Anda di halaman 1dari 125

ANALISIS KERENTANAN PENGHIDUPAN RUMAH

TANGGA NELAYAN DI KOTA TEGAL

ZULFA NUR AULIATUN NISSA’

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2019
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER
INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Analisis Kerentanan


Penghidupan Nelayan di Kota Tegal‖ adalah benar karya saya dengan arahan dari
komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan
tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang
diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks
dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, Juli 2019

Zulfa Nur Auliatun Nissa’


NRP I353170091
RINGKASAN

ZULFA NUR AULIATUN NISSA’. Analisis Kerentanan Penghidupan Rumah


Tangga Nelayan di Kota Tegal. Di bawah bimbingan ARYA HADI
DHARMAWAN dan SAHARUDDIN

Perubahan iklim merupakan fenomena global yang meberikan dampak


negatif pada sistem kehidupan dan tingkat kerentanan masyarakat khususnya
masyarakat di wilayah pesisir. Tingkat kerentanan masyarakat terhadap perubahan
iklim berbeda dari satu daerah ke daerah lain meski dalam satu negara (Liverman
2007; IPCC 2014). Tingkat kerentanan tersebut dipengaruhi oleh kondisi dan
keterpaparan iklim (Climatechange exposure), sensitivitas masyarakat dan
kemampuan mereka untuk beradaptasi (Metzger 2006; IPCC 2007). Rendahnya
pemahaman nelayan mengenai perubahan iklim menempatkan mereka pada posisi
yang beresiko seperti merasakan dampak dari perubahan iklim yang kemudian
menekan sistem penghidupan mereka. Nelayan diketahui sangat bergantung pada
fluktuasi sumber daya ikan dan sifat perikanan yang “open access” dan common
resources. Sifat perikanan tersebut menyebabkan degradasi sumber daya,
kemiskinan dan marginalisasi. Masalah perikanan skala kecil meliputi kinerja
ekonomi yang rendah dan kemampuan atau keahlian yang terbatas dalam
menghadapi tekanan global, termasuk perubahan iklim. Berdasarkan masalah
yang dihadapi oleh nelayan seperti yang dijelaskan, tentu saja merupakan bahaya
tersendiri pada sistem mata pencaharian nelayan yang menyebabkan mata
pencaharian nelayan menjadi lebih rentan terhadap paparan perubahan iklim dan
paparan sosial ekonomi lainnya.
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menganalisis tingkat kerentanan
mata pencaharian rumah tangga nelayan. Penelitian ini menggunakan metode
kuantitatif yang didukung oleh data kualitatif. Penelitian ini dilakukan di
Kecamatan Muarareja, Kota Tegal, Jawa Tengah. Penelitian ini dilakukan dengan
menggunakan kuesioner indeks kerentanan penghidupan yang diadaptasi dari
IPCC (International Panel of Climate Change)/ LVI-IPCC dan wawancara
mendalam. Data dikumpulkan dari empat puluh responden. Data dari hasil survey
kemudian dianalisis dengan analisis LVI dan analisis deskriptif kualitatif.
Wilayah Kelurahan Muarareja merupakan Kelurahan yang mayoritas hampir
seluruh warganya bermatapencaharian sebagai nelayan skala kecil dengan
kapasitas kapal 3-10GT. Paparan atau exposure yang sering mereka keluhkan
diantaranya cuaca/musim yang kadang tidak mendukung kegiatan penangkapan
kemudian menyebabkan sebagian dari mereka menganggur untuk beberapa bulan.
Rendahnya pendidikan dan keterampilan yang dimiliki masyarakat sekitar serta
kondisi geografis yang berbatasan langsung dengan laut utara Jawa menyebabkan
pekerjaan nelayan menjadi satu-satunya pekerjaan yang paling diminati.
Sehingga, akhir-akhir ini BPS mencatat bahwa perairan Kota Tegal sudah
mengalami overfishing akibat semakin banyaknya jumlah nelayan yang kemudian
berdampak pada penurunan produksi. Selain itu juga, semakin padatnya nelayan
menyebabkan beberapa dampak sosial ekonomi lain seperti semakin tingginya
persaingan yang sering berpotensi pada konflik. Konflik yang sering terjadi
seperti sering sangkutan alat tangkap, pencurian akibat tingginya persaingan, dan
semakin sulit mencari Anak Buah Kapal.
Studi ini menemukan fakta bahwa nelayan skala kecil baik lapisan atas
maupun bawah di Kelurahan Muarareja dalam penelitian ini tingkat kerentanan
penghidupannya dihitung berdasarkan LVI-IPCC yaitu 0.04 untuk rumahtangga
nelayan lapisan bawah dan -0.03 untuk rumahtangga nelayan lapisan atas yang
artinya pada rentang atau skala tersebut termasuk pada kategori tingkat kerentanan
rendah (resilient). Meskipun, responden dihadapkan dengan variasi paparan yang
tinggi seperti perubahan iklim, persaingan antar nelayan, dan degradasi sumber
daya perikanan. Namun mereka memiliki kapasitas adaptasi yang cukup baik
dengan penggunaan modal penghidupan secara optimal nelayan lapisan atas
cenderung memanfaatkan modal fisik dan finasialnya untuk melakukan strategi
eksploitasi dan spasial. Di sisi lain lapisan bawah nelayan kebanyakan
menggunakan modal sosial mereka seperti afiliasi dalam kelompok, kepercayaan
yang tinggi dan sistem patron-klien yang berbasis ekonomi moral untuk
menjalankan strategi survival. Sementara untuk tindakan adaptasi yang dilakukan
oleh rumahtangga nelayan Kota Tegal dapat diklasifikasikan menjadi 3 tipologi
adaptasi diantaranya adaptasi re-organisasional rumahtangga, adaptasi teknologi
dan adaptasi kelembagaan kolektif.

Keywords: Adaptasi, kerentanan, penghidupan, modal nafkah, nelayan, strategi


nafkah
SUMMARY

ZULFA NUR AULIATUN NISSA'. Vulnerability Analysis of Household


Fishermen's Livelihoods in Tegal City. Supervised by ARYA HADI
DHARMAWAN and SAHARUDDIN

Climate change is a global phenomenon that gives a negative impact on


living systems and the level of community participation in coastal areas. The level
of public consideration for change is very different from one region to another
while in one country (Liverman 2007; IPCC 2014). The priority level is related to
conditions and complexity of exposure (Climate change exposure), community
sensitivity and their ability to adjust (Metzger 2006; IPCC 2007). The low
understanding of fisheries about climate change puts them in a risky position such
as the effects of changes which then save their livelihood systems. "Open access"
and shared resources. The nature of fisheries which causes resource degradation,
poverty, and marginalization. Small-scale fisheries issues contain a low economy
and limited expertise in overcoming global pressures, including climate change.
Based on the problems issued by fishermen as discussed, it is certainly a danger
made specifically for the fishermen's livelihood system that causes livelihoods,
fishermen become more vulnerable to enrichment changes and other
socioeconomic discussions.
The purpose of this study was to analyze the level of success of fishing
households. This study uses quantitative methods supported by qualitative data.
This research was conducted in Muarareja District, Tegal City, Central Java. This
research was conducted using a livelihood protection index questionnaire adapted
from the IPCC (International Panel for Climate Change) / LVI-IPCC and ongoing
interviews. Data were collected from forty respondents. Data from survey results
were then analyzed by LVI analysis and qualitative descriptive analysis.
The Muarareja Village area is the most visited villages whose residents
live as small-scale fishermen with a capacity of 3-10GT vessels. Exposure or
exposure that they often question is the season/season, which sometimes does not
support activities taken later, which is greater than they are unemployed for
several months. Low education and skills related to the community that is directly
adjacent to the northern sea of Java have caused fishermen's work to be the only
most desirable job. So, lately, BPS has noted that in Tegal City more and more
fishing is increasing, which is increasing during the decline in production. In
addition, the increasing density of fisheries has caused several socioeconomic
conditions to increase. Frequent conflicts such as frequent fishing gear, upheaval
are increasingly difficult, and it is increasingly difficult to find a shipment.
This study found the facts showing small or small scale in the village of
Muarareja in this study were calculated based on LVI-IPCC, which is 0.04 for
lower-income fishermen households and -0.03 for households or scale included in
the category of low announced. Although, respondents were faced with high
variations such as changes, competition between fishermen, and degradation of
fisheries resources. However, they have the fairly good adaptability with optimal
use of livelihood capital, and also financially to carry out exploitation and spatial
strategies. On the other hand, the lower layers, mostly using their social capital
such as in groups, high trust and patron-client systems based on the moral
economy to run a survival strategy. While for the adaptation actions carried out by
fishermen households in the City of Tegal, it can support three adaptation
typologies for adaptation of household organizations, technological adaptation and
collecting institutional adaptations.

Keywords: Adaptative capacity, fishermen, livelihood strategy, livelihood assets


vulnerability.
© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2019
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
IPB

Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
ANALISIS KERENTANAN PENGHIDUPAN RUMAH
TANGGA NELAYAN DI KOTA TEGAL

ZULFA NUR AULIATUN NISSA’

Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Sosiologi Pedesaan

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2019
x

Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis : Dr Ir Rilus A. Kinseng, MA


xi

Judul Tesis : Analisis Kerentanan Penghidupan Rumahtangga Nelayan di Kota


Tegal
Nama : Zulfa Nur Auliatun Nissa’
NIM : I353170091

Disetujui oleh

Komisi Pembimbing

Dr Ir Arya Hadi Dharmawan, MSc Agr Dr Ir Saharuddin,MS


Ketua Anggota

Diketahui oleh

Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana


Sosiologi Pedesaan Institut Pertanian Bogor

Dr Ir Rilus A. Kinseng, MA Prof Dr Ir Anas Miftah Fauzi, MEng

Tanggal Ujian: 24 Juli 2019 Tanggal Lulus:


xii
PRAKATA

Puji dan syukur penulis ucapkan kepada Allah SWT yang telah
melimpahkan rahmat-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan Proposal
Penelitian berjudul “Analisis Kerentanan Penghidupan Rumah Tangga Nelayan di
KotaTegal” ini dengan baik. Penulisan proposal penelitian ini ditujukan untuk
memenuhi syarat pengambilan data lapang dan tesis di Program Studi Sosiologi
Pedesaan, Fakultas Ekologi Manusia, Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian
Bogor.
Penulis menyadari bahwa Proposal Penelitian ini dapat terselesaikan
dengan baik karena dukungan dan bantuan dari berbagai pihak. Pada kesempatan
ini, penulis mengucapkan terima kasih kepada:
1. Bapak Dr. Ir. Arya Hadi Dharmawan, MSc. Agr. selaku ketua komisi
pembimbing dan Bapak Dr. Ir. Saharuddin, MS selaku anggota komisi
pembimbing yang telah memberikan saran, kritik, koreksi, dan semangat
selama proses penulisan hingga penyelesaian tesis ini.
2. Bapak Dr. Ir. Rilus A. Kinseng, MA selaku penguji luar komisi yang telah
memberikan kritik, saran, koreksi pada tesis ini.
3. Bapak Sukar Suatmadjie dan Ibu Murti Hanik selaku orangtua dan seluruh
keluarga yang selalu memberikan saran, dukungan dan doa yang sangat
bermanfaat untuk penulis dalam menyelesaikan tesis ini
4. Zulfi Nur Amrina Rosyada, Asnika Putri Simanjuntak dan teman- teman
terdekat yang selalu berada di sekitar penulis
5. Kepada mahasiswa Program Studi Sosiologi Pedesaan angkatan 2017 yang
menemani dalam proses perkuliahan dan memberikan banyak kenangan
serta pengalaman berharga selama dua tahun ini
6. Kepada Mrs. Maria Christeta Cuaresema, Mr. Henrike Schmitz dan Mrs.
Zacyl R.Jalotjot dan Beasiswa DAAD SEAMEO SEARCA yang telah
mendukung dan mendanai penelitian ini.
Penulis mengetahui bahwa proposal penelitian ini belum sempurna,
sehingga kritik dan saran yang membangun sangat diharapkan.

Bogor, Juli 2019

Zulfa Nur Auliatun Nissa’


xiii

DAFTAR ISI

DAFTAR ISI xiii


DAFTAR TABEL xv
DAFTAR GAMBAR xv
1. PENDAHULUAN 1
Latar Belakang 1
Perumusan Masalah 3
Tujuan Penelitian 7
Manfaat Penelitian 8
Ruang Lingkup Penelitian 8
2. TINJAUAN PUSTAKA 9
Penelitian Relevan Sebelumnya 9
Kerentanan Nafkah (Livelihood Vulnerability) 11
Konsep Penghidupan dan Strategi Penghidupan 13
Pendekatan Penghidupan Berkelanjutan 15
Nelayan Skala Kecil 16
Tipologi Adaptasi 17
Kerangka Pemikiran 18
Hipotesis Penelitian 20
Definisi Operasional 20
3. METODE PENELITIAN 22
Paradigma dan Pendekatan Penelitian 22
Pemilihan Lokasi Penelitian 22
Metode Pengambilan Sampel 22
Metode Pengumpulan Data, Teknik Pengolahan Data dan Analisis Data 23
Metode analisis Kerentanan Nafkah (Livelihood Vunerability Index) 24
Metode Analisis Strategi Penghidupan 26
4. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN 29
Kondisi Umum Kelurahan Muarareja, Kota Tegal 29
Kondisi Kependudukan Kelurahan Muarareja 30
Ikhtisar 32
5. GAMBARAN PERIKANAN TANGKAP SKALA KECIL KOTA TEGAL 33
Kondisi Umum Nelayan di Kelurahan Muarareja 33
Profil Nelayan di Kota Tegal 35
Ikhtisar 39
6. KONDISI PAPARAN YANG DIHADAPI RUMAHTANGGA NELAYAN 40
Paparan ekologi 40
Paparan Sosial 41
Paparan Ekonomi 42
Ikhtisar 43
7. TINGKAT KERENTANAN PENGHIDUPAN NELAYAN 45
Analisis Perhitungan Livelihood Vulnerability Index 45
Exposure 47
Adaptive Capacity 47
Sensitivity 48
xiv

Ikhtisar 49
8. STRUKTUR LIVELIHOOD RUMAHTANGGA NELAYAN 51
Struktur Pendapatan Rumahtangga Nelayan di Kelurahan Muarareja 51
Struktur Pengeluaran Rumahtangga Nelayan 53
Ikhtisar 55
9. STRATEGI PENGHIDUPAN NELAYAN SEBAGAI RESPON TERHADAP
TINGKAT KERENTANAN YANG DIHADAPI 57
Strategi Penghidupan Berbasis Lima Modal Nafkah Rumahtangga Nelayan 57
Analisis Strategi Penghidupan Rumahtangga Nelayan 63
10. TIPOLOGI ADAPTASI RUMAHTANGGA NELAYAN 66
Tipe Adaptasi Rumahtangga Nelayan di Kelurahan Muarareja, Kota Tegal 66
Adaptasi Organisasional Rumahtangga nelayan 66
Adaptasi Teknologi 69
Adaptasi Kelambagaan Kolektif 70
Ikhtisar 72
11. KONSEPTUALISASI GAGASAN SOSIOLOGI KERENTANAN
RUMAHTANGGA NELAYAN DI KOTA TEGAL 73
12. SIMPULAN DAN SARAN 83
DAFTAR PUSTAKA 85
LAMPIRAN 93
Dokumentasi Penelitian di Lapang 93
Kuisioner Penelitian 95
RIWAYAT HIDUP 103
xv

DAFTAR TABEL

Tabel 2.1 Ringkasan Penelitian Terdahulu yang relevan 9


Tabel 2.2 Kriteria Perikanan Skala Kecil 17
Tabel 3.1 Matriks Hubungan Tujuan, Metode Pengumpulan Data dan
Analisis Data 23
Tabel 3.2 Indikator Utama dan Sub Indikator Livelihood Vulnerability Index 25
Tabel 3.3 Indikator dan Sub Indikator Sustainability of Livelihood 27
Tabel 4.1 Mata pencaharian penduduk Kelurahan Muarareja tahun 2018 30
Tabel 4.2 Tingkat Pendidikan Penduduk Kelurahan Muarareja 31
Tabel 4.3 Rentang Usia Penduduk Kelurahan Muarareja 31
Tabel 5.1 Perkembangan Produksi dan Nilai Produksi Perikanan laut di
Kota Tegal sejak tahun 2015 – 2017 33
Tabel 5.2 kalender Musim Nelayan Kelurahan Muarareja 33
Tabel 5.3 Sebaran Umur Nelayan Kelurahan Muarareja 35
Tabel 5.4 Sebaran Lamanya Pengalaman Neelayan Kelurahan Muarareja
dalam melakukan Kegiatan Penangkapan Ikan 36
Tabel 5.5 Tingkat Pendidikan Nelayan Kelurahan Muarareja 36
Tabel 5.6 Jumlah Nelayan Berdasarkan Kepemilikan Kapasitas kapal dalam
Gross Tonage (GT) 37
Tabel 7.1 Livelihood Vulnerability Index Rumahtangga Nelayan Kelurahan
Muarareja 40
Tabel 8.1 Pendapatan Bersih rata-rat Nelayan Kelurahan Muarareja per Bulan 54
Tabel 9.1 Livelihood Strategi Rumahtangga Nelayan untuk
Menghadapi Kerentanan Penghidupan 62
Tabel 9.2 Sumber Kelentingan Rumahtangga Nelayan Kelurahan Muarareja 63
Tabel 10.1 Adaptasi Organisasional rumahtangga Nelayan Muarareja 67

DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1 Pentagon Aset 15


Gambar 2.2 Kerangka Pemikiran Penelitian 19
Gambar 4.1 Lokasi Penelitian 30
Gambar 5.1 Penggunaan Alata Tangkap Ikan Nelayan Kelurahan Muarareja 37
Gambar 6.1 Kepadatan Jumlah kapal Nelayan Kelurahan Muarareja 41
Gambar 7.1 Grafik Livelihood Vulnerability Index Rumahtangga Nelayan
Kelurahan Muarareja Tahun 2019 45
Gambar 8.1 Struktur Pendapatan Rumahtangga Nelayan Per Tahun
Menurut Sumber Nafkah Rumahtangga Nelayan dihitung
dalam Angka Mutlak Kelurahan Muarareja 51
Gambar 8.2 Struktur Pendapatan Rumahtangga Nelayan Per Tahun
Menurut Sumber Nafkah Rumahtangga Nelayan dihitung
dalam Persentase Kelurahan Muarareja 52
Gambar 8.3 Struktur Pengeluaran Rumahtangga Nelayan dihitung dalam
Angka Mutlak Kelurahan Muarareja 53
Gambar 8.4 Struktur Pengeluaran Rumahtangga Nelayan dihitung
xvi

dalam Persentase Kelurahan Muarareja 54


Gambar 9.1 Lima Modal Penghidupan rumahtangga Nelayan 57
Gambar 9.2 Strategi Penghidupan Rumahtangga Nelayan Muarareja 58
Gambar 9.3 Aktivitas Istri nelayan 61
Gambar 11.1 Skema Sosiologi Kerentanan penghidupan Rumahtangga
Nelayan di Kelurahan Muarareja 72

DAFTAR BOX

Box 1 Sumber Paparan Alam 41


Box 2 Sumber paparan Sosial 42
Box 3 Sumber paparan Ekonomi 43
Box 4 Strategi Sosial Rumahtangga Nelayan Skala kecil Muarareja 59
Box 5 Strategi Ekonoi Rumahtangga Nelayan Skala Kecil Muarareja 60
Box 6 Adaptasi Re-Organisasional Rumahtangga 66
Box 7 Adaptasi Teknologi 68
Box 8 Adaptasi Kelembagaan Kolektif 70

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 Dokumentasi Kegiatan Penenlitian 90


Lampiran 2. Kuisioner Penenlitian 92
1

1. PENDAHULUAN

Latar Belakang

Nelayan hidup dalam suatu lingkungan yang tidak menentu (uncertainty).


Ketidakmenentuan yang menjadi karakteristik kehidupan nelayan berakar dari
kondisi lingkungan fisik dan sosial tempat kegiatan nelayan berlangsung. Laut
adalah lingkungan fisik tempat nelayan mencari ikan atau biota laut lainnya yang
tidak mudah ditangkap karena ikan berpindah-pindah atau melakukan migrasi
sesuai dengan musimnya (Indrawasih dan Wahyono 2009). Nelayan dinilai
sebagai kelompok populasi yang sangat rentan terhadap perubahan kondisi
lingkungan dan cuaca karena mereka hanya mengandalkan sumberdaya ikan yang
kondisinya fluktuatif dan ketersediaannya tergantung pada alam. Selain itu,
sumberdaya ikan yang bersifat common resources dan open access sebagai
sumber pendapatan mereka. Penangkapan ikan penuh dengan ketidakpastian
seperti ketidakmampuan untuk mempertahankan akses ke daerah penangkapan
ikan (fishing grounds) atau stok ikan dan ketidakpastian dalam pola atau faktor
lingkungan/alam yang mempengaruhi kelimpahan dan kualitas ikan di perairan
setempat. Kinseng (2007) juga menambahkan bahwa pemicu konflik sosial antar
nelayan di Indonesia adalah erat kaitannya dengan sumberdaya alam yang ada.
Banyak faktor yang mempengaruhi kerentanan penghidupan di suatu
tempat dan titik waktu tertentu (situasional). Adapun faktor yang mempengaruhi
kerentanan penghidupan nelayan bisa berupa kondisi cuaca, luas area
penangkapan ikan, ketersediaan stok ikan; termasuk juga karena perubahan besar
seperti perubahan harga ikan, perubahan iklim global, perubahan kelembagaan,
modal sosial, pergerseran pasar, perubahan rezim kebijakan. (Chen dan David
2015). Kenyataannya, mungkin ada puluhan atau ratusan faktor yang
berkontribusi terhadap kerentanan. Nelayan merupakan kelompok yang rentan
secara fungsional artinya orang pedesaan yang tidak aman secara ekonomi dan
sangat sensitif terhadap perubahan dari luar seperti tidak dapat diaksesnya pasar,
biaya transportasi yang tinggi, penyediaan infrastruktur yang rendah (jalan dan
jaringan komunikasi) dan layanan publik yang buruk (kesehatan, pendidikan).
(Jazairy et al. 1992; Bene 2009). Mereka juga termarginalkan karena kondisi
sosio-ekonomi, geografis dan secara politis kurang mendapat perhatian dari para
pembuat keputusan (Pauly 1997). Marginalisasi dapat diamati dari kurangnya
akses ke kredit, kondisi infrastruktur dan modal fisik yang buruk di daerah
pedesaan. Namun, disisi lain para nelayan tidak menganggap diri mereka sebagai
orang miskin selama mereka memiliki akses ke perikanan karena mereka dapat
memperoleh makanan dan kebutuhan dasar dari penangkapan ikan, bahkan jika
mereka rentan terhadap bahaya dan tekanan (Salas et al. 2007).
Kemiskinan nelayan skala kecil terjadi karena selama ini masih kurang
mendapatkan perhatian dalam kebijakan pembangunan Indonesia (Imron dan
manan 2009). Kondisi tersebut sejalan dengan pernyataan Staples et al. (2004)
dan Trimble dan Johnson (2013) yang menyatakan bahwa nelayan skala kecil
tidak mendapat perhatian dari pembuat kebijakan. Memang tidak semua nelayan
berskala kecil tersebut miskin, tetapi jumlah nelayan yang sejahtera tidak
sebanyak yang hidupnya kurang beruntung. Menurut data Badan Pusat Statistik
2

(BPS) tahun 2017, penduduk miskin di Indonesia mencapai 26.58 juta jiwa dan
61.36% di antaranya adalah masyarakat yang hidup di kawasan pesisir dan
pedesaan. Namun, dalam konteks penyediaan pangan, 80% konsumsi perikanan
dalam negeri, di penuhi oleh perikanan skala kecil. Menurut Bappenas (2013)
89.45% dari total armada tangkap Indonesia tahun 2011 masih didominasi oleh
nelayan dengan kapal <5GT. Oleh karena itu, Perikanan tangkap nasional masih
dicirikan dengan perikanan tangkap skala kecil.
Pollnac (1988) dalam Satria et al. (2015) menyatakan bahwa ciri nelayan
skala kecil adalah memiliki daerah operasi penangkapan ikan terbatas, dekat
dengan pantai, dan bersifat padat karya. Sebagian besar penelitian perikanan skala
kecil di negara berkembang pun menekankan bahwa nelayan sangat bergantung
pada sumber daya dan sifat open access perikanan yang bersama-sama
menyebabkan degradasi sumber daya, kemiskinan dan marginalisasi. Mengutip
penyataan Allison and Ellis (2001):
Small-scale fisheries are frequently characterised as ‘‘the occupation
of last resort’’ and fisherfolk as ‘‘the poorest of the poor’’
Perikanan skala kecil sering dicirikan sebagai pendudukan kelas bawah dan
nelayan sebagai orang termiskin dari yang miskin (Platteau 1989; Pauly 1997;
Charles 2001; Allison dan Ellis 2001). Selain itu, permasalahan usaha perikanan
skala kecil (nelayan tradisional dan nelayan) diantaranya kinerja ekonomi rendah;
ketidakmampuan untuk komunitas nelayan (Small Scale Fisheries/SSF) untuk
mempertahankan sebagian besar manfaat dari perikanan; tingkat kemiskinan yang
tinggi dan tekanan dari globalisasi, termasuk tantangan global seperti perubahan
iklim (Chuenpagdee et al. 2006). Perlu diketahui bahwa sektor perikanan rentan
terhadap ketidakpastian karena lingkungan, kelembagaan, perubahan ekonomi dan
sosial yang tidak dapat dengan mudah diramalkan atau ditentukan (Fulton et al.
2011; Teh dan Sumaila 2013). Nelayan skala kecil biasanya miskin dan
kekurangan peluang kerja alternatif; sehingga mereka dipaksa untuk melanjutkan
melaut/menangkap ikan, bahkan ketika sumberdaya ikan menurun drastis akibat
overfishing/penangkapan berlebih. Nelayan biasanya juga tidak memiliki lahan
pertanian yang dijadikannya sebagai alternatif. Oleh karena itu ketika dihadapkan
pada penurunan tangkapan, mendorong mereka untuk melakukan penghancuran
sumber daya secara besar-besaran untuk memenuhi kebutuhan mereka, terlebih
kebutuhan mendesak. Kondisi tersebut dikenal dengan sebutan Malthusian
Overfishing (Pauly 1997; Chuenpagdee 2012).
Pada 2011, Kementrian Kelautan dan Perikanan (KKP) mengeluarkan
keputusan (Kep.45/Men/2011) untuk menilai status kelautan sumber daya
perikanan dalam sebelas daerah manajemen perikanan Indonesia (Wilayah
Pengelolaan Perikanan). Hasilnya menunjukkan dengan jelas adanya tanda - tanda
eksploitasi berlebihan (didefinisikan sebagai tingkat penangkapan yang lebih tinggi
daripada hasil maksimum lestari/ Maximum Sustainable Yield (MSY) di semua
area manajemen (KKP 2011). Penangkapan berlebih sering diakibatkan karena 1)
penggunaan teknik penagkapan, alat tangkap dengan ukuran mata jaring yang tidak
disetujui oleh pemerintah; 2) penggunaan alat tangkap yang digunakan untuk
menangkap jenis ikan dilindungi; 3) penggunaan alat tangkap yang menghancurkan
basis sumber daya dan penggunaan teknik destruktif (Chuenpagdee, 2012). Oleh
karena itu, Kementrian Kelautan dan Perikanan (KKP) kembali mengeluarkan
3

peraturan no 71 tahun 2016 tentang alat tangkap dan jalur penangkapan. Larangan
penggunaan pukat hela dan pukat tarik ini dikeluarkan dengan pertimbangan
bahwa penggunaan alat tersebut di WPP RI telah mengakibatkan menurunnya
sumber daya ikan dan mengancam kelestarian lingkungan sumber daya ikan.
Peraturan tersebut hingga saat ini masih menjadi polemik karena pihak nelayan
yang merasa dirugikan oleh peraturan tersebut banyak melakukan aksi protes.
Rohayati (2016) mengutip WWF menyebutkan bahwa
“pada faktanya nelayan sering dijadikan tameng oleh nelayan besar bahkan
perusahaan besar untuk alasan menolak peraturan tersebut”.
Sementara itu hingga saat ini nelayan besar masih tetap menggunakan alat
tangkap yang termasuk dilarang tersebut, walaupun peraturan tersebut telah
dikeluarkan. Hal tersebut tentu sangat menyudutkan kondisi nelayan.
Berdasarkan permasalahan yang dihadapi oleh nelayan seperti yang telah
diuraikan tersebut tentunya menjadi suatu tekanan/guncangan tersendiri pada
sistem penghidupan rumah tangga nelayan yang menyebabkan penghidupan
nelayan semakin rentan. Beberapa dampak dan permasalahan tersebut dianggap
sebagai stressor yang berpotensi sebagai sumber kerentanan (vulnerability).
Kerentanan penghidupan merupakan merupakan kondisi ketika suatu individu
atau rumatangga mengalami tekanan dan guncangan terhadap sumber-sumber
penghidupan yang dimilikinya, sehingga keberlanjutan penghidupan menjadi
terancam. (Hahn et al. 2009). Konsep kerentanan (vulnerability) pada dasarnya
merupakan konsep yang telah lama diteliti dan dilakukan oleh Intergovernmental
Panel of Climate Change/IPCC, dimana tingkat kerentanan diketahi atau diperoleh
dari pengaruh kondisi paparan (paparan iklim dan non iklim), sensitivitas
masyarakatnya dan kemampuan masyarakat tersebut untuk beradaptasi. Oleh
karena itu, indikator kerentanan diantaranya keterpaparan (exposure), kapasitas
adaptif, sensitivitas (Metzger 2006; IPCC 2007). Hal tersebut mendorong
dilakukannya penelitian ini, untuk melihat kerentanan penghidupan rumah tangga
nelayan di Kota Tegal. Dengan demikian hal tersebut menarik untuk dianalisis
lebih lanjut. Penelitian ini akan difokuskan di Kota Tegal, karena Kota Tegal
merupakan kota Bahari yang sangat kaya akan sumberdaya perikanan. Sektor
perikanan di kota Tegal menjadi berkembang dengan adanya TPI Pelabuhan, TPI
Tegalsari dan TPI Muarareja (Vibrianti 2014). Selain itu jumlah penduduk yang
bermata pencaharian sebagai nelayan di kota Tegal tercatat sebanyak 900 nelayan
pada tahun 2016 dengan tujuh jenis alat tangkap yaitu purseine, gillnet, trammel
net, jaring arad, cantrang, pukat pantai, dan bodong (BPS Kota Tegal 2017).

Perumusan Masalah

Permasalahan pengelolaan perikanan pantai di Kota Tegal yang telah di


identifikasi sebelumnya oleh Sudharmo (2016) tepatnya di Desa Muarareja adalah
sebagai berikut: 1) overfishing; 2) kerusakan lingkungan perairan terkait degradasi
lingkungan pesisir; 3) rendahnya tingkat pendapatan nelayan. Hal tersebut di duga
terjadi karena peningkatan jumlah nelayan yang menyebabkan menurunnya
produktivitas hasil tangkapan ikan. Rohayati (2017) juga menyatakan bahwa
nelayan di Tegal tergolong nelayan miskin jika dihitung dari pengeluran per bulan
dan distribusi pendapatan di Kota Tegal tidak merata. Gambaran dampak dari
padatnya jumlah nelayan dan overfishing menjadi sumber paparan atau tekanan
4

bagi kondisi penghidupan rumahtangga nelayan di Kota Tegal. Isu global


warming yang kini berdampak pada perubahan iklim. Perubahan iklim juga
merupakan fenomena global yang memberikan dampak negatif pada sistem
kehidupan dan tingkat kerentanan masyarakat khususnya masyarakat di wilayah
pesisir. Tingkat kerentanan masyarakat terhadap perubahan iklim berbeda dari
satu daerah ke daerah lain meski dalam satu negara (Liverman 2007; IPCC 2014).
Kerentanan menurut Adger (2006) adalah keadaan rentan terhadap bahaya dari
paparan tekanan terkait dengan perubahan lingkungan dan sosial dan dari tidak
adanya kapasitas untuk beradaptasi. Gagasan utama mengenai tingkat kerentanan
diambil dari IPCC (Intergovernmental Panel on Climate Change) yang sering
dikutip McCarthy et al. (2001) adalah bahwa kerentanan adalah tingkat dimana
suatu sistem rentan dan tidak mampu mengatasi efek buruk dari perubahan iklim
dan atau non iklim. Formulasi dan parameter kunci dari kerentanan adalah
stres/tekanan yang dihadapi sistem penghidupan rumah tangga, kepekaannya
(sensitivitasnya), dan kapasitas adaptasinya. Diketahui nelayan merupakan sebuah
matapencaharian yang memanfaatkan sumberdaya ikan di perairan terbuka.
Nelayan Desa Muarareja Kota Tegal sangat bergantung pada sumberdaya ikan di
laut. Oleh karena itu cuaca yang berubah-ubah menjadi sangat berpengaruh pada
kegiatan penangkapan ikan. Seringkali, nelayan Kelurahan Muarareja tidak
melaut akibat cuaca buruk dan gelombang tinggi. Kapal nelayan kecil pun banyak
yang memilih berhenti melaut untuk menghindari resiko akibat cuaca ekstrim.
Semakin padatnya jumlah nelayan, peritiwa overfishing di perairan laut utara
Jawa dan fenomena perubahan iklim mengakibatkan kegiatan penghidupan serta
akses terhadap laut oleh rumahtangga nelayan menjadi terbatas. Akibat-akibat
tersebut kemudian berdampak pada kerentanan penghidupan rumahtangga
nelayan. Hahn et al. (2009) menambahkan bahwa kerentanan penghidupan
merupakan merupakan kondisi ketika suatu individu atau rumatangga mengalami
tekanan dan guncangan terhadap sumber-sumber penghidupan yang dimilikinya,
sehingga keberlanjutan penghidupan menjadi terancam. Oleh karena itu perlu
digali lebih dalam lagi mengenai Bagaimana keterpaparan menekan
penghidupan rumahtangga nelayan lapisan atas dan lapisan bawah?
Setiap rumah tangga nelayan memiliki tingkat kerentanannya dan ketahanan
masing-masing. Oleh karena itu kemudian nelayan melakukan strategi
penghidupan untuk menghadapi kerentanan penhidupan yang dialaminya. Strategi
penghidupan yang dilakukan oleh tiap rumah tangga nelayan tergantung pada
seberapa tingkat kerentanan yang dihadapi dan kemampuan adaptasi yang
dilakukan. Kerentanan menjadi salah satu penghambat dalam keberlanjutan
nafkah/penghidupan karena secara langsung mempengaruhi strategi
nafkah/penghidupan, proses kelembagaan dan hasil penghidupan masyarakat
(Chambers dan Conway 1992; DFID 2000). Sebagian besar dari masyarakat
pesisir bekerja sebagai nelayan, buruh nelayan, pengolah ikan skala kecil dan
pedagang kecil karena kemampuan/keahliannya yang terbatas. Nelayan di daerah
pesisir dengan hasil tangkapan yang cenderung terus menurun akibat persaingan
dengan kapal besar dan penurunan mutu sumberdaya pantai melemahkan posisi
tawar mereka dalam transaksi penjualan. Selain itu, usaha nelayan yang bersifat
musiman dan tidak menentu, tergantung atau terikat dengan monopoli pasar oleh
tengkulak menyebabkan mereka cenderung sulit untuk keluar dari jerat
5

kemiskinan dan belitan utang pedagang atau pemilik kapal (Febrianto dan
Rahardjo 2005 dalam widodo 2009). Bagi banyak nelayan tidak mudah untuk
melakukan transformasi kerja dari sektor laut yang sudah lama digelutinya (Iqbal
2004). Maka dari itu, dalam praktiknya ditemukan beragam cara dan strategi
masyarakat nelayan dalam mempertahankan hidupnya untuk menghadapi tekanan
dan keluar dari kerentanannya.
Penghidupan/nafkah terdiri dari kemampuan, aset/modal (sumberdaya,
persediaan/stok, klaim dan akses) dan semua kegiatan yang diperlukan sebagai
strategi hidup. Paradigma pengembangan perikanan skala kecil menurut Allison
dan Ellis (2001) ialah dengan menekankan peningkatan modal fisik dan keuangan
melalui modernisasi armada dan proyek infrastruktur. Sementara pendekatan
penghidupan berkelanjutan (Sustainable Livelihood Approach/ SLA) mengakui
bahwa alam, manusia dan modal sosial adalah komponen penting dari
penghidupan. Keadaan modal alam telah lama diakui sebagai hal yang penting
dan mendukung penilaian stok perikanan skala kecil, kemudian berkembang
dengan adanya pendekatan sistem sosial-ekologi yang menggabungkan komponen
manusia dan sosial. (Allison dan Ellis 2001; Allison dan Horemans 2006;
Standford et al. 2014). Modal sosial1 mampu menurunkan biaya transaksi untuk
bekerja sama, dan memfasilitasi kerja sama. Ini mengurangi biaya pemantauan
dan penegakan melalui membangun kepercayaan2 dan kepercayaan membangun
keyakinan bahwa dengan bekerja bersama akan saling menguntungkan. Ulasan
dari 130 studi kasus global manajemen kolektif perikanan oleh Gutiérrez et al.
(2014) menemukan bahwa kepemimpinan komunitas yang kuat dan kohesi sosial
merupakan komponen penting dari keberhasilan manajemen perikanan. Kredit
keuangan dan modal fisik adalah bagian penting dari pengembangan
penghidupan, tetapi tanpa fondasi modal alam, manusia dan sosial yang kuat,
mereka tidak mungkin mengarah pada pengelolaan sumber daya yang
berkelanjutan dan peningkatan penghidupan. Nafkah dan strategi nafkah termasuk
dalam ilmu sosiologi nafkah yang merupakan keseluruhan hubungan antara
manusia, sistem sosial dengan sistem penghidupannya, yang mana dalam
menjalankan nafkahnya seseorang atau sekelompok orang dapat mengakses dua
basis nafkah yang saling mengisi yaitu on farm dan off farm (Dharmawan 2007).
Struktur nafkah rumahtangga yang diukur meliputi penghasilan, biaya produksi,
struktur pendapatan, struktur pengeluaran dan saving. Nafkah dibangun dengan
memperhatikan nilai dan etika dari level individu sampai komunitas. Strategi

1
Coleman dalam Field (2008) menyatakan bahwa modal sosial dipandang debagai sumberdaya-
sumberdaya sosial yang tersedia bagi individu-individu dan keluarga untuk mencapai mobilitas
sosial, modal sosial tidak terbatas pada yang berkuasa, tetapi juga bisa memberikan manfaat nyata
bagi masyarakat miskin dan terpinggirkan. Modal sosial, mewakili sumber daya karena melibatkan
harapan timbal balik, yang kemudian membentuk jaringan yang lebih luas dan hubungannya diatur
oleh tingkat kepercayaan dan nilai-nilai bersama yang ditegakkan melalui adanya sanksi. Sehingga
modal sosial merupakan suatu cara untuk menjelaskan bagaimana orang-orang dapat bekerja sama
Sementara, Putnam telah mendefinisikan modal sosial sebagai: “fitur organisasi sosial, seperti
kepercayaan, norma, dan jaringan, yang dapat meningkatkan efisiensi asyarakat dengan
memfasilitasi tindakan yang terkoordinasi”(Putnam 1993a: 169)

2
Fukuyama (1995) “Kepercayaan (Trust) dalam modal sosial merupakan kemampuan orang-orang
untuk bekerja sama mencapai tujuan bersama dalam sebua kelompok dan organisasi”
6

nafkah dapat diartikan sebagai cara cerdik dan cerdas dalam menggunakan lima
modal nafkah yang dimiliki individu atau rumahtangga dalam mempertahankan
kelangsungan kehidupannya (Amalia 2016). Strategi nafkah yang merupakan
kombinasi antara modal dan sumberdaya manusia tersebut dipengaruhi oleh
sistem sosial masyarakat yang berlaku. Strategi nafkah yang dilakukan nelayan
dalam menghadapi kemiskinan menurut Widodo (2009) dapat dibedakan menjadi
strategi ekonomi dan strategi sosial. Strategi ekonomi meliputi sektor perikanan
dan sektor non perikanan. Pada sektor perikanan, nelayan miskin berusaha
meningkatkan jumlah tangkapan dengan cara memperpanjang waktu tangkap dan
memperluas wilayah tangkapan. Sedangkan upaya penghematan biaya dilakukan
dengan mengoplos bahan bakar mesin yang seharusnya solar menjadi solar dan
minyak tanah. Pola perpindahan ke sektor non perikanan juga mulai menggejala
terutama pada generasi muda. Sedangkan, strategi sosial yang dilakukan adalah
dengan berhutang, menabung dan menggadaikan perhiasan. Sementara, Strategi
nafkah/penghidupan yang dilakukan oleh nelayan di Ban Don Bay Thailand yaitu
memanfaatkan kelompok, jaringan, alternative mata pencaharian dan
pengembangan diri (Tipyan dan Farung 2014). Pada dasarnya, nelayan merupakan
masayarakat yang sangat bergantung pada sumberdaya ikan. Oleh karena itu
semakin padatnya jumlah nelayan, peristiwa overfishing dan pengaruh cuaca
buruk yang dialami oleh masayarakat nelayan Kelurahan Muarareja diduga
mempersempit akses mereka ke laut. Oleh karena itu menarik untuk dianlisis
mengenai Bagaimana pengaruh kerentanan terhadap kesenjangan ekonomi
rumahtangga nelayan baik lapisan atas dan lapisan bawah?
Strategi penghidupan yang dilakukan oleh nelayan direspon sesuai dengan
tingkat kerentanan penghidupan yang dialaminya. Hal tersebut merupakan bentuk
adaptasi yang dilakukan oleh nelayan sesuai dengan kondisi kepemilikan dan
kemampuan mengakses modal penghidupannya. Tingkat ketergantungan nelayan
cukup tinggi terhadap laut/sektor perikanan, menyebabkan masyarakat nelayan
harus berhadapan dengan ketidakpastian hasil laut yang berdampak pada
pendapatan. Perikanan skala kecil sering didefinisikan oleh hubungan mereka
dengan kemiskinan, proses marginalisasi, kerentanan, eksploitasi, diskriminasi,
dan pemiskinan yang dimainkan dalam berbagai bentuk dan kombinasi dalam
konteks perikanan (Adger et al. 2005; DFID 2005; Allison dan Horemans 2006;
Nayak dan Berkes 2010; Béné dan Friend 2011). Perikanan skala kecil dan besar
umumnya hidup berdampingan di banyak bagian dunia, tingkat interaksi dan
konflik3 diantaranya tergantung pada skala dan intensitas relatif dari operasi
mereka (Pauly 1997). Perlu diketahui bahwa sektor perikanan juga rentan
terhadap ketidakpastian karena kurangnya peran kelembagaan yang mengatur
Sumberdaya Alam (SDA) dalam hal ini ialah pemanfaatan Sumberdaya Ikan
(SDI), perubahan ekonomi dan sosial yang tidak dapat dengan mudah diramalkan

3
Konflik didefinisikan sebagai ketidakcocokan sasaran atau nilai antara dua pihak atau lebih
dalam suatu hubungan, dikombinasikan dengan upaya untuk saling mengontrol satu sama lain dan
perasaan antagonis terhadap satu sama lain. (Fisher, 1990). Sementara Konflik sosial antar
nelayan terdapat unsur hirarkies: ada yang lebih “superior” dan ada yang lebih “inferior” dalam
kemampuan ekploitasi sumberdaya alam yang ada. Secara sosiologis, adanya hirarkies tersebut
dalam proses produksi perikanan tangkap berarti ada dominasi satu kelompok nelayan atas
kelompok nelayan yang lain. Hal tersebut merupakan inti persoalan yang memicu terjadinya
konflik sosial dalam pemanfaatan SDA pada kalangan nelayan Indonesia (Kinseng 2007).
7

atau ditentukan (Fulton et al. 2011; Teh dan Sumaila 2013). Dampak ekosistem
perikanan skala kecil, menengah maupun besar juga berbeda, tergantung pada alat
tangkap yang digunakan (Chuenpagdee et al. 2003) dan upaya penangkapan ikan
secara keseluruhan.
Biagini et al. (2014) mengutip UNFCCC website
(https://www.UNFCCC.int) menyatakan bahwa adaptasi mengacu pada
penyesuaian dalam sistem ekologi, sosial, atau ekonomi dalam menanggapi
rangsangan iklim, pertumbuhan pesat populasi manusia dan ekonomi secara
global, efek atau dampaknya.
Pada bidang ilmu sosial, adaptasi dianggap sebagai tanggapan terhadap
risiko yang terkait dengan interaksi bahaya lingkungan dan kerentanan manusia
atau kapasitas adaptasi (Smit B dan Wandel J 2006). Karakteristik nelayan sangat
berbeda dengan petani karena nelayan menghadapi sumberdaya yang sifatnya
open access dan common resources. Kondisi sumberdaya yang beresiko tersebut
menyebabkan nelayan memiliki karakter keras, tegas dan terbuka (Satria 2015).
Konsep resiliensi rumahtangga merupakan adaptasi konsep resiliensi pada
kelembagaan keluarga. Menurut Kalil yang dikutip oleh Isabella dan Hendriani
(2010), proses coping yaitu tindakan yang dilakukan keluarga untuk mengatasi
kesulitan dan adaptasi dalam rumahtangga sebagai unit yang fungsional. Oleh
karena itu, strategi penghidupan yang dilakukan oleh rumahtangga nelayan baik
lapisan atas dan lapisan bawah untuk merespon kerentanan penghidupan yang
dihadapi. Strategi penghidupan yang dilakukan diduga akan berbeda sesuai
dengan tingkat kerentanan yang dihadapi. Maka, penelitian ini juga mencoba
untuk memaparkan mengenai Bagaimana strategi adaptasi dari rumahtangga
nelayan lapisan atas dan lapisan bawah dalam menghadapi kerentanan
dengan memanfaatkan segenap modal nafkah yang ada pada mereka?

Tujuan Penelitian

Tujuan umum dari penelitian ini adalah membahas kerentanan penghidupan


rumah tangga nelayan di Kota Tegal yang terdampak oleh beragam tekanan baik
dari luar maupun dari dalam seperti perubahan iklim, perubahan rezim kebijakan,
perubahan pasar global, kemampuan atau kapasitas nelayan yang rendah dan
belenggu kemiskinan. Oleh karena itu, tujuan spesifik yang diharapkan dari
penelitian ini adalah:
1. Menganalisis tingkat kerentanan penghidupan rumah tangga nelayan
lapisan atas dan lapisan bawah di Kelurahan Muarareja, Kota Tegal
2. Menganalisis kondisi ekonomi dan strategi penghidupan rumahtangga
nelayan lapisan atas dan lapisan bawah berdasarkan tingkat
kerentanannya.
3. Menganalisis tipologi adaptasi rumah tangga nelayan lapisan atas dan
lapisan bawah sebagai respon kerentanan.
8

Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat bagi para pihak,
antara lain:
1. Bagi akademisi, hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah khazanah
pengetahuan dan literatur tentang tingkat kerentanan penghidupan nelayan
dan strategi penghidupan dalam menghadapi tekanan dari luar.
2. Bagi pemerintah, hasil penelitian ini diharapkan menjadi sumber informasi
yang bermanfaat untuk memberikan pertimbangan dalam pengambilan
kebijakan terkait pengelolaan pemanfaatan sumberdaya perikanan
khususnya bagi perikanan skala kecil
3. Bagi masyarakat lokal, hasil penelitian ini diharapkan menjadi wahana
pengetahuan mengenai kerentanan penghidupan, tipologi nelayan dan
strategi menghadapi kerentanan yang diakibatkan oleh tekanan dari luar.

Ruang Lingkup Penelitian

Penelitian ini secara umum bertujuan ingin mengkaji mengenai derajat atau
tingkat kerentanan penghidupan rumah tangga nelayan lapisan atas dan lapisan
bawah yang dinilai dari tekanan dan gangguan, kepekaan dan kapasitas adaptif
dalam menghadapi tiap perubahan/bahaya/ancaman yang terjadi. Kemudian,
menganalisis struktur nafkah/penghidupan dan strategi penghidupan yang
dilakukan oleh rumah tangga nelayan untuk bertahan hidup dan keluar dari fase
rentannya dengan kondisi dan karakter atau tipologi adaptasinya masing-masing
komunitas nelayan di Kelurahan Tegalsari dan Kelurahan Muarareja. Batasan
kajian dalam penelitian ini diantaranya:
1. Nelayan yang dimaksud adalah semua rumah tangga nelayan pemilik
kapal yang ikut serta melaut dan termasuk dalam skala usaha perikanan
tangkap skala kecil. Nelayan skala kecil merupakan pelaku utama kegiatan
perikanan pantai di Kota Tegal, Provinsi Jawa Tengah.
2. Kerentanan penghidupan, struktur nafkah/penghidupan dan strategi
penghidupan yang dianalisis berdasarkan pengalaman dan fakta
dilapangan yang dialami oleh nelayan dalam kurun waktu satu tahun
terakhir.
3. Tipologi adaptasi nelayan yang dimaksud mencakup aspek struktur dan
kultur pada masyarakat terkait dengan aktivitas nafkah mereka sebagai
nelayan, baik dari bidang sosial, ekonomi, ekologi, institusi dan teknologi.
9

2. TINJAUAN PUSTAKA

Penelitian Relevan Sebelumnya

Penelitian terkait kerentanan, dan strategi nafkah/penghidupan telah banyak


dilakukan oleh beberapa peneliti terdahulu. Penelitian-penelitian terkini yang
relevan dengan topik penelitian diringkas dalam tabel 2.1 guna memperkaya
pengetahuan dan wawasan peneliti.

Tabel 2.1 Ringkasan penelitian terdahulu yang relevan


Peneliti, Tahun Ringkasan Penelitian
Turton (2000) 1)Dalam livelihood strategies, WSD mendukung proses
Enhancing intensifikasi pertanian. intensifikasi berasal dari sektor
Livelihoods peternakan, peningkatan produktivitas 2) Menyediakan peluang
Through bagi kaum miskin untuk diversifikasi; 3) migrasi merupakan salah
Participatory satu cara yang paling penting dari diversifikasi penghidupan
Watershed masyarakat pedesaan dan bagi masyarakat miskin.
Development(WS
D) In India.
Bene (2009) Indeks kerentanan ekonomi dikembangkan dan digunakan dengan
lebih konvensional mengukur kemiskinan pendapatan untuk
mengeksplorasi kerentanan dan kemiskinan kronis di komunitas
pedesaan yang terisolasi. Metode ini diterapkan pada data dari
komunitas petani nelayan pedesaan terpencil di Kongo. Analisis
ini menyoroti kerentanan tinggi nelayan dan mengidentifikasi
mobilitas sebagai faktor kunci yang meningkatkan kerentanan.
Sejalan dengan penelitian ekonomi baru lainnya, penelitian ini
juga menunjukkan bahwa rumah tangga dapat tetap sangat rentan
bahkan ketika pendapatan mereka berada jauh di atas pendapatan
lokal rata-rata.
Widodo (2009) Strategi nafkah yang dilakukan selama ini dapat dibedakan
menjadi strategi ekonomi dan strategi sosial. Strategi ekonomi
meliputi sektor perikanan dan sektor non perikanan. Pada sektor
perikanan, nelayan miskin berusaha meningkatkan jumlah
tangkapan dengan cara memperpanjang waktu tangkap dan
memperluas wilayah tangkapan. Sedangkan upayah penghematan
biaya dilakukan dengan mengoplos bahan bakar mesin yang
seharusnya solar menjadi solar dan minyak tanah. Pola
perpindahan ke sektor non perikanan juga mulai menggejala
terutama pada generasi muda. Sedangkan strategi sosial yang
dilakukan adalah dengan berhutang, menabung dan
menggadaikan perhiasan.
De Lara dan Rumah tangga di masyarakat pesisir sangat rentan terhadap
Martinet, 2009; dampak degradasi sumber daya laut yang sedang berlangsung.
Cheung et al. Terlebih bagi nelayan yang penhidupannya sangat bergantung
2011; Fulton et al., pada sumberdaya laut/ikan. Perikanan rentan terhadap
2011;Teh dan ketidakpastian karena lingkungan, kelembagaan, perubahan
Sumaila, 2013. ekonomi dan sosial tidak dapat dengan mudah diramalkan atau
ditentukan
10

Lanjutan Tabel 2.1


Mills et al. (2011)
Komunitas nelayan sering diakui sebagai yang paling miskin di
negara berkembang, dan intervensi yang ditujukan untuk
meningkatkan status sumber daya dilihat sebagai pusat dalam
memerangi kemiskinan. Serangkaian penilaian lapangan yang
berfokus pada kerentanan yang dilakukan di dua komunitas di
Mali dan Nigeria mengungkapkan beberapa hasil yang
berlawanan. Meskipun penangkapan ikan adalah mata
pencaharian utama, kerentanan yang berkaitan langsung dengan
keadaan sumber daya berada di peringkat lebih rendah daripada
yang berkaitan dengan kebutuhan dasar manusia. Komunitas
nelayan tersebut mengidentifikasi beberapa sumber kerentanan
yang lebih mendasar yang terkait dengan kebutuhan dasar
mereka, seperti kerawanan pangan, paparan penyakit yang
terlahir di air dan kurangnya akses ke uang tunai dan kredit mikro
Munga et al. Konflik antara nelayan trawl dan tradisional akibat nelayan trawl
(2013) merusak alat tangkap nelayan tradisional di Kenya, Persaingan
harga antar nelayan trawl dengan nelayan/tradisional. Banyaknya
tangkapan bycatch nelayan trawl yang dijual murah di pasar lokal
merugikan nelayan, penurunan hasil tangkapan oleh nelayan
lokal/tradisionalnamun nelayan lokal memiliki strategi livelihood
seperti diversifikasi pekerjaan sehingga tidak terlalu berpengaruh
pada penghidupan mereka,.
Biagini et al. Ada 158 perbedaan tindakan adaptasi global (Afrika, asia, Eropa,
(2014) Amerika) yang dikelompokkan menjadi beberapa kategori
adaptasi yang dikenal sebagai tipologi adaptasi diantaranya modal
manusia dan modal social, governance dan insitusi, perencanaan,
informasi, teknologi, fisik/infrastruktur, finansial
Barnet dan Eakin Tiga proses yang mempengaruhi hasil-hasil kerentanan nelayan
(2015) Nova Scotia: 1) Nelayan lebih menyukai tindakan individu
daripada tindakan kolektif karena keadilan prosedural yang
rendah dan kohesi sosial dalam pengambilan keputusan; 2) para
pelaku dengan kekuatan politik dan ekonomi yang lebih besar
memperoleh kendali atas hak akses nelayan sementara yang lain
menjadi lebih bergantung pada lobster; dan 3)kondisi ekonomi
dan ekologi, dikombinasikan dengan peningkatan
ketergantungan, penabung insentif untuk menangkap lebih
banyak lobster karena harga menurun. Kasus ini menunjukkan
bahwa aktor merasa kontrol atas basis sumber daya mereka dan
persepsi keadilan dalam proses desain kelembagaan mungkin
sama pentingnya dalam kerentanan sebagai penggerak perubahan
eksogen yang memengaruhi hasil penghidupan.
Azizi (2017) Nelayan lokal sangat rentan dibandingkan nelayan andon.
Adaptasi dilakukan untuk mengurangi dampak dari variabilitas
iklim. Adaptasi yang dilakukan nelayan dengan memanfaatkan 5
jenis modal yang mereka miliki seperti modal sumberdaya alam,
fisik, keuangan, sumberdaya
manusia dan sosial.
11

Lanjutan Tabel 2.1


Rohayati (2017) Tingkat stok modal sosial dengan tingkat kemiskinan nelayan
memiliki hubungan yang lemah, tidak searah, dan tidak
signifikan. Hal tersebut dikarenakan nelayan di Kota Tegal
memiliki modal sosial yang sedang dan tinggi, nelayan dan buruh
nelayan tidak termasuk dalam kategori nelayan miskin karena
memiliki pendapatan diatas garis kemiskinan yang ditetapkan
oleh Bank Dunia. Namun jika dikaitkan dengan pengeluaran per
bulan, nelayan termasuk dalam kategori nelayan miskin karena
tidak memiliki tabungan.

Berdasar ringkasan beberapa penelitian sebelumnya tersebut dapat ditarik


garis besar bahwa secara global, nelayan mengalami berbagai tekanan dan
perubahan lingkungan, sosial, ekonomi, dan politik yang kompleks. Pergeseran
pasar ekonomi global, perubahan dalam pola iklim, degradasi lingkungan, dan
peningkatan kompetisi penangkapan ikan dan kendala peraturan. Berbagai
ancaman dan tekanan tersebut kemudian dapat meningkatkan kerentanan rumah
tangga nelayan. Strategi yang dilakukan oleh nelayan tentunya tergantung pada
kepemilikan dan akses rumah tangga nelayan terhadap modal penghidupan baik
alam, fisik, finansial, SDM dan social. Maka dari itu tingkat kerentanan dan
strategi penghidupan yang dilakukan oleh tiap tipe nelayan pun berbeda-beda.

Kerentanan Nafkah (Livelihood Vulnerability)

Kerentanan telah dikonseptualisasikan ke dalam berbagai sudut pandang


yang berbeda. Sehingga, menghasilkan sejumlah perbedaan definisi, interpretasi
dan hingga akhirnya pengambilan pendekatan yang berbeda untuk
mengidentifikasi kerentanan tersebut. White dan Haas (1975) menyebutkan
bahwa konsep kerentanan pada awalnya dibentuk di dalam bidang penelitian
akibat natural hazard. IPCC (2007) menyatakan bahwa kerentanan
mendefinisikan fungsi dari 3 faktor pada sebuah sistem. Rentan ialah sistem yang
sangat terpapar, sensitive dan tidak mampu beradaptasi. Sehingga, terbentuklah
formula untuk mengidentifikasi kerentanan yakni rentan= paparan
bahayaxsensitivitas – kapasitas adaptif. Kerentanan juga erat kaitananya pada
perubahan baik sistem iklim dan proses sosial ekonomi yang dipandang sebagai
pendorong bahaya atau paparan. Secara inheren, kerentanan bersifat dinamis yang
artinya berubah-ubah sepanjang waktu sesuai hasil interaksi antara bahaya yang
terkait iklim dan perubahan sistem sosial ekonomi. Kerentanan saat ini akibat
tekanan iklim tidak sama dengan kerentanan yang akan dating akibat perubahan
iklim. IPCC (2001) mengidentifikasi bahwa tekanan terkait iklim, contohnya
seperti peristiwa pasang air laut, banjir bandang. Sementara tekanan terkait non
iklim seperti ketidakpastian politik. Kecenderungan untuk terpengaruh secara
negatif. Kerentanan mencakup berbagai konsep dan elemen termasuk sensitivitas
atau kerentanan terhadap bahaya dan kurangnya kapasitas untuk mengatasi dan
beradaptasi (IPCC 2014). Sistem, tempat atau setting yang dapat terpengaruh
oleh paparan seperti 1) komunitas, kota atau daerah; 2) sumberdaya alam; 3)
infrastruktur atau property. Sensitivitas ialah Sejauh mana sistem, komunitas atau
sektor akan menanggapi bahaya terkait iklim baik secara positif maupun negative.
12

Sensitivitas juga mempertimbangkan konteks sosio-ekonomi. Sementara kapasitas


adaptif menurut IPCC (2014) adalah “The ability to adjust to climate change
(including climate variability and extremes) to moderate potential damages, to
take advantage of opportunities, or to cope with the consequences.”. Yang
merefleksikan status kemiskinan, kesehatan, pendidikan, pengetahuan,
pengalaman dan kondisi pemerintahan/kebijakan saat itu. Sementara, menurut
Hahn et al. (2009) Kerentanan penghidupan merupakan merupakan kondisi ketika
suatu individu atau rumatangga mengalami tekanan dan guncangan sumber-
sumber penghidupan yang dimilikinya, sehingga keberlanjutan penghidupan dan
kehidupan terancam. Indikator kerentanan diantaranya keterpaparan (exposure),
kapasitas adaptif, sensitivitas. Konteks kerentanan mengakui bahwa guncangan,
tren, dan perubahan musiman semacam itu secara mendasar memengaruhi
penghidupan dan ketersediaan serta akses ke aset. Opsi-opsi strategi mata
pencaharian yang tersedia untuk masyarakat pesisir, berdasarkan sumber daya
yang mereka miliki dan akses (Pomeroy 2013). Konteks Kerentanan membingkai
lingkungan eksternal dalam kehidupan sosial masyarakat. Penghidupan
masyarakat dan ketersediaan aset yang lebih luas pada dasarnya dipengaruhi oleh
tren kritis serta oleh guncangan dan musiman (DFID 1999). Konteks kerentanan
dapat dipahami sebagai pengaruh eksternal pada sistem penghidupan/nafkah yang
mempengaruhi basis aset masyarakat, yang meliputi: guncangan, seperti banjir
atau kematian dalam keluarga; tren, seperti deforestasi atau peningkatan populasi;
dan musim (Erenstein et al. 2007). Dalam penelitian yang dilakukan Kelly dan
Adger (2000), dalam kerangka kebijakan yang relevan, kerentanan didefinisikan
sebagai kapasitas individu dan kelompok-kelompok sosial untuk menanggapi,
mengatasi, pulih dari atau beradaptasi dengan, stres eksternal yang mengguncang
mata pencaharian dan kesejahteraan hidupnya. Kerentanan maupun ketahanan
suatu kelompok ditentukan oleh ketersediaan sumber daya dan hak individu atau
kelompok untuk mengakses sumber daya ini. Kelly dan Adger (2000)
menggambarkan penerapan pendekatan ini melalui hasil penelitian di pesisir
Vietnam, menyoroti pola kerentanan sebagai dampak badai di tingkat
rumahtangga dan tingkat masyarakat tropis dalam menanggapi proses renovasi
ekonomi dan menggambar kesimpulan mengenai sarana penunjang sebagai respon
adaptif terhadap tekanan iklim.
Kerentanan dapat diukur menggunakan tiga konsep melalui interpretasi
kapasitas paparan (exposure), kepekaan (sensitivity), dan adaptif (Sullivan 2002;
O’Brien et al. 2004; Vincent, 2004; Thornton et al. 2014). Kerentanan dicirikan
oleh tiga komponen, yaitu: kapasitas adaptif (adaptive capacity), sensitivitas
(sensitivity), dan keterpaparan (exposure) (Schneider et al. 2007; Shah et al.
2013).
1) Kapasitas adaptif merupakan kemampuan sistem untuk menyesuaikan diri
dengan tekanan.
2) Sensitivitas merupakan sejauh mana sistem akan merespon perubahan,
baik secara positif maupun negatif.
3) Keterpaparan merupakan tingkat stres pada unit analisis tertentu, dapat
direpresentasikan sebagai perubahan jangka panjang
Indeks kerentanan dikembangkan oleh Hahn (2009) terdiri dari komponen
utama yaitu sosio demografi, strategi mata pencaharian, jaringan sosial,
13

kesehatan, modal sumberdaya alam, makanan, air, bencana alam dan dampaknya.
Kapasitas adaptif ini berkaitan dengan tingkat resiliensi dan resiliensi dianggap
sebagai kunci untuk meningkatkan kapasitas adaptif. Selain itu, resiliensi juga erat
kaitannya dengan modal sosial termasuk jaringan dan hubungan sosial (Cutter et
al. 2008). Kerentanan adalah hasil dari interaksi bahaya iklim dengan lingkungan
fisik, keadaan sosial, pemerintahan nasional dan politik internasional.
Kerentanan nelayan bukan hanya disebabkan oleh faktor luar diri nelayan
saja akan tetapi kerentanan juga bias bersumber dari sistem nafkah atau
modifikasinya (Kolopaking et al. 2014). Ketika kerentanan terjadi di komunitas
perikanan, itu berdampak pada aset dan cara hidup secara langsung. Misalnya,
guncangan berdampak buruk pada penghidupan, terutama komponen aset seperti
bencana alam, kekurangan uang, konflik sosial, masalah kesehatan, manusia,
tumbuhan, hewan, dan tren. Juga, tren pergerakan memberikan dampak yang
besar terhadap mata pencaharian seperti penduduk, sumber daya, ekonomi,
pemerintah, kebijakan, teknologi, dan musim. Penurunan aktivitas perikanan
nelayan juga dipicu oleh minimnya infrastruktur yang mendukung aktivitas
perikanan mereka (Clay dan Olson 2008). Menurut (Tipyan dan Farung 2014)
dijelaskan bahwa ada 3 faktor yang mempengaruhi kerentanan nelayan
diantaranya, 1) Penurunan sumber daya dan konflik mempengaruhi nelayan lokal
dalam mencapai sumber daya. Kerentanan sumber daya alam ini berdampak pada
penghidupan nelayan; 2) Kemandirian adalah salah satu faktor. Sebagian besar
nelayan melakukan usaha perikanan sejak nenek moyang mereka. Akibatnya,
mereka tidak memiliki lahan untuk pertanian. Harus ada mata pencaharian
alternatif untuk mengamankan kehidupan mereka. Nelayan harus dilatih dan
didukung untuk menjadi terampil dan; 3) Faktor lain adalah keterbatasan sumber
daya alam. Laut dan pantai adalah sumber daya yang sifatnya common resources
dan open access. tidak ada keseimbangan antara nelayan, pemerintah dan kapitalis
untuk menggunakan laut. Ini menyebabkan kerentanan.

Konsep Penghidupan dan Strategi Penghidupan

Penghidupan (Livelihood) didefinisikan sebagai ketersediaan stok, pangan


dan uang tunai yang cukup untuk memenuhi kebutuhan dasar. Keamaanan yang
mengacu pada kepemilikan atas dan atau akses ke sumberdaya dan semua
kegiatan yang mampu menghasilkan pendapatan, termasuk cadangan dan aset
untuk menghadapi resiko, mengurangi tekanan atau gangguan dan memenuhi
segala kemungkinan yang terjadi (Chambers dan Conway 1992).
Penghidupan/nafkah terdiri dari kemampuan, aset/modal (sumberdaya,
persediaan/stok, kalim dan akses) dan semua kegiatan yang diperlukan sebagai
strategi hidup. Kerangka mata pencaharian menyatukan aset dan kegiatan dan
menggambarkan interaksi di antara mereka. Aset modal yang dimiliki,
dikendalikan, diklaim, atau dengan cara lain yang diakses oleh rumah tangga
dikelompokkan ke dalam lima kategori yang disebut modal penghidupan. Modal
penghidupan tersebut terdiri dari modal fisik (pada tingkat rumah tangga seperti
kapal, rumah, sepeda dll., tetapi juga, di tingkat komunitas atau warga negara,
akses ke infrastruktur seperti pelabuhan, jaringan jalan, klinik, sekolah, dll.);
modal finansial (tabungan, kredit, asuransi); modal alam (stok ikan, area dasar
14

laut yang disewakan atau diakses dengan lisensi, tanah yang dimiliki, tanaman
yang dibudidayakan, dll.); modal manusia ('kemampuan' orang-orang dalam hal
kesehatan, tenaga kerja, pendidikan, pengetahuan, keterampilan dan kesehatan);
dan modal sosial (jaringan kekerabatan, asosiasi, organisasi keanggotaan dan
jaringan peer-group yang dapat digunakan orang dalam kesulitan atau berubah
untuk mendapatkan keuntungan). Akses ke aset dan kegiatan perikanan juga
dipengaruhi oleh kebijakan, lembaga dan proses administratif, termasuk hubungan
sosial, pasar dan organisasi yang merupakan inti dari manajemen perikanan.
(Allison dan Horemans 2006).
Taktik dan aksi yang dibangun oleh individu ataupun kelompok untuk
mempertahankan kehidupan mereka dengan tetap memperhatikan eksistensi
infrastruktur sosial, struktur sosial dan sistem nilai budaya yang berlaku disebut
sebagai strategi nafkah. Nafkah dan strategi nafkah termasuk dalam ilmu sosiologi
nafkah yang merupakan keseluruhan hubungan antara manusia, sistem sosial
dengan sistem penghidupannya, yang mana dalam menjalankan nafkahnya
seseorang atau sekelompok orang dapat mengakses dua basis nafkah yang saling
mengisi yaitu sektor pertanian dan non-pertanian (Dharmawan 2007). Menurut
Dharmawan (2007), pada mahzab Bogor, strategi penghidupan dan nafkah
pedesaan dibangun selalu menunjuk ke sektor pertanian (dalam arti luas).
Karakteristik sistem penghidupan dan nafkah yang dicirikan oleh bekerjanya dua
sector ekonomi, juga sangat ditentukan oleh sistem sosial-budaya setempat.
Terdapat tiga elemen sistem sosial terpenting yang sangat menentukan bentuk
strategi penghidupan yang dibangun oleh petani kecil dan rumahtangganya.
Ketiga elemen tersebut tersebut adalah: 1) infrastruktur sosial (setting
kelembagaan dan tatanan norma sosial yang berlaku); 2) struktur sosial (setting
lapisan, struktur agrarian, struktur demografi, pola hubungan pemanfaatan
ekosistem lokal, pengetahuan lokal); 3) supra-struktur sosial (setting ideologi,
etika-moral ekonomi, dan sistem nilai yang berlaku. Dharmawan (2001)
membagi tiga tingkatan strategi nafkah dalam rumah tangga diantaranya 1)
Strategi nafkah rumah tangga strata bawah yaitu mengerjakan berbagai jenis
pekerjaan (the multiple employment strategy) atau sering dikenal dengan pola
nafkah ganda dan paling sering digunakan oleh rumah tangga petani miskin untuk
bisa mempertahankan hidupnya, karena mereka hanya mempunyai tenaga
sedangkan modal dan keahlian yang dimiliki terbatas dan penyebaran tenaga kerja
rumah tangga karena rumah tangga di pedesaan pada umumnya mempenyai
anggota keluarga yang besar maka potensi tersebut dipergunakan untuk
melakukan pekerjaan guna membantu ekonomi keluarga; 2) Strategi nafkah
rumah tangga /keluarga strata menengah yaitu strategi persiapan pertumbuhan
pada level ini strategi yang dilakukan bukan untuk sekedar mempertahankan
hidup tetapi lebih ditekankan pada bagaimana agar modal penghidupan yang
dimiliki semakin tumbuh berkembang, strategi produksi rumah tangga, pada level
ini bisa membuat usaha yang dikelola oleh keluarga; 3) Strategi rumah tangga
strata atas, pada level ini sebenarnya lebih mengacu pada mengembangkan modal
penghidupan yang dimiliki agar menjadi lebih besar lagi (expansive strategy).
Rumah tangga menggabungkan modal penghidupan yang melibatkan agensi
manusia dan sumber daya untuk membangun strategi mata pencaharian dan
menghasilkan hasil kesejahteraan (Manlosa et al. 2019). Scoones (2015)
15

menyatakan bahwa nafkah mempunyai beberapa dimensi yang komplek. Nafkah


pedesaan erat kaitannya dengan pertanian dan aktivitas off farm termasuk pekerja
di pedesaan serta keterhubungan dengan perkotaan seperti adanya migrasi. Dapat
disimpulkan bahwa aktifitas nafkah sangat bergantung pada konteks, kapabilitas,
dan keberadaan aset. Interaksi antara aset dan akses oleh DFID (1999)
digambarkan melalui jarak pusat ke lima titik yang membentuk "pentagon aset".
Pentagon aset yang terdiri dari lima modal ini secara visual merepresentasikan
keterkaitan penting antara berbagai kumpulan modal. Berbagai bentuk modal dari
lima kategori (manusia, alam, keuangan, sosial, dan fisik) bergabung dalam
banyak cara untuk menghasilkan hasil penghidupan/nafkah. Bentuk pentagon
dapat digunakan untuk menunjukkan secara skematis variasi dalam akses orang
terhadap aset. Idenya adalah bahwa titik pusat dari segi lima, di mana garis
bertemu, mewakili nol akses ke aset sementara perimeter luar merupakan akses
maksimum ke aset. Atas dasar inilah pentagons berbentuk berbeda dapat ditarik
untuk komunitas yang berbeda atau kelompok sosial dalam komunitas (DFID
1999).

Modal Manusia

Modal Sosial Modal Alam

Modal Fisik Modal Finansial

Gambar 2.1 Pentagon Aset (Sumber: DFID 1999)

Pendekatan Penghidupan Berkelanjutan (Sustainability Livelihood


Approach)

Sebuah penghidupan dapat dikatakan berkelanjutan, ketika dapat mengatasi


dan pulih dari tekanan dan guncangan serta mampu mempertahankan kemampuan
dan asetnya, baik sekarang maupun di masa depan, sementara itu juga tidak
merusak basis sumber daya alam yang ada (Chambers dan Conway 1991).
Penghidupan berkelanjutan mengacu pada pemeliharaan atau peningkatan
produktivitas sumber daya untuk jangka yang panjang. Sebuah rumah tangga
dapat mampu untuk memperoleh ketahanan penghidupan/nafkah yang
berkelanjutan dalam banyak hal melalui kepemilikan tanah, ternak atau pohon,
hak untuk merumput, menangkap ikan (perikanan tangkap), berburu; melalui
pekerjaan yang stabil dengan remunerasi yang memadai; atau melalui beragam
kegiatan yang beragam. Penatagunaan sumber daya yang berkelanjutan adalah
nilai (atau akhir) itu sendiri. dan ini menyediakan kondisi untuk
penghidupan/nafkah tersebut dipertahankan untuk generasi mendatang (DFID
1999). Penghidupan berkelanjutan bagi rumah tangga nelayan ketika mereka
16

mampu mempertahankan atau meningkatkan standar hidup mereka yang terkait


dengan kesejahteraan dan penghasilan atau tujuan pembangunan manusia lainnya,
mengurangi kerentanan mereka terhadap guncangan eksternal dan tren, dan
memastikan kegiatan mereka kompatibel dengan mempertahankan basis sumber
daya alam dalam hal ini stok ikan (Pomeroy 2013). Sumber penghidupan/mata
pencaharian berkelanjutan dipengaruhi oleh keragaman, jumlah, dan
keseimbangan aset mata pencaharian yang dapat dikumpulkan dan digunakan oleh
sebuah rumah tangga untuk mengejar berbagai strategi penghidupan. Prioritas dan
tingkat kerentanan mempengaruhi dalam pencapaian tujuan tersebut. (Farrington
et al. 1999).
Keberlanjutan mempunyai banyak dimensi yang semuanya penting bagi
pendekatan sustainable livelihoods. Penghidupan dikatakan berkelanjutan
menurut Saragih et al. 2007, jika memenuhi beberapa hal sebagai berikut:
1. elastis dalam menghadapi kejadian-kejadian yang mengejutkan dan tekanan
tekanan dari luar;
2. tidak tergantung pada bantuan dan dukungan luar (atau jika tergantung,bantuan
itu sendiri secara ekonomis dan kelembagaan harus sustainable);
3. mempertahankan produktivitas jangka panjang sumberdaya alam; dan
4. tidak merugikan penghidupan dari, atau mengorbankan pilihan-pilihan
penghidupan yang terbuka bagi, orang lain.
5. Cara lain untuk mengkonseptualisasi berbagai dimensi keberlanjutan adalah
membedakan antara aspek-aspek lingkungan, ekonomi, sosial dan institusional
dari sistem-sistem yang sustainable.

Nelayan Skala Kecil

Sektor perikanan skala kecil dicirikan oleh intensitas modal yang relatif
rendah, pemukiman yang tersebar tidak terpusat di pelabuhan karena ukuran kapal
yang relatif kecil, terdiri dari semua unit penangkapan ikan yang pemiliknya
secara pribadi terlibat dalam operasi penangkapan ikan, baik dalam operasi
manual atau tugas pengawasan atau koordinasi tidak langsung. Dengan kata lain,
fungsi manajemen belum sepenuhnya terspesialisasi (Platteau 1989; Allison and
Ellis 2001). Ciri nelayan skala kecil adalah memiliki daerah operasi penangkapan
ikan terbatas, dekat dengan pantai, dan bersifat padat karya (Satria 2012). Nelayan
didefinisikan sebagai nelayan yang mengakui parameter sosio-etnik daerah tempat
mereka beroperasi. Pekerjaan dan kepemilikan lokal, kerjasama dan pasokan
pasar lokal dengan produk segar adalah salah satu nilai sosial yang dapat
dikaitkan dengan nelayan kecil (Monaco et al. 2017).
Seratus empat puluh negara yang termasuk dalam database, 70%
memberikan definisi atau karakterisasi perikanan skala kecil (Small Scale
Fisheries/SSF), dengan sekitar 65% menggunakan ukuran perahu sebagai faktor
kunci. Paling umum, perahu skala kecil baik 10, 12 atau 15 m, atau antara 5-7 m
panjang (Tabel 2). Beberapa negara menggunakan Gross Tonnage (GT) dan atau
ukuran mesin sebagai karakteristik utama, sementara yang lain mendeskripsikan
perikanan skala kecil berdasarkan jenis alat tangkap yang digunakan. Untuk
tingkat yang lebih rendah, penangkapan skala kecil ditentukan oleh jarak atau
kedalaman tempat penangkapan ikan. Hanya beberapa negara yang mengacu pada
aktivitas penangkapan ikan skala kecil, seperti subsisten, tradisional dan lainnya.
17

Konsistensi keseluruhan yang ditemukan dalam definisi perikanan skala kecil


menyiratkan bahwa terdapat cukup kesamaan di antara negara-negara untuk
negara berkembang.

Tabel 2.2 Kriteria perikanan skala kecil berdasarkan definisinya.


Kriteria Definisi Umum
Ukuran kapal/perahu 5-7m; kurang dari 10, 12 atau 15m (2 sampai 24m)
GT Kapal Kurang dari 10GT
Mesin Kapal Kurang dari 60HP; 40-75HP
Jarak melaut 2-3 mil
Kedalaman laut Kurang dari 10m, 50 atay 100m kedalaman laut
Jumlah ABK 2-3; 5-6
Sumber: Chuenpagdee (2006)

Nelayan skala kecil bukan berarti mereka nelayan yang ramah lingkungan
dan tidak memiliki kontribusi pada terjadinya overfishing. Heterogenitas dan
kompleksitas yang tinggi dari sektor perikanan skala kecil sangat perlu
dipertimbangkan untuk menunjukkan keberlanjutan ekologis dan sosial dari
segmen perikanan skala kecil. Namun masih belum cukup data untuk
mendapatkan deskripsi yang tepat dan komprehensif dari perikanan skala kecil,
karena mereka mencakup berbagai macam metode penangkapan, alat tangkap
ikan, spesies sasaran, keragaman dan kondisi khusus di mana mereka beroperasi.
Perbedaan-perbedaan ini tidak dengan mudah memungkinkan untuk
merepresentasikan seperangkat kriteria yang homogen pada tingkat teknis,
biologis, sosio ekonomi, dan kelembagaan (Monaco at al. 2017).

Tipologi Adaptasi

Adaptasi yang efektif di sektor pertanian semakin diakui sebagai komponen


kebijakan penting untuk mengurangi kerentanan dan mengurangi dampak iklim
yang merugikan (Bradshaw et al. 2004). Tipologi adaptasi menurut Smit dan
Wandel (2006) pada umumnya fokus pada salah satu dari lima hal utama
diantaranya rentang 1) waktu untuk adaptasi (antisipatif, bersamaan/saat itu juga
dan reaktif); 2) bentuk adaptasi (teknologi, kelembagaan, perilaku/kebiasaan,
finansial); 3) ruang lingkup (local, regional, nasional); 4) maksud/tujuan
(kebutuhan sendiri, perencanaan); 5) tingkat perubahan yang diperlukan
(transformasional, peningkatan). Sementara menurut Eakin et al. (2009) bentuk
adaptasi dibedakan melalui tiga pendekatan diantaranya pendekatan kerentanan,
pendekatan ketahanan dan pendekatan strategi adaptasi. Tipologi adaptasi yang
digunakan oleh Berrang Ford et al. (2011) lebih focus pada maksud/tujuan yang
terbagi atas tujuan untuk kepentingan kebutuhan sendiri atau untuk perencanaan.
Berrang Ford menemukan bahwa masyarakat yang tergolong pada pendapatan
rendah cenderung kepada kebutuhan sendiri sehingga tindakan adaptasi yang
dilakukan dengan cara menghindar, menyesuaikan, mundur dan meminimalisir
resiko. Sementara, masyarakat yang termasuk pada pendapatan tinggi tindakan
adaptasi yang dilakukan cenderung focus pada perencanaan, pemantauan,
membangun kemitraan, meningkatkan kesadaran dan pembelajaran.
18

Kerangka Pemikiran

Sektor perikanan skala kecil di Kota Tegal sudah lama berlangsung secara
turun temurun dan jumlahnya semakin meningkat. BPS Kota Tegal (2017)
mencatat terdapat kurang lebih 900 nelayan yang tersebar di Kecamatan Tegal
Barat yakni di dua titik yaitu Kelurahan Tegalsari dan Kelurahan Muarareja. Oleh
karena itu, sektor usaha perikanan di Kota Tegal mampu menjadi penopang
perekonomian kota Tegal. Namun, bukan berarti tidak terdapat permasalahan
dalam bidang sosial ekonomi nelayannya. Permasalahan pengelolaan perikanan
pantai yang dapat diidentifikasi oleh Sudharmo (2016) di Kota Tegal sebagai
berikut: 1) overfishing; 2) kerusakan lingkungan perairan terkait degradasi
lingkungan pesisir; 3) rendahnya tingkat pendapatan nelayan. Penelitian ini akan
lebih focus pada rumah tangga nelayan dan Rohayati (2017) juga menyatakan
bahwa nelayan di kota Tegal tergolong nelayan miskin jika dihitung dari
pengeluran per bulan dan distribusi pendapatan di Kota Tegal yang tidak merata.
Ditambah isu global warming yang kini berdampak pada perubahan iklim.
Perubahan iklim juga merupakan fenomena global yang memberikan dampak
negatif pada sistem kehidupan dan tingkat kerentanan masyarakat khususnya
masyarakat di wilayah pesisir. Tingkat kerentanan masyarakat terhadap perubahan
iklim berbeda dari satu daerah ke daerah lain meski dalam satu negara (Liverman
2007; IPCC 2014).
Pollnac (1988) dalam Satria et al. (2015) menyatakan bahwa ciri nelayan
skala kecil adalah memiliki daerah operasi penangkapan ikan terbatas, dekat
dengan pantai, dan bersifat padat karya. Selain itu, karena nelayan sangat
bergantung pada sumber daya dan sifat open access perikanan yang bersama-sama
menyebabkan degradasi sumber daya, kemiskinan dan marginalisasi. Perikanan
skala kecil sering dicirikan sebagai pendudukan kelas bawah dan nelayan sebagai
orang termiskin dari yang miskin (Pauly 1997; Allison dan Ellis 2001).
Permasalahan usaha perikanan skala kecil menurut Chuenpagdee et al. (2006)
diantaranya kinerja ekonomi rendah; ketidakmampuan untuk komunitas nelayan
kecil (Small Scale Fisheries/SSF) untuk mempertahankan sebagian besar manfaat
dari perikanan; tingkat kemiskinan yang tinggi dan kemampuan atau keahlian
yang terbatas dalam menghadapi tekanan dari globalisasi, termasuk tantangan
global seperti perubahan iklim. Perlu diketahui bahwa sektor perikanan rentan
terhadap ketidakpastian karena lingkungan, kelembagaan, perubahan ekonomi dan
sosial yang tidak dapat dengan mudah diramalkan atau ditentukan (Fulton et al.
2011; Teh dan Sumaila 2013). Nelayan skala kecil biasanya miskin dan
kekurangan peluang kerja alternatif; sehingga mereka dipaksa untuk melanjutkan
melaut/menagkap ikan, bahkan ketika sumberdaya ikan menurun drastis akibat
overfishing/penangkapan berlebih. Hal tersebut dapat dikatakan sebagai sebuah
involusi meminjam istilah Geertz (1970), involusi dan berbagi kemiskinan
(shared poverty) yang artinya nelayan kecil terus bertambah banyak dan saling
berbagi atas produktifitas ikan di laut yang jumlahnya semakin terbatas. Maka
semua permasalahan tersebut dianggap sebagai stressor yang berpotensi sebagai
sumber kerentanan (vulnerability) nafkah suatu rumahtangga. Kerentanan nafkah
ini disikapi dengan berbagai strategi-strategi nafkah yang dibangun oleh rumah
tangga untuk mengurangi kerentanan nafkah yang ditimbulkan akibat kondisi
perubahan iklim, penurunan stok ikan, pergeseran pasar global, perubahan rezim
19

kebijakan, kemampuan dan atau keahlian juga modal yang terbatas sehingga
menyebabkan nelayan juga terperangkap pada perangkap kemiskinan. Strategi
yang dilakukan tiap rumah tangga nelayan tentunya berbeda sesuai dengan tingkat
kerentanan yang dialaminya.
Indikator kerentanan penghidupan yaitu kapasitas adaptif, sensitivitas, dan
keterpaparan (Hahn 2009; Shah et et al. 2013). Sementara struktur penghidupan
nelayan dilihat dari sector perikanan dan non perikanan yang merujuk pada
Dharmawan (2007) bahwa struktur nafkah/penghidupan terbagi menjadi dua
yakni on farm dan off farm. Strategi penghidupan dinilai dari
kemampuan/kapasitas nelayan kecil dalam memanfaatkan dan mengakses lima
modal penghidupan tersebut untuk mengurangi tingkat kerentanan yang
dialaminya. Tipologi adaptasi nelayan kecil mencakup mencakup aspek struktur
dan kultur pada masyarakat terkait dengan aktivitas nafkah mereka sebagai
nelayan (Kurniasari dan Yuliati 2014) dan menurut Satria (2015) representasi tipe
nelayan dapat diuraikan dengan berbagai aspk seperti pengetahuan, kepercayaan,
peran perempuan, struktur sosial nelayan. Biagini et al. (2014) mengutip UNFCC
website menyatakan bahwa adaptasi mengacu pada penyesuaian dalam sistem
ekologi, sosial, atau ekonomi dalam menanggapi rangsangan iklim, pertumbuhan
pesat populasi manusia dan ekonomi secara global, efek atau dampaknya.
Tekanan dan ancaman Kerentanan nelayan (LVI):
eksternal dan internal: 1.Keterpaparan (exposure)
Perubahan iklim, 2.Kemampuan Adaptif
penurunan stok ikan, 3.Sensitivitas
pergeseran pasar Tipologi adaptasi
global, perubahan Strategi
nelayan
kebijakan, -Sosial
nafkah/penghidupan
kemampuan/keahlian - Ekologi
nelayan:
dan modal nelayan -Ekonomi
1. Tingkat pemanfaatan
kecil yang terbatas, -Institusi
dan akses pada modal
-Teknologi
kemiskinan penghidupan
(SDA,SDM,
fisik/tekonologi,
finansial dan Sosial)
2. Struktur nafkah

Keterangan:
: Saling mempengaruhi
: Mempengaruhi searah

Gambar 2.2 Kerangka Pemikiran Penelitian

Penelitian ini mencoba meneliti tingkat kerentanan penghidupan rumah


tangga yang diukur menggunakan indikator kapasitas adaptif, sensitivitas dan
keterpaparan. Kapasitas adaptif meliputi kemampuan adaptasi oleh rumah tangga
nelayan yang dilihat dari kemampuan dan atau kapasitas rumah tangga nelayan
dalam memanfaatkan dan mengakses lima modal penghidupannya dan dilihat dari
struktur nafkah/penghidupan nelayan tersebut. Kerentanan yang dialami oleh tiap
20

rumah tangga nelayan akibat tekanan atau ancaman baik dari luar maupun dari
dalam kemudian mengharuskan nelayan kecil untuk mempertahankan hidupnya.
Pada umumnya nelayan menggunakan dua jenis strategi yakni startegi ekonomi
dan strategi sosial. Perbedaan strategi nelayan tergantung pada tingkat kerentanan
yang dialaminya. Dari perbedaan strategi penghidupan untuk menyikapi
kerentanan yang dialami oleh rumah tangga nelayan kemudian digunakan untuk
menganalisis tipologi nelayan di suatu wilayah tersebut. Pada penelitian ini ingin
melihat kasus yang terjadi di desa/kelurahan yakni Kelurahan Muarareja karena
pusat kegiatan perikanan tangkap skala kecil di Tegal berada di desa tersebut.
Berdasarkan latar belakang, perumusan masalah dan indikator yang telah
dijelaskan penelitian ini mencoba mendeteksi tingkat kerentanan penghidupan
rumah tangga nelayan dan menganalisis strategi penghidupan yang dilakukan
untuk mengurangi kerentanan tersebut dan mengkaji tipologi adaptasi nelayan
yang dilihat dari bentuk strategi penghidupan dan tingkat kerentanannya.

Hipotesis Penelitian

Hipotesis penelitian ini disajikan sebagai berikut:


1. Rumahtangga nelayan lapisan bawah akan mengalami kerentanan
penghidupan yang lebih besar daripada rumahtangga nelayan lapisan atas.
2. Tingkat kerentanan penghidupan berbanding terbalik dengan posisi strata.
Semakin tinggi strata sosial maka semakin rendah kerentanan
penghidupannya
3. Kapital sosial belum mampu meningkatkan derajat sosial ekonomi
rumahtangga nelayan lapisan bawah.

Definisi Operasional

Definisi operasional dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:


1. Nafkah/penghidupan (livelihood) adalah segala kebutuhan dasar,
keamaanan yang mengacu pada kepemilikan atas dan atau akses ke
sumberdaya dan semua kegiatan yang mampu menghasilkan pendapatan,
termasuk cadangan dan aset untuk menghadapi resiko, mengurangi
tekanan atau gangguan dan memenuhi segala kemungkinan yang terjadi.
2. Struktur pendapatan adalah komposisi pendapatan bersoh yang didapatkan
rumah tangga nelayan dari berbagai aktifitas penghidupannya.
3. Struktur pengeluaran adalah komposisi belanja yang dilakukan rumah
tangga nelayan dari berbagai aktifitas seluruh anggota rumah tangga
nelayan.
4. Kapasitas adaptif adalah kemampuan rumah tangga nelayan menyesuaikan
diri dari tekanan
5. Sensitifitas adalah tingkat sensitif/kepekaan yang dilakukan rumah tangga
nelayan dalam merespon adanya tekanan seperti kemiskinan, penurunan
stok ikan, perubahan kebijakan, perubahan iklim dan ancaman lainnya.
6. Keterpaparan (exposure) adalah tingkat tekanan, guncangan dan
perubahan yang menimpa rumah tangga nelayan
21

7. Modal penghidupan ialah terdiri dari modal alam, modal fisik, modal
finansial, modal manusia dan modal sosial yang sering digunakan dalam
penghidupan nelayan
8. Modal fisik ialah peralatan rumahtangga nelaya yang dapat digunakan
untuk mengeksistensikan penghidupan rumahtangga nelayan
9. Modal finansial ialah stok uang atau simpanan keuangan yang dapat
digunakan untuk menunjang pemenuhan kebutuhan hidup
10. Modal alam ialah sumberdaya alam yang dapat menghasilkan uang/barang
untuk menopang penghidupan rumahtangga nelayan
11. Modal SDM ialah keahlian, keterampilan, pengetahuan yang dimilikai
anggota rumahtangga untuk menghasilkan nafkah
12. Modal Sosial ialah asosiasi yang dapat memberikan kemanfaatan pada
penghidupan rumahtangga nelayan
22

3. METODE PENELITIAN

Paradigma dan Pendekatan Penelitian

Paradigma yang digunakan dalam penelitian ini adalah paradigma


Postpositivistik. Asumsi dasar yang menjadi inti dalam paradigma penelitian post-
positivistik diantaranya bersifat objektif, terkaan, yang sebagian besar berupa
penelitian kuantitatif yang bertujuan untuk menguji suatu teori yang dibentuk
menggunakan data, bukti dan pertimbangan yang logis dari hasil observasi dan
pengukuran tertentu menggunakan instrumen-instrumen (Creswell JW 2016).
Penelitian ini menggunakan pendekatan penelitian campuran yakni menggunakan
data kuantitatif yang didukung oleh data kualitatif untuk memperkaya data dan
informasi yang diperoleh, sehingga analisis masalah penelitian dapat dilakukan
secara komprehensif dan fenomena sosial yang terjadi di lapangan dapat lebih
dipahami. Data kuantitatif dikumpulkan melalui survey dengan bantuan
instrument khsusus seperti kuesioner yang dirancang untuk menilai perilaku-
perilaku, dan informasi yang diperoleh dianalisis menggunakan prosedur statistik.
Pengumpulan data kualitatif dilakukan dengan menggunakan metode wawancara
dan observasi. Metode ini digunakan untuk melihat fenomena aktual yang terjadi
dan mengakaji data sekunder seperti data monografi desa (Cresswell JW 2016).

Pemilihan Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Kelurahan Muarareja Kota Tegal, Jawa Tengah


pada bulan November 2018 hingga Januari 2019. Pemilihan lokasi penelitian
dilakukan secara sengaja (purposive) dengan pertimbangan Tegal merupakan
kotamadya yang sebagian besar sumber penghidupan masyarakatnya bergantung
pada sektor laut, ditambah slogan Kota Tegal yakni Kota Bahari. Selain itu,
kegiatan penangkapan ikan yang intensif berpusat di Kecamatan Tegal Barat.
Kegiatan kenelayanan di kecamatan ini berpusat di Kelurahan Tegalsari dan
Kelurahan Muarareja (Vibrianti 2014). Usaha perikanan merupakan usaha
dengan produksi dan nilai produksi yang cukup besar di Kota Tegal. Produksi
perikanan tangkap triwulan ke IV pada tahun 2016 di kota Tegal tercatat
8.612.332 kg dengan nilai 101.89 trilyun (BPS Kota Tegal 2017) Menurut Hakim
(2017) tempat ini dianggap representatif untuk dilakukan penelitian karena
kegiatan perikanan tangkap di wilayah ini sudah sangat padat dan jenis alat
tangkap yang digunakan nelayan juga beragam sehingga diduga terjadi kompetisi
antar alat penangkapan yang berbeda. Diketahui bahwa Kelurahan Muarareja
berbatasan langsung dengan Desa tegalsari dimana Desa Tegalsari ini merupakan
pusat kegiatan perikanan tangkap skala besar.

Metode Pengambilan Sampel

Peneliti mengkhususkan unit menjadi sampel, berdasarkan lokasi geografis,


dan batas-batas sementara (Babbie 1989). Adapun populasi sasaran dalam
penelitian ini yaitu seluruh rumah tangga nelayan di Kelurahan Muarareja Kota
23

Tegal, Jawa Tengah. Pendekatan kuantitatif, maka responden dipilih untuk


menjadi target survey. Unit analisis yang diambil dalam penelitian ini adalah
rumah tangga nelayan. Pemilihan responden dilakukan dengan puposive sampling
menggunakan teknik stratified-accidental sampling; yaitu mengambil “siapa saja”
nelayan yang bisa ditemui untuk diwawancara dari setiap lapisan sosial (Kinseng
et al. 2013). Hal ini dilakukan karena pola kerja nelayan yang lebih lama di laut
daripada di daratan sehingga sulit ditemui pada saat penelitian dilakukan. Kriteria
sampel adalah nelayan skala kecil, menggunakan perahu / kapal berukuran
dibawah 10GT, dan memiliki lokasi menangkap ikan maksimal 22km dari garis
pantai. Responden yang dipilih sebagai sampel adalah 40 nelayan skala kecil yang
terbagi atas dua lapisan sosial yakni rumahtangga nelayan lapisan bawah dengan
kapasitas kapal kurang dari atau sama dengan 5GT dan rumahtangga nelayan
lapisan atas dengan kapasitas kapal sekitar kurang dari atau sama dengan 10GT.
Pemilihan informan dilakukan dengan purposive sampling dengan teknik
sampling dengan snowball yakni memilih informan yang paham dengan jelas
semua karakter dan kehidupan nelayan seperti ketua kelompok nelayan, nelayan
yang memiliki pengalaman melaut lama untuk kemudian menyebutkan nama
informan lain yang menurutnya sesuai dan memiliki kapasitas untuk menjawab
pertanyaan penelitian

Metode Pengumpulan Data, Teknik Pengolahan Data dan Analisis Data

Data yang digunakan dalam penelitian ini meliputi data primer dan data
sekunder. Data primer, diperoleh dari survey menggunakan kuisioner dan In depth
interview terhadap dua subyek penelitian yaitu responden dan informan. Data
sekunder didapatkan dari Badan Pusat Statistik, jurnal, Tempat Pelelangan Ikan
(TPI) dan Dinas Perikanan dan Kelautan. Data yang diperoleh dalam penelitian
dianalisis dengan dua pendekatan yaitu secara kuantitatif dan deskriptif.
Pengolahan dan analisis data dilakukan menggunakan Microsoft Excel 2013.
Beberapa alat analisis yang akan digunakan dalam perhitungan penelitian:

Tabel 3.1 Matriks Hubungan Tujuan dan metode Pengumpulan, analisis Data
Tujuan Penelitian Instrumen Narasumber Analisis Data
Menganalisis tingkat Kuisioner Nelayan Kelurahan Livelihood
kerentanan penghidupan Muarareja Vulnerability
rumah tangga nelayan di Index (LVI),
Kota Tegal Analisis
Deskriptif
Kualitatif
Menganalisis struktur Kuisioner Nelayan Kelurahan Sustainable
penghidupan dan strategi Muarareja Livelihood
penghidupan rumah Approach
tangga nelayan dalam (SLA), Analisis
menghadapi kerentanan. Deskriptif
Kualitatif
Menganalisis tipologi Panduan Nelayan Kelurahan Analisis
adaptasi rumah tangga wawancara Muarareja, Ketua Deskriptif
nelayan sebagai respon kelompok Nelayan Kualitatif
dari kerentanan
24

Metode analisis Kerentanan Nafkah (Livelihood Vunerability Index)

Kerentanan rumah tangga nelayan diidentifikasi dengan menggunakan


metode Livelihood Vulnerability Index (LVI). LVI dalam penelitian ini
menggunakan pendekatan sederhana di mana menerapkan bobot yang sama untuk
semua indikator utama. Indikator tersebut adalah dampak sosial ekonoi dan
ekologi, profil sosio-demografi, pemanfaatan modal nafkah (modal alam,
finansial, fisik, manusia dan sosial), kapabilitas SDM dan kesehatan. LVI dihitung
dengan menerapkan pendekatan rata-rata tertimbang seimbang (Hahn 2009;
Sullivan 2002). Setiap sub-indikator memberikan kontribusi yang sama untuk
keseluruhan indeks meskipun masing-masing indikator utama terdiri dari
sejumlah sub-indikator yang berbeda. Metode sederhana dengan bobot yang sama
diterapkan untuk semua indikator utama. Karena setiap sub-indikator diukur pada
skala tertentu, maka itu dinormalisasi sebagai indeks. Untuk tujuan ini persamaan
yang digunakan diterapkan standarisasi indeks. Standarisasi berfungsi untuk
mengukur unit/skala data yang berbeda untuk menghasilkan nilai indeks. Untuk
menghitung standarisasi, Hahn (2009) menggunakan formula dari Human
Development Index yang menggunakan data rasio yang ditentukan melalui nilai
minimum dan maksimum yang dipilih responden. Dengan menggunakan
pengukuran ini, responden yang menjadi objek penelitian dapat secara terbuka
memberikan penilaian tentang suatu pertanyaan. Adapun untuk menghitung nilai
standarisasi mengacu pada formula berikut.

Keterangan:
Sd : nilai sub indikator
Smin : nilai minimum dari sub indikator
Smax : nilai maksimum dari sub indikator

Setelah menormalkan nilai sub-komponen, nilai setiap komponen utama dihitung


dengan Persamaan.

Keterangan:
Md : nilai Indikator utama
Indeks sd : nilai sub indikator pada indikator utama
n : jumlah sub indikator pada indikator utama j
Langkah terakhir adalah menentukan nilai LVI setiap kelompok nelayan
dengan menggunakan rumus :

Dimana :
CFd : indeks kerentanan
Wmi : bobot sub komponen
Mdi : nilai komponen utama
25

LVI-IPCCd= (ed-ad)* sd

Keterangan:
LVI – IPCCd : LVI untuk masyarakat yang dinyatakan menggunakan kerangka
kerentanan IPCC
e : Kalkulasi skor exposure (keterpaparan, bahaya dan ancaman bagi
penghidupan nelayan) nelayan d
a : Kalkukasi skor adaptive capacity (rata-rata bobot nilai sosio
demografi, livelihood strategies, dan jaringan sosial) nelayan d
s : Kalkulasi skor sensitivity masyarakat d

LVI – IPCCd diberi skala mulai dari -1 (kerentanan paling rendah) sampai
+1 (kerentanan paling tinggi) (Hahn et al 2009). LVI-IPCC adalah metode alternatif
yang dikembangkan dari LVI sebagai proksi kerentanan penghidupan masyarakat
yang disebabkan oleh perubahan iklim. Skala dari -1 - (-0,4) yang merujuk pada
'tidak rentan', -0,41 - 0,3 yang mengacu pada 'rentan / sedang', dan 0,31 - 1 yang
mengacu pada 'sangat rentan’ (Gravitiani et al. 2017)

Tabel 3.2 Indikator utama dan sub indikator livelihood vulnerability index
Variabel Indikator Sub-indikator
Exposure/Ke Dampak - Persentase penurunan hasil tangkapan
terpaparan Sosial - Persentase penurunan pendapatan per trip
ekonomi - Persentase konflik antar nelayan
ekologi - Persentase perebutan area fishing ground akibat
meningkatnya populasi nelayan
- Persentase RT nelayan yang mengalami masalah
terkait harga BBM
Adaptive Alam - Presentase RT nelayan yang lokasi fishing ground
Capacity semakin jauh
- Persentase RT nelayan yang durasi melautnya
semakin lama
Manusia - Persentase jumlah anggota keluarga yang bekerja
lebih dari 1 orang
- Persentase Anggota keluarga yang bekerja selain
nelayan
- Persentase nelayan sebagai pekerjaan utama
- Persentase jumlah anggota keluarga yang <4
- Persentase kepala RT nelayan yang tamat SMP
- Persentase kepala RT nelayan yang berusia lanjut
(<50)
Fisik - Persentase RT nelayan yang Alat Tangkap Ikan
(ATI) lebih dari 1 jenis
- Persentase RT nelayan yang memiliki sarana
komunikasi (HP, TV, radio)
- Persentase kemudahan akses ke Tempat Pelelangan
Ikan
26

Lanjutan Tabel 3.2


Finansial - Persentase RT nelayan yang memiliki tabungan
- Persentase RT nelayan yang memiliki sumber
pendapatan lain selain dari bidang perikanan
- Persentase KK Nelayan yang Menerima Bantuan
Paceklik
- Persentase RT nelayan yang mendapatkan kiriman
uang dari anak atau saudara di perantauan
Sosial - Persentase RT Nelayan yang memiliki
solidaritas/hubungan baik antar nelayan
- Persentase RT nelayan yang melakukan pinjaman
dengan nelayan lain
- Persentase nelayan yang bergabung dalam kelompok
nelayan
Sensitivitas
Pangan - Persentase RT nelayan yang langsung menjual ikan
hasil tangkapannya untuk memenuhi kebutuhan
pangan
- Persentase RT nelayan yang menggunakan sebagian
hasil tangkapan untuk dikonsumsi pribadi
Pengaruh - Persentase RT nelayan yang kapalnya merupakan
kepemilik hasil pinjaman dari Bank
an Kapal - Persentase anggota RT nelayanyang kesulitan dalam
mencari ABK
- Persentase RT nelayan yang mengalami konflik
perebutan lokasi wilayah tangkap
Sumber : Hahn 2009; Mills et al. 2011; Chen et al. 2014; Islam et al. 2014;
Vincent dan Frempong 2017; Azizi 2017 (dimodifikasi)

Metode Analisis Strategi Penghidupan

Analisis strategi penghidupan atau nafkah berkelanjutan rumah tangga


nelayan diidentifikasi dan dianalisis dengan menggunakan metode atau
pendekatan kerangka Sustainable Livelihood Analysis (SLA) seperti yang
disarankan Department for International Development (DFID) (1999) dan
mengacu Allison dan Horemans (2006). Kuesioner dibagi menjadi lima bagian,
yaitu aset manusia, aset fisik, aset keuangan, aset sosial, aset alam. Semua
variabel termasuk dalam bentuk data ordinal. Detail dari variabel untuk setiap
bagian disajikan pada Tabel 3.3.
Indeks kemudian distandarisasi mengacu pada Hahn et al. (2009). Indikator
diidentifikasi dan diasumsikan bahwa setiap indikator memiliki bobot yang sama
terhadap masing-masing kelompok aset dan hasil mata pencaharian. Indikator
kemudian distandarisasi mengikuti prosedur yang diadopsi dalam mengukur
Harapan Hidup dalam Laporan Perkembangan Manusia (Hahn et al. 2009). Data
distandarisasi untuk memastikan konsistensi dan komparabilitas ketika
menggabungkan indikator. Metode normalisasi Min-Max adalah digunakan untuk
27

menghasilkan indikator dengan kisaran identik 0-1, yang menggunakan formula


perhitungan indikator standarisasi sebagai berikut:

Keterangan:
Sd : nilai sub indikator untuk komunitas d
Smin : nilai minimum dari sub indikator
Smax : nilai maksimum dari sub indikator

Agregat untuk setiap rumah tangga nelayan kemudian diperoleh berdasarkan


rata-rata dari semua lima kelompok aset mata pencaharian dan indeks hasil
dengan bobot yang sama untuk masing-masing kelompok. Masing-masing indeks
kelompok dapat ditunjukkan secara terpisah dan ukuran agregat Indeks
Penghidupan Berkelanjutan dapat ditampilkan.

Tabel 3.3 Indikator dan sub indikator sustainability of livelihood


Jenis Aset Indikator pengukuran
Modal - Total tenaga kerja dalam satu keluarga
manusia - Jumlah tanggungan
- Pengamalan bekerja sebagai nelayan
- Keterampilan selain di bidang perikanan
- Persentase RT nelayan yang memperkerjakan ABK
Modal alam - Persentase pemanfaatn SumberDaya Ikan
-Ketersediaan fishing ground yang kondisinya masih bagus
-persentase kepemilikan lahan produktif
Modal - Persentase pemanfaatan hasil penjualan ikan untuk
Finansial kehidupan sehari-hari
- Persentase perolehan pendapatan dari sumber pendapatan
lain non perikanan (gaji pensiun, zakat, beasiswa, kiriman
dari anak dll)
- Persentase kepemilikan tabungan
- Persentase pendapatan dari aktivitas ekonomi lain seperti
usaha sampingan per bulan (pedagang ikan bagi perempuan)
Modal fisik - kepemilikan dan kondisi kapal
- Ketersediaan dan kondisi pabrik es
- Kepemilikan alat transportasi (sepeda, motor, dll)
- Fasilitas untuk mengakses informasi (radio, televisi,
handphone dll)
- Ketersediaan dan akses sarana dan fasilitas kesehatan umum
Modal sosial - Trust
- Social networking
- Norm
Allison dan Horemans 2006; Allison EH 2004 (dimodifikasi)
28

Analisis Tipologi Adaptasi Rumahtangga Nelayan

Analisis deskriptif-kualitatif untuk analisis tipologi adaptasi; merupakan


suatu metode yang digunakan untuk menggambarkan data yang telah
dikumpulkan. Data yang terkumpul dianalisis dengan metode ini sehingga dapat
diperoleh gambaran karakteristik responden, dan aspek-aspek yang terkait dengan
kerentanan nafkah/penghidupan, Strategi nafkah yang dilakukannya dan bentuk
struktur nafkahnya untuk kemudian di klasifikasikan bentuk adaptasinya
berdasarkan tipologi rumahtangga nelayan. Pengertian rumahtangga di sini
mengacu pada Sanderson (2000), yaitu rumahtangga inti adalah suatu keluarga
pokok yang terdiri dari unit kekerabatan yang terdiri dari pasangan suami istri
yang menikah dan keturunan langsung mereka, yang memelihara suatu rumah
tangga bersama-sama dan bertindak sebagai suatu satuan sistem. Rumah tangga
membuat keputusan tentang jenis strategi adaptasi apa yang diadopsi sebagai
tanggapan terhadap guncangan dan perubahan jangka panjang, yang pada
gilirannya mempengaruhi pendapatan rumah tangga (mengendalikan faktor-faktor
lain).
Secara fundamental, memahami bagaimana nelayan beradaptasi
memerlukan menjawab pertanyaan-pertanyaan kunci berikut:
a. Apakah nelayan sadar akan variabilitas perubahan alam (iklim, stok ikan,
biodiversitas ikan, ketersediaan fishing ground) dan sosial ekonomi (populasi
nelayan, konflik antar nelayan, harga jual, modal produksi, infrastruktur,
teknologi) yang terjadi baik jangka pendek dan panjang?
b. Apa jenis strategi adaptasi yang diadopsi nelayan?
c. Faktor apa yang menentukan pilihan adaptasi spesifik dari nelayan?
d. Jenis kebijakan publik apa yang efektif dalam meningkatkan kemampuan
rumah tangga untuk beradaptasi ?
Teori utama yang dipergunakan untuk menganalisis permasalahan adalah
teori struktural fungsional ala Talcot Parson yang diadaptasi oleh Levy di dalam
sosiologi keluarga Resiliensi struktur keluarga dengan demikian merupakan
dinamika fungsi-fungsi struktur keluarga sebagai respon dalam menghadapi
tingkat kerentanan penghidupan mereka. Fungsi-fungsi keluarga tersebut terdiri
dari diferensiasi peran, alokasi ekonomi, alokasi solidaritas, alokasi politik, dan
alokasi integrasi (Megawangi 1999 dalam Hasibuan et al. 2017).
29

4. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN

Kondisi Umum Kelurahan Muarareja, Kota Tegal

Secara administratif Kota Tegal merupakan salah satu daerah yang termasuk
pada wilayah otonomi Provinsi Jawa tengah. Secara geografis Kota Tegal
merupakan daerah pesisir yang berbatasan langsung dengan Laut Utara Jawa
dengan titik koordinat terletak tepat pada pada 109º 08’ – 109º 10’ Garis Bujur
Timur dan 6º 50’ - 6º 53’ Garis Lintang Selatan. Letak Kota Tegal sangat strategis
karena berada di pertigaan jalur kota besar Purwokerto - Tegal - Jakarta (jalur
pansela) dan Semarang - Tegal – Jakarta (jalur pantura). Luas wilayah Kota Tegal
saat ini adalah 39,68 km2, atau sekitar 0.11% dari luas Jawa Tengah. Kota ini
terbagi menjadi 4 Kecamatan dengan 27 Kelurahan, dengan wilayah Kecamatan
terluas Tegal Barat yaitu sebesar 15.13 km2 atau sekitar 38.13% luas wilayah Kota
Tegal. Kota tegal terdiri dari 4 Kecamatan. Lokasi penenlitian terfokus pada
Kecamatan Tegal Barat dikarenakan Tegal barat merupakan titik fokus
berkembangnya kegiatan perikanan tangkap. Tegal Barat, terdiri dari 7 kelurahan
yaitu Pesurungan Kidul, Debong Lor, Kemandungan, Pekauman, Kraton,
Tegalsari dan Muarareja. Kemudian, Kegiatan perikanan tangkap skala kecil
paling banyak terpusat di Kelurahan Muarareja (Kota Tegal dalam Angka 2018).
Kelurahan Muarareja ini terdiri dari 3 RW (Rukun Warga) dan 15 RT
(Rukun Tetangga). Luas wilayah kelurahan Muarareja yaitu 8.91Km2. Luas
wilayah tersebut terdiri atas tambak (387.75 Ha), bangunan/pekarangan (89.41
Ha) dan lainnya (416.80 Ha) (Kota Tegal dalam Angka 2014). Jarak Kelurahan
muarareja ke Kecamatan Tegal barat yakni sekitar 2 km. Sementara jarak
Kelurahan Muarareja ke pusat pemerintahan Kota yakni 2.5 Km. Peta lokasi
penelitian disajikan pada Gambar 4.1. Batas administrative wilayah Kelurahan
Muarareja meliputi:

Sebelah Utara : Laut Jawa


Sebelah Selatan : Kelurahan/Desa Pesurungan Lor
Sebelah Barat : Kabupaten Brebes
Sebelah Timur : Kelurahan/Desa Tegalsari.

Kondisi topografi Kelurahan Muarareja ini adalah berupa dataran rendah


yang berbatasan langsung dengan laut jawa, pertambakan dan hutan mangrove
sehingga kegiatan masyarakat yang bekembang di daerah ini yakni sector kegiatan
perikanan. Ketersediaan air bersih di kelurahan Muarareja ini banyak berasal dari
PDAM. Perairan Kota Tegal pada umumnya merupakan perairan laut dangkal,
dengan kontur kedalaman antara 0.7 meter-3 meter, sehingga lereng dasar
perairan sangat landai (Arifyanto et al. 2015). Kota Tegal bersuhu udara relative
panas dimana pada tahun 2017 tercatat suhu udara terendah berada pada bulan
Februari yaitu 25.70⁰C, sedangkan suhu tertinggi mencapai 29.50⁰C pada bulan
Oktober. Rata-rata terendah terjadi pada bulan Januari dan Februari yaitu 27.3⁰C.
Kondisi tersebut lazim terjadi di wilayah yang berbatasan dengan pantai.
Kelembaban udara berkisar antara 71.00% hingga 85.00%, dengan curah hujan
30

yang tidak merata sepanjang tahun. Curah hujan yang cukup tinggi terjadi di
bulan Januari-Februari dan November- Desember (BPS Kota Tegal 2018).

Gambar 4.1 Peta Lokasi Penelitian

Kondisi Kependudukan Kelurahan Muarareja

Jumlah penduduk Kelurahan Muarareja yaitu 7.155 jiwa yang terdiri dari
3.712 laki-laki dan 3.443 perempuan. Jumlah Kepala Keluarga yaitu 2099 kepala
keluarga yang terdiri dari 1882 KK laki-laki dan 217 KK perempuan. Berdasarkan
mata pencahariannya, penduduk Kelurahan Muarareja mayoritas
bermatapencaharian sebagai nelayan seperti yang ditunjukkan pada Tabel 4.1

Tabel 4.1 Matapencaharian penduduk Kelurahan Muarareja Tahun 2018


Mata pencaharian Jumlah (orang) Persentase (%)
Petani sendiri 314 6.70
Buruh tani 132 2.82
Nelayan 3335 71.14
Pengusaha 63 1.34
Buruh industry 59 1.26
Buruh bangunan 71 1.51
Pedagang 397 8.47
Pengangkutan 30 0.64
PNS/ABRI 59 1.26
Pensiunan 11 0.23
lain-lain 217 4.63
Jumlah 4688 100.00
Sumber: Monografi Kelurahan Muarareja 2018.
31

Matapencaharian sebagai nelayan dipilih karena kondisi geografis Kelurahan


Muarareja yang merupakan daerah pesisir dan berbatasan langsung dengan laut
jawa sangat mendukung profesi atau matapencaharian tersebut.
Akses pendidikan penduduk Kelurahan Muarareja terbilang masih rendah.
Hal ini ditunjukkan dengan besarnya porsi penduduk Kelurahan Muarareja yang
hanya memiliki ijazah tamat tingkat Sekolah Dasar dengan persentase 55.79%.
Sementara penduduk yang tamat SLTA hanya 5.73% dari keseluruhan jumlah
penduduk (Tabel 4.2). Keterbatasan biaya menjadi penyebab utama seseorang
untuk tidak melanjutkan pendidikan. Selain, budaya atau kultur masyarakat
mayoritas nelayan yang merasa cukup dengan pendidikan tamat SD untuk bisa
menjadi nelayan.

Tabel 4.2 Tingkat pendidikan penduduk Kelurahan Muarareja


Pendidikan Jumlah (Orang) Persentase (%)
Tamat perguruan Tinggi 92 1.45
Tamat SLTA 364 5.73
Tamat SLTP 715 11.26
Tamat SD 3542 55.79
Tidak tamat SD 1510 23.78
Tidak sekolah 126 1.98
Jumlah 6349 100.00
Sumber: Monografi Kelurahan Muarareja 2018.

Menurut data monografi Kelurahan Muarareja Tahun 2018 tercatat bahwa


penduduk Kelurahan Muarareja didominasi oleh penduduk usia produktif yakni
15 hingga 64 tahun. Penduduk usia produktif tersebut sebanyak 70,71% dari
keseliruhan jumalh penduduk (Tabel 4.3)

Tabel 4.3 Rentang usia penduduk kelurahan Muarareja


Kelompok Umur Jumlah (orang) Persentase (%)
0- 14 1706 23.84
14-64 5059 70.71
>64 390 5.45
Jumlah 7155 100.00
Sumber: Monografi Kelurahan Muarareja 2018.

Badan Pusat Statistik tahun 2015 menjelaskan bahwa indicator yang dapat
menunjukkan kondisi perekonomian suatu Negara adalah rasio ketergantungan.
Rasio ketergantungan dapat dihitung menggunakan rumus:

Keterangan:
P (0-14) = jumlah penduduk usia 0-14 tahun
P (15-64) = jumlah penduduk usia 15-64 tahun
P (>65) = jumlah penduduk usia >65 tahun
32

Semakin tinggi persentase rasio ketergantungan maka semakin tinggi beban


yang harus ditanggung penduduk produktif untuk membiayai hidup penduduk
yang belum dan tidak produktif.

Angka 41,43% rasio ketergantungan menunjukkan setiap 100 orang penduduk


usia kerja menanggung sebanyak 41 orang yang bukan usia kerja atau tidak
produktif. Artinya tanggungan penduduk yang tergolong produktif untuk
membiayai hidup penduduk yang belum dan tidak produktif cukup rendah.
Keadaan ekonomi penduduknya dapat dikatakan baik.

Ikhtisar

Kelurahan Muarareja terletak di Kecamatan Tegal Barat, Kota Tegal.


Kelurahan Muarareja ini terdiri dari 3 RW (Rukun Warga) dan 15 RT (Rukun
Tetangga). Luas wilayah kelurahan Muarareja yaitu 8.91Km2. Luas wilayah
tersebut terdiri atas tambak (387.75 Ha), bangunan/pekarangan (89.41 Ha) dan
lainnya (416.80 Ha) (Kota Tegal dalam Angka 2014). Jarak Kelurahan muarareja
ke Kecamatan Tegal barat yakni sekitar 2 km. Sementara jarak Kelurahan
Muarareja ke pusat pemerintahan Kota yakni 2.5 Km. Dessa Muarareja berbatasan
langsung dengan laut Jawa dan terletak di sebelah barat Desa Tegalsari. (BPS
Kota Tegal 2014).
Penduduk Desa Muararreja sebanyak 217KK yang mayoritas
bermatapencaharian sebagai nelayan. Tingkat pendidikan penduduk Kelurahan
Muarareja masih rendah dikarenakan 55.79% penduduk hanya tamatan Sekolah
Dasar (SD). Dari keseluruhan jumalah penduduk tersebut 70.71% penduduknya
masih berusia produktif. Rasio ketergantungan penduduknya yaitu 41.43%.
Sehingga dapat dikatakan jumlah tanggungan yang ditanggung oleh penduduk
usia produktif cukup rendah.
33

5. GAMBARAN PERIKANAN TANGKAP SKALA KECIL


DI KOTA TEGAL

Kondisi Umum Nelayan di Kelurahan Muarareja

Sektor perikanan di Kota Tegal terdiri dari perikanan laut, perikanan darat
(tambak/kolam), dan perairan sungai. Perkembangan produksi dan nilai produksi
perikanan laut di Kota Tegal tersaji di Tabel 5. Potensi sumberdaya ikan di lokasi
penelitian mayoritas berasal dari kawasan perairan Laut Jawa. Perkembangan
produksi perikanan laut di Kota Tegal sejak tahun 2015 sampai dengan 2017
cenderung mengalami penurunan. Oleh karena itu kondisi perikanan laut Kota
tegal sudah digolongkan dalam kondisi overfishing. (Tabel 5.1). Nilai produksi
perikanan laut dari tahun 2008 sampai dengan tahun 2012 pun mengalami
penurunan. Hal ini dipengaruhi oleh semakin banyaknya jumlah kapal yang
artinya semakin banyak penduduk Kota tegal yang memilih bermatapencaharian
sebagai nelayan. Selain itu, pengaruh global warming yang berdampak pada
perubahan iklim pun menyebabkan kekacauan dalam kalender musim tangkap
nelayan Kota tegal.

Tabel 5.1 Perkembangan produksi dan nilai produksi perikanan laut di Kota Tegal
sejak tahun 2015-2017
2015 2016 2017
Produksi perikanan laut (ton) 27.45 25.44 22.09
Nilai produksi perikanan laut
(Juta Rupiah) 281.742.884 273. 503.031 267.911.918
Jumlah Kapal Motor 635 758 877
Sumber: BPS Kota Tegal 2015, 2016, 2018 (diolah)

Kegiatan perikanan tangkap di Kelurahan Muarareja didominasi oleh usaha


perikanan skala kecil dengan sistem pemasaran hasil tangkapan yakni di TPI
Muarareja, TPI tegalsari dan Pengepul. Alat tangkap yang paling banyak
digunakan oleh nelayan Muarareja adalah arad (trammel net), bubu (alat tangkap
rajungan), jaring “waring” dan pancing Setiap rumahtangga nelayan di Kelurahan
Muarareja rata-rata mengakui bahwa mereka tidak memiliki pendapatan yang
tetap setiap bulannya. Pendapatan nelayan sangat bergantung pada kondisi musim.
Jumlah trip melaut dalam satu bulan tergantung pada kalender musim (Tabel 1).

Tabel 5.2 Kalender musim nelayan Kelurahan Muarareja


Angin Musim Barat (Paceklik) Timuran (Panen) Pancaroba
Bulan Oktober-Januari Februari-Mei Juni-September
Jenis Udang jerebung ,rebon, Udang, cumi, layur, Rebon, ikan teri,
Tangkapan teri ikan campur rajungan, layur, ikan
Trip/Bulan 1kali/minggu 2-3 kali/minggu 2 kali/minggu
Rata-rata Rp. 1000.000,- (lapisan Rp. 6000.000 Rp.2000.000
Pendapatan atas); Rp.100.000 Rp. (lapisan atas) ; Rp. (lapisan atas);
(Rp/bulan) 200.000 (lapisan bawah) 4000.000 (lapisan 800.000 (lapisan
bawah) bawah)
34

Menurut pengamatan nelayan setempat diketahui bahwa musim hujan


berawal sekitar bulan September dan berakhir pada bulan April dengan puncak
curah hujan (tinggi) terjadi sekitar bulan Desember hingga bulan Maret. Sejak
beberapa tahun terakhir curah hujan baru turun sekitar bulan November dan
berakhir sekitar bulan April. Curah hujan tinggi hanya berlangsung sekitar dua
bulan pada bulan Desember dan Januari. Secara umum mereka mendapatkan awal
musim hujan datang lebih lambat dan jumlah bulannya lebih pendek. Masyarakat
di Kelurahan Muarareja mulai menyadari bahwa kalender musim yang diturunkan
leluhurnya sudah tidak sesuai lagi. Kondisi iklim tersebut menjadikan masyarakat
(petani tambak dan nelayan) mengalami kesulitan untuk berusaha karena tidak
mampu memprediksi kapan datangnya dan untuk berapa lama terjadinya musim
hujan, musim kemarau dan banjir rob. Gelombang laut besar juga sulit diprediksi
datangnya sehingga mencemaskan dan membahayakan para nelayan lapisan
bawah yang hanya menggunakan kapal kecil. Oleh karena itu dapat dikatakan
bahwa kerentanan ekonomi nelayan meningkat terjadi pada bulan-bulan dimana
angin barat berhembus dan saat curah hujan sangat tinggi. Pada musim-musim
tersebut, berpeluang besar terjadi badai di tengah laut yang menyebabkan banyak
nelayan memilih untuk tidak melaut sementara waktu. Sehingga, kerentanan
ekonomi nelayan pada saat itu cenderung meningkat terlebih untuk nelayan
lapisan bawah. Kondisi tersebut dapat dilihat dari satu kali trip saat musim
paceklik, nelayan lapisan bawah hanya mampu membawa 1 kg ikan. Bahkan
seringkali tidak mendapatkan ikan. Sekalipun mendapat ikan biasanya mereka
konsumsi sendiri karena tidak ada uang untuk membeli bahan untuk memasak.
Pada saat musim pancaroba, dimana gelombang atau ombak sedang besar, banyak
nelayan pancing dan jaring “waring” memilih tidak melaut. Bagi nelayan lapisan
atas dengan alat tangkap arad, mereka tidak terpengaruh dengan ombak karena
ukuran kapal yang lebih besar dibanding nelayan jaring dan pancing. Pada tahun
ini musim pancaroba terjadi selama bulan ramadhan (bulan Juni) hingga setelah
hari raya Idhul Fitri (bulan Juli). Pada bulan Agustus akhir cuaca mulai membaik
sehingga mereka kembali melaut. Namun, tuntutan untuk melunasi pinjaman
Bank terkadang juga mempengaruhi jumlah trip melaut nelayan Kelurahan
Muarareja, Kota Tegal. Saat ini rata-rata nelayan lapisan atas melaut selama 3-4
hari per tripnya. Sementara lapisan bawah beberapa merupakan nelayan harian (8-
10 jam melaut) dan beberapa ada yang melaut selama 1-2 hari per tripnya. Hal
tersebut dilakukan dengan alasan untuk memperoleh hasil yang maksimal atau
setidaknya “tutup modal”.
Sistem pembagian hasil antara pemilik kapal dan Anak Buah Kapal (ABK)
pada nelayan ini adalah 50:50 setelah dikurangi biaya perbekalan. Artinya 50 %
untuk pemilik dan 50% sisanya dibagi sejumlah ABK yang dimiliki. Hasil
tangkapan yang diperoleh oleh nelayan lapisan atas langsung dijual ke bakul.
Kelurahan Muarareja hanya memiliki 2 bakul besar yang sekaligus pemilik
kapal/juragan. Sementara, nelayan lapisan bawah menjual hasil tangkapan ke TPI
yang berada di Desa “tetangga” yaitu TPI Tegalsari. Hal ini dikarenakan TPI
Muarareja saat ini dapat dikatakan tidak aktif karena hanya digunakan untuk
lelang jenis ikan kecil seperti rebon dan teri saja.
Pada saat musim barat, mayoritas nelayan menganggur atau hanya
memperbaiki jaring. Namun mereka memiliki istri yang membantu perekonomian
35

rumahtangga dengan bekerja sebagai buruh fillet ikan asin, ada juga yang
membuka warung makanan ringan, sembako dan warung makan di pinggiran
pantai Muarareja. Sementara nelayan lapisan atas yang mayoritas alat tangkapnya
arad dan dilengkapi dengan 2 mesin, mereka tidak terlalu terpengaruh oleh ombak
sehingga mereka akan tetap melaut walaupun kondisi cuaca kurang kondusif.

Profil Nelayan di Kota Tegal

Data profil nelayan (responden) diperlukan untuk mengetahui profil


kehidupan nelayan yang meliputi umur, tingkat pendidikan, lama menjadi
nelayan, ukuran/kapasitas kapal, pekerjaan pokok dan sampingan, dan
karakteristik rumah tangga nelayan. Nelayan dalam penelitian ini mengacu pada
penggolongan nelayan menurut Chuenpagdee (2006) dan Kinseng (2014).
Nelayan adalah mereka yang memiliki kapal dengan ukuran kapal dibawah 10 GT
dengan anak buah kapal berjumlah satu sampai empat orang anak buah kapal
(ABK) atau digerakkan sendiri oleh pemilik kapal tanpa bantuan ABK dengan
jarak melaut 2 -3 mil laut.
Karakteristik umur nelayan dibagi menjadi tiga kategori yaitu umur dewasa
awal (18-40 tahun), umur dewasa madya (41-60 tahun), dan umur dewasa lanjut
(61+ tahun). Secara rinci karakteristik umur nelayan dapat dilihat pada Tabel 5.3

Tabel 5.3 Sebaran umur nelayan di Kelurahan Muarareja, Kota Tegal


Usia Nelayan Jumlah Persentase (%)
Dewasa Awal (18-40 tahun) 14 35
Dewasa Madya (41-60 tahun) 25 62.5
Dewasa Lanjut (61+ tahun) 1 2.5
Total 40 100
Minimal 24 tahun
maksimal 61 tahun
Rataan 41.23 tahun

Dari segi usia nelayan Kelurahan Muarareja masih berada pada kategori usia
produktif (Tabel5.3). Rata-rata umur nelayan Kelurahan Muarareja adalah 41.23
tahun. Dari segi kekuatan fisik, usia ini masih dianggap mampu untuk melakukan
aktivitas penangkapan ikan dan berbagai aktivitas penghidupan lainnya. Usia
nelayan yang masih termasuk usia produktif. Menurut Firdaus et al. 2013) hal
tersebut menunjukkan kemampuan mereka untuk bekerja lebih giat dan mampu
menerima dan memahami serta mengadopsi inovasi/ teknologi baru dengan
mudah dan cepat. Bahkan ada nelayan yang berusia 61 tahun masih melaut.
Padahal pada usia tersebut nelayan sudah dikategorikan sebagai dewasa lanjut dan
termasuk dalam kategori umur non produktif. Namun karena alasan untuk
menghidupi keluarga maka meskipun sudah lanjut usia mereka tetap melaut.
Selain itu, pada nelayan tidak berlaku masa pensiun sehingga berapapun usianya
jika tenaga masih dirasa cukup kuat mereka akan tetap melaut.
Pengalaman nelayan Kelurahan Muarareja dalam melaut dan melakukan
kegiatan penangkapan ikan ini kebanyakan telah dilakukan lebih dari 10 tahun.
Hal tersebut menunjukkan bahwa pengalaman nelayan maluat rata-rata selama 25
36

tahun dan menurut Agunggunarto (2011) menyatakan bahwa tingginya


pengalaman yang dimiliki berpengaruh pada hasil tangkapan yang diperoleh
karena mereka telah mampu mengenali daerah penangkapannya (fishing ground)
dengan baik. Sebaran lamanya pengalaman nelayan melaut disajikan pada Tabel
5.4

Tabel 5.4 Sebaran lamanya pengalaman melaut nelayan Kelurahan Muarareja


Pengalaman melaut (tahun) Jumlah Persentase (%)
<10 tahun 7 17.5
10-20 tahun 8 20
>20tahun 25 62.5
Total 40 100
Minimal 6 tahun
Maksimal 50 tahun
Rataan 25.78 tahun

Tingkat pendidikan nelayan ditunjukkan pada Tabel 5.5 bahwa mayoritas


nelayan adalah tidak tamat sekolah dasar (SD). Mereka mengakui bahwa masalah
ekonomi menjadi salah satu faktor yang membuat mereka putus sekolah. Alasan
lainnya karena mereka ingin menghasilkan uang untuk membantu orangtua. Rata-
rata responden memiliki orangtua yang juga berprofesi sebagai nelayan. Bahkan
ada yang hingga saat ini anak dan bapak sama-sama menjadi nelayan di Kota
Tegal. Suatu hal yang dianggap wajar yakni pendidikan nelayan yang tidaklah
tinggi. Hampir di semua wilayah pesisir nelayan berpendidikan rendah. Kondisi
tersebut memberi kesimpulan umum bahwa pekerjaan sebagai nelayan tidaklah
memerlukan pendidikan yang tinggi. Paling penting bagi nelayan adalah
pengalaman dan keterampilan dalam melaut. Hal tersebut akan terjadi secara
berulang layaknya sebuah lingkaran dimana nelayan memiliki anak yang juga
tidak menamatkan pendidikan sekolah dasarnya dan memilih bekerja sebagai
nelayan.

Tabel 5.5 Tingkat pendidikan nelayan di Kelurahan Muarareja Kota Tegal


Pendidikan Jumlah Persentase (%)
Tidak Sekolah 7 17.5
Tidak Tamat SD 13 32.5
Tamat SD 11 27.5
Tamat SLTP/Sederajat 7 17.5
Tamat SLTA/Sederajat 2 5
Total 40 100

Berikut adalah data kepemilikan kapal oleh nelayan Kelurahan Muarareja


Kota Tegal berdasarkan ukuran kapal disajikan pada tabel 5.6 Pelapisan sosial
rumah tangga nelayan ditentukan dari ukuran kepemilikan kapal. Semakin besar
kapalnya, semakin tinggi lapisan sosial rumah tangga nelayan tersebut. Atas dasar
itu, ada dua lapisan sosial yang terdapat di Kelurahan Muarareja yaitu lapisan atas
dan lapisan bawah. Rumah tangga nelayan juga bisa seketika naik kelas (lapisan)
sosial apabila dia mampu membeli kapal baru yang lebih besar. Begitu pun,
37

dengan rumah tangga lapisan atas bisa dengan cepat turun kelas (lapisan) apabila
kapal yang dimilikinya dijual, misal karena tidak mampu membayar hutang Bank
maka kapalnya dijual untuk melunasi hutang tersebut. Namun, penurunan lapisan
sosial di Kelurahan Muarareja ini jarang sekali terjadi dikarenakan kultur/budaya
nelayan di Muarareja yang memilih tetap melaut meskipun kondisi cuaca kurang
kondusif. Hal tersebut tentunya didukung oleh kuatnya ikatan dengan ABK (Anak
Buah Kapal) dan tingginya kebutuhan yang harus dipenuhi. Sementara kenaikan
lapisan kelas di Kelurahan Muarareja lebih banyak dijumpai dikarenakan
tingginya motivasi yang dimiliki oleh nelayan untuk hidup yang lebih maju. Hal
tersebutlah yang menjadi slah satu faktor semakin bertambahnya jumlah kapal
yang kemudian berdampak pada semakin sempitnya kawasan tangkap dan
berujung pada persaingan antar nelayan.

Tabel 5.6 Jumlah nelayan berdasarkan kepemilikan ukuran/kapasitas kapal dalam


Gross Tonage (GT)
Kapasitas Kapal Jumlah persentase (%) Persentase (%)
Lapisan bawah
4 GT 8 20
87.5
5-7 GT 27 67.5
Lapisan atas
8-10 GT 5 12.5 12.5
Total 40 100 100

Nelayan Kelurahan Muarareja, Kota Tegal ini kebanyakan menggunakan


alat tangkap jenis arad, bubu dan jaring waring. Namun paling banyak didominasi
oleh alat tangkap jenis arad. Alasannya ialah alat tangkap ini dinilai lebih efektif
dalam mendapatkan hasil tangkapan yang maksimal. Beberapa nelayan juga
memiliki alat tangkap lebih dari 1 jenis. Hal tersebut dilakukan untuk mesiasati
faktor cuaca dan jenis ikan tiap musimnya. Sehingga, nelayan dapat terus melaut
dan memperoleh pendapatan tanpa harus terganggu oleh musim ikan. Persentase
penggunaan alat tangkap nelayan di Kelurahan Muarareja Kota Tegal ini dapat
dilihat pada Gambar 5.1

100
80
Persentase (%)

60
40
20
0
Bubu Arad Jaring
"waring"
Alat Tangkap

Gambar 5.1 Penggunaan alat tangkap ikan nelayan Kelurahan Muarareja


38

Alat tangkap arad paling banyak dioperasikan oleh nelayan di sekitar


perairan Tegal ini karena alat ini paling efektif dan ekonomis untuk menangkap
udang dan berbagai jenis ikan. Dari segi selektivitasnya, alat ini paling rendah
selektivitasnya karena beragamnya hasil tangkapan baik dari segi ukuran dan
jumlah sehingga pengoperasian alat ini menjadikan sumberdaya ikan demersal
menjadi berkurang. Imron (2008) juga menyatakan alat tangkap jenis arad ini
adalah modifikasi dari alat tangkap jenis trawl. Jenis ikan yang dapat ditangkap
dengan menggunakan jaring arad di Tegal adalah jenis ikan demersal seperti
petek, manyung, beloso, pari, udang, atau cumi dan berbagai jenis ikan sampingan
lainnya. Jenis jaring arad ini sesuai dengan kondisi kawasan perairan dasar Laut
Jawa Utara yaitu berpasir dan berlumpur. Sudharmo (2016) juga menyatakan
bahwa alat tangkap jenis arad ini sangat berpengaruh pada operasi kegiatan
penagkapan ikan di Kota Tegal. Suseno (2004) dan Imron (2008) menyatakan
kondisi produksi aktual sumberdaya ikan yang ada di perairan Kota Tegal
cenderung mengarah pada kondisi overfishing. Keadaan ini akibat adanya
persaingan antar alat tangkap yang beroperasi di sana. Alat tangkap jenis arad ini
merupakan alat tangkap yang paling banyak digunakan nelayan lapisan atas
karena mereka didukung oleh kepemilikan mesin dan kapal yang lebih besar dan
bagus daripada nelayan lapisan bawah. Jarak operasi alat tangkap jenis arad
adalah kurang dari 4 mil. Namun untuk beberapa nelayan terkadang pada saat
kondisi tertentu melaut lebih dari 4 mil. Sehingga, banyak nelayan yang masih
dapat tetap melaut meskipun kondisi cuaca kurang kondusif untuk melaut.
Sementara, bubu adalah jenis alat tangkap yang sifatnya pasif. Alat tangkap
bubu biasanya digunakan untuk menangkap rajungan yang mempunyai nilai
ekonomi tinggi. Nelayan lapisan bawah rata-rata menggunakan alat tangkap bubu
karena biaya perawatan dan modal yang digunakan per trip nya yang realtif
murah. Bubu merupakan alat tangkap yang ditebar pada sore hari hari kemudian
diangkat keesokan harinya. Sehingga, bubu tidak membutuhkan banyak BBM.
Selain itu, rajungan atau kepiting adalah jenis ikan yang banyak ditemui pada saat
curah hujan tinggi saja. Jaring “waring” ini merupakan alat tangkap yang
digunakan oleh nelayan lapisan bawah karena harga alat tangkap jenis ini realtif
murah dan biasanya dibuat sendiri oleh nelayan. bahan jaring “waring” ini hampir
sama dengan senar pancing yang kemudian di buat menjadi jaring. Komoditas
ikan yang ditangkap adalah jenis udang terasi (rebon). Jarak operasi alat tangkap
ini hanya di pinggiran pantai saja. Dari ketiga jenis alat tangkap tersebut dapat
dikatakan jenis alat tangkap jaring “waring” memiliki tingkat kerentanan ekologis
yang paling tinggi dibandingkan Bubu dan Arad.
Pendapatan nelayan di Kota Tegal dapat dikatakan sebagian besar
mempunyai pendapatan di atas Upah Minimum Regional (UMR) Kota Tegal.
UMR Kota Tegal berdasarkan peraturan SK Gubernur Jawa Tengah no 560/66
Tahun 2015 tanggal 20 November 2015 tentang Daftar Upah Minimum di 35
Kabupaten/Kota Tahun 2016 Provinsi Jawa Tengah sejumlah Rp 1.385.000,- per
bulan. Sementara, diketahui dari 40 responden rata-rata pendapatan per bulan
normalnya kisaran 2.000.000 hingga 3.000.000,- per bulannya. Maka, pendapatan
nelayan di Kota Tegal sudah melebihi UMR. Sementara tingkat pengeluaran rata-
rata per kapita di Kota Tegal tahun 2016 yaitu Rp 1.192.265,44,- (BPS Jateng
2016). Jika dihubungkan dengan angka standar hidup layak di Kota Tegal tahun
39

2016 yaitu Rp 1.376.830,88,- (BPS Jateng 2016). Maka mengacu pada standar
tersebut, pendapatan nelayan di Kota Tegal sudah memenuhi tingkat hidup layak.
Kondisi tempat tinggal nelayan di Kota Tegal secara nyata sebagian besar
responden sudah tinggal di rumah-rumah yang layak kondisi bangunannya dan
dapat dikelompokkan dalam kelompok permanen. Rumah beratapkan genteng,
dinding tembok dan lantai keramik maupun tegel. Menurut Cinner dan Pollnac
(2004) di negara berkembang berlaku bahwa kondisi tempat tinggal
mencerminkan status sosial mereka. Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa
nelayan di Kota Tegal berada pada kondisi yang mampu dan cukup.
Peluang memperoleh pekerjaan, secara keseluruhan mereka memilih
pekerjaan sebagai nelayan dikarenakan pekerjaan nelayan merupakan pekerjaan
yang mudah didapat karena didukung oleh kondisi geografis tempat tinggal
mereka. Selain itu, secara kultural nelayan merupakan pekerjaan turun temurun
dari orangtua mereka yang sudah mengakar kuat. Sehingga mereka bangga
menjadi nelayan. dan secara ekonomis, pendapatan nelayan mampu memenuhi
kebutuhan rumahtangga.

Ikhtisar

Kelurahan Muarareja merupakan pusat kegiatan perikanan tangkap skala


kecil. Hal tersebut didukung oleh kondisi/mayoritas nelayan Kelurahan Muarareja
yang kapalnya berukuran dibawah 10 GT. Rumahtangga nelayan di Desa
Murareja dapat terbagi menjadi 2 lapisan sosial yaitu lapisan bawah (87.5%)
dengan ukuran kapal dibawah 7GT dan lapisan atas 12.5% dengan ukuran kapal
8-10GT. Kontur Kelurahan Muarareja berupa dataran rendah yang berbatasan
langsung dengan laut utara jawa, kontur tambak dan hutan mangrove, tidak
terdapat lahan pertanian sehingga penghidupan rumah tangga masyarakat
Kelurahan Muarareja otomatis sangat bergantung pada bidang perikanan sebagai
nelayan. Latar belakang pendidikan nelayan Kelurahan Muarareja, Kota tegal
adalah tamat Sekolah Dasar (SD). Rata-rata usia nelayan di Kelurahan Muarareja
masih berada pada usia produktif yaitu 41.23 tahun. Pengalaman nelayan rata-rata
selama 25 tahun. Alat tangkap yang paling banyak digunakan oleh nelayan
Muarareja adalah arad (trammel net), bubu (alat tangkap rajungan), jaring
“waring”. Seperti yang ditunjukkan dalam analisis kondisi ekonomi, sebagian
besar responden menerima pendapatan yang lebih tinggi dari upah minimum
regional (UMR) Kota Tegal. Nelayan bisa memenuhi kebutuhan dasar mereka,
sebagian besar rumah mereka berada dalam kategori bangunan permanen, dan
sebagian besar dari mereka bisa menemukan pekerjaan mudah. Kondisi umum
tersebut menggambarkan bahwa dengan kondisi seperti itu maka dapat dikatakan
cukup kuat untuk mempertahankan penghidupan nelayan Kelurahan Muarareja
untuk tetap survive dalam menghadapi paparan atau tekanan penghidupan yang
dihadapi.
40

6. KONDISI PAPARAN YANG DIHADAPI RUMAH


TANGGA NELAYAN

IPCC (2007) menyatakan bahwa kerentanan mendefinisikan fungsi dari 3


faktor pada sebuah sistem. Rentan ialah sistem yang sangat terpapar, sensitive dan
tidak mampu beradaptasi. Sehingga, terbentuklah formula untuk mengidentifikasi
kerentanan yakni rentan= paparan bahayaxsensitivitas – kapasitas adaptif. Paparan
(Exposure) berdasarkan IPCC mengelompokkan dua sumber paparan yaitu berasal
karena variabilitas iklim dan non iklim. Sehingga, dalam penelitian ini peneliti
mengelompokkan paparan yang dapat memicu tingginya tingkat/ indeks
kerentanan penghidupan nelayan menjadi tiga yaitu paparan dari alam/lingkungan
(pengaruh iklim), paparan dari lingkungan sosial dan paparan dari bidang
ekonomi (non iklim). Paparan dari lingkungan/alam seperti yang diketahui bahwa
sistem penghidupan rumahtangga nelayan sangat bergantung pada laut,
sumberdaya perairan dan terutama ikan. Oleh karena itu sudah sangat jelas jika
perubahan iklim dan cuaca menjadi salah satu sumber paparan bagi penghidupan
nelayan. Paparan dari lingkungan sosial yakni konflik atau ketegangan sosial antar
nelayan yang mengancam pola interaksi antar nelayan dan tata nilai yang ada di
dalam masyarakat. Paparan dari bidang ekonomi yaitu berasal dari kondisi
perekonomian masing-masing rumah tangga nelayan yang identik dengan
keterbatasan modal.

Paparan ekologi

Paparan dari alam salah satunya yang jelas nyata yaitu adanya dampak
perubahan iklim yang dialami nelayan Kelurahan Muarareja yaitu diantaranya
pergerseran musim yang kemudian menyebabkan terjadinya perubahan waktu dan
jenis tangkapan ikan; perubahan suhu permukaan laut yang menyebabkan
perubahan lokasi penangkapan, pengurangan jenis dan jumlah tangkapan ikan
serta meningkatnya resiko melaut akibat ancaman meningkatnya badai dan
gelombang. Selain itu, sumber paparan yang berpotensi menjadi sumber
kerentanan pada penghidupan nelayan di Kelurahan Muarareja, Kota Tegal adalah
kondisi perairan di Kota tegal yang sudah menunjukkan overfishing. Hal ini
ditandai dengan meningkatnya jumlah kapal nelayan dan menurunnya hasil
tangkapan nelayan. Menurut Data BPS Kota Tegal dalam Angka tahun 2015
hingga 2017, jumlah kapal nelayan sejumlah 635 pada tahun 2015 dan meningkat
menjadi 877 kapal pada tahun 2017. Selain itu, jika dilihat dari produksi
perikanan tangkap di Kota Tegal cenderung mengalami penurunan yaitu
27.451.503Kg pada tahun 2015 turun menjadi 22.095.171Kg pada tahun 2017.
Berikut adalah gambaran semakin banyaknya jumlah kapal di Kelurahan
Muarareja Kota Tegal (Gambar 6.1).
Box 1 memberikan gambaran bahwa sumber paparan yang berasal dari alam
seperti 1) Lokasi penangkapan menjadi berubah-ubah; 2) sulitnya memperoleh
hasil tangkapan menjadikan nelayan memilih menambah waktu melaut; 3) kondisi
angin/badai saat angina barat (paceklik) berujung pada pengangguran semakin
lama.
41

Gambar 6.1 Kepadatan jumlah kapal nelayan di Kelurahan Muarareja


Box 1. Sumber paparan dari segi alam/lingkungan

Akhir-akhir ini, nelayan lapisan bawah yang sebelumnya untuk mencapai


lokasi penangkapan biasanya hanya 30 menit sampai 1 jam dari pinggir pantai.
Namun, saat ini pernah melaut makin jauh dari biasanya yaitu 1- 1,5 jam
dari pinggir pantai. Penentuan lokasi tangkapan hanya berdasarkan pengalaman
karena sudah biasa dan telah lama menjadi nelayan. Rata-rata nelayan Muarareja
memiliki dua jenis alat tangkap. Seperti, satu alat untuk menangkap ikan campur
dan yang satu lainnya khusus alat tangkap udang terasi. Penyesuaian alat tangkap
sesuai dengan musim ikan dilakukan sebagai strategi nelayan untuk dapat
memperoleh hasil tangkapan tiap musimnya. Namun penyesuaian alat tangkap ini
juga tergantung kemampuan tiap nelayan, mereka yang mempunyai dua mesin
biasanya pasti memiliki 2 jenis alat tangkap yaitu arad dan bubu. Bagi yang tidak
mampu nambah mesin biasanya nganggur. Misal, ketika musim paceklik (angin
barat), kegiatan nelayan biasanya hanya nganggur “duduk di rumah dan ngopi
bersama nelayan lain” atau memperbaiki jaring yang rusak bersama-sama, dalam
1 tahun biasanya 1-3 bulan nganggur bahkan tahun ini (2018) bisa menganggur
hingga 3 bulan lamanya. Kalaupun melaut jadi harus mau di laut lebih lama,
untuk menutup modal. Misal kalau yang harian 8-10 jam bisa jadi 1 harian, kalau
yang biasanya 2 hari bisa sampai 3-4 hari.

Sumber: PDI (60tahun), WRZ (43tahun), TFK (45 tahun)

Paparan Sosial

Tingginya persaingan antar nelayan dan sempitnya kawasan tangkap di


wilayah operasi penangkapan akibat kepadatan nelayan juga menjadi sumber
paparan. Hal tersebut kemudian berdampak pada pola eksploitasi semakin tinggi
yang kemudian memicu terjadinya konflik antar nelayan akibat sering terjadinya
gesekan antar nelayan. Konflik yang sering dialami adalah akibat sangkutan antar
alat tangkap. Bentuk konflik tersebut seperti pencurian alat tangkap. Pencurian
atau pengambilan bubu dicurigai sering dilakukan oleh nelayan arad. Selain itu,
sesama nelayan arad juga tidak terlepas dari konflik seperti sangkutan dengan
sesama alat tangkap arad dikarenakan terbatasnya area penangkapan, sehingga
menyebabkan rusaknya alat tangkap. Namun, untuk kasus sesama jenis arad ini
42

hanya berujung pada adu mulut saja. Selain itu, dari segi geografis dimana
Kelurahan Muarareja ini terletak bersebelahan dengan Desa Tegalsari yang
merupakan pusat perikanan skala besar yakni pusat beroperasinya kapal cantrang.
Walaupun lokasi penangkapan berbeda namun masih ada interaksi diantara
nelayan dan nelayan cantrang, seperti dugaan oleh nelayan bahwa semakin
sulitnya ikan didapat dikarenakan tidak adanya kesempatan ikan menuju ke
pinggiran (lokasi wilayah tangkap nelayan) dan di wilayah pintu keluar masuk
kapal masih sering diwarnai dengan percekcokan antar nelayan akibat padatnya
kapal cantrang seringkali menutupi jalan keluar kapal nelayan. Kinseng (2007)
menyatakan bahwa potensi sumberdaya perikanan tangkap di Indonesia
cenderung akan semakin langka oleh karena itu konflik sumberdaya di kalangan
kaum nelayan akan semakin sering terjadi dan konflik sumberdaya di antara
nelayan akan bersifat semakin menjadi (brutal) ketika isunya menyangkut
masalah sumber kehidupan (livelihood).
Box 2. Paparan dari segi sosial
Perebutan lokasi penangkapan saat ini sering terjadi, Alat tangkap yang
saling berangkutan dengan alat tangkap milik nelayan lain. Tabrakan antar kapal
pada malam hari karena kondisi nelayan yang kelelahan. Bentuk konflik biasanya
yaitu adu mulut. Bentuk konflik tingkat tingginya yaitu saling lempar batu. Namun
saat ini hal tersebut jarang terjadi, kalaupun ada 1 atau 2 saja. Kesadaran dari nelayan
yang kemudian saling menyadari karena tujuan mereka sama-sama mencari ikan
untuk “urusan perut”, maka ketika sangkutan alat tangkap mungkin yang terjadi
sekedar adu mulut kecil di tengah laut sampai di darat semua membenahi alat
tangkapnya masing-masing karena kondisi alat tangkap sama-sama rusak tanpa
menuntut ganti rugi.
Selain itu, Baik di tengah laut maupun didarat masih rawan pencurian
karena tingginya persaingan antar nelayan. Banyak nelayan yang licik yaitu
dengan mencuri alat tangkap. Diduga/dicurigai nelayan arad sering melakukan
pencurian bubu ketika nelayan bubu yang baisanya tebar 1500 bubu di tengah laut
kemudian bubu yang ditebar hilang 100-200 bubu. Lalu, pencurian solar yang
pada malam hari di siapkan diatas kapal, esok harinya hanya ditemukan diligent
kosong. Namun, para nelayan saat ini tidak dapat menjudge siapa pelakunya karena
kurangnya bukti. Sehingga, hanya berujung pada kecurigaan saja. Selain karena
tingginya persaingan, pencurian BBM ini juga dikarenakan oleh nelayan kecil Desa
Muarareja sering mengalami permasalahan kekurangan stok BBM. Sehingga, mereka
mencuri BBM milik nelayan lain.
Konflik/masalah sosial yang ditimbulkan dari nelayan cantrang, sebenarnya
tidak sesering seperti dengan sesama nelayan kecil. Bentuk masalah dengan nelayan
cantrang akhir-akhir ini yaitu jalan keluar kapal nelayan kecil sering terhalangi
oleh banyaknya kapal besar yang parkir tidak rapi, juga adanya proyek pelabuhan
yang sering mengganggu keluar masuk nelayan kecil. Sehingga, tak jarang nelayan
kecil gagagl berangkat melaut karena tidak bisa keluar dari muara.

Sumber: SKR (47tahun), AND (27 tahun)


Paparan Ekonomi

Sumber atau paparan segi ekonomi seperti keterbatasan modal, terbatasnya


modal nelayan menyebabkan terbatasnya kemampuan nelayan dalam mengakses
modal produksi, salah satunya Bahan bakar Minyak (BBM) yang menurut nelayan
43

Kelurahan Muarareja, akhir-akhir ini semakin sulit/ selalu kekurangan stok BBM.
Selain itu, keinginan untuk melakukan mobilitas vertikal menyebabkan rumah
tangga nelayan terjerat hutang atau pinjaman pada Bank. Kemudahan dalam
mengajukan pinjaman ke Bank, menjadikan banyak nelayan Kelurahan Muarareja
membeli kapalnya dari hasil pinjaman Bank dengan jaminan sertifikat tanah dan
rumahnya. Sementara, sumber nafkah terbesar mereka berasal dari hasil melaut,
yang seperti yang telah diketahui banyaknya hasil tangkapan selain tergantung
pada kondisi alam juga ditentutak oleh kesiapan modal produksinya untuk
berangkat melaut.
Box 3. Paparan dari segi ekonomi
Penghasilan nelayan kalau per hari 100-300 ribu. Tapi jika dilaut 3 sampai 4
hari bisa 1 atau 2 juta. Biaya tiap kali trip untuk melaut 3-4 hari membawa es batu
sebanyak 15-20 balok es dengan harga 20-25 ribu per balok. Solar untuk 3 hari di laut
membawa 300 liter. Dan ditambah perbekalan melaut selama 3-4 hari. Tapi jika sepi,
ikan sulit didapat terkadang pulang dengan hasil apadanya, terkadang tetap
melaut dengan patokan sampai perbekalan habis demi hasil yang didapat bisa
tutup modal. Beberapa nelayan yang permodalan termasuk kapal ialah hasil
pinjaman dari Bank. Maka konsekuensinya adalah tiap harinya harus pergi melaut
meskipun cuaca kurang kondusif dikarenakan harus membayar setoran Bank tiap
bulannya. Saat ini, meminjam modal ke bank lebih mudah daripada ke KUD
(Koperasi Unit Desa). Nelayan lapisan bawah dianggap tidak mampu membayar
angsuran sehingga tidak diperbolehkan meminjam ke KUD dalam jumlah yang
besar.
Harga jual ikan yang tidak tentu, pemasaran ikan nelayan kecil di Desa
Muarareja terbagi menjadi 2 ada yang menjual ke pengepul dan ada yang memilih
menjual ke TPI Tegalsari. Diketahui sebelumnya TPI Muarareja sudah lama tidak
aktif atau hanya beroperasi untuk jenis rebon saja. Beberapa nelayan lapisan atas yang
menjual ke pengepul biasanya mereka yang terikat hutang modal dengan pengepul.
Sehingga untuk harga jual hanya pasrah pada pengepul saja. Dan bagi mereka
yang menjual ke TPI memiliki resiko harus menerima uang hasil tangkapannya
lebih lama daaripada pengepul karena menunggu proses pelelangan selesai dan
beberapa dibayar pada hari berikutnya. Permasalahan ekonomi yang cukup serius
tahun 2018 yaitu anjloknya harga rajungan yang sebelumnya harga rajungan dapat
mencapai Rp.120.000,-/kg nya menjadi hanya Rp. 20.000,-/kg. Hal tersebut sangat
merugikan bagi nelayan.

Sumber: KHS (43 tahun), (YTN 40 tahun)

Berdasarkan Box 3 tersebut diketahui bahwa permasalaham ekonomi bagi nelayan


ialah keterbatasan modal yang kemudian berdampak pada permasalahan lain
seperti jeratan hutang dan hasil penjualan yang tidak tutup modal.

Ikhtisar

Sumber paparan yang berpengaruh pada tingkat kerentanan penghidupan


nelayan berasal dari dua sumber yaitu dampak dari perubahan iklim (alam) dan
non iklim (tekanan sosial-ekonomi). Sumber paparan alam yang paling
berpengaruh yaitu adanya variabilitas iklim yang kemudian berdampak pada
pergeseran musim ikan, cuaca dan gelombang yang ekstrim, perubahan ruaya ikan
44

sehingga ikan di daerah pinggiran (lokasi penangkapan ikan nelayan Kota Tegal
>3mil) semakin sulit didapat. Sehingga, mereka harus menambah waktu
penangkapan ataupun menangkap di lokasi yang lebih jauh atau lebih lama dari
sebelumnya. Paparan sosial yang sering dihadapi oleh nelayan Kelurahan
Muarareja yakni adanya konflik horizontal antar nelayan yang diakibatkan oleh
semakin banyaknya jumlah nelayan. Sehingga, memicu tingginya persaingan
antar nelayan. Selanjutnya ialah paparan ekonomi yang sering diakibatkan oleh
kurangnya stok BBM bersubsidi sering menghambat kegiatan penangkapan
rumahtangga nelayan lapisan bawah. Beberapa paparan atau tekanan yang dinilai
mengganggu sumber penghidupan diketahui tingginya persaingan antar
nelayanlah yang menjadi sumber paparan paling menghambat bagi penghidupan
rumahtangga nelayan lapisan atas. Sementara, rumah tangga nelayan lapisan
bawah cenderung lebih terganggu atau terhambat karena faktor alam.
45

7. TINGKAT KERENTANAN PENGHIDUPAN NELAYAN

Kerentanan (vulnerability) merupakan derajat sebuah sistem pengalaman


dalam mengalami kerugian akibat paparan sebuah bahaya dan gangguan atau
tekanan (Turner et al., 2003 dalam Berkes F., 2007). Nilai komponen Livelihood
Vulnerability Index (LVI) yaitu 0,0 mempunyai arti kerentanan paling rendah dah
0,5 mempunyai arti kerentanan paing tinggi. Sementara itu, nilai LVI yaitu -1
mempunyai arti kerentanan paling rendah dan +1 mempunyai arti kerentanan
paling tinggi (Shah et al. 2013). Kerentanan dicirikan oleh tiga komponen:
kapasitas adaptif, sensitivitas, dan keterpaparan (Schneider et al., 2007 dalam
Shah et al, 2013). Tekanan atau gangguan yang dimaksud adalah adanya
variabilitas iklim mengakibatkan terjadinya pergeseran musim tangkap, perubahan
cuaca dan gelombang yang ekstrim, perubahan ruaya ikan sehingga ikan semakin
sulit didapat hingga penurunan pendapatan nelayan sehingga rumah tangga
nelayan rentan terhadap matapencahariannya. Hal ini sebabkan kelangsungan
hidup nelayan masih tergantung dari sumber pendapatan utama yaitu hasil
tangkapan ikan. Selain itu juga sejumlah paparan sosial dan ekonomi yang
dihadapi oleh nelayan. Pada dasarnya rumah tangga nelayan di Kelurahan
Muarareja menggantungkan hidupnya pada hasil tangkapan ikan.

Analisis Perhitungan Livelihood Vulnerability Index

Hasil olahan data LVI- IPCC yang diperoleh dari formula LVI= (nilai
exposure – nilai adaptive capacity) x nilai sensitivitas dapat dilihat pada (Gambar
7.1). Diketahui rumahtangga nelayan lapisan bawah (0.04) lebih rentan
penghidupannya terhadap paparan yang dihadapi daripada rumahtangga nelayan
lapisan atas (-0.03).

Exposure 0.51
0.60
0.48
0.40
0.20

0.55 0.00 0.56


0.46 0.40
Adaptive
Sensitivity
Capacity
bottom layer n=35 upper layer n=5

Gambar 7.1 Grafik Livelihood Vulnerability Index (LVI) rumahtangga nelayan


Kelurahan Muarareja, Kota Tegal tahun 2019

Hasil perhitungan menunjukkan indeks exposure rumah tangga nelayan lapisan


bawah yaitu 0.48 dan lapisan atas 0.51. Sementara, indeks adaptive capacity
rumah tangga nelayan lapisan atas (0.56) lebih tinggi daripada rumahtangga
nelayan lapisan bawah (0.40). Sehingga dari hasil tersebut diketahui bahwa
tingkat kapasitas adaptif rumahtangga nelayan lapisan atas jauh lebih tinggi
daripada rumah tangga nelayan lapisan bawah.
46

Tabel 7.1. Livelihood Vulnerability Index Rumahtangga nelayan Kelurahan Muarareja


indeks komponen
Indeks Komponen utama
Sub komponen
Lapisan Lapisan Utama Lapisan lapisan
atas bawah atas bawah
ekspansi nelayan besar 0.20 0.09
Tingginya persaingan 1.00 0.89
Sempitnya kawasan
penangkapan 0.40 0.60 Exposure
Kurangnya stok BBM subsidi 0.40 0.86 Sosial,
Harga jual ikan tak menentu 0.40 0.46 0.51 0.48
ekonomi,
Tanggungan pinjaman yang ekologi
harus dilunasi 0.80 0.31
perubahan cuaca dan iklim 0.40 0.40
Degradasi kondisi laut 0.80 0.37
Hasil tangkapan tak menentu 0.20 0.37
Tanggungan keluarga rendah 0.60 0.74
tingginya pengalaman melaut 1.00 0.60
Adaptive
Rentang usia Produktif 1.00 0.71
capacity
Anggota keluarga yang bekerja
(AC)
>1 orang 0.40 0.28
modal
Nelayan sebagai pekerjaan
sumberday
utama 0.80 1.00
a manusia
Memiliki pekerjaan sampingan 0.20 0.20
Peluang kerja selain nelayan 0.20 0.17
Intensifikasi waktu
AC modal
penangkapan 0.60 0.63
Alam
intensifikasi jarak melaut 0.40 0.20
Sumber nafkah ganda 0.20 0.54
Pinjaman/Hutang 0.80 0.43
0.56 0.40
Tabungan 0.60 0.14 AC modal
Sisa Hasil Usaha dari Koperasi Finansial
Unit Desa 0.20 1.00
Remittance 0.60 0.14
Memiliki >1 jenis alat tangkap 0.60 0.23
Kepemilikan sarana komunikasi Adaptive
(Jandphone, TV, radio) 1.00 0.71 capacity
Akses Tempat pelelangan Ikan 0.40 0.37 modal Fisik
Partisipasi dalam kelompok
nelayan 1.00 0.40
Berhutang dengan sesama Adaptive
nelayan 0.00 0.43 capacity
Solidaritas diatas dan diluar modal
kapal 0.80 0.83 Sosial
Hasil tangkapan dijual segar 0.80 1.00
sebagian hasil tangkapan utk Sensitivitas
konsumsi pribadi 0.20 0.31 Pangan
Kapal hasil pinjaman Bank 1.00 0.14 0.55 0.46
Semakin sulit mencari Anak Sensitivitas
Buah Kapal 0.60 0.26 pengaruh
Perebutan lokasi kawasan kepemilika
tangkap 0.20 0.37 m kapal
Livelihood Vulnerability Indeks -0.03 0.04
47

Exposure

Keterpaparan (exposure) adalah tingkat tekanan, guncangan dan perubahan


yang menimpa rumah tangga nelayan. Nilai indeks pada komponen keterpaparan
(exposure) sosioekonomi-ekologi pada rumah tangga nelayan lapisan atas ini
cukup tinggi yaitu 0,51. Indeks komponen ini tergolong tinggi, hal ini disebabkan
100% rumah tangga nelayan lapisan atas menyatakan tingkat persaingan antar
nelayan saat ini cukup tinggi karena faktor kepadatan jumlah nelayan. Selain itu,
80% nelayan lapisan atas memiliki tanggungan pinjaman Bank yang herus
dilunasi. Jeratan hutang ini menjadi tekanan (exsposure) tersendiri bagi nelayan
lapisan atas, karena konsekuensi jika tidak dapat membayar setoran tiap bulannya
maka kapal atau bahkan rumah dan tanahnya menjadi jaminan bagi Bank. Hal
tersebut menyebabkan tekanan sekaligus dorongan bagi nelayan untuk tetap
melaut bagaimanpun kondisinya. Sehingga, secara tidak langsung semakin
banyaknya jumlah nelayan dan belitan hutang Bank menjadi paparan/exposure
yang paling menekan kondisi penghidupan rumahtangga nelayan lapisan atas.
Sementara itu, indeks keterpaparan untuk rumah tangga nelayan lapisan bawah
ialah 0.48 disebabkan oleh 89% rumahtangga nelayan lapisan bawah terdesak
karena tingginya persaingan antar nelayan akibat semakin banyaknya jumlah
nelayan dan 86% rumah tangga nelayan lapisan bawah mengalami kekurangan
stok BBM. Hal ini terjadi karena semakin banyak nelayan maka kebutuhan BBM
semakin banyak pula. Namun, stok/ketersediaan BBM subsidi yang tidak
mencukupi kemudian merugikan nelayan seperti banyak nelayan yang menunda
tidak melaut hingga BBM tersedia. Kedua jenis paparan tersebut adalah jenis
paparan yang paling menyulitkan kondisi penghidupan rumahtangga nelayan
lapisan bawah Kelurahan Muarareja. Kota Tegal.

Adaptive Capacity

Kapasitas adaptif merupakan kemampuan sistem untuk menyesuaikan diri


dengan tekanan (Hahn et al. 2009). Nilai indeks untuk komponen kapasitas
adaptif terdiri dari beberapa sub komponen yaitu livelihood strategies yang dilihat
dari pengelolaan dan pemanfaatan modal alam, fisik, finansial, sumberdaya
manusia (SDM) dan sosial. Can et al. (2013) menyatakan bahwa salah satu
konstruksi untuk mengetahui indeks kerentanan penghidupan diambil dari
kerangka kerja penghidupan berkelanjutan/Sustainability Livelihood Framework
(SLF) di mana konteks kerentanan merupakan penentu utama keberlanjutan
modal penghidupan/modal nafkah karena secara langsung mempengaruhi strategi
penghidupan, proses kelembagaan dan hasil penghidupan masyarakat (Chambers
and Conway, 1992; DFID, 2000). Oleh karena itu, dalam penelitian ini komponen
kapasitas adaptif dilihat dari bentuk strategi penghidupan yang dilakukan
rumahtangga nelaya yang dinilai dari cara/tindakan yang diambil dalam
memanfaatkan dan mengelola modal nafkah/penghidupan yang dimiliki sebagai
startegi penghidupan mereka. Can et al. (2013) menambahkan bahwa kemampuan
adaptif yang tinggi mampu menurunkan tingkat kerentanan nelayan terhadap
penghidupannya atau mata pencahariannya. Kapasitas adaptif rumahtangga
nelayan lapisan atas maupun lapisan bawah dalam bidang SDM dinilai cukup
tinggi. Hal tersebut didukung oleh tingginya pengalaman melaut mereka. 100%
48

nelayan lapisan atas dan 60% nelayan lapisan bawah sudah melaut selama lebih
dari 25 tahun. Tingginya pengalaman melaut ini dikarenakan banyak anak nelayan
sudah sudah ikut melaut sejak lulus SD. Bagi mereka lebih penting dapat
membantu perekonomian orangtua dan keluarga daripada sekolah lagi. Dengan
menjadi nelayan pun tidak dituntut berpendidikan tinggi. Seperti tuturan salahsatu
nelayan pada saat wawancara 11 Januari 2019:

“Saya sudah jadi nelayan sejak SD, bahkan beberapa teman saya
tidak tamat SD. “Sekolahnya tutup”, Jadi nelayan ikut bapak saya
atau ada yang ikut saudaranya, langsung kerja dapat uang tidak perlu
syarat pendidikan tinggi. Yang penting pengalaman ikut ke laut”
(KRT 40 tahun).
Oleh karena itu juga semua nelayan lapisan atas di Kelurahan Muarareja masih
berada dalam rentang usia produktif sementara 71% dari seluruh nelayan lapisan
bawah juga masih berada pada rentang usia produktif. Nelayan lapisan atas
maupun nelayan lapisan bawah sama-sama memiliki pekerjaan utama nelayan
(100%). Oleh karena itu mereka akan memberikan effort yang lebih untuk
memperoleh hasil tangkapan yang maksimal. Selain itu, tingginya kapasitas
adaptif nelayan Kelurahan Muarareja ini didukung oleh kemampuan adaptif
nelayan dalam memanfaatkan modal sosial seperti kuatnya ikatan sosial diantara
nelayan yang terwujud dalam tingginya partisipasi rumah tangga nelayan besar
lapisan atas dalam kelompok nelayan (100%). Aktifnya rumahtangga nelayan
lapisan besar dalam sebuah kelompok nelayan dinilai menguntungkan karena
hampir semua nelayan lapisan atas mendapatkan kemudahan memperoleh bantuan
dari pemerintah berupa alat tangkap maupun bak fiber. Sementara itu, nelayan
lapisan bawah (100%) pernah menerima bantuan dari pihak KUD yaitu bantuan
akhir tahun yang berupa sembako. Selain itu juga tingginya solidaritas antar
nelayan baik diatas kapal dan diluar kapal. Solidaritas diatas kapal ini kerjasama
nelayan pemilik dengan ABK yang dinilai baik. Meskipun, tidak ada pembagian
tugas yang spesifik diantaranya tapi proses kegiatan penangkapan dilaut tetap
berjalan lancer dengan prinsip kerjasama dan bagi hasil. Sehingga, keterikatan
ABK dengan pemilik kapal sama-sama saling menguntungkan. Sedangkan
solidaritas diluar kapal diketahu dari Semua responden yang dalam kesehariannya
pernah melakukan hutang piutang dari rumah tangga nelayan lain.

Sensitivity

Sensitivitas merupakan sejauh mana sistem akan merespon perubahan, baik


secara positif maupun negative (Hahn et al. 2009). Sensitivitas adalah sejauh
mana suatu rumahtangga atau komunitas secara merugikan atau menguntungkan,
secara langsung atau tidak langsung dipengaruhi oleh perubahan iklim dan
variabilitas iklim (IPCC 2007). Misalnya, ekosistem tropis akan kurang sensitif
terhadap penurunan curah hujan daripada ekosistem yang rapuh, kering atau semi
kering, karena pengaruh adanya aliran air. Juga, komunitas pertambangan kurang
peka terhadap perubahan pola curah hujan daripada komunitas yang bergantung
pada pertanian tadah hujan untuk penghidupannya (IPCC 2007).Sensitivitas
digambarkan sebagai tingkatan atau derajat dimana suatu sistem dipengaruhi atau
responsive terhadap rangsangan perubahan iklim baik yang bersifat merugikan
49

maupun yang menguntungkan. Dalam konteks kerentanan wilayah pesisir,


semakin tinggi sensitivitas suatu system maka semakin tinggi kerentanan sistem
(Olmos 2001). Sebaliknya, semakin rendah sensitivitas suatu system, maka
system mampu bertahan menghadapi dampak perubahan iklim bahkan tanpa
usaha atau bentuk adaptasi apapun. Hahn et al. (2009) dan Can et al. (2013)
mengukur sensitivitas dengan 3 komponen yaitu dari pangan, air dan kesehatan.
Sementara, Kusumartono et al. (2015) mengukur sensitivitas hanya dari air
(penggunaan air, keragaman sumber air, ketersediaan air) dan Fauziah (2014)
mengukur sensitivitas dari keamanan bermukim, sosio demografi dan
penghidupan. Dalam penenlitian ini, tingkat sensitivitas rumahtangga nelayan
Kelurahan Muarareja, Kota Tegal cukup tinggi. Sensitivitas tersebut dinilai dari
kebutuhan pangan dan kepemilikan kapal. Rumahtangga nelayan sangat
bergantung pada ikan hasil tangkapannya. Rumah tangga nelayan Kelurahan
Muarareja hampir semua nelayan menjual semua ikan hasil tangkapannya
langsung atau dalam bentuk ikan segar. Hal tersebut dilakukan karena sifat produk
yang mudah rusak. Sehingga ketika hasil tangkapan menurun, atau kondisinya
tidak begitu segar maka akan berpengaruh pada pendapatan uang yang digunakan
untuk mencukupi kebutuhan dasar mereka termasuk untuk makan. Kepemilikan
kapal menjadi komponen yang sensitive karena banyak nelayan desa Muraraeja
yang status kepemilikan Kapalnya masih berada pada status “kredit” atau masih
dalam tahap pelunasan. Oleh karena itu, bagi nelayan yang masih memiliki kredit
kapalnya, mereka dituntut untuk bekerja/melaut lebih ekstra lagi karena untuk
membayar angsuran tiap bulannya. Kemudahan mengajukan pinjaman ke bank
menjadikan banyak nelayan ingin memiliki Kapal sendiri. Sementara, telah
diketahui dampak dari makin banyaknya jumlah kapal tersebut selain
memperparah kondisi overfishing ialah banyak nelayan mengakui kesulitan
mencari ABK. Meningkatnya jumlah kapal maka kompetisi antar nelayan juga
semakin tinggi sehingga secara tidak langsung berpengaruh pada produktifitas
mereka.
Berdasarkan hasil perhitungan LVI tersebut, jika dilakukan analisis
perbandingan dengan indeks kerentanan pada studi lain misalnya. Sementara,
indeks kerentanan rumah tangga petani dalam studi Amalia (2016) diketahui nilai
LVI paling tinggi yaitu rumah tangga petani lapisan atas di sekitar hutan di
Kalimantan timur yaitu 0.72 dan lapisan bawah yaitu 0.66. Wahyuni (2016) juga
menghitung indeks kerentanan untuk rumah tangga petani padi di Kabupaten
Timor Tengah diperoleh nilai LVI 0.398 untuk Kelurahan Boronubaen dan 0.412
untuk kelurahan Taunbaen. Maka, Secara keseluruhan nilai LVI rumah tangga
nelayan skala kecil baik lapisan atas dan bawah di Kelurahan Muarareja, Kota
Tegal termasuk pada tingkat kerentanan rendah atau cukup resilient. Oleh karena
itu secara umum, dari hasil penelitian ini dapat dikatakan bahwa rumahtangga
nelayan daerah pesisir justru lebih resilience dibandingkan dengan rumahtangga
petani di daerah kritis.

Ikhtisar

Sebagian besar masyarakat di Kelurahan Muarareja menggantungkan


hidupnya pada hasil laut, maka dari itu perubahan ekologi laut akibat perubahan
iklim yang kemudian berdampak pada perubahan sosial dan ekonomi seperti
50

pertambahan jumlah nelayan yang berujung tingginya persaingan, sempitnya


wilayah tangkap, dan keterbatasan modal yang kemudian mengharuskan nelayan
untuk berhutang. Tekanan/papaparan akibat perubahan sosioekologi dan ekonomi
tersebut kemudian menimbulkan kerentanan pada matapencaharian mereka.
Adapun paparan yang dihadapi baik rumahtangga nelayan lapisan atas dan
bawah yakni perubahan iklim dan faktor cuaca yang kemudian berdampak pada
pergeseran musim tangkap ikan. Ketika cuaca ekstrim atau badai yang kemudian
menyebabkan banyak nelayan memilih menganggur atau hanya sekedar
memperbaiki jaring bersama. Selain itu, dari segi sosial demografi karena wilayah
geografis tempat tinggal masyarakat Kelurahan Muarareja berbatasan langsung
dengan laut jawa. Sehingga banyak warga yang lebih memilih menjadi nelayan,
karena kulturbudaya masyarakat yang turun menurun dengan anggapan bahwa
“menjadi nelayan itu mudah hanya perlu pengalaman, tanpa perlu pendidikan
tinggi. Namun, sudah dapat menghasilkan uang”. Oleh karena itu, kepadatan
jumlah nelayan meningkatkan kompetisi anatar nelayan, semakin sempitnya
kawasan/wilayah tangkap dan dapat memicu konflik antar nelayan. Selain itu, saat
ini banyak rumahtangga nelayan Kelurahan Muarareja sudah mengandalkan
pinjaman modal dari Bank karena dianggap mudah, hanya dengan menggunakan
sertifikat tanah dan rumah sebagai jaminan. Disisi lain, kemudahan pinjaman
Bank tersebut juga menjadikan nelayan semakin terjerat hutang dan semakin
banyak melakukan eksploitasi terhadap tenaga SDM yang dimiliki untuk dapat
membayar setoran per bulannya. Namun, rumahtangga nelayan Kelurahan
Muarareja ini memiliki kemampuan/kapasitas adaptasi yang cukup tinggi.
Kapasitas adaptif tersebut dapat dilihat dari modal SDM mereka yang cukup
bagus yaitu dengan tingginya pengalaman mereka melaut memudahkan mereka
mengenali fisihing ground mereka dan mudah membaca perubahan
keadaan/kondisi, kepercayan (Trust) antar nelayan yang kuat karena hubungan
pertetanggaan pun mampu meminimalisir konflik yang ada. Selain itu, sumber
pendapatan lain seperti dari kiriman anak, buruh fillet ikan asin yang dilakukan
istri, bantuan SHU KUD dan beberpa dari hasil “warungan” mampu memberikan
cash income selama nelayan menganggur.
Penjualan kapal juga pernah terjadi pada beberpa rumahtangga nelayan di
Kelurahan Muarareja, akibat mereka tidak mampu membayar/melunasi hutang
Bank nya. Oleh karena itu kapal menjadi aspek penting untuk keberlanjutan
penghidupan rumahtangga nelayan. Adanya fakra bahwa rumahtangga nelayan
menjual kapal yang mereka miliki menjadikan rumahtangga nelayah mengalami
kerentanan pada sumber nafkah utama mereka. Berdasarkan nilai Livelihood
Vulnerability Index (LVI) menunjukkan bahwa kerentanan rumahtangga nelayan
lapisan bawah lebih tinggi daripada rumahtangga nelayan lapisan atas. Hal ini
disebabkan rumahtangga nelayan lapisan atas memiliki modal finansial dan modal
fisik yang jauh lebih besar dan lebih bagus kualitasnya (kapal yang lebih besar
dan kokoh) dibandingkan nelayan. Sementara rumahtangga nelayan lapisan
bawah hanya menunggulkan modal SDM yang mereka miliki dan modal sosial
yang berupa hubungan kekerabatan dan pertetanggaan.
51

8. STRUKTUR LIVELIHOOD RUMAHTANGGA


NELAYAN

Struktur Pendapatan Rumahtangga Nelayan di Kelurahan Muarareja

Sumber nafkah yang dominan di Kelurahan Muarareja adalah on fishing


yaitu dengan menjadi nelayan atau buruh nelayan (ABK) dan istri yang turut
membantu bekerja menjadi bruh fillet ikan asin. Rumahtangga nelayan di
Kelurahan Muarareja berusaha mempertahankan kehidupan dan meningkatkan
kelentingan rumahtangga dengan mencari sumber pendapatan ganda. Walaupun
begitu, semua lapisan rumahtangga nelayan baik lapisan atas maupun lapisan
bawah masih sangat bergantung pada pendapatan on fishing. Setelah adanya
sejumlah exposure/paparan/tekanan yang mengganggu sumber matapencaharian
mereka. Rumahtangga nelayan di Kelurahan Muarareja ini tidak juga serta merta
beralih matapencaharian ke ranah non-fishing. Hal tersebut dikarenakan
kultur/budaya masyarat pesisir yang sudah sejak nenek moyang mereka
bermatapencaharian sebagai nelayan dan secara geografis pun mendukung
penghidupan rumahtangganya.
Rp90,000,000
Dalam rupiah

Rp75,000,000
Rp60,000,000
Rp45,000,000
Rp30,000,000
Rp15,000,000
Rp-
Bottom Upper
layer layer
n=35 n=5
Government insentive Rp600,000 Rp600,000
Home industry "salted
Rp5,887,500 Rp9,000,000
fish"
Small Grocery Store IDR 2,354,545
Transfer payment Rp12,100,000 Rp18,000,000
Fishing Rp15,314,286 Rp53,160,000

Gambar 8.1 Struktur pendapatan rumahtangga nelayan per tahun menurut sumber
nafkah rumahtangga nelayan dihitung dalam angka mutlak, Kelurahan
Muarareja

Dari 40 responden rumahtangga nelayan menunjukkan bahwa pendapatan


yang paling tinggi berasal dari on fishing yaitu dari hasil melaut. Sementara,
sumber pendapatan lain berasal dari kegitan off fishing dan non fishing. Kegiatan
off fishing yaitu seperti dari home-industry ikan asin yang dimiliki oleh
rumahtangga nelayan lapisan atas yang dilakukan oleh istri nelayan. Sementara,
sumber pendapatan off fishing rumahtangga nelayan lapisan bawah diperoleh juga
dari hasil kerja istri nelayan yang ikut bekerja sebagai buruh fillet ikan asin. Cash
income yang diperoleh istri nelayan yang bekerja sebagai buruh fillet ikan asin
52

yaitu Rp. 20.000,- sampai Rp. 25.000,- per hari untuk jam kerja mulai dari 07.00
hingga 17.00 WIB. Sementara, beberapa pemilik home industry ikan asin ini ialah
rumahtangga nelayan lapisan atas, cash income bersih yang diperoleh yaitu
kurang lebih sekitar Rp. 1.000.000,- per produksinya.
Jenis pekerjaan non fishing yang dilakukan oleh rumahtangga nelayan
lapisan bawah yaitu membuka usaha warung, uang dari kiriman anak “transfer
payment” dan bantuan Sisa Hasil Usaha dari KUD yang berupa sembako seperti
beras 3-5 kg dan uang THR kurang lebih Rp 100.000,- hingga Rp 200.000,-
Sementara rumahtangga nelayan lapisan atas hanya berasal dari transfer payment
dan SHU KUD saja. Terdapat Transfer payment pada setiap lapisan rumahtangga
nelayan. Transfer payment biasanya didapatkan dari kiriman anak-anak dari
rumahtangga nelayan yang bekerja di Kota. Anak-anak dari rumahtangga nelayan
lapisan atas biasanya bekerja ke luarkota sebagai sopir, buruh, atau karyawan
suatu perusahaan. Sementara anak nelayan lapisan bawah kebanyakan bekerja
sebagai Anak Buah Kapal (ABK) di Kapal Cantrang yang berada di Desa
Tegalsari, yang artinya keberadaan kapal besar di Desa tetangga ini tidak hanya
berdampak negative namun juga positif. Dampak positif tersebut yaitu seperti
menyerap tenaga kerja lebih besar sehingga membantu perekonomian masyarakat
nelayan.

1%
0%
11%
Fishing
Transfer payment
22% Small Grocery Store
Home industry "salted fish"
66% Government insentive

Upper layer n=5

2%

16%
Fishing

7% 42% Transfer payment


Small Grocery Store
Home industry "salted fish"
Government insentive
33%

Bottom layer n=35

Gambar 8.2 Struktur pendapatan rumahtangga nelayan per tahun menurut sumber
nafkah rumahtangga nelayan, dihitung dalam persentase, di Kelurahan
Muarareja
53

Berdasarkan gambar tersebut menunjukkan lebih dari 60% pendapatan


rumahtangga nelayan lapisan atas berasal dari perikanan (on fishing). Sementara
rumahtangga nelayan lapisan bawah lebih dari 40% dari on fishing dan lebih dari
30% dari transfer payment yang berasal dari anaknya yang juga bekerja di sector
perikanan yakni sebagai ABK di kapal cantrang yang penghasilannya dapat
mencapai tiga puluh lima juta per dua bulan. Berdasarkan persentase tersebut
tingkat depedensi rumahtangga nelayan lapisan atas terhadap sector perikanan
(melaut) sangat tinggi. Ketergantungan masyarakat terhadap laut karena sebagian
besar masyarakat Kelurahan Muarareja menjadikan hasil tangkapan laut (nelayan)
sebagai sumber nafkah utama mereka. Secara sepintas terlihat rumahtangga
nelayan lapisan atas yang memiliki tingkat kerentanan penghidupan yang tinggi
karena tingginya ketergantungan pendapatan dari hasil laut. Namun, hasil
penelitian menunjukkan bahwa rumahtangga nelayan lapisan bawah justru tingkat
kerentanan penghidupannya lebih tinggi. Hal tersebut disebabkan oleh
pemanfaatan teknologi yang cukup baik oleh rumahtangga nelayan lapisan atas.
Sehingga, mereka cenderung akan semakin bersifat eksploitatif dan tergantung
pada hasil laut yang memberikan keuntungan lebih pada mereka. Bentuk
pemanfaatan teknologi yang baik oleh rumahtangga nelayan kecil lapisan atas
adalah melalui pengelolaaan modal fisik yang cukup baik seperti kondisi kapal
yang jauh lebih besar dan kokoh secara fisik dibandingkan rumahtangga nelayan
lapisan bawah. Selain itu kepemilikan mesin kapal lebih dari satu dengan kualitas
yang lebih baik mendukung untuk kegiatan penangkapan ikan.

Struktur Pengeluaran Rumahtangga Nelayan


Rp2,500,000

Rp2,000,000
Dalam rupiah

Rp1,500,000

Rp1,000,000

Rp500,000

Rp0
Setoran
Pendidikan Makanan kesehatan Air Listrik sosial
Hutang
bottom layer n=35 Rp128,571 Rp600,000 Rp9,143 Rp94,000 Rp44,571 Rp217,143 Rp108,571
upper layer n=5 Rp324,000 Rp900,000 Rp24,000 Rp121,000 Rp46,000 Rp2,160,000 Rp116,000

Gambar 8.3 Struktur pengeluaran rumahtangga nelayan pada tiap lapisan rumah
tangga nelayan per bulan, dihitung dalam angka mutlak, di Kelurahan
Muarareja

Berdasarkan gambar tersebut menunjukkan bahwa pengeluaran terbesar


rumahtangga nelayan baik lapisan atas dan lapisan bawah adalah untuk kategori
makanan dengan rata-rata Rp. 600.000 lapisan atas rata-rata pengeluaran untuk
makanan yaitu Rp. 900.000,-. Perbedaan jumlah angka mutlak tersebut
dikarenakan nelayan lapisan bawah mengambil sebagian hasil tangkapan ikannya
untuk konsumsi pribadi, sementara lapisan atas mereka menjual semua hasil
54

tangkapannya. Sehingga, untuk makanan mereka membeli bahan pangan lagi.


Pengeluaran pendidikan tidak sebesar pengeluaran makanan karena rata-rata anak
nelayan baru mengenyam pendidikan tingkat Sekolah Dasar (SD) dan Sekolah
Menengah Pertama (SMP), dimana biaya pendidikannya dibebaskan. Pengeluaran
pendidikan hanya untuk uang saku dan uang buku atau alat tulis lainnya. Selain
itu tidak semua nelayan memiliki anak yang masih sekolah. Beberapa memiliki
anak yang belum bersekolah dan beberapa memiliki anak yang sudah bekerja
bahkan berkeluarga. Pengeluaran untuk kesehatan tidaklah banyak dikarenakan
kondisi rumahtangga nelayan di Kelurahan Muarareja dapat dikatakan dalam
kondisi sehat. Kalaupun ada biaya kesehatan ini adalah untuk membeli obat sakit
kepala, demam, gatal dan sakit biasa lainnya yang hanya cukup dengan membeli
obat di warung atau berobat ke dokter praktek.
Dari 40 responden yang terdiri dari rumahtangga nelayan lapisan atas dan
lapisan bawah menunjukkan bahwa pengeluaran paling banyak adalah makanan
berupa beras, laukpauk, sayur dan bumbu dapur. Pengeluaran pangan yang tinggi
mengindikasikan bahwa rumahtangga nelayan di Kelurahan Muarareja belum
bebas dari kemiskinan. Selain itu, pengeluaran tertinggi kedua yaitu untuk
membayar setoran hutang Bank, rentenir ataupun warung. Persentase pengeluaran
rumahtangga nelayan baik lapisan atas maupun bawah dapat dilihat pada gambar..
Setoran Bank per bulan oleh rumahtangga nelayan lapisan atas rata-rata Rp.
2.160.000,-. Sementara rumahtangga nelayan lapisan bawah sekitar Rp. 217.000
per bulan bagi yang memiliki hutang baik ke warung maupun rentenir.

3%
9%
Pendidikan
Makanan
kesehatan
24% Air
Listrik
59% Setoran hutang
1% sosial
3%
1%
upper layer n=5

9% 10% Pendidikan
Makanan
18% kesehatan
Air
Listrik
4% Setoran hutang
8% 50%
sosial
1%
bottom layer n=35
Gambar 8.4 struktur pengeluaran rumahtangga nelayan menurut lapisan rumah
tangga nelayan per bulan, dihitung dalam persentase, di Kelurahan
Muarareja
55

Penelitian ini juga menganalisis persentase pendapatan yang dialokasikan


untuk pengeluaran baik untuk pengeluaran makanan maupun non makanan.
Persentase pengeluaran tersebut didasarkan atas tiga kategori pendapatan rata-rata
nelayan per bulan. Tiga kategori tersebut antara lain kelompok pendapatan rata-
rata per bulan.

Tabel 8.1 Pendapatan bersih rata-rata nelayan per bulan


Rata-rata Pendapatan Rata-rata Persentase Persentase
Nelayan Per Bulan Pengeluaran Per Rumahtangga Rumahtangga
(Rp) Bulan (Rp) Nelayan Nelayan lapisan
lapisan bawah atas
n=35 (%) n=5 (%)
< 2000.000 Rp 1.489.000 71.42 0
2.100.000– 3000.000 Rp 1.852.000 28.57 20
3.100.000– 10.000.000 Rp 3,371,000 0 80

Tabel 8.1 menunjukkan bahwa semakin tinggi pendapatan maka semakin tinggi
pula pengeluarannya. Pengeluaran terbesar nelayan adalah untuk kategori
makanan dan terjadi pada semua kelompok pendapatan. Badan Pusat Statistik
menyebutkan bahwa pendapatan jika dikurangi dengan pengeluaran dapat
menghasilkan tabungan rumah tangga. Namun yang terjadi pada nelayan justru
pendapatan per bulan mereka habis dikeluarkan untuk konsumsi makanan dan non
makanan. Bahkan beberapa nelayan tidak memiliki sisa pendapatan per bulannya
setelah dikurangi pengeluaran. Hasil penelitian tersebut menunjukkan
kondisi/pola nafkah nelayan Kelurahan Muarareja tidak mengalami perubahan
signifikan sejak 2017 seperti yang ditunjukkan dalam penelitian Rohayati (2017)
menyatakan bahwa nelayan dan buruh nelayan tidak termasuk dalam kategori
nelayan miskin karena memiliki pendapatan diatas garis kemiskinan yang
ditetapkan oleh Bank Dunia. Namun jika dikaitkan dengan pengeluaran per bulan,
nelayan termasuk dalam kategori nelayan miskin karena tidak memiliki tabungan.

Ikhtisar

Rumahtangga nelayan Kelurahan Muarareja masih tetap bergantung pada


pendapatan dari sektor perikanan (on fishing). Pendapatan sektor perikanan sangat
bertumpu pada hasil tangkapan ikan selama melaut, sehingga ketergantungan
rumahtangga nelayan terhadap laut relatif cukup tinggi. Hal tersebut dapat dilihat
dari struktur pendapatan rumahtangga nelayan lapisan atas yang tingkat
ketergantungan dari sektor perikanannya sangat tinggi. Hal ini secara sepintas
terlihat bahwa rumahtangga nelayan lapisan atas akan sangat rentan terhadap
paparan alam seperti dampak overfishing dan pengaruh cuaca, gelombang tinggi.
Namun, dalam penelitian ini justru rumahtangga nelayan lapisan atas diketahui
tingkat kerentanan penghidupannya rendah. Hal itu disebabkan oleh dukungan
kemampuan penguasaan teknologi oleh rumahtangga nelayan lapisan atas cukup
baik. Penguasaan teknologi tersebut berupa kepemilikan kapal yang lebih besar
dengan kondisi dan kualitas mesin yang lebih bagus, kemampuan penyesuaian
dan pengoperasian alat tangkap sesuai dengan musim dan kondisinya. Begitu pula
56

untuk struktur pendapatan rumahtangga nelayan lapisan bawah tidak terdapat


perubahan yang artinya sektor perikanan tetap menjadi tumpuan utama. Namun,
nelayan lapisan bawah juga mengusahakan sumber lain di luar sektor
penangkapan ikan untuk dapat tetap mampu memenuhi kebutuhan sehari-hari
pada masa-masa sulit (cuaca buruk dan atau gelombang tinggi)
Sementara itu, dari struktur pengeluaran rumahtangga dapat diketahui
pengeluaran paling banyak yang dikeluarkan oleh rumahtangga nelayan yaitu
untuk makanan sehari-hari berupa beras, lauk, sayur, dan bumbu dapur.
Pengeluaran pangan yang tinggi mengindikasikan bahwa rumahtangga nelayan di
Kelurahan Muarareja bersifat konsumtif. Selain itu juga dapat dilihat dari rata-rata
pendapatan per bulan yang dikurangi rata-rata pengeluaran perbulan nya, hampir
semua nelayan tidak memiliki saving. Namun, mereka masih mampu tetap survive
karena tingginya modal sosial yang mereka miliki seperti hubungan pertetanggaan
sehingga ketika mereka tidak melaut, untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari
mereka dapat berhutang ke warung atau tetangga terdekat.
57

9. STRATEGI PENGHIDUPAN NELAYAN SEBAGAI RESPON


TERHADAP TINGKAT KERENTANAN YANG DIHADAPI

Modal dan strategi aktor untuk mempertahankan dan meningkatkan modal


penghidupan merupakan hal yang berkaitan dengan resiliensi penghidupan.
Sebuah penghidupan dikatakan lenting jika dapat mempertahankan fungsi utama
(pangan dan pendapatan) dan dapat menahan dampak paparan atau tekanan tanpa
menyebabkan penurunan produksi dan kesejahteraan (Speranza et al. 2014).
Rumahtangga nelayan meningkatkan daya lenting mereka dengan cara
memanfaatkan dan mengelola modal penghidupan yang dimiliki atau yang dapat
diakses oleh rumahtangga nelayan serta strategi-strategi penghidupan yang
dilakukan oleh rumatangga nelayan. Setelah menganalisis konteks kerentanan,
analisis dilanjutkan dengan menganalisis modal penghidupan dan akses rumah
tangga terhadap modal penghidupan tersebut. Analisis dilakukan terhadap rumah
tangga dengan perbedaan lapisan sosial. Pemetaan berdasarkan perbedaan lapisan
sosial membantu untuk melihat perbedaan kuantitas dan kualitas modal yang
dimiliki atau diakses oleh rumah tangga nelayan di setiap lapisan sosial.
Kemampuan memiliki atau mengakses modal penghidupan akan menentukan
strategi penghidupan yang dilakukan dan outcome yang dihasilkannya. Semakin
banyak modal penghidupannya, semakin mudah suatu rumah tangga menentukan
pilihan strategi penghidupan yang terbaik. Sajogyo (2006) menunjukkan bahwa
strategi penghidupan rumah tangga lapisan atas menghasilkan strategi akumulasi.
Sementara, rumah tangga lapisan bawah dengan keterbatasan modal yang
dimilikinya, melakukan strategi konsolidasi dan survival.

Strategi Penghidupan Berbasis Lima Modal Penghidupan Rumahtangga


Nelayan

Rumahtangga nelayan di Kelurahan Muarareja memanfaatkan lima modal


penghidupan sebagai staretgi penghidupan untuk meningkatkan kelentingan
dalam merespon tingkat kerentanan penghidupan yang mereka hadapi. Modal
alam meliputi: ketersediaan sumberdaya ikan dan hasil laut. Modal fisik meliputi:
kepemilikan kapal, akses ke TPI, alat komunikasi, kendaraan dan elektronik
lainnya. Modal sumberdaya manusia meliputi ktersediaan jumlah sumberdaya
manusia, jumlah keterampilan sumberdaya manusia dan pengalaman melaut.
Modal finansial meliputi: sumber-sumber pendapatan, tabungan. Modal sosial
meliputi: jaringan (networking) yang bisa dimanfaatkan (Jaringan yang dimaksud
meliputi: saudara, tetangga, koperasi, layanan bank, lembaga rohani, dan aparat
desa), tingkat kepercayaan antar nelayan dan tetangga dan norma yang harus
dipatuhi dalam kalangan masyarakat yang berdampak pada kebermanfaatan
bersama. Ketersediaan kelima modal penghidupan tersebut menjadikan
rumahtangga nelayan tidak mudah goyah atau terancam dengan adanya suatu
paparan atau exposure akibat adanya perubahan iklim, perubahan sosial maupun
ekonomi yang terjadi. Selain itu, kemampuan tiap rumahtangga nelayan dalam
memiliki dan mengakses lima modal penghidupan tentu berbeda. Oleh karena itu
strategi penghidupan yang dilakukan untuk mereposn tingkat kerentanan yang
58

dihadapi juga tergantung pada kemampuan dalam memiliki dan mengakses lima
modal penghidupan tersebut. Strategi penghidupan dapat dijalankan ketika
mereka mampu mengaktifkan beberap modal penghidupan yang mereka miliki
untuk mengakumulasi modal penghidupan lainnya. Secara general, modal
penghidupan rumahtangga nelayan lapisan atas yang memiliki nilai cukup tinggu
yaitu modal sosial (2.66), modal fisik (2.43) dan modal alam (2.20). Sementara,
rumahtangga nelayan lapisan bawah modal penghidupan yang tinggi yaitu modal
sosial (2.47), modal alam (2.06) dan modal manusia/SDM (1.90) (Gambar 9.1)
Modal Alam
3.00 2.20
2.50 2.06
2.66 2.00 2.43
1.50
Modal Sosial 1.00 Modal Fisik
2.47 0.50 1.80
0.00

2.08 2.10
modal manusia Modal finansial
1.90 1.71

lapisan bawah n=35 lapisan atas n=5

Gambar 9.1 Lima modal penghidupan rumahtangga nelayan berdasarkan lapisan


sosial rumahtangga nelayan di Kelurahan Muarareja, 2019

Berdasarkan gambar tersebut diketahui bahwa startegi penghidupan rumahtangga


nelayan berbasis pemanfaatan modal penghidupan baik rumahtangga nelayan
lapisan atas dan lapisan bawah yang tertinggi yaitu strategi penghidupan berbasis
modal sosial. Hal tersebut disebabkan oleh Kelurahan Muarareja merupakan
masyarakat pesisir yang sudah terbentuk sejak lama atas ikatan kekerabatan yang
sangat kuat. Adanya ikatan kekerabatan yang kuat maka interaksi sosial dan
prinsip pertukaran diantara mereka cukup kuat. Hal tersebut semakin diperkuat
dengan adanya kerentanan penghidupan yang mereka hadapi akibat paparan yang
terjadi seperti perubahan iklim yang mengakibatkan pergeseran musim tangkap
dan tingginya gelombang, perubahan sosial yang ditandai dengan kepadatan
jumlah nelayan dan perubahan ekonomi akibat keterbatasan modal dan lilitan
hutang yang mereka miliki. Oleh karena itu, dalam melaut modal sosial ini
menjadi faktor penting untuk dapat membantu berjalannya kegaiatan nafkah
(penghidupan) mereka baik pada saat melaut maupun tidak sedang melaut.
Dalam mengukur startegi penghidupan berbasis modal sosial ini dapat
diketahui dari tiga parameter diantaranya tingkat kepercayaan, jaringan dan
norma. Kemudian, masing-masing komponen dihitung dengan skala 1-3. Skor
tertinggi yaitu hubungan hubungan kekerabatan yaitu 2.78 untuk rumah tangga
nelayan lapisan bawah dan 2.60 untuk rumahtangga nelayan lapisan atas.
Selanjutnya adalah hubungan pertetanggaan dan terakhir keterlibatab dalam
sebuah institusi (lembaga yang dibentuk bersama). Berikut adalah gambaran
59

strategi penghidupan rumahtangga nelayan Kelurahan Muarareja berbasis


pengelolaan dan pemanfaatan modal sosial ditunjukkan pada Gambar 9.2

Pelayanan pemerintah/institusi

hubungan kerabat

hubungan pertetanggaan

0.00 1.00 2.00 3.00

nelayan lapisan atas nelayan lapisan bawah

Gambar 9.2 Strategi penghidupan rumahtangga nelayan Kelurahan Muarareja


bebrbasis modal sosial, 2019

Berdasarkan gambar tersebut terlihat bahwa hubungan rumahtangga nelayan


lapisan bawah pada sebuah institusi setempat (kelompok nelayan dan atau
Koperasi Unit Desa/KUD) dapat terbilang rendah dibandingkan dengan hubungan
dengan kerabat dan tetangga. Hal ini dikarenakan kelompok nelayan akhir-akhir
ini hanya melakukan pertemuan sebulan sekali dari yang sbelumnya satu bulan
dua kali. Selain itu, fungsi KUD bagi rumahtangga nelayan hanya terlihat pada
pembagian sisa hasil usaha (SHU) yang dibagikan setahun sekali saja. Selebihnya,
jika rumahtangga nelayan ingin melakukan pinjaman modal ke KUD justru
dipersulit dikarenakan ketidakpercayaan pihak pengurus KUD bahwa
rumahtangga nelayan lapisan bawah mampu membayar setoran/cicilannya. Lain
halnya dengan hubungan antar kerabat yang tergolong tinggi. Hal ini karena
rumahtangga nelayan lapisan bawah merasa bahwa anggota keluarga akan lebih
mudah dan cepat memberikan bantuan dibandingkan pihak diluar keluarga.
Bentuk bantuan yang diberikan biasanya berupa uang yang dipinjamkan ataupun
tenaga yang diberikan secara sukarela dengan imbalan makan/uang rokok untuk
untuk hari itu. Bentuk hubungan pertetanggan ini berupa hutang yang diberikan
pada saat musim paceklik. Beberapa rumahtangga nelayan yang memiliki warung
biasanya mau memberikan hutang atas sembako yang dijualnya. Selain itu juga,
hubungan sosial antar tetangga terwujud ketika ada warga yang sakit ataupun ada
hajat maka mereka akan saling membantu dengan prinsip pertukaran.
Jaringan yang dimiliki rumahtangga nelayan di Kelurahan Muarareja,
menurut pemaparan responden, jaringan patron klien menjadi modal sosial
terbesar yang dimanfaatkan oleh rumahtangga nelayan dalam menghadapi
sejumlah paparan dan tekanan yang terjadi terhadap matapencahariannya.
Rumahtangga nelayan lapisan bawah lebih memanfaatkan modal sosial. Pada
musim paceklik beberapa rumahtangga nelayan lapisan bawah memanfaatkan
relationship anatr tetangga yang dimiliki untuk pindah ke kapal lain yang tetap
60

melaut. Pemanfaatan modal sosial dalam penghidupan rumah tangga nelayan


Kelurahan Muarareja cukup optimal dalam meningkatkan kapasitas adaptif
nelayan. Solidaritas yang tinggi terlihat dari sistem kerjasama, gotong royong
antara pemilik kapal dan ABK pada saat melaut. Walaupun manajemen tugas
dalam nelayan skala kecil belum terspesialisasi secara jelas, mereka semua
melakukan pekerjaannya bersama dan tidak terhalang oleh status sosial (pemilik
dan ABK). Patron klien antara pemilik dan bakul, dimana bakul ini juga terikat
dengan hubungan pertetanggaan (menjamin ketersediaan modal). Selain, patron
klien yaitu kelompok nelayan yang ada mampu dijadikan media dalam
meminimalisir permasalahan teknis antar nelayan dan mempermudah nelayan
untuk memperoleh bantuan program pemerintah maupun swasta. Contoh lainnya
yaitu bantuan jaring dan box es yang diajukan oleh oleh kelompok nelayan.
Box 4 menggambarkan bahwa strategi penghidupan berbasis modal sosial
menjadi pilihan strategi paling dominan bagi tiap rumah tangga nelayan skala
kecil Kelurahan Muarareja, Kota Tegal. Kondisi pemanfaatan modal sosial oleh
rumah tangga nelayan lapisan bawah sesuai dengan yang digambarkan Scott
(1976) Sejauh seorang patron (rumah tangga kaya dengan kapal yang besar)
melindungi para kliennya (rumah tangga nelayan miskin) di dalam masyarakat
desa dari kesulitan ekonomi dan pangan pada bulan-bulan yang buruk, maka
patron tersebut akan dianggap sebagai pelindung yang baik. Hubungan patronase
yang terjalin antar nelayan di Kelurahan Muarareja ini masih berbasis moralitas.
Oleh karena itu seperti yang dinyatakan oleh Mirajiani et al. (2014) bahwa
hubungan tersebut dapat memberkan jaminan atas penghidupan klien relative
lebih luas

Box 4. Strategi Sosial Rumahtangga Nelayan Skala Kecil Desa Muarareja,


Kota Tegal

Kegiatan sosial Desa, gotong royong di lingkungan Desa Muarareja masih tetap
ada. Selain gotong royong memperbaiki jaring. Salah satu contoh lain ialah ketika
ada nelayan yang punya hajat atau ingin memperbaiki rumahnya, Mereka
menyatakan akan saling membantu. Nelayan juga seperti manusia pada umumnya
selayaknya makhluk sosial yang tidak bisa hidup tanpa orang lain. Hal tersebut
tercermin dari hubungan hutang piutang antar nelayan untuk kehidupan sehari-
hari pada musim paceklik atau kebutuhan mendesak seperti ketika anak sakit.
Meskipun hutang nelayan tersebut tidak besar yaitu sekitar Rp 100.000 – Rp
300.000 untuk kebutuhan sehari-hari. Hutang piutang antar nelayan ini biasanya
dilakukan oleh ABK pada pemilik kapalnya (juragan), hal tersebut terjadi karena
sudah terjalin hubungan akrab, dianggap dekat layaknya kerabat dekat. Selain itu,
hal tersebut akan menjaga ABK nya agar tidak pindah ke kapal lain.
Keikutsertaan nelayan dalam kelompok nelayan pun memudahkan mereka untuk
memperoleh bantuan dari pemerintah seperti alat tangkap, box es, diligent solar
dan perlengkapan melaut lainnya. Sistem pemberian bantuan tersebut bergilir
karena banyaknya anggota dalam satu kelompok.

Sumber: SKN (50tahun)


61

Norma-norma yang masih tetap dijalankan oleh warga masyarakat


Kelurahan Muarareja yaitu kegiatan “sedekah laut/labuhan”. Sedekah laut ini
merupakan wujud syukur mereka atas hasil tangkapan yang diperoleh kepada
Yang Maha Kuasa. Kegiatan ini dilakukan tiap tahun. Inti dari kegiatan ini adalah
untuk memohon keselamatan selama melaut dan dihindarkan dari segala bencana
dan malapetaka. Kegiatan sedekah laut ini dilakukan dengan mengarak sesaji ke
laut dan dilanjutkan doa dengan bahasa arab oleh pemuka agama dan dilanjutkan
dengan bahasa daerah (bahasa Jawa). Diketahui rumahtangga nelayan lapisan atas
memiliki tingkat dependensi yang tinggi terhadap sumberdaya ikan, sementara
rumahtangga nelayan lapisan bawah tingkat depedensinya cenderung lebih
rendah. Hal tersebut dikarenakan sumber pendapatan terbesar rumahtangga
nelayan lapisan atas didominasi dari hasil melaut. Seperti yang telah diketahui
juga bahwa rumahtangga nelayan tidak selamanya terus-menerus melaut, karena
faktor cuaca dan gelombang. Oleh karena itu selama mereka tidak melaut, mereka
melakukan beberapa strategi untuk beradaptasi selama bulan-bulan paceklik diluar
mengandalkan modal sosial yang mereka miliki. Box 5 menggambarkan beberapa
strategi penghidupan berbasis modal ekonomi/finansial yang dilakukan oleh
rumahtangga nelayan.
Box 5. Strategi Adaptasi Ekonomi Rumah Tangga Nelayan Skala Kecil Desa
Muarareja, Kota Tegal
Rumah tangga TKR istrinya membantu mencukupi kebutuhan keluarga
dengan bekerja sebagai buruh pengolah ikan asin. Upah buruh perempuan
pengolah ikan asin biasanya Rp. 20.000- 35.000/harinya. Waktu bekerja mereka
yaitu mulai pukul 07.00 hingga 17.00 WIB. Pekerjaan tersebut dilakuakan 3-4 hari
dalam seminggu. Selain itu, pendapatan rata-rata Rp. 100.000- Rp. 150.000 per
harinya, diperoleh dari hasil usaha membuka warung makanan ringan dan
perlengkapan kebutuhan sehari-hari (sembako) dan warung makan di pinggir
pantai Muarareja. Sementara, beberapa nelayan yang memiliki anak yang sudah
masuk usia kerja, mereka mendapatkan kiriman uang dari anaknya tiap bulannya.
Seperti PAD yang musim barat (Oktober – Januari), ia hanya menganggur atau
sekedar meperbaiki jaringnya. Namun, ia memiliki seorang anak yang bekerja
sebagai buruh ABK pada Kapal Cantrang di Desa tetangga (tegalsari) yang
pendapatannya pun cukup besar yaitu Rp. 35.000.000,- per dua bulan. Selain itu
juga, tiap akhir tahun para nelayan yang tergabung dalam Kelompok Usaha
bersama (KUB) pasti mendapatkan bantuan sembako senilai Rp. 300.000- Rp.
500.000,-. Selama musim paceklik, rumahtangga nelayan kecil seperti yang
dilakukan oleh rumahtangga PAD dan TKR ini mereka pun mengurangi biaya
untuk makanan sehari-hari. Mereka biasanya hanya makan dengan nasi dan lauk
sayur, krupuk dan kecap untuk meminimalisir pengeluaran.
Sumber: TKR (45 tahun), PAD (60 tahun)

Berikut adalah gambaran aktivitas penunjang perekonomian rumahtangga nelayan


selama tidak melaut (Gambar 9.3). Beberapa rumahtangga nelayan mulai
mengusahakan sumber pendapatan lain seperti membuka usaha warung jajanan
dan sembako. Beberapa istri nelayan yang mulai ikut bekerja sebagai buruh
membersihkan ikan “membeteti” ikan, buruh filet ikan asin yang dibayar per hari
62

dengan jam kerja mulai dari jam 7 pagi hingga jam 5 sore. Selain itu, rumah
tangga nelayan lapisan bawah biasanya juga menggerakkan anak-anak mereka
sepulang sekolah untuk ikut membantu orang tuanya. Anak perempuan membantu
fillet ikan asin dan anak laki-laki ikut melaut. Walaupun hasil upah anak mereka
hanya untuk kebutuhan anak mereka itu sendiri. Namun, setidaknya sudah
mengurangi beban pengeluaran rumahtangga nelayan lapisan bawah.

A B
Gambar 9.3 Aktivitas istri nelayan (buruh filet ikan asin) (a) dan (b) membuka
usaha warung untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari selama tidak
melaut

Selanjutnya, startegi penghidupan berbasis modal fisik rumahtangga nelayan


lapisan dinilai sangat baik. Hal tersebut dilihat dari kondisi kapal yang bagus, alat
tangkap, mesin dan modal yang tersedia untuk meningkatkan kemampuan
adaptasinya. Modal fisik yang cukup baik merupakn sebuah strategi penghidupan
rumahtangga nelayan lapisan atas untuk menghindari tingginya gesekan antar
kapal dan mengejar ikan buruan yang lebih banyak dengan cara melaut lebih jauh.
Kemampuan adaptif melalui penggunaan modal atau sarana fisik bagi nelayan
cukup baik. Banyak nelayan sudah memiliki handphone untuk komunikasi antar
nelayan, biasanya untuk saling mengabarkan kapan waktu berangkat melaut.
Penyebaran informasi baik informasi lokasi fishing ground, cuaca dan informasi
penting terkait kegiatan penangkapan ikan antar nelayan cukup baik. Sehingga,
hal tersebut dapat mengurangi resiko mengalami kerugian. Pemanfaatan TPI
Muarareja masih belum optimal hingga saat ini TPI Muarareja hanya beroperasi
untuk pelelangan jenis ikan kecil, rebon, dan udang terasi. Oleh karena itu juga
banyak nelayan yang memilih langsung menjual ke tengkulak/pengepul dan
beberapa menjual hasil tangkapannya ke TPI di Desa Tetangga yaitu TPI
Tegalsari. Kondisi ini pun sedikit menguntungkan bagi rumahtangga nelayan
lapisan bawah yang sebagian besar dari mereka menjadi fokus dalam
penangkapan rebon. Mereka dapat memanfaatkan TPI Muarareja secara optimal
dalam artian mempercepat proses lelang maka semakin cepat prosesnya semakin
cepat uang hasil lelang didapatkan. Lain halnya dengan lelang di TPI Tegalsari
yang sangat ramai. Beberapa nelayan lapisan atas terkadang tidak sabar
menunggu proses lelang, sehingga beberapa dari mereka meminta istrinya untuk
menunggu di TPI dengan konsekuensi nelayan dan ABK nya pun menunggu upah
bagi hasil setelah lelang selesai.
63

Analisis Strategi Penghidupan Rumahtangga Nelayan

Strategi penghidupan terbentuk dari kemampuan tiap rumahtangga dalam


mengkombinasikan modal penghidupan yang mereka miliki dan dapat diakses.
Berikut adalah strategi penghidupan yang dilakukan rumahtangga nelayan dengan
mengaktifkan beberapa modal penghidupan yang mereka miliki (Tabel 2).
Menurut Steward dan Micklin-Poston (1998), secara keseluruhan rangkaian
tersebut membentuk suatu sistem penghidupan yang terbagi menjadi empat unsur
POET. Populasi, jumlah nelayan yang semakin meningkat di perairan Tegal
memicu terjadinya konflik sosial karena tingginya persaingan dan gesekan antar
nelayan. Organisasi Sosial kemudian dimanfaatkan untuk meminimalisir konflik
dan paparan lainnya. Teknologi berupa alat tangkap yang dimiliki rumahtangga
nelayan kemudian dimodifikasi atau diperbanyak untuk dapat meningkatkan daya
saing. Environment dalam penelitian ini adalah lautan dan Sumberdaya Ikan
didalamnya kemudian menjadi sumber utama penghidupan mereka. Sumber
modal penghidupan yang mampu memelihara kelentingan penghidupan nelayan
dan mengurangi kerentanan penghidupannya disajikan pada Tabel 3.
Modal sosial menjadi komponen penting dalam sebuah sistem penghidupan
nelayan. Modal sosial mampu menurunkan biaya transaksi untuk bekerja sama,
dan memfasilitasi kerja sama. Ini mengurangi biaya produksi dan meningkatkan
kapasitas adaptasi melalui membangun adanya kepercayaan (trust)4 dan
kepercayaan mampu membangun keyakinan bahwa dengan bekerja bersama akan
saling menguntungkan (Allison and Ellis 2001; Allison and Horemans 2006;
Standford et al 2014).

Tabel 9.1 Livelihood strategy rumahtangga nelayan untuk menyikapi kerentanan


penghidupan
Lapisan Exposure Modal penghidupan yang Strategi yang dilakukan
sosial diaktifkan
Rumah Tingginya Modal Fisik berupa Strategi Spasial: migrasi
tangga persaingan kepemilikan kapal dan mesin mencari lokasi tangkapan
nelayan antar dengan kodisi dan kapasitas yang lebih jauh
lapisan nelayan yang jauh lebih besar
atas
Tanggunga Modal SDM berupa Strategi eksploitasi:
n pinjaman kemampuan tenaga SDM Menambah durasi waktu
Bank yang yang masih berada pada usia penangkapan per trip nya
harus produktif dengan
dilunasi pengalaman yang cukup.
Faktor Modal Fisik : Kepemilikan Strategi teknologi:
cuaca dan >1 jenis alat tangkap yang Mengganti alat tangkap,
iklim dimiliki menyesuaikan jenis ikan
buruan pada musimnya.

4
Fukuyama (1995) “Kepercayaan (Trust) dalam modal sosial merupakan kemampuan orang-orang
untuk bekerja sama mencapai tujuan bersama dalam sebua kelompok dan organisasi”
64

Lanjutan tabel 9.1


Rumah Faktor Modal Sosial: Trust Strategi Sosial: Sebagian
tangga cuaca dan memilih tetap melaut
nelayan iklim bersama kapal yang masih
lapisan tetap beroperasi.
bawah Bagi mereka yang
menganggur, untuk
mencukupi kebutuhannya
dengan berhutang.
Tingginya modal sosial : Staretegi Sosial: Negosiasi antar
persaingan relationship kerabat dan atau pertetanggaan
antar sehingga persaingan
nelayan terminimalisir
Semua Resiko Modal Sosial: Strategi Sosial: memanfaatkan
lapisan melaut Kepercayaan/budaya tradisi sedekah laut/Labuan. Yang
lokal leluhur mengandung unsur kepercayaan
lokal bahwa dengan bersedakah
laut selain menjalin solidaritas
nelayan satu Desa juga bentuk
permohonan keselamatan

Berdasarkan pola pemanfaatan modal penghidupan yang dapat diakses dan


dilmiliki oleh rumahtangga nelayan Kelurahan Muarareja yang kemudian
digunakan untuk membentuk strategi adaptasi sebagai respon dalam menghadapi
kerentanan nafkah. Sebuah penghidupan dikatakan lenting jika dapat
mempertahankan fungsi utama (pangan dan pendapatan) dan dapat menahan
dampak paparan atau tekanan tanpa menyebabkan penurunan produksi dan
kesejahteraan (Speranza et al. 2014). Rumahtangga nelayan yang memiliki tingkat
kelentingan yang tinggi pun dapat dikatakan resilient. Resiliensi merupakan
kemampuan yang berhubungan dengan sistem sosio-ekologi untuk merespon
bahaya yang kemudian berkontribusi pada berkurangnya kerentanan (Berkes F
2007). Resiliensi muncul ketika kapasitas sebuah rumahtangga meningkat dalam
mengatasi shock dan krisis. Hal tersebut berarti bahwa resiliensi meningkat ketika
kerentanan melemah dan sebaliknya (Adger et al. 2000 dalam Dharmawan et al.
2014). Dalam penelitian ini diketahui bahwa tingkat kerentanan penghidupan
rumahtangga nelayan di Kelurahan Muarareja rendah. Oleh karena itu dalam
penelitian ini juga dianalisis beberpa sumber kelentingan rumahtangga nelayan.
Berikut dapat diketahui sumber-sumber kelentingan rumahtangga nelayan yang
mampu menurunkan tingkat kerentanan nafkahnya (Tabel 9.2).
65

Tabel 9.2 Sumber kelentingan rumahtangga nelayan Kelurahan Muarareja, Kota


Tegal
Sumber Kelentingan Lapisan atas Lapisan bawah
Modal Sosial  Afiliasi dalam kelompok  Ikatan kekerabatan
nelayan dan Koperasi  Jaringan patron-klien
 Jaringan patron-klien
Modal Fisik  Penguasaan atas modal  Akses TPI Muarareja
fisik yang lebih besar
Modal SDM  Kualitas SDM  Kualitas SDM
 Peluang kerja
Modal Finansial  Transfer payment  Transfer payment
 Pinjaman bank  Pinjaman kerabat/tetangga
Modal Alam  Lokasi fishing ground  Lokasi fishing ground
yang luas yang luas
 Komoditas hasil Komoditas hasil tangkapan
tangkapan yang beragam yang beragam

Penghidupan dapat resilien jika individu atau rumahtangga dapat


menggunakan atau mengkombinasikan lima modal penghidupannya secara cerdas
dan disertai dengan kemampuan berorganisai dan belajar ketika terjadi
guncangan, tekanan dan gangguan. Sperenza et al. (2014) menyatakan bawa
terdapat tiga sifat pokok yang menjadi indicator resiliensi diantaranya yaitu:
1. Daya tahan dalam merespon keterpaparan. Daya tahan rumahtangga dapat
dilihat dari kepemilikan dan kemampuan mengakses modal penghidupan
(modal alam, fisik, finansial, manusia dan alam).
2. Self Organization ialah kemampuan berorganisasi yang dapat dilihat dari
sejauh mana kemampuan rumahtangga berinteraksi dengan sesama nelayan,
kerabat, tetangga sehingga membentuk sebuah kelentingan sosial.
3. Daya serap atau kemampuan belajar tiap rumahtangga dalam menghadapi,
mengantisipasi dan mencegah paparan yang dialami.
Dalam penelitian ini menunjukkan bahwa rumahtangga nelayan lapisan atas
memiliki daya tahan dan kemampuan berorganisasi yang lebih baik dibanding
rumahtangga nelayan lapisan bawah. Daya tahan rumahtangga nelayan lapisan
atas dilihat dari kepemilikan modal fisik (teknologi) dan kemampuan mengakases
modal finansial yang lebih mudah dibandingkan rumahtangga nelayan lapisan
bawah. Self organization dilihat dari partisipasi dan keaktifan rumahtangga
nelayan dalam sebuah organisasi seperti Kelompok Usaha Bersama dan Koperasi
Unit Desa.
66

10. TIPOLOGI ADAPTASI RUMAHTANGGA NELAYAN

Tipe Adaptasi Rumahtangga Nelayan di Kelurahan Muarareja, Kota Tegal

Adaptasi termasuk tindakan yang diambil untuk mengurangi kerentanan dan


meningkatkan resiliensi dan kapasitas adaptif adalah kemampuan untuk
mengambil tindakan tersebut (Smit dan Wandel 2006). Adaptasi dan kapasitas
adaptif dapat dilihat berkaitan dari adanya pengurangan kerentanan. Oleh karena
itu, analisis adaptasi hanya dilakukan pada praktek-praktek adaptasi yakni
adaptasi yang sudah terjadi. Oleh karena itu, melalui analisis modal penghidupan
yang telah dijelaskan pada Bab sebelumnya dalam penelitian ini dapat diketahui
bahwa rumahtangga nelayan lapisan bawah akan cenderung melakukan strategi
bertahan hidup (survival). Sementara, rumahtangga nelayan lapisan atas memilih
melakukan strategi kombinasi/mengakumulasi modal penghidupan (eksploitatif).
Hal tersebut dapat dilihat dari kegiatan/aktivitas yang dilakukan nelayan pada saat
musim paceklik/gelombang tinggi. Rumahtangga nelayan lapisan bawah memilih
tidak melaut, sehingga mereka memanfaatkan modal penghidupan yang ada dan
mencari sumber/peluang kerja yang lain untuk bertahan hidup (survive) sampai
mereka dapat kembali melaut. Sementara, rumahtangga nelayan lapisan atas
dengan modal fisik yang cukup seperti kapasitas dan kualitas kapal yang lebih
besar dan kuat. Mereka memilih menerjang gelombang untuk tetap melaut bahkan
terkandang menjangkau lokasi wilayah tangkap yang lebih jauh. Hal tersebut
dikarenakan selain untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari atau bertahan hidup
yaitu untuk dapat membayar hutang/pinjaman Bank. Maka dari itu, mereka
melakukan strategi eksploitasi tidak hanya pada Sumberdaya Ikan tapi juga
eksploitasi Sumberdaya Manusia/SDM (dirinya sendiri sebagai pemilik dan juga
Anak Buah kapalnya).
Hasil penelitian tersebut sejalan dengan hasil penemuan Berrang Ford et al.
(2011). Berrang Ford menemukan bahwa masyarakat yang tergolong pada
pendapatan rendah cenderung fokus kepada pemenuhan kebutuhan sendiri
sehingga tindakan adaptasi yang dilakukan dengan cara menghindar,
menyesuaikan, mundur dan meminimalisir resiko. Sementara, masyarakat yang
termasuk pada pendapatan tinggi tindakan adaptasi yang dilakukan cenderung
fokus pada perencanaan, pemantauan, membangun kemitraan, meningkatkan
kesadaran dan pembelajaran. Berdasarkan tindakan adaptasi yang telah dilakukan
oleh rumahtangga nelayan Kelurahan Muarareja maka tindakan adaptasi tersebit
dapat dibedakan menjadi tiga tipologi adaptasi diantaranya adaptasi
organisasional rumahtangga (re-organisasi), adapatasi teknologi dan adaptasi
kelembagaan kolektif.
Adaptasi Organisasional Rumahtangga nelayan

Menurut Kalil yang dikutip oleh Isabella dan Hendriani (2010), kelentingan
rumahtangga nelayan merujuk kepada proses coping yaitu tindakan yang
dilakukan sebuah rumahtangga untuk mengatasi kesulitan dan adaptasi dalam
rumahtangga sebagai unit yang fungsional. Penelitian yang bersifat sosiologis
ketika sebuah rumahtangga selalu menggambarkan dinamika berfungsinya
67

struktur keluarga (Goode 1985). Fungsi-fungsi tersebut terdiri dari diferensiasi


peran, alokasi ekonomi, alokasi solidaritas, alokasi politik, dan alokasi integrasi
(Hasibuan et al 2017).

Box 6. Adaptasi Organisasional Rumahtangga


Beberapa dampak dari perubahan iklim dan semakin banyaknya jumlah
nelayan di Desa Muarareja yakni tingginya kompetisi antar nelayan terlebih pada
saat musim paceklik (musim barat). Hampir semua masyarakat Desa Muarareja
hidupnya bergantung pada hasil tangkapan ikan (hasil melaut). Oleh karena itu,
pada saat musim- musim paceklik banyak nelan kecil lapisan bawah memilih tidak
melaut karena keterbatasan modal, kondisi kapal yang tidak cukup bagus dan hasil
tangkapan yang sepi. Pada saat kondisi tersebut, seperti yang dilakukan oleh
keluarga WRZD, beliau memilih tidak melaut dan hanya memperbaiki jaringnya
yang rusak di rumah bersama beberapa Anak Buah Kapalnya. Atau bebrpa
rumahntangga nelayan kecil lain mereka memilih bekerja menjadi Anak Buah kapal
di Kapal yang lebi besar seperti sebelumnya ia pemilik kapal 3-4GT bekerja
menjadi Anak Buah Kapal 10GT ke atas pada musim-musim tertentu. Oleh karena
itu untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari istri Bapak WRZD turut membantu
dengan bekerja menjadi buruh filet ikan asin dan anak Bapak WRZD yang saat itu
lulusan SMK pun memilih bekerja menjadi Anak Buah Kapal di Desa Tegalsari
(“Desa tetangga”), pada kapal yang lebih besar sehingga ia mengikuti pola
penangkapan kapal besar yang tetap melaut meskipun kondisi cuaca buruk. Hasil
upah yang ia peroleh digunakan untuk membantu ekonomi keluarga bapak WRZD
seperti untuk membelikan sembako. Pada rumahtangga nelayan kecil lapisan bawah
seperti pada keluarga Bapak WRZD ini tidak terdapat perbedaan atau spesialisasi
urusan rumahtangga secara spesifik. Karena bapak WRZD pada saat tidak melaut
pun, beliau mengakui dia juga ikut membantu mengurus anaknya (seperti
mempersiapkan sekolah anaknya (antar jemput)). Dalam urusan rukun warga/
kegiatan desa rumahtangga nelayan kecil lapisan bawah pasti selalu hadir. Karena
menurut Bapak WRZD, warga desa Muarareja sudah sejak dlu terbiasa saling
membantu “gotong royong”. Walaupun tidak mendapat upah setidaknya dapat
berbagi makanan “tidak diupah tidak apa-apa,yang penting dapat makan”.
Sementara, rumahtangga nelayan kecil lapisan atas seperti yang dilakukan
oleh keluarga Bapak (RDI). Beliau merupakan kepala rumahtangga yang
memegang semua kendali perekonomian rumahtangga. Yang artinya istri Bpak RDI
ini hanya mengurus urusan domestic keluarga saja. Sementara anak dari Bapak RDI
yang sudah masuk usia kerja, mereka bekerja di perantauan (non perikanan). Ketika
musim paceklik tiba, keluarga Bpak RDI ini menggunakan uang tabungan mereka
untuk menutupi kebutuhan sehari-hari mereka dan dari hasil uang kiriman per bulan
dari anak mereka yang bekerja di perantauan. Dalam kegiatan desa rumahtangga
nelayan kecil lapisan atas karena kebanyakan mereka tetap melaut, untuk kegiatan
desa mereka termasuk keluaraga Bapak RDI memilih untuk membayar denda (baik
berupa uang maupun makanan).

Sumber : RDI 42th (Pemilik Kapal 10GT ketua KUB), WRZD 45th (pemilik kapal
5GT, nelayan bubu)
68

Jika melihat tindakan adaptasi yang dilakukan oleh rumahtangga nelayan


yang tergambar dalam box 6, maka dapat diringkas bahwa bentuk adaptasi
organisasional dalam struktur rumahtangga nelayan di Kelurahan Muarareja, Kota
Tegal dapat dilihat pada Tabel 10.1

Tabel 10.1 Adaptasi organisasional Rumahtangga nelayan Kelurahan Muarareja


Kota Tegal tahun 2019
Organisasi Rumahtangga nelayan
rumahtangga Lapisan atas (n=5) Lapisan bawah (n=35)
Diferensiasi  Kepala keluarga mencari  Kepala keluarga mencari nafkah dengan
peran nafkah dengan melaut, melaut,
 Istri melakukan pekerjaan  Istri melakukan pekerjaan rumah,
rumah dan mengurus anak. mengurus anak dan membantu ekonomi
 Anak usia sekolah, keluarga dengan juga bekerja sebagai
bersekolah seperti pada buruh filet ikan asin
umumnya. Sementara, anak  Anak usia kerja bekerja di area fishing.
yang masuk usia kerja  Anak usia sekolah pada musim tertentu
bekerja di area non-fishing ikut membantu orangtuanya bekerja
dan memberi kiriman uang
pada orangtuanya setiap satu
bulan sekali.
Ekonomi  Hanya dilakukan oleh  Semua anggota keluarga bekerja kecuali
Kepala rumahtangga anak yang masih pada usia sekolah.
(Suami) dengan melaut, (Suami : melaut; Istri: berjualan
beberapa yang memiliki “warungan” dan buruh filet ikan asin;
anak sudah bekerja maka Anak: Anak Buah Kapal)
dibantu oleh anak mereka  Berhutang ke kerabat maupun tetangga
yang bekerja di perantauan.
 Hutang ke Bank
Solidaritas  Kepala rumahtangga (Suami)  Kepala rumahtangga (suami), istri dan
Keluarga lebih sering di laut dalam anak saling bahu membahu dalam suatu
rangka mencari nafkah rumahtangga ketika dalam menghadapi
dibandingkan di darat. Hal tekanan/exposure.
tersebut didukung oleh
kepemilikan kapal dan
modal yang cukup.
Politik  Segala keputusan publik  Suami dan Istri memiliki kewenangan
berada di tangan kepala yang sama. Ketika suami tidak melaut,
rumahtangga (suami). maka suami/kepala ruamhtangga ikut
Namun untuk urusan mengurus urusan domestik.
domestik keputusan berada
di tangan istri.
Integrasi  Hadir ke acara pengajian  Selalu hadir dalam acara pengajian rutin
hanya jika sedang berada di yang diselenggarakan oleh warga
darat, atau membayar denda. Kelurahan Muarareja, dan turut andil
dalam kegiatan ritual
69

Adaptasi Teknologi

Adaptasi yang dilakukan oleh rumahtangga nelayan Kelurahan Muarareja,


Kota Tegal adalah adaptasi teknologi yakni dengan menyesuaikan ulang alat
tangkap atau mesin kapal yang mereka gunakan untuk menyesuaikan dengan jenis
ikan tangkapan pada tiap musimnya. Adaptasi teknologi ini hanya dilakukan oleh
rumahtangga nelayan lapisan atas saja. Hal tersebut dikarenakan rumahtangga
nelayan lapisan bawah terkendala pada terbatasnya modal finansial dan modal
fisik mereka (modal uang dan kapal yang tidak cukup memadai). Namun, bagi
rumahtangga nelayan besar penyesuaian teknologi ini merupakan sebuah
kebutuhan urgent yang harus dilakukan untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari
lainnya. Menurut Koentjoroningrat (1990) dalam Satria (2015) menyatakan
bahwa ketika sebuah krisis yang terjadi di tengah masyarakat mampu
menyadarkan beberapa aktor masyarakat untuk melawan keadaan/kondisi krisis
tersebut. Maka kemudian mereka akan berinovasi/berkreasi untuk dapat keluar
dari keadaan/kondisi krisis tersebut. Kreasi atau inovasi yang dilakukan
rumahtangga nelayan Kelurahan Muarareja yakni kreasi dalam hal teknologi
penangkapan. Tingginya pengalaman melaut dan lokasi geografis secara
administratif termasuk dalam lingkup perkotaan memberikan pengaruh tersendiri
bagi rumahtangga nelayan khususnya lapisan atas. Mereka menjadi memiliki daya
serap dan kemampuan belajar yang tinggi seperti paham waktu yang tepat untuk
menambah mesin kapal, mengganti alat tangkap sesuai dengan musim dan cuaca.
Walaupun mereka belum dilengkapi teknologi canggih semacam satelit. Mereka
hanya mengandalkan GPS dan pengalaman.
Teknologi penangkapan yang dimaksud berupa penambahan mesin kapal
yang semula hanya digerakkan satu mesin menjadi 2 mesin kapal. Alat tangkap
arad yang dioperasikan yaitu arad dan pada curah hujan serta gelombang tinggi.
Beberapa nelayan lapisan atas juga menebar alat tangkap jenis bubu. Diketahui
bahwa rajungan atau kepiting banyak diperoleh justru pada saat gelombang tinggi.

Box 7 Adaptasi Teknologi


Kondisi krisis yang dihadapi oleh nelayan kecil Desa Muarareja, Kota
Tegal mendorong rumahtangga nelayan kecil lapisan atas melakukan beberapa
penyesuaian teknologi. Rumahtangga SKN yang menambah mesin kapalnya
menjadi 2 mesin pada saat angin barat dan mengganti alat tangkapnya yang
sebelumnya menggunakan bubu menjadi menggunakan arad. Sehingga, dapat
tetap melaut dan bahkan menambah jarak melaut mereka yang sebelumnya berada
dibawah kurang dari 3 mil menjadi sekitar 3-5 mil dengan harapan mendapatakan
hasil tangkapan yang lebih banyak dan menolak menganggur di rumah. Hal
tersebut dilakukan selain karena untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari mereka
juga karena tuntutan untuk membayar setoran Bank per bulan-nya. Selain itu, hal
tersebut menurut rumahtangga SKN dirasa menguntungkan tidak hanya untuk
dirinya tapi rumahtangga nelayan kecil lapisan bawah yang mereka
pindahsementara ke kapaknya untuk menjadi ABK (Anak Buah Kapal).
Sumber: SKN 49 tahun
70

Adaptasi Kelambagaan Kolektif

Berdasarkan beberapa masalah yang sering dihadapi oleh nelayan di


Kelurahan Muarareja seperti keterbatasan modal, musim paceklik, pengaruh cuaca
dan perubahan iklim serta semakin banyaknya jumlah nelayan saat ini. Maka,
rumahtangga nelayan pun mulai membentengi diri mereka dengan bergabung
dalam kelompok nelayan dan memanfaatkan institusi yang ada secara bersama-
sama. Adanya Koperasi Unit Desa yang diadakan oleh pemerintah desa setempat
dinilai membantu masyarakat desa utamanya pada saat saat krisis seperti saat
musim paceklik, kekurangan modal, masalah pemasaran dan lainnya. Panuntun et
al. (2013) menyatakan bahwa koperasi adalah organisasi perekonomian
masyarakat dengan kondisi ekonomi yang lemah, tujuan dibentuknya koperasi
adalah sebagai upaya untuk mensejahterakan masyarakat secara kolektif. Upaya
untuk mensejahterakan anggotanya, termasuk melalui berbagai usaha. Seperti
yang dilakukan oleh Koperasi Unit desa karya Mina yang berusaha meningkatkan
kesejahteraan anggotanya (nelayan) melalui berbagai usaha seperti usaha Unit
Simpan Pinjam (USP). USP ini berperan dalam penyediaan pinjaman modal usaha
bagi nelayan di Kelurahan Muarareja, Kota Tegal. Pinjaman modal tersebut biasa
digunakan nelayan untuk membeli solar, bekal makanan selama melaut dan
kebutuhan melaut lainnya seperti es batu, box es dan perbaikan alat tangkap. Bagi
rumahtangga nelayan lapisan bawah dengan durasi melaut harian (8-10 jam).
Mereka biasanya memmbutuhkan modal melaut sebesar Rp. 100.000,- hingga Rp.
300.000,-. Sementara, rumahtangga nelayan lapisan atas membutuhkan modal
sebanyak Rp. 1.500.000,- hingga Rp. 3000.000,- tergantung lamanya target
mereka melaut (biasanya 3- 4 hari). Selain itu, pengadaan solar bersubsidi khusus
untuk nelayan dan penyewaan beberapa sarana penunjang penangkapan ikan.
Adanya KUD yang juga begerak tidak hanya bidang ekonomi namun juga bidang
sosial seperti pembagian SHU (Sisa Hasil Usaha), pembagian beras dan sembako
pada musim paceklik (ikan laut sepi dan cuaca buruk, nelayan banyak tidak
melaut) dan layanan kesehatan gratis untuk anggota KUD.
Selain itu, tindakan adaptasi berupa kegiatan kolektif yang dilakukan oleh
beberapa rumahtangga nelayan yang tergabung dalam kelompok usaha bersama
(KUB) dinilai memudahkan dan membantu nelayan dalam memberikan solusi
untuk beberapa permasalahan yang dihadapi. Dalam pertemuan rutin kelompok
yang biasanya dilakukan 2 minggu sekali. Namun, akibat karena pengaruh
perubahan iklim dan sepinya ikan, kegiatan pertemuan rutin kelompok di
Kelurahan Muarareja pun mulai macet, sehingga hanya dilakukan 1 bulan sekali.
Dalam tiap pertemuan rutin kelompok tersebut selalu dibahas bersama mengenai
kendala-kendala yang mereka hadapi selama melaut dan juga menjadi wadah
untuk berbagi informasi antar rumahtangga nelayan dan mencari solusi bersama.
71

Box 8. Adaptasi Kelembagaan Kolektif


Keberadaan Kelompok Usaha Bersama (KUB) menjadi salah satu tindakan
adaptasi nelayan kecil ketika menghadapi kondisi kritis. KUB ini berganggotakan
rumahtangga nelayan baik pemilik maupun Anak Buah Kapal (ABK). Di Desa
Muarareja terdapat lebih dari 10 KUB, tiap KUB beranggotakan 30- 40
rumahtangga nelayan. Dalam beberapa bulan sekali biasanya dari pihak Dinas atau
penyuluh ikut serta dalam pertemuan rutin kelompok. Rumah tangga nelayan yang
tergabung dalam kelompok dapat mengikuti pelatihan yang diadakan oleh dinas
maupun dari SUPM. Penyuluh juga sering memonitor kelompok dan mengarahkan
tentang cara pembuatan proposal untuk pengajuan bantuan baik alat tangkap, sarana
penangkapan bahkan mesin kapal. Sistem pembagian bantuan dilakukan secara
bergilir per anggota kelompok. Dalam KUB juga terdapat simpan pinjam, jadi bagi
anggota yang membutuhkan pinjaman dapat meminjam melalui KUB. Namun,
simpan pinjam KUB ini belum begitu berjalan lancar. Selain dari KUB
kelembagaan kolektif lain yang dampak positifnya dirasakan oleh rumahtangga
nelayan kecil yaitu adanya KUD. Manfaat yang paling dirasakan rumahtangga
nelayan adalah pembagian SHU dan pengorganisasian dalam penyelenggaraan
tradisi sedekah laut
Sumber: RDI 42 tahun (Ketua KUB)
Berdasarkan Box 8 dapat diketahui bahwa aktivitas nafkah nelayan yang
bersifat open access berpengaruh terhadap kelembagaan nelayan. Di mana
kelembagaan masyarakat nelayan dan pesisir bersifat kompleks dan menarik.
Keberadaan kelembagaan nelayan ini menjadi starategi yang baik dalam rangka
dan upaya pemberdayaan masyarakat nelayaan dan pembangunan sumberdaya
laut berkelanjutan maupun untuk peningkatkan kemandirian dan keswadayaan
masyarakat nelayan (Hidayat 2013). Rakhmanda et al. (2018) menambahkan
bahwa kemandirian dan keswadayaan komunitas nelayan ini kerap kali ditutupi
oleh gambaran umum tentang ketidakberdayaan masyarakat nelayan.
Pembentukan kelompok nelayan merupakan hasil penyikapan terhadap tekanan-
tekanan kehidupan yang selalu mereka hadapi setiap saat. Dengannya, dapat
dihimpun dan dikembangkan potensi kreasi, tanggung jawab kolektif, dan prinsip
swadaya dari masyarakat nelayan. Menurut Conyer (2008) menyebutkan bahwa
kelembagaan yang ada pada masyarakat nelayan ini memiliki fungsi normatif dan
regulatif. Fungsi normatif dari kelembagaan antara lain menjadi pedoman
bersikap dan bertingkah laku dalam relasi sosial dan interaksinya dengan
lingkungan sosial budaya dan ekologinya. Sedangkan fungsi regulatifnya adalah
menjadi aturan main yang berkaitan dengan pemenuhan kebutuhan hidup rumah
tangga, menjaga integrasi dan sekaligus kontrol sosial. Analisis sosiologi dari
kasus yang dihadapi oleh rumahtangga nelayan Kelurahan Muarareja ini sejalan
dengan pemikiran Durkheimian tentang structural-fungsional yakni the function of
institutions dalam level praktis (kehidupan sosial ekonomi masyarakat nelayan-
pada bentuk kelompok nelayan). Kelembagaan yang dibentuk oleh nelayan
seperti Kelompok Usaha Bersama (KUB), Koperasi Unit Desa (KUD) dan
kelembagaan kekerabatan juga hubungan pertetanggaan dalam kelembagaan satu
Desa merupakan manifestasi kesadaran kolektif ala Durkheimian. Dimana
kelembagaan tersebut terbentuk karena kesamaan nasib.
72

Ikhtisar

Tindakan adaptasi yang dibangun oleh rumahtangga nelayan di Kelurahan


Muarareja merupakan kapasitas rumahtangga nelayan dalam menghadapi tekanan
dari dampak perubahan iklim, tekanan demografis dan sosial ekonomi.
Rumahtangga nelayan meningkatkan resiliensi penghidupan dengan cara
memanfaatkan modal penghidupan yang dimiliki atau yang bisa diakses oleh
rumahtangga nelayan serta strategi-strategi penghidupan yang dilakukan oleh
rumahtangga nelayan. Rumahtangga nelayan di Kelurahan Muarareja
memanfaatkan lima modal penghidupan untuk beradaptasi dalam merespon
kerentanan penghidupan yang mereka hadapi. Rumah tangga nelayan lapisan
bawah akan cenderung melakukan strategi adaptasi survival (bertahan hidup).
Sementara, rumahtangga nelayan lapisan atas memilih melakukan strategi
kombinasi/mengakumulasi modal penghidupan. Hal tersebut dapat dilihat dari
kegiatan/aktivitas yang dilakukan nelayan pada saat musim paceklik/gelombang
tinggi. Rumahtangga nelayan lapisan bawah memilih tidak melaut, sehingga
mereka memanfaatkan modal penghidupan yang ada untuk bertahan hidup
(survive) sampai mereka dapat kembali melaut. Sementara, rumahtangga nelayan
lapisan atas dengan modal fisik yang cukup seperti kapasitas dan kualitas kapal
yang lebih besar dan kuat. Mereka memilih menerjang gelombang untuk tetap
melaut bahkan terkandang menjangkau lokasi wilayah tangkap yang lebih jauh.
Hal tersebut dikarenakan selain untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari atau
bertahan hidup yaitu untuk dapat membayar hutang/pinjaman Bank. Maka dari
itu, mereka melakukan strategi eksploitasi tidak hanya pada Sumberdaya Ikan tapi
juga eksploitasi Sumberdaya Manusia (dirinya sendiri sebagai pemilik dan juga
Anak Buah kapalnya). Berdasarkan tindakan adaptasi yang telah dilakukan oleh
rumahtangga nelayan Kelurahan Muarareja maka tindakan adaptasi tersebit dapat
dibedakan menjadi tiga tipologi adaptasi diantaranya adaptasi organisasional
rumahtangga (re-organisasi), adapatasi teknologi dan adaptasi kelembagaan
kolektif
Berdasarkan analisis tersebut diatas, maka dapat dikatakan bahwa tipologi
adaptasi rumahtangga nelayan lapisan bawah ialah adaptasi bertahan hidup
dengan cara re-organisasional rumahtangga/keluarga mereka. Semantara
rumahtangga nelayan lapisan atas cenderung lebih semakin eksploitatif dengan
adaptasi teknologi dan adaptasi kelembagaan kolektif ini hampir sama-sama
digunakan baik rumahtangga nelayan lapisan atas dan bawah terlebih untuk
meminimalisir konflik diantara keduanya seperti perebutan wilayah tangkap,
giliran pembagian bantuan/subsidi dan merekatkan hubungan antar kedua lapisan
rumahtangga nelayan tersebut melalui kegiatan keagamaan/ritual yang dimediasi
oleh adanya kelembagaan tersebut.
73

KONSEPTUALISASI GAGASAN SOSIOLOGI


11.
KERENTANAN RUMAHTANGGA NELAYAN DI KOTA
TEGAL

Kelurahan Muarareja, Kota Tegal merupakan desa nelayan di pesisir Pantau


Utara Tegal yang dapat dikatakan memiliki beragam sumber paparan (exposure)
yang tinggi. Permasalahan nelayan yang paling sering dihadapi hampir tidak luput
dari masalah perubahan iklim, semakin padatnya jumlah nelayan dan overfishing.
Peristiwa tersebut tidak jarang menyebabkan terjadinya penurunan produksi dan
konflik antar nelayan (tingginya kompetisi antar nelayan). Pemerintah Kota Tegal
pun telah mengakui bahwa memang perairan di Kota Tegal sudah mengalami
overfishing karena banyaknya jumlah kapal baru yang tercatat. Beberapa
penelitian sebelumnya juga tak luput menemukan bahwa kebanyakan nelayan di
ota Tegal masih berada dalam kategori miskin. Namun, dalam penenlitian ini
ditemukan bahwa rumahtangga nelayan di Kota Tegal mampu bertahan terhadap
paparan (exposure) yang mereka hadapi karena memiliki daya lenting berupa
kapasitas adaptasi yang cukup baik seperti yang telah dijelaskan pada Bab-bab
sebelumnya.
Respon dalam bentuk
penyesuaian struktur
dan strategi
penghidupan
Perubahan iklim  Rumahtangga
Tekanan/Guncangan nelayan lapisan atas
(cuaca buruk, Sosial, Ekonomi,  berbasis modal
gelombang tinggi) Ekologi terhadap fisik & finansial
dan non iklim struktur penghidupan  Rumahtangga
(sosial, ekonomi) rumahtangga nelayan lapisan bawah 
berbasis modal
sosial

Tipologi Adaptasi
 Rumahtangga nelayan lapisan atas
 Adaptasi Teknologi,
Kelembagaan kolektif
 Rumahtangga lapoisan bawah 
Adaptasi re-organisasional
rumahtangga/keluarga, kelembagaan
kolektif
Gambar 11.1 Skema sosiologi kerentanan penghidupan nelayan di Kelurahan
Muarareja, Kota Tegal (diadaptasi dari kerangka penelitian)
74

Kemiskinan nelayan bukan menjadi penentu tingginya tingkat kerentanan


penghidupan

Kemampuan adaptasi yang tinggi dan pemanfaatan modal sosial yang tinggi
pula merupakan faktor yang cukup berkontribusi untuk memberikan akses dalam
memelihara tingkat resiliensi penghidupan rumahtangga nelayan. Syahyuti (2008)
menyatakan bahwa modal sosial merupakan fenomena yang tumbuh dari bawah
dan berasal dari adanya interaksi, hubungan sosial dan jaringan yang terbentuk
atas dasar “… trust, mutual reciprocity and norm action”. Coleman (1999)
mendefinisikan modal sosial sebagai kemampuan masyarakat untuk bekerja sama,
demi mencapai tujuan bersama, di dalam berbagai kelompok. Oleh karena tingkat
kerentanan rumahtangga nelayan di Kelurahan Muarareja, Kota Tegal rendah. Hal
tersebut dikarenakan mereka mampu megaktifkan modal sosial mereka sebagai
salah satu sumber kelentingan untuk penghidupan rumahtangga. Meskipun
mereka diketahui masih tergolong dalam kategori nelayan yang selalu erat
kaitannya dengan kemiskinan. Kemiskinan umumnya didefinisikan sebagai
keadaan di mana individu kekurangan sumberdaya untuk menyediakan kebutuhan
dasar mereka. Dari kelompok-kelompok yang diidentifikasi miskin, komunitas
nelayan skala kecil biasanya diklasifikasikan sebagai kelompok sosial-ekonomi
yang paling miskin di sebagian besar negara berkembang (Jazairy et al. 1992
dalam Mill et al. 2011). Standford et al. (2015) menambahkan bahwa
rumahtangga yang resilien artinya rumahtangga yang mampu mempertahankan
dan bahkan mengembangkan penghidupan mereka. “Improving fishers’ resilience
contributes to poverty prevention and alleviation.” Maka kemiskinan justru akan
dicegah atau dientaskan ketika rumahtangga tersebut tangguh/resilien.
Maka, dalam hal ini penulis pun mencoba melakukan penelusuran beberapa
literatur dan penelitian sebelumnya mengenai apakah nelayan (masyarakat
miskin) itu selalu rentan terhadap penghidupan/nafkah mereka. Hasilnya,
Sejumlah penulis mengklaim bahwa kerentanan yang tinggi dari para nelayan
tidak hanya dikarenakan oleh kemiskinan saja tapi sebagian karena paparan yang
intens lainnya seperti dan bencana, perubahan kondisi alam, terkait kesehatan atau
ekonomi tertentu (Bene 2009 dalam Mills et al. 2011). Seperti penelitian Mills et
al. (2011) tentang kerentanan dalam komunitas penangkapan ikan skala kecil di
Afrika lebih disebabkan karena jumlah nelayan semakin banyak, masalah
ketersediaan stok ikan yang berujung pada isu kerawanan pangan dan akses modal
yang buruk. Penelitian Islam et al. (2014) pada nelayan pesisir Bangladesh
menunjukkan bahwa dua komunitas nelayan pesisir di Bangladesh menunjukkan
bahwa unsur paparan paling besar pada kerentanan penghidupan berbasis
perikanan adalah terkait iklim. Komunitas yang paling terbuka belum tentu paling
sensitif atau paling tidak mampu beradaptasi karena kerentanan penghidupan
adalah hasil dari pengaruh biofisik gabungan dan karakteristik sosial ekonomi
masyarakat dan rumah tangga. Tetapi di dalam komunitas nelayan, di mana rumah
tangga sama-sama terpapar, sensitivitas yang lebih tinggi dan kapasitas adaptasi
yang lebih rendah bergabung untuk menciptakan kerentanan yang lebih tinggi.
Sehingga, tinggi atau rendahnya tingkat kerentanan penghidupan rumahtangga
merupakan sebuah hasil analisis menyeluruh dari faktor sensitivitas, paparan dan
kapasitas adaptasinya. Oleh karena itu kerentanan penghidupan dapat dikurangi
dengan adanya insiatif adaptasi yang beragam. Selanjutnya, Vatria et al. (2019)
75

dalam penelitian yang telah dilakukannya pada nelayan di Pulau Maya Indonesia
menyatakan bahwa status ketahanan penghidupan nelayan pada enam bidang
diantaranya alam, Sumberdaya Manusia (SDM), fisik, finansial, sosial dan
kelembagaan berada pada status “resilient”. Status ketahanan/resilient ini
diperoleh dari analisis penskalaan multidimensi (MDS) yang dinyatakan dalam
indeks resiliensi. Adapun faktor yang menentukan tingkat resiliensi nelayan di
Pulau Maya Indonesia ini diantaranya 1) bencana alam; 2) pelabuhan; 3) status
ketersediaan stok ikan; 4) isolasi geografis; 5) pekerjaan istri (berkontribusi pada
pendapatan rumahtangga); 6) pengolahan; 7) ketersediaan es; 8) transfer payment
(kiriman uang); 9) jaminan sosial; 10) norma/sanksi/regulasi dan 11) dukungan
partisipasi. Penelitian Hardy et al. (2016) yang mengambil kasus perikanan skala
kecil di Pulau Solomon menunjukkan bahwa nelayan dapat resilien dari tantangan
yang mereka hadapi seperti permasalahan ketersediaan stok ikan, peluang
ekonomi, tekanan demografis dan sosial. Menurut Hardy et al. (2016) strategi
penghidupan yang berorientasi pada uang (cash income) justru memperburuk
tingkat kerentanan nelayan. Oleh karena itu, ketangguhan/ resiliensi yang diukur
bersifat sosial, dan tergantung pada kemampuan masyarakat untuk beradaptasi
dan menyesuaikan strategi penangkapan ikan mereka dalam konteks lembaga
budaya, yaitu “wantok”5. Penelitian Sakuntaladewi dan Sylviani (2014) mengenai
kerentanan masyarakat pesisir akibat perubahan iklim yang dilakukan di tiga Desa
yaitu di Subang, Jembrana dan Pemalang bahwa tingkat kerentanan tiga desa
tersebut berbeda dan paling dipengaruhi oleh faktor geografisnya.
Begitu pun kasus yang terjadi pada nelayan di Kota Tegal, untuk kasus
nelayan di Kota Tegal, karena kondisi geografis secara administratif berada di
persimpangan jalur utara dan selatan perekonomian nasional menjadikan para
nelayan ini memiliki akses/peluang penjualan ikan hasil tangkapan yang semakin
besar. Sudharmo (2016) pun menyimpulkan bahwa gambaran tersebut bertolak
belakang dengan gambaran umum nelayan tradisonal yang tidak terhubungkan
dengan kemudahan akses untuk bekerja di sektor perikanan, tuntutan masalah
perekonomian keluarga dan kesulitan mencari peluang kerja lainnya dan nelayan
tradisional yang digambarkan dengan tingkat kualitas SDM yang rendah (Kusnadi
2003). Oleh karena itu, rendahnya tingkat kerentanan penghidupan nelayan
Kelurahan Muarareja dalam penelitian ini juga mampu menunjukkan bahwa
walaupun nelayan selalu dikaitkan dengan kemiskinan, namun mereka masih
memiliki kemampuan untuk tetap resilient. Nelayan Kelurahan Muarareja
memilih untuk bangkit dan bertahan dalam menghadapi tingkat kerentanan
penghidupan menggunakan modal penghidupan yang mereka miliki seperti
pemanfataan modal sosial secara maksimal (partisipasi dalam kelompok nelayan,
ikatan sosial antar tetangga dan kerabat yang kuat dan kepercayaan serta norma
yang tetap dijaga). Makoka dan Kaplan (2005) menyatakan bahwa kerentanan dan
kemiskinan itu tidak sama atau dua hal yang berbeda, karena kerentanan tidak
hanya terbatas pada orang miskin dan karena sifatnya yang berwawasan ke depan.
Namun demikian mereka terkait erat. Pendekatan komprehensif yang telah
dikembangkan oleh kerjasama pembangunan komunitas dan ilmuwan terkemuka

5
Wantok adalah budaya atau aturan lokal yang diterapkan masyarakat papua nugini dan afrika
(prinsip pertukaran dan pemanfaatan sumberdaya bersama atas dasar kesamaan “lingkup hubungan
darah, keluarga, kesamaan geografis tempat tinggal”)
76

telah menghasilkan analisis kerentanan dari berbagai perspektif, yang mengarah


ke berbagai cara untuk mengukurnya. Sementara sebagian besar langkah-langkah
kerentanan ini menggabungkan paparan terhadap bencana alam, dampak cuaca
dan iklim, ukuran kerentanan terhadap kemiskinan adalah metrik uang. Rayyan
dan Philip (2004) menambahkan bahwa beberapa peneliti menyatakan terdapat
dua perspektif yang berbeda tentang kerentanan. Perspektif pertama dapat disebut
pandangan “risk-centris view” dimana kerentanan biasanya didefinisikan sebagai
variabilitas dalam standar hidup yang disebabkan oleh konsumsi atau guncangan
pendapatan. Perspektif kedua dapat disebut pandangan “right-centris view”
dimana kerentanan disebabkan oleh kurangnya hak sosial dan politik. Oleh karena
itu, berdasarkan penenlusuran literatur dan beberapa penenlitian sebelumnya
tersebut, penulis dapat menyatakan bahwa masyarakat miskin dan atau nelayan
tidak selalu rentan terhadap penghidupan mereka.

Kerentanan Penghidupan nelayan tidak selalu lebih tinggi daripada petani

Anggapan umum banyak menunjukkan bahwa nelayan merupakan kaum


miskin yang tingkat kerentanannya lebih tinggi daripada petani dikarenakan
kepemilikan lahan yang jelas dan adanya pekerjaan sampingan yang dapat
dilakukan oleh petani. Sementara, nelayan hanya bergantung pada ikan di laut,
yang diketahui status laut adalah “open access” dan “common resources”.
Beberapa studi juga mengamati bahwa mayoritas petani memiliki pemahaman
yang baik tentang perubahan iklim melalui pengamatan pribadi mereka (Medugu
dan Majid 2014). Namun, dalam penelitan Medugu dan Majid (2014) justru
menunjukkan bahwa studi tentang kerentanan petani dan nelayan terhadap
perubahan iklim dan konflik yang muncul antara petani dan penggembala di
Nigeria. Survei dilakukan dengan pengambilan sampel acak dilakukan di
beberapa tempat komunitas pedesaan terpilih di mana 200 petani dan nelayan
diwawancarai dan diskusi dengan kelompok fokus diskusi masyarakat untuk
memastikan tingkat pemahaman mereka tentang masalah perubahan iklim.
Namun, hasilnya menunjukkan bahwa perubahan iklim telah sangat memengaruhi
produksi tanaman dengan lebih dari 50% penurunan produksi, tetapi tidak banyak
perubahan terjadi pada produksi ikan (Medugu dan Majid 2014). Oleh karena itu,
dalam penelitian ini penulis juga mencoba untuk melihat perbandingan tingkat
kerentanan penghidupan antara nelayan dan petani.
Berikut adalah beberapa indeks kerentanan rumah tangga petani dalam
beberapa studi/penelitian yang pernah dilakukan sebelumnya seperti Amalia
(2016) diketahui nilai LVI paling tinggi untuk rumah tangga petani lapisan atas di
sekitar hutan di Kalimantan timur yaitu 0.72 untuk lapisan atas dan lapisan bawah
yaitu 0.66. Wahyuni (2016) juga menghitung indeks kerentanan untuk rumah
tangga petani padi di Kabupaten Timor Tengah diperoleh nilai LVI 0.398 untuk
Kelurahan Boronubaen dan 0.412 untuk kelurahan Taunbaen. Penelitian Botero
dan Salinas (2013) menunjukkan bahwa indeks LVI petani di Karnataka India
yaitu 0.106 dengan nilai exposure 0.696, sensitivity 0.535 dan adaptive capacity
hanya sebesar 0.498. Selanjutnya, penelitian Sujakhu et al. (2017) menunjukkan
nilai LVI untuk petani di dua lokasi dataran tinggi di Asia yaitu di Desa Garam
Chasma (LVI petani paling rendah yaitu 0.33, LVI sedang 0.37 dan LVI tinggi
77

0.39) dan Desa Melamchi ( LVI rendah 0.38, LVI sedang 0.43 dan LVI tinggi
yaitu 0.47).
Sementara, untuk nilai LVI nelayan dari beberapa studi/penelitian
sebelumnya diketahui seperti penelitian Islam et al. (2014) mengenai kerentanan
penghidupan berbasis perikanan di pesisir Bangladesh yaitu di Desa Kutubdia
Para. Pengukuran indeks LVI yang dilakukan di Desa Kutubdia para ini terabgi ke
dalam 4 lapisan sosial yang masing-masing diambil 25 reponden, diketahui bahwa
nilai kerentanan penghidupan (LVI) terendah yaitu 0.05, LVI sedang 0.10, LVI
tinggi 0.13 dan LVI tertinggi yaitu 0.18. Penelitian perkasaputra (2018)
menunjukkan nilai LVI nelayan Cirebon tepatnya di Desa Samadikun yaitu
sebesar 0,21. Sedangkan, Gravitiani et al. (2017) dalam penelitiannya menyatakan
bahwa berdasar hasil analisis LVI nelayan dan pedangang baik di Pesisir Selatan
Jawa berdasar perhitungan LVI- IPCC termasuk dalam kategori “tidak rentan”
dengan nilai index -0.007. Nilai ini menunjukkan bahwa penghidupan nelayan
dan pedagang di Yogyakarta selatan “tidak rentan” terhadap banjir pasang laut,
yang disebabkan oleh perubahan iklim. Begitu pula halnya yang terjadi pada
nelayan dan petani di Pesisir Utara Jawa, berdasar LVI-IPCC termasuk kategori
“tidak rentan” dengan nilai index 0.024. Menurut Gravitiani et al. (2017) secara
umum, LVI mengukur rata-rata setiap komponen, sementara di LVI-IPCC
komponen diintegrasikan ke dalam tiga komponen utama (exposure, adaptive
capacity dan sensitivity). Oleh karena itu secara umum, dari hasil perbandingan
beberapa perhitungan LVI antara petani dan nelayan diketahui bahwa nilai LVI
nelayan tidak selalu lebih tinggi daripada petani. Begitupula, dalam penelitian ini
dapat dikatakan bahwa rumahtangga nelayan daerah pesisir tidak selalu rentan
terhadap paparan dibandingkan dengan rumahtangga petani di daerah kritis.
Setelah dianalisis dari beberapa hasil penelitian tersebut diketahui alasan
mengapa nilai LVI petani justru lebih tinggi daripada LVI nelayan ialah nilai
indeks paparan yang jauh lebih besar daripada nilai indeks paparan nelayan. Hal
tersebut dikarenakan oleh tanaman/hasil panen petani sangat rentan terhadap
perubahan lingkungan seperti hama, kekeringan, banjir, bencana, perubahan
iklim, perubahan landscape, alih fungsi lahan dan lainnya. Keberhasilan panen
sangat tergantung pada proses perawatan tanaman yang intens. Sehingga petani
lebih terancam pada resiko gagal panen dan kerugian. Sementara, ikan atau hasil
tangkapan laut tidak diperlukan perawatan intensif. Selain itu, rendahnya daya
kapasitas adaptif suatu daerah bisa disebabkan dari beberapa faktor, misalnya
kondisi sosio demografi yang tidak mendukung, serta jaringan sosial dan
kelembagaan yang lemah. Beberapa indikator yang digunakan, seperti jaringan
sosial serta kelembagaan formal yang digunakan untuk menilai tingkat kerentanan
juga bisa digunakan sebagai solusi. Kemampuan adaptasi nelayan dalam
menggerakkan kelembagaan formal terlihat lebih kuat karena kesamaan kondisi
yang dihadapi yakni ketidakmenentuan jaminan keselamatan dan hasil yang
didapat selama melaut di tengah laut. Berbeda halnya dengan petani yang hasilnya
dapat diprediksi sebelumnya.
78

Perbedaan tingkat kerentanan penghidupan nelayan dan struktur sosialnya

Dalam menganalisis tingkat kerentanan, selanjutnya juga dinalisis dan


dibahas mengenai kepemilikan dan kemampuan mengakses modal penghidupan
oleh tiap rumahtangga nelayan baik lapisan atas maupun lapisan bawah (struktur
sosialnya). Kemampuan memiliki atau mengakses modal penghidupan akan
menentukan strategi penghidupan yang dilakukan. Pemetaan rumahtangga
nelayan Kelurahan Muarareja ke dalam lapisan atas dan lapisan bawah didasarkan
pada kepemilikan kapal, jumlah Anak Buah Kapal yang dapat dilihat pada Bab. 5.
Yang dapat diketahui bahwa semakin besar kapasitas kapal semakin tinggi status
sosialnya atau dapat dikatakan termasuk ke dalam lapisan atas. Namun, jika
dilihat pada kasus yang terjadi di Kelurahan Muarareja, struktur sosial memang
menjadi salah satu faktor penentu tingkat kerentanan penghidupan rumahtangga
nelayan (Bab 7). Namun, perbedaan lapisan sosial (adanya struktur sosial)
tersebut bukan menjadi pembatas diantara keduanya. Perbedaan tersebut justru
mengembangkan etika moral terlebih moral ekonomi yang cukup baik diantara
keduanya baik dalam bidang sosial maupun ekonomi. Seperti yang diketahui,
ketika musim atau cuaca tidak mendukung beberapa rumahtangga nelayan lapisan
bawah banyak yang memilih tidak melaut karena mempertimbangkan
keselamatan dan kondisi kapal mereka. Namun, untuk sebagian lainnya ada yang
memilih tetap melaut dengan menjadi Anak Buah Kapal di Kapal yang lebih besar
(milik rumahtangga nelayan lapisan atas). Begitupula untuk Anak Buah Kapal
pada kapal milik rumahtangga nelayan kecil. Kasus pindah kapal atau dapat
dikatakan mobilitas sosial6. Mereka akan saling memaklumi dan akan saling
membantu. Hal tersebut karena minimnya keterampilan yang mereka miliki di
luar bidang penangkapan ikan. Hal tersebut dilakukan oleh rumahtangga nelayan
lapisan bawah juga sebagai bentuk strategi bertahan hidup bagi mereka.
Sementara rumahtangga nelayan lapisan atas, tetap menjaga budaya leluhur
mereka yang saling menjaga hubungan sosial antar tetangga dan warga. Oleh
karena itu, meskipun rumahtangga nelayan lapisan atas memang memiliki modal
fisik dan finansial yang lebih besar dan bagus. Namun, tanpa adanya tenaga
manusia (ABK) maka hal tersebut menjadi tidak efektif. Nelayan lapisan atas
akan merasa terbantu oleh adanya tambahan Anak Buah Kapal. Sehingga, pada

6
Mobilitas sosial merupakan perpindahan dari suatu kelas sosial ke kelas sosial lainnya (Horton &
Hunt, 1999:36) yang biasanya ditunjukkan melalui pekerjaan sekarang yang berbeda dari
pekerjaan sebelumnya. Mobilitas sosial memiliki dua macam tipe yaitu mobilitas sosial horizontal
dan vertikal. Pada mobilitas sosial horizontal, individu yang melakukan mobilitas tidak mengalami
perubahan status sosial dalam masyarakat karena status yang dimiliki oleh individu kurang lebih
sama atau tidak jauh berbeda dengan status sebelumnya. Sedangkan pada mobilitas vertikal
seseorang tidak hanya mengalami perubahan pada status sosialnya melainkan juga ia akan
menempati stratifikasi sosial yang berbeda dari sebelumnya.
Ada dua tipe mobilitas vertikal yaitu mobilitas naik (upward mobility) dan mobilitas turun
(downward mobility). Adapun mobilitas sosial vertikal yang naik mempunyai dua bentuk utama,
yaitu: a. masuknya individu yang mempunyai kedudukan rendah ke dalam kedudukan yang lebih
tinggi; b. pembentukan suatu kelompok baru yang kemudian di tempatkan pada derajat yang lebih
tinggi dari kedudukan individu pembentuk kelompok tersebut. Sedangkan pada mobilitas vertikal
turun mempunyai dua bentuk juga yaitu: a. turunnya kedudukan individu ke kedudukan yang lebih
rendah derajatnya; b. turunnya derajat sekelompok individu yang dapat berupa disintegrasi
kelompok (Soekanto, 2006:220- 221).
79

musim tersebut mereka masih tetap bisa membayar tagihan hutang Bank dari hasil
tangkapan yang didapatkan. Strategi eksploitasi yang dilakukan oleh rumahtangga
nelayan lapisan atas tersebut tidak hanya berlaku bagi sumberdaya ikan
tangkapannya namun juga perlakuannya terhadap ABK nya juga dapat dikatakan
eksploitasi SDM.
Sejalan dengan Mc Leod dan Kessler (1990) yang menyatakan bahwa orang
yang memegang posisi status sosial ekonomi rendah akan lebih kuat dipengaruhi
secara emosional oleh peristiwa kehidupan yang tidak diinginkan daripada rekan
mereka yang berstatus sosial lebih tinggi. Dua jenis sumber daya yang terlibat
dalam perbedaan tingkat kerentanan ini adalah sumber daya keuangan (income)
dan sumber daya coping yang lebih luas seperti dukungan sosial dan karakteristik
kepribadian yang tangguh. Orang yang berstatus sosial lebih rendah akan
dirugikan karena mereka mengalami lebih banyak peristiwa keuangan yang tidak
diinginkan (misalnya kehilangan pekerjaan) dan karena mereka tidak memiliki
sumber daya keuangan yang memadai untuk mengatasi peristiwa tersebut. Mereka
berstatus lebih rendah memiliki struktur kepribadian yang membuat mereka
cenderung tertekan dalam menghadapi krisis, seperti harga diri yang rendah dan
perasaan tidak berdaya. Peraln dan Schooler (1978) menambahkan bahwa secara
khusus, mereka menemukan bahwa orang-orang dengan tingkat pendidikan yang
rendah lebih cenderung menggunakan strategi yang tidak efektif daripada rekan-
rekan mereka yang lebih berpendidikan. Tingkat sosialiasi atau interaksi dengan
orang lain, dukungan sosial dan moral dapat mempengaruhi tingkat kerentanan.
Mereka yang mampu berinteraksi dan mendapat dukungan sosial yang baik, dan
diperoleh dari pribadi dengan tingkat resilien yang tinggi. Maka hal tersebut akan
berpengaruh pada tingkat kerentanan mereka.
Di akhir, peneliti melakukan analisis sosiologi untuk mengkonseptualisasi
gagasan mengenai kerentanan penghidupan rumahtangga nelayan di lokasi
penelitian. Selain mengacu pada kerangka penghidupan yang disampaikan
Chamber and Conway (1991), Scoones (1998), Carney (1998), DFID (1999), dan
Ellis (2000), analisis juga dilakukan dengan mengacu kepada statement of belief
mengenai kerangka teoretikal sosiologi penghidupan yang disampaikan oleh
Dharmawan (2007:184-185), sebagai berikut:
1. Dalam kondisi dan situasi apapun, setiap individu atau rumah tangga selalu
berupaya untuk mempertahankan status kehidupannya dan sebisa mungkin
melanjutkan eksistensinya hingga lintas generasi melalui berbagai cara
(strategi) bertahan hidup melalui manipulasi sumber-sumber penghidupan
yang tersedia di hadapannya.
2. Setiap individu [atau rumah tangga] membangun mekanisme-mekanisme
survival melalui kelompok maupun komunitas sesuai konteks sosiobudaya-
eko-geografi dan lokalitas di mana individu [atau rumah tangga] tersebut
berada.
3. Ada kekuatan infrastruktur (kelembagaan/institusi sosial) dan kekuatan
suprastruktur (tata nilai) serta struktur sosial (pola hubungan sosial) yang
menyebabkan bentuk strategi nafkah yang dibangun individu maupun
kelompok individu [atau rumah tangga] tidak selalu seragam di setiap
lokalitas.
80

4. Hingga batas tertentu, strategi nafkah yang dibangun oleh individu dan
rumah tangga akan mempengaruhi dinamika kehidupan sosial pada aras
masyarakat. Sebaliknya dinamika kehidupan masyarakat akan menentukan
strategi yang dibangun di tingkat individu dan rumah tangga.

Etika budaya lokal, gotong royong dan kelembagaan sebagai respon nelayan
Kelurahan Muarareja terhadap kerentanan penghidupan
Kelurahan Muarareja letaknya di Kota Tegal Kecamatan Tegal Barat,
masyarakat Muarareja merupakan masyarakat yang sebagian besar masyarakatnya
bermatapencaharian sebagai nelayan. Artinya, kehidupan masyarakatnya sangat
bergantung pada seberapa besar hasil tangkapan ikan di laut. Sementara agama
yang dianut oleh sebagian besar penduduknya adalah agama Islam, yang masih
menjunjung tinggi tradisi-tradisi leluhur yang dilaksanakan secara turun-temurun.
Sebelumnya, Kelurahan Muarareja terbentuk atas 2 (dua) Dusun, yaitu Dusun
Muaratua dan Muaraanyar. Dukuh Muaratua letaknya di sebelah timur dan Dusun
Muaraanyar di sebelah barat Kelurahan Muarareja. Mayoritas penduduk
Kelurahan Muarareja bermatapencaharian sebagai nelayan. Nelayan Kelurahan
Muarareja sebagian besar merupakan nelayan dengan tingkat pendidikan rendah
dan keterampilan terbatas dan tingkat ketergantungan pada Sumberdaya Ikan
tergolong tinggi. Namun, masyarakat Kelurahan Muarareja tetap bangga
berprofesi menjadi nelayan. Kondisi sosial ekonomi mereka memang serba pas-
pasan. Walupun begitu, telah diketahui tingkat kerentanan penghidupan mereka
justru rendah. Yang artinya daya tahan nelayan Kelurahan Muarareja Kota Tegal
cukup baik. Resiliensi tersebut terjaga karena dalam kehidupannya, masyarakat
Kelurahan Muarareja sangat menjaga tiga hal diantaranya 1) budaya gotong
royong; 2) eratnya hubungan pertetanggaan dan kekerabatan dan 3) tingkat
kepercayaan yang tinggi.
Budaya gotong royong ini terlihat ketika ada beberapa diantara warga
Kelurahan Muarareja sedang membangun atau memperbaiki rumah, memperbaiki
kapal dan atau alat tangkap. Mereka akan saling bahu-membahu dalam
mengerjakan setiap pekerjaan yang membutuhkan banyak tenaga manusia.
Meskipun tidak mendapatkan upah. Namun dari beberapa responden ada juga
yang menyatakan, meskipun tidak diupah setidaknya dapat makan dan dapat
berkumpul bersama teman/tetangga. Oleh karena budaya gotong tersebut maka
dapat menekan biaya pengeluaran rumahtangga.
Budaya saling percaya diantara masyarakat Kelurahan Muarareja ini
terbangun karena dasar kesamaan agama yang dianut dan diyakininya. Mayoritas
nelayan Kelurahan Muarareja bergama Islam. Walaupun, sebagian besar nelayan
di daerah Muarareja menganut agama Islam, tetapi bukan berarti masyarakatnya
fanatik pada satu agama saja. Di Kelurahan Muarareja terdapat satu masjid dan
beberapa mushola tetapi mereka tetap toleransi dan saling tegur sapa juga saling
membantu terhadap masyarakat non-muslim. Kegiatan menjalankan ibadah atau
ajaran agama tergantung dari masing-masing individu. Masyarakat Kelurahan
Muarareja tidak terlalu mempermasalahkan selama tidak mengganggu
ketentraman dan kenyamanan. Kegiatan keagamaan bukan hanya kegiatan yang
berhubungan dengan suatu agama saja tetapi ada pula kegiatan tradisi ritual yang
berhubungan dengan agama yakni sedekah laut. Meskipun mayoritas nelayan
81

adalah muslim tapi sebagian besar warganya masih menganut adat tradisional
seperti sedekah laut. Kegiatan ini dilakukan tiap tahun oleh semua masyarakat
nelayan. Ritual sedekah laut ini bertujuan untuk meminta keselamatan dan rezeki.
Ritual sedekah laut dilakukan di tengah laut dengan melarungkan berbagai macam
sesaji. Kegiatan ini tetap ditujukan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa sehingga
kegiatan ini tidak dianggap sebagai kegiatan musyrik bagi masyarakat sekitar. Hal
tersebut dilakukan semata-mata karena Tuhan sebagai penguasa alam maupun
Maha Kuasa walaupun kegiatannya seolah-olah ditunjukkan kepada penguasa laut
tetapi tetap saja untuk Tuhan. Dalam tradisi ritual keagamaan tersebut, semua
masyarakat ikut berperan serta karena masyarakat Muarareja sebagian besar
bekerja sebagai nelayan. Selain itu, dalam 1 minggu ada 1 hari yang ditetapkan
oleh nelayan Kelurahan Muarareja yaitu hari Jum’at, dimana pada hari tersebut
mereka libur melaut. Alasan menetapkan hari tersebut adalah selain hari jumat
adalah hari yang dimuliakan oleh umat muslim. Nelayan Kelurahan Muarareja
percaya bahwa dengan tidak melaut pada hari jumat artinya sudah menghindari
bala atau resiko melaut.
Hubungan kekerabatan diantara masyarakat Kelurahan Muarareja sangat
baik/tinggi. Hal tersebut dikarenakan masyarakat Desa Murareja masih memiliki
tali persaudaraan (hubungan darah). Masayarakat yang masih memiliki hubungan
kerabat memiliki matapencaharian yang sama yaitu sebagai nelayan. Dengan
adanya kerabat dekat di daerah sekitar dapat membantu apabila ada salah satu
kerabat yang mengalami kesulitan. Keluarga inti di dalam masyarakat Kelurahan
Muarareja pun saling bahu-membahu seperti dalam kegiatan ekonomi. Perempuan
di dalam keluarga pun turut berperan dalam menunjang perekonomian keluarga.
Istri tidak hanya berperan sebagai Ibu Rumah Tangga (IRT) namun juga ikut
dalam kegiatan perikanan seperti membantu melelangkan ikan di TPI, buruh filet
ikan asin untuk membantu meningkatkan harga jual ikannya. Anak perempuannya
pun terkadang juga diajak untuk ikut buruh di pengasinan ikan seperti membantu
membersihkan ikan atau membelah ikan menjadi 2 bagian sebalum dikeringkan.
Hasil upah yang didapatkan paling tidak dapat untuk kebutuhannya sendiri
sehingga mengurangi bebban ekonomi kelurga. Sedangkan untuk anak-anak usia
sekolah juga terkadang ikut melaut hanya sekedar mambantu bila sepulang
sekolahnya.
Etika/budaya gotong royong pada masyarakat nelayan mendukung
terbentuknya kerjasama antar nelayan dan memudahkan masyarakat dalam
melakukan pekerjaan maupun dalam kehidupan sehari-hari. Sistem hubungan
kekeluargaan dan kerabat pada masyarakat nelayan Muarareja memperkuat
hubungan antarkerabat dan dapat membantu menyelesaikan masalah dalam
kehidupan sehari-hari. Selain itu, budaya saling percaya yang ada pada
masyarakat nelayan menjadi pedoman dalam bekerja berusaha tidak melakukan
hal-hal yang dilarang oleh ajaran agama dan kepercayaan yang diyakini.
Ketika berbicara tentang masyarakat pesisir maka identik dengan
masyarakat nelayan karena sebagaian besar matapencaharian masyarakat pesisir
adalah nelayan. Nelayan dikenal memiliki tingkat saling peduli, keberamaan dan
sistem kekerabatan yang kuat. Masyarakat nelayan ini terintegrasi secara sosial
budaya sehingga seringkali membicarakan permasalahan bersama-sama dan
menentukan tujuan bersam-sama. Integrasi tersebut kemudian erat kaitannya
82

dengan solidaritas sosial yaitu solidaritas mekanik7. Tradisi gotong royong yang
masih bertahan di kehidupan nelayan ini menjadi sebuah kekuatan kelembagaan
sosial atau solidaritas sosial yang dapat digunakan untuk merespon tekanan atau
paparan. Hal tersebut dikarenakan unsur gotong royong tersebut terdiri dari
beberapa aspek seperti rasa kekeluargaan, persamaan nasib dan norma yang
berlaku (seperti tingginya persaingan, ketidakpastian hasil tangkapan, jeratan
tengkulak, belitan hutang piutang, dan lainnya). Sehingga, dapat dikatakan bahwa
fungsi kelembagaan ala Durkheimian masih berlaku pada kehidupan rumahtangga
nelayan, dimana titik tumpu kelentingan rumahtangga nelayan terkebih untuk
lapisan bawah tertumpu pada ikatan sosial territorial dan genealogis.

7
Solidaritas sosial merupakan suatu keadaan hubungan antara individu dan kelompok yang
didasarkan pada perasaan moral, kepercayaan yang dianut bersama dan diperkuat oleh pengalaman
emosional bersama. Solidaritas mekanik adalah solidaritas sosial yang didasarkan pada suatu
kesadaran kolektif bersama merujuk pada totalitas kepercayaan dan sentiment bersama (Ritzer
2012:129-189).
83

12. SIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

Berdasarkan hasil analisis yang telah dilakukan pada bab 4 hingga 11


diketahui bahwa permasalahan utama rumahtangga nelayan Kelurahan Muarareja
diantaranya adalah pengaruh iklim, tingginya persaingan, ketidakpastian hasil
tangkapan dan sering mengalami kekurangan stok BBM bersubsidi karena sistem
pembagiannya yang masih kurang tepat sasaran. Sehingga paparan/tekanan
tersebut menggangu sumber penghidupan rumahtangga nelayan baik lapisan atas
dan lapisan bawah. Oleh karena itu, dalam penenlitian ini peneliti dapat
menyimpulkan tiga hal diantaranya adalah:
1. Tingkat kerentanan penghidupan rumahtangga nelayan lapisan bawah
lebih tinggi (0.04) daripada rumahtangga nelayan lapisan atas (-0.03)
dihitung berdasar LVI-IPCC. Perbedaan tingkat kerentanan tersebut
disebabkan oleh perbedaan kapasitas adaptasinya.Namun keduanya masih
berada pada rentang skala tingkat kerentanan yang rendah. Adanya ikatan
sosial yang kuat kaena masih adanya nilai kepercayaan (trust) dan
organisasi sosial (kelompok nelayan dan koperasi) sebagai tumpuan untuk
bertahan hidup para nelayan. Selain itu, adanya patronase antar nelayan
yang masih berbasis ekonomi moral memberikan jaminan penghidupan
nelayan menjadi lebih aman.
2. Kondisi perekonomian rumahtangga nelayan baik lapisan atas dan lapisan
bawah tetap bertumpu pada sektor perikanan (on-fishing). Oleh karena itu,
kerentanan penghidupan yang mengguncang penghidupan nelayan
direspon oleh rumahtangga nelayan lapisan bawah dengan menggunakan
strategi sosial. Artinya mereka lebih membangun modal sosial yang kuat
untuk mengaktifkan modal penghidupan lainnya. Sementara, rumahtangga
nelayan lapisan atas merespon dengan strategi eksploitasi dan spasial
dimana mereka lebih membangun modal fisik (teknologi) yang kuat untuk
melipatgandakan dan mengakumulasi modal penghidupan lainnya.
3. Tindakan adaptasi yang telah dilakukan oleh rumahtangga nelayan kecil
Kelurahan Muarareja sebagai respon dari kerentanan penghidupan dan
hasil dari startegi penghidupan yang telah dilakukan maka tindakan
adaptasi tersebut dapat dikelompokkan menjadi tiga tipologi adaptasi
diantaranya adaptasi re-organisasi kerja di dalam rumahtangga, adapatasi
teknologi dan adaptasi kelembagaan kolektif. Namun, dalam hal ini modal
sosial atau adaptasi sosial belum dapat menjadi instrument penting untuk
meningkatkan derajat sosial ekonomi rumahtangga nelayan skala kecil.
Saran

Dari kesimpulan di atas, peneliti ingin menyampaikan beberapa saran


kepada pemerintah untuk mengurangi kerentanan penghidupan rumahtangga
nelayan Kelurahan Muarareja dan meningkatkan penghidupan masyarakatnya.
Tanpa bermaksud mengeneralisir, saran ini mungkin saja berlaku untuk desa-desa
84

lain yang mempunyai tekanan atau paparan penghidupan yang tinggi. Berikut
merupakan saran-saran yang dimaksud:
1. Pemerintah sebaiknya menyediakan dan memberikan bantuan stok BBM
bersubsidi dengan kuota yang mencukupi khusus untuk komunitas nelayan
kecil dengan dibarengi adanya pengontrolan langsung sehingga terjamin
tepat sasaran.
2. Permasalahan overfishing di Perairan Kota Tegal sebaiknya segera
ditanggapi oleh Pemerintah dengan membentuk fungsi kelembagaan
zonasi dan kelembagaan Barrier Entry. Zonasi penangkapan sesuai alat
tangkap dan kapasitas kapal dengan wilayah fishing ground yang jelas.
Pembatasan kuota jumlah kapal yang dapat beroperasi (barrier entry)
untuk mengurangi tingginya persaingan antar nelayan.
3. Membentuk kelembagaan program intervensi langsung terhadap
rumahtangga nelayan lapisan bawah untuk mendorong mereka agar mau
dan mampu naik kelas/strata.
85

DAFTAR PUSTAKA

[BPS] Badan Pusat Statistik. 2017. Jumlah Penduduk Miskin, Persentase


Penduduk Miskin dan Garis Kemiskinan, 1970–2017. [Internet] [Diunduh
pada 2018 Oktober 20]. Tersedia pada:
https://www.bps.go.id/statictable/2014/01/30/1494/jumlah-penduduk-
miskin-persentase-penduduk-miskin-dan-garis-kemiskinan-1970-
2017.html
[BPS] Badan Pusat Statistik Kota Tegal. 2014. Kota Tegal dalam Angka (Tegal in
Figures) 2014. Tegal (ID): Badan Pusat Statistik Kota Tegal.
[BPS] Badan Pusat Statistik Kota Tegal. 2015. Kota Tegal dalam Angka (Tegal in
Figures) 2015. Tegal (ID): Badan Pusat Statistik Kota Tegal.
[BPS] Badan Pusat Statistik Kota Tegal. 2016. Kota Tegal dalam Angka (Tegal in
Figures) 2016. Tegal (ID): Badan Pusat Statistik Kota Tegal.
[BPS] Badan Pusat Statistik Kota Tegal. 2017. Kota Tegal dalam Angka (Tegal in
Figures) 2017. Tegal (ID): Badan Pusat Statistik Kota Tegal.
[BPS] Badan Pusat Statistik Kota Tegal. 2018. Kota Tegal dalam Angka (Tegal in
Figures) 2018. Tegal (ID): Badan Pusat Statistik Kota Tegal.
[BPS Jateng] Badan Pusat Statistik Jawa Tengah. 2016. Tabel Dinamis Subjek
Konsumsi dan Pengeluaran.[Internet].[diunduh 2019 Mei 22].tersedia
pada: https://jateng.bps.go.id/site/resultTab
[BPS Jateng] Badan Pusat Statistik Jawa Tengah. 2016. Kebutuhan Hidup Layak
dan Upah Minimum Kabupaten/Kota Menurut Kabupaten/Kota di Jawa
Tengah Tahun 2000 - 2017 (Rupiah).[Internet].[diunduh 2019 Mei
22].tersedia pada: https://jateng.bps.go.id/site/resultTab
[DFID] Department for International Development. 1999. Sustainable livelihoods
guidance sheets. [internet] [diakses pada 22 November 2015] diunduh
dari: <http://www.eldis.org/vfile/upload/1/document/0901/section2.pdf>.
diakses pada 22 November 2015.
[DKP] Dinas Kelautan dan Perikanan Tegal.2017. Data Jumlah kapal per-alat
tangkap ikan di Kota Tegal. Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap-DKP
Tegal.
Adger WN, Kelly PM. 2001. Social vulnerability and resilience. Di dalam: Adger
WN, Kelly PM and Nguyen HN, editor. Living with Environment
Change. London (UK): Routlegde
Agunggunanto EY. 2011. Analisis kemiskinan dan pendapatan keluarga nelayan
kasus di Kecamatan Wedung Kabupaten Demak, Jawa Tengah,
Indonesia. Jurnal Dinamika Ekonomi Pembangunan. 1(1): 50-58.
Allison EH, Ellis F. 2001. The livelihoods approach and management of small-
scale fisheries. Mar Policy.25:377–88
Allison EH. 2004.The Fisheries Sector Livelihoods and Poverty Reduction in
Eastern and Southern Africa In: Ellis F and Freeman HA, editors. Rural
ivelihoods and Poverty Reduction Policies;September 2004.
London(UK):Routledge Pr.
86

Allison EH, Horemans B. 2006. Putting Principles of the Sustainable Livelihoods


Approach into fisheries development policy and Practice.Mar
Policy.30:757-3765.
Babbie, Earl, 1989. The Practice of Social Research (Fifth Ed). Wadsworth
Publishing Company, Belmont, California.
Bandyopadhyay S, Wang L, Wijnen M.2011. Improving household survey
instruments for understanding agricultural household adaptation to
climate change: water stress and variability.LSMS-ISA Integrated
Agricultural Survey [Internet][diunduh pada 2018 Nov 11].Tersedia
pada:
http://siteresources.worldbank.org/INTSURAGRI/Resources/7420178-
1294259038276/Adaptation_to_Climate_Change_Water_Stress.pdf
Bradshaw B, Holly D, Barry S. 2004. Farm-level adaptation to climatic variability
and change: crop diversification in the Canadian prairies. Climatic
Change 67(1): 119–141.
Barnet AJ, Eakin HC. 2015. “We and us, not I and me”: Justice, social capital,
and household vulnerability in a Nova Scotia fishery. Applied Geo 59
(2015) 107e116
Biagini B, Bierbaum R, Stults M, Dobardzic S, McNeely SM.2014. A typology of
adaptation actions: A global look at climate adaptation actions financed
through the Global Environment Facility.Global Envi 25:97-108.
Béné C.2009. Are Fishers Poor or Vulnerable? Assessing Economic Vulnerability
in Small-Scale Fishing Communities. J Develop Studies. 45(6): 911-933,
DOI: 10.1080/00220380902807395
Béné C, Friend RM.2011. Poverty in small-scale fisheries: old issue, new
analysis.Progress in Dev Stud 11(2):119-144
Berrang-Ford L, Ford JD, Paterson J, 2011. Are we adapting to climate change?
Global Envi Change 21 (1) 25–33, http://dx.doi.org/10.1016/
j.gloenvcha.2010.09.012.
Berkes F. 2007. Understanding uncertainty and reducing vulnerability: lessons
from resilience thinking. Nat Hazards 9(41): 283-295. DOI 10.1007/st
1069-006-9036-7
Botero DG, Salinas AB. 2013. Assesing farmers vulnerability to climate change: a
case study in Karnataka, India.[Thesis]. Barcelona (SPN): Universitat
Autonoma de Barcelona
Can ND, Tu VH, Hoanh CT. Application of Livelihood Vulnerability Index to
assess Risks from Floos Vulnerability and Climate variability (A case
Study in the Mekong Delta of Vietnam). J of Env and Eng 2:476-486.
Charles AT. 2001. Sustainable fishery systems. Oxford[UK]. Blackwell Science
Chambers R, Conway GR. 1992. Sustainable Rural Livelihoods: Practical
Concepts for the 21 Century. IDS Discussion Paper 296. Institute of
Development Studies. Brighton
Chen C, Lopez car D, Walker BLE. A framework to asses the vulnerability of
California commercial sea urchin fishermen to the impact of MPAs
under climate change. Geo J.79:755-773.DOI: 10.1007/s10708-014-
9543-0
87

Chen C, Carr DL.2015. The importance of place: Unraveling the vulnerability of


fisherman livelihoods to the impact of marine protected areas. Applied
Geo 59
Cheung WWL, Zeller D, Pauly D.2011. Projected species shifts due to climate
change in the Canadian Ecoregions. Env Canada.2:1-46.
Chuenpagdee R., Liguori L, Palomares MLD, Pauly D. 2006. Bottom–Up, Global
Estimates of Small-scale Marine Fisheries Catches (Research Report
14(8), Fisheries Centre. Fisheries Centre. Canada [US]:University of
British Columbia. Vancouver Pr
Clay MP, Olson J. 2008. Defi i “Fishicommu ities” Vulnerability a d The
Magnuson_Steven Fishery and Management Act. Human Ecology Rev.
15(2): 143-160.
Conyer D.2008. Perencanaan Sosial di Dunia Ketiga. Yogyakarta (ID): Gadjah
Mada University Pr.
Creswell JW.2016. Research Design Pendekatan Metode Kualitatif, Kuantitatif
dan campuran.Yogyakarta (ID): Penata Aksara
Cutter SL, Barnes L, Berry M, Burton C, Evans, Tate E, Webb J.2008. A place-
based model for understanding community resilience to natural disasters.
Glob Enviro Change 18: 598-606.
deHaan L, Zoomers A. 2003. Development geography at the crossroads of
livelihood and globalization .Tijdschriftvoor Eco scene Social Ge.
94:350–362.
De Lara M, Martinet V. 2009. Multi-Criteria Dynamic Decision Under
Uncertainty: a Stochactic viability analysis and an application to
sustainable fishery management. Math Bio Sci 4(2):118-124.
Dharmawan AH. 2007. Sistem penghidupan dan nafkah pedesaan: pandangan
sosiologi nafkah (livellihood sociology) mazhab Barat dan mazhab
Bogor. [internet]. [diunduh 25 Juni 2018]. Sodality. 1(2). Tersedia
pada:http://jurnalsodality.ipb.ac.id/jurnalpdf/edisi2-1.pdf
Eakin H, Tompkins EL, Nelson DR, Anderies JM. 2009. Hidden costs and
disparate uncertainties: trade-offs involved in approaches to climate
policy. In: Adger, W.N., Lorenzoni, I., O’Brien, K. (Eds.), Adapting to
Climate Change: Limits to Adaptation. Cambridge (UK): Cambridge
University Pr.
Ellis F, Allison EH. 2001. The Livelihoods Approach and Management of Small-
scale. Fishers. Mar policy. 25: 377-388.
Ellis F.2000.Survey article household strategies and rural livelihood
diversification. The J of Develop Stud.3(1):1–38.
Fauzah AN.2014. kajian Kerentanan Iklim:Sebuah penilaian kemabali di Wilayah
pesisir Kota Semarang.J Pemb Wil & Kot 10(3):316-329.
Farrington J, Carney D, Ashley C, Turton C. 1999. Sustainable Livelihoods in
Practice: Early Applications of Concepts in Rural Areas, Natural
Resource Perspectives. pp. 1- 4. London (UK):Overseas Development
Institute Pr
Field j. 2008. Social Capital 2nd Edition. Canada [US]: Taylor & Francis e-
Library Pr.
88

Fukuyama F. 1995. Trust: The Social Virtues and the Creation of Prosperity. New
York (UK): Free Pr.
Fulton EA, Smith ADM, Smith DC, van Putten IE. 2011. Human behaviour: the
key source of uncertainty in fisheries management. Fish Fish. 12, 2–17.
http://dx.doi.org/10.1111/j.1467-2979.2010.00371.x.
Gutiérrez NL, HilbornR, Defeo O. 2011. Leadership, social capital and incentives
promote successful fisheries. Nature. 470:386–9.
Hakim L.2017. Kompetisi Alat Penangkapan Ikan di Pelabuhan Perikanan Pantai
tegalsari. [Skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor
Hahn MB, Riederer AM, Foster SO. 2009. The livelihood vulnerability index: a
pragmatic approach to assessing risks from climate variability and
change—a case study in mozambique. Glob Environ Change. 19(1), 74-
88.
Hardy PY, Bene C, Doyen L, Pereau JC, Miles D, 2013. Viability And Resilience
Of Small-Scale Fisheries Through Cooperative Arrangements. Cahiers
du GRETha. France (EU): Universi té Montesquieu Bordeaux.
Hidayat.2013. Peningkatan kapasitas kelembagaan nelayan. J Sej citra lekha
17(1): 43-58
Horton, Hunt. 1999. Sosiologi. Edisi VI. Jakarta (ID) : Erlangga.
IPCC.2001. Impacts, Adaptation, and Vulnerability. Part B: Regional Aspects.
Contribution of Working Group II to the Fifth Assessment Report of the
Intergovernmental Panel on Climate Change. Assessment Report of the
Intergovernmental Panel for Climate Change (IPCC). Cambridge [UK]:
Cambridge University Press
IPCC. 2012. In: Field CB, Barros V, Stocker TF, Qin D, Dokken DJ, Ebi, KL,
Mastrandrea MD, Mach KJ, Plattner GK, Allen SK, Tignor M, Midgley,
PM. (Eds.), Managing the Risks of Extreme Events and Disasters to
Advance Climate Change Adaptation. A Special Report of Working
Groups I and II of the Intergov- ernmental Panel on Climate Change.
Cambridge (UK):Cambridge University Pr.
IPCC. 2007. Summary for policy makers. Climate change 2007: Impacts,
adaptation and vulnerability (p. 7-22). In Parry ML, Canziani O.F,
Palutikof JP, van der Linden, PJ, & Hanson CE (eds.).Fourth Assessment
Report of the Intergovernmental Panel for Climate Change (IPCC).
Cambridge [UK]: Cambridge University Press
IPCC. 2014: Climate Change 2014: Impacts, Adaptation, and Vulnerability. Part
B: Regional Aspects. Contribution of Working Group II to the Fifth
Assessment Report of the Intergovernmental Panel on Climate Change
pp.688. In Barros VR CB, Field DJ, Dokken MD, Mastrandrea KJ, Mach
TE, and LLWhite (eds.). Mitigation of Climate Change. Cambridge
[UK]: Cambridge University Press
Jazairy I, Alamgir M, Panuccio T. 1992. The State of World Rural Poverty: An
Inquiry Into Its Causes and Consequences .New York (UK). New York
University IFAD Pr.
Gravitiani E, Fitriana SN dan Suryanto.2017. Community Livelihood
Vulnerability Level in Northern and Southern Coastal Area of java,
89

Indonesia. IOP Conf.Ser.Earth Environ Sci. doi :10.1088/1755-


1315/202/1/012050
Imron M, Manan MA. 2009. Strategi Nelayan Dalam Peningkatan
Kesejahteraan: Alternatif, Kendala dan Dukungan Kebijakan. Jakarta
(ID): LIPI - Pusat Penelitian Kemasyarakatan dan Kebudayaan.
Islam MM, Sallu S, Huback K dan Paavola J.2014. Vulnerability of fishery-based
livelihood to the impacts of climate variability and change:insight from
coastal Bangladesh. Reg Environ Change. 14:281-294. DOI:
10.1007/s10113-0847-6.
Jazairy I, Alamgir M, Panuccio T. 1992. The State of World Rural Poverty: An
Inquiry Into Its Causes and Consequences .New York (UK). New York
University IFAD Pr.
[KKP] kementerian kelautan dan perikanan. 2011. Keputusan menteri Kelautan
dan perikanan no 45 tahun 2011. Estimasi Potensi Sumber Daya Ikan di
Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia. Republik
Indonesia.
Kinseng RA.2007. Konflik-Konflik Sumberdaya Alam di Kalangan Nelayan
Indonesia.Sodality 1(1):87-104.
Kinseng RA. 2014. Konflik Nelayan. Jakarta [ID]: Yayasan Obor Indonesia.
Kinseng RA, Sjaf S, Sihaloho M. 2013. Kelas, Pendapatan, dan Kesadaran Kelas.
Di dalam: Masyarakat Maritim Indonesia: Kendala, Peluang dan
Tantangan Perkembangan. Konferensi Nasional Sosiologi II; 2013 Nov
12-14; Makassar, Indonesia. Makassar (ID): APSSI.348-364.
Kurniasari N dan Yuliaty C. 2014. Tipologi sosial budaya masyarakat nelayan di
negeri latuhalat, Ambon Buletin Riset Sosek Kelautan dan Perikanan
9(1):9-15
Kusnadi. 2003. Akar Kemiskinan Nelayan. Yogyakarta (ID): LKiS Pelangi
Aksara.148 hlm.
Kolopaking, LM, Adiwibowo S, Pranowo MB. 2014. Adaptasi Perubahan Iklim
dan Resiliensi Komunitas Desa Nelayan: Studi Kasus di Kawasan Pesisir
Utara Pulau Ambon, Maluku. Int J Indonesian Soc Culture. 6(1)
Kusumartono HFX, Sapei A, Dharmawan AH dan Anna Z.2015. Formulasi
Indeks Kerentanan Untuk Pemenuhan Kebutuhan Air Bersih Pulau Kecil
(Studi kasus: Provinsi Nusa tenggara Timur). J Sosek Pekerjaan Umum
7(2): 78-139
Liverman D. 2007. Assesing impacts, adaptation and vulnerability: Reflection on
the Working Group II Report of the Intergovermental Panel on Climate
Change. London [UK]: Oxford University.
Makoka D, Kaplan M.2005. Poverty and Vulnerability-an Interdisciplinary
Approach.MPRA Munich Personal RePEc Archieve [Internet].[diunduh
2019 Mei 20].tersedia pada: http://mpra.ub.uni-muenchen.de/6964/
Manlosa AO, Hanspach J, Schultner J, Dorresteijn I dan Fischer J.2019.
Livelihood strategies, capital assets, and food security in rural Southwest
Ethiopia. Food Security 11:167–181.
Mc Leod JD, Kessler RC.1990. Socioeconomic Status Differences in
Vulnerability to Undesirable Life Events. J Health and Soc Behav 31:
162-172
90

Medugu IN, Majid MR.2014. Assessing the vulnerability of farmers, fishermen


and herdsmen to climate change: a case study from Nigeria. Int J. Glob
warming (6)1: 1-14
Micklin M, Poston DL. 1998. Continuities In Sociological Human Ecology. New
York (UK):Plenum Pr.
Mirajiani, Wahyuni Eka S, Satria A, Saharuddin, Kusumastanto T.2014.
Transformasi pranata patronase masyarakat nelayan dari ekonomi
moralitas menuju ekonomi pasar. Jurnal Komunitas (6)1:115-134.
Mills DJ, Neme C, Ovie S, Tafida A, Sinaba F, Kodio A, Russel A, Andrew N,
Morand P, Lemoalle J.2011. Field report: Vulnerability in African Small
Scale Fishing Communities.J. Int. Develop.23:308-313.DOI:
10.1002/jid.1638
Monaco C, Soltanpour Y, Peri I.2017. Defining small-scale fisheries from a social
perspective.Quality-Acces to Success [Internet].[diunduh 2018
November 4].tersedia pada:
https://www.researchgate.net/publication/316244046
Munga CN, Kimani E, Vanreusel E.2013 Ecological and socio-economic
assessment of Kenyan coastal fisheries: the case of Malindi-Ungwana
Bay artisanal fisheries versus semi-industrial bottom trawling. Afrika
Focus 26(2): 151-164
Nenadovic M dan Epstein G. 2016 The relationship of social capital and fishers
participation in multi-level governance arrangements. Environ Sci Policy
61: 77-86
Panutun, Dinda T, Munandar MA, Handoyo E.2013. Peranan KUD Mina Karya
dalam Meningkatakan kesejahteraan masyarakat nelayan di Kota Tegal.
UCEJ(2)2:25-32
Pauly D. 1997. Small-scale fisheries in the tropics: marginality, marginalisation,
and some implications for fisheries management. In: Pikitch EK,
Huppert DD, Sissenwine MP. editors. Global trends: fisheries
management. Bethesda, Maryland (UK): American Fisheries Society Pr.
40–9.
Pearlin LJ, Schooler C. 1978. The structure of coping. J Health and Soc Behav
19:2-21.
Persakaputra A.2018. Mekanisme Adaptasi Nelayan dalam Menghadapi
Variabilitas Iklim (Studi kasus: Desa Samadikun, Kecamatan Kejaksan,
Kota Cirebon, Provinsi Jawa Barat). [Skripsi]. Bogor (ID).IPB
Platteau JP. 1989. The dynamics of fisheries development in developing
countries: a general overview. Develop Change. 20:565–97.
Pretty J.2003. Social capital and the collective management of
resources.Sci.302:1912–4.
[PERMEN-KP] Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 2 Tahun 2015.
Rakhmanda A, Suadi, Djasmani SS.2018. Peran Kelompok Nelayan Dalam
Perkembangan Perikanan Di Pantai Sadeng Kabupaten Gunungkidul.
Sodality J Sos Ped 6(2):94-104.
Ritzer G.2012. Teori Sosiologi Dari Sosiologi Klasik Sampai Perkembangan
Terakhir Postmodern. Pasaribu S, Widada Rh, Nugraha EA, penerjemah;
91

Djohar WA, editor.Jakarta(ID): Pustaka PelajarTerjemahan dari: Eighth


Edition Sociological Theory.
Rohayati.2017.Pengaruh Kebijakan Pelarangan Alat Tangkap Cantrang dan
Modal Sosial Terhadap Kemiskinan Nelayan di Kota Tegal. [Tesis]. Bogor
(ID). IPB.
Sakuntaladewi N, Sylviani.2014. Kerentanan dan upaya adaptasi masyarakat
Pesisir Terhadap perubahan iklim. J Pen Sosek Kehut. (11)4: 281 – 293.
Satria A. 2015. Pengantar Sosiologi Masyarakat Pesisir. Jakarta (ID): Yayasan
Pustaka Obor Indonesia
Schneider SH. 2007. Dalam Parry ML, Canziani OF, Palutikof JP, Van der linden
PJ, Hanson CE (Eds). Climate Change. 2007. Impacts, adatation, and
vulnerability. Contribution of Working Group II to the Fourth
Assessment Report of the Intergovernmental Panel on Climate Change.
Cambridge (UK): Cambridge Univ Pr. pp 779-810.
Scoones I, 2015. Sustainable livelihood and rural development. UK: Practical
action publishing Ltd
Scotts JC. 1976. The Moral Economy of the Peasant: Rebellion and Subsistence in
Southeast Asia. New Haven [US]: University Press.
Schulte DF, Gorris P, Baitoningsih W, Adhuri DS, dan Ferse SCA. 2015.Coastal
livelihood vulnerability to marine resource degradation: A review of the
Indonesian national coastal and marine policy framework . Mar Policy.
Shah KU, Dulal HB, Johnson C, Baptise A. 2013. Understansing livelihood
vulnerability to climate change: applying the livelihood vulnerability
index in Trinidad and Tobago. Geoforum 47(2013) 125-137. [Internet].
[Dikutip 2 Agustus 2018]. Diunduh di:
http://dx.doi.org/10.1016/j.geoforum.2013.04.004
SK Gubernur Jawa Tengah no 560/66 Tahun 2015 tanggal 20 November 2015
tentang Daftar Upah Minimum di 35 Kabupaten/Kota Tahun 2016
Provinsi Jawa Tengah
Smit B, Wandel J. 2006. Adaptation, adaptive capacity and vulnerability. Glob
Envi Change-Hum Pol Dimensions 16, 282–292,
http://dx.doi.org/10.1016/j.gloenvcha.2006.03.008.
Soekanto S. 2006. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta (ID): PT Raja Grafindo
Persada
Speranza CI, Wiesmann U, Rist S. 2014. An indivator framework for assessing
livelihood resilience in the context of social-ecological dynamics. Glob
Envi Change 28 (2014) 109–119
Standford RJ, Wiryawan B, Bengen DG, Febriamansyah R dan Haluan J.2014.
Improving livelihoods in fishing communities of West Sumatra: More
than just boats and machines. Mar Policy 45:16-25
Standford RJ, Wiryawan B, Bengen DG, Febrimansyah R dan Haluan J.2015. The
fisheries livelihoods resilience check (FLIRES check): A tool for
evaluating resilience in fisher communities. Fish and Fisheries. DOI:
10.1111/faf.12220
Staples D, Satia B, Gardiner PR. 2004. A Research Agenda For Small-Scale
Fisheries. Bangkok (TH): FAO of UN Regional Office for Asia and the
Pacific.
92

Sudharmo AP.2016.Pengelolaan perikanan Pantai di Kota tegal berdasarkan


persepsi Nelayan Skala Kecil.[Disertasi]. Bogor (ID): Institut Pertanian
Bogor
Sujakhu NM, Rantjitkar S, Niraula RR, Salim MA, Nizami A, Vogt DS dan Xu
J.2017. Determinants of livelihood vulnerability in farming communities
in two sites in the Asian Highlands. Water Int 42(2): 165-182.
https://doi.org/10.1080/02508060.2017.1416445
Sullivan C. 2002. Calculating a water poverty index. World Develop. 30:1195–
1210.
The LCL, Sumaila UR. 2013. Contribution of marine fisheries to worldwide
employment. Fish Fish. 14. 77–88. http://dx.doi.org/10.1111/j.1467-
2979.2011.00450.x.
Thornton PK, Ericksen PJ, Herrero M dan Challinor A J. 2014. Climate
Variability and Vulnerability to Climate Change: A Review. Glob change
biol 20(11):3313-3328.
Tipyan C, Udon FM. 2014. Dynamic Livelihood Strategics of Fishery
Communities in Ban Don Bay, Surrathani Thailand. Int J Asian Social
Sci. 4(11), 1126-1138.
Trimble M, Johnson D. 2013. Artisanal fishing as an undesirable way of life?: The
implication for governance of fishers' well being aspirations in coastal
Uruguay and southeastern Brazil. Mar Policy. 37: 37-44
Turner BL, Roger E, Kasperson, Matsone PA, McCarthy JJ, Corell RW,
Christensen L, Eckley N, Kasperson JX, Luers A, Martello ML, Polsky
C, Pulsipher A, Schiller A. 2003. A Framework For Vulnerability
Analysis In Sustainability Science. Proceed. Natl. Acad. Sci. 100:8074–
8079
Turton C.2000. Enhancing Livelihoods Through Participatory Watershed
Development In India. [internet] [diakses pada 22 Juli 2018] diunduh
dari:
http://www.fao.org/forestry/117425b60efb2faaa9b44869903e92486360e.
pdf
Vatria B, Wiryawan B, Wiyono ES, Baskoro MS.2019. The resilience of small
fishermen's livelihood in Maya Island Indonesia; a case study on purse
seine capture fisheries.AACL Bioflux 2(1):310-320
Vibrianti D. 2014. Kondisi sosial ekonomi dan pemberdayaan nelayan tangkap
kota tegal, jawa tengah. J. Kependuduk Indones. 9(1):45-58
Vincent K. 2004. Creating an index of social vulnerability to climate change for
Africa. Working Paper 56, Tyndall Centre for Climate Change Research
and School of Environmental Sciences. University of East Anglia
Vincent IF, Frempong FA.2017. Social vulnerability of small scale coastal
fisher’s livelihood to climate change. Int.J.Hum. Capital Urban manage
2(3):171-180.DOI: 10.22034/ijhcum.2017.02.03.001
Widodo S. 2009. Strategi nafkah rumah tangga nelayan dalam menghadapi
kemiskinan. J Kelautan. 2(2):150-157.
93

LAMPIRAN

1. Dokumentasi Penelitian di Lapang

Proses wawancara responden (nelayan Kelurahan Muarareja)

Kapal nelayan di Kelurahan Muarareja

Istri Nelayan Membantu Proses Bongkar


94

Nelayan memperbaiki jaring arad

Warung milik salah satu nelayan

Istri nelayan buruh membersihkan ikan untuk ikan asin


95

Kuisioner Penelitian

Analisis Kerentanan Penghidupan Rumahtangga Nelayan di Kota Tegal


IDENTITAS DAN SEKILAS INFO RESPONDEN
1. Nama dan identitas keluarga responden:
Kedudukan Pekerjaan
Na L/ Umur Pendid Lama menjadi
No (Juragan/ABK Pok Sampingan (Boleh
ma P (tahun) ikan nelayan
. /Tekong) ok lebih dari satu)

2. Pekerjaan Orang tua :


Ayah Ibu
 Nelayan Buruh Buruh
 Tani Lainnya Lainnya
USAHA PENANGKAPAN/LAPISAN SOSIAL NELAYAN
3. Kepemilikan alat tangkap :
Status
No Jenis Alat Jenis/mesh size/ GT Jml. Kepemili
kan
1. Kapal
2. Mesin Kapal
3.
Keterangan: Informasi pembelian baru atau bekas perlu ditanyakan
4. Biaya penangkapan ikan untuk sekali melaut dan siapa yang menanggung?
Biaya Penangkapan (Rp per Trip)
Komponen Tempat pembelian
Jumlah Harga Total (rumah, kampung, desa,
biaya
(satuan) satuan Biaya kecamatan, kabupaten)
BBM
Es
Perbekalan
Tenaga
Kerja
96

5. Bagaimana cara nelayan menentukan fishing ground (FG) sebelum melakukan


operasi penangkapan? (mengikuti kebiasaan/ informasi dari nelayan lain/
lainnya)
..............................................................................................................................
6. FG mana yang paling sering Bapak kunjungi? Mengapa? Apakah ada
perubahan?
..............................................................................................................................
7. Sebutkan FG terjauh yang pernah dicapai oleh nelayan!
..............................................................................................................................
8. Sebutkan FG yang didatangi oleh nelayan:
No Nama FG Jarak dari FB*) Jenis Ikan target yang
(mil)**) tertangkap

*) FG: fishing ground, FB: fishing base


**) Bila satuannya jam, sebutkan kecepatan rata-rata mesin kapal yang
digunakan
9. Berapa kali melaut dalam satu bulan? Apakah melaut sepanjang tahun?
..............................................................................................................................
10. Waktu melaut/trip, ……… (hari/bulan), dan bulan apa saja musim
ikan/melaut, bulan …. ………… s/d bulan …………..……………
11. Berapa hasil tangkapan ikan rata-rata (saat musim)………… dan berapa saat
tidak musim (satuan dalam kg atau ekor),
............................................................................................................................
12. Alat tangkap apa yang dibawa saat melaut?
.............................................................................................................................
13. Dimana Bapak biasanya menjual hasil tangkapan:
 TPI 
14. Bagaimana cara pembayaran (tunai, dibayar hari berikutnya, dst)?
.............................................................................................................................
97

LIVELIHOOD VULNERABILITY INDEX (LVI)


1. Keterpaparan
Dampak Sosial Ekonomi Ekologi Ya Tidak (1)
(2)
16 Apakah Bapak merasakan terjadinya penurunan hasil
tangkapan dalam satu tahun terakhir ini?
18 Apakah menurut Bapak telah terjadi kerusakan
ekosistem di wilayah fising ground?
19 Apakah lokasi/wilayah fishing ground Bapak semakin
jauh?
20 Apakah Bapak pernah mengalami konflik dengan
nelayan lain?
21 Apakah ada tekanan/ ancaman yang menyebabkan
konflik dengan nelayan besar?
22 Apakah peningkatan populasi nelayan membuat Bapak
susah mencari lokasi fishing Ground (berebut)?
23 Apakah Bapak mengalami kesulitan ketika harga BBM
naik?

2. Adaptif
Alam Ya (2) Tidak
(1)
25 Apakah Bapak pernah melaut lebih jau dari biasanya
(normalnya)?
26 Apakah Bapak pernah melaut lebih lama dari biasanya
(normalnya)?
Manusia Ya (2) Tidak
(1)
27 Apakah anggota keluarga yang bekerja lebih dari satu
orang?
28 Adakah anggota keluarga yang bekerja selain sebagai
nelayan?
29 Apakah nelayan adalah pekerjaan utama/pokok?
30 Apakah Usia dibawah 50 tahun?
31 Apakah Bapak sudah melaut lebih dari 10 tahun?
32 Apakah Bapak memiliki pekerjaan sampingan?
33 Apakah ada peluang kerja lain selain nelayan?
Fisik Ya (2) Tidak
(1)
34 Apakah memiliki alat tangkap >1 jenis?
35 Apakah Bapak memiliki handphone, Televisi/Radio?
(bisa salahsatu)
98

36 Apakah Bapak mengkases/ memanfaatkan TPI untuk


menjual hasil tangkapan ¿
Finansial Ya (2) Tidak
(1)
37 Apakah Bapak memiliki tabungan?
38 Apakah bapak ada sumber pendapatan lain selain dari
melaut?
39 Apakah bapak mendapatkan bantuan paceklik?
40 Apakah Bapak mendapatkan kiriman uang dari anak
Bapak atau saudara yang bekerja di perantauan?
41 Apakah sebagian modal Bapak berasal dari
pinjaman/Hutang?
Sosial Ya (2) Tidak
(1)
42 Apakah Bapak memiliki hutang dengan nelayan lain?
43. Apakah hubungan sosial antar nelayan (pemilik dan
ABK dan atau nelayan lain) cukup baik atau saling
menguntungkan bagi Bapak?
44 Apakah Bapak ikut tergabung dalam kelompok
nelayan?

3. Sensitivitas
Pangan Ya Tidak (1)
(2)
45 Apakah Bapak menjual langsung semua hasil
tangkapan Bapak untuk memenuhi kebutuhan pokok
sehari-hari (makan)?
46 Apakah Sebagian hasil tangkapan yang bapak
dapatkan selalu disisihkan untuk lauk makan sehari-
hari?
Teknologi Ya Tidak (1)
(2)
49 Apakah Kapal yang Bapak miliki merupakan hasil
pinjaman Bank?
50 Apakah saat ini Bapak merasa kesulitan dalam mencari
ABK
51 Apakah Bapak akhir akhir ini pernah berebut lokasi
tangkapan (sama-sama mencari ikan di lokasi yang
sama)
99

Strategi Penghidupan Nelayan


A. Mohon identifikasi aspek-aspek berikut pada tiap responden:
Bagaimana ketersediaan dan akses terhadap sumberdaya berikut dan Berikan
penilaian saudara dengan nilai 1 sampai 3 untuk kondisi/ketersediaan
sumberdaya pada Tabel. Angka 1 menunjukan tidak tersedia, tidak ada akses dan
kondisi buruk, angka 2 menunjukkan tersedia namun akses dan kondisi buruk dan
angka 3 menunjukkan tersedia, akses mudah dan kondisi baik.
a. Modal/Aset fisik (modal dasar secara fisik yang memudahkan
masyarakat untuk beraktivitas dan mendukung pertumbuhan
Kondisi/
No. Jenis asset Akses Jumlah
Ketersediaan
52 Saranan transportasi
53 Sarana/fasilitas kesehatan umum
54 Sarana komunikasi
55 Tempat pelalangan ikan
56 Pabrik/agen es
57 Sarana pengolahan ikan
58 Kepemilikan kapal
59 Pendaratan ikan
60 Lainnya, sebutkan…….
ekonominya)

b. Modal/Aset finansial (modal finansial yang memudahkan masyarakat


untuk berusaha baik untuk investasi maupun penyediaan modal kerja,
termasuk untuk memenuhi kebutuhan hidup)
Kondisi/ Keterangan
No. Jenis asset
Ketersediaan (jmlh)
61. Pendapatan per trip
62 Tabungan
63 Kiriman
64 Pinjaman/kredit/hutang
65 Simpanan emas
Lembaga keuangan formal (bank/
66 koperasi/lainnya)
Lembaga keuangan informal (bank
67 plecit/rentenir/lainnya)
Aset yang dapat dikonversi menjadi uang,
68 seperti ternak/sawah
100

c. Modal manusia (modal yang meliputi keterampilan, pengetahuan dan


keahlian untuk memudahkan untuk melakukan berbagai alternative
kegiatan pememenuhan kebutuhan hidup)
Kondisi/
No. Jenis asset Ket (Jmlh..)
Ketersediaan
69 Tingkat pendidikan formal
Keterampilan khusus pada bidang
70 pekerjaan
Program pendidikan dan pelatihan
71 dari pemerintah
72 Status kesehatan
Keterampilan lain di luar bidang
73 pekerjaan
74 Kemampuan baca tulis
75 Tingkat pendidikan anak-anak
Ragam keterampilan yang
76 dimililiki istri
Ragam keterampilan yang anak
77 perempuan

d. Modal sosial (modal yang meliputi tata aturan local, jaringan, pola
hubungan saling kepercayaan serta hubungan timbal balik yang
memungkinkan orang bekerja sama)
Kondisi/ Ket
No. Jenis modal
Ketersediaan
Tata aturan local dalam pengelolaan
78 sumberdaya alam/ikan
Perkumpulan/kelompok
79 nelayan/pengolah
80 Bantuan pemerintah/institusi
81 Koperasi nelayan
82 Hubungan antar nelayan/masyarakat
83 Hubungan antar kerabat

e. Modal/Aset alam (Ketersediaan sumberdaya alam untuk mendukung


kehidupan sehari-hari)
Kondisi/ Ket
No. Jenis asset
Ketersediaan
87. Air Bersih
88 Lahan/sawah/tambak
89 Sumberdaya ikan
90 Lingkungan/pantai yang terjaga
91 Ternak
92 Lainnya, sebutkan…….
101

93. Bagaimana strategi menghadapi permasalahan baik penurunan hasil


tangkapan ?
a. Intensifikasi (penambahan atau modifikasi alat tangkap, kapal, waktu)
b. Ekstensifikasi (menambah jangkauan daerah penangkapan)
c. Diversifikasi pekerjaan : ……………
d. Migrasi : …………...
e. Lainnya: …………...

SRUKTUR NAFKAH/PENGHIDUPAN NELAYAN


94. Struktur Nafkah rumah tangga nelayan
Sumber Total Total Total Harg Modal Total Total
Pendapat Tangkap Tangkap tangkapan a operasional/b Pendapat Penerima
an an Per an yang yang Satu iaya an (Rp) an (Rp)
Trip dijual dikonsumsi/a an produksi+
(Kg) (kg) fkir (kg) Rp/k upah ABK
g (Rp)
Jenis a b c d e=(a+b)x f = e-c
ikan c
target
a. Perikanan (hasil tangkapan per trip /tahun)

Sumber Pendapatan Jumlah Penghasilan Pendapatan


bulan dalam per bulan (Rp) (Rp)
setahun
a b c = bxc
b. Non Farm (dihitung dalam setahun)
Upah kerja minimal (PNS,
buruh, karyawan)
Berdagang (warung makan, toko
sembako, toko alat penakapan
ikan, lainnya)
Jasa (Bengkel, becak, Ojek)
Kiriman uang dari anggota
keluarga yg bekerja diluar daerah
Bantuan dari pihak lain
(pemerintah/swasta

Non Farm: Kegiatan yang diluar usaha tani


102

Struktur Pengeluaran (dalam Satu Tahun)


Jenis Pengeluaran Jumlah Pengeluaran per Pengeluaran Per
Bulan Bulan (Rp) Tahun (Rp)
a. Pangan
Beras
Sayur mayur
Lauk Pauk
b. Energi
Listrik
Keperluan
Pendidikan
Sosial
Hajatan
Kegiatan
masyarakat
Air Bersih
Kesehatan

TIPOLOGI ADAPTASI NELAYAN

95. Apakah yang Bapak lakukan ketika perubahan musim dan penurunan hasil
tangkapan?
96. Apakah yang bapak lakukan ketika harga modal produksi mengalami
kenaikan? (harga BBM,sarana prasana penangkapan ikan)
97. Apakah jenis Konflik sosial yang sering terjadi atau yang Bapak alami?
98. Apakah kelompok Nelayan dan atau koperasi unit desa yang ada
memberikan dampak positif bagi usaha perikanan Bapak, membantu
mengurangi/mneyelesaikan permasalahan terkait usaha penangkapan ikan
yang Bapak lakukan?
103

RIWAYAT HIDUP
Penulis bernama lengkap Zulfa Nur Auliatun Nissa’ dilahirkan di
Palangkaraya pada tanggal 20 Maret 1995. Penulis adalah anak kedua dari tiga
bersaudara dari ayah Sukar Suatmadjie dan Murti Hanik. Pada tahun 2012,
penulis lulus dari SMA Negeri 1 Wuryantoro dan pada tahun yang sama lulus
seleksi masuk Universitas Gadjah Mada (UGM) melalui jalur Undangan Seleksi
Masuk UGM dengan Beasiswa Bidik Misi dan diterima di Departemen Perikanan,
Fakultas Pertanian. Setelah menempuh pendidikan empat tahun, penulis
melanjutkan studi di Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor, tepatnya pada
Program Studi Sosiologi Pedesaan dengan Beasiswa DAAD SEARCA (Southeast
Regional Center for Graduate Study and Research in Agriculture)
Selama mengikuti perkuliahan, penulis juga aktif sebagai Staf Departemen
Keilmuan Klinik Agromina Bahari (KAB Pertanian) 2012-2014, Kepala
Departemen Media, Informasi dan Opini Keluarga Mahasiswa Muslim Pertanian
(KMMP) masa kepengurusan 2013-2014 dan beberapa kepanitiaan seperti
Seminar Nasional Perikanan ke 13 sebagai editor prosiding. Selain itu penulis
juga menjadi asisten praktikum untuk Mata Kuliah Avertebrata Air, Iktiologi,
Biologi Laut, Fisiologi Hewan Air, Manajanemen Sumberdaya Perikanan. Karya
ilmiah yang berjudul Livelihood Analysis of Floating Net cages Fish farmers at
Sendang Village Sub-district of Gajah Mungkur Reservoir of Wonogiri Regency
telah disajikan pada event 2nd International Symposium Marine and Fisheries
(ISMFR) di Yogyakarta tahun 2017 dan diterbitkan pada IOP Conference Series:
Earth and Environmental Science Volume 139, Issue 1 tahun 2018 dan karya
ilmiah yang berjudul Vulnerability livelihood analysis of floating net cages fish
farmers of Gajah Mungkur Reservoir telah disajikan event 4th RSAA Regional
Conference on Food Security Climate Change and Poverty Reduction: Initiatives
towards Sustainable Agriculture and Resilient Communities in Southeast Asia di
Los Banos, Philippines. Selain itu juga, karya ilmiah yang merupakan bagian dari
tesis ini yang berjudul Vulnerability Analysis of Small Household Foshermens’s
in Tegal City akan diterbitkan pada Jurnal Komunitas: International journal of
Indonesian society and culture volume 11 edisi 2 tahun 2019.

Anda mungkin juga menyukai