Anda di halaman 1dari 6

Tugas Essay oleh kelompok 2 :

- Dieboy Sitanggang ( 1805151029 )


- Diodi Aries Solin ( 1805151019 )
- Muhammad Fiqry ( 1805151025 )

INTELLECTUAL CAPITAL

INTELECTUAL CAPITAL

Intellectual capital “modal intelektual” adalah asset tidak berwujud berupa sumber daya
informasi serta pengetahuan yang berfungsi untuk meningkatkan kemampuan bersaing serta
dapat meningkatkan kinerja perusahaan.

Karakteristik Intellectual Capital

Sangkala dalam Agustina (2007) menyatakan intellectual capital ini memiliki karakteristik
diantaranya sebagai berikut :

 Non Rivalrous. ini memiliki arti sumber daya tersebut dapat digunakan itu secara
berkelanjutan oleh seluruh macam pengguna pada lokasi yang berbeda serta pada
waktu yang bersamaan.

 Increasing Return ini artinya ialah dapat menghasilkan peningkatan penghasilan


margin perincremental unit dari tiap-tiap investasi yang dijalankan.

 Not Additive ini artinya ialah nilai yang tercipta dapat secara terus-menerus meningkat
tanpa menyusutkan unsur pokok dari sumber daya tersebut disebabkan sumber daya in
ini adalah codependent didalam penciptaan nilai.

Komponen Intellectual Capital

Kompenen ini mengelompokkan intellectual capital didalam nilai tambah (value added) yang
diperoleh dari selisih pendapatan (input) perusahaan dengan seluruh biaya (output). Secara
khusus intellectual capital ini dibagi menjadi capital employed (VACA), human capital
(VAHU), serta structural capital (STVA). Terdiri dari 3 bagian yaitu :

- Human Capital (VAHU)

Merupakan kombinasi knowledge, skill, innovativeness, serta kemapuan individu didalam suatu
perusahaan. Baroroh (2013:174) human capital yang tinggi itu akan bisa mendorong kombinasi
dari pengetahuan, keterampilan, inovasi, serta kemmpuan
seseorang untuk dapat melaksanakan tugasnya menjadikan bisa menciptakan suatu nilai.

- Structural Capital (STVA)

Menurur Baroroh (2013:174) ini menyatakan struktural capital ini merupakan sebuah
kemampuan organisasi mencakup infrastruktur, sistem informasi, rutinitas, prosedur serta
budaya organisasi yang mendukung usaha karyawan untuk dapat menghasilkan intelektual yang
optimal. Structural capital ialah sebagai infrastruktur perusahaan yang membantu peningkatan
produktivitas karyawan. Yang didalamnya juta ini merupakan database, process manuals,
organizational, charts, strategies routines, serta seluruh hal yang membuat nilai perusahaan
lebih besar dari materialnya.

- Capital Employeed / Relational Capital

Merupakan keterkaitan yang harmonis/association network yang terdapat pada perusahaan


dengan para mitranya, baik yang asalnya dari para pemasok yang andal serta berkualitas,
berasal dari pelanggan yang loyal serta merasa puas akan pelayanan perusahaan yang
bersangkutan, asalnya dari hubungan perusahaan dengan pemerintah atau juga dengan
masyarakat sekitar (Arifah dan Medyawati: 2012).

Pengukuran Intellectual Capital

Metode VAIC (Value Added Intellectual Coefficient) didesain untuk dapat memberikan
informasi tentang value creation efficiency dari aset berupa (tangible asset) serta aset tidak
berwujud (intangible assets) yang terdapat pada perusahaan. VAIC merupakan instrument untuk
mengukur kinerja intellectual capital perusahaan. Metode ini untuk mengukur seberapa dan
juga bagaimana efisiensi intellectual capital serta juga capital employeed di dalam menciptakan
nilai menurut pada hubungan tiga (3) komponen utama yakni Human Capital, Capital
Employeed, serta Structural Capital. Modal ini dimulai dari kemampuan suatu perusahaan
dalam menciptakan valua added (VA). Value added ini merupakan indikator yang paling
objektif didalam penilaian keberhasilan bisnis serta menggambarkan kemampuan perusahaan
dalam menciptakan nilai (value creation). Value added ini dihitung sebagai selisih antara output
serta input. Output (OUT) ini menunjukkan revenue serta meliputi seluruh produk dan jasa
yang dijual di pasar, sedangkan untuk input (IN) ini meliputi seluruh beban yang dipakai
didalam mendapatkan revenue. Hal penting pada model ini ialah bahwa beban
karyawan (labour expense) tidak termasuk dalam IN. Sebab peran aktifnya itu di dalam suatu
proses value creation, intellectual potential yang diilustrasikan/digambarakana dengan labour
expense itu tidak dihitung yakni sebagia biaya (cos) serta bukan termasuk komponen IN. Sebab
itu, aspek kunci dalam model Pulic ini iyalah memperlakukan tenaga kerja itu sebagai entitas
penciptaan nilai
Teori Yang Melandasi Intellectual Capital

Terdapat dua (2) teori yang sangat berhubungan dengan intellectual capital. Teori ini ialahsuatu
teori yang paling tepat didalam mendasari intellectual capital serta juga membahas mengenai
alasan pengungkapan sebuah informasi oleh perusahaan didalam membuat laporan keuangan.
Kedua teori diantaranya adalah :

a. Stakeholder Theory

Meek dan Fray (1988) didalam Baroroh (2013:174) menggemukakan bahwa konsensus yang
berkembang pada konteks teori stakebolder ini merupakan bahwa laba akuntansi hanya berupa
ukuran yang lebih akurat yang dibuat oleh stakeholders serta selanjutnya didistribusikan pada
stakeholders yang sama. Teori stakeholder lebih mempertimbangkan posissi para stakeholder
yang dianggap powerfull. Kelompok stakeholder tersebut yang merupakan pertimbangkan
paling pertama untuk perusahaan pada saat mengungkapkan serta atau tidak mengungkapkan
suatu informasi pada laporan keuangan.

b. Legitimacy Theory

Degan (2004) didalam Baroroh (2013:174) menggemukakan bahwa dengan secara


berkelanjutan mencari dana untuk penjimnan operasi mereka dalam batas serta norma yang
berlaku pada masyarakat. Teori legitimasi ini berhubungan dengan teori stakeholder. Dalam
perspektif teori legitimasi, sebuah perusahaan itu akan secara sukarela melaporkan
kegiatan/aktivitasnyanya apabila manajemen menganggap bahwa hal tersebut merupakan yang
menjadi harapan komunitas.

Intellectual Capital dan Aset Tak Berwujud

Secara historis, pembedaan antara aset tidak berwujud dengan Intellectual Capital tidak jelas,
karena disebut sebagai “goodwill” (Tan et al., 2007; Kuryanto, 2008). Hal ini dapat ditelusuri
kembali ke awal 1980-an ketika pendapat umum nilai aset tak berwujud, yang sering disebut
sebagai goodwill, mulai muncul di bidang akuntansi dan praktik bisnis

(International Federation of Accountants, 1998 dalam Tan et al., 2007). Namun, praktik
akuntansi tradisional tidak menyediakan identifikasi dan pengukuran aset tidak berwujud ini
pada organisasi, terutama organisasi berbasis pengetahuan (International Federation of
Accountants, 1998 dalam Tan et al., 2007; Tan et al., 2007). Faktanya, IAS (International
Accounting Standard) 38 tentang Intangible Assets atau Aset Tak Berwujud melarang
pengakuan merk internal seperti publishing titles, mastheads dan daftar pelanggan
(International Accounting Standards Board, 2004). Pada tahun 1990-an, perhatian terhadap
praktik pengelolaan aset tidak berwujud (intangible assets) telah meningkat secara dramatis.
Salah satu pendekatan yang digunakan dalam penilaian dan pengukuran aset tidak berwujud
tersebut adalah Intellectual Capital yang telah menjadi fokus perhatian dalam berbagai bidang,
baik manajemen, teknologi informasi, sosiologi, maupun akuntansi (Petty dan Guthrie, 2000;
Sullivan dan Sullivan, 2000). Menurut International Federation of Accountants (IFAC),
Intellectual Capital sinonim dengan intellectual property (kekayaan intelektual), intellectual
asset (aset intelektual), dan knowledge asset (aset pengetahuan). Modal ini dapat diartikan
sebagai modal yang berbasis pada pengetahuan yang dimiliki perusahaan.
Di Indonesia sendiri, fenomena Intellectual Capital mulai berkembang terutama setelah
munculnya PSAK No. 19 (revisi 2000) tentang aset tidak berwujud. Menurut PSAK No. 19,
aset tidak berwujud adalah aset non-moneter yang dapat diidentifikasi dan tidak mempunyai
wujud fisik serta dimiliki untuk digunakan dalam menghasilkan atau menyerahkan barang atau
jasa, disewakan kepada pihak lainnya, atau untuk tujuan administratif.

Pelaporan Intellectual capital Dalam Laporan Keuangan

Akuntansi mempunyai keterbatasan dalam pelaporan intellectual capital. Standar akuntansi


yang ada saat ini belum mampu menangkap dan melaporkan investasi yang dikeluarkan untuk
memperoleh sumber daya non fisik. Investasi sumber daya non fisik yang dapat ditangkap dan
dilaporkan menurut standar akuntansi saat ini baru sebatas investasi dalam bentuk intellectual
property. Dengan demikian, akuntansi juga diyakini belum mampu malakukan pengakuan dan
pengukuran terhadap intellectual capital, karena akuntansi cenderung hanya berfokus pada aset
yang sifatnya nyata (hard assets) saja. Kalaupun ada intangible asset yang diakui dan diukur
dalam laporan keuangan, kebanyakan masih didasarkan pada nilai historis (historical cost)
bukan potensinya dalam menambah nilai (Stewart, 1997).Keterbatasan-keterbatasan tersebut
memberikan tantangan bagi akuntansi manajemen maupun akuntansi keuangan. Akuntansi
manajemen memerlukan alat baru untuk mengelola investasi keahlian karyawan, informasi dan
teknologi.

Pelaporan intellectual capital dalam akuntansi telah diatur dalam PSAK 19 (revisi 2009)
tentang aset tak berwujud dalam Dalam hal ini PSAK 19, menyatakan bahwa tidak semua biaya
yang dikeluarkan untuk mewujudkan IC bisa diakui sebagaiaset Aset tidak berwujud. PSAK 19
menyatakan bahwa aset merupakan sumber daya yang : a) dikendalikan oleh suatu entitas
sebagai akibat peristiwa masa lalu b)manfaat ekonomis masa depan dari aset tersebut
diharapkan akan diterima oleh entitas. Lebih lanjut PSAK 19 menyatakan bahwa entitas sering
kali mengeluarkan sumber daya atau menciptakan liabilitas dalam perolehan, pengembangan,
pemeliharaan atau peningkatan aset tak berwujud seperti ilmu pengetahuan atau teknologi,
desain dan implementasi sistem atau proses baru, lisensi, hak kekayaan intelektual, pengetahuan
mengenai pasar, merek dagang. Namun tidak semua biaya yang dikeluarkan untuk hal tersebut
diatas memenuhi definisi aset tidak berwujud misalkan biaya riset, biaya pelatihan karyawan,
desain atau implementasi system atau proses baru. Biaya- biaya tersebut tidak bisa diakui
sebagai asset tidak berwujud karena tidak memenuhi criteria asset tidak berwujud yaitu :
Keteridentifikasian, adanya pengendalian entitas atas aset tersebut dan adanya manfaat ekonomi
masa depan dan biaya perolehan asset dapat diukur dengan andal. Jika tidak memenuhi criteria
diatas maka pengeluaran biaya untuk menciptakan Intellectual capital tidak bisa diakui sebagai
asset dalam laporan keuangan.

Pengeluaran biaya yang terkait untuk menciptakan intelellectual capital yang dicatat sebagai
beban menurut PSAK 19 (Revisi 2009) adalah: 1)Pengeluaran biaya yang digunakan untuk
menciptakan goodwill (goodwill yang dihasilkan secara internal 2) Biaya pra operasi
perusahaan 3) biaya training 4) biaya iklan 5) biaya relokasi 6) biaya riset. Biaya tersebut diakui
pada saat terjadinya sebagai beban sebagai pengurang pendapatan dalam laporan laba- rugi.
Biaya pelatihan/trainings karyawan misalnya, biaya tersebut tidak bisa diakui sebagai asset
direnakan perusahaan tidak bisa melakukan pengendalian atas SDM perusahaan. Contoh lain
adalah biaya riset, Riset didefinisikan sebagai penyelidikan asli dan terencana yang
dilaksanakan dengan harapan memperoleh pengetahuan dan pemahaman teknis atas ilmu baru.
Dalam riset, perusahaan belum bisa memastikan apakah riset tersebut dapat berhasil atau tidak,
sehingga manfaat ekonomis masa depan yang diperoleh entitas atas riset tersebut belum bisa
dipastikan sehingga biaya yang dikeluarkan pada riset tidak diakui sebagai asset. Namun
demikian PSAK 19 (revisi 2009) menyatakan biaya yang dikeluarkan dalam tahap
pengembangan boleh diakui sebagai asset. Pengembangan merupakan penerapan temuan
penelitian atau pengetahuan lain pada saat suatu rencana atau rancangan produksi bahan baku,
alat, produk, proses, system atau jasa yang baru atau yang mengalami perbaikan subtansial,
sebelum dimulainya produksi komersial. Biaya yang dikeluarkan dalam tahap pengembangan
bisa diakui sebagai asset jika syarat berikut ini terpenuhi, yaitu entitas dapat menunjukkan :

a) Kelayakan teknis penyelesaian asset tidak berwujud sehingga asset tersebut


dapat digunakan atau dijual

b) Niat untuk meyelesaikan asset tidak berwujud tersebut dan menggunakannya


atau menjualnya

c) Kemampuan untuk menggunakan atau menjual asset tidak berwujud tersebut

d) Bagaimana asset tidak berwujud akan menghasilkan kemungkinan besar manfaat


ekonomi masa depan. Antara lain entitas dapat menunjukkan adanya pasar aktif
bagi keluaran asset tidak berwujud atau jika asset tersebut digunakan internal,
entitas harus menunjukkan kegunaan asset tidak berwujud tersebut.

e) Tersedianya kecukupan sumber daya teknis, keuangan, dan sumber daya lain
untuk menyelesaikan pengembangan asset tidak berwujuddan untuk
menggunakan atau menjual asset tersebut.

f) Kemampuan untuk mengukur secara andal pengeluaran yang terkait dengan asset
tidak berwujud selama pengembangan.(PSAK 19, Revisi 200

Anda mungkin juga menyukai