternal tanpa menimbulkan
sensitasi.
D. APC, Anti-MHC
Hal yang menghambat fungsi APC seperti bantuan antibodi untuk molekul MHC,
akan menurunkan imunogenitas dan membantu terjadinya toleransi. Intervensi
presentasi antigen dapat ditimbulkan sel T yang tidak memerlukan APC. Antibodi
terhadap molekul MHC dapat menerangkan efek transfuse darah dalam
memperbaiki masa hidup transplan ginjal.
E. Dosis Tinggi Antigen
Antigen dosis tinggi biasanya lebih tolerogenik, meskipun pemberian dosis
rendah yang  berulang-ulang dapat pula menimbulkan toleransi sel T.
F. Bunuh Diri
Antigen yang diikat oleh obat toksik, radioisotope dan lainnya dapat mencari sel T
atau sel B dan membunuhnya tanpa merusak

2.7 Pengamanan dan pencegahan


A. Peran Sel Tr pada toleransi perifer
Sel Tr bekerja dijaringan limfoid dan tempat inflamasi. Sel Tr merupakan
subset sel T CD4+ khusus, mengekpresikan rantai IL-2Rα (CD25) kadar tinggi.
Sel T regulator atau Th3 memproduksi sitokin imunosupresif IL-10 yang berperan
dalam toleransi, menghambat fungsi toleransi, menghambat fungsi APC dan
aktivitas makrofag serta TGF-β yang menghambat profliferasi sel T dan juga
makrofag. Sel Tr dibentuk dari timosit selama seleksi negative ditimus. Sel Tr
timbul dari subset sel T yang mengekspresikan reseptor dengan afinitas sedang
untuk self-antigen dalam timus. Sel Tr terbentuk oleh pengenalan self-antigen
dalam timus kadang disebut sel regulator alamiah, mungkin sebagian kecil timbul
oleh pengenalan antigen dijaringan limfoid perifer (Tr mfoid perifer (Tr Adaptif).
Sel Ts/Tr menekan aktivitas sel Th. Mekanisme supresi oleh sel Tr terjadi melalui
sitokin yang diproduksinya oleh rangsangan antigen yaitu IL-10 dan TGF-β yang
merupakan supresor kuat aktivasi sel T. Bila sel Ts/Tr/Th3 dipindahkan pada
resipien normal, maka imunitas terhadap antigen spesifik tertentu akan tetap
dicegah. Fenomena itu disebut toleransi infektif.
B. Presentasi Antigen
Secara teoritis, APC dapat menolak untuk mempresentasikan antigen sendiri
ke sel T, tetapi dalam kenyataannya molekul MHC kadang mengikat dan
mempresentasikan peptida sendiri.
C. Eliminasi Klon
Menurut Burnet dan Medawar (seleksi klon) interaksi antara antigen dan klon
imatur limfosit yang sudah mengekspresikan reseptor antigen akan menimbulkan
toleransi. Hal ini dapat terjadi pada sel T dalam timus dan sel B dalam sumsum
tulang.
D. Reseptor Sel B
Reseptor sel B (Ig) dapat dipenuhi antigen yang tidak menimbulkan aktivasi
sel. Sel B janin dapat melepaskan Ig, tetapi tidak mampu untuk mengikat antigen.
E. Reseptor Sel T
Reseptor sel T hanya timbul bila diaktifkan atas pengaruh antigen spesifik
yang larut. Bila sel T dibiakkan tanpa serum sendiri terjadi bunuh diri yang
menunjukkan adanya faktor blockade dalam serum.
F. Jaring anti-idiotip
Seperti halnya dengan sel Ts/Tr, AAI ditemukan pada hewan dengan
autoimunitas yang nampaknya mengatur reaksi yang terjadi. AAI adalah antibodi
terhadap region ikatan epitope dari antibodi asli. AAI tersebut dapat menurunkan
regulasi respon imun dan dapat mencegah epitope yang merupakan pencetus
efektif untuk proliferasi limfosit.
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
1. Toleransi imun merupakan tidak adanya respons spesifik terhadap antigen,
sedangkan respons lainnya bekerja baik.
2. Tujuan utama system imun adalah membedakan sel tubuh sendiri dari yang
bukan dari sendiri. Kegagalan tersebut akan menimbulkan reaksi imun terhadap
sel dan organ pejamu dengan kemungkinan terjadinya penyakit autoimun.
3. Mekanisme untuk mencegah reaktivitas terhadap sel tubuh sendiri disebut
toleransi, bekerja pada beberapa tahap. Toleransi sentral befungsi untuk
menyingkirkan sel T atau sel B yang self reaktif; toleransi perifer menonaktifkan
limfosit sef reaktif yang tetap  bertahan hidup dalam proses skrinning awal.
4. Faktor yang berperan dalam sifat, intensitas dan lama fungsi imun anatara lain
adalah usia, kadar hormon neuroendokrin,HLA, dosis antigen dan lingkungan
sitokin
5. Toleransi dapat terjadi pada sel B atau sel T atau keduanya dan terjadi melalui
mekanisme seperti apoptosis, anergi, akses antigen dan pembentukan sel Ts/Tr.
DAFTAR PUSTAKA

Abbas K A, Lichtmant A H, Pillai S. Cellular and Molecular lecular Immunology.


Sixth ed. Immunology. Sixth ed. Philadelphia : W B Philadelphia : W B Saunders
Company; 2007.

Djatmika. Imunomodulator dan Perkembangannya. Prosiding Seminar Nasional


Farmasi Tahun 2010 Cetakan ketiga. Semarang: Penerbit STIFAR Yayasan
Farmasi 2010; p. 14-43.

Dahlan MS. Statistik Untuk Kedokteran dan Kesehatan. Edisi ke 5. Jakarta :


Salemba Medika; 2011.

Baratawidjaja, K.G dan Iris Rengganis. 2009. Imunologi Dasar ed. 8. Balai
penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta.

Anda mungkin juga menyukai