OLEH
KELOMPOK II
3. Dwinabellamaharani 1801150
PADANG
2021
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Alergi merupakan salah satu penyakit yang menjadi masalah utama kesehatan di
dunia. World Health Organization (WHO) melaporkan bahwa 20% penduduk dunia
mengalami alergi yang diperantarai IgE, seperti asma, rhinitis alergi, konjungtivitis alergi,
eksema, dan anafilaksis. Prevalensi alergi di dunia meningkat pesat baik itu di negara maju
ataupun di negara berkembang. Peningkatan ini terjadi dalam dua dekade terakhir dan
menjadi masalah terutama pada anak-anak (Pawankar et al, 2012).
Alergi terjadi ketika seseorang terpapar dengan alergen. Beberapa jenis allergen
adalah serbuk sari, tungau debu rumah, bulu binatang, makanan, dan bahan kimia seperti
antibiotik. Salah satu alergen yang terbukti bisa menstimulasi alergi adalah ovalbumin.
Ovalbumin merupakan bagian dari protein yang ada di dalam putih telur yang mempunyai
tingkat alergenisitas 100% (Flaherty, 2012).
Reaksi alergi terjadi jika individu dengan faktor predisposisi alergi yang telah
tersensitisasi terpapar ulang dengan alergen yang sama. Pada fase sensitisasi, alergen yang
masuk ke dalam tubuh akan diproses oleh Antigen Presenting Cell (APC), kemudian APC
akan menginduksi aktivasi limfosit T. Limfosit T kemudian mengaktivasi Sel T Helper 2 (Th2)
untuk menghasilkan IL-4 dan IL-13 yang akan menginduksi limfosit B untuk menghasilkan
IgE. Ketika terpapar ulang dengan alergen yang sama, maka alergen tersebut berinteraksi
dengan IgE yang terikat di permukaan sel mast dan akan menyebabkan sel mast teraktivasi.
Selanjutnya sel mast akan berdegranulasi dan mengeluarkan mediator kimia. Salah
satunya adalah histamin yang menyebabkan terjadinya peningkatan permeabilitas
pembuluh darah dan diikuti dengan ekstravasasi cairan. Hal ini menimbulkan inflamasi alergi
dengan manifestasi klinis berupa gatal, bengkak, dan merah pada kulit (Fujita et al., 2012;
Owen et al., 2013).
Mediator inflamasi lainnya yang dihasilkan oleh sel mast adalah sitokin
kemoatraktan (IL-5, IL-8, Tumor Necrosis Factor) yang menyebabkan infiltrasi sel-sel
inflamasi berupa eosinofil, neutrofil, dan basofil pada jaringan kulit. Selain itu, sel mast juga
melepas faktor kemotaktik seperti Eosinophil Chemotactic Factor (ECF) dan Neutrophil
Chemotactic Factor (NCF) yang ikut menyebabkan terjadinya infitrasi sel eosinofil dan
neutrofil dalam kurun waktu 2-8 jam setelah pemaparan alergen. Dari pemeriksaan
histopatologi pada urtikaria, didapatkan gambaran edema dermis dan infiltrasi dari sel-sel
radang yang terutama didominasi oleh eosinofil (Baskoro et al. dalam IPD, 2014; Subowo,
2013).
Manifetasi alergi bisa ditemukan di seluruh tubuh. Alergi bisa mengenai berbagai
organ seperti paru-paru, hidung, saluran pencernaan, dan kulit. Kulit merupakan organ
paling luas yang sering menampakkan manifestasi dari alergi. Kelainan yang tampak pada
kulit dapat dibangkitkan oleh berbagai tipe allergen diantaranya ingestan, inhalan, injektan
dan kontaktan (Subowo, 2013).
B. Rumusan Masalah
C. Tujuan
Pembuatan makalah ini bertujuan untuk menambah wawasan dan pengetahuan lebih
dalam mengenai malfungsi sistem imun pada gangguan imunologi khususnya penyakit
hipersensitifitas (alergi) serta untuk memenuhi tugas mata kuliah Serologi & Imunologi.
BAB II PEMBAHASAN
A. Definsi Hipersensitivitas
Reaksi alergi terjadi ketika tubuh salah mengartikan zat yang masuk sebagai
zat yang berbahaya. Sejalan dengan definisi ini, alergi makanan merupakan reaksi
sistem kekebalan yang terjadi segera setelah mengonsumsi makanan tertentu.
Bahkan sejumlah kecil makanan penyebab alergi dapat memicu tanda dan gejala
seperti masalah pencernaan, gatal-gatal atau bengkak saluran udara.
Pada beberapa orang, alergi makanan dapat menyebabkan gejala parah atau
bahkan reaksi yang mengancam nyawa yang dikenal sebagai anafilaksis. Kadang,
alergi makanan disalah artikan dengan kondisi yang lebih umum terjadi, yaitu
intoleransi terhadap makanan. Intoleransi terhadap makanan kondisinya lebih ringan
dari alergi karena tidak melibatkan sistem kekebalan tubuh.
B. Etiologi
1. Faktor Internal
2. Fakor Eksternal
a. Faktor pencetus : faktor fisik (dingin, panas, hujan), faktor psikis (sedih,
stress) atau beban latihan (lari, olah raga).
b. Contoh makanan yang dapat memberikan reaksi alergi menurut
prevalensinya: ikan 15,4%; telur 12,7%; susu 12,2%; kacang 5,3% dll.
c. Hampir semua jenis makanan dan zat tambahan pada makanan dapat
menimbulkan reaksi alergi.
3. Faktor Risiko
C. Patofisiologi
D. Klasifikasi Hipersensitivitas
1. Hipersensitifitas tipe I
Patogenesis kompleks imun terdiri dari dua pola dasar, yaitu kompleks imun
karena kelebihan antigen dan kompleks imun karena kelebihan antibodi. Kelebihan
antigen kronis akan menimbulkan sakit serum (serum sickness) yang dapat memicu
terjadinya artritis atau glomerulonefritis. Kompleks imun karena kelebihan antibodi
disebut juga sebagai reaksi Arthus, diakibatkan oleh paparan antigen dalam dosis
rendah yang terjadi dalam waktu lama sehingga menginduksi timbulnya kompleks
dan kelebihan antibodi. Beberapa contoh sakit yang diakibatkan reaksi Arthus adalah
spora Aspergillus clavatus dan A. fumigatus yang menimbulkan sakit pada paru-paru
pekerja lahan gandum (malt) dan spora Penicillium casei pada paru-paru pembuat
keju.
4. Hipersensitifitas tipe IV
Hipersensitivitas tipe IV dikenal sebagai hipersensitivitas yang diperantarai sel
atau tipe lambat (delayed-type). Reaksi ini terjadi karena aktivitas perusakan
jaringan oleh sel T dan makrofag. Waktu cukup lama dibutuhkan dalam reaksi ini
untuk aktivasi dan diferensiasi sel T, sekresi sitokin dan kemokin, serta akumulasi
makrofag dan leukosit lain pada daerah yang terkena paparan. Beberapa contoh
umum dari hipersensitivitas tipe IV adalah hipersensitivitas pneumonitis,
hipersensitivitas kontak (kontak dermatitis), dan reaksi hipersensitivitas tipe lambat
kronis (delayed type hipersensitivity, DTH).
Gejala alergi dapat mulai dari yang ringan hingga yang berat. Gejala alergi yang ringan
dapat berupa bersin – bersin, hidung meler, gatal – gatal baik bersifat lokal atau seluruh
tubuh, hidung mampet dan gejala alergi lainnya. Gejala alergi dapat dapat terlihat pada
kulit, mata, hidung, paru-paru dan perut, tergantung pada jenis alerginya. Gejala-gejala
alergi bisa mulai dari ringan ke sangat serius adalah :
1. Hives atau welts, ruam, blisters, atau masalah kulit disebut eksim. Ini adalah yang
paling umum gejala alergi obat
2. Batuk, Hidung, dan kesulitan bernapas
3. demam
4. Kulit melepuh dan mengelupas. Masalah ini disebut racun berhubung dengan kulit
necrolysis, dan dapat membawa maut jika tidak dirawat.
5. Anaphylaxis, yang merupakan reaksi paling berbahaya. Dapat membawa maut, dan
Anda akan memerlukan perawatan darurat. Gejala, seperti hives dan kesulitan
bernapas, biasanya muncul dalam waktu 1 jam setelah minum obat, reaksi cepat
tanpa perawatan, Anda dapat masuk ke shock.
F. Terapi Hipersensitivitas
Penanganan gangguan alergi berlandaskan pada empat dasar:
1. Menghindari allergen
2. Terapi farmakologis
a. Adrenergik Yang termasuk obat-obat adrenergik adalah katelokamin
( epinefrin, isoetarin, isoproterenol, bitolterol ) dan nonkatelomin
( efedrin, albuterol, metaproterenol, salmeterol, terbutalin, pributerol,
prokaterol dan fenoterol ). Inhalasi dosis tunggal salmeterol dapat
menimbulkan bronkodilatasi sedikitnya selam 12 jam, menghambat
reaksi fase cepat maupun lambat terhadap alergen inhalen, dan
menghambat hiperesponsivitas bronkial akibat alergen selama 34 jam.
b. Antihistamin Obat dari berbagai struktur kimia yang bersaing dengan
histamin pada reseptor di berbagai jaringan. Karena antihistamin
berperan sebagai antagonis kompetitif mereka lebih efektif dalam
mencegah daripada melawan kerja histamine.
c. Kromolin Sodium Kromolin sodium adalah garam disodium 1,3-bis-2-
hidroksipropan. Zat ini merupakan analog kimia obat khellin yang
mempunyai sifat merelaksasikan otot polos. Obat ini tidak mempunyai
sifat bronkodilator karenanya obat ini tidak efektif unutk pengobatan
asma akut. Kromolin paling bermanfaat pada asma alergika atau
ekstrinsik.
3. Imunoterapi
Imunoterapi diindikasikan pada penderita rhinitis alergika, asma yang diperantarai Ig
E atau alergi terhadap serangga. Imunoterapi dapat menghambat pelepasan
histamin dari basofil pada tantangan dengan antigen E ragweed in vitro. Leukosit
individu yang diobati memerlukan pemaparan terhadap jumlah antigen E yang lebih
banyak dalam upaya melepaskan histamin dalam jumlah yang sama seperti yang
mereka lepaskan sebelum terapi. Preparat leukosit dari beberapa penderita yang
diobati bereaksi seolah-olah mereka telah terdesensitisasisecara sempurna dan tidak
melepaskan histamin pada tantangan dengan antigen E ragweed pada kadar
berapapun
4. Profilaksis
Profilaksis dengan steroid anabolik atau plasmin inhibitor seperti traneksamat,
sering kali sangat efektif untuk urtikaria atau angioedema.
A. Kesimpulan
Alergi atau hipersensitivitas adalah kegagalan kekebalan tubuh di mana
tubuh seseorang menjadi hipersensitif dalam bereaksi secara imunologi
terhadap bahan-bahan yang umumnya non imunogenik. Mekanisme
terjadinya alergi terdiri dari fase sensitasi dan fase elisitasi. Klasifikasi dari
hipersensitivitas terdiri dari empat tipe yaitu tipe I, Tipe II. Tipe III dan Tipe IV.
Jdan macamnya terdiri dari alergi oleh karena debu, suhu udara, makanan,
obata-obatan dan oleh bahan kimia lainnya yang dapat berpengaruh. Untuk
terapi alergi dapat dilakukan dengan menghindari allergen dan melakukan
terapi farmakologis.
B. Saran
Untuk mencegah alergi ini kembali,. Merubah pola hidup menjadi dasar
perbaikan seluruh kondisi alergi. Prinsip utama dalam menangani reaksi
alergi adalah menghindari pencetusnya, dan bukan memberinya obat-
obatan. Jadi, perhatikan faktor lingkungan di sekitarnya
DAFTAR PUSTAKA
Jalal, E. A. 1998. Mast cell konsep baru tentang ciri morfologik dan fungsinya.
Jurnal Kedokteran Yarsi. 6 ( 3 ): 28 – 40.
Jeren, M. 1995. Tinjauan pustaka patogenesis dan mediator kimia pada rinitis
alergi. Maj. Kedokter Diponegoro. 1 & 2 : 119 – 27.