Anda di halaman 1dari 13

PORTOFOLIO

PRAKTIKUM ANALISIS DAN STANDARISASI OBAT BAHAN ALAM

“Kadar Sari dan Kadar Abu”


Pertemuan ke-4

Tanggal 27 Maret 2021

Kelompok : 2 / J

Penyusun :

Evy Widiastuti (24185367A)


Mimanara (24185504A)
Haristin Endrasari (24185651A)
Safira Ayunisa (24185652A)

PROGRAM STUDI S1 FARMASI

FAKULTAS FARMASI

UNIVERSITAS SETIA BUDI

SURAKARTA

2021
Kadar Sari dan Kadar Abu
Kelompok 2

A. TUJUAN
Mengenal dan memahami sari larut air dan sari larut etanol dari simplisia serta
terampil menganalisis kadar abu.

B. DASAR TEORI
Ekstrak adalah sediaan kering, kental atau cair yang dibuat dengan cara mengambil sari
simplisia menurut cara yang tepat dan diluar pengaruh cahaya matahari langsung. Salah satu
cara ekstraksi yang paling sering dilakukan adalah dengan merebus simplisia selama 30
menit. Hasil rebusan disaring dengan kain atau kawat kasa. Setelah itu, air hasil rebusan
dimasak sambil diaduk-aduk hingga mengental. Hasilnya diperoleh ekstrak kental simplisia
yang bisa diolah lagi menjadi serbuk simplisia, sirup, obat, lulur atau ramuan bentuk krim
(Sudewo, 2009).
Simplisia adalah bahan alami yang digunakan sebagai obat yang belum mengalami
pengolahan apapun kecuali dinyatakan lain, berupa bahan yang telah dikeringkan (Ditjen
POM, 1979).
Simplisia adalah bahan alamiah yang dipergunakan sebagai obat, belum mengalami
pengolahan apapun, dan jika tidak dinyatakan atau disebutkan lain, simplisia merupakan
bahan yang dikeringkan.Simplisia dapat berupa simplisia nabati, simplisia hewani, dan
simplisia pelikan atau mineral.Simplisia nabati adalah simplisia berupa tanaman utuh, bagian
tanaman, atau eksudat tanaman. Eksudat tanaman adalah isi sel yang secara spontan keluar
dari tanaman atau dengan cara tertentu dikeluarkan oleh selnya. Tahapan pembuatan
simplisia meliputi pengumpulan bahan baku, sortasi basah, pencucian, perajangan,
pengeringan, sortasi kering, pengepakan atau penyimpanan, dan pemeriksaan mutu
(Suharmiati, 2003).
Kadar sari larut air digunakan untuk menentukan kemampuan dari bahan baku obat atau
simplisia tersebut apakah tersari dalam pelarut air. Kadar sari larut etanol digunakan untuk
mengetahui apakah bahan baku obat atau simplisia mampu larut dalam pelarut organik.
Penentuan kadar abu total bertujuan untuk memberikan gambaran tingkat pengotoran
oleh kontaminan berupa senyawa anorganik seperti logam alkali (Na, Kalium, Lithium),
logam alkali tanah (Ca, Ba) dan logam berat (Fe, Pb, Hg). Penentuan kadar abu larut air
bertujuan untuk menentukan tingkat pengotoran oleh silikat. Sedangkan penentuan kadar abu
tidak larut asam bertujuan untuk menentukan tingkat pengotoran oleh pasir dan kotoran lain.
Kadar Sari dan Kadar Abu
Kelompok 2

Kunir atau kunyit (Curcuma longa Linn. Sinonim dengan Curcuma domestia Val.)
termasuk salah satu tanaman rempah dan obat asli dari wilayah Asia Tenggara. Tanaman ini
tumbuh dengan baik di Indonesia. Tanaman tumbuh tegak dengan mencapai ketinggian 1,0-
1,5 m. Warna bunga putih atau putih bergaris hijau dan terkadang ujung bunga berwarna
merah jambu. Bagian utama dari tanaman adalah rimpangnya yang berada didalam tanah
(Agoes, 2010).
Kandungan utama dalam rimpang kunyit adalah kurkumin dan minyak atsiri, yang
berfungsi untuk pengobatan hepatitis, anti-oksidan, gangguan pencernaan, antimikroba,
antikolestrol, anti-HIV, antitumor, menghambat sel tumor payudara, menghambat ploriferasi
sel tumor pada usus besar dan anti rematik. Kurkumin atau kurkuminoid adalah suatu
campuran yang kompleks berwarna kuning oranye yang diisolasi dari tanaman kunyit telah
dikenal di kalangan industri jamu atau obat tradisional dan banyak digunakan sebagai bahan
baku dalam ramuan jamu (Rukmana, 2016).

C. ALAT DAN BAHAN

Alat Bahan
Labu Erlenmeyer Bahan Simplisia : rimpang kunyit
Cawan Uap Etanol
Kaki tiga + Kassa Aquadest
Pembakar Spirtus Kloroform
Batang Pengaduk HCL encer
Spatel
Gelas Ukur
Pipet volume
Waterbath
Kertas saring bebas abu
Kurs
Desikator
Kadar Sari dan Kadar Abu
Kelompok 2

D. CARA KERJA

1. Penetapan kadar sari larut air

Menyiapkan air jenuh kloroform,


sebanyak 2,5 ml kloroform dalam
air suling sampai 1 liter.

Menimbang saksama kurang lebih


5 g serbuk (4/18) yang telah
dikeringkan, masukkan dalam labu
bersumbat.

Menambahkan 100 ml air jenuh


kloroform, kocok berkali-kali
selama 6 jam pertama, lalu
didiamkan selama 18 jam.

Melalukan penyaringan lalu


uapkan filtrat sebanyak 20 mL
filtrat hingga kering dalam cawan
dangkal yang telah dipanaskan
1050C dan ditara.
Kadar Sari dan Kadar Abu
Kelompok 2

Memanaskan sisa pada suhu 1050C


hingga bobot tetap. Hitung kadar
dalam % sari larut air.

2. Penetapan kadar sari larut etanol

Menimbang saksama lebih Menambahkan 100 ml etanol,


kurang 5 g serbuk (4/18) yang kocok berkali-kali selama 6 jam
telah dikeringkan, masukkan pertama, lalu didiamkan selama
dalam labu bersumbat. 18 jam.

Memanaskan sisa pada suhu Menyaring cepat lalu uapkan 20


1050C hingga bobot tetap. mL filtrat hingga kering dalam
` kadar dalam % sari larut
Hitung cawan dangkal yang telah
etanol. dipanaskan 1050C dan ditara.

3. Penetapan kadar abu menurut FHI

Menimbang saksama lebih


kurang 2 sampai 3 g bahan uji
yang telah dihaluskan, lalu
masukkan kedalam krus silikat
yang telah dipijar dan ditara.

Memasukkan filtrat dalam krus


yang sama. Masukkan filtrat ke
dalam krus, uapkan, pijarkan
hingga bobot tetap pada suhu
800±250C.
Kadar Sari dan Kadar Abu
Kelompok 2
Mendidihkan abu yang
diperoleh pada penetapan kadar
abu total dengan 25 mL asam
klorida.

Menyaringnya melalui kertas


saring bebas abu, cuci dengan
air panas, dan pijarkan dalam
krus hingga bobot tetap pada
800±250C.

Menghitung kadar abu yang


tidak larut dalam asam terhadap
berat bahan uji, dinyatakan
dalam % b/b.

E. HASIL/DATA
1. Kadar Sari Larut Air
Sampel serbuk simplisia
Bobot kertas timbang = 8,5231 g
Bobot kertas timbang berisi sampel = 13,5384 g
Bobot kertas timbang berisi sisa sampel = 8,5274 g
Bobot krus kosong = 118,8557 g
Bobot serbuk = Bobot KT + sampel - bobot kertas timbang + sisa
= 13,5384 g - 8,5274 g
= 5,0119 g
Waktu memasukkan ke Waktu pengambilan di Bobot setelah pengeringan (g)
oven oven
09.50 10.50 119,1137
11.10 12.10 119,0616
12.30 13.30 119,0499
13.50 14.50 119,0459
15.15 16.15 119,0455

Rata-rata bobot setelah pengeringan = 119,063 g


 Kadar sari 1
Bobot sari 1 = Bobot setelah pengeringan - Bobot krus kosong
Kadar Sari dan Kadar Abu
Kelompok 2

= 119,1137 – 118,8557 g
= 0,258 g
𝐵𝑜𝑏𝑜𝑡 𝑠𝑎𝑟𝑖 20
Kadar sari = 𝐵𝑜𝑏𝑜𝑡 𝑠𝑒𝑟𝑏𝑢𝑘 x 100 x 100%

0,258 g 20
= x x 100%
5,0119 g 100
= 25,7%
 Kadar sari 2
Bobot sari 2 = Bobot setelah pengeringan - Bobot krus kosong
= 119,0616– 118,8557
= 0,2059 g
𝐵𝑜𝑏𝑜𝑡 𝑠𝑎𝑟𝑖 20
Kadar sari = 𝐵𝑜𝑏𝑜𝑡 𝑠𝑒𝑟𝑏𝑢𝑘 x 100 x 100%

0,2059 g 20
= x x 100%
5,0119 g 100
= 20,5%
 Kadar sari 3
Bobot sari 3 = Bobot setelah pengeringan - Bobot krus kosong
= 119,0499 – 118,8557
= 0,1942 g

𝐵𝑜𝑏𝑜𝑡 𝑠𝑎𝑟𝑖 20
Kadar sari = 𝐵𝑜𝑏𝑜𝑡 𝑠𝑒𝑟𝑏𝑢𝑘 x 100 x 100%

0,1942 g 20
= x x 100%
5,0119 g 100
= 19,3%
 Kadar sari 4
Bobot sari 4 = Bobot setelah pengeringan - Bobot krus kosong
= 119,0459 – 118,8557
= 0,1902 g
𝐵𝑜𝑏𝑜𝑡 𝑠𝑎𝑟𝑖 20
Kadar sari = 𝐵𝑜𝑏𝑜𝑡 𝑠𝑒𝑟𝑏𝑢𝑘 x 100 x 100%

0,1902 g 20
= x x 100%
5,0119 g 100
= 18,95%
 Kadar sari 5
Bobot sari 4 = Bobot setelah pengeringan - Bobot krus kosong
= 119,0455– 118,8557
= 0,1898 g
𝐵𝑜𝑏𝑜𝑡 𝑠𝑎𝑟𝑖 20
Kadar sari = 𝐵𝑜𝑏𝑜𝑡 𝑠𝑒𝑟𝑏𝑢𝑘 x 100 x 100%

0,1898 g 20
= x x 100%
5,0119 g 100
= 18,9%
2. Kadar Sari Larut Etanol
Sampel serbuk simplisia
Kadar Sari dan Kadar Abu
Kelompok 2

Bobot kertas timbang = 10,7351 g


Bobot kertas timbang berisi sampel = 15,7471 g
Bobot kertas timbang berisi sisa sampel = 10,7373 g
Bobot krus kosong = 113,8437 g
Bobot serbuk = Bobot KT + sampel - bobot KT + sisa
= 15,7471 g - 10,7373 g
= 5,0098 g
Waktu memasukkan ke Waktu pengambilan di Bobot setelah pengeringan (g)
oven oven
09.50 10.50 114,0098
11.10 12.10 113,9981
12.30 13.30 113,9941
13.50 14.50 113,9939

Rata-rata bobot setelah pengeringan = 113,9989 g


 Kadar sari 1
Bobot sari 1 = Bobot setelah pengeringan - Bobot krus kosong
= 114,0098– 113,8437
= 0,1661 g
𝐵𝑜𝑏𝑜𝑡 𝑠𝑎𝑟𝑖 100
Kadar sari = 𝐵𝑜𝑏𝑜𝑡 𝑠𝑒𝑟𝑏𝑢𝑘 x 20 x 100%

0,1661 g 100
= x x 100%
5,0098 g 20
= 16,57%
 Kadar sari 2
Bobot sari 2 = Bobot setelah pengeringan - Bobot krus kosong
= 113,9981 – 113,8437
= 0,1544 g
𝐵𝑜𝑏𝑜𝑡 𝑠𝑎𝑟𝑖 100
Kadar sari = x x 100%
𝐵𝑜𝑏𝑜𝑡 𝑠𝑒𝑟𝑏𝑢𝑘 20

0,1544 g 100
= x x 100%
5,0098 g 20
= 15,41%
 Kadar sari 3
Bobot sari 3 = Bobot setelah pengeringan - Bobot krus kosong
= 113,9941– 113,8437
= 0,1504 g
𝐵𝑜𝑏𝑜𝑡 𝑠𝑎𝑟𝑖 20
Kadar sari = 𝐵𝑜𝑏𝑜𝑡 𝑠𝑒𝑟𝑏𝑢𝑘 x 100 x 100%

0,1504 g 20
= x x 100%
5,0098 g 100
= 15,01%
 Kadar sari 4
Bobot sari 4 = Bobot setelah pengeringan - Bobot krus kosong
= 113,9939– 113,8437
= 0,1502 g
Kadar Sari dan Kadar Abu
Kelompok 2

𝐵𝑜𝑏𝑜𝑡 𝑠𝑎𝑟𝑖 20
Kadar sari = 𝐵𝑜𝑏𝑜𝑡 𝑠𝑒𝑟𝑏𝑢𝑘 x 100 x 100%

0,1502 g 20
= x x 100%
5,0098 g 100
= 15%
3. Kadar Abu
Sampel serbuk simplisia
Bobot kertas timbang = 8,5231 g
Bobot kertas timbang berisi sampel = 10,5384 g
Bobot kertas timbang berisi sisa sampel = 8,5274 g
Bobot krus kosong = 90,8557 g
Bobot serbuk = Bobot KT + sampel - bobot KT + sisa
= 10,5384 g - 8,5274 g
= 2,011 g
Data abu total :
Waktu menghidupkan Waktu mematikan muffle Bobot setelah pemijaran (g)
muffle furnace furnace

07.00 13.00 90,9537


15.30 16.30 90,9533

Rata-rata bobot abu = 90,9535 g


 Bobot abu = 90,9535 - 90,8557
= 0,0978 g
𝐵𝑜𝑏𝑜𝑡 𝑎𝑏𝑢
 Kadar abu total = 𝐵𝑜𝑏𝑜𝑡 𝑠𝑎𝑚𝑝𝑒𝑙 x 100%

0,0978 g
= x 100%
2,011 g
= 4,86%
Data abu tidak larut asam :
Waktu menghidupkan Waktu mematikan muffle Bobot setelah pemijaran (g)
muffle furnace furnace

09.00 15.00 90,9077


15.30 16.30 90,9075

Rata-rata bobot abu = 90,9076 g


 Bobot abu = 90,9076 - 90,8557
= 0,0519 g
𝐵𝑜𝑏𝑜𝑡 𝑎𝑏𝑢
 Kadar abu tidak larut asam = 𝐵𝑜𝑏𝑜𝑡 𝑠𝑎𝑚𝑝𝑒𝑙 x 100%
0,0519 g
= x 100%
2,011 g
= 2,58%
Kadar Sari dan Kadar Abu
Kelompok 2

F. PEMBAHASAN
Pada praktikum kali ini dilakukan standarisasi bahan alam dengan uji kuantitatif
yaitu penetapan kadar sari larut air dan larut etanol serta penetapan kadar abu total dan tidak
larut asam. Tujuan praktikum kali ini yaitu untuk mengenal dan memahami sari larut air dan
sari larut etanol dari simplisia dan terampil menganalisis kadar abu sehingga dapat
memberikan jaminan mutu pada produk yang dihasilkan.
Kadar sari merupakan metode kuantitatif untuk menunjukkan adanya jumlah
kandungan dapat bersari dalam pelarut tertentu. Metode ini untuk simplisia yang tidak ada
cara memadai baik kimia atau biologi untuk penentuan konstituen aktifnya. Penentuan kadar
sari dilakukan dengan cara melarutkan ekstrak sediaan dalam pelarut organik tertentu seperti
etanol, air, ataupun eter. Kadar sari dapat larut dalam berbagai macam pelarut seperti etanol,
air, dan eter. Berdasarkan prinsipnya yaitu like dissolve like dimana selektivitas sifat
kepolaran dari sari simplisia untuk terlarut dalam pelarut yang sesuai dengan kepolarannya.
Pada percobaan penentuan kadar sari larut air dan etanol mula mula ditimbang
simplisia masing-masing 5,0119 gram untuk bobot simplisia kadar sari larut air dan 5,0098
g untuk bobot simplisia kadar sari larut etanol, kemudian sebanyak 5 gram simplisia
dilarutkan kedalam air jenuh kloroform sebanyak 2,5 ml kloroform dalam air suling hingga
1 liter dan 5,0119 gram lagi dilarutkan kedalam etanol 95% sebanyak 100 ml etanol.
Kloroform ini ditambahkan kedalam pelarut air dengan tujuan untuk menghambat
pertumbuhan mikroba atau jamur dan semacamnya, karena air merupakan media
pertumbuhan yang cocok bagi mikroba atau jamur. Namun tidak ditambahkan kloroform
pada pelarut etanol karena etanol 95% sudah merupakan antiseptik yang kuat dan bersifat
antifungi. Etanol membunuh mikroba dengan cara menggumpalkan protein dalam selnya.
Setelah dilakukan pelarutan pada masing-masing pelarut kemudian simplisia
dimaserasi dan diletakkan pada orbital shaker selama 6 jam pertama, lalu didiamkan selama
18 jam. Maserasi tersebut merupakan salah satu cara dari metode ekstraksi dimana
maseration berasal dari bahasa latin macere yang artinya merendam. Maserasi dapat diartikan
sebagai proses dimana zat direndam dalam pelarut hingga meresap untuk melunakan susunan
sel, sehingga zat-zat yang mudah larut akan melarut. Prinsip maserasi yaitu ekstraksi zat aktif
dilakukan dengan merendam serbuk pada pelarut yang sesuai selama beberapa hari pada suhu
kamar agar terlindung dan terhindar dari cahaya matahari, lalu pelarut akan masuk kedalam
sel tanaman melewati dinding sel dan isi sel akan larut karena adanya perbedaan konsentrasi
antara larutan didalam sel dengan diluar sel. Larutan yang konsentrasinya tinggi akan keluar
dan diganti oleh pelarut dengan konsentrasi redah atau bisa disebut dengan proses difusi.
Setelah dilakukan pengocokan, lalu dilakukan penyaringan dan filtrat diuapkan sebanyak 20
mL filtrat hingga kering dalam cawan dangkal yang telah dipanaskan 105 0C dan ditara.
Tahapan yang terakhir yaitu memanaskan sisa pada suhu 1050C hingga bobot tetap dan
menghitung kadar dalam % sari larut air ataupun etanol.
Pada kadar sari larut air, air dipertimbangkan sebagai penyari karena harganya yang
murah dan mudah diperoleh, stabil, tidak mudah menguap, tidak mudah terbakar, dan tidak
beracun. Selain kelebihan, air memiliki kerugian sebagai penyari yaitu tidak selektif, sari
dapat ditumbuhi kapang dan kuman serta cepat rusak, dan untuk pengeringan diperlukan
Kadar Sari dan Kadar Abu
Kelompok 2

waktu lama. Air disamping dapat melarutkan garam alkaloid, minyak menguap, glikosida,
tanin dangula, juga dapat melarutkan gom, pati, protein, lendir, enzim, lilin, lemak, pectin,
zat warna, dan asam organik, sehingga penggunaan air sebagai cairan penyari kurang
menguntungkan. Selain zat aktif yang ikut tersari, zat lain yang tidak diperlukan seperti gom,
pati, protein, lemak, enzim, lendir dan lain-lain juga ikut tersari. Air merupakan tempat
tumbuh bagi kuman, kapang dan khamir, karena itu pada pembuatan sari dengan air harus
ditambah zat pengawet. Batasan kadar sari larut air secara teoritis yaitu >15,8%. Pada
praktikum ini didapatkan rata-rata kadar sari larut air sebesar 20,67% sehingga telah
memenuhi syarat kadar air larut air yaitu >15,8%.
Pada kadar sari larut etanol, etanol dipertimbangkan sebagai penyari karena lebih
selektif, sebagai antifungi sehingga kapang dan kuman sulit tumbuh dalam etanol 20%
keatas, tidak beracun, netral, absorbsinya baik, etanol dapat bercampur dengan air pada
segala perbandingan, dan panas yang diperlukan untuk pemekatan lebih sedikit. Disamping
kelebihannya, etanol memiliki kerugian sebagai penyari yaitu harganya yang mahal. Etanol
dapat melarutkan alkaloida basa, minyak menguap, glikosida, kurkumin, kumarin,
antrakinon, flavonoid, steroid, dammar, lemak, malam, tannin, dan saponin hanya sedikit
larut hanya terbatas. Batasan kadar sari larut etanol secara teoritis yaitu >5,7%. Pada
praktikum kali ini didapat kadar sari larut etanol sebesar 15,448% sehingga telah memenuhi
syarat kadar air larut etanol yaitu >5,7%. Berdasarkan hasil kadar sari larut air dan etanol
data keduanya memiliki jumlah yang berbeda, sehingga dari perhitungan, senyawa yang lebih
berkhasiat banyak di pelarut air dibandingkan dengan pelarut etanol namun keduanya sudah
memenuhi syarat kadar sari larut sesuai parameter.
Abu merupakan zat anorganik yang merupakan sisa hasil pembakaran zat organik.
Kadar abu bertujuan untuk menentukan baik atau tidaknya suatu pengolahan (dalam hal ini
ekstraksi) yang hubungan dengan kandungan mineral suatu bahan. Mineral berupa garam
organik misalnya garam dari asam malat; oksalat; atau pektat, garam anorganik misalnya
fosfat; karbonat; klorida; sulfat nitrat; dan logam alkali, atau berupa mineral yang terbentuk
menjadi senyawa kompleks bersifat organik. Sangat sulit menentukan jumlah mineral dalam
bentuk aslinya, maka dilakukan penentuan sisa pembakaran garam mineral tersebut dengan
cara pengabuan (Sudarmadji, 1986).
Pada kadar abu total, kadarnya dapat ditentukan dengan tujuan untuk menentukan
baik atau tidaknya suatu pengolahan dan mengetahui jenis bahan-bahan yang digunakan
untuk menentukan parameter nilai gizi suatu bahan. Kandungan abu juga dapat digunakan
untuk memperkirakan kandungan dan keaslian bahan yang digunakan. Pada uji ini kadar yang
didapat sebesar 4,86% sehingga tidak memenuhi syarat kadar secara teoritis yaitu <4,2%.
Faktor yang menyebabkan hal tersebut bisa karena saat proses penimbangan dimana serbuk
yang terambil banyak mengandung pasir atau bisa juga karena belum menjadi abu
sepenuhnya. Alat yang tidak selalu on (mati listrik) juga menjadi salah satu hal yang
mempengaruhi hasil abu sehingga didapatkan nilai persen yang sangat besar. Faktor lain yang
juga dapat mempengaruhi yaitu kelembapan udara atau kecepatan pergerakan udara.
Pada kadar abu tidak larut asam merupakan zat yang tertinggal jika suatu sampel
bahan dibakar dengan sempurna di dalam suatu tungku pengabuan, lalu dilarutkan dalam
Kadar Sari dan Kadar Abu
Kelompok 2

asam klorida (HCl) dan sebagian zat tidak dapat larut dalam asam. Penentuan kadar ini
berhubungan dengan kandungan mineral pada suatu bahan dan kemurnian serta kebersihan
bahan tersebut (Husna, 2014). Pada uji ini didapat kadar sebesar 2,58% sehingga kadar abu
tidak larut asam memenuhi syarat secara teoritis yaitu <3,2%. Berbeda halnya dengan kadar
abu total, pada uji ini proses pengabuan berjalan sempurna hingga menjadi abu seutuhnya
dan faktor penyaringan dari kadar abu total juga mempengaruhi karena memang hanya
sedikit.

G. KESIMPULAN
Berdasarkan data diatas dapat ditarik kesimpulan yaitu kadar sari larut air diperoleh
sebesar 20,67% sehingga telah memenuhi syarat kadar air larut air yaitu >15,8% dan kadar
sari larut etanol sebesar 15,448% juga telah memenuhi syarat kadar air larut etanol yaitu
>5,7%. Pada uji kadar abu total didapat sebesar 4,86% sehingga tidak memenuhi syarat kadar
abu total secara teoritis yaitu <4,2% namun berbeda dengan kadar abu tidak larut asam yang
didapat sebesar 2,58% dimana kadar abu tidak larut asam ini memenuhi syarat secara teoritis
yaitu <3,2%.
Kadar Sari dan Kadar Abu
Kelompok 2

DAFTAR PUSTAKA

Agoes, A. 2010. Tanaman Obat Indonesia. Jakarta: Penerbit Salemba Medika. Halaman: 67-68,
99-100.
Ditjen POM Depkes RI, 1979. Farmakope Indonesia. Edisi III. Jakarta, 9.
Husna, N.E., Asmawati, Suwarjana, G. 2014. Dendeng Ikan Leubiem (Canthidermis maculatus)
Dengan Variasi Metode Pembuatan, Jenis Gula, Dan Metode Pengeringan. Jurnal
Teknologi dan Industri Pertanian Indonesia. 6(3).
Maryani, Herti dan Suharmiati. 2003. Tanaman Obat Untuk Mengatasi Penyakit Pada Usia
Lanjut. Jakarta :Agro Media Pustaka.
Rukmana, R., Herdi, Y. 2016. Budi Daya dan Pascapanen Tanaman Obat Unggulan.
Yogyakarta: Lily Publisher. Halaman: 196-197.
Sudarmadji, S,B. 1986. Haryono dan Suhardi. Yogyakarta. Prosedur Analisa untuk Makanan dan
Pertanian. Liberty.
Sudewo, B. 2009. Tanaman Obat Populer Penggempur Aneka Penyakit. Agro Media Jakarta.
Jakarta. 142 hal. Ditjen POM Depkes RI, 1979. Farmakope Indonesia. Edisi III. Jakarta,
9.

Anda mungkin juga menyukai