Anda di halaman 1dari 11

MAKALAH HIPERSENSITIVITAS

OLEH

KELOMPOK II

1. DECI IKA PUTRI 1801024

2. INTAN INDRIANI 1801042

3. Dwinabellamaharani 1801150

4. BAGAS SEMBEJA 1701044

5.Vivi Arfiani 1701090

6. Resi nadya 1701093

7. Annisa Ardila 19011005

8.akhyar aditya pratama 19011033

9. Poppy cinthya dewi 1701055

DOSEN PENGAMPU : apt. FITRATUL WAHYUNI, S.farm

SEKOLAH TINGGI ILMU FARMASI

PADANG

2021
BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Hipersensitivitas merupakan peningkatan sensitivitas terhadap antigen yang pernah


terpapar sebelumnya (Baratawidjaja & Rengganis, 2009). Hipersensitivitas tipe 1 atau
dikenal juga dengan istilah alergi adalah reaksi berlebihan sistem imun terhadap suatu zat
yang melibatkan aktivitas Imunoglobulin E (IgE). Respon imun ini menyebabkan kerusakan di
jaringan yang manifestasinya sesuai dengan target organ yang dikenainya (Abbas &
Lichtman, 2009).

Alergi merupakan salah satu penyakit yang menjadi masalah utama kesehatan di
dunia. World Health Organization (WHO) melaporkan bahwa 20% penduduk dunia
mengalami alergi yang diperantarai IgE, seperti asma, rhinitis alergi, konjungtivitis alergi,
eksema, dan anafilaksis. Prevalensi alergi di dunia meningkat pesat baik itu di negara maju
ataupun di negara berkembang. Peningkatan ini terjadi dalam dua dekade terakhir dan
menjadi masalah terutama pada anak-anak (Pawankar et al, 2012).

Alergi terjadi ketika seseorang terpapar dengan alergen. Beberapa jenis allergen
adalah serbuk sari, tungau debu rumah, bulu binatang, makanan, dan bahan kimia seperti
antibiotik. Salah satu alergen yang terbukti bisa menstimulasi alergi adalah ovalbumin.
Ovalbumin merupakan bagian dari protein yang ada di dalam putih telur yang mempunyai
tingkat alergenisitas 100% (Flaherty, 2012).

Reaksi alergi terjadi jika individu dengan faktor predisposisi alergi yang telah
tersensitisasi terpapar ulang dengan alergen yang sama. Pada fase sensitisasi, alergen yang
masuk ke dalam tubuh akan diproses oleh Antigen Presenting Cell (APC), kemudian APC
akan menginduksi aktivasi limfosit T. Limfosit T kemudian mengaktivasi Sel T Helper 2 (Th2)
untuk menghasilkan IL-4 dan IL-13 yang akan menginduksi limfosit B untuk menghasilkan
IgE. Ketika terpapar ulang dengan alergen yang sama, maka alergen tersebut berinteraksi
dengan IgE yang terikat di permukaan sel mast dan akan menyebabkan sel mast teraktivasi.

Selanjutnya sel mast akan berdegranulasi dan mengeluarkan mediator kimia. Salah
satunya adalah histamin yang menyebabkan terjadinya peningkatan permeabilitas
pembuluh darah dan diikuti dengan ekstravasasi cairan. Hal ini menimbulkan inflamasi alergi
dengan manifestasi klinis berupa gatal, bengkak, dan merah pada kulit (Fujita et al., 2012;
Owen et al., 2013).

Mediator inflamasi lainnya yang dihasilkan oleh sel mast adalah sitokin
kemoatraktan (IL-5, IL-8, Tumor Necrosis Factor) yang menyebabkan infiltrasi sel-sel
inflamasi berupa eosinofil, neutrofil, dan basofil pada jaringan kulit. Selain itu, sel mast juga
melepas faktor kemotaktik seperti Eosinophil Chemotactic Factor (ECF) dan Neutrophil
Chemotactic Factor (NCF) yang ikut menyebabkan terjadinya infitrasi sel eosinofil dan
neutrofil dalam kurun waktu 2-8 jam setelah pemaparan alergen. Dari pemeriksaan
histopatologi pada urtikaria, didapatkan gambaran edema dermis dan infiltrasi dari sel-sel
radang yang terutama didominasi oleh eosinofil (Baskoro et al. dalam IPD, 2014; Subowo,
2013).

Manifetasi alergi bisa ditemukan di seluruh tubuh. Alergi bisa mengenai berbagai
organ seperti paru-paru, hidung, saluran pencernaan, dan kulit. Kulit merupakan organ
paling luas yang sering menampakkan manifestasi dari alergi. Kelainan yang tampak pada
kulit dapat dibangkitkan oleh berbagai tipe allergen diantaranya ingestan, inhalan, injektan
dan kontaktan (Subowo, 2013).

B. Rumusan Masalah

1. Apa yang dimaksud dengan hipersensitivitas?

2. Etiologi penyakit hipersensitivitas?

3. Patofisiologi penyakit hipersensitivitas?

4. Berapa klasifikasi penyakit hipersensitivitas?

5. Apa tanda dan gejala penyakit hipersensitivitas?

6. Bagaimana penanganan atau terapi penyakit hipersensitivitas?

C. Tujuan

Pembuatan makalah ini bertujuan untuk menambah wawasan dan pengetahuan lebih
dalam mengenai malfungsi sistem imun pada gangguan imunologi khususnya penyakit
hipersensitifitas (alergi) serta untuk memenuhi tugas mata kuliah Serologi & Imunologi.
BAB II PEMBAHASAN

A. Definsi Hipersensitivitas

Alergi atau hipersensitivitas adalah kegagalan kekebalan tubuh di mana


tubuh seseorang menjadi hipersensitif dalam bereaksi secara imunologi terhadap
bahan-bahan yang umumnya non imunogenik. Dengan kata lain, tubuh manusia
bereaksi berlebihan terhadap lingkungan atau bahan-bahan yang oleh tubuh
dianggap asing atau berbahaya. Bahan-bahan yang menyebabkan hipersensitivitas
tersebut disebut alergen.

Reaksi alergi terjadi ketika tubuh salah mengartikan zat yang masuk sebagai
zat yang berbahaya. Sejalan dengan definisi ini, alergi makanan merupakan reaksi
sistem kekebalan yang terjadi segera setelah mengonsumsi makanan tertentu.
Bahkan sejumlah kecil makanan penyebab alergi dapat memicu tanda dan gejala
seperti masalah pencernaan, gatal-gatal atau bengkak saluran udara.

Pada beberapa orang, alergi makanan dapat menyebabkan gejala parah atau
bahkan reaksi yang mengancam nyawa yang dikenal sebagai anafilaksis. Kadang,
alergi makanan disalah artikan dengan kondisi yang lebih umum terjadi, yaitu
intoleransi terhadap makanan. Intoleransi terhadap makanan kondisinya lebih ringan
dari alergi karena tidak melibatkan sistem kekebalan tubuh.

B. Etiologi

Faktor yang berperan dalam alergi yaitu :

1. Faktor Internal

a. Imaturitas usus secara fungsional (misalnya dalam fungsi-fungsi : asam lambung,


enzym-enzym usus, glycocalyx) maupun fungsi-fungsi imunologis (misalnya : IgA
sekretorik) memudahkan penetrasi alergen makanan. Imaturitas juga
mengurangi kemampuan usus mentoleransi makanan tertentu. · Imaturitas usus
(Ketidakmatangan Usus) Secara mekanik integritas mukosa usus dan peristaltik
merupakan pelindung masuknya alergen ke dalam tubuh. Secara kimiawi asam
lambung dan enzim pencernaan menyebabkan denaturasi allergen. Secara
imunologik sIgA pada permukaan mukosa dan limfosit pada lamina propia dapat
menangkal allergen masuk ke dalam tubuh. Pada usus imatur system
pertahanan tubuh tersebut masih lemah dan gagal berfungsi, sehingga
memudahkan alergen masuk ke dalam tubuh
b. Genetik berperan dalam alergi makanan. Sensitisasi alergen dini mulai janin
sampai masa bayi dan sensitisasi ini dipengaruhi oleh kebiasaan dan norma
kehidupan setempat. Alergi dapat diturunkan dari orang tua atau kakek/nenek
pada penderita. Bila ada orang tua, keluarga atau kakek/nenek yang menederita
alergi kita harus mewaspadai tanda alergi pada anak sejak dini. Bila ada salah
satu orang tua yang menderita gejala alergi, maka dapat menurunkan resiko
pada anak sekitar 17 – 40%, Bila ke dua orang tua alergi maka resiko pada anak
meningkat menjadi 53 – 70%.
c. Mukosa dinding saluran cerna belum matang yang menyebabkan penyerapan
alergen bertambah.

2. Fakor Eksternal

a. Faktor pencetus : faktor fisik (dingin, panas, hujan), faktor psikis (sedih,
stress) atau beban latihan (lari, olah raga).
b. Contoh makanan yang dapat memberikan reaksi alergi menurut
prevalensinya: ikan 15,4%; telur 12,7%; susu 12,2%; kacang 5,3% dll.
c. Hampir semua jenis makanan dan zat tambahan pada makanan dapat
menimbulkan reaksi alergi.

3. Faktor Risiko

a. Riwayat keluarga. Terdapat potensi menderita alergi makanan, jika


banyak keluarga yang mengalami gangguan ini.
b. Alergi makanan masa lalu. Pada masaanak-anak mungkin seseorang
dapat mengatasi gangguan alergi makanan, namun dalam beberapa
kasus, gangguan ini kembali di kemudian hari.
c. Alergi lain. Jika sudah alergi terhadap satu makanan, mungkin
mempunyai risiko alergi terhadap makanan lainnya. Demikian juga, jika
memiliki jenis reaksi alergi yang lain,seperti demam atau eksim, risiko
mengalami alergi makanan lebih besar
d. Usia. Alergi makanan yang palingumum terjadi pada anak-anak, terutama
balita dan bayi. Ketika bertambah tua, tubuh cenderung untuk menyerap
komponen makanan atau makanan yang memicu alergi. Untungnya,
anak-anak biasanya dapat mengatasi alergi terhadap susu, gandum
kedelai, dan telur. Alergi parah dan alergi terhadap kacangkacangan dan
kerang mungkin dapat diderita seumur hidup.
e. Asma. Asma dan alergi makanan biasanya terjadi bersama-sama. Ketika
terjadi, baik alergi makanan dan atau gejala asma, bisa menjadi lebih
parah

C. Patofisiologi

Seseorang dapat terpajan alergen dengan menghirup, menelan, atau


mendapatkan pada atau di bawah kulit. Setelah seseorang terkena alergi,
serangkaian kegiatan menciptakan reaksi alergi. Reaksi imunologis tubuh
mempengaruhi timbulnya alergi terhadap makanan. Reaksi ini melibatkan
imunoglobulin, yaitu protein yang membantu dalam respon kekebalan tubuh,
tepatnya Imonuglobulin E (IgE) yang membentuk respon imun tubuh. Respon imun
yang muncul dalam reaksi alergi melalui dua tahap, yaitu tahap sensitisasi alergen
dan tahap elisitasi.

a. Tahap Sensitisasi Tahap sensitisasi muncul ketika tubuh memproduksi antibodi


IgE yang spesifik. Tahap sensitisasi ini juga disebut dengan tahap induksi,
merupakan kontak pertama dengan alergen (yaitu ketika mengkonsumsi
makanan penyebab alergi).
b. Tahap Elisitasi Fase elisitasi terjadi jika terdapat pajanan ulang. Ketika terpajan
dengan makanan (penyebab alergi) yang sama, protein akan mengikat molekul
di sel mediator (sel basofil dan sel mast). Tahap elisitasi ini menyebabkan tubuh
mengeluarkan molekul yang menyebabkan inflamasi (seperti leukotrien dan
histamin). Efek yang timbul serta keparahan alergi dipengaruhi oleh konsentrasi
dan tipe alergen, rute pajanan, dan sistem organ yang terlibat (misalnya k a kulit,
saluran cerna, saluran pernapasan, dan darah). Antibodi melampirkan ke bentuk
sel darah yang disebut sel mast. Sel Mast dapat ditemukan di saluran udara, di
usus, dan di tempat lain. Kehadiran sel mast dalam saluran udara dan saluran
pencernaan membuat daerah ini lebih rentan terhadap paparan alergen.
Mengikat alergen ke IgE, yang melekat pada sel mast. Hal ini menyebabkan sel
mast untuk melepaskan berbagai bahan kimia ke dalam darah. Histamin,
senyawa kimia utama, menyebabkan sebagian besar gejala reaksi alergi

D. Klasifikasi Hipersensitivitas

1. Hipersensitifitas tipe I

Hipersensitifitas tipe I disebut juga sebagai hipersensitivitas langsung atau


anafilaktik. Reaksi ini berhubungan dengan kulit, mata, nasofaring, jaringan
bronkopulmonari, dan saluran gastrointestinal. Reaksi ini dapat mengakibatkan
gejala yang beragam, mulai dari ketidaknyamanan kecil hingga kematian. Waktu
reaksi berkisar antara 15-30 menit setelah terpapar antigen, namun terkadang juga
dapat mengalami keterlambatan awal hingga 10-12 jam. Hipersensitivitas tipe I
diperantarai oleh imunoglobulin E (IgE). Komponen seluler utama pada reaksi ini
adalah mastosit atau basofil. Reaksi ini diperkuat dan dipengaruhi oleh keping darah,
neutrofil, dan eosinofil.

Uji diagnostik yang dapat digunakan untuk mendeteksi hipersensitivitas tipe I


adalah tes kulit (tusukan dan intradermal) dan ELISA untuk mengukur IgE total dan
antibodi IgE spesifik untuk melawan alergen (antigen tertentu penyebab alergi) yang
dicurigai. Peningkatan kadar IgE merupakan salah satu penanda terjadinya alergi
akibat hipersensitivitas pada bagian yang tidak terpapar langsung oleh alergen).
Namun, peningkatan IgE juga dapat dikarenakan beberapa penyakit non-atopik
seperti infeksi cacing, mieloma, dll. Pengobatan yang dapat ditempuh untuk
mengatasi hipersensitivitas tipe I adalah menggunakan anti-histamin untuk
memblokir reseptor histamin, penggunaan Imunoglobulin G (IgG), hyposensitization
(imunoterapi atau desensitization) untuk beberapa alergi tertentu.
2. Hipersensitifitas tipe II

Hipersensitivitas tipe II diakibatkan oleh antibodi berupa imunoglobulin G (IgG)


dan imunoglobulin E (IgE) untuk melawan antigen pada permukaan sel dan matriks
ekstraseluler. Kerusakan akan terbatas atau spesifik pada sel atau jaringan yang
langsung berhubungan dengan antigen tersebut. Pada umumnya, antibodi yang
langsung berinteraksi dengan antigen permukaan sel akan bersifat patogenik dan
menimbulkan kerusakan pada target sel.

Hipersensitivitas dapat melibatkan reaksi komplemen (atau reaksi silang) yang


berikatan dengan antibodi sel sehingga dapat pula menimbulkan kerusakan jaringan.
Beberapa tipe dari hipersensitivitas tipe II adalah:

a. Pemfigus (IgG bereaksi dengan senyawa intraseluler di antara sel epidermal),


b. Anemia hemolitik autoimun (dipicu obat-obatan seperti penisilin yang dapat
menempel pada permukaan sel darah merah dan berperan seperti hapten untuk
produksi antibodi kemudian berikatan dengan permukaan sel darah merah dan
menyebabkan lisis sel darah merah), dan
c. Sindrom Goodpasture (IgG bereaksi dengan membran permukaan glomerulus
sehingga menyebabkan kerusakan ginjal).

3. Hipersensitifitas tipe III

Hipersensitivitas tipe III merupakan hipersensitivitas kompleks imun. Hal ini


disebabkan adanya pengendapan kompleks antigen-antibodi yang kecil dan terlarut
di dalam jaringan. Hal ini ditandai dengan timbulnya inflamasi atau peradangan.
Pada kondisi normal, kompleks antigen-antibodi yang diproduksi dalam jumlah besar
dan seimbang akan dibersihkan dengan adanya fagosit. Namun, kadang-kadang,
kehadiran bakteri, virus, lingkungan, atau antigen (spora fungi, bahan sayuran, atau
hewan) yang persisten akan membuat tubuh secara otomatis memproduksi antibodi
terhadap senyawa asing tersebut sehingga terjadi pengendapan kompleks antigen-
antibodi secara terus-menerus. Hal ini juga terjadi pada penderita penyakit
autoimun. Pengendapan kompleks antigen-antibodi tersebut akan menyebar pada
membran sekresi aktif dan di dalam saluran kecil sehingga dapat memengaruhi
beberapa organ, seperti kulit, ginjal, paru-paru, sendi, atau dalam bagian koroid
pleksus otak.

Patogenesis kompleks imun terdiri dari dua pola dasar, yaitu kompleks imun
karena kelebihan antigen dan kompleks imun karena kelebihan antibodi. Kelebihan
antigen kronis akan menimbulkan sakit serum (serum sickness) yang dapat memicu
terjadinya artritis atau glomerulonefritis. Kompleks imun karena kelebihan antibodi
disebut juga sebagai reaksi Arthus, diakibatkan oleh paparan antigen dalam dosis
rendah yang terjadi dalam waktu lama sehingga menginduksi timbulnya kompleks
dan kelebihan antibodi. Beberapa contoh sakit yang diakibatkan reaksi Arthus adalah
spora Aspergillus clavatus dan A. fumigatus yang menimbulkan sakit pada paru-paru
pekerja lahan gandum (malt) dan spora Penicillium casei pada paru-paru pembuat
keju.

4. Hipersensitifitas tipe IV
Hipersensitivitas tipe IV dikenal sebagai hipersensitivitas yang diperantarai sel
atau tipe lambat (delayed-type). Reaksi ini terjadi karena aktivitas perusakan
jaringan oleh sel T dan makrofag. Waktu cukup lama dibutuhkan dalam reaksi ini
untuk aktivasi dan diferensiasi sel T, sekresi sitokin dan kemokin, serta akumulasi
makrofag dan leukosit lain pada daerah yang terkena paparan. Beberapa contoh
umum dari hipersensitivitas tipe IV adalah hipersensitivitas pneumonitis,
hipersensitivitas kontak (kontak dermatitis), dan reaksi hipersensitivitas tipe lambat
kronis (delayed type hipersensitivity, DTH).

E. Tanda dan Gejala

Gejala alergi dapat mulai dari yang ringan hingga yang berat. Gejala alergi yang ringan
dapat berupa bersin – bersin, hidung meler, gatal – gatal baik bersifat lokal atau seluruh
tubuh, hidung mampet dan gejala alergi lainnya. Gejala alergi dapat dapat terlihat pada
kulit, mata, hidung, paru-paru dan perut, tergantung pada jenis alerginya. Gejala-gejala
alergi bisa mulai dari ringan ke sangat serius adalah :

1. Hives atau welts, ruam, blisters, atau masalah kulit disebut eksim. Ini adalah yang
paling umum gejala alergi obat
2. Batuk, Hidung, dan kesulitan bernapas
3. demam
4. Kulit melepuh dan mengelupas. Masalah ini disebut racun berhubung dengan kulit
necrolysis, dan dapat membawa maut jika tidak dirawat.
5. Anaphylaxis, yang merupakan reaksi paling berbahaya. Dapat membawa maut, dan
Anda akan memerlukan perawatan darurat. Gejala, seperti hives dan kesulitan
bernapas, biasanya muncul dalam waktu 1 jam setelah minum obat, reaksi cepat
tanpa perawatan, Anda dapat masuk ke shock.

F. Terapi Hipersensitivitas
Penanganan gangguan alergi berlandaskan pada empat dasar:

1. Menghindari allergen
2. Terapi farmakologis
a. Adrenergik Yang termasuk obat-obat adrenergik adalah katelokamin
( epinefrin, isoetarin, isoproterenol, bitolterol ) dan nonkatelomin
( efedrin, albuterol, metaproterenol, salmeterol, terbutalin, pributerol,
prokaterol dan fenoterol ). Inhalasi dosis tunggal salmeterol dapat
menimbulkan bronkodilatasi sedikitnya selam 12 jam, menghambat
reaksi fase cepat maupun lambat terhadap alergen inhalen, dan
menghambat hiperesponsivitas bronkial akibat alergen selama 34 jam.
b. Antihistamin Obat dari berbagai struktur kimia yang bersaing dengan
histamin pada reseptor di berbagai jaringan. Karena antihistamin
berperan sebagai antagonis kompetitif mereka lebih efektif dalam
mencegah daripada melawan kerja histamine.
c. Kromolin Sodium Kromolin sodium adalah garam disodium 1,3-bis-2-
hidroksipropan. Zat ini merupakan analog kimia obat khellin yang
mempunyai sifat merelaksasikan otot polos. Obat ini tidak mempunyai
sifat bronkodilator karenanya obat ini tidak efektif unutk pengobatan
asma akut. Kromolin paling bermanfaat pada asma alergika atau
ekstrinsik.

d. Kortikosteroid Kortikosteroid adalah obat paling kuat yang tersedia untuk


pengobatan alergi. Beberapa pengaruh prednison nyata dalam 2 jam
sesudah pemberian peroral atau intravena yaitu penurunan eosinofil
serta limfosit prrimer. Steroid topikal mempunyai pengaruh lokal
langsung yang meliputi pengurangan radang, edema, produksi mukus,
permeabilitas vaskuler, dan kadar Ig E mukosa.

3. Imunoterapi
Imunoterapi diindikasikan pada penderita rhinitis alergika, asma yang diperantarai Ig
E atau alergi terhadap serangga. Imunoterapi dapat menghambat pelepasan
histamin dari basofil pada tantangan dengan antigen E ragweed in vitro. Leukosit
individu yang diobati memerlukan pemaparan terhadap jumlah antigen E yang lebih
banyak dalam upaya melepaskan histamin dalam jumlah yang sama seperti yang
mereka lepaskan sebelum terapi. Preparat leukosit dari beberapa penderita yang
diobati bereaksi seolah-olah mereka telah terdesensitisasisecara sempurna dan tidak
melepaskan histamin pada tantangan dengan antigen E ragweed pada kadar
berapapun

4. Profilaksis
Profilaksis dengan steroid anabolik atau plasmin inhibitor seperti traneksamat,
sering kali sangat efektif untuk urtikaria atau angioedema.

BAB III PENUTUP

A. Kesimpulan
Alergi atau hipersensitivitas adalah kegagalan kekebalan tubuh di mana
tubuh seseorang menjadi hipersensitif dalam bereaksi secara imunologi
terhadap bahan-bahan yang umumnya non imunogenik. Mekanisme
terjadinya alergi terdiri dari fase sensitasi dan fase elisitasi. Klasifikasi dari
hipersensitivitas terdiri dari empat tipe yaitu tipe I, Tipe II. Tipe III dan Tipe IV.
Jdan macamnya terdiri dari alergi oleh karena debu, suhu udara, makanan,
obata-obatan dan oleh bahan kimia lainnya yang dapat berpengaruh. Untuk
terapi alergi dapat dilakukan dengan menghindari allergen dan melakukan
terapi farmakologis.

B. Saran
Untuk mencegah alergi ini kembali,. Merubah pola hidup menjadi dasar
perbaikan seluruh kondisi alergi. Prinsip utama dalam menangani reaksi
alergi adalah menghindari pencetusnya, dan bukan memberinya obat-
obatan. Jadi, perhatikan faktor lingkungan di sekitarnya

DAFTAR PUSTAKA

Baratawidjaja, K. 1993. Penyakit alergi. Jakarta :Yayasan Penerbit IDI. 2.


Fawcett, D.W. 1986. Connective tissue proper. A textbook of Histology.Japan:
In: Bloom, W. and Fawcett, D.W. WB Saunders Co. 11 th ed : 160 – 64. 3.

Gunawijaya, F. A. 1994. Jaringan penyambung. Buku Teks Histologi jilid I.


Jakarta:Binarupa Aksara. 169 – 70.

Jalal, E. A. 1998. Mast cell konsep baru tentang ciri morfologik dan fungsinya.
Jurnal Kedokteran Yarsi. 6 ( 3 ): 28 – 40.

Jeren, M. 1995. Tinjauan pustaka patogenesis dan mediator kimia pada rinitis
alergi. Maj. Kedokter Diponegoro. 1 & 2 : 119 – 27.

Juncqueira, L. , Carneiro, J. 1980. Connective tissue. Basic Histology. Lange.


Canada. 3 rd ed : 100 – 03.

Konthen, P. G. 1998. Pandangan baru penatalaksanaan penyakit alergi


berdasarkan imunopatogenesis. Surabaya: J.Int. Med. 24 (1) : 9 – 13.

Leeson, C. R. , Leeson, T. S., Papparo, A. A. 1981. Connective tissue. Histology.


WB Saunders Co. 4 th ed. 123 – 25. 9. Stevens, A. , Lowe, J. 1997. Blood cells.
Human Histology. Mosby Co. U K. 2 nd ed, : 105.

Anda mungkin juga menyukai