SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2019
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER
INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
ANALISIS KERENTANAN PENGHIDUPAN RUMAH
TANGGA NELAYAN DI KOTA TEGAL
Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Sosiologi Pedesaan
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2019
x
Disetujui oleh
Komisi Pembimbing
Diketahui oleh
Puji dan syukur penulis ucapkan kepada Allah SWT yang telah
melimpahkan rahmat-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan Proposal
Penelitian berjudul “Analisis Kerentanan Penghidupan Rumah Tangga Nelayan di
KotaTegal” ini dengan baik. Penulisan proposal penelitian ini ditujukan untuk
memenuhi syarat pengambilan data lapang dan tesis di Program Studi Sosiologi
Pedesaan, Fakultas Ekologi Manusia, Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian
Bogor.
Penulis menyadari bahwa Proposal Penelitian ini dapat terselesaikan
dengan baik karena dukungan dan bantuan dari berbagai pihak. Pada kesempatan
ini, penulis mengucapkan terima kasih kepada:
1. Bapak Dr. Ir. Arya Hadi Dharmawan, MSc. Agr. selaku ketua komisi
pembimbing dan Bapak Dr. Ir. Saharuddin, MS selaku anggota komisi
pembimbing yang telah memberikan saran, kritik, koreksi, dan semangat
selama proses penulisan hingga penyelesaian tesis ini.
2. Bapak Dr. Ir. Rilus A. Kinseng, MA selaku penguji luar komisi yang telah
memberikan kritik, saran, koreksi pada tesis ini.
3. Bapak Sukar Suatmadjie dan Ibu Murti Hanik selaku orangtua dan seluruh
keluarga yang selalu memberikan saran, dukungan dan doa yang sangat
bermanfaat untuk penulis dalam menyelesaikan tesis ini
4. Zulfi Nur Amrina Rosyada, Asnika Putri Simanjuntak dan teman- teman
terdekat yang selalu berada di sekitar penulis
5. Kepada mahasiswa Program Studi Sosiologi Pedesaan angkatan 2017 yang
menemani dalam proses perkuliahan dan memberikan banyak kenangan
serta pengalaman berharga selama dua tahun ini
6. Kepada Mrs. Maria Christeta Cuaresema, Mr. Henrike Schmitz dan Mrs.
Zacyl R.Jalotjot dan Beasiswa DAAD SEAMEO SEARCA yang telah
mendukung dan mendanai penelitian ini.
Penulis mengetahui bahwa proposal penelitian ini belum sempurna,
sehingga kritik dan saran yang membangun sangat diharapkan.
DAFTAR ISI
Ikhtisar 49
8. STRUKTUR LIVELIHOOD RUMAHTANGGA NELAYAN 51
Struktur Pendapatan Rumahtangga Nelayan di Kelurahan Muarareja 51
Struktur Pengeluaran Rumahtangga Nelayan 53
Ikhtisar 55
9. STRATEGI PENGHIDUPAN NELAYAN SEBAGAI RESPON TERHADAP
TINGKAT KERENTANAN YANG DIHADAPI 57
Strategi Penghidupan Berbasis Lima Modal Nafkah Rumahtangga Nelayan 57
Analisis Strategi Penghidupan Rumahtangga Nelayan 63
10. TIPOLOGI ADAPTASI RUMAHTANGGA NELAYAN 66
Tipe Adaptasi Rumahtangga Nelayan di Kelurahan Muarareja, Kota Tegal 66
Adaptasi Organisasional Rumahtangga nelayan 66
Adaptasi Teknologi 69
Adaptasi Kelambagaan Kolektif 70
Ikhtisar 72
11. KONSEPTUALISASI GAGASAN SOSIOLOGI KERENTANAN
RUMAHTANGGA NELAYAN DI KOTA TEGAL 73
12. SIMPULAN DAN SARAN 83
DAFTAR PUSTAKA 85
LAMPIRAN 93
Dokumentasi Penelitian di Lapang 93
Kuisioner Penelitian 95
RIWAYAT HIDUP 103
xv
DAFTAR TABEL
DAFTAR GAMBAR
DAFTAR BOX
DAFTAR LAMPIRAN
1. PENDAHULUAN
Latar Belakang
(BPS) tahun 2017, penduduk miskin di Indonesia mencapai 26.58 juta jiwa dan
61.36% di antaranya adalah masyarakat yang hidup di kawasan pesisir dan
pedesaan. Namun, dalam konteks penyediaan pangan, 80% konsumsi perikanan
dalam negeri, di penuhi oleh perikanan skala kecil. Menurut Bappenas (2013)
89.45% dari total armada tangkap Indonesia tahun 2011 masih didominasi oleh
nelayan dengan kapal <5GT. Oleh karena itu, Perikanan tangkap nasional masih
dicirikan dengan perikanan tangkap skala kecil.
Pollnac (1988) dalam Satria et al. (2015) menyatakan bahwa ciri nelayan
skala kecil adalah memiliki daerah operasi penangkapan ikan terbatas, dekat
dengan pantai, dan bersifat padat karya. Sebagian besar penelitian perikanan skala
kecil di negara berkembang pun menekankan bahwa nelayan sangat bergantung
pada sumber daya dan sifat open access perikanan yang bersama-sama
menyebabkan degradasi sumber daya, kemiskinan dan marginalisasi. Mengutip
penyataan Allison and Ellis (2001):
Small-scale fisheries are frequently characterised as ‘‘the occupation
of last resort’’ and fisherfolk as ‘‘the poorest of the poor’’
Perikanan skala kecil sering dicirikan sebagai pendudukan kelas bawah dan
nelayan sebagai orang termiskin dari yang miskin (Platteau 1989; Pauly 1997;
Charles 2001; Allison dan Ellis 2001). Selain itu, permasalahan usaha perikanan
skala kecil (nelayan tradisional dan nelayan) diantaranya kinerja ekonomi rendah;
ketidakmampuan untuk komunitas nelayan (Small Scale Fisheries/SSF) untuk
mempertahankan sebagian besar manfaat dari perikanan; tingkat kemiskinan yang
tinggi dan tekanan dari globalisasi, termasuk tantangan global seperti perubahan
iklim (Chuenpagdee et al. 2006). Perlu diketahui bahwa sektor perikanan rentan
terhadap ketidakpastian karena lingkungan, kelembagaan, perubahan ekonomi dan
sosial yang tidak dapat dengan mudah diramalkan atau ditentukan (Fulton et al.
2011; Teh dan Sumaila 2013). Nelayan skala kecil biasanya miskin dan
kekurangan peluang kerja alternatif; sehingga mereka dipaksa untuk melanjutkan
melaut/menangkap ikan, bahkan ketika sumberdaya ikan menurun drastis akibat
overfishing/penangkapan berlebih. Nelayan biasanya juga tidak memiliki lahan
pertanian yang dijadikannya sebagai alternatif. Oleh karena itu ketika dihadapkan
pada penurunan tangkapan, mendorong mereka untuk melakukan penghancuran
sumber daya secara besar-besaran untuk memenuhi kebutuhan mereka, terlebih
kebutuhan mendesak. Kondisi tersebut dikenal dengan sebutan Malthusian
Overfishing (Pauly 1997; Chuenpagdee 2012).
Pada 2011, Kementrian Kelautan dan Perikanan (KKP) mengeluarkan
keputusan (Kep.45/Men/2011) untuk menilai status kelautan sumber daya
perikanan dalam sebelas daerah manajemen perikanan Indonesia (Wilayah
Pengelolaan Perikanan). Hasilnya menunjukkan dengan jelas adanya tanda - tanda
eksploitasi berlebihan (didefinisikan sebagai tingkat penangkapan yang lebih tinggi
daripada hasil maksimum lestari/ Maximum Sustainable Yield (MSY) di semua
area manajemen (KKP 2011). Penangkapan berlebih sering diakibatkan karena 1)
penggunaan teknik penagkapan, alat tangkap dengan ukuran mata jaring yang tidak
disetujui oleh pemerintah; 2) penggunaan alat tangkap yang digunakan untuk
menangkap jenis ikan dilindungi; 3) penggunaan alat tangkap yang menghancurkan
basis sumber daya dan penggunaan teknik destruktif (Chuenpagdee, 2012). Oleh
karena itu, Kementrian Kelautan dan Perikanan (KKP) kembali mengeluarkan
3
peraturan no 71 tahun 2016 tentang alat tangkap dan jalur penangkapan. Larangan
penggunaan pukat hela dan pukat tarik ini dikeluarkan dengan pertimbangan
bahwa penggunaan alat tersebut di WPP RI telah mengakibatkan menurunnya
sumber daya ikan dan mengancam kelestarian lingkungan sumber daya ikan.
Peraturan tersebut hingga saat ini masih menjadi polemik karena pihak nelayan
yang merasa dirugikan oleh peraturan tersebut banyak melakukan aksi protes.
Rohayati (2016) mengutip WWF menyebutkan bahwa
“pada faktanya nelayan sering dijadikan tameng oleh nelayan besar bahkan
perusahaan besar untuk alasan menolak peraturan tersebut”.
Sementara itu hingga saat ini nelayan besar masih tetap menggunakan alat
tangkap yang termasuk dilarang tersebut, walaupun peraturan tersebut telah
dikeluarkan. Hal tersebut tentu sangat menyudutkan kondisi nelayan.
Berdasarkan permasalahan yang dihadapi oleh nelayan seperti yang telah
diuraikan tersebut tentunya menjadi suatu tekanan/guncangan tersendiri pada
sistem penghidupan rumah tangga nelayan yang menyebabkan penghidupan
nelayan semakin rentan. Beberapa dampak dan permasalahan tersebut dianggap
sebagai stressor yang berpotensi sebagai sumber kerentanan (vulnerability).
Kerentanan penghidupan merupakan merupakan kondisi ketika suatu individu
atau rumatangga mengalami tekanan dan guncangan terhadap sumber-sumber
penghidupan yang dimilikinya, sehingga keberlanjutan penghidupan menjadi
terancam. (Hahn et al. 2009). Konsep kerentanan (vulnerability) pada dasarnya
merupakan konsep yang telah lama diteliti dan dilakukan oleh Intergovernmental
Panel of Climate Change/IPCC, dimana tingkat kerentanan diketahi atau diperoleh
dari pengaruh kondisi paparan (paparan iklim dan non iklim), sensitivitas
masyarakatnya dan kemampuan masyarakat tersebut untuk beradaptasi. Oleh
karena itu, indikator kerentanan diantaranya keterpaparan (exposure), kapasitas
adaptif, sensitivitas (Metzger 2006; IPCC 2007). Hal tersebut mendorong
dilakukannya penelitian ini, untuk melihat kerentanan penghidupan rumah tangga
nelayan di Kota Tegal. Dengan demikian hal tersebut menarik untuk dianalisis
lebih lanjut. Penelitian ini akan difokuskan di Kota Tegal, karena Kota Tegal
merupakan kota Bahari yang sangat kaya akan sumberdaya perikanan. Sektor
perikanan di kota Tegal menjadi berkembang dengan adanya TPI Pelabuhan, TPI
Tegalsari dan TPI Muarareja (Vibrianti 2014). Selain itu jumlah penduduk yang
bermata pencaharian sebagai nelayan di kota Tegal tercatat sebanyak 900 nelayan
pada tahun 2016 dengan tujuh jenis alat tangkap yaitu purseine, gillnet, trammel
net, jaring arad, cantrang, pukat pantai, dan bodong (BPS Kota Tegal 2017).
Perumusan Masalah
kemiskinan dan belitan utang pedagang atau pemilik kapal (Febrianto dan
Rahardjo 2005 dalam widodo 2009). Bagi banyak nelayan tidak mudah untuk
melakukan transformasi kerja dari sektor laut yang sudah lama digelutinya (Iqbal
2004). Maka dari itu, dalam praktiknya ditemukan beragam cara dan strategi
masyarakat nelayan dalam mempertahankan hidupnya untuk menghadapi tekanan
dan keluar dari kerentanannya.
Penghidupan/nafkah terdiri dari kemampuan, aset/modal (sumberdaya,
persediaan/stok, klaim dan akses) dan semua kegiatan yang diperlukan sebagai
strategi hidup. Paradigma pengembangan perikanan skala kecil menurut Allison
dan Ellis (2001) ialah dengan menekankan peningkatan modal fisik dan keuangan
melalui modernisasi armada dan proyek infrastruktur. Sementara pendekatan
penghidupan berkelanjutan (Sustainable Livelihood Approach/ SLA) mengakui
bahwa alam, manusia dan modal sosial adalah komponen penting dari
penghidupan. Keadaan modal alam telah lama diakui sebagai hal yang penting
dan mendukung penilaian stok perikanan skala kecil, kemudian berkembang
dengan adanya pendekatan sistem sosial-ekologi yang menggabungkan komponen
manusia dan sosial. (Allison dan Ellis 2001; Allison dan Horemans 2006;
Standford et al. 2014). Modal sosial1 mampu menurunkan biaya transaksi untuk
bekerja sama, dan memfasilitasi kerja sama. Ini mengurangi biaya pemantauan
dan penegakan melalui membangun kepercayaan2 dan kepercayaan membangun
keyakinan bahwa dengan bekerja bersama akan saling menguntungkan. Ulasan
dari 130 studi kasus global manajemen kolektif perikanan oleh Gutiérrez et al.
(2014) menemukan bahwa kepemimpinan komunitas yang kuat dan kohesi sosial
merupakan komponen penting dari keberhasilan manajemen perikanan. Kredit
keuangan dan modal fisik adalah bagian penting dari pengembangan
penghidupan, tetapi tanpa fondasi modal alam, manusia dan sosial yang kuat,
mereka tidak mungkin mengarah pada pengelolaan sumber daya yang
berkelanjutan dan peningkatan penghidupan. Nafkah dan strategi nafkah termasuk
dalam ilmu sosiologi nafkah yang merupakan keseluruhan hubungan antara
manusia, sistem sosial dengan sistem penghidupannya, yang mana dalam
menjalankan nafkahnya seseorang atau sekelompok orang dapat mengakses dua
basis nafkah yang saling mengisi yaitu on farm dan off farm (Dharmawan 2007).
Struktur nafkah rumahtangga yang diukur meliputi penghasilan, biaya produksi,
struktur pendapatan, struktur pengeluaran dan saving. Nafkah dibangun dengan
memperhatikan nilai dan etika dari level individu sampai komunitas. Strategi
1
Coleman dalam Field (2008) menyatakan bahwa modal sosial dipandang debagai sumberdaya-
sumberdaya sosial yang tersedia bagi individu-individu dan keluarga untuk mencapai mobilitas
sosial, modal sosial tidak terbatas pada yang berkuasa, tetapi juga bisa memberikan manfaat nyata
bagi masyarakat miskin dan terpinggirkan. Modal sosial, mewakili sumber daya karena melibatkan
harapan timbal balik, yang kemudian membentuk jaringan yang lebih luas dan hubungannya diatur
oleh tingkat kepercayaan dan nilai-nilai bersama yang ditegakkan melalui adanya sanksi. Sehingga
modal sosial merupakan suatu cara untuk menjelaskan bagaimana orang-orang dapat bekerja sama
Sementara, Putnam telah mendefinisikan modal sosial sebagai: “fitur organisasi sosial, seperti
kepercayaan, norma, dan jaringan, yang dapat meningkatkan efisiensi asyarakat dengan
memfasilitasi tindakan yang terkoordinasi”(Putnam 1993a: 169)
2
Fukuyama (1995) “Kepercayaan (Trust) dalam modal sosial merupakan kemampuan orang-orang
untuk bekerja sama mencapai tujuan bersama dalam sebua kelompok dan organisasi”
6
nafkah dapat diartikan sebagai cara cerdik dan cerdas dalam menggunakan lima
modal nafkah yang dimiliki individu atau rumahtangga dalam mempertahankan
kelangsungan kehidupannya (Amalia 2016). Strategi nafkah yang merupakan
kombinasi antara modal dan sumberdaya manusia tersebut dipengaruhi oleh
sistem sosial masyarakat yang berlaku. Strategi nafkah yang dilakukan nelayan
dalam menghadapi kemiskinan menurut Widodo (2009) dapat dibedakan menjadi
strategi ekonomi dan strategi sosial. Strategi ekonomi meliputi sektor perikanan
dan sektor non perikanan. Pada sektor perikanan, nelayan miskin berusaha
meningkatkan jumlah tangkapan dengan cara memperpanjang waktu tangkap dan
memperluas wilayah tangkapan. Sedangkan upaya penghematan biaya dilakukan
dengan mengoplos bahan bakar mesin yang seharusnya solar menjadi solar dan
minyak tanah. Pola perpindahan ke sektor non perikanan juga mulai menggejala
terutama pada generasi muda. Sedangkan, strategi sosial yang dilakukan adalah
dengan berhutang, menabung dan menggadaikan perhiasan. Sementara, Strategi
nafkah/penghidupan yang dilakukan oleh nelayan di Ban Don Bay Thailand yaitu
memanfaatkan kelompok, jaringan, alternative mata pencaharian dan
pengembangan diri (Tipyan dan Farung 2014). Pada dasarnya, nelayan merupakan
masayarakat yang sangat bergantung pada sumberdaya ikan. Oleh karena itu
semakin padatnya jumlah nelayan, peristiwa overfishing dan pengaruh cuaca
buruk yang dialami oleh masayarakat nelayan Kelurahan Muarareja diduga
mempersempit akses mereka ke laut. Oleh karena itu menarik untuk dianlisis
mengenai Bagaimana pengaruh kerentanan terhadap kesenjangan ekonomi
rumahtangga nelayan baik lapisan atas dan lapisan bawah?
Strategi penghidupan yang dilakukan oleh nelayan direspon sesuai dengan
tingkat kerentanan penghidupan yang dialaminya. Hal tersebut merupakan bentuk
adaptasi yang dilakukan oleh nelayan sesuai dengan kondisi kepemilikan dan
kemampuan mengakses modal penghidupannya. Tingkat ketergantungan nelayan
cukup tinggi terhadap laut/sektor perikanan, menyebabkan masyarakat nelayan
harus berhadapan dengan ketidakpastian hasil laut yang berdampak pada
pendapatan. Perikanan skala kecil sering didefinisikan oleh hubungan mereka
dengan kemiskinan, proses marginalisasi, kerentanan, eksploitasi, diskriminasi,
dan pemiskinan yang dimainkan dalam berbagai bentuk dan kombinasi dalam
konteks perikanan (Adger et al. 2005; DFID 2005; Allison dan Horemans 2006;
Nayak dan Berkes 2010; Béné dan Friend 2011). Perikanan skala kecil dan besar
umumnya hidup berdampingan di banyak bagian dunia, tingkat interaksi dan
konflik3 diantaranya tergantung pada skala dan intensitas relatif dari operasi
mereka (Pauly 1997). Perlu diketahui bahwa sektor perikanan juga rentan
terhadap ketidakpastian karena kurangnya peran kelembagaan yang mengatur
Sumberdaya Alam (SDA) dalam hal ini ialah pemanfaatan Sumberdaya Ikan
(SDI), perubahan ekonomi dan sosial yang tidak dapat dengan mudah diramalkan
3
Konflik didefinisikan sebagai ketidakcocokan sasaran atau nilai antara dua pihak atau lebih
dalam suatu hubungan, dikombinasikan dengan upaya untuk saling mengontrol satu sama lain dan
perasaan antagonis terhadap satu sama lain. (Fisher, 1990). Sementara Konflik sosial antar
nelayan terdapat unsur hirarkies: ada yang lebih “superior” dan ada yang lebih “inferior” dalam
kemampuan ekploitasi sumberdaya alam yang ada. Secara sosiologis, adanya hirarkies tersebut
dalam proses produksi perikanan tangkap berarti ada dominasi satu kelompok nelayan atas
kelompok nelayan yang lain. Hal tersebut merupakan inti persoalan yang memicu terjadinya
konflik sosial dalam pemanfaatan SDA pada kalangan nelayan Indonesia (Kinseng 2007).
7
atau ditentukan (Fulton et al. 2011; Teh dan Sumaila 2013). Dampak ekosistem
perikanan skala kecil, menengah maupun besar juga berbeda, tergantung pada alat
tangkap yang digunakan (Chuenpagdee et al. 2003) dan upaya penangkapan ikan
secara keseluruhan.
Biagini et al. (2014) mengutip UNFCCC website
(https://www.UNFCCC.int) menyatakan bahwa adaptasi mengacu pada
penyesuaian dalam sistem ekologi, sosial, atau ekonomi dalam menanggapi
rangsangan iklim, pertumbuhan pesat populasi manusia dan ekonomi secara
global, efek atau dampaknya.
Pada bidang ilmu sosial, adaptasi dianggap sebagai tanggapan terhadap
risiko yang terkait dengan interaksi bahaya lingkungan dan kerentanan manusia
atau kapasitas adaptasi (Smit B dan Wandel J 2006). Karakteristik nelayan sangat
berbeda dengan petani karena nelayan menghadapi sumberdaya yang sifatnya
open access dan common resources. Kondisi sumberdaya yang beresiko tersebut
menyebabkan nelayan memiliki karakter keras, tegas dan terbuka (Satria 2015).
Konsep resiliensi rumahtangga merupakan adaptasi konsep resiliensi pada
kelembagaan keluarga. Menurut Kalil yang dikutip oleh Isabella dan Hendriani
(2010), proses coping yaitu tindakan yang dilakukan keluarga untuk mengatasi
kesulitan dan adaptasi dalam rumahtangga sebagai unit yang fungsional. Oleh
karena itu, strategi penghidupan yang dilakukan oleh rumahtangga nelayan baik
lapisan atas dan lapisan bawah untuk merespon kerentanan penghidupan yang
dihadapi. Strategi penghidupan yang dilakukan diduga akan berbeda sesuai
dengan tingkat kerentanan yang dihadapi. Maka, penelitian ini juga mencoba
untuk memaparkan mengenai Bagaimana strategi adaptasi dari rumahtangga
nelayan lapisan atas dan lapisan bawah dalam menghadapi kerentanan
dengan memanfaatkan segenap modal nafkah yang ada pada mereka?
Tujuan Penelitian
Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat bagi para pihak,
antara lain:
1. Bagi akademisi, hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah khazanah
pengetahuan dan literatur tentang tingkat kerentanan penghidupan nelayan
dan strategi penghidupan dalam menghadapi tekanan dari luar.
2. Bagi pemerintah, hasil penelitian ini diharapkan menjadi sumber informasi
yang bermanfaat untuk memberikan pertimbangan dalam pengambilan
kebijakan terkait pengelolaan pemanfaatan sumberdaya perikanan
khususnya bagi perikanan skala kecil
3. Bagi masyarakat lokal, hasil penelitian ini diharapkan menjadi wahana
pengetahuan mengenai kerentanan penghidupan, tipologi nelayan dan
strategi menghadapi kerentanan yang diakibatkan oleh tekanan dari luar.
Penelitian ini secara umum bertujuan ingin mengkaji mengenai derajat atau
tingkat kerentanan penghidupan rumah tangga nelayan lapisan atas dan lapisan
bawah yang dinilai dari tekanan dan gangguan, kepekaan dan kapasitas adaptif
dalam menghadapi tiap perubahan/bahaya/ancaman yang terjadi. Kemudian,
menganalisis struktur nafkah/penghidupan dan strategi penghidupan yang
dilakukan oleh rumah tangga nelayan untuk bertahan hidup dan keluar dari fase
rentannya dengan kondisi dan karakter atau tipologi adaptasinya masing-masing
komunitas nelayan di Kelurahan Tegalsari dan Kelurahan Muarareja. Batasan
kajian dalam penelitian ini diantaranya:
1. Nelayan yang dimaksud adalah semua rumah tangga nelayan pemilik
kapal yang ikut serta melaut dan termasuk dalam skala usaha perikanan
tangkap skala kecil. Nelayan skala kecil merupakan pelaku utama kegiatan
perikanan pantai di Kota Tegal, Provinsi Jawa Tengah.
2. Kerentanan penghidupan, struktur nafkah/penghidupan dan strategi
penghidupan yang dianalisis berdasarkan pengalaman dan fakta
dilapangan yang dialami oleh nelayan dalam kurun waktu satu tahun
terakhir.
3. Tipologi adaptasi nelayan yang dimaksud mencakup aspek struktur dan
kultur pada masyarakat terkait dengan aktivitas nafkah mereka sebagai
nelayan, baik dari bidang sosial, ekonomi, ekologi, institusi dan teknologi.
9
2. TINJAUAN PUSTAKA
kesehatan, modal sumberdaya alam, makanan, air, bencana alam dan dampaknya.
Kapasitas adaptif ini berkaitan dengan tingkat resiliensi dan resiliensi dianggap
sebagai kunci untuk meningkatkan kapasitas adaptif. Selain itu, resiliensi juga erat
kaitannya dengan modal sosial termasuk jaringan dan hubungan sosial (Cutter et
al. 2008). Kerentanan adalah hasil dari interaksi bahaya iklim dengan lingkungan
fisik, keadaan sosial, pemerintahan nasional dan politik internasional.
Kerentanan nelayan bukan hanya disebabkan oleh faktor luar diri nelayan
saja akan tetapi kerentanan juga bias bersumber dari sistem nafkah atau
modifikasinya (Kolopaking et al. 2014). Ketika kerentanan terjadi di komunitas
perikanan, itu berdampak pada aset dan cara hidup secara langsung. Misalnya,
guncangan berdampak buruk pada penghidupan, terutama komponen aset seperti
bencana alam, kekurangan uang, konflik sosial, masalah kesehatan, manusia,
tumbuhan, hewan, dan tren. Juga, tren pergerakan memberikan dampak yang
besar terhadap mata pencaharian seperti penduduk, sumber daya, ekonomi,
pemerintah, kebijakan, teknologi, dan musim. Penurunan aktivitas perikanan
nelayan juga dipicu oleh minimnya infrastruktur yang mendukung aktivitas
perikanan mereka (Clay dan Olson 2008). Menurut (Tipyan dan Farung 2014)
dijelaskan bahwa ada 3 faktor yang mempengaruhi kerentanan nelayan
diantaranya, 1) Penurunan sumber daya dan konflik mempengaruhi nelayan lokal
dalam mencapai sumber daya. Kerentanan sumber daya alam ini berdampak pada
penghidupan nelayan; 2) Kemandirian adalah salah satu faktor. Sebagian besar
nelayan melakukan usaha perikanan sejak nenek moyang mereka. Akibatnya,
mereka tidak memiliki lahan untuk pertanian. Harus ada mata pencaharian
alternatif untuk mengamankan kehidupan mereka. Nelayan harus dilatih dan
didukung untuk menjadi terampil dan; 3) Faktor lain adalah keterbatasan sumber
daya alam. Laut dan pantai adalah sumber daya yang sifatnya common resources
dan open access. tidak ada keseimbangan antara nelayan, pemerintah dan kapitalis
untuk menggunakan laut. Ini menyebabkan kerentanan.
laut yang disewakan atau diakses dengan lisensi, tanah yang dimiliki, tanaman
yang dibudidayakan, dll.); modal manusia ('kemampuan' orang-orang dalam hal
kesehatan, tenaga kerja, pendidikan, pengetahuan, keterampilan dan kesehatan);
dan modal sosial (jaringan kekerabatan, asosiasi, organisasi keanggotaan dan
jaringan peer-group yang dapat digunakan orang dalam kesulitan atau berubah
untuk mendapatkan keuntungan). Akses ke aset dan kegiatan perikanan juga
dipengaruhi oleh kebijakan, lembaga dan proses administratif, termasuk hubungan
sosial, pasar dan organisasi yang merupakan inti dari manajemen perikanan.
(Allison dan Horemans 2006).
Taktik dan aksi yang dibangun oleh individu ataupun kelompok untuk
mempertahankan kehidupan mereka dengan tetap memperhatikan eksistensi
infrastruktur sosial, struktur sosial dan sistem nilai budaya yang berlaku disebut
sebagai strategi nafkah. Nafkah dan strategi nafkah termasuk dalam ilmu sosiologi
nafkah yang merupakan keseluruhan hubungan antara manusia, sistem sosial
dengan sistem penghidupannya, yang mana dalam menjalankan nafkahnya
seseorang atau sekelompok orang dapat mengakses dua basis nafkah yang saling
mengisi yaitu sektor pertanian dan non-pertanian (Dharmawan 2007). Menurut
Dharmawan (2007), pada mahzab Bogor, strategi penghidupan dan nafkah
pedesaan dibangun selalu menunjuk ke sektor pertanian (dalam arti luas).
Karakteristik sistem penghidupan dan nafkah yang dicirikan oleh bekerjanya dua
sector ekonomi, juga sangat ditentukan oleh sistem sosial-budaya setempat.
Terdapat tiga elemen sistem sosial terpenting yang sangat menentukan bentuk
strategi penghidupan yang dibangun oleh petani kecil dan rumahtangganya.
Ketiga elemen tersebut tersebut adalah: 1) infrastruktur sosial (setting
kelembagaan dan tatanan norma sosial yang berlaku); 2) struktur sosial (setting
lapisan, struktur agrarian, struktur demografi, pola hubungan pemanfaatan
ekosistem lokal, pengetahuan lokal); 3) supra-struktur sosial (setting ideologi,
etika-moral ekonomi, dan sistem nilai yang berlaku. Dharmawan (2001)
membagi tiga tingkatan strategi nafkah dalam rumah tangga diantaranya 1)
Strategi nafkah rumah tangga strata bawah yaitu mengerjakan berbagai jenis
pekerjaan (the multiple employment strategy) atau sering dikenal dengan pola
nafkah ganda dan paling sering digunakan oleh rumah tangga petani miskin untuk
bisa mempertahankan hidupnya, karena mereka hanya mempunyai tenaga
sedangkan modal dan keahlian yang dimiliki terbatas dan penyebaran tenaga kerja
rumah tangga karena rumah tangga di pedesaan pada umumnya mempenyai
anggota keluarga yang besar maka potensi tersebut dipergunakan untuk
melakukan pekerjaan guna membantu ekonomi keluarga; 2) Strategi nafkah
rumah tangga /keluarga strata menengah yaitu strategi persiapan pertumbuhan
pada level ini strategi yang dilakukan bukan untuk sekedar mempertahankan
hidup tetapi lebih ditekankan pada bagaimana agar modal penghidupan yang
dimiliki semakin tumbuh berkembang, strategi produksi rumah tangga, pada level
ini bisa membuat usaha yang dikelola oleh keluarga; 3) Strategi rumah tangga
strata atas, pada level ini sebenarnya lebih mengacu pada mengembangkan modal
penghidupan yang dimiliki agar menjadi lebih besar lagi (expansive strategy).
Rumah tangga menggabungkan modal penghidupan yang melibatkan agensi
manusia dan sumber daya untuk membangun strategi mata pencaharian dan
menghasilkan hasil kesejahteraan (Manlosa et al. 2019). Scoones (2015)
15
Modal Manusia
Sektor perikanan skala kecil dicirikan oleh intensitas modal yang relatif
rendah, pemukiman yang tersebar tidak terpusat di pelabuhan karena ukuran kapal
yang relatif kecil, terdiri dari semua unit penangkapan ikan yang pemiliknya
secara pribadi terlibat dalam operasi penangkapan ikan, baik dalam operasi
manual atau tugas pengawasan atau koordinasi tidak langsung. Dengan kata lain,
fungsi manajemen belum sepenuhnya terspesialisasi (Platteau 1989; Allison and
Ellis 2001). Ciri nelayan skala kecil adalah memiliki daerah operasi penangkapan
ikan terbatas, dekat dengan pantai, dan bersifat padat karya (Satria 2012). Nelayan
didefinisikan sebagai nelayan yang mengakui parameter sosio-etnik daerah tempat
mereka beroperasi. Pekerjaan dan kepemilikan lokal, kerjasama dan pasokan
pasar lokal dengan produk segar adalah salah satu nilai sosial yang dapat
dikaitkan dengan nelayan kecil (Monaco et al. 2017).
Seratus empat puluh negara yang termasuk dalam database, 70%
memberikan definisi atau karakterisasi perikanan skala kecil (Small Scale
Fisheries/SSF), dengan sekitar 65% menggunakan ukuran perahu sebagai faktor
kunci. Paling umum, perahu skala kecil baik 10, 12 atau 15 m, atau antara 5-7 m
panjang (Tabel 2). Beberapa negara menggunakan Gross Tonnage (GT) dan atau
ukuran mesin sebagai karakteristik utama, sementara yang lain mendeskripsikan
perikanan skala kecil berdasarkan jenis alat tangkap yang digunakan. Untuk
tingkat yang lebih rendah, penangkapan skala kecil ditentukan oleh jarak atau
kedalaman tempat penangkapan ikan. Hanya beberapa negara yang mengacu pada
aktivitas penangkapan ikan skala kecil, seperti subsisten, tradisional dan lainnya.
17
Nelayan skala kecil bukan berarti mereka nelayan yang ramah lingkungan
dan tidak memiliki kontribusi pada terjadinya overfishing. Heterogenitas dan
kompleksitas yang tinggi dari sektor perikanan skala kecil sangat perlu
dipertimbangkan untuk menunjukkan keberlanjutan ekologis dan sosial dari
segmen perikanan skala kecil. Namun masih belum cukup data untuk
mendapatkan deskripsi yang tepat dan komprehensif dari perikanan skala kecil,
karena mereka mencakup berbagai macam metode penangkapan, alat tangkap
ikan, spesies sasaran, keragaman dan kondisi khusus di mana mereka beroperasi.
Perbedaan-perbedaan ini tidak dengan mudah memungkinkan untuk
merepresentasikan seperangkat kriteria yang homogen pada tingkat teknis,
biologis, sosio ekonomi, dan kelembagaan (Monaco at al. 2017).
Tipologi Adaptasi
Kerangka Pemikiran
Sektor perikanan skala kecil di Kota Tegal sudah lama berlangsung secara
turun temurun dan jumlahnya semakin meningkat. BPS Kota Tegal (2017)
mencatat terdapat kurang lebih 900 nelayan yang tersebar di Kecamatan Tegal
Barat yakni di dua titik yaitu Kelurahan Tegalsari dan Kelurahan Muarareja. Oleh
karena itu, sektor usaha perikanan di Kota Tegal mampu menjadi penopang
perekonomian kota Tegal. Namun, bukan berarti tidak terdapat permasalahan
dalam bidang sosial ekonomi nelayannya. Permasalahan pengelolaan perikanan
pantai yang dapat diidentifikasi oleh Sudharmo (2016) di Kota Tegal sebagai
berikut: 1) overfishing; 2) kerusakan lingkungan perairan terkait degradasi
lingkungan pesisir; 3) rendahnya tingkat pendapatan nelayan. Penelitian ini akan
lebih focus pada rumah tangga nelayan dan Rohayati (2017) juga menyatakan
bahwa nelayan di kota Tegal tergolong nelayan miskin jika dihitung dari
pengeluran per bulan dan distribusi pendapatan di Kota Tegal yang tidak merata.
Ditambah isu global warming yang kini berdampak pada perubahan iklim.
Perubahan iklim juga merupakan fenomena global yang memberikan dampak
negatif pada sistem kehidupan dan tingkat kerentanan masyarakat khususnya
masyarakat di wilayah pesisir. Tingkat kerentanan masyarakat terhadap perubahan
iklim berbeda dari satu daerah ke daerah lain meski dalam satu negara (Liverman
2007; IPCC 2014).
Pollnac (1988) dalam Satria et al. (2015) menyatakan bahwa ciri nelayan
skala kecil adalah memiliki daerah operasi penangkapan ikan terbatas, dekat
dengan pantai, dan bersifat padat karya. Selain itu, karena nelayan sangat
bergantung pada sumber daya dan sifat open access perikanan yang bersama-sama
menyebabkan degradasi sumber daya, kemiskinan dan marginalisasi. Perikanan
skala kecil sering dicirikan sebagai pendudukan kelas bawah dan nelayan sebagai
orang termiskin dari yang miskin (Pauly 1997; Allison dan Ellis 2001).
Permasalahan usaha perikanan skala kecil menurut Chuenpagdee et al. (2006)
diantaranya kinerja ekonomi rendah; ketidakmampuan untuk komunitas nelayan
kecil (Small Scale Fisheries/SSF) untuk mempertahankan sebagian besar manfaat
dari perikanan; tingkat kemiskinan yang tinggi dan kemampuan atau keahlian
yang terbatas dalam menghadapi tekanan dari globalisasi, termasuk tantangan
global seperti perubahan iklim. Perlu diketahui bahwa sektor perikanan rentan
terhadap ketidakpastian karena lingkungan, kelembagaan, perubahan ekonomi dan
sosial yang tidak dapat dengan mudah diramalkan atau ditentukan (Fulton et al.
2011; Teh dan Sumaila 2013). Nelayan skala kecil biasanya miskin dan
kekurangan peluang kerja alternatif; sehingga mereka dipaksa untuk melanjutkan
melaut/menagkap ikan, bahkan ketika sumberdaya ikan menurun drastis akibat
overfishing/penangkapan berlebih. Hal tersebut dapat dikatakan sebagai sebuah
involusi meminjam istilah Geertz (1970), involusi dan berbagi kemiskinan
(shared poverty) yang artinya nelayan kecil terus bertambah banyak dan saling
berbagi atas produktifitas ikan di laut yang jumlahnya semakin terbatas. Maka
semua permasalahan tersebut dianggap sebagai stressor yang berpotensi sebagai
sumber kerentanan (vulnerability) nafkah suatu rumahtangga. Kerentanan nafkah
ini disikapi dengan berbagai strategi-strategi nafkah yang dibangun oleh rumah
tangga untuk mengurangi kerentanan nafkah yang ditimbulkan akibat kondisi
perubahan iklim, penurunan stok ikan, pergeseran pasar global, perubahan rezim
19
kebijakan, kemampuan dan atau keahlian juga modal yang terbatas sehingga
menyebabkan nelayan juga terperangkap pada perangkap kemiskinan. Strategi
yang dilakukan tiap rumah tangga nelayan tentunya berbeda sesuai dengan tingkat
kerentanan yang dialaminya.
Indikator kerentanan penghidupan yaitu kapasitas adaptif, sensitivitas, dan
keterpaparan (Hahn 2009; Shah et et al. 2013). Sementara struktur penghidupan
nelayan dilihat dari sector perikanan dan non perikanan yang merujuk pada
Dharmawan (2007) bahwa struktur nafkah/penghidupan terbagi menjadi dua
yakni on farm dan off farm. Strategi penghidupan dinilai dari
kemampuan/kapasitas nelayan kecil dalam memanfaatkan dan mengakses lima
modal penghidupan tersebut untuk mengurangi tingkat kerentanan yang
dialaminya. Tipologi adaptasi nelayan kecil mencakup mencakup aspek struktur
dan kultur pada masyarakat terkait dengan aktivitas nafkah mereka sebagai
nelayan (Kurniasari dan Yuliati 2014) dan menurut Satria (2015) representasi tipe
nelayan dapat diuraikan dengan berbagai aspk seperti pengetahuan, kepercayaan,
peran perempuan, struktur sosial nelayan. Biagini et al. (2014) mengutip UNFCC
website menyatakan bahwa adaptasi mengacu pada penyesuaian dalam sistem
ekologi, sosial, atau ekonomi dalam menanggapi rangsangan iklim, pertumbuhan
pesat populasi manusia dan ekonomi secara global, efek atau dampaknya.
Tekanan dan ancaman Kerentanan nelayan (LVI):
eksternal dan internal: 1.Keterpaparan (exposure)
Perubahan iklim, 2.Kemampuan Adaptif
penurunan stok ikan, 3.Sensitivitas
pergeseran pasar Tipologi adaptasi
global, perubahan Strategi
nelayan
kebijakan, -Sosial
nafkah/penghidupan
kemampuan/keahlian - Ekologi
nelayan:
dan modal nelayan -Ekonomi
1. Tingkat pemanfaatan
kecil yang terbatas, -Institusi
dan akses pada modal
-Teknologi
kemiskinan penghidupan
(SDA,SDM,
fisik/tekonologi,
finansial dan Sosial)
2. Struktur nafkah
Keterangan:
: Saling mempengaruhi
: Mempengaruhi searah
rumah tangga nelayan akibat tekanan atau ancaman baik dari luar maupun dari
dalam kemudian mengharuskan nelayan kecil untuk mempertahankan hidupnya.
Pada umumnya nelayan menggunakan dua jenis strategi yakni startegi ekonomi
dan strategi sosial. Perbedaan strategi nelayan tergantung pada tingkat kerentanan
yang dialaminya. Dari perbedaan strategi penghidupan untuk menyikapi
kerentanan yang dialami oleh rumah tangga nelayan kemudian digunakan untuk
menganalisis tipologi nelayan di suatu wilayah tersebut. Pada penelitian ini ingin
melihat kasus yang terjadi di desa/kelurahan yakni Kelurahan Muarareja karena
pusat kegiatan perikanan tangkap skala kecil di Tegal berada di desa tersebut.
Berdasarkan latar belakang, perumusan masalah dan indikator yang telah
dijelaskan penelitian ini mencoba mendeteksi tingkat kerentanan penghidupan
rumah tangga nelayan dan menganalisis strategi penghidupan yang dilakukan
untuk mengurangi kerentanan tersebut dan mengkaji tipologi adaptasi nelayan
yang dilihat dari bentuk strategi penghidupan dan tingkat kerentanannya.
Hipotesis Penelitian
Definisi Operasional
7. Modal penghidupan ialah terdiri dari modal alam, modal fisik, modal
finansial, modal manusia dan modal sosial yang sering digunakan dalam
penghidupan nelayan
8. Modal fisik ialah peralatan rumahtangga nelaya yang dapat digunakan
untuk mengeksistensikan penghidupan rumahtangga nelayan
9. Modal finansial ialah stok uang atau simpanan keuangan yang dapat
digunakan untuk menunjang pemenuhan kebutuhan hidup
10. Modal alam ialah sumberdaya alam yang dapat menghasilkan uang/barang
untuk menopang penghidupan rumahtangga nelayan
11. Modal SDM ialah keahlian, keterampilan, pengetahuan yang dimilikai
anggota rumahtangga untuk menghasilkan nafkah
12. Modal Sosial ialah asosiasi yang dapat memberikan kemanfaatan pada
penghidupan rumahtangga nelayan
22
3. METODE PENELITIAN
Data yang digunakan dalam penelitian ini meliputi data primer dan data
sekunder. Data primer, diperoleh dari survey menggunakan kuisioner dan In depth
interview terhadap dua subyek penelitian yaitu responden dan informan. Data
sekunder didapatkan dari Badan Pusat Statistik, jurnal, Tempat Pelelangan Ikan
(TPI) dan Dinas Perikanan dan Kelautan. Data yang diperoleh dalam penelitian
dianalisis dengan dua pendekatan yaitu secara kuantitatif dan deskriptif.
Pengolahan dan analisis data dilakukan menggunakan Microsoft Excel 2013.
Beberapa alat analisis yang akan digunakan dalam perhitungan penelitian:
Tabel 3.1 Matriks Hubungan Tujuan dan metode Pengumpulan, analisis Data
Tujuan Penelitian Instrumen Narasumber Analisis Data
Menganalisis tingkat Kuisioner Nelayan Kelurahan Livelihood
kerentanan penghidupan Muarareja Vulnerability
rumah tangga nelayan di Index (LVI),
Kota Tegal Analisis
Deskriptif
Kualitatif
Menganalisis struktur Kuisioner Nelayan Kelurahan Sustainable
penghidupan dan strategi Muarareja Livelihood
penghidupan rumah Approach
tangga nelayan dalam (SLA), Analisis
menghadapi kerentanan. Deskriptif
Kualitatif
Menganalisis tipologi Panduan Nelayan Kelurahan Analisis
adaptasi rumah tangga wawancara Muarareja, Ketua Deskriptif
nelayan sebagai respon kelompok Nelayan Kualitatif
dari kerentanan
24
Keterangan:
Sd : nilai sub indikator
Smin : nilai minimum dari sub indikator
Smax : nilai maksimum dari sub indikator
Keterangan:
Md : nilai Indikator utama
Indeks sd : nilai sub indikator pada indikator utama
n : jumlah sub indikator pada indikator utama j
Langkah terakhir adalah menentukan nilai LVI setiap kelompok nelayan
dengan menggunakan rumus :
Dimana :
CFd : indeks kerentanan
Wmi : bobot sub komponen
Mdi : nilai komponen utama
25
LVI-IPCCd= (ed-ad)* sd
Keterangan:
LVI – IPCCd : LVI untuk masyarakat yang dinyatakan menggunakan kerangka
kerentanan IPCC
e : Kalkulasi skor exposure (keterpaparan, bahaya dan ancaman bagi
penghidupan nelayan) nelayan d
a : Kalkukasi skor adaptive capacity (rata-rata bobot nilai sosio
demografi, livelihood strategies, dan jaringan sosial) nelayan d
s : Kalkulasi skor sensitivity masyarakat d
LVI – IPCCd diberi skala mulai dari -1 (kerentanan paling rendah) sampai
+1 (kerentanan paling tinggi) (Hahn et al 2009). LVI-IPCC adalah metode alternatif
yang dikembangkan dari LVI sebagai proksi kerentanan penghidupan masyarakat
yang disebabkan oleh perubahan iklim. Skala dari -1 - (-0,4) yang merujuk pada
'tidak rentan', -0,41 - 0,3 yang mengacu pada 'rentan / sedang', dan 0,31 - 1 yang
mengacu pada 'sangat rentan’ (Gravitiani et al. 2017)
Tabel 3.2 Indikator utama dan sub indikator livelihood vulnerability index
Variabel Indikator Sub-indikator
Exposure/Ke Dampak - Persentase penurunan hasil tangkapan
terpaparan Sosial - Persentase penurunan pendapatan per trip
ekonomi - Persentase konflik antar nelayan
ekologi - Persentase perebutan area fishing ground akibat
meningkatnya populasi nelayan
- Persentase RT nelayan yang mengalami masalah
terkait harga BBM
Adaptive Alam - Presentase RT nelayan yang lokasi fishing ground
Capacity semakin jauh
- Persentase RT nelayan yang durasi melautnya
semakin lama
Manusia - Persentase jumlah anggota keluarga yang bekerja
lebih dari 1 orang
- Persentase Anggota keluarga yang bekerja selain
nelayan
- Persentase nelayan sebagai pekerjaan utama
- Persentase jumlah anggota keluarga yang <4
- Persentase kepala RT nelayan yang tamat SMP
- Persentase kepala RT nelayan yang berusia lanjut
(<50)
Fisik - Persentase RT nelayan yang Alat Tangkap Ikan
(ATI) lebih dari 1 jenis
- Persentase RT nelayan yang memiliki sarana
komunikasi (HP, TV, radio)
- Persentase kemudahan akses ke Tempat Pelelangan
Ikan
26
Keterangan:
Sd : nilai sub indikator untuk komunitas d
Smin : nilai minimum dari sub indikator
Smax : nilai maksimum dari sub indikator
Secara administratif Kota Tegal merupakan salah satu daerah yang termasuk
pada wilayah otonomi Provinsi Jawa tengah. Secara geografis Kota Tegal
merupakan daerah pesisir yang berbatasan langsung dengan Laut Utara Jawa
dengan titik koordinat terletak tepat pada pada 109º 08’ – 109º 10’ Garis Bujur
Timur dan 6º 50’ - 6º 53’ Garis Lintang Selatan. Letak Kota Tegal sangat strategis
karena berada di pertigaan jalur kota besar Purwokerto - Tegal - Jakarta (jalur
pansela) dan Semarang - Tegal – Jakarta (jalur pantura). Luas wilayah Kota Tegal
saat ini adalah 39,68 km2, atau sekitar 0.11% dari luas Jawa Tengah. Kota ini
terbagi menjadi 4 Kecamatan dengan 27 Kelurahan, dengan wilayah Kecamatan
terluas Tegal Barat yaitu sebesar 15.13 km2 atau sekitar 38.13% luas wilayah Kota
Tegal. Kota tegal terdiri dari 4 Kecamatan. Lokasi penenlitian terfokus pada
Kecamatan Tegal Barat dikarenakan Tegal barat merupakan titik fokus
berkembangnya kegiatan perikanan tangkap. Tegal Barat, terdiri dari 7 kelurahan
yaitu Pesurungan Kidul, Debong Lor, Kemandungan, Pekauman, Kraton,
Tegalsari dan Muarareja. Kemudian, Kegiatan perikanan tangkap skala kecil
paling banyak terpusat di Kelurahan Muarareja (Kota Tegal dalam Angka 2018).
Kelurahan Muarareja ini terdiri dari 3 RW (Rukun Warga) dan 15 RT
(Rukun Tetangga). Luas wilayah kelurahan Muarareja yaitu 8.91Km2. Luas
wilayah tersebut terdiri atas tambak (387.75 Ha), bangunan/pekarangan (89.41
Ha) dan lainnya (416.80 Ha) (Kota Tegal dalam Angka 2014). Jarak Kelurahan
muarareja ke Kecamatan Tegal barat yakni sekitar 2 km. Sementara jarak
Kelurahan Muarareja ke pusat pemerintahan Kota yakni 2.5 Km. Peta lokasi
penelitian disajikan pada Gambar 4.1. Batas administrative wilayah Kelurahan
Muarareja meliputi:
yang tidak merata sepanjang tahun. Curah hujan yang cukup tinggi terjadi di
bulan Januari-Februari dan November- Desember (BPS Kota Tegal 2018).
Jumlah penduduk Kelurahan Muarareja yaitu 7.155 jiwa yang terdiri dari
3.712 laki-laki dan 3.443 perempuan. Jumlah Kepala Keluarga yaitu 2099 kepala
keluarga yang terdiri dari 1882 KK laki-laki dan 217 KK perempuan. Berdasarkan
mata pencahariannya, penduduk Kelurahan Muarareja mayoritas
bermatapencaharian sebagai nelayan seperti yang ditunjukkan pada Tabel 4.1
Badan Pusat Statistik tahun 2015 menjelaskan bahwa indicator yang dapat
menunjukkan kondisi perekonomian suatu Negara adalah rasio ketergantungan.
Rasio ketergantungan dapat dihitung menggunakan rumus:
Keterangan:
P (0-14) = jumlah penduduk usia 0-14 tahun
P (15-64) = jumlah penduduk usia 15-64 tahun
P (>65) = jumlah penduduk usia >65 tahun
32
Ikhtisar
Sektor perikanan di Kota Tegal terdiri dari perikanan laut, perikanan darat
(tambak/kolam), dan perairan sungai. Perkembangan produksi dan nilai produksi
perikanan laut di Kota Tegal tersaji di Tabel 5. Potensi sumberdaya ikan di lokasi
penelitian mayoritas berasal dari kawasan perairan Laut Jawa. Perkembangan
produksi perikanan laut di Kota Tegal sejak tahun 2015 sampai dengan 2017
cenderung mengalami penurunan. Oleh karena itu kondisi perikanan laut Kota
tegal sudah digolongkan dalam kondisi overfishing. (Tabel 5.1). Nilai produksi
perikanan laut dari tahun 2008 sampai dengan tahun 2012 pun mengalami
penurunan. Hal ini dipengaruhi oleh semakin banyaknya jumlah kapal yang
artinya semakin banyak penduduk Kota tegal yang memilih bermatapencaharian
sebagai nelayan. Selain itu, pengaruh global warming yang berdampak pada
perubahan iklim pun menyebabkan kekacauan dalam kalender musim tangkap
nelayan Kota tegal.
Tabel 5.1 Perkembangan produksi dan nilai produksi perikanan laut di Kota Tegal
sejak tahun 2015-2017
2015 2016 2017
Produksi perikanan laut (ton) 27.45 25.44 22.09
Nilai produksi perikanan laut
(Juta Rupiah) 281.742.884 273. 503.031 267.911.918
Jumlah Kapal Motor 635 758 877
Sumber: BPS Kota Tegal 2015, 2016, 2018 (diolah)
rumahtangga dengan bekerja sebagai buruh fillet ikan asin, ada juga yang
membuka warung makanan ringan, sembako dan warung makan di pinggiran
pantai Muarareja. Sementara nelayan lapisan atas yang mayoritas alat tangkapnya
arad dan dilengkapi dengan 2 mesin, mereka tidak terlalu terpengaruh oleh ombak
sehingga mereka akan tetap melaut walaupun kondisi cuaca kurang kondusif.
Dari segi usia nelayan Kelurahan Muarareja masih berada pada kategori usia
produktif (Tabel5.3). Rata-rata umur nelayan Kelurahan Muarareja adalah 41.23
tahun. Dari segi kekuatan fisik, usia ini masih dianggap mampu untuk melakukan
aktivitas penangkapan ikan dan berbagai aktivitas penghidupan lainnya. Usia
nelayan yang masih termasuk usia produktif. Menurut Firdaus et al. 2013) hal
tersebut menunjukkan kemampuan mereka untuk bekerja lebih giat dan mampu
menerima dan memahami serta mengadopsi inovasi/ teknologi baru dengan
mudah dan cepat. Bahkan ada nelayan yang berusia 61 tahun masih melaut.
Padahal pada usia tersebut nelayan sudah dikategorikan sebagai dewasa lanjut dan
termasuk dalam kategori umur non produktif. Namun karena alasan untuk
menghidupi keluarga maka meskipun sudah lanjut usia mereka tetap melaut.
Selain itu, pada nelayan tidak berlaku masa pensiun sehingga berapapun usianya
jika tenaga masih dirasa cukup kuat mereka akan tetap melaut.
Pengalaman nelayan Kelurahan Muarareja dalam melaut dan melakukan
kegiatan penangkapan ikan ini kebanyakan telah dilakukan lebih dari 10 tahun.
Hal tersebut menunjukkan bahwa pengalaman nelayan maluat rata-rata selama 25
36
dengan rumah tangga lapisan atas bisa dengan cepat turun kelas (lapisan) apabila
kapal yang dimilikinya dijual, misal karena tidak mampu membayar hutang Bank
maka kapalnya dijual untuk melunasi hutang tersebut. Namun, penurunan lapisan
sosial di Kelurahan Muarareja ini jarang sekali terjadi dikarenakan kultur/budaya
nelayan di Muarareja yang memilih tetap melaut meskipun kondisi cuaca kurang
kondusif. Hal tersebut tentunya didukung oleh kuatnya ikatan dengan ABK (Anak
Buah Kapal) dan tingginya kebutuhan yang harus dipenuhi. Sementara kenaikan
lapisan kelas di Kelurahan Muarareja lebih banyak dijumpai dikarenakan
tingginya motivasi yang dimiliki oleh nelayan untuk hidup yang lebih maju. Hal
tersebutlah yang menjadi slah satu faktor semakin bertambahnya jumlah kapal
yang kemudian berdampak pada semakin sempitnya kawasan tangkap dan
berujung pada persaingan antar nelayan.
100
80
Persentase (%)
60
40
20
0
Bubu Arad Jaring
"waring"
Alat Tangkap
2016 yaitu Rp 1.376.830,88,- (BPS Jateng 2016). Maka mengacu pada standar
tersebut, pendapatan nelayan di Kota Tegal sudah memenuhi tingkat hidup layak.
Kondisi tempat tinggal nelayan di Kota Tegal secara nyata sebagian besar
responden sudah tinggal di rumah-rumah yang layak kondisi bangunannya dan
dapat dikelompokkan dalam kelompok permanen. Rumah beratapkan genteng,
dinding tembok dan lantai keramik maupun tegel. Menurut Cinner dan Pollnac
(2004) di negara berkembang berlaku bahwa kondisi tempat tinggal
mencerminkan status sosial mereka. Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa
nelayan di Kota Tegal berada pada kondisi yang mampu dan cukup.
Peluang memperoleh pekerjaan, secara keseluruhan mereka memilih
pekerjaan sebagai nelayan dikarenakan pekerjaan nelayan merupakan pekerjaan
yang mudah didapat karena didukung oleh kondisi geografis tempat tinggal
mereka. Selain itu, secara kultural nelayan merupakan pekerjaan turun temurun
dari orangtua mereka yang sudah mengakar kuat. Sehingga mereka bangga
menjadi nelayan. dan secara ekonomis, pendapatan nelayan mampu memenuhi
kebutuhan rumahtangga.
Ikhtisar
Paparan ekologi
Paparan dari alam salah satunya yang jelas nyata yaitu adanya dampak
perubahan iklim yang dialami nelayan Kelurahan Muarareja yaitu diantaranya
pergerseran musim yang kemudian menyebabkan terjadinya perubahan waktu dan
jenis tangkapan ikan; perubahan suhu permukaan laut yang menyebabkan
perubahan lokasi penangkapan, pengurangan jenis dan jumlah tangkapan ikan
serta meningkatnya resiko melaut akibat ancaman meningkatnya badai dan
gelombang. Selain itu, sumber paparan yang berpotensi menjadi sumber
kerentanan pada penghidupan nelayan di Kelurahan Muarareja, Kota Tegal adalah
kondisi perairan di Kota tegal yang sudah menunjukkan overfishing. Hal ini
ditandai dengan meningkatnya jumlah kapal nelayan dan menurunnya hasil
tangkapan nelayan. Menurut Data BPS Kota Tegal dalam Angka tahun 2015
hingga 2017, jumlah kapal nelayan sejumlah 635 pada tahun 2015 dan meningkat
menjadi 877 kapal pada tahun 2017. Selain itu, jika dilihat dari produksi
perikanan tangkap di Kota Tegal cenderung mengalami penurunan yaitu
27.451.503Kg pada tahun 2015 turun menjadi 22.095.171Kg pada tahun 2017.
Berikut adalah gambaran semakin banyaknya jumlah kapal di Kelurahan
Muarareja Kota Tegal (Gambar 6.1).
Box 1 memberikan gambaran bahwa sumber paparan yang berasal dari alam
seperti 1) Lokasi penangkapan menjadi berubah-ubah; 2) sulitnya memperoleh
hasil tangkapan menjadikan nelayan memilih menambah waktu melaut; 3) kondisi
angin/badai saat angina barat (paceklik) berujung pada pengangguran semakin
lama.
41
Paparan Sosial
hanya berujung pada adu mulut saja. Selain itu, dari segi geografis dimana
Kelurahan Muarareja ini terletak bersebelahan dengan Desa Tegalsari yang
merupakan pusat perikanan skala besar yakni pusat beroperasinya kapal cantrang.
Walaupun lokasi penangkapan berbeda namun masih ada interaksi diantara
nelayan dan nelayan cantrang, seperti dugaan oleh nelayan bahwa semakin
sulitnya ikan didapat dikarenakan tidak adanya kesempatan ikan menuju ke
pinggiran (lokasi wilayah tangkap nelayan) dan di wilayah pintu keluar masuk
kapal masih sering diwarnai dengan percekcokan antar nelayan akibat padatnya
kapal cantrang seringkali menutupi jalan keluar kapal nelayan. Kinseng (2007)
menyatakan bahwa potensi sumberdaya perikanan tangkap di Indonesia
cenderung akan semakin langka oleh karena itu konflik sumberdaya di kalangan
kaum nelayan akan semakin sering terjadi dan konflik sumberdaya di antara
nelayan akan bersifat semakin menjadi (brutal) ketika isunya menyangkut
masalah sumber kehidupan (livelihood).
Box 2. Paparan dari segi sosial
Perebutan lokasi penangkapan saat ini sering terjadi, Alat tangkap yang
saling berangkutan dengan alat tangkap milik nelayan lain. Tabrakan antar kapal
pada malam hari karena kondisi nelayan yang kelelahan. Bentuk konflik biasanya
yaitu adu mulut. Bentuk konflik tingkat tingginya yaitu saling lempar batu. Namun
saat ini hal tersebut jarang terjadi, kalaupun ada 1 atau 2 saja. Kesadaran dari nelayan
yang kemudian saling menyadari karena tujuan mereka sama-sama mencari ikan
untuk “urusan perut”, maka ketika sangkutan alat tangkap mungkin yang terjadi
sekedar adu mulut kecil di tengah laut sampai di darat semua membenahi alat
tangkapnya masing-masing karena kondisi alat tangkap sama-sama rusak tanpa
menuntut ganti rugi.
Selain itu, Baik di tengah laut maupun didarat masih rawan pencurian
karena tingginya persaingan antar nelayan. Banyak nelayan yang licik yaitu
dengan mencuri alat tangkap. Diduga/dicurigai nelayan arad sering melakukan
pencurian bubu ketika nelayan bubu yang baisanya tebar 1500 bubu di tengah laut
kemudian bubu yang ditebar hilang 100-200 bubu. Lalu, pencurian solar yang
pada malam hari di siapkan diatas kapal, esok harinya hanya ditemukan diligent
kosong. Namun, para nelayan saat ini tidak dapat menjudge siapa pelakunya karena
kurangnya bukti. Sehingga, hanya berujung pada kecurigaan saja. Selain karena
tingginya persaingan, pencurian BBM ini juga dikarenakan oleh nelayan kecil Desa
Muarareja sering mengalami permasalahan kekurangan stok BBM. Sehingga, mereka
mencuri BBM milik nelayan lain.
Konflik/masalah sosial yang ditimbulkan dari nelayan cantrang, sebenarnya
tidak sesering seperti dengan sesama nelayan kecil. Bentuk masalah dengan nelayan
cantrang akhir-akhir ini yaitu jalan keluar kapal nelayan kecil sering terhalangi
oleh banyaknya kapal besar yang parkir tidak rapi, juga adanya proyek pelabuhan
yang sering mengganggu keluar masuk nelayan kecil. Sehingga, tak jarang nelayan
kecil gagagl berangkat melaut karena tidak bisa keluar dari muara.
Kelurahan Muarareja, akhir-akhir ini semakin sulit/ selalu kekurangan stok BBM.
Selain itu, keinginan untuk melakukan mobilitas vertikal menyebabkan rumah
tangga nelayan terjerat hutang atau pinjaman pada Bank. Kemudahan dalam
mengajukan pinjaman ke Bank, menjadikan banyak nelayan Kelurahan Muarareja
membeli kapalnya dari hasil pinjaman Bank dengan jaminan sertifikat tanah dan
rumahnya. Sementara, sumber nafkah terbesar mereka berasal dari hasil melaut,
yang seperti yang telah diketahui banyaknya hasil tangkapan selain tergantung
pada kondisi alam juga ditentutak oleh kesiapan modal produksinya untuk
berangkat melaut.
Box 3. Paparan dari segi ekonomi
Penghasilan nelayan kalau per hari 100-300 ribu. Tapi jika dilaut 3 sampai 4
hari bisa 1 atau 2 juta. Biaya tiap kali trip untuk melaut 3-4 hari membawa es batu
sebanyak 15-20 balok es dengan harga 20-25 ribu per balok. Solar untuk 3 hari di laut
membawa 300 liter. Dan ditambah perbekalan melaut selama 3-4 hari. Tapi jika sepi,
ikan sulit didapat terkadang pulang dengan hasil apadanya, terkadang tetap
melaut dengan patokan sampai perbekalan habis demi hasil yang didapat bisa
tutup modal. Beberapa nelayan yang permodalan termasuk kapal ialah hasil
pinjaman dari Bank. Maka konsekuensinya adalah tiap harinya harus pergi melaut
meskipun cuaca kurang kondusif dikarenakan harus membayar setoran Bank tiap
bulannya. Saat ini, meminjam modal ke bank lebih mudah daripada ke KUD
(Koperasi Unit Desa). Nelayan lapisan bawah dianggap tidak mampu membayar
angsuran sehingga tidak diperbolehkan meminjam ke KUD dalam jumlah yang
besar.
Harga jual ikan yang tidak tentu, pemasaran ikan nelayan kecil di Desa
Muarareja terbagi menjadi 2 ada yang menjual ke pengepul dan ada yang memilih
menjual ke TPI Tegalsari. Diketahui sebelumnya TPI Muarareja sudah lama tidak
aktif atau hanya beroperasi untuk jenis rebon saja. Beberapa nelayan lapisan atas yang
menjual ke pengepul biasanya mereka yang terikat hutang modal dengan pengepul.
Sehingga untuk harga jual hanya pasrah pada pengepul saja. Dan bagi mereka
yang menjual ke TPI memiliki resiko harus menerima uang hasil tangkapannya
lebih lama daaripada pengepul karena menunggu proses pelelangan selesai dan
beberapa dibayar pada hari berikutnya. Permasalahan ekonomi yang cukup serius
tahun 2018 yaitu anjloknya harga rajungan yang sebelumnya harga rajungan dapat
mencapai Rp.120.000,-/kg nya menjadi hanya Rp. 20.000,-/kg. Hal tersebut sangat
merugikan bagi nelayan.
Ikhtisar
sehingga ikan di daerah pinggiran (lokasi penangkapan ikan nelayan Kota Tegal
>3mil) semakin sulit didapat. Sehingga, mereka harus menambah waktu
penangkapan ataupun menangkap di lokasi yang lebih jauh atau lebih lama dari
sebelumnya. Paparan sosial yang sering dihadapi oleh nelayan Kelurahan
Muarareja yakni adanya konflik horizontal antar nelayan yang diakibatkan oleh
semakin banyaknya jumlah nelayan. Sehingga, memicu tingginya persaingan
antar nelayan. Selanjutnya ialah paparan ekonomi yang sering diakibatkan oleh
kurangnya stok BBM bersubsidi sering menghambat kegiatan penangkapan
rumahtangga nelayan lapisan bawah. Beberapa paparan atau tekanan yang dinilai
mengganggu sumber penghidupan diketahui tingginya persaingan antar
nelayanlah yang menjadi sumber paparan paling menghambat bagi penghidupan
rumahtangga nelayan lapisan atas. Sementara, rumah tangga nelayan lapisan
bawah cenderung lebih terganggu atau terhambat karena faktor alam.
45
Hasil olahan data LVI- IPCC yang diperoleh dari formula LVI= (nilai
exposure – nilai adaptive capacity) x nilai sensitivitas dapat dilihat pada (Gambar
7.1). Diketahui rumahtangga nelayan lapisan bawah (0.04) lebih rentan
penghidupannya terhadap paparan yang dihadapi daripada rumahtangga nelayan
lapisan atas (-0.03).
Exposure 0.51
0.60
0.48
0.40
0.20
Exposure
Adaptive Capacity
nelayan lapisan atas dan 60% nelayan lapisan bawah sudah melaut selama lebih
dari 25 tahun. Tingginya pengalaman melaut ini dikarenakan banyak anak nelayan
sudah sudah ikut melaut sejak lulus SD. Bagi mereka lebih penting dapat
membantu perekonomian orangtua dan keluarga daripada sekolah lagi. Dengan
menjadi nelayan pun tidak dituntut berpendidikan tinggi. Seperti tuturan salahsatu
nelayan pada saat wawancara 11 Januari 2019:
“Saya sudah jadi nelayan sejak SD, bahkan beberapa teman saya
tidak tamat SD. “Sekolahnya tutup”, Jadi nelayan ikut bapak saya
atau ada yang ikut saudaranya, langsung kerja dapat uang tidak perlu
syarat pendidikan tinggi. Yang penting pengalaman ikut ke laut”
(KRT 40 tahun).
Oleh karena itu juga semua nelayan lapisan atas di Kelurahan Muarareja masih
berada dalam rentang usia produktif sementara 71% dari seluruh nelayan lapisan
bawah juga masih berada pada rentang usia produktif. Nelayan lapisan atas
maupun nelayan lapisan bawah sama-sama memiliki pekerjaan utama nelayan
(100%). Oleh karena itu mereka akan memberikan effort yang lebih untuk
memperoleh hasil tangkapan yang maksimal. Selain itu, tingginya kapasitas
adaptif nelayan Kelurahan Muarareja ini didukung oleh kemampuan adaptif
nelayan dalam memanfaatkan modal sosial seperti kuatnya ikatan sosial diantara
nelayan yang terwujud dalam tingginya partisipasi rumah tangga nelayan besar
lapisan atas dalam kelompok nelayan (100%). Aktifnya rumahtangga nelayan
lapisan besar dalam sebuah kelompok nelayan dinilai menguntungkan karena
hampir semua nelayan lapisan atas mendapatkan kemudahan memperoleh bantuan
dari pemerintah berupa alat tangkap maupun bak fiber. Sementara itu, nelayan
lapisan bawah (100%) pernah menerima bantuan dari pihak KUD yaitu bantuan
akhir tahun yang berupa sembako. Selain itu juga tingginya solidaritas antar
nelayan baik diatas kapal dan diluar kapal. Solidaritas diatas kapal ini kerjasama
nelayan pemilik dengan ABK yang dinilai baik. Meskipun, tidak ada pembagian
tugas yang spesifik diantaranya tapi proses kegiatan penangkapan dilaut tetap
berjalan lancer dengan prinsip kerjasama dan bagi hasil. Sehingga, keterikatan
ABK dengan pemilik kapal sama-sama saling menguntungkan. Sedangkan
solidaritas diluar kapal diketahu dari Semua responden yang dalam kesehariannya
pernah melakukan hutang piutang dari rumah tangga nelayan lain.
Sensitivity
Ikhtisar
Rp75,000,000
Rp60,000,000
Rp45,000,000
Rp30,000,000
Rp15,000,000
Rp-
Bottom Upper
layer layer
n=35 n=5
Government insentive Rp600,000 Rp600,000
Home industry "salted
Rp5,887,500 Rp9,000,000
fish"
Small Grocery Store IDR 2,354,545
Transfer payment Rp12,100,000 Rp18,000,000
Fishing Rp15,314,286 Rp53,160,000
Gambar 8.1 Struktur pendapatan rumahtangga nelayan per tahun menurut sumber
nafkah rumahtangga nelayan dihitung dalam angka mutlak, Kelurahan
Muarareja
yaitu Rp. 20.000,- sampai Rp. 25.000,- per hari untuk jam kerja mulai dari 07.00
hingga 17.00 WIB. Sementara, beberapa pemilik home industry ikan asin ini ialah
rumahtangga nelayan lapisan atas, cash income bersih yang diperoleh yaitu
kurang lebih sekitar Rp. 1.000.000,- per produksinya.
Jenis pekerjaan non fishing yang dilakukan oleh rumahtangga nelayan
lapisan bawah yaitu membuka usaha warung, uang dari kiriman anak “transfer
payment” dan bantuan Sisa Hasil Usaha dari KUD yang berupa sembako seperti
beras 3-5 kg dan uang THR kurang lebih Rp 100.000,- hingga Rp 200.000,-
Sementara rumahtangga nelayan lapisan atas hanya berasal dari transfer payment
dan SHU KUD saja. Terdapat Transfer payment pada setiap lapisan rumahtangga
nelayan. Transfer payment biasanya didapatkan dari kiriman anak-anak dari
rumahtangga nelayan yang bekerja di Kota. Anak-anak dari rumahtangga nelayan
lapisan atas biasanya bekerja ke luarkota sebagai sopir, buruh, atau karyawan
suatu perusahaan. Sementara anak nelayan lapisan bawah kebanyakan bekerja
sebagai Anak Buah Kapal (ABK) di Kapal Cantrang yang berada di Desa
Tegalsari, yang artinya keberadaan kapal besar di Desa tetangga ini tidak hanya
berdampak negative namun juga positif. Dampak positif tersebut yaitu seperti
menyerap tenaga kerja lebih besar sehingga membantu perekonomian masyarakat
nelayan.
1%
0%
11%
Fishing
Transfer payment
22% Small Grocery Store
Home industry "salted fish"
66% Government insentive
2%
16%
Fishing
Gambar 8.2 Struktur pendapatan rumahtangga nelayan per tahun menurut sumber
nafkah rumahtangga nelayan, dihitung dalam persentase, di Kelurahan
Muarareja
53
Rp2,000,000
Dalam rupiah
Rp1,500,000
Rp1,000,000
Rp500,000
Rp0
Setoran
Pendidikan Makanan kesehatan Air Listrik sosial
Hutang
bottom layer n=35 Rp128,571 Rp600,000 Rp9,143 Rp94,000 Rp44,571 Rp217,143 Rp108,571
upper layer n=5 Rp324,000 Rp900,000 Rp24,000 Rp121,000 Rp46,000 Rp2,160,000 Rp116,000
Gambar 8.3 Struktur pengeluaran rumahtangga nelayan pada tiap lapisan rumah
tangga nelayan per bulan, dihitung dalam angka mutlak, di Kelurahan
Muarareja
3%
9%
Pendidikan
Makanan
kesehatan
24% Air
Listrik
59% Setoran hutang
1% sosial
3%
1%
upper layer n=5
9% 10% Pendidikan
Makanan
18% kesehatan
Air
Listrik
4% Setoran hutang
8% 50%
sosial
1%
bottom layer n=35
Gambar 8.4 struktur pengeluaran rumahtangga nelayan menurut lapisan rumah
tangga nelayan per bulan, dihitung dalam persentase, di Kelurahan
Muarareja
55
Tabel 8.1 menunjukkan bahwa semakin tinggi pendapatan maka semakin tinggi
pula pengeluarannya. Pengeluaran terbesar nelayan adalah untuk kategori
makanan dan terjadi pada semua kelompok pendapatan. Badan Pusat Statistik
menyebutkan bahwa pendapatan jika dikurangi dengan pengeluaran dapat
menghasilkan tabungan rumah tangga. Namun yang terjadi pada nelayan justru
pendapatan per bulan mereka habis dikeluarkan untuk konsumsi makanan dan non
makanan. Bahkan beberapa nelayan tidak memiliki sisa pendapatan per bulannya
setelah dikurangi pengeluaran. Hasil penelitian tersebut menunjukkan
kondisi/pola nafkah nelayan Kelurahan Muarareja tidak mengalami perubahan
signifikan sejak 2017 seperti yang ditunjukkan dalam penelitian Rohayati (2017)
menyatakan bahwa nelayan dan buruh nelayan tidak termasuk dalam kategori
nelayan miskin karena memiliki pendapatan diatas garis kemiskinan yang
ditetapkan oleh Bank Dunia. Namun jika dikaitkan dengan pengeluaran per bulan,
nelayan termasuk dalam kategori nelayan miskin karena tidak memiliki tabungan.
Ikhtisar
dihadapi juga tergantung pada kemampuan dalam memiliki dan mengakses lima
modal penghidupan tersebut. Strategi penghidupan dapat dijalankan ketika
mereka mampu mengaktifkan beberap modal penghidupan yang mereka miliki
untuk mengakumulasi modal penghidupan lainnya. Secara general, modal
penghidupan rumahtangga nelayan lapisan atas yang memiliki nilai cukup tinggu
yaitu modal sosial (2.66), modal fisik (2.43) dan modal alam (2.20). Sementara,
rumahtangga nelayan lapisan bawah modal penghidupan yang tinggi yaitu modal
sosial (2.47), modal alam (2.06) dan modal manusia/SDM (1.90) (Gambar 9.1)
Modal Alam
3.00 2.20
2.50 2.06
2.66 2.00 2.43
1.50
Modal Sosial 1.00 Modal Fisik
2.47 0.50 1.80
0.00
2.08 2.10
modal manusia Modal finansial
1.90 1.71
Pelayanan pemerintah/institusi
hubungan kerabat
hubungan pertetanggaan
Kegiatan sosial Desa, gotong royong di lingkungan Desa Muarareja masih tetap
ada. Selain gotong royong memperbaiki jaring. Salah satu contoh lain ialah ketika
ada nelayan yang punya hajat atau ingin memperbaiki rumahnya, Mereka
menyatakan akan saling membantu. Nelayan juga seperti manusia pada umumnya
selayaknya makhluk sosial yang tidak bisa hidup tanpa orang lain. Hal tersebut
tercermin dari hubungan hutang piutang antar nelayan untuk kehidupan sehari-
hari pada musim paceklik atau kebutuhan mendesak seperti ketika anak sakit.
Meskipun hutang nelayan tersebut tidak besar yaitu sekitar Rp 100.000 – Rp
300.000 untuk kebutuhan sehari-hari. Hutang piutang antar nelayan ini biasanya
dilakukan oleh ABK pada pemilik kapalnya (juragan), hal tersebut terjadi karena
sudah terjalin hubungan akrab, dianggap dekat layaknya kerabat dekat. Selain itu,
hal tersebut akan menjaga ABK nya agar tidak pindah ke kapal lain.
Keikutsertaan nelayan dalam kelompok nelayan pun memudahkan mereka untuk
memperoleh bantuan dari pemerintah seperti alat tangkap, box es, diligent solar
dan perlengkapan melaut lainnya. Sistem pemberian bantuan tersebut bergilir
karena banyaknya anggota dalam satu kelompok.
dengan jam kerja mulai dari jam 7 pagi hingga jam 5 sore. Selain itu, rumah
tangga nelayan lapisan bawah biasanya juga menggerakkan anak-anak mereka
sepulang sekolah untuk ikut membantu orang tuanya. Anak perempuan membantu
fillet ikan asin dan anak laki-laki ikut melaut. Walaupun hasil upah anak mereka
hanya untuk kebutuhan anak mereka itu sendiri. Namun, setidaknya sudah
mengurangi beban pengeluaran rumahtangga nelayan lapisan bawah.
A B
Gambar 9.3 Aktivitas istri nelayan (buruh filet ikan asin) (a) dan (b) membuka
usaha warung untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari selama tidak
melaut
4
Fukuyama (1995) “Kepercayaan (Trust) dalam modal sosial merupakan kemampuan orang-orang
untuk bekerja sama mencapai tujuan bersama dalam sebua kelompok dan organisasi”
64
Menurut Kalil yang dikutip oleh Isabella dan Hendriani (2010), kelentingan
rumahtangga nelayan merujuk kepada proses coping yaitu tindakan yang
dilakukan sebuah rumahtangga untuk mengatasi kesulitan dan adaptasi dalam
rumahtangga sebagai unit yang fungsional. Penelitian yang bersifat sosiologis
ketika sebuah rumahtangga selalu menggambarkan dinamika berfungsinya
67
Sumber : RDI 42th (Pemilik Kapal 10GT ketua KUB), WRZD 45th (pemilik kapal
5GT, nelayan bubu)
68
Adaptasi Teknologi
Ikhtisar
Tipologi Adaptasi
Rumahtangga nelayan lapisan atas
Adaptasi Teknologi,
Kelembagaan kolektif
Rumahtangga lapoisan bawah
Adaptasi re-organisasional
rumahtangga/keluarga, kelembagaan
kolektif
Gambar 11.1 Skema sosiologi kerentanan penghidupan nelayan di Kelurahan
Muarareja, Kota Tegal (diadaptasi dari kerangka penelitian)
74
Kemampuan adaptasi yang tinggi dan pemanfaatan modal sosial yang tinggi
pula merupakan faktor yang cukup berkontribusi untuk memberikan akses dalam
memelihara tingkat resiliensi penghidupan rumahtangga nelayan. Syahyuti (2008)
menyatakan bahwa modal sosial merupakan fenomena yang tumbuh dari bawah
dan berasal dari adanya interaksi, hubungan sosial dan jaringan yang terbentuk
atas dasar “… trust, mutual reciprocity and norm action”. Coleman (1999)
mendefinisikan modal sosial sebagai kemampuan masyarakat untuk bekerja sama,
demi mencapai tujuan bersama, di dalam berbagai kelompok. Oleh karena tingkat
kerentanan rumahtangga nelayan di Kelurahan Muarareja, Kota Tegal rendah. Hal
tersebut dikarenakan mereka mampu megaktifkan modal sosial mereka sebagai
salah satu sumber kelentingan untuk penghidupan rumahtangga. Meskipun
mereka diketahui masih tergolong dalam kategori nelayan yang selalu erat
kaitannya dengan kemiskinan. Kemiskinan umumnya didefinisikan sebagai
keadaan di mana individu kekurangan sumberdaya untuk menyediakan kebutuhan
dasar mereka. Dari kelompok-kelompok yang diidentifikasi miskin, komunitas
nelayan skala kecil biasanya diklasifikasikan sebagai kelompok sosial-ekonomi
yang paling miskin di sebagian besar negara berkembang (Jazairy et al. 1992
dalam Mill et al. 2011). Standford et al. (2015) menambahkan bahwa
rumahtangga yang resilien artinya rumahtangga yang mampu mempertahankan
dan bahkan mengembangkan penghidupan mereka. “Improving fishers’ resilience
contributes to poverty prevention and alleviation.” Maka kemiskinan justru akan
dicegah atau dientaskan ketika rumahtangga tersebut tangguh/resilien.
Maka, dalam hal ini penulis pun mencoba melakukan penelusuran beberapa
literatur dan penelitian sebelumnya mengenai apakah nelayan (masyarakat
miskin) itu selalu rentan terhadap penghidupan/nafkah mereka. Hasilnya,
Sejumlah penulis mengklaim bahwa kerentanan yang tinggi dari para nelayan
tidak hanya dikarenakan oleh kemiskinan saja tapi sebagian karena paparan yang
intens lainnya seperti dan bencana, perubahan kondisi alam, terkait kesehatan atau
ekonomi tertentu (Bene 2009 dalam Mills et al. 2011). Seperti penelitian Mills et
al. (2011) tentang kerentanan dalam komunitas penangkapan ikan skala kecil di
Afrika lebih disebabkan karena jumlah nelayan semakin banyak, masalah
ketersediaan stok ikan yang berujung pada isu kerawanan pangan dan akses modal
yang buruk. Penelitian Islam et al. (2014) pada nelayan pesisir Bangladesh
menunjukkan bahwa dua komunitas nelayan pesisir di Bangladesh menunjukkan
bahwa unsur paparan paling besar pada kerentanan penghidupan berbasis
perikanan adalah terkait iklim. Komunitas yang paling terbuka belum tentu paling
sensitif atau paling tidak mampu beradaptasi karena kerentanan penghidupan
adalah hasil dari pengaruh biofisik gabungan dan karakteristik sosial ekonomi
masyarakat dan rumah tangga. Tetapi di dalam komunitas nelayan, di mana rumah
tangga sama-sama terpapar, sensitivitas yang lebih tinggi dan kapasitas adaptasi
yang lebih rendah bergabung untuk menciptakan kerentanan yang lebih tinggi.
Sehingga, tinggi atau rendahnya tingkat kerentanan penghidupan rumahtangga
merupakan sebuah hasil analisis menyeluruh dari faktor sensitivitas, paparan dan
kapasitas adaptasinya. Oleh karena itu kerentanan penghidupan dapat dikurangi
dengan adanya insiatif adaptasi yang beragam. Selanjutnya, Vatria et al. (2019)
75
dalam penelitian yang telah dilakukannya pada nelayan di Pulau Maya Indonesia
menyatakan bahwa status ketahanan penghidupan nelayan pada enam bidang
diantaranya alam, Sumberdaya Manusia (SDM), fisik, finansial, sosial dan
kelembagaan berada pada status “resilient”. Status ketahanan/resilient ini
diperoleh dari analisis penskalaan multidimensi (MDS) yang dinyatakan dalam
indeks resiliensi. Adapun faktor yang menentukan tingkat resiliensi nelayan di
Pulau Maya Indonesia ini diantaranya 1) bencana alam; 2) pelabuhan; 3) status
ketersediaan stok ikan; 4) isolasi geografis; 5) pekerjaan istri (berkontribusi pada
pendapatan rumahtangga); 6) pengolahan; 7) ketersediaan es; 8) transfer payment
(kiriman uang); 9) jaminan sosial; 10) norma/sanksi/regulasi dan 11) dukungan
partisipasi. Penelitian Hardy et al. (2016) yang mengambil kasus perikanan skala
kecil di Pulau Solomon menunjukkan bahwa nelayan dapat resilien dari tantangan
yang mereka hadapi seperti permasalahan ketersediaan stok ikan, peluang
ekonomi, tekanan demografis dan sosial. Menurut Hardy et al. (2016) strategi
penghidupan yang berorientasi pada uang (cash income) justru memperburuk
tingkat kerentanan nelayan. Oleh karena itu, ketangguhan/ resiliensi yang diukur
bersifat sosial, dan tergantung pada kemampuan masyarakat untuk beradaptasi
dan menyesuaikan strategi penangkapan ikan mereka dalam konteks lembaga
budaya, yaitu “wantok”5. Penelitian Sakuntaladewi dan Sylviani (2014) mengenai
kerentanan masyarakat pesisir akibat perubahan iklim yang dilakukan di tiga Desa
yaitu di Subang, Jembrana dan Pemalang bahwa tingkat kerentanan tiga desa
tersebut berbeda dan paling dipengaruhi oleh faktor geografisnya.
Begitu pun kasus yang terjadi pada nelayan di Kota Tegal, untuk kasus
nelayan di Kota Tegal, karena kondisi geografis secara administratif berada di
persimpangan jalur utara dan selatan perekonomian nasional menjadikan para
nelayan ini memiliki akses/peluang penjualan ikan hasil tangkapan yang semakin
besar. Sudharmo (2016) pun menyimpulkan bahwa gambaran tersebut bertolak
belakang dengan gambaran umum nelayan tradisonal yang tidak terhubungkan
dengan kemudahan akses untuk bekerja di sektor perikanan, tuntutan masalah
perekonomian keluarga dan kesulitan mencari peluang kerja lainnya dan nelayan
tradisional yang digambarkan dengan tingkat kualitas SDM yang rendah (Kusnadi
2003). Oleh karena itu, rendahnya tingkat kerentanan penghidupan nelayan
Kelurahan Muarareja dalam penelitian ini juga mampu menunjukkan bahwa
walaupun nelayan selalu dikaitkan dengan kemiskinan, namun mereka masih
memiliki kemampuan untuk tetap resilient. Nelayan Kelurahan Muarareja
memilih untuk bangkit dan bertahan dalam menghadapi tingkat kerentanan
penghidupan menggunakan modal penghidupan yang mereka miliki seperti
pemanfataan modal sosial secara maksimal (partisipasi dalam kelompok nelayan,
ikatan sosial antar tetangga dan kerabat yang kuat dan kepercayaan serta norma
yang tetap dijaga). Makoka dan Kaplan (2005) menyatakan bahwa kerentanan dan
kemiskinan itu tidak sama atau dua hal yang berbeda, karena kerentanan tidak
hanya terbatas pada orang miskin dan karena sifatnya yang berwawasan ke depan.
Namun demikian mereka terkait erat. Pendekatan komprehensif yang telah
dikembangkan oleh kerjasama pembangunan komunitas dan ilmuwan terkemuka
5
Wantok adalah budaya atau aturan lokal yang diterapkan masyarakat papua nugini dan afrika
(prinsip pertukaran dan pemanfaatan sumberdaya bersama atas dasar kesamaan “lingkup hubungan
darah, keluarga, kesamaan geografis tempat tinggal”)
76
0.39) dan Desa Melamchi ( LVI rendah 0.38, LVI sedang 0.43 dan LVI tinggi
yaitu 0.47).
Sementara, untuk nilai LVI nelayan dari beberapa studi/penelitian
sebelumnya diketahui seperti penelitian Islam et al. (2014) mengenai kerentanan
penghidupan berbasis perikanan di pesisir Bangladesh yaitu di Desa Kutubdia
Para. Pengukuran indeks LVI yang dilakukan di Desa Kutubdia para ini terabgi ke
dalam 4 lapisan sosial yang masing-masing diambil 25 reponden, diketahui bahwa
nilai kerentanan penghidupan (LVI) terendah yaitu 0.05, LVI sedang 0.10, LVI
tinggi 0.13 dan LVI tertinggi yaitu 0.18. Penelitian perkasaputra (2018)
menunjukkan nilai LVI nelayan Cirebon tepatnya di Desa Samadikun yaitu
sebesar 0,21. Sedangkan, Gravitiani et al. (2017) dalam penelitiannya menyatakan
bahwa berdasar hasil analisis LVI nelayan dan pedangang baik di Pesisir Selatan
Jawa berdasar perhitungan LVI- IPCC termasuk dalam kategori “tidak rentan”
dengan nilai index -0.007. Nilai ini menunjukkan bahwa penghidupan nelayan
dan pedagang di Yogyakarta selatan “tidak rentan” terhadap banjir pasang laut,
yang disebabkan oleh perubahan iklim. Begitu pula halnya yang terjadi pada
nelayan dan petani di Pesisir Utara Jawa, berdasar LVI-IPCC termasuk kategori
“tidak rentan” dengan nilai index 0.024. Menurut Gravitiani et al. (2017) secara
umum, LVI mengukur rata-rata setiap komponen, sementara di LVI-IPCC
komponen diintegrasikan ke dalam tiga komponen utama (exposure, adaptive
capacity dan sensitivity). Oleh karena itu secara umum, dari hasil perbandingan
beberapa perhitungan LVI antara petani dan nelayan diketahui bahwa nilai LVI
nelayan tidak selalu lebih tinggi daripada petani. Begitupula, dalam penelitian ini
dapat dikatakan bahwa rumahtangga nelayan daerah pesisir tidak selalu rentan
terhadap paparan dibandingkan dengan rumahtangga petani di daerah kritis.
Setelah dianalisis dari beberapa hasil penelitian tersebut diketahui alasan
mengapa nilai LVI petani justru lebih tinggi daripada LVI nelayan ialah nilai
indeks paparan yang jauh lebih besar daripada nilai indeks paparan nelayan. Hal
tersebut dikarenakan oleh tanaman/hasil panen petani sangat rentan terhadap
perubahan lingkungan seperti hama, kekeringan, banjir, bencana, perubahan
iklim, perubahan landscape, alih fungsi lahan dan lainnya. Keberhasilan panen
sangat tergantung pada proses perawatan tanaman yang intens. Sehingga petani
lebih terancam pada resiko gagal panen dan kerugian. Sementara, ikan atau hasil
tangkapan laut tidak diperlukan perawatan intensif. Selain itu, rendahnya daya
kapasitas adaptif suatu daerah bisa disebabkan dari beberapa faktor, misalnya
kondisi sosio demografi yang tidak mendukung, serta jaringan sosial dan
kelembagaan yang lemah. Beberapa indikator yang digunakan, seperti jaringan
sosial serta kelembagaan formal yang digunakan untuk menilai tingkat kerentanan
juga bisa digunakan sebagai solusi. Kemampuan adaptasi nelayan dalam
menggerakkan kelembagaan formal terlihat lebih kuat karena kesamaan kondisi
yang dihadapi yakni ketidakmenentuan jaminan keselamatan dan hasil yang
didapat selama melaut di tengah laut. Berbeda halnya dengan petani yang hasilnya
dapat diprediksi sebelumnya.
78
6
Mobilitas sosial merupakan perpindahan dari suatu kelas sosial ke kelas sosial lainnya (Horton &
Hunt, 1999:36) yang biasanya ditunjukkan melalui pekerjaan sekarang yang berbeda dari
pekerjaan sebelumnya. Mobilitas sosial memiliki dua macam tipe yaitu mobilitas sosial horizontal
dan vertikal. Pada mobilitas sosial horizontal, individu yang melakukan mobilitas tidak mengalami
perubahan status sosial dalam masyarakat karena status yang dimiliki oleh individu kurang lebih
sama atau tidak jauh berbeda dengan status sebelumnya. Sedangkan pada mobilitas vertikal
seseorang tidak hanya mengalami perubahan pada status sosialnya melainkan juga ia akan
menempati stratifikasi sosial yang berbeda dari sebelumnya.
Ada dua tipe mobilitas vertikal yaitu mobilitas naik (upward mobility) dan mobilitas turun
(downward mobility). Adapun mobilitas sosial vertikal yang naik mempunyai dua bentuk utama,
yaitu: a. masuknya individu yang mempunyai kedudukan rendah ke dalam kedudukan yang lebih
tinggi; b. pembentukan suatu kelompok baru yang kemudian di tempatkan pada derajat yang lebih
tinggi dari kedudukan individu pembentuk kelompok tersebut. Sedangkan pada mobilitas vertikal
turun mempunyai dua bentuk juga yaitu: a. turunnya kedudukan individu ke kedudukan yang lebih
rendah derajatnya; b. turunnya derajat sekelompok individu yang dapat berupa disintegrasi
kelompok (Soekanto, 2006:220- 221).
79
musim tersebut mereka masih tetap bisa membayar tagihan hutang Bank dari hasil
tangkapan yang didapatkan. Strategi eksploitasi yang dilakukan oleh rumahtangga
nelayan lapisan atas tersebut tidak hanya berlaku bagi sumberdaya ikan
tangkapannya namun juga perlakuannya terhadap ABK nya juga dapat dikatakan
eksploitasi SDM.
Sejalan dengan Mc Leod dan Kessler (1990) yang menyatakan bahwa orang
yang memegang posisi status sosial ekonomi rendah akan lebih kuat dipengaruhi
secara emosional oleh peristiwa kehidupan yang tidak diinginkan daripada rekan
mereka yang berstatus sosial lebih tinggi. Dua jenis sumber daya yang terlibat
dalam perbedaan tingkat kerentanan ini adalah sumber daya keuangan (income)
dan sumber daya coping yang lebih luas seperti dukungan sosial dan karakteristik
kepribadian yang tangguh. Orang yang berstatus sosial lebih rendah akan
dirugikan karena mereka mengalami lebih banyak peristiwa keuangan yang tidak
diinginkan (misalnya kehilangan pekerjaan) dan karena mereka tidak memiliki
sumber daya keuangan yang memadai untuk mengatasi peristiwa tersebut. Mereka
berstatus lebih rendah memiliki struktur kepribadian yang membuat mereka
cenderung tertekan dalam menghadapi krisis, seperti harga diri yang rendah dan
perasaan tidak berdaya. Peraln dan Schooler (1978) menambahkan bahwa secara
khusus, mereka menemukan bahwa orang-orang dengan tingkat pendidikan yang
rendah lebih cenderung menggunakan strategi yang tidak efektif daripada rekan-
rekan mereka yang lebih berpendidikan. Tingkat sosialiasi atau interaksi dengan
orang lain, dukungan sosial dan moral dapat mempengaruhi tingkat kerentanan.
Mereka yang mampu berinteraksi dan mendapat dukungan sosial yang baik, dan
diperoleh dari pribadi dengan tingkat resilien yang tinggi. Maka hal tersebut akan
berpengaruh pada tingkat kerentanan mereka.
Di akhir, peneliti melakukan analisis sosiologi untuk mengkonseptualisasi
gagasan mengenai kerentanan penghidupan rumahtangga nelayan di lokasi
penelitian. Selain mengacu pada kerangka penghidupan yang disampaikan
Chamber and Conway (1991), Scoones (1998), Carney (1998), DFID (1999), dan
Ellis (2000), analisis juga dilakukan dengan mengacu kepada statement of belief
mengenai kerangka teoretikal sosiologi penghidupan yang disampaikan oleh
Dharmawan (2007:184-185), sebagai berikut:
1. Dalam kondisi dan situasi apapun, setiap individu atau rumah tangga selalu
berupaya untuk mempertahankan status kehidupannya dan sebisa mungkin
melanjutkan eksistensinya hingga lintas generasi melalui berbagai cara
(strategi) bertahan hidup melalui manipulasi sumber-sumber penghidupan
yang tersedia di hadapannya.
2. Setiap individu [atau rumah tangga] membangun mekanisme-mekanisme
survival melalui kelompok maupun komunitas sesuai konteks sosiobudaya-
eko-geografi dan lokalitas di mana individu [atau rumah tangga] tersebut
berada.
3. Ada kekuatan infrastruktur (kelembagaan/institusi sosial) dan kekuatan
suprastruktur (tata nilai) serta struktur sosial (pola hubungan sosial) yang
menyebabkan bentuk strategi nafkah yang dibangun individu maupun
kelompok individu [atau rumah tangga] tidak selalu seragam di setiap
lokalitas.
80
4. Hingga batas tertentu, strategi nafkah yang dibangun oleh individu dan
rumah tangga akan mempengaruhi dinamika kehidupan sosial pada aras
masyarakat. Sebaliknya dinamika kehidupan masyarakat akan menentukan
strategi yang dibangun di tingkat individu dan rumah tangga.
Etika budaya lokal, gotong royong dan kelembagaan sebagai respon nelayan
Kelurahan Muarareja terhadap kerentanan penghidupan
Kelurahan Muarareja letaknya di Kota Tegal Kecamatan Tegal Barat,
masyarakat Muarareja merupakan masyarakat yang sebagian besar masyarakatnya
bermatapencaharian sebagai nelayan. Artinya, kehidupan masyarakatnya sangat
bergantung pada seberapa besar hasil tangkapan ikan di laut. Sementara agama
yang dianut oleh sebagian besar penduduknya adalah agama Islam, yang masih
menjunjung tinggi tradisi-tradisi leluhur yang dilaksanakan secara turun-temurun.
Sebelumnya, Kelurahan Muarareja terbentuk atas 2 (dua) Dusun, yaitu Dusun
Muaratua dan Muaraanyar. Dukuh Muaratua letaknya di sebelah timur dan Dusun
Muaraanyar di sebelah barat Kelurahan Muarareja. Mayoritas penduduk
Kelurahan Muarareja bermatapencaharian sebagai nelayan. Nelayan Kelurahan
Muarareja sebagian besar merupakan nelayan dengan tingkat pendidikan rendah
dan keterampilan terbatas dan tingkat ketergantungan pada Sumberdaya Ikan
tergolong tinggi. Namun, masyarakat Kelurahan Muarareja tetap bangga
berprofesi menjadi nelayan. Kondisi sosial ekonomi mereka memang serba pas-
pasan. Walupun begitu, telah diketahui tingkat kerentanan penghidupan mereka
justru rendah. Yang artinya daya tahan nelayan Kelurahan Muarareja Kota Tegal
cukup baik. Resiliensi tersebut terjaga karena dalam kehidupannya, masyarakat
Kelurahan Muarareja sangat menjaga tiga hal diantaranya 1) budaya gotong
royong; 2) eratnya hubungan pertetanggaan dan kekerabatan dan 3) tingkat
kepercayaan yang tinggi.
Budaya gotong royong ini terlihat ketika ada beberapa diantara warga
Kelurahan Muarareja sedang membangun atau memperbaiki rumah, memperbaiki
kapal dan atau alat tangkap. Mereka akan saling bahu-membahu dalam
mengerjakan setiap pekerjaan yang membutuhkan banyak tenaga manusia.
Meskipun tidak mendapatkan upah. Namun dari beberapa responden ada juga
yang menyatakan, meskipun tidak diupah setidaknya dapat makan dan dapat
berkumpul bersama teman/tetangga. Oleh karena budaya gotong tersebut maka
dapat menekan biaya pengeluaran rumahtangga.
Budaya saling percaya diantara masyarakat Kelurahan Muarareja ini
terbangun karena dasar kesamaan agama yang dianut dan diyakininya. Mayoritas
nelayan Kelurahan Muarareja bergama Islam. Walaupun, sebagian besar nelayan
di daerah Muarareja menganut agama Islam, tetapi bukan berarti masyarakatnya
fanatik pada satu agama saja. Di Kelurahan Muarareja terdapat satu masjid dan
beberapa mushola tetapi mereka tetap toleransi dan saling tegur sapa juga saling
membantu terhadap masyarakat non-muslim. Kegiatan menjalankan ibadah atau
ajaran agama tergantung dari masing-masing individu. Masyarakat Kelurahan
Muarareja tidak terlalu mempermasalahkan selama tidak mengganggu
ketentraman dan kenyamanan. Kegiatan keagamaan bukan hanya kegiatan yang
berhubungan dengan suatu agama saja tetapi ada pula kegiatan tradisi ritual yang
berhubungan dengan agama yakni sedekah laut. Meskipun mayoritas nelayan
81
adalah muslim tapi sebagian besar warganya masih menganut adat tradisional
seperti sedekah laut. Kegiatan ini dilakukan tiap tahun oleh semua masyarakat
nelayan. Ritual sedekah laut ini bertujuan untuk meminta keselamatan dan rezeki.
Ritual sedekah laut dilakukan di tengah laut dengan melarungkan berbagai macam
sesaji. Kegiatan ini tetap ditujukan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa sehingga
kegiatan ini tidak dianggap sebagai kegiatan musyrik bagi masyarakat sekitar. Hal
tersebut dilakukan semata-mata karena Tuhan sebagai penguasa alam maupun
Maha Kuasa walaupun kegiatannya seolah-olah ditunjukkan kepada penguasa laut
tetapi tetap saja untuk Tuhan. Dalam tradisi ritual keagamaan tersebut, semua
masyarakat ikut berperan serta karena masyarakat Muarareja sebagian besar
bekerja sebagai nelayan. Selain itu, dalam 1 minggu ada 1 hari yang ditetapkan
oleh nelayan Kelurahan Muarareja yaitu hari Jum’at, dimana pada hari tersebut
mereka libur melaut. Alasan menetapkan hari tersebut adalah selain hari jumat
adalah hari yang dimuliakan oleh umat muslim. Nelayan Kelurahan Muarareja
percaya bahwa dengan tidak melaut pada hari jumat artinya sudah menghindari
bala atau resiko melaut.
Hubungan kekerabatan diantara masyarakat Kelurahan Muarareja sangat
baik/tinggi. Hal tersebut dikarenakan masyarakat Desa Murareja masih memiliki
tali persaudaraan (hubungan darah). Masayarakat yang masih memiliki hubungan
kerabat memiliki matapencaharian yang sama yaitu sebagai nelayan. Dengan
adanya kerabat dekat di daerah sekitar dapat membantu apabila ada salah satu
kerabat yang mengalami kesulitan. Keluarga inti di dalam masyarakat Kelurahan
Muarareja pun saling bahu-membahu seperti dalam kegiatan ekonomi. Perempuan
di dalam keluarga pun turut berperan dalam menunjang perekonomian keluarga.
Istri tidak hanya berperan sebagai Ibu Rumah Tangga (IRT) namun juga ikut
dalam kegiatan perikanan seperti membantu melelangkan ikan di TPI, buruh filet
ikan asin untuk membantu meningkatkan harga jual ikannya. Anak perempuannya
pun terkadang juga diajak untuk ikut buruh di pengasinan ikan seperti membantu
membersihkan ikan atau membelah ikan menjadi 2 bagian sebalum dikeringkan.
Hasil upah yang didapatkan paling tidak dapat untuk kebutuhannya sendiri
sehingga mengurangi bebban ekonomi kelurga. Sedangkan untuk anak-anak usia
sekolah juga terkadang ikut melaut hanya sekedar mambantu bila sepulang
sekolahnya.
Etika/budaya gotong royong pada masyarakat nelayan mendukung
terbentuknya kerjasama antar nelayan dan memudahkan masyarakat dalam
melakukan pekerjaan maupun dalam kehidupan sehari-hari. Sistem hubungan
kekeluargaan dan kerabat pada masyarakat nelayan Muarareja memperkuat
hubungan antarkerabat dan dapat membantu menyelesaikan masalah dalam
kehidupan sehari-hari. Selain itu, budaya saling percaya yang ada pada
masyarakat nelayan menjadi pedoman dalam bekerja berusaha tidak melakukan
hal-hal yang dilarang oleh ajaran agama dan kepercayaan yang diyakini.
Ketika berbicara tentang masyarakat pesisir maka identik dengan
masyarakat nelayan karena sebagaian besar matapencaharian masyarakat pesisir
adalah nelayan. Nelayan dikenal memiliki tingkat saling peduli, keberamaan dan
sistem kekerabatan yang kuat. Masyarakat nelayan ini terintegrasi secara sosial
budaya sehingga seringkali membicarakan permasalahan bersama-sama dan
menentukan tujuan bersam-sama. Integrasi tersebut kemudian erat kaitannya
82
dengan solidaritas sosial yaitu solidaritas mekanik7. Tradisi gotong royong yang
masih bertahan di kehidupan nelayan ini menjadi sebuah kekuatan kelembagaan
sosial atau solidaritas sosial yang dapat digunakan untuk merespon tekanan atau
paparan. Hal tersebut dikarenakan unsur gotong royong tersebut terdiri dari
beberapa aspek seperti rasa kekeluargaan, persamaan nasib dan norma yang
berlaku (seperti tingginya persaingan, ketidakpastian hasil tangkapan, jeratan
tengkulak, belitan hutang piutang, dan lainnya). Sehingga, dapat dikatakan bahwa
fungsi kelembagaan ala Durkheimian masih berlaku pada kehidupan rumahtangga
nelayan, dimana titik tumpu kelentingan rumahtangga nelayan terkebih untuk
lapisan bawah tertumpu pada ikatan sosial territorial dan genealogis.
7
Solidaritas sosial merupakan suatu keadaan hubungan antara individu dan kelompok yang
didasarkan pada perasaan moral, kepercayaan yang dianut bersama dan diperkuat oleh pengalaman
emosional bersama. Solidaritas mekanik adalah solidaritas sosial yang didasarkan pada suatu
kesadaran kolektif bersama merujuk pada totalitas kepercayaan dan sentiment bersama (Ritzer
2012:129-189).
83
Kesimpulan
lain yang mempunyai tekanan atau paparan penghidupan yang tinggi. Berikut
merupakan saran-saran yang dimaksud:
1. Pemerintah sebaiknya menyediakan dan memberikan bantuan stok BBM
bersubsidi dengan kuota yang mencukupi khusus untuk komunitas nelayan
kecil dengan dibarengi adanya pengontrolan langsung sehingga terjamin
tepat sasaran.
2. Permasalahan overfishing di Perairan Kota Tegal sebaiknya segera
ditanggapi oleh Pemerintah dengan membentuk fungsi kelembagaan
zonasi dan kelembagaan Barrier Entry. Zonasi penangkapan sesuai alat
tangkap dan kapasitas kapal dengan wilayah fishing ground yang jelas.
Pembatasan kuota jumlah kapal yang dapat beroperasi (barrier entry)
untuk mengurangi tingginya persaingan antar nelayan.
3. Membentuk kelembagaan program intervensi langsung terhadap
rumahtangga nelayan lapisan bawah untuk mendorong mereka agar mau
dan mampu naik kelas/strata.
85
DAFTAR PUSTAKA
Fukuyama F. 1995. Trust: The Social Virtues and the Creation of Prosperity. New
York (UK): Free Pr.
Fulton EA, Smith ADM, Smith DC, van Putten IE. 2011. Human behaviour: the
key source of uncertainty in fisheries management. Fish Fish. 12, 2–17.
http://dx.doi.org/10.1111/j.1467-2979.2010.00371.x.
Gutiérrez NL, HilbornR, Defeo O. 2011. Leadership, social capital and incentives
promote successful fisheries. Nature. 470:386–9.
Hakim L.2017. Kompetisi Alat Penangkapan Ikan di Pelabuhan Perikanan Pantai
tegalsari. [Skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor
Hahn MB, Riederer AM, Foster SO. 2009. The livelihood vulnerability index: a
pragmatic approach to assessing risks from climate variability and
change—a case study in mozambique. Glob Environ Change. 19(1), 74-
88.
Hardy PY, Bene C, Doyen L, Pereau JC, Miles D, 2013. Viability And Resilience
Of Small-Scale Fisheries Through Cooperative Arrangements. Cahiers
du GRETha. France (EU): Universi té Montesquieu Bordeaux.
Hidayat.2013. Peningkatan kapasitas kelembagaan nelayan. J Sej citra lekha
17(1): 43-58
Horton, Hunt. 1999. Sosiologi. Edisi VI. Jakarta (ID) : Erlangga.
IPCC.2001. Impacts, Adaptation, and Vulnerability. Part B: Regional Aspects.
Contribution of Working Group II to the Fifth Assessment Report of the
Intergovernmental Panel on Climate Change. Assessment Report of the
Intergovernmental Panel for Climate Change (IPCC). Cambridge [UK]:
Cambridge University Press
IPCC. 2012. In: Field CB, Barros V, Stocker TF, Qin D, Dokken DJ, Ebi, KL,
Mastrandrea MD, Mach KJ, Plattner GK, Allen SK, Tignor M, Midgley,
PM. (Eds.), Managing the Risks of Extreme Events and Disasters to
Advance Climate Change Adaptation. A Special Report of Working
Groups I and II of the Intergov- ernmental Panel on Climate Change.
Cambridge (UK):Cambridge University Pr.
IPCC. 2007. Summary for policy makers. Climate change 2007: Impacts,
adaptation and vulnerability (p. 7-22). In Parry ML, Canziani O.F,
Palutikof JP, van der Linden, PJ, & Hanson CE (eds.).Fourth Assessment
Report of the Intergovernmental Panel for Climate Change (IPCC).
Cambridge [UK]: Cambridge University Press
IPCC. 2014: Climate Change 2014: Impacts, Adaptation, and Vulnerability. Part
B: Regional Aspects. Contribution of Working Group II to the Fifth
Assessment Report of the Intergovernmental Panel on Climate Change
pp.688. In Barros VR CB, Field DJ, Dokken MD, Mastrandrea KJ, Mach
TE, and LLWhite (eds.). Mitigation of Climate Change. Cambridge
[UK]: Cambridge University Press
Jazairy I, Alamgir M, Panuccio T. 1992. The State of World Rural Poverty: An
Inquiry Into Its Causes and Consequences .New York (UK). New York
University IFAD Pr.
Gravitiani E, Fitriana SN dan Suryanto.2017. Community Livelihood
Vulnerability Level in Northern and Southern Coastal Area of java,
89
LAMPIRAN
Kuisioner Penelitian
2. Adaptif
Alam Ya (2) Tidak
(1)
25 Apakah Bapak pernah melaut lebih jau dari biasanya
(normalnya)?
26 Apakah Bapak pernah melaut lebih lama dari biasanya
(normalnya)?
Manusia Ya (2) Tidak
(1)
27 Apakah anggota keluarga yang bekerja lebih dari satu
orang?
28 Adakah anggota keluarga yang bekerja selain sebagai
nelayan?
29 Apakah nelayan adalah pekerjaan utama/pokok?
30 Apakah Usia dibawah 50 tahun?
31 Apakah Bapak sudah melaut lebih dari 10 tahun?
32 Apakah Bapak memiliki pekerjaan sampingan?
33 Apakah ada peluang kerja lain selain nelayan?
Fisik Ya (2) Tidak
(1)
34 Apakah memiliki alat tangkap >1 jenis?
35 Apakah Bapak memiliki handphone, Televisi/Radio?
(bisa salahsatu)
98
3. Sensitivitas
Pangan Ya Tidak (1)
(2)
45 Apakah Bapak menjual langsung semua hasil
tangkapan Bapak untuk memenuhi kebutuhan pokok
sehari-hari (makan)?
46 Apakah Sebagian hasil tangkapan yang bapak
dapatkan selalu disisihkan untuk lauk makan sehari-
hari?
Teknologi Ya Tidak (1)
(2)
49 Apakah Kapal yang Bapak miliki merupakan hasil
pinjaman Bank?
50 Apakah saat ini Bapak merasa kesulitan dalam mencari
ABK
51 Apakah Bapak akhir akhir ini pernah berebut lokasi
tangkapan (sama-sama mencari ikan di lokasi yang
sama)
99
d. Modal sosial (modal yang meliputi tata aturan local, jaringan, pola
hubungan saling kepercayaan serta hubungan timbal balik yang
memungkinkan orang bekerja sama)
Kondisi/ Ket
No. Jenis modal
Ketersediaan
Tata aturan local dalam pengelolaan
78 sumberdaya alam/ikan
Perkumpulan/kelompok
79 nelayan/pengolah
80 Bantuan pemerintah/institusi
81 Koperasi nelayan
82 Hubungan antar nelayan/masyarakat
83 Hubungan antar kerabat
95. Apakah yang Bapak lakukan ketika perubahan musim dan penurunan hasil
tangkapan?
96. Apakah yang bapak lakukan ketika harga modal produksi mengalami
kenaikan? (harga BBM,sarana prasana penangkapan ikan)
97. Apakah jenis Konflik sosial yang sering terjadi atau yang Bapak alami?
98. Apakah kelompok Nelayan dan atau koperasi unit desa yang ada
memberikan dampak positif bagi usaha perikanan Bapak, membantu
mengurangi/mneyelesaikan permasalahan terkait usaha penangkapan ikan
yang Bapak lakukan?
103
RIWAYAT HIDUP
Penulis bernama lengkap Zulfa Nur Auliatun Nissa’ dilahirkan di
Palangkaraya pada tanggal 20 Maret 1995. Penulis adalah anak kedua dari tiga
bersaudara dari ayah Sukar Suatmadjie dan Murti Hanik. Pada tahun 2012,
penulis lulus dari SMA Negeri 1 Wuryantoro dan pada tahun yang sama lulus
seleksi masuk Universitas Gadjah Mada (UGM) melalui jalur Undangan Seleksi
Masuk UGM dengan Beasiswa Bidik Misi dan diterima di Departemen Perikanan,
Fakultas Pertanian. Setelah menempuh pendidikan empat tahun, penulis
melanjutkan studi di Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor, tepatnya pada
Program Studi Sosiologi Pedesaan dengan Beasiswa DAAD SEARCA (Southeast
Regional Center for Graduate Study and Research in Agriculture)
Selama mengikuti perkuliahan, penulis juga aktif sebagai Staf Departemen
Keilmuan Klinik Agromina Bahari (KAB Pertanian) 2012-2014, Kepala
Departemen Media, Informasi dan Opini Keluarga Mahasiswa Muslim Pertanian
(KMMP) masa kepengurusan 2013-2014 dan beberapa kepanitiaan seperti
Seminar Nasional Perikanan ke 13 sebagai editor prosiding. Selain itu penulis
juga menjadi asisten praktikum untuk Mata Kuliah Avertebrata Air, Iktiologi,
Biologi Laut, Fisiologi Hewan Air, Manajanemen Sumberdaya Perikanan. Karya
ilmiah yang berjudul Livelihood Analysis of Floating Net cages Fish farmers at
Sendang Village Sub-district of Gajah Mungkur Reservoir of Wonogiri Regency
telah disajikan pada event 2nd International Symposium Marine and Fisheries
(ISMFR) di Yogyakarta tahun 2017 dan diterbitkan pada IOP Conference Series:
Earth and Environmental Science Volume 139, Issue 1 tahun 2018 dan karya
ilmiah yang berjudul Vulnerability livelihood analysis of floating net cages fish
farmers of Gajah Mungkur Reservoir telah disajikan event 4th RSAA Regional
Conference on Food Security Climate Change and Poverty Reduction: Initiatives
towards Sustainable Agriculture and Resilient Communities in Southeast Asia di
Los Banos, Philippines. Selain itu juga, karya ilmiah yang merupakan bagian dari
tesis ini yang berjudul Vulnerability Analysis of Small Household Foshermens’s
in Tegal City akan diterbitkan pada Jurnal Komunitas: International journal of
Indonesian society and culture volume 11 edisi 2 tahun 2019.