Anda di halaman 1dari 32

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

2.1 Landasan Teori dan Pengertian Variabel

2.1.1 Technology Organization Environment (TOE) Theory

Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah technology

organization environment (TOE) theory yang diperkenalkan oleh

Tomatzky dan Fleicher (1990). Teori ini menyatakan bahwa inovasi

bergantung pada kondisi organisasi, lingkungan industri, dan

perkembangan teknologi. Pada dasarnya, model technology organization

environment (TOE) menggabungkan skema dari karakteristik teknologi,

faktor organisasi, dan unsur-unsur lingkungan makro (Ifinedo, 2012).

TOE mengidentifikasi ada tiga konteks yang mempengaruhi

pengadopsian dan pengimplementasian inovasi perusahaan, yaitu:

konteks teknologi, menggambarkan bahwa adopsi tergantung dari

teknologi baik dari luar maupun dari dalam perusahaan seperti

compability (baik teknis dan organisasi), complexity, triability (uji

coba/eksperimen), dan observation (visibilitas/imajinasi); konteks

organisasi, menggambarkan ruang lingkup bisnis perusahaan, dukungan

manajemen puncak, budaya organisasi, kompleksitas struktur manajerial

diukur dari sentralisasi, formalisasi, deferensiasi, kualitas sumber daya

manusia, dan ukuran masalah; konteks lingkungan berhubungan dengan

fasilitas dan faktor-faktor penghambat operasi perusahaan seperti tekanan

kompetitor, customer, isu-isu sosial budaya, dorongan pemerintah, dan

13
14

insfrastruktur teknologi seperti layanan konsultasi melalui ICT (Awa,

Ukoha, & Emecheta, 2012).

Dalam konteks human capital, penggunakan sistem kepegawaian

yang rumit, seperti sistem penerimaan pegawai yang komprehensif untuk

memperoleh calon yang terbaik tidak berdampak signifikan terhadap

kinerja (Hofstede, 1978). Selain itu, karena tenaga kerja dianggap

sebagai komoditas, pelatihan untuk pegawai baru jarang dilaksakan

karena dianggap tidak terlalu bermanfaat. Oleh karena itu, kapitalisasi

kemampuan manusia ditujukan untuk memperbaiki kekurangan

keterampilan pegawai, bukan sebagai metode untuk mendorong

keunggulan kinerja. Kinerja dapat meningkat apabila keterampilan

tenaga kerja juga meningkat, seperti merekrut tenaga kerja yang memiliki

pendidikan yang tinggi dan memiliki pengalaman teknis dan manajerial

yang baik. Sehingga kapitalisasi tenaga kerja sangat penting untuk

meningkatkan kinerja perusahaan. Ini menunjukkan bahwa human

capital memiliki hubungan dengan kinerja perusahaan.

Shankar et al. (2010) menyatakan bahwa tekanan kompetitif

merupakan faktor lebih lanjut dalam pengadopsian inovasi. Tekanan

eksternal dilihat dari konsumen, misalnya, dapat menyebabkan

perusahaan terdorong untuk mengadopsi suatu inovasi bahkan ketika

belum terlihat banyak keuntungan untuk adopsi inovasi teknologi

tersebut. Tekanan kompetitif dapat menyebabkan perusahaan untuk

menyesuaikan strategi mereka dengan situasi baru (Grant, 2003),


15

terutama ketika terlibat dalam sektor di mana ada persaingan sengit dan

ketidakpastian yang berkaitan dengan apa yang dilakukan kompetitor

(Pavlou & El Sawy, 2010).

Konteks teknologi mengacu pada teknologi internal dan eksternal,

termasuk peralatan dan proses. Adopsi teknologi yang tepat oleh

organisasi akan meningkatkan efektivitas layanan organisasi dan

berdampak pada kinerja perusahaan. Dalam rangka untuk tetap

kompetitif dan berkelanjutan, perlu adanya adopsi teknologi yang relevan

dan menciptakan infrastruktur serta memobilisasi sumber daya manusia

yang kompeten (Barnes & Hinton, 2012).

2.1.2 Resource Based Theory

Teori yang digunakan untuk mendukung teori di atas adalah

resource based theory. Pemikiran awal mengenai pandangan bahwa

perusahaan merupakan kumpulan dari berbagai sumber daya dipelopori

oleh Penrose (1959). Sumber daya perusahaan adalah heterogen, tidak

homogen, jasa produktif yang tersedia berasal dari sumber daya

perusahaan yang memberikan karakter unik bagi tiap-tiap perusahaan.

Pemikiran dan heterogenitas sumber daya inilah yang kemudian menjadi

dasar dari resource-based theory. Wernerfelt kemudian membangun

kembali pemikiran Penrose dengan mengemukakan bahwa tindakan

strategis membutuhkan seperangkat sumber daya fisik, keuangan, human,

atau organisasional khusus dan dengan demikian keunggulan kompetitif

ditentukan oleh kemampuannya memperoleh dan mempertahankan


16

sumber daya. Barney menunjukkan kerangka-kerangka yang lebih

konkrit dan komprehensif untuk mengidentifikasi kebutuhan karakteristik

sumber daya perusahaan agar menghasilkan keunggulan kompetitif.

Karakteristik-karakteristik itu meliputi apakah sumber daya

valuable dan sumber daya tersebut langka diantara pesaing perusahaan.

Namun dengan hanya memiliki sumber daya yang unggul dan langka

tidak akan langsung membuat perusahaan mencapai keunggulan

kompetitifnya. Perusahaan juga harus mengelola sumber daya tersebut

dengan baik, berinvestasi dan melengkapi infrastruktur yang ada

(Divianto, 2010). Sehingga, asumsi mendasar dari pandangan resource-

based theory adalah bahwa organisasi dapat berhasil jika mencapai dan

mempertahankan keunggulan kompetitif. Penggunaan sumber daya yang

efisien adalah daya penggerak utama untuk menetapkan keunggulan

kompetitif dan meningkatkan kinerja (Purnomo, 2011).

Para pakar pendukung resource-based theory berpendapat bahwa

mempertahankan keunggulan kompetitif dapat berasal dari sumber daya

yang ada di perusahaan dan dengan demikian pandangan tersebut dapat

menaruh perhatiannya pada kegiatan internal organisasi. Pandangan ini

lebih menekankan pada peran manajer dalam seleksi, perkembangan,

kombinasi, dan penyebaran sumber daya perusahaan (Colbert, 2004).

Pandangan resource-based theory adalah salah satu teori yang paling

banyak diterima dari manajemen strategik. Berdasarkan kerangka teori

dari resource-based theory, perusahaan dapat memperoleh sumber daya


17

fisik, manusia, informasi, pengetahuan, dan relasional kemudian

menggabungkan sumber daya tersebut untuk menciptakan kemampuan

perusahaan yang spesifik dan tidak dapat ditiru oleh pesaing.

Resource-based theory (RBT) telah dikenal dan telah ada selama

lebih dari 20 tahun. Dan selama itu pula RBT telah banyak diikuti dan

juga menuai banyak kritik dan saran agar RBT menjadi teori yang dapat

terus digunakan. RBT dalam perspektif lain, dapat dipandang sebagai

proses untuk memperoleh dan mengembangkan sumber daya, serta

sebagai metode dan cara pengukuran kinerja. Menurut Madhani (2009),

resource based theory merupakan sumber daya yang dapat dimaksukkan

ke dalam golongan aset, proses organisasi, atribut perusahaan, informasi,

atau pengetahuan yang dikendalikan oleh perusahaan yang dapat

digunakan untuk memahami dan menetapkan strategi mereka (Madhani,

2009). Teori resource-based theory ini dapat mendukung bahwa

Structural Capital Efficiency (SCE) dan Capital Employed Efficiency

(CEE) berpengaruh positif terhadap kinerja keuangan perusahaan.

Dihubungkan dengan organisasi, dalam teori ini terdapat tiga tipe

sumber daya yaitu sumber daya fisik (pabrik, teknologi dan peralatan,

lokasi geografis), sumber daya manusia (pengalaman dan pengetahuan

para pegawai), dan organisasi (struktur, sistem untuk aktivitas

perencanaan, pengawasan dan pengendalian, hubungan sosial dalam

organisasi dan antara organisasi dan lingkungan eksternal).


18

Dalam resource-based theory menyatakan bahwa intellectual

capital adalah sumber daya perusahaan yang memegang peranan penting,

sama halnya seperti physical capital dan financial capital (Asni, 2011).

Berdasarkan konteks tersebut, perusahaan perlu mengembangkan strategi

untuk dapat bersaing di pasar. Dari penjelasan tersebut, menurut resource

based theory, intellectual capital memenuhi kriteria-kriteria sebagai

sumber daya yang unik untuk menciptakan keunggulan kompetitif

perusahaan sehingga value perusahaan dapat tercipta (Yusriwarti, 2011).

Teori resource-based theory ini dapat mendukung hipotesis human

capital efficiency (HCE) berpengaruh positif terhadap kinerja keuangan

perusahaan.

2.1.3 Intellectual Capital

2.1.3.1 Pengertian Intellectual Capital

Stewart (1997) dalam Purnomosidhi (2005) mendifinisikan

intellectual capital sebagai intellectual material, yang meliputi

pengetahuan, informasi, kekayaan intelektual, dan pengalaman yang

dapat digunakan secara bersama untuk menciptakan kekayaan.

Sedangkan menurut Roos et al (1997) dalam Bontis (2000)

menjelaskan bahwa intellectual captal terdiri atas semua proses dan

aset yang tidak diungkapkan dalam neraca dan semua aset yang tidak

berwujud (trademark, patent, brands dan loyalitas pelanggan) yang

mulai dipertimbangkan dalam akuntansi modern.


19

Banyak definisi dari intellectual capital menurut pakar dan

kalangan bisnis di atas, namun secara umum jika diambil suatu

benang merah dari berbagai definisi intellectual capital yang ada,

maka intellectual capital dapat didefinisikan sebagai jumlah dari apa

yang dihasilkan oleh tiga elemen utama organisasi (human capital,

structural capital, dan customer capital) yang berkaitan dengan

pengetahuan dan teknologi yang dapat memberikan nilai lebih bagi

perusahaan berupa keunggulan bersaing organisasi (Sawarjuwono &

Kadir, 2003).

Ulrich (1998) dalam Nasih (2012) memberikan lima alasan

mengapa modal intelektual merupakan isu dan aset penting bagi

perusahaan, yakni:

1) Modal intelektual merupakan satu-satunya kekayaan perusahaan

yang bernilai (appreciable). Aset lain seperti bangunan, pabrik,

peralatan, mesin, dan sebagainya harus didepresiasi begitu aset

tersebut digunakan, sedangkan modal intelektual justru

bertambah begitu digunakan.

2) Pekerjaan yang berhubungan dengan pengetahuan semakin

bertambah jumlahnya. Hal tersebut diindikasikan oleh semakin

banyaknya lapangan kerja yang muncul dari sektor jasa.

Perekonomian jasa tumbuh pesat secara langsung dalam industri

jasa seperti ritel, investasi, informasi, pendidikan, konsultasi,

dan hiburan; serta secara tidak langsung dalam industri


20

manufaktur tradisional seperti otomotif, barang dalam kemasan,

dan peralatan instalasi. Pada umumnya jasa bertumpu pada

jalinan relasi yang didasari kompetensi dan komitmen individu.

Oleh sebab itu, arti penting modal intelektual semakin

meningkat seiring dengan pertumbuhan perekonomian jasa.

3) Personil dengan modal intelektual tinggi menjadi volunteer,

karena sebagai yang terbaik memiliki peluang besar untuk

mencari kerja di sejumlah perusahaan. Bukan berarti mereka

bersedia bekerja secara cuma-cuma (tanpa bayaran), namun

mereka memiliki banyak pilihan tempat kerja sehingga mereka

menjadi volunteer di perusahaan tertentu. Komitmen para

volunteer cenderung terbentuk karena ikatan emosional mereka

pada suatu perusahaan. Mereka lebih tertarik pada aspek makna

dan tantangan pekerjaan daripada imbalan financial. Para

karyawan yang memiliki mind-set seperti umumnya lebih

cenderung berpindah ke perusahaan lain.

4) Banyak manajer yang mengabaikan atau kurang menyadari

pentingnya modal intelektual. Itensitas persaingan dan maraknya

kebijakan downsizing serta delayering menyebabkan tuntutan,

tekanan, dan stres kerja meningkat drastis. Bila hal itu tidak

diimbangi dengan perbaikan kualitas kehidupan kerja, maka

akan banyak karyawan berbakat dan berpotensi tinggi yang

tidak betah dan memilih untuk pindah perusahaan.


21

5) Sebagian besar investasi pada modal intelektual yang dilakukan

saat ini salah fokus. Di bawah “corporate citizenship”, banyak

eksekutif senior yang membicarakan isu-isu pekerjaan dan

keluarga. Program semacam itu menyiratkan bahwa setelah

semua urusan bisnis dirampungkan, barulah disediakan waktu

untuk keperluan citizenship karyawan. Padahal, modal

intelektual menentukan keberhasilan atau kegagalan perusahaan.

Di Indonesia, fenomena intellectual capital mulai berkembang

setelah adanya PSAK No 19 (revisi 2000) tahun 2009 tentang aktiva

tidak berwujud. Menurut PSAK No. 19, aktiva tidak berwujud

adalah aktiva non moneter yang dapat diidentifikasi dan tidak

mempunyai wujud fisik serta dimiliki untuk digunakan dalam

menghasilkan atau menyerahkan barang atau jasa, disewakan kepada

pihak lainnya, atau untuk tujuan administratif. Dalam PSAK No. 19

(revisi 2000) tahun 2009 tentang aktiva tidak berwujud, telah

disebutkan bahwa komponen intellectual capital merupakan bagian

dari kategori intangible asset. Oleh karena itu, pengungkapan

informasi mengenai intellectual capital bersifat sukarela, mengingat

PSAK No. 19 belum mengatur tentang intellectual capital baik dari

cara pengindentifikasiannya maupun dari segi pengukurannya

(Kurniawan I. , 2013).

Dengan melakukan pengelolaan intellectual capital,

perusahaan akan memiliki keunggulan kompetitif. Selain itu,


22

pengelolaan intellectual capital juga memberikan informasi

mengenai kemampuan perusahaan dan bagaimana perusahaan

tersebut mampu melakukan aktivitas dengan baik untuk bisa

mengenali usaha-usaha manajemen dalam pengembangan kondisi

pengetahuan yang dimiliki perusahaan. Selain itu dengan

pengelolaan intellectual capital dapat memberikan informasi

pengembangan sumber pengetahuan yang dimiliki oleh perusahaan.

2.1.3.2 Komponen Intellectual Capital

Banyak praktisi yang menyatakan bahwa intellectual capital

terdiri dari tiga elemen utama (Stewart, 1998; Sveiby, 1997; Saint-

Onge, 1996; Bontis, 2000 dalam Sawarjuwono, 2003) yaitu:

1) Human Capital (Modal Manusia)

Human capital merupakan lifeblood dalam intellectual capital.

Disinilah sumber inovasi dan perbaikan, tetapi merupakan

komponen yang sulit untuk diukur. Human capital merupakan

sumber inovasi dan perbaikan, karena didalamnya terdapat

pengetahuan, keterampilan dan kompetensi yang dimiliki oleh

karyawan perusahaan. Human capital dapat meningkat jika

perusahaan dapat memanfaatkan dan mengembangkan pengetahuan,

kompetensi dan keterampilan karyawannya secara efesien. Oleh

karena itu, human capital merupakan sumber daya kunci yang dapat

menciptakan keunggulan kompetitif perusahaan sehingga perusahaan

mampu bersaing dan bertahan di lingkungan bisnis yang dinamis.


23

Dengan memiliki karyawan yang berkeahlian dan berketerampilan,

maka dapat meningkatkan kinerja perusahaan dan menjamin

keberlangsungan perusahaan tersebut. Meningkatnya kinerja

perusahaan juga akan meningkatkan persepsi pasar.

Human capital mencerminkan kemampuan kolektif

perusahaan untuk menghasilkan solusi terbaik berdasarkan

pengetahuan yang dimiliki oleh orang-orang yang ada dalam

perusahaan tersebut. Menurut Brinker ada beberapa karakteristik

dasar yang dapat diukur dari modal ini, yaitu program pelatihan,

mandat, pengalaman, pengarahan, mentoring, learning programs,

potensi individu dan kepribadian.

Sumber daya manusia atau human capital memiliki lima

komponen yaitu kemampuan individu, motivasi individu,

kepemimpinan, iklim organisasi, dan workgroup effectiveness. Tiap-

tiap komponen tersebut memiliki peranan yang berbeda dalam

menciptakan human capital perusahaan yang pada akhirnya

menentukan nilai sebuah perusahaan (Abdussalam, 2011).

Sveiby dan Karl Erik (1998) mengelompokkan item-item

human capital yang tergambar dari intangible assets monitor seperti

di bawah ini:

a. Program Pelatihan (Training Program)


24

Program-program apa yang telah dilakukan oleh

perusahaan untuk meningkatkan kualitas sumberdaya yang

dimiliki.

b. Rekrutmen (Recruitment)

Dengan melakukan proses recruitment yang kompetitif,

perusahaan akan mendapatkan sumberdaya yang berkualitas.

c. Rotasi Pegawai (Professionals Turnover)

Bagaimana dan seberapa sering perusahaan dalam

melakukan rotasi pegawai. Dengan melakukan rotasi diharapkan

mampu meningkatkan pengalaman karyawan dan mengurangi

kejenuhan dalam melakukan pekerjaan.

d. Tingkat Pendidikan (Level of Education)

Tingkat pendidikan yang dimiliki oleh setiap karyawan

menggambarkan kemampuan atau kualitas dari karyawan itu

sendiri.

e. Standar Upah/Gaji (Minimum Salary)

Banyak industri dan badan usaha yang memiliki standar

upah/gaji bagi pegawainya, sesuai posisi dan kemampuan.

Karena hal ini dapat mempengaruhi tingkat profesionalisme,

serta mempertahankan jumlah pegawai yang berkompeten.

2) Structural Capital atau Organizational Capital (Modal Organisasi)

Structural capital merupakan kemampuan organisasi atau

perusahaan dalam memenuhi proses rutinitas perusahaan dan


25

strukturnya yang mendukung usaha karyawan untuk menghasilkan

kinerja intelektual yang optimal serta kinerja bisnis secara

keseluruhan, misalnya: sistem operasional perusahaan, proses

manufacturing, budaya organisasi, filosofi manajemen dan semua

bentuk intellectual property yang dimiliki perusahaan. Seorang

individu dapat memiliki tingkat intelektualitas yang tinggi, tetapi jika

organisasi memiliki sistem dan prosedur yang buruk maka

intellectual capital tidak dapat mencapai kinerja secara optimal dan

potensi yang ada tidak dapat dimanfaatkan secara maksimal

(Sawarjuwono & Kadir, 2003).

Sveiby dan Karl Erik (1998) mengelompokkan item-item

structural capital seperti di bawah ini:

a. Jenis Produk atau Jasa Baru (Proportional of New

Product/Services)

Adapun yang masuk dalam komponen ini adalah jenis

produk atau jasa baru yang ditawarkan atau dihasilkan oleh

perusahaan. Barang atau jasa baru tersebut merupakan hasil

inovasi yang dilakukan untuk menarik minat pelanggan.

b. Investasi pada Teknologi (Investment in IT)

Apakah perusahaan melakukan investasi pada teknologi

informasi yang nantinya diharapkan mampu mengoptimalkan

kinerja perusahaan tersebut.

c. Efesiensi (Efficiency)
26

Sejauh mana perusahaan melakukan suatu program atau

kegiatan operasional yang nantinya dapat meningkatkan

efesiensi.

d. Umur Perusahaan (Age of Organization)

Semakin lama perusahaan berdiri, maka mempunyai

tingkat kualitas dan kematangan, jika dibandingkan dengan

perusahaan yang baru.

e. Kontribusi Konsumen (Proportion of Big Customer)

Seberapa besar kontribusi yang diberikan oleh konsumen

yang berada dalam suatu area. Ada atau tidaknya area yang

kompeten yang dimiliki oleh perusahaan.

f. Inovasi (Innovation)

Sejauh mana perusahaan melakukan inovasi untuk

meningkatkan kepuasan konsumen berdasarkan segmen tertentu.

3) Relational Capital atau Customer Capital

Elemen ini merupakan komponen modal intelektual yang

memberikan nilai secara nyata. Relational capital merupakan

hubungan yang harmonis/association network yang dimiliki oleh

perusahaan dengan para mitranya, baik yang berasal dari para

pemasok yang andal dan berkualitas, berasal dari pelanggan yang


27

loyal dan merasa puas akan pelayanan perusahaan yang

bersangkutan, berasal dari hubungan perusahaan dengan pemerintah

maupun dengan masyarakat sekitar. Sebagai contoh: brand, loyalitas

konsumen, nama perusahaan, jaringan distribusi, kesepakatan

franchise, kepuasan konsumen, hubungan dengan distributor, dan

lain-lain. Pengelolaan relational capital yang baik akan

menyebabkan kompetensi dalam aktivitas organisasi atau respon

terhadap perubahan pasar dapat dikembangkan. Relational capital

dapat muncul dari berbagai bagian di luar lingkungan perusahaan

yang dapat menambah nilai bagi perusahaan tersebut (Sawarjuwono

& Kadir, 2003).

Sveiby dan Karl Erik (1998) mengelompokkan item-item

relational capital seperti di bawah ini.

a. Keikutsertaan Pelanggan (Customer Role)

Bagaimana perusahaan mengikutsertakan pelanggan ke

dalam desain produk, produksi dan pelayanan.

b. Frekuensi Pelanggan (Customer Frequency)

Seberapa sering pelanggan berbalik pada perusahaan. Apa

yang perusahaan ketahui tentang bagaimana dan kapan

pelanggan akan menjadi pelanggan yang loyal. Karena itulah

perusahaan harus mengetahui seberapa sering frekuensi

komunikasi dengan pelanggan.

c. Penjualan untuk Konsumen Baru (Sales to New Customer)


28

Pengungkapan penjualan untuk new customer merupakan

strategi yang baik untuk meningkatkan citra perusahaan, serta

untuk mendapatkan pelanggan baru, dan mengambil pelanggan

dari pesaing.

d. Dukungan Pelanggan (Customer Support)

Program apa yang digunakan untuk mengetahui kepuasan

pelanggan.

e. Pembelian oleh Pelanggan (Customer Success)

Berapa besar rata-rata setahun pembelian yang dilakukan

oleh pelanggan.

Menurut Edvinson (1997) seperti yang dikutip oleh Brinker

(2000) ada beberapa pengukuran yang terdapat dalam relational

capital antara lain:

a. Profil Pelanggan (Customer Profile)

Siapa pelanggan-pelanggan kita, dan bagaimana mereka

berbeda dari pelanggan yang dimiliki oleh pesaing. Hal

potensial apa yang kita miliki untuk meningkatkan loyalitas,

mendapatkan pelanggan baru, dan mengambil pelanggan dari

pesaing.

b. Durasi Pelanggan (Customer Duration)

Seberapa sering pelanggan berbalik kepada kita. Apa yang

kita ketahui tentang bagaimana dan kapan pelanggan akan


29

menjadi pelanggan yang loyal. Serta seberapa sering frekuensi

komunikasi kita dengan pelanggan.

c. Keikutsertaan Pelanggan (Customer Role)

Bagaimana kita mengikutsertakan pelanggan ke dalam

desain produk, produksi dan pelayanan.

d. Dukungan Pelanggan (Customer Sopport)

Program apa yang digunakan untuk mengetahui kepuasan

pelanggan.

e. Pembelian oleh Pelanggan (Customer Success)

Seberapa besar rata-rata setahun pembelian yang

dilakukan oleh pelanggan.

2.1.3.3 Pelaporan Intellectual Capital

Perusahaan-perusahaan melakukan pelaporan intellectual

capital karena berbagai alasan. Menurut Widjanarko (2006) lima

alasan perusahaan-perusahaan melaporkan intellectual capital

adalah:

1) Pelaporan intellectual capital dapat membantu organisasi

merumuskan strategi bisnis. Dengan mengindentifikasi dan

mengembangkan intellectual capital suatu organisasi untuk

mendapatkan keunggulan kompetitif.

2) Pelaporan intellectual capital dapat membawa pada

pengembangan indikator-indikator kunci prestasi perusahaan


30

yang akan membantu mengevaluasi hasil-hasil pencapaian

strategi.

3) Pelaporan intellectual capital dapat membantu mengevaluasi

merger dan akuisisi perusahaan, khususnya untuk menentukan

harga yang dibayar oleh perusahaan pengakuisisi.

4) Menggunakan pelaporan intellectual capital nonfinancial dapat

dihubungkan dengan rencana intensif dan kompensasi

perusahaan.

5) Mengkomunikasikan kepada stakeholder eksternal tentang

intellectual property intellectual property yang dimiliki

perusahaan.

2.1.3.4 Pengukuran Intellectual Capital

Metode pengukuran intellectual capital dapat dikelompokkan

ke dalam dua kategori, yakni kategori yang tidak menggunakan

pengukuran moneter dan kategori yang menggunakan ukuran

moneter (Tan, Plowman, & Hancock, 2007).

Metode yang kedua tidak hanya termasuk metode yang

mencoba mengestimasi nilai uang dari intellectual capital, tetapi

juga ukuran-ukuran turunan dari nilai uang yakni dengan

menggunakan rasio keuangan.

Berikut adalah daftar ukuran intellectual capital yang berbasis

nonmoneter (Tan, Plowman, & Hancock, 2007):


31

1) The Balanced Scorecard, dikembangkan oleh Kaplan dan

Norton (1992);

2) Brooking’s Technology Broker Method (1996);

3) The Skandia Intellectual Capital Report Method oleh Edvinssion

dan Malone (1997);

4) The Intellectual Capital Index dikembangkan oleh Roos et al.

(1997);

5) Intangible Asset Monitor Approach oleh Sveiby (1997);

6) The Heuristic frame dikembangkan oleh Joia (2000);

7) Vital Sign Scorecard dikembangkan oleh Vanderkaay (2000);

8) The Ernst and young Model (Barsky dan Marchant, 2000).

Sedangkan model penilaian Intellectual Capital yang berbasis

moneter adalah (Tan, Plowman, & Hancock, 2007):

1) The AVA and MVA model (Bontis et al., 1999);

2) The Market to Book Value model;

3) Tobin’s q method (Luthy, 1998);

4) Pulic’s VAIC model (1998, 2000);

5) Calculated intangible value (Dzinkowski, 2000);

6) The Knowladge Capital Earnings model (Lev dan Feng, 2001)

Metode VAIC ini didesain untuk menyajikan informasi tentang

value creation efficiency dari aset berwujud (tangible assets) dan

aset tidak berwujud (intangible assets) yang dimiliki oleh

perusahaan. Model ini dimulai dengan kemampuan perusahaan


32

untuk menciptakan Value Added (VA). VA dihitung sebagai selisih

antara output dan input.

Outputs (OUT) merepresentasikan revenue dan mencakup

seluruh produk dan jasa yang dijual di pasar. Inputs (IN) mencakup

seluruh beban yang digunakan dalam memperoleh revenue. Hal

penting dalam model ini adalah bahwa beban karyawan (labour

expense) tidak termasuk dalam IN. karena peran aktifnya dalam

proses value creation, intellectual potential (yang direpresentasikan

dengan labour expense) tidak dihitung sebagai biaya. Karena itu

aspek kunci dalam model ini adalah memperlakukan tenaga kerja

sebagai entitas penciptaan nilai (value creation entity).

VA dipengaruhi oleh efesiensi dari human capital (HC) dan

structural capital (SC). Hubungan lainnya dari VA adalah capital

employed (CE), yang dalam hal ini dilabeli dengan CEE. CEE adalah

indikator untuk VA yang diciptakan oleh satu unit dari physical

capital.

Pulic (1998) mengasumsikan bahwa jika 1 unit dari CE

menghasilkan return yang lebih besar daripada perusahaan yang lain,

maka berarti perusahaan tersebut lebih baik dalam memanfaatkan

CE-nya. Dengan demikian, pemanfaatan CE yang lebih baik

merupakan bagian dari IC perusahaan.

Hubungan selanjutnya adalah VA dan HC. Human capital

efficiency menunjukkan berapa banyak VA dapat dihasilkan dengan


33

dana yang dikeluarkan untuk tenaga kerja. Hubungan antara VA dan

HC mengindikasikan kemampuan dari HC untuk menciptakan nilai

di dalam perusahaan. Konsisten dengan pandangan para penulis IC

lainnya, Pulic berargumen bahwa total salary dan wage cost adalah

indikator dari HC perusahaan.

Hubungan ketiga adalah structural capital efficiency (SCE),

yang menunjukkan kontribusi structural capital (SC) dalam

penciptaan nilai. SCE mengukur jumlah SC yang dibutuhkan untuk

menghasilkan 1 rupiah dari VA dan merupakan indikasi bagaimana

keberhasilan SC dalam penciptaan nilai. SC bukanlah ukuran yang

independen sebagaimana HC, SC dependen terhadap value creation

(Pulic, 1999). Artinya, semakin besar kontribusi HC dalam value

creation, maka akan semakin kecil kontribusi SC dalam hal tersebut.

Lebih lanjut Pulic menyatakan bahwa SC adalah VA dikurangi HC,

yang hal ini telah diverifikasi melalui penelitian empiris pada sektor

industri tradisional (Pulic, 2000).

Rasio terakhir adalah menghitung kemampuan intelektual

perusahaan dengan menjumlahkan koefisien-koefisien yang telah

dihitung sebelumnya. Hasil penjumlahan tersebut diformulasikan

dalam indikator baru yang unik, yaitu VAIC (Pulic, 2004).

Keunggulan metode Pulic adalah karena VAIC menyediakan

dasar ukuran yang standar dan konsisten, angka-angka keuangan

yang standar yang umumnya tersedia dari laporan keuangan


34

perusahaan. Selain itu value added juga merupakan indikator yang

paling objektif untuk menilai keberhasilan bisnis dan menunjukkan

kemampuan perusahaan dalam menciptakan nilai. Alternatif

pengukuran intellectual capital lainnya terbatas hanya menghasilkan

indikator keuangan dan non-keuangan yang unik yang hanya untuk

melengkapi profil suatu perusahaan secara individu. Indikator-

indikator tersebut, khususnya indikator non-keuangan, tidak tersedia

atau tidak tercatat oleh perusahaan. Konsekuensinya, kemampuan

untuk menerapkan intellectual capital alternatif tersebut secara

konsisten terhadap sampel yang besar dan terdiverifikasi menjadi

terbatas (Firer & Williams, 2003).

2.1.4 Kinerja Keuangan

Kinerja keuangan adalah penentuan ukuran-ukuran tertentu yang

dapat mengukur keberhasilan suatu perusahaan dalam menghasilkan

laba. Pengukuran kinerja keuangan dapat dipengaruhi dengan

kemampuan perusahaan dalam melakukan penjualan. Perusahaan dapat

meningkatkan penjualan dan laba dengan menciptakan komunikasi

yang interaktif dan meyakinkan konsumen. Keberhasilan pencapaian

tujuan perusahaan, dapat diukur dengan menggunakan rasio

profitabilitas. Rasio profitabilitas adalah rasio yang mengukur

bagaimana tingkat pengembalian perusahaan dibandingkan dengan

penjualannya, investasi aset dan ekuitasnya. Terdapat 5 pengukuran

rasio profitabilitas, yaitu: gross profit margin (GPM) mengukur berapa


35

banyak laba yang tersisa dari setiap rupiah penjualan setelah dikurangi

dengan harga pokok barang yang dijual, net profit margin (NPM)

mengukur laba bersih dari setiap rupiah penjualan setelah dikurangi

harga pokok dan seluruh beban termasuk bunga dan pajak, earnings per

share (EPS) jumlah laba pada suatu periode yang tersedia untuk setiap

saham biasa yang beredar selama periode pelaporan, return on asset

(ROA) mengukur tingkat pengembalian total aset, return on equity

(ROE) mengukur tingkat pengembalian total ekuitas.

Pengukuran profitabilitas pada penelitian ini adalah ROA untuk

mengetahui dampak intellectual capital terhadap penggunaan aset.

ROA merupakan ukuran kemampuan perusahaan dalam menghasilkan

laba dengan suatu aktiva yang dimiliki perusahaan yang merefleksikan

keuntungan bisnis dan efesiensi perusahaan dalam pemanfaatan total

aset. ROA memberikan gambaran kepada investor tentang bagaimana

perusahaan mengkonversikan uang yang telah diinvestasikan dalam

laba bersih. Jadi, ROA adalah indikator dari profitabilitas perusahaan

dalam menggunakan asetnya untuk menghasilkan laba bersih. ROA

dihitung dengan membagi laba bersih (net income) dengan rata-rata

total aset perusahaan. Semakin tinggi nilai ROA, maka perusahaan

tersebut semakin efesien dalam menggunakan asetnya. Hal ini

menjelaskan bahwa perusahaan tersebut dapat menghasilkan uang

(earnings) yang lebih banyak dengan investasi yang sedikit.


36

ROA lebih dipilih dari pada return on equity (ROE) karena total

equitas yang merupakan denominator ROE adalah salah satu komponen

dari CEE. Jika menggunakan ROE, maka akan terjadi double counting

atas akun yang sama (yaitu equitas), di mana CEE (yang dibangun dari

akun equitas dan laba bersih) sebagai variabel independen dan ROE

(yang juga dibangun dari akun equitas dan laba bersih) menjadi variabel

dependen (Ningrum & Rahardjo, 2012). NPM dan GPM tidak

digunakan dalam penelitian ini, melainkan ditingkat pengembalian

(return).

2.2 Telaah Penelitian Terdahulu

Penelitian terdahulu telah banyak menemukan bukti bahwa terdapat

hubungan antara intellectual capital dengan kinerja perusahaan, antara lain

Firer dan Williams (2003), Tan et al. (2007), Ghosh & Mondal (2009),

Rachmawati (2012), Kartikasari (2014), dan Mursida (2014).

Firer dan Wiliams (2003) melakukan penelitian mengenai pengaruh

intellectual capital terhadap kinerja perusahaan. Penelitiannya menggunakan

objek 75 perusahaan sektor publik yang terdaftar di Afrika Selatan pada tahun

2001. Di dalam penelitiannya, intellectual capital diproksikan dengan

(VAIC) dan kinerja perusahaannya terdiri atas, profitabilitas (ROA),

produktivitas (ATO), market to book value (M/B). Hasil dari penelitiannya ini

menunjukkan bahwa intellectual capital hanya berpengaruh terhadap market

to book value dan produktivitas. Profitabilitas tidak memiliki pengaruh.

Secara keseluruhan, hasil penelitian ini menunjukkan bahwa physical capital


37

(modal fisik) merupakan faktor yang paling signifikan berpengaruh terhadap

kinerja perusahaan di Afrika Selatan.

Ghosh dan Mondal (2009) meneliti perusahaan perangkat lunak dan

farmasi di India. Hasil dari penelitian tersebut menunjukkan bahwa

intellectual capital hanya berpengaruh pada profitabilitas perusahaan dan

tidak berpengaruh pada produktivitas dan valuasi pasar di India.

Rachmawati (2012) meneliti tentang pengaruh intellectual capital

terhadap return on asset (ROA) perbankan. Sampel yang digunakan dalam

penelitian tersebut adalah perusahaan perbankan yang terdaftar di bursa efek

tahun 2006-2009 dengan metode purposive sampling dalam pengambilan

sampelnya. Hasilnya menunjukkan bahwa terdapat pengaruh positif antara

intellectual capital terhadap return on asset (ROA).

Mursida (2014) meneliti pengaruh intellectual capital terhadap kinerja

keuangan pada perusahaan perbankan. Sampel yang digunakan dalam

penelitian tersebut adalah perusahaan perbankan yang terdaftar di Bursa Efek

Indonesia periode 2010-2012. Teknik analisis data menggunakan regresi

linier berganda dan hasilnya menyimpulkan bahwa intellectual capital yang

terdiri atas tiga komponen, yaitu human capital, structural capital, dan

customer capital secara simultan berpengaruh signifikan terhadap Return on

Asset (ROA). Secara parsial, masing-masing komponen pembentuk

intellectual capital yaitu human capital efficiency (HCE), structural capital

efficiency (SCE), dan customer employed efficiency (CEE) juga memiliki

pengaruh yang signifikan terhadap kinerja keuangan perusahaan.


38

Penelitian yang baru-baru ini (Tan et al., 2007) selain menguji

hubungan intellectual capital dengan kinerja perusahaan yang terdaftar pada

bursa efek singapura tahun 2000-2002, mereka juga menguji kapabilitas

prediktif intellectual capital terhadap kinerja keuangan di masa depan.

Selanjutnya di Indonesia, Kuryanto (2008) mereplikasi penelitian tan et al.

(2007), tetapi hasilnya bertentangan karena pada penelitian Tan et al. (2007)

semua hepotesisnya didukung sedangkan pada penelitian Kuryanto (2008),

intellectual capital dan kinerja perusahaan tidak berhubungan secara positif,

intellectual capital tidak berhubungan dengan kinerja keuangan perusahaan

masa depan, Rate of Growth Intellectual Capital (ROGIC) tidak secara positif

berhubungan dengan kinerja perusahaan dan kontribusi intellectual capital

kepada kinerja perusahaan berbeda sesuai industrinya. Pada tahun 2014

Kartikasari melakukan penelitian serupa pada industri perbankan dengan

menggunakan metode Partial Least Square (PLS). Hasilnya menunjukkan

bahwa modal intelektual berpengaruh signifikan terhadap kinerja perusahaan

perbankan pada tahun yang sama. Hasil uji hepotesis yang kedua

menunjukkan bahwa modal intelektual tidak berpengaruh signifikan terhadap

kinerja keuangan perbankan masa depan.

Penelitian ini bertujuan untuk mengukur pengaruh intellectual capital

terhadap kinerja keuangan pada perusahaan farmasi yang terdaftar di Bursa

Efek Indonesia dengan menggunakan model Pulic (VAIC) dengan

menggunakan metode partial Least Square (PLS) mangacu pada penelitian

Kartikasari (2014). Kinerja keuangan yang digunakan adalah return on asset


39

(ROA). Data yang digunakan berupa informasi yang terdapat dalam laporan

keuangan perusahaan farmasi yang terdaftar di BEI pada tahun 2011-2013.

Tabel 2.1
Penelitian Terdahulu
No Peneliti Variabel Metode Hasil
1 Bontis et. Al Variabel dependen: Partial Least a. IC berpengaruh secara
(2000) business performance Square (PLS) signifikan terhadap
Variabel independen: business performance
intellectual capital
2 Firer & Williams Variabel dependen: Analisis a. CEE dan HCE
(2003) ROA, ATO, MB regresi berpengaruh signifikan
Variabel independen: berganda negative terhadap ATO
CEE, HCE, SCE b. CEE berpengaruh
Variabel kontrol: signifikan positif
LCAP, Lev, ROE, terhadap MB
Industry Type

No Peneliti Variabel Metode Hasil


3 Rachmawati Variabel dependen: Analisis a. IC berpengaruh positif
(2012) ROA regresi terhadap ROA
Variabel independen: berganda
IC
4 Tan et. Al (2007) Variabel dependen: VAIC, Partial a. IC berpengaruh positif
ROE, EPS, ASR Leat Square terhadap kinerja
Variabel independen: (PLS) perusahaan, baik masa
VAIC kini maupun masa
mendatang
b. Rata-rata pertumbuhan
IC berhubungan positif
dengan kinerja
perusahaan di masa
mendatang
c. Kontribusi IC terhadap
kinerja perusahaan
berbeda berdasarkan
jenis industrinya
5 Kuryanto (2008) Variabel dependen: Partial Leats a. IC dan kinerja
ROE, EPS, ASR Square (PLS) perusahaan tidak
Variabel independen: berhubungan positif
CEE, HCE, SCE b. IC tidak berhubungan
dengan kinerja
perusahaan masa
depan
c. Kontribusi IC terhadap
kinerja perusahaan
berbeda tiap industri
6 Ghosh & Variabel dependen: Analisis a. IC berpengaruh positif
40

Mondal (2009) ROA, ATO, MB regresi terhadap ROA


variabel independen: berganda b. IC tidak berpengaruh
VAIC, CEE, HCE, terhadap ATO
SCE c. IC tidak berpengaruh
variable kontrol: terhadap MB
LCAP, Lev, PC
7 Ting & Lean Variabel dependen: Analisis a. VAIC dan ROA secara
(2009) ROA regresi positif berhubungan
Variabel independen: berganda b. Tiga komponen VAIC
VAIC berhubungan dengan
profitabilitas
8 Mursida (2014) Variabel dependen: Analisis a. CEE, HCE, SCE
ROA regresi secara simultan
Variabel independen: berganda berpengaruh terhadap
CEE, HCE, SCE ROA
b. CEE, HCE, SCE
secara parsial
berpengaruh terhadap
ROA
No Peneliti Variabel Metode Hasil
9 Kartikasari Variabel dependen: Partial Least a. IC berpengaruh
(2014) ROA, CAR, LDR Square (PLS) terhadap kinerja
Variabel independen: keuangan pada tahun
VAIC, CEE, HCE, yang sama
SCE b. IC tidak berpengaruh
terhadap kinerja
keuangan masa depan
c. Tingkat pertumbuhan
IC tidak berpengaruh
terhadap kinerja
keuangan masa depan

2.3 Hipotesis Penelitian

Intellectual capital merupakan bagian dari intangible assets berupa

pengetahuan yang bermanfaat bagi perusahaan dalam menciptakan nilai

tambah (value added). Menurut technology organization environment theory,

intellectual capital merupakan elemen yang dapat meningkatkan kinerja

perusahaan karena intellectual capital dalam bentuk organization knowledge

memiliki hubungan langsung dengan kinerja perusahaan. Dengan sifat

tersebut, intellectual capital dapat membangun keunggulan kompetitif


41

perusahaan. Keunggulan kompetitif menempatkan perusahaan pada posisi

persaingan ketat di pasar. Salah satu faktor yang dapat mendukung

perkembangan perusahaan ialah pengelolaan sumber daya manusia. Sumber

daya manusia yang memiliki potensi baik akan meningkatkan nilai bagi

perusahaan.

Nilai perusahaan yang meningkat dapat menyebabkan kenaikan laba

perusahaan. Return on assets (ROA) merupakan salah satu ukuran

profitabilitas yang dapat mengukur kemampuan perusahaan dalam

menghasilkan laba dari aset yang dimiliki perusahaan. Tingginya nilai ROA

menunjukkan perusahaan dapat mencapai tingkat keuntungan yang tinggi

pula. Di samping itu, perusahaan juga dianggap mampu menggunakan

asetnya dengan baik. Perusahaan yang mampu memanfaatkan intellectual

capital dengan baik akan lebih unggul dibandingkan perusahaan yang tidak

mampu memanfaatkan intellectual capital. Jika perusahaan dapat melakukan

efesiensi semakin tinggi melalui intellectual capital-nya, ROA juga menjadi

semakin tinggi.

Hasil penelitian Rachmawati (2012) menyimpulkan intellectual capital

berpengaruh positif terhadap return on assets (ROA).

Berdasarkan uraian di atas, maka diajukan hipotesis sebagai berikut:

H1: intellectual capital berpengaruh positif terhadap kinerja keuangan

pada perusahaan farmasi di Indonesia.

Intellectual capital merupakan sumberdaya yang terukur untuk

peningkatan competitive advantages, sehingga intellectual capital akan


42

memberikan dampak kontribusi terhadap kinerja keuangan perusahaan di

masa yang akan datang. Intellectual capital tidak hanya berpengaruh secara

positif terhadap kinerja perusahaan tahun berjalan, bahkan intellectual capital

juga dapat memprediksi kinerja keuangan masa depan. Logikanya jika suatu

perusahaan di tahun berjalan memiliki intellectual capital yang tinggi yang

ditandai dengan pengelolaan yang baik dan maksimal atas potensi perusahaan

yang dimiliki, maka perusahaan tersebut akan mampu menunjukkan

kapasitasnya untuk beradaptasi lebih cepat pada tuntutan zaman, terus

menerus melakukan inovasi yang lebih tepat dalam mengambil keputusan

sehingga kinerja perusahaan di masa yang akan datang juga akan meningkat.

Pengelolaan yang optimal terhadap intellectual capital akan menciptakan

nilai perusahaan yang semakin baik di mata stakeholders, sehingga investor

sebagai salah satu stakeholders akan memberikan legitimasi positif terhadap

perusahaan. Riahi-Belkaoui (2003) dan Firer & Williams (2003) yang

menyatakan bahwa investor akan memberikan nilai yang tinggi terhadap

perusahaan yang memiliki intellectual capital lebih besar. Investor yang

menginvestasikan dana yang mereka miliki, lebih besar di masa yang akan

datang dibandingkan tahun sebelumnya. Tersedianya dana yang lebih besar

dan inovasi yang dilakukan, maka aktivitas perusahaan untuk menghasilkan

laba akan semakin meningkat. Hal ini mengindikasikan intellectual capital

akan memberikan dampak kontribusi terhadap kinerja keuangan perusahaan

di masa yang akan datang.


43

Hasil penelitian Tan et al. (2005) dengan menggunkan sampel 150

perusahaan publik yang terdaftar di Singapore Excange membuktikan bahwa

intellectual capital berpengaruh secara positif terhadap kinerja perusahaan di

masa mendatang.

Chen et al. (2005) menggunakan sampel perusahaan publik di Taiwan

membuktikan bahwa intellectual capital berpengaruh secara positif terhadap

nilai pasar dan kinerja keuangan perusahaan. Bahkan, Chen et al. (2005) juga

membuktikan bahwa intellectual capital dapat menjadi salah satu indikator

untuk memprediksi kinerja perusahaan di masa mendatang. Bontis dan Fitz-

enz, dalam Ulum (2007) juga menyatakan intellectual capital dapat menjadi

indikator yang paling tepat untuk memprediksi kinerja keuangan perusahaan

di masa mendatang.

Berdasarkan uraian di atas, maka diajukan hipotesis sebagai berikut:

H2: intellectual capital berpengaruh positif terhadap kinerja keuangan

perusahaan farmasi masa depan.

Anda mungkin juga menyukai