Anda di halaman 1dari 7

Nama : Yohanes Hendrik H

NIM : 031122425
Kelas : Manajemen 7C
TTM – 3 Manajemen Perubahan

1. Pengertian Pengembangan Organisasi dan Pengertian Organisasi Pembelajar


a. Pengertian Pengembangan Organisasi
Ada beberapa definisi yang dikemukakan oleh beberapa pakar tentang pengembangan
organisasi atau yang lebih populer dengan istilah OD (Organizational Development).
Salah satu pengertian yang dapat merangkum pengertian-pengertian dari OD adalah
definisi yang dikemukakan oleh Beer (1980) yang menyatakan bahwa pengembangan
organisasi adalah aplikasi dan transfer pengetahuan berbasis pada ilmu perilaku
(behavioral science) yang ditetapkan secara sistemik dan terencana dalam rangka untuk
mengembangkan, meningkatkan, dan menguatkan kembali strategi, struktur, dan proses
organisasi sehingga tercipta efektivitas organisasi.
b. Pengertian Organisasi Pembelajar
Organisasi pembelajar (Learning Organization) adalah organisasi yang secara terencana
dan terus menerus memfasilitasi anggotanya agar berkembang dan mentransformasikan
diri dalam usaha meningkatkan kinerja sesuai dengan kebutuhan organisasi.

2. 7 S Frimework
Model ini dibangun pada tahun 1980 oleh tiga orang konsultan McKinsey & Company –
Robert Watean, Jr., Tom Peter dan Julien Phillpips yang menuangkan gagasannya melalui
sebuah tuliasan “structure is not organization” dimuat di Business Horizons. Model ini
didasarkan pada suatu proposisi bahwa: (1) efektivitas organisasi datangnya dari interaksi
berbagai macam faktor, dan (2) perubahan yang berhasil membutuhkan perhatian terhadap
keterkaitan antara berbagai macam variabel berbeda. Waterman et al. Mengelompokkan
variabel organisasi ke dalam 7 macam yakni strategi, struktur, system, style (gaya), staff,
skill, dan share value atau superorninate goals. Ketujuh variabel tersebut diawali huruf S
sehingga dinamakan 7 S Framework.
Makna masing-masing variabel pada 7 S Framework adalah sebagai berikut
Strategy Satu set tindakan yang bersifat koheren yang bertujuan agar perusahaan
dapat mempertahankan daya saing berkelanjutan, meningkatkan posisi
persaingan baik terhadap pelanggan, maupun dalam mengalokasikan sumber
daya.
Struktur Struktur organisasi yang menunjukkan kepada siapa seorang harus
bertanggung jawab dan bagaimana tugas-tugas organisasi dipisahkan dan
sekaligus diintegrasikan.
Sistem Suatu proses dan aliran kerja yang menunjukkan bagaimana kegiatan sehari-
hari dilakukan (sistem informasi, sistem anggaran modal, proses
manufakturing, sistem quality control, dan sistem pengukuran kinerja adalah
beberapa contohnya).
Styles Bukan sekedar apa yang dianggap penting oleh manajemen, lebih dari itu
bagaimana sesungguhnya manajemen berperilaku nyata tentang apa yang
dianggap penting oleh perusahaan.
Staff Yang dimaksud di sini bukan sekedar kepribadian seseorang ataupun orang-
orang yang terlibat di dalam organisasi melainkan tentang komposisi
demografi dari orang-orang yang terlibat dalam organisasi.
Shared Nilai-nilai organisasi yang bukan sekedar pernyataan tujuan organisasi,
Value tetapi adalah niali-nilai yang dipahami dan dijiwai oleh sebagian besar
anggota organisasi.
Skill Kapabilitas yang dimiliki organisasi secara keseluruhan, bukan hanya
kemampuan individu per individu.
Waterman et al. (1980) membangun model tersebut berdasarkan pada pengalaman mereka
sebagai konsultan terutama setelah menyadari adanya perbedaan pola manajemen antara
manajemen Amerika dan manajemen Jepang. Perusahaan-perusahaan Amerika yamg banyak
dipengaruhi oleh konsep scientific management pada awalnya cenderung lebih menekankan
pada pentingbya peran 3S pertama – strategi, struktur, dan sistem (belakangan disebut dengan
hard system tools) sebagai saran untuk mengatasi berbagai persoalan perusahaan. Sebaliknya,
perusahaan Jepang lebig menekankan pada pentingnya 4S terakhir – style, staff, skill, dan
share value (superordinate goals) (disebut sebagai soft system tools) sebagai sarana untuk
meraih keberhasilan perusahaan. Efektivitas kinerja akan diperoleh jika kekuatan dari mizbah
yang berbeda tersebut digabungkan, demikian pendapat mereka dan lahirlah The 7S
Framework.

3. Keterkaitan antara knowledge creation, intangible asset, dan intellectual capital


Kaplan & Norton (2001, hal. 2) mengatakan, pada masa “industrial economy” perusahaan
pada umumnya menciptakan nilai tambah dengan memanfaatkan tangible assets (aset
berwujud) seperti mesin, equipment, dan faktor produksi berwujud lainnya untuk
mengubah bahan baku menjadi produk jadi. Pada tahun 1982 aset berwujud
mempresentasikan 62% dari nilai pasar perusahaan. Persentase ini menurun 10 tahun
kemudian menjadi 38% dan pada akhir tahun 2000 kontribusi aset berwujud hanya
berkisar 10% - 15% saja. Hal ini menunjukkan ketika industrial economy secara bertahap
beralih ke “knowledge – based economy” peran aset berwujud dalam menciptakan nilai
tambah perusahaan juga terus mengalami penurunan. Peran ini tergantikan oleh
intangible assets (aset tidak berwujud) termasuk di dalamnya learning dan knowledge
(Kaplan & Norton, 2011). Sementara itu, Hussi (2004) menambahkan dalam era
informasi selain membutuhkan intangible asset untuk menciptakan nilai tambah,
organisasi membutuhkan pula dan perlu meningkatkannya dengan dua komponen lain
yang juga bersifat intangible dan melekat pada diri manusia yaitu: model intelektual
(intellectual capital) dan penciptaan pengetahuan (knowledge creation). Ketiga
komponen inilah yang secara bersama-sama menciptakan nilai tambah perusahaan.
a. Intangible Asset
Abonen sebagaimana dikutip Hussi (2004) membedakan intangible asset menjadi dua
macam yaitu aset tidak berwujud generatif (generative intangible) dan aset tidak berwujud
komersial (commercially exploitated intangible). Generative intangible adalah aset tidak
berwujud dalam bentuk kapasitas perusahaan untuk menghasilkan commercially
exploitated intangible. Termasuk dalam komponen ini adalah human capital, internal
structure, dan external structure. Sedangkan commercially explorated intangible itu
sendiri terdiri dari produksi berbiaya efisien (cost efficient production), hak kekayaan
intelektual (immaterial property right – IPR), costume capital, expanding market, dan
management trust. Perusahaan bisa memperoleh commercially exporated intangible
melalui dua cara: (1)embeli atau mengeksekusi dari pihak lain atau (2) menciptakan
sendiri.
b. Intellectual Capital
Secara tradisional ketika seseorang menyebut modal, yang dimaksud pasti adalah uang
atau tempat (financial capital). Sebutan ini tentu tidak salah karena uang merupakan
sumber daya untuk menggerakan roda organisasi. Meski demikian dalam era informasi
perusahaan tidak cukup hanya mengendalikan financial capital. Perusahaan juga
membutuhkan intellectual capital untuk menciptakan market value. Arti penting
intellectual capital dapat dipahami dari ilustrasi berikut ini. Jika sebuah perusahaan
software direncanakan untuk dijual tetapi orang-orang yang bekerja di dalamnya tidak
mau pindah ke pemilik baru, boleh jadi calon pembeli enggan membeli perusahaan
tersebut. Bagi calon pembeli tidak ada artinya membeli perusahaan software tersebut jika
para ekspertisnya enggan mengikutinya. Karena alasan pembeli mau membeli perusahaan
justru karena kemampuan orang-orang tersebut. Dengan kata lain, alasan utama seorang
mau membeli perusahaan software justru karena modal inteletualnya. Contoh ini memberi
gambaran akan pentingnya modal yang tersembunyi yang melekat pada diri karyawan.
Modal seperti ini biasanya disebut modal intelektual (intellectual capital). Edvisson &
Malone (1997) mengibaratkan modal intelektual sebagai akar sebuah pohon yang tidak
tampak tetapi justru menentukan kekokohan pohonnya. Menurut Edvisson & Malone
modal intelektual bukan merupakan subordinasi dari modal finansial melainkan komponen
yang bersifat komplementer. Model intelektual dapat dibedakan menjadi human capital
dan structure capital; selanjutnya structure capital dibedakan menjadi customer capital
dan organizational capital; dan organizational capital dipecah menjadi process capital
dan renewal capital.
c. Knowledge Creation
Selain intangible asset dan intellectual capital, penciptaan pengetahuan (knowledge
creation) merupakan komponen penting ketiga yang diharapkan mampu memberi
kontribusi dalam penciptaan nilai tambah bagi organisasi. Nonaka & Takeuchi (1995)
mengartikan knowledge creation sebagai kapabilitas perusahaan secara keseluruhan
untuk menciptakan pengetahuan baru, menyebarkannya ke seluruh elemen organisasi
dan membakukannya ke dalam produk, jasa, dan sistem organisasi. Kata kunci dari
knowledge creation adalah pengetahuan. Pengetahuan pada dasarnya bisa dibedakan
menjadi dua yaitu pengetahuan yang melekat pada diri seseorang disebut sebagai tacit
knowledge dan kedua explicit knowledge yaitu pengetahuan yang telah dikondifikasi
dalam berbagai bentuk seperti buku, rekaman, reklame, dokumen, dan brosur (Nonaka,
1994; Nonaka & Konno,1998; Nonaka & Takeuchi, 1995). Tacit knowledge yang
melekat dan dimiliki seseorang biasanya diperoleh melalui pengalaman hidup atau
proses pembelajaran yang bersifat informal dan personal sehingga pengetahuan
bersifat subjektif karena hanya orang tersebut yang mengetahuinya. Dengan tacit
knowledge orang baru sebatas memahamai “know-how”. Sementara itu, melalui
explicit knowledge yang lebih bersifat objektif orang bisa memahami “know-what”.
Nonaka, Toyama & Konno (2000) mengajukan sebuah model dinamis proses
penciptaan pengetahuan yang terdiri dari tiga elemen yaitu: (1) knowledge-creating
spiral yang biasa disebut sebagai SECI proses, (2) ba, konteks dalam penciptaan
pengetahuan, dan (3) knowledge assets – proses input, transformasi, dan ouput. Ketiga
elemen ini harus saling berinteraksi satu sama lain sehingga membentuk knowledge
spiral yang ujung-ujungnya membentuk pengetahuan baru.
Berdasarkan penjelasan di atas mengenai intangible asset, intellectiual capital , dan
knowledge creation. Ketiga komponen tersebut dapat diintegrasikan dalam rangka
menciptakan nilai tambah atau market value perusahaan. Sinergi dari ketiga komponen
tersebut dapat dilihat seperti berikut:

Tampak dari gambar tersebut bahwa visi organisasi tentang pengetahuan (knowledge vision)
akan menentukan keberhasilan organisasi tersebut dalam menciptakan market value. Bagi
organisasi perusahaan yang dimaksud dengan market value adalah laba, sedangkan bagi
organisasi yang tidak berorientasi laba market value bisa diartikan sebagai keunggulan
bersaing. Proses untuk meningkatkan laba atau keunggulan bersaing bergantung pada tiga
komponen non kebendaan (soft components) yakni intangible asset, intellectual capital,
knowledge creation.

4. Pengertian Kreativitas dan Contohnya


Sternberg (2001) mendefinisikan kreativitas sebagai kemampuan seseorang untuk
menghasilkan bukan hanya produk berkualitas tetapi juga baru.
Woodman et al. (1993) yang mengatakan bahwa kreativitas adalah penciptaan produk , jasa,
ide, proses atau prosedur baru yang berguna dan berharga, dilakukan oleh individu-individu
yang bekerja sama dalam sebuah kompleksitas sistem sosial.
Lubart & Guignard (2004) mengatakan bahwa kreativitas merupakan kapasitas untuk
menghasilkan sesuatu yang baru dan asli yang mampu memenuhi kondisi saat ini yang
terbatas.
Dari ketiga definisi kreativitas yang disebut di atas dan definisi-definisi lain yang tidak
disebutkan di sana tampak bahwa masing-masing penulis cenderung menggunakan bahasa
yang berbeda untuk menjelaskan esensi kreativitas. Dibalik perbedaan tersebut, setiap definisi
juga mengandung unsur kesamaan dan unsur kesamaan inilah yang bisa disebut sebagai
karakteristik kreativitas. Pertama, kreativitas meliputi semua bentuk karya manusia baik
karya yang berwujud (produk) maupun tidak berwujud termasuk desain, proses, dan ide.
Kedua, proses kreativitas tidak terjadi secara kebetulan melainkan merupakan sebuah upaya
yang sengaja dilakukan. Ketiga, kreativitas harus menghasilkan sesuatu yang baru dan
orisinil. Keempat, tidak dipungkiri bahwa individu merupakan aktor utama pelaku kreativitas
tetapi kreativitas tidak hanya dilakukan secara individual tetapi bisa juga secara berkelompok
dan organisasional. Kelima, karya yang kreatif harus menunjukkan adanya nilai tambah. Atau
dengan kata lain kreativitas harus menghasilkan kualitas lebih baik dari kondisi sebelumnya.
Contoh kreativitas adalah arsitektur yang ada di candi Borobudur yang rancangannya
dihasilkan arsitek yang cerdas pada zamannya.
5. Perbedaan Klasifikasikan Generasi Dari Proses Inovasi Coupling Model Dengan
Integrated Model
Profesor Roy Rothwell dan Science Policy Research Unit (SPRU), the University of
Sussex sebagaimana dikutip Neely and Hii (1998) mengklasifikasikan proses inovasi
menjadi lima generasi yaitu: Generasi Pertama Technology Push, Generasi Kedua Market
Pull, Generasi Ketiga Coupling Model, Generasi Keempat Integrated Model, Generasi
Kelima Systems Integration and Networking.
a. Coupling Model
Mamasuki pertengahan tahun 1970-an sampai dengan awal tahun 1980-an dikembangkan
model proses inovasi ke ketiga yang disebut coupling model. Pada intinya model ini,
meski masih bersifat sequential seperti pada model pertama dan kedua, jauh lebih
komprehensif karena keterkaitan faktor-faktor yang mempengaruhi proses inovasi sudah
dipertimbangkan saksama. Faktor yang dimaksud adalah: perusahaan yang melakukan
inovasi, komunitas ilmu pengetahuan dan teknologi, dan kebutuhan pasar. Model ini
sering disebut juga sebagai “a complex net of communication path” karena sifatnya yang
kompleks yang menghubungkan kondisi internal perusahaan, ketersediaan ilmu
pengetahuan dan teknologi, dan kebutuhan pasar. Dari hubungan inilah diperoleh umpan
balik yang menjadi kunci dalam mengembangkan inovasi baru.
b. Integrated Model
Proses inovasi generasi keempat yang disebut integrated model mulai dikembangkan di
Jepang khususnya industru otomotif dan elektronik sejak pertengahan tahun 1980-an
sampai dengan tahun 1990-an. Sama seperti proses inovasi generasi ketiga, integrated
model merupakan proses inovasi yang bersifat kompleks, non linear, dan mensyaratkan
adanya umpan balik. Bedanya adalah proses inovasi generasi keempat ini tidak terjadi
secara berurutan (sequential) melainkan proses inovasi yang melibatkan berbagai fungsi
organisasi – marketing, R&D, product development, production engineering, supplier dan
manufacture secara parallel. Fungsi-fungsi melakukan aktivitas bersama lintas fungsi agar
bisa saling berbagi informasi dalam mengembangkan inovasi baru. Dari pengalaman
industri otomotif di Jepang diyakini bahwa model ini jauh lebih efektif dibandingkan
dengan model-model sebelumnya. Proses pengembangan produk baru membutuhkan
waktu yang lebih pendek karena dilakukan secara integratif, biaya lebih efisien. Pada era
1980-an dan 1990-an keuntungan dari proses inovasi generasi keempat ini membutuhkan
waktu yang semakin pendek menjadi sangat penting mengingat tingkat persaingan yang
semakin tinggi dan waktu menjadi komponen kunci dalam menjaga tingkat persaingan.
Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa perbedaan antara coupling model dengan
integrated model terletak pada proses inovasinya. Di mana proses inovasi coupling model
bersifat sequential (berurutan), sedangkan proses inovasi integrated model tidak terjadi
secara berurutan.

Anda mungkin juga menyukai