Anda di halaman 1dari 17

BAB 6

Analisis Internal Organisasi

CAPAIAN PEMBELAJARAN (Learning Out Come)

1. Capaian Pembelajaran : Mahasiswa memahami dan menerapkan konsep


resources based view untuk menentukan pembeda inti (core distinctive)
dan kompetensi pembeda (distinctive competencies) di sebuah perusahaan,
menggunakan kerangka VRIO (Value, Rareness, Imitiability, dan
Organization) dan melakukan analisis rantai nilai untuk meninnjau
keunggulan bersaing organisasi dan bagaimana organisasi
mempertahankannya, memahami konsep model bisnis perusahaan dan
bagaimana ia dapat diimitasi, menilai budaya perusahaan dan memahami
bagaimana budaya dapat dijadikan sumber keunggulan, memahami dalam
membuat Rangkuman Analisis Faktor Internal (RAFI).
2. Capaian Pembelajaran khusus : Mahasiswa memahami dan menerapkan
konsep resources based view untuk menentukan pembeda inti (core
distinctive) dan kompetensi pembeda (distinctive competencies) di sebuah
perusahaan, menggunakan kerangka VRIO (Value, Rareness, Imitiability,
dan Organization) dan melakukan analisis rantai nilai untuk meninnjau
keunggulan bersaing organisasi dan bagaimana organisasi
mempertahankannya, memahami konsep model bisnis perusahaan dan
bagaimana ia dapat diimitasi, menilai budaya perusahaan dan memahami
bagaimana budaya dapat dijadikan sumber keunggulan, memahami dalam
membuat Rangkuman Analisis Faktor Internal (RAFI).
Analisis lingkungan eksternal perusahaan memberikan wawasan kepada kita
tentang berbagai kemungkinan peluang yang akan kita raih dan berbagai ancaman
yang kita hadapi. Meskipun demikian, kedua hal itu baru terkonfirmasi sebagai
peluang dan ancaman, bila kita menyertakan juga analisis internal kita-di mana
letak faktor dan ancaman, bila kita menyertakan juga analisis internal kita-di mana
letak faktor strategik internal kita-kekuatan dan kelemahan kita untuk
dihubungkan dengan peluang dan ancaman tadi. Kita perlu melkaukan analisis
organisasi. Di sini kita dituntut untuk jujur dengan diri sendiri agar tidak salah
kaprah dalam melihat peluang dan ancaman yang telah diidentifikasi. Terkadang
peluang yang kita lihat sebenarnya bukanlah untuk kita, karena mungkin ada
kelemahan tertentu yang kita miliki dan sulit untuk diperbaiki berkaitan dengan
peluang tadi. Pada bab ini kita mencoba membahas tentang konsep resources
based view untuk menentukan pembeda inti (core distinctive) dan kompetensi
pembeda (distinctive competencies) sebuah perusahaan. Kita juga bisa
menggunakan kerangka kerja yang disebut VRIO (Value, Rareness, Imitability,
dan Organization) dan analisis rantai nilai (value chain) untunk menilai
keunggulan bersaing organisasi dan bagaimana mempertahankannya. Kita akan
segera mengetahui bahwa perusahaan dengan model bisnis yang unik dan unggul
akan menang bersaing dan sulit ditiru oleh perusahaan lain. Karena pada
organisasi ada sumber daya nirwujud, seperti budaya, kita akan coba bahas juga
budaya sebagai sumber keunggulan organisasi.

1. Pendekatan Resource-based View untuk Analisis Organisasi

Organisasi pada dasarnya merupakan sekumpulan kombinasi sumber daya.


Organisasi memanfaatkan semua peluang yang dimilikinya, atau mengatasi
seegala ancaman yang dihadapinya dengan pemanfaat sumber daya ayng
dimilikinya. Atas dasar itulah ia akhirnya bisa tumbuh dan berkembang. Dalam
manajemen strategik, pandangan bahwa sumber daya pada akhirnya menentukan
keberlangsungan organisasi, seperti menang bersaing dan berkembang di sebuah
industri disebut dengan Resources-based View (RBV). Perusahaan selalu memiliki
berbagai aset, mulai dari aset fisik seperti pabrik, gedung, peralatan, lokasi,
teknologi, dan lain-lain; aset manusia, yakni jumlah dan kecakapan karyawan;
aset organisasi, yakni budaya, reputasi, dan sistem kerja. Kesemua aset ini kita
sebut dengan Sumber Daya. Sumber daya ini dapat dieskploitasi oleh perusahaan,
tergantung kemampuannya. Kemampuan mengeksploitasi secara baik sumber
daya ini disebut dengan Kapabilitas. Ibarat inidivdu, belum tentu seorang yang
memiliki bakat, misalnya pemain piano bisa bermain piano dengan baik. Ini
sangat ditentukan dengan bagamana ia mengembangkannya, dengan latihan,
memerhatikan pemain piano kawakan, dan belajar. Di organisasi, berbagai cara
bekerja, proses, interakski dilakukan agar semua sumber daya ini dapat
menghasilkan sesuatu yang optimal untuk organisasi menjadi sebuah kapabilitas.
Oleh karena itu, bila kita berbicara kapasitas maka di organisasi ada kapabilitas
pemasaran, kapabilitas manufaktur, kapabilitas pengembangan SDM, kapabilitas
manajemen sistem informasi, kapabilitas riset dan pengembangan, dan lain
sebagainya.

Selain hal diatas, RBV ini termasuk pandangan yang dominan bila kita
membicarakan bagaimana seharusnya menganalisis keunggulan keunggulan
bersaing yang berkelanjutan dari sebuah organisasi. RBV mengasumsikan bahwa
masing-masing organisasi selalu punya sumber daya yang unik. Inilah yang
membedakan dua perusahaan dengan ukuran tidak terlalu berbeda, ada di satu
industri yang sama, bisa berbeda kinerja dan keberhasilannya.

Para peneliti dan pakar manajemen strategik punya kriteria sendiri-sendiri untuk
membuat penggolongan. Penggolongan yang lazimnya dapat diterima adalah
sumber daya dikelompokkan ke dalam dua kelompok besar, yaitu sumber daya
berwujud (tangible) dan sumber daya nirwujud (intangible). Gambarnya bisa kita
lihat seperti berikut (De Wit, Meyer, 2005).
Gambar Tipe-tipe Sumber Daya Organisasi (De Wit, Meyer, 2005)
a. Sumber daya berwujud (tangible) dan yang nirwujud (intangible). Sumber
daya berwujud adalah segala sesuatu yang tersedia di perusahaan yang
secara fisik dapat diamati (disentuh), seperti bangunan, mesin, material,
tanah, dan uang. Sumber daya nyata dapat kita katakan sebagai “perangkat
keras” dari organsiasi. Sementara itu, yang disebut sumber daya nirwujud
adalah “perangkat lunak” dari organisasi. Sumber daya nirwujud tidak
dapat disentuh, tapi sebagian besar dikerjakan oleh karyawan di organisasi.
Secara umum, sumber daya berwujud perlu diadakan atau dibeli sementara
sumber daya nirwujud perlu dikembangkan. Karena itulah, sumber daya
berwujud lebih sering bisa ditransfer, lebih mudah untuk dihargai, dan
biasanya jelas ada nilai neraca keuangan organisasi.
b. Sumber daya Relasionial dan Kompetensi. Dalam kategori sumber daya
intangible kita dapat menggolongan dua jenis sumber daya lagi, yakni
yang disebut sumber daya relasionial dan kompetensi. Yang disebut
dengan sumber daya relasioinal adalah segala sumber daya yang tersedia
di organisasi yang muncul akibat interaksi organisasi dengan
lingkungannya. Misalnya, hubungan organisasi dengan pelanggannya,
pemasok, pesaing, atau instansi pemerintah. Hubungan ini, reputasi
organisasi pun saat berhubungan dengan berbagai pihak tadi dapat
dianggap menjadi sumber daya yang penting bagi organisasi. Misalnya
dengan reputasi, hubungan dengan pemerintah menjadi lebih lancar
misalnya. Para pemasok, yang kadang harus menyerahkan dulu
pasokannya sebelum menerima pembayaran penuh, menjadi percaya.
Apalagi kalau berbicara tentang konsumen kita, karena keberlangsungan
sebuah organisasi bisnis sangat tergantung pada konsumennya.

Rumusan para pakar tentang kompetensi juga bermacam-macam. Meskipun


demikian, penggolongan yang dibuat oleh Durand (1996) termasuk yang
diterima luas, Durand menagatakan bahwa kompetensi seharusnya dibagi
menjadi pengetahuan, kapabilitas, dan sikap. Penjelasan dari masing-masing
komponen ini adalah sebagai berikut

i. Pengetahuan. Ini merupakan segala bentuk pengetahuan praktis (know-


how), pengetahuan tentang sesuatu (know-what) yang dapat diperoleh dari
informasi. Jadi, pengetahuan mengalir dan memengaruhi pemahaman kita
tentang informasi. Bagaimana pemikir strategis melakukan anallisis
eksternal seperti yang kita lihat dalam Bab sebelumnya, mendapatkan
pengetahuan ini. Misalnya, kita perlu pengetahuan tentang pasar yang akan
kita jadikan sasaran, hasil-haisl dari inteligensi, kepakaran teknologi, dan
pemahaman atas situasi politik.
ii. Kapabilitas. Kapablitas, seperti yang dapat kita lihat di awal bab ini, dapat
diartikan sebagai potensi organisasi untuk menjalankan aktivitas tertentu
atau serangkaian aktivitas. Kadang istilah “kecakapan” digunakan untuk
merujuk pada kemampuan kita menjalankan aktivitas fungsional,
sementara “kapabilitas” dianggap bagaimana mengombinasikan berbagai
kecakapan. Organisasi bisa dikatakan memiliki kapasitas tertentu dalam
bidang riset pasar, periklanan, atau produksi. Semua ini, bila di
kombinasikan akan mnejadi sebuah kapabilitas tertentu, misalnya
pengembangan produk.
iii. Sikap. Sikap merujuk pada kerangka berpikir yang secara umum ada di
dalam sebuah organisasi. Kadang-kadang istilah ini diartikan sebagai
bagaimana organisasi melihat apa yang terjadi di sekitarnya. Ada semacam
sikap mental yang melandas para karyawan untuk bertindak. Misalnya,
perusahaan bisa dikarakterkan sebagai perusahaan yang bersikap
mengutamakan mutu, yang sangat berorientasi internasional, mendorong
terjadinya inovasi, atau sangat agresif dalam bersaing. Di bagian lanjut bab
ini, pada subbab tentang budaya, kita bisa membahas lebih lanjut unsur
sikap ini.

2. Kompetensi Inti (Core and Distinctive Competencies)

Berbicara tentang kompetensi dalam manajemen strategik, kita sulit melepaskan


istilah yang terkait dengannya, yaitu “kompetensi inti” (core competencies). Dana
kalua bicara tentang kompetensi inti perusahaan, tidak ada sumber yang paling
sesuai ketimbang konsep dari C.K Parahal dan Gary Hamel. Kedua orang inilah
yang mempopulerkan istilah kompetensi inti (core competence), saat mereka
menulis artikelnya di The core Competence of the Corporation di Harvard
Business Review tahun 1990. Dari sana, Parahal dan Hamel terus memperluas
konsepnya dengan buku yang tidak kalah populernya Competing for the Future
(Harvard Business School Press, 1996).

Di buku dan artikelnya itu, kedua pakar ini membuat analogi, bahwa perusahaan
yang punya multibisnis adalah sebuah phon besar. Tubuh dan cabang utama
adalah produk inti, sedangkan cabang yang lebih kecil adalah unit-bisnis seperti;
daun, bunga, dan buahnya adalah produk akhir. Sementara itu, sistem akar yang
memberikan berbagai makanan yang diperlukan adlaah kompetensi intinya, yang
membuat makanan, dan stabilitas. Perusahaan bisa memberikan perhatian yang
salah bila hanya fokus pada bunga dan buahnya, tetapi tidak pada kekuatan
akarnya.

Kompetensi inti merupakan upaya pembelajaran kolektif dari organisasi,


khususnya bagaimana mengoordinasikan kecakapan memproduksi dan
mengintegrasikan berbagai teknologi. Selain itu, kompetensi inti juga terkait
dengan organisasi kerja dan penyerahan nilai. Setiap orang didalam organisasi
seharusnya menganut pemahaman bahwa kebutuhan pelanggan dan gabungan
teknologi yang diinginkannya harus sejalan. Dengan demikian, kompetensi inti
juga berarti komunikasi, keterlibatan, dan komitmen yang dalam untuk bekerja
lintas kendala dalam organisasi. Tidak ada artinya hasil riset yang tinggi pada
sebuah bagian R&D perusahaan bila tidak ada dampaknya bpada bisnis
perusahaan. Berbeda dengan aset fisik, semakin kompetensi diterapkan dan
dibagi, semakin ia akan meningkat bobotnya. Meskipun demikian, kompetensi inti
harus dikembangkan dan kemudian diterapkan dan dianut sambil terus diproteksi.

Lebih jauh menurut Prahal dan Hamel, ada tiga pengujian yang dapat kita lakukan
untuk menentukan apakah perusahaan memiliki kompetensi inti. Pertama, kalau
sebuah perusahaan elektronika punya kekuatan pada sistem display, maka ia
punya kesempatan masuk dalam bisnis kalkulator, miniatur TV Set, monitor untuk
laptop. Kedua, kompetensi inti harus dapat membuat kontribusi yang signifikan
pada anggapan manfaat konsumen dari produk akhir. Kemudian yang ketiga,
kompetensi inti seharusnya sulit ditiru oleh pesaing, apalagi karena memang ia
adalah harmonisasi yang kompleks dari kemampuan produksi dan teknologi
tertentu. Sebagai contoh, misalnya orang banyak membicarakan perusahaan
Federal Express, sebuah perusahaan distribusi dunia, yang kopmetensinya adalah
penggunaan teknolgoi informasi mendukng operasinya. Jika kita mengirim satu
paket ke luar negeri misalnya menggunakan FedEx, anda akan tenang karena kita
menelusuri sudah di mana posisi barang kita, hingga sampai ke tujuan. Begitu
pula, Bank BCA, sebagai bank yang memiliki ATM dengan jaringan terluas di
Indonesia memiliki kompetensi di bidang Teknologi Informasi. Bila kompetensi
init ini menjadi sesuatu yang menonjol di antara berbagai pesaing dalam satu
industri, kita dapat menyebutnya sebagai distinctive competencies. Kompetensi
yang penuh pembedaan. Di Indonesia misalnya, kita mengenal PT Astra
Internasional yang kuat dalam pengembangan sumber daya manusia (SDM).
Semua mengalami pengembangan di Astra. Disini kita lihat, sesuatu yang menjadi
kunci kekuatan internal perusahaan, belum tentu menjadi distinctive dalam
industri. Orang bisa sama-sama memberlakukan bahwa SDM adlaah kunci
perusahaannya, namun tidak semua bisa seperti Astra Internasional.

Berbagai mekanisme dibuat orang untuk mempermudah pengalisisan kompetensi,


salah satunya adalah kerangka analisis yang dirumuskan cukup lama oleh Jay B.
Barney (1991) yang disebut VRIO Framework (value, rareness, imitability,
organization). Kerangka kerja dari Bartney ini kita manfaatkan dengan cara
mengajukan petanyaan-pertanyaan penting untuk keempat faktor di atas, yaitu:
a. Value: apakah kompetensi itu memberikan nilai dan keunggulan bersaing
pada pelanggan? Begitu pula, bagaimana sumber daya yang ada digunakan
untuk mengantisipasi ancaman lain.
b. Rareness: apakah pesaing memilikinya? Kalaupun kita punya sesuatu yang
sama bernilai, tapi sesuatu yang bisa diperoleh atau dimiliki oleh pihak
pesaing yang lalin, maka ia tidak bisa menjadi sumber daya yang
memberikan daya saing
c. Imitabilitas: apakah sulit bagi pelaku lain menirunya? Terkait dengan soal
peniruan in iadalah, seberapa besar biaya yang harus dikeluarkan untuk
meniru?
d. Organisasi: apakah perusahaan dikelola untuk mengeksploitasi dengan
baik sumber dayanya?

Kalau jawaban dari empat pertanyaan pokko di atas adalah “Ya” kita dapat
mengatakan bahwa kompetensi yang sedang di analisis itu sebagai kompetensi
yang distinctive. Meskipun cukup jelas mekanisme yang ditawarkan oleh
kerangka VRIO, banyak pihak yang merasa bahwa kerangka kerja ini memiliki
beberapa kelemahan. Pertama, modal ini mengasumsikan perusahaan beroperasi
di lingkungan persaingan yang relatif stabil. Kedua, model ini menganlisis
ancaman dan peluang dari tingkat strategic business unit (SBU-unit usaha yang
memiliki rencana strategis sendiri), sementara umumnya informasi berada pada
level industri. Sulit sekali mendapatkan akses atas informasi tentang pesaing yang
berbeda agar kita dapat membuat asumsi dan memperkirakan model VRIO yang
terjadi. Apakah kompetensi hanya bisa dipoerleh secara internal? Jika tidak,
apakah yang dapat menjadi sumber kompetensi organisasi? Sumber kompetensi
berbeda beda. Ada yang memang dihasilkan dari pengembangan secara internal
bertahun-tahun, ada yang diperoleh dari perusahaan lain. Hasil analisis kita atas
kompetensi ini penting untuk memastikan apakah kompetensi-kompetensi yang
kita miliki bagian dari faktor strategik internal kita yang menentukan kekuatan
dan kelemahan kita. Ukuran yang digunakan dapat dibandingkan dengan ukuran:

i. Kinerja masa lalu perusahaan


ii. Pesaing terdekat perusahaan
iii. Industri secara keseluruhan
3. Menggunakan Sumber Daya untuk Meraih Keunggulan

Selain cara yang bisa dilakukan diatas, saat kita melakukan analisis internal, kita
perlu memastikan apakah seluruh sumber daya kita sudah berperan meningkatan
keunggulan daya saing kita. Untuk itu, kita bisa melakukan lima proses tahapan
(Wheelen & Hunger, 2008), yaitu:

a. Mengidentifikasi dan mengelompokkan sumber daya perusahaan dalam


dua kelompok, yaitu kekuatan dan kelemahan. Seperi yang kita lakukan
pada analisis lingkungan eksternal, analisis lingkungan internal akan
berujung pada apa saja yang menjadi kekuatan (strength) kita dan apa saja
yang menjadi kelemahaan (weakness) kita. Sekali lagi, tentu saja ini harus
relatif terhadap peluang mana yang akan kita ambil, atau ancaman yang
harus kita atasi.
b. Mengombinasikan kekuatan perusahaan pada kapabilitas tertentu dan
kompetensi inti. Dengan menganalisis kekuatan internal, kita dapat
melihat kombinasi yang dapat kita buat pada keseluruhan kapablitas kita.
Kombinasi ini kita harapkan menghasilkan sinergi, yakni nilai total
manfaatnya lebih besar ketimbangan kapabilitas itu kita jalankan secara
terpisah.
c. Menilai sejauh mana kapabilitas dan kemampuan ini dapat menghasilkan
daya saing dan laba perusahaan
d. Memilih strategi yang tepat untuk mengeksploitasi kapabilitas dan
kompetensi perusahaan relatif atas peluang yang ada
e. Mengidentifikasi kesenjangan sumber daya dan mencoba memperbaiki
kelemahan yang ada

Pada akhir bab ini, kita akan melihat bagiamana mengimplemetnasikan tahapan-
tahapan anjuran Wheelen dan Hunger tersebut diatas. Namun, sebelum kesana,
kita coba bahas terlebih dahulu bagaimana kita mempertahankan kekuatan internal
kita sebagai sebuah keunggulan.

4. Menentukan Keberlangsungan Sebuah Keunggulan

Terkait dengan seberapa lama sebuah perusahaan (kapabilitas dan kompetensi),


ada istilah yang disebut dengan durability dan imitability. Durability adalah
sejauh kapabilitas dan keunggulan perusahaan menjadi usang. Artinya, sebuah
keunggulan bisa saja menjadi tidak unggul lagi karena sudah ada teknologi atau
cara baru yang membuat keunggulan tadi tidak relevan. Sedangkan imitability,
berkaitan dengan bagaimana sebuah kapabilitas dan keunggulan ditiru pihak lain.
Kalau memangn ada kapabilitas dan keunggulan yagn terbukti memberikan
manfaat besar bagi perusahaan (misalnya diapresiasi tinggi oleh konsumen), maka
biasanya keunggulan itu akan cepat pula ditiru oleh pihak lain.

Kompetensi, kapabilitas, dan keunggulan sebuah perusahaan menjadi mudah


ditiru, tergantung dari seperti apa transparasinya (terkait dengan informasi tentang
keunggulan itu, ,misalnya harus riset R&D suatu perusahaan), kemungkinan untuk
ditransfer (kemudahan memindahkan sumber dayanya), dan kemungkinan untuk
direplikasi (kemungkinan menggunakan cara dan sistem yang sama). Penjelasan
ini memberikan bukti bagi kita bahwa yang namanya SDM, memang merupakan
sumber daya sangat penting bagi perusahaan. Pada SDM-lah sesungguhnya
banyak sekali hal-hal yang bersifat implisit ada, tetapi sekaligus juga tidak mudah
ditiru. Gambar berikut, menjelaskan sejauh mana sebuah sumber daya dapat
bertahan dengan langgeng menjadi sumber keunggulan perusahaan.

Gambar Kontinum Tingkat Kelanggengan Sumber Daya (Wheelen & Hunger, 2008)

Gambar tersebut merupakan sebuah kontinum, dimana di sisi ekstrem kiri adalah
kondisi umber daya itu sulit ditiru, sedangkan sisi ekstrem kanan adalha kondisi
dimana sumber daya dan keunggulan itu mudah ditiru.

5. Seperti Apa Model Bisnis (Buesiness Model) Perusahaan

Cara lain yang bisa melengkapi analisis kita, yang sering dilakukan saat analisis
internal adalah tentang model bisnis perusahaan. Model bisnis adalah bagaimana
metode perusahaan secara keseluruhan untuk menghasilkan pendapatan dan laba
dalam lingkungan bisnis yang ada. Ini termasuk bagaimana karakteristik struktur
dan operasional sebuah perusahaan. Untuk meudahkan kita merumuskan model
bisnis satu perusahaan, kita bisa menjawab pertanyaan seperti:

a. Pihak mana yang sesungguhnya kita layani?


b. Apa yang kita berikan untuk mereka?
c. Seperti apa keunggulan daya saing yang dimiliki dan yang membedakan
dibandingkan organisasi lain sejenis?
d. Bagaimana perusahaan menjalankan aktivitasnya untuk memproduksi
barang atau layanan?

Bisnis model yang paling sederhana, tentu saja bisnis model yang menghasilkan
produk atau jasa yang dapat dijual dan menghasilkan pendapatan yang melebihi
biaya-biaya dan pengeluaran. Beberapa model bisnis yang sering jadi
pembicaraan di kalangan bisnis adalah (Wheelen & Hunger, 2007):

a. Customer solution model: model bisnis ini dkembangkan perusahaan


teknologi informasi IBM untuk mendapatkan uang, bukan hanya sekedar
menjual produk IT, tapi juga keahlian untuk memperbaiki operasi
perusahaan yang menjadi pelanggannya. Modelnya seperti perusahaan
konsultasi.
b. Efficiency model: model di mana perusahaan berupaya menunggu hingga
sebuah produk menjadi terstandarisasi dan kemudian masuk ke pasar
dengan harga yang murah, produk yang marginnya rendah ke pasar yang
masal. Perusahaan dengan basis pelanggan yang luas banyak
menggunakan model bisnis seperti ini.
c. Entrepreneurial model: pada model ini perusahaan menawarkan kekhasan
produk atau jasa pada ceruk pasar yang terlalu kecil yang kurang dianggap
menguntungkan oleh perusahaan-perusahaan besar. Namun, ceruk pasar
seperti ini biasanya punya peluang untuk berkembang. Umumnya model
ini digunakan oleh perusahaan kecil yang mengembangkan prototipe
inovatif dalam rangak nantinya dijual kepada perusahaan-perusahaan yang
sudah besar (Seperti misalnya Microsoft). Bahkan, dalam banyak kasus
sering kali produknya belum sempat dihasilkan.
Selain dengan memerhatiakn model bisnis, kita bisa menganalisis situasi internal
organisai denganc ara lain, yaitu dengan menggunakan alat analisis yang disebut
analisis rantai nilai. Bagian berikut ini akan membahas konsep ini.

6. Sistem Aktivitas dan Analisis Rantai Nilai (Value Chain Analysis)

Sistem aktivitas adalah serangkaain proses penciptaan nilai yang terintegrasi yang
akhirnya menghasilkan produk atau jasa yang ditawarkan perusahaan. Apakah ia
perusahaan manufaktur ataupun jasa, setiap perusahaan pasti memiliki sejumlah
aktivitas agar dapat memenuhi apa yang diinginkan pelanggan mereka. Pada tahun
1980, Michael E. Porter menyebut aktivitas ini sebagai rantai nilai (value chain).
Artinya, pada setiap aktivitas itu terjadi penciptaan nilai. Rantai nilai adalah
serangakaian aktivitas yang menciptakan nilai dalam suatu perusahaan, mulai dari
pemerolehan bahan baku dari pemasok hingga berakhir di distribusi hasil produksi
pada pelanggan. Gambar berikut menjelaskan rantai nilai yang lazim pada sebuah
hasil manufaktur, untuk perusahaan manufaktur misalnya, nilai tambah tersebut
dapat seperti gambar berikut:

Aktivitas
Bahan Baku Pabrikasi Distributor Pengecer
Manufaktur

Gambar Rantai Nilai Pada Produk Hasil Manufaktur (Wheelen & Hunger, 2008)

Sehingga, fokus analisis kita disini adalah bagaimana perusahaan berfungsi dalam
penciptaan nilai yang ada pada rantai nilai.

7. Analisis Rantai Nilai Perusahaan

Michael Porter, merumuskan bahwa dalam sebuah perusahaan produk


manufaktur, rantai nilai terdiri atas dua kelompok aktivitas utama, yakni aktivitas
primer (primary activities) dan aktivitas pendukung (supporting activities).
Aktivitas primer, terdiri dari logistik ke dalam (mulai dari penangan bahan dan
pergudangan), operasi, logistik ke luar (seperti pemasaran dan penjualan dan
pelayanan-pemasangan di konsumen), hingga layanan. Sedangkan aktivitas
pendukung, mulai dari kegiatan pengadaan (pembelian), teknologi, pengelolaan
SDM, dan infrastruktur perusahaan (fungsional seperti akunting, keuangan,
perencanaan strategik).

Gambar Elemen Rantai Nilai dalam Sebuah Perusahaan (Porter, Wheelen & Hunger, 2008)

Aktivitas pada rantai nilai inilah akhirnya yang membedakan mana perusahaan
yang akan unggul mana yang tidak. Kita perlu melakukan analisis para rantai nilai
agar kita dapat memberikan efek nilai tambah yang tinggi pada pelanggan dan
pada elemen di mana kita memiliki kekuatannya.
Dilihat dari masa munculnya konsep ini, sudah hampir 30 tahun konsep Porter ini
digunakan. Meskipun sebagian besar masih terasa relevansinya, istilah aktivitas
pendukung untuk aktivitas manajemen sumber daya manusia bisa diperdebatkan.
Ini karena banyak yang sepakat bahwa kondisi bisnis di era milenium baru ini
sudah berbeda dengan dulu. Berbagai perubahan yang ada ini membuat
perusahaan yang menganggap bahwa Manajemen SDM tidak bisa lagi dianggap
aktivitas pendukung. Ia merupakan bagian penting dari bagian utama perusahaan
kini.
Berikut ini, menurut Porter tiga langkah yang harus kita jalankan dalam
menganalisis rantai nilai perusahaan, yaitu:
a. Mengamati rantai nilai lini produk dalam hal berbagai aktivitas yang
terlibat dalam menghasilkan produk dan jasa tersebut. agar kita fokus
dalam analisisnya, pertanyaan-pertanyaan berikut dapat kita ajukan;
aktivitas mana yang kita anggap kuat (kompetensi inti)? Mana yang kita
anggap lemah? Apakah ada kekuatan kita yang menghasilkan keunggulan
bersaing? Bisakah kita anggap itu sebagai kompetensi pembeda
(distinctive competency)?
b. Mengamati kaitan antara setiap rantai nilai dalam lini produk. Misalnya
antara fungsi keuangan sangat terkait erat dengan fungsi penjualan.
Pengadaan bahan baku sangat terkait erat dengan mutu pengawasannya.
c. Memerhatikan potensi sinergi di antara rantai nilai dari berbagai lini
produk atau unit bisnis. Perusahaan harus memaksimalkan kemungkinan
pemanfaatan setiap elemen dalam rantai nilai. Kadang-kadang, ada produk
yang skala ekonomisnya belum tercapai bila menggunakan armada
distribusi sendiri. Dalam hal ini, kita bisa menggunakan armada distribusi
untuk produk tertentu yang lain.

8. Mengamati Sumber Daya Fungsional dan Kapabilitas


Analisis rantai dapat kita mulai dari bidang fungsi yang ada dalam organisasi.
Yang umum ada pada sebuah organisasi bisnis adalah fungsi keuangan,
pemasaran, operasi, dan SDM. Dalam fungsi pemasaran, misalnya, isu yang
straegis dan harus dianalisis, misalnya soal daur hidup produk (product life cycle),
bauran produk (product mix), positioning, strategi pemerekan (branding) maupun
pengembangan reputasinya. Dalam fungsi keuangan, isu strategisnya bisa berkisar
pada sumber dana, cara pengelolaannya, dan sebagainya. Untuk operasi, bisa saja
terkait dengan sistemnya apakah mau continuous (di mana produk di proses secara
berkelanjutan – sehingga perlu perangkat otomatisasi). Atau bisa juga yang
berkaitan dengan operating leverage, terkait dengan bagaimana dampak aktivitas
penjualan berdampak pada pendapatan operasi. Biasanya istilah-istilah economies
of scope, economies of scale, lazim dikaitkan dengan faktor operasi atau produksi.
Untuk masalah SDM, biasanya yang menjadi isu strategis adalah soal isu kerja,
hubungan industrial, alih daya (outsourcing) atau mutu suasana bekerja (quality of
worklife). Untuk perusahaan multinasional, yang beroperasi di beberapa negara,
aspek keagaman (diversity) juga sering menjadi isu penting.
Begitu pula struktur organisasi yang ada, karena pemilihan struktur ini dapat
menentukan bagaimana sebuah organisasi menjalankan pengeksploitasian dasar
pembentukan departemennya, seperti struktur sederhana, struktur fungsional,
sturktur yang berbasis pada divisi produk, struktur yang menyertakan unit bisnis
(Strategis Business Unit), atau struktur konglomerasi.

9. Budaya Perusahaan sebagai Sebuah Sumber Keunggulan


Aspek budaya perusahaan juga sering kali menjadi bagian yang menentukan
keunggulan bersaing. Budaya perusahaan merupakan sekumpulan keyakinan,
harapan dan nilai-nilai yang dipelajari dan dianut oleh karyawan perusahaan.
Budaya inilah yang menjadi roh atau bagaimana organisasi mencapai visi dan
menjalankan misinya, yang tercermin dalam aktivitas-aktivitas di rantai nilai.
Tentu saja kita berbicara budaya perusahaan yang benar-benar diimplementasikan,
bukan yang sekedar menjadi simbol atau slogan saja.
Ada dua atribut yang biasanya menjelaskan budaya perusahaan di seitap
organisasi, yakn intensitas (cultural intensity) dan integrasi (cultural integration)-
nya. Yang pertama menjelaskan derajat sejauh mana karyawan dalam satu unit
tertentu menerima norma, nilai-nilai atau budaya yang dirumuskan perusahaan.
Sedangkan yang kedua menjelaskan sejauh mana setiap unit yang ada dalam
organisasi menganut budaya yang sama. Dengan memerhatikan kedua aspek ini,
perusahaan memiliki sumber daya internal yang sangat-sangat sulit ditiru oleh
para pesaingnya. Kuncinya bisa dikatakan ada pada nilai-nilai (values) yang
dianut oleh sebuah perusahaan. Budaya perusahaan yang kuat, yang
diimplementasikan dengan konsisten dianut oleh sebagian besar karyawan dapat
menjadi sumber kunggulan operasi.

10. Kapasitas Beradaptasi dengan Perubahan


Di tengah cepatnya perubahan lingkungan bisnis yang dihadapi oleh sebab
perusahaan, maka tidak berlebihan bila kapasitas untuk beradaptasi dan
kemampuan perusahaan untuk menghadapi berbagai kesulitan jadi sumber
keunggulan organisasi beberapa literatur tentang organisasi belajar (learning
organization) dan kapasitas untuk berubah (capacity to change) dan resiliens
(resiliency) menggambarkan konsep itu. Mari kita tinjau sedikit bagaimana
keterkaitan konsep-konsep diatas.?
Secara sederhana, Peter Senge (1990) juga mengemukakan, belajar yang
sesungguhnya terjadi ketika orang terus-menerus meningkatkan kapasitasnya
untuk menciptakan apa yang ia ciptakan (dan biasanya sesuatu yang lebih baik(.
Ketika kita ingin memiliki kemampuan mengemudi mobil, maka kita akan belajar
(meningkatkan kapasitas) untuk mengemudi mobil. Dengan cara yang sama bila
kita ingin negeri kita menjadi lebih baik, otomatis kita harus belajar menjadi
lebih baik. Karena itu wajar jika pertanyaan yang muncul adalah. “apakah
berbagai komponen masyarakat kita serius untunk belajar dan melakukan
perubahan?”
Sejalan dengan pendapatan Senge, Laur dan Paulson, 1997. Menemukan bahwa
keinginan belajar saja memang tidak cukup untuk dapat berubah. Perubahan
sangat tergantung pada kapasitas untuk berubah (capacity to change). Kapasitas
untuk berubah adalah kemampuan sebuah institusi untuk memulai dna mencapai
perubahan ke arah pebraikan dengan sukses secara berkesinambungan, kapasitas
ini dapat menjelaskan, mengapa sebuah institusi berubah lebih cepat atau berhasil
ketimbang yang lain. Atau, dalam kaitan kasus di atas, sebuah negara (sebagai
sebuah institusi) lebih cepat berubah dan maju daripada negara yang lain. Boleh
jadi, itu pula yang memberikan sebagian penjelasan kita menyaksikan Malaysia,
Thailand, dan Korea Selatan. Yang juga mengalami keterpurukan serupa pada
1997, terlihat telah menemukan sosok pemulihnya. Jadi kita boleh curiga
sesungguhnya kapasitas yang kita miliki sebagai sebuah negara untuk berubah
(kearah perbaikan)?
Jika kita merancang sebuah perubahan, namun kita tidak memiliki kapasitas,
maka yang terjadi adalah seperti kita alami sebagai sebuah bangsa. Undang-
undang dan peraturan dibuat dengan lengkap, tim ini-itu diberntuk, komisi X
komisi Y dibentuk, segala gerakan massa dicanangkan, serta seminar di sana-sini,
namun selalu hasil totalnya tidak memuaskan.
Jadi, apa yang kita bahas di sini adalah, perubahan tidak cukup dengan niat saja.
Tanpa kapasitas yang cukup menjalankan perubahan, kita tidak akan memetik
buah apa pun dari sebuah rencana perubahan. Dengan kapasitas dan kesiapan di
ataslah perubahan yang kita buat, sekaligus juga akan merekonstruksi bisnis kita.
Selalu ada pengembangan. Ini yang disebur Gary Hamel dan Lisa Valinkangas
(2003) sebagai Resiliensi, kemampuan kita secara kontinu dan secara sistematis
melanggengkan proses yang inovatif dalam perusahaan. Dari waktu ke waktu, kita
membuat organisasi menjadi “baru” (continual renewal).
11. Rangkungan Analisis Faktor Internal (RAFI)
Dengan cara yang sama seperti waktu kita menganalisis faktor-faktor eksternal,
maka kita pun dapat melakukan sintesis dan membuat rangkuman atas faktor-
faktor internal yang sudah kita analisis. Tabelnya seperti berikut

Isu Strategik Internal Robot Rating (1-4) Skot terbobot Keterangan


Kekuatan
1.
2.
3.
4.
5.
Kelemahan
1.
2.
3.
4.
5.
Total = 1 Totak skor terbobot

Rating:
1. Kelemahan utama
2. Kelemahan biasa
3. Kekuatan biasa
4. Kekuatan utama
*skor terbobot > 2.50 : posisi internal terkuat

Anda mungkin juga menyukai