Anda di halaman 1dari 4

Andiko Febriyan Praja Dewa

201910110311379
Kelas – H Perdata IV
1. Permen Keuangan RI No, 130/PMK/010/2012
Menurut Pasal 1 PMK No. 130/PMK.010/2012, Perusahaan Pembiayaan
yang melakukan pembiayaan konsumen untuk kendaraan bermotor dengan
pembebanan jaminan fidusia wajib mendaftarkan jaminan fidusia
dimaksud pada Kantor Pendaftaran Fidusia, sesuai undang-undang yang
mengaturmengenai jaminan fidusia (Pasal 1).
Kewajiban pendaftaran jaminan fidusia tersebut berlaku pula bagi
Perusahaan Pembiayaan yang melakukan:
a. pembiayaan konsumen kendaraan bermotor berdasarkan prinsip
syariah;
b. dan/atau pembiayaan konsumen kendaraan bermotor yang
pembiayaannya berasal dari pembiayaanpenerusan
(channeling)atau pembiayaan bersama (joint financing).
Dengan dikeluarkannya peraturan ini, maka seluruh perusahaan
pembiayaan harus mendaftarkan fidusia untuk setiap transaksi
pembiayaannya. Oleh sebab itu Pasal 2 PMK No. 130/PMK.010/2012,
menyebutkan bahwa Perusahaan Pembiayaan wajib mendaftarkan jaminan
fidusia pada Kantor Pendaftaran Fidusia paling lama 30 (tiga puluh) hari
kalender terhitung sejak tanggal perjanjian pembiayaan konsumen.
Dalam hal Perusahaan Pembiayaan belum memiliki Sertifikat Jaminan
Fidusia (sebagai hasil dari pendaftaran jaminan fidusia tersebut), maka
menurut Pasal 3 PMK No. 130/PMK.010/2012, Perusahaan Pembiayaan
tersebut dilarang melakukan penarikan benda jaminan fidusia berupa
kendaraan bermotor tersebut.
Pasal 6 PMK No. 130/PMK.010/2012 menyebutkan bahwa, Perusahaan
Pembiayaan yang telah melakukan perjanjian pembiayaan konsumen
untuk kendaraan bermotor dengan pembebanan jaminan fidusia sebelum
berlakunya Peraturan Menteri ini dapat melakukan pendaftaran jaminan
fidusia sesuai kesepakatan dalam perjanjian pembiayaan konsumen antara
Perusahaan Pembiayaan dengan konsumen.
Perusahaan multifinance yang melanggar akan dikenakan sanksi
administratif secara bertahap berupa Pasal4 PMK No. 130/PMK.010/2012:
(a) peringatan; (b) pembekuan kegiatan usaha; atau (c) pencabutan izin
usaha. Sanksi peringatan diberikan secara tertulis paling banyak 3 (tiga)
kali berturut-turut dengan masa berlaku masing-masing 60 (enam puluh)
hari kalender.
Sanksi pembekuan kegiatan usaha diberikan secara tertulis kepada
Perusahaan Pembiayaan, yang berlaku selama jangka waktu 30 (tiga
puluh) hari kalender sejak surat sanksi pembekuan kegiatan usaha
diterbitkan. Demikian juga dengan sanksi pembekuan usaha, bila sebelum
berakhirnya jangka waktu pembekuan kegiatan usaha Perusahaan
Pembiayaan telah memenuhi ketentuan maka Menteri Keuangan mencabut
sanksi pembekuan kegiatan usaha dan apabila sampai dengan berakhirnya
jangka waktu pembekuan kegiatan usaha sebagaimanadimaksud
Perusahaan Pembiayaan tidak juga memenuhi ketentuan Menteri
Keuangan mencabut izin usaha Perusahaan Pembiayaan yang
bersangkutan
2. PP Nomor 21 Tahun 2015 ini mencabut PP nomor 86 tahun 2000 tentang
tata cara pendaftaran jaminan fidusia dan biaya pembuatan akta jaminan
fidusia. Perbedaan atra keduanya adalah pendaftaran jaminan fidusia
sekarang dilakukan secara elektronik dimana disebutkan dalam Pasal 2
ayat (2) PP Nomor 21 Tahun 2015 yang berbunyi “Permohonan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan melalui sistem pendaftaran
Jaminan Fidusia secara elektronik.”
Ketentuan mengenai tata cara pendaftaran jaminan fidusia sebagaimana
diatur dalam PP Nomor 86 Tahun 2000 tentang Tata Cara Pendaftaran
Jaminan Fidusia dan Biaya Pembuatan Akta Jaminan Fidusia sudah tidak
sesuai lagi dengan perkembangan hukum dan kebutuhan masyarakat
sehingga terbutlah PP No 21 tahun 2015.
Substansi yang diatur dalam Peraturan Pemerintah ini antara lain
mengenai permohonan pendaftaran Jaminan Fidusia, perbaikan sertifikat
Jaminan Fidusia, perubahan sertifikat Jaminan Fidusia, pemberitahuan
penghapusan Jaminan Fidusia, dan biaya pembuatan akta Jaminan Fidusia.
Semua tata cara pendaftaran dilakukan secara elektronik dan dikenakan
biaya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang
mengatur mengenai jenis dan tarif atas jenis Penerimaan Negara Bukan
Pajak yang berlaku di Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia.
Dialam PP No 21 Tahun 2015 ini terdapat pengaturan baru, antara lain:
a. adanya kewajiban bagi Penerima Fidusia, kuasa atau wakilnya untuk
memberitahukan penghapusan Jaminan Fidusia. Pemberitahuan
penghapusan tersebut tidak dikenakan biaya. Dengan tidak adanya
biaya yang dikenakan diharapkan Penerima Fidusia, kuasa atau
wakilnya dapat melakukan pemberitahuan penghapusan Jaminan
Fidusia tersebut dengan sukarela dan tanpa beban. Hal ini akan
memudahkan bagi Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia untuk
melakukan pemantauan terhadap Jaminan Fidusia yang sudah berakhir
atau akan berakhir jangka waktunya;
b. besarnya biaya pembuatan akta Jaminan Fidusia ditentukan
berdasarkan nilai penjaminan yang mengacu pada besarnya biaya
pembuatan akta yang diatur dalam Pasal 36 ayat (3) Undang-Undang
Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris sebagaimana telah
diubah dengan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang
Perubahan atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang
Jabatan Notaris; dan
c. adanya ketentuan bahwa seluruh data yang diisi dalam permohonan
pendaftaran Jaminan Fidusia, permohonan perbaikan sertifikat
Jaminan Fidusia, permohonan perubahan sertifikat Jaminan Fidusia,
dan pemberitahuan penghapusan sertifikat Jaminan Fidusia secara
elektronik serta penyimpanan dokumen fisiknya menjadi tanggung
jawab Penerima Fidusia, kuasa atau wakilnya.
3. Putusan MK Nomor 18-PUU-XVII-2019 Mahkamah Konstitusi dalam
Putusannya memberikan tafsir kekuatan eksekutorial yang dimaksud
dalam Pasal 15 ayat (2) Undang Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang
Jaminan Fidusia adalah dapat diartikan seperti sediakala sepanjang para
pihak menerima dengan sukarela pelaksanaan eksekusi dan mengakui
telah melakukan wanprestasi, dan dalam Pasal 15 ayat (3) Undang-Undang
Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia memberikan tafsir bahwa
kondisi cidera janji harus ditentukan oleh pengadilan apabila salah seorang
pihak tidak mengakui bahwa dirinya telah cidera janji atau dengan kata
lain telah terjadi kesepakatan bahwa telah terjadi wanprestasi.
Dalam Pertimbangan [3.14], Mahkamah Konstitusi memberikan
pertimbangan bahwa penafsiran “titel eksekutorial” terhadap sertifikat
fidusia dan “mempersamakan dengan putusan pengadilan yang telah
mempunyai kekuatan hukum tetap” pada Pasal 15 ayat (2) UndangUndang
Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia dapat menimbulkan
ketidakseimbangan hak hukum antara kreditur dan debitur dikarenakan
kewenangan eksekusi tersebut diberikan kepada kreditur atas
kekuasaannya sendiri tanpa harus melalui gugatan keperdataan pada
pengadilan pengadilan atau meminta bantuan pada alat negara yang
berwenang untuk itu seperti dalam pelaksanaan eksekusi putusan
pengadilan. Hal ini bertentangan dengan asas keseimbangan dalam
mencapai keadilan hukum. Keadilan sendiri ditafsirkan pemberian suatu
hak kepada setiap orang dengan mengingat jasa-jasa perseorangan,
berdasarkan keseimbangan.
Putusan MK Nomor 18/PUU-XVII/2019 menilai bahwa Pasal 15 ayat (2)
dan ayat (3) Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan
Fidusia tetap memiliki nilai Konstitusional dan berkekuatan hukum tetap
sepanjang ditafsirkan dalam pelaksanaan eksekusi jaminan fidusia, pihak
debitur secara sukarela menyerahkan benda yang menjadi objek jaminan
fidusia tersebut dan frasa “cidera janji” hanya dapat dikatakan
konstitusional sepanjang dimaknai bahwa “adanya cidera janji tidak
ditentukan secara sepihak oleh kreditur melainkan atas dasar kesepakatan
antara kreditur dengan debitur atau atas dasar upaya hukum yang
menentukan telah terjadinya cidera janji”.
Putusan MK Nomor 18/PUU-XVII/2019 menilai bahwa Pasal 15 ayat (2)
dan ayat (3) tidak memiliki nilai konstitusional (Inkonstitusional)
sepanjang dimaknai dalam eksekusi jaminan fidusia menimbulkan rasa
keberatan dari pihak debitur dan tidak ada kesepakatan terkait dengan
kondisi ‘cidera janji’. Maka segala mekanisme dan prosedur hukum dalam
pelaksanaan eksekusi Sertifikat Jaminan Fidusia harus dilakukan atas
dasar putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap (Pasal 196
HIR atau Pasal 208 RBg). (Debitur yang mengajukan)
4. Putusan MK. No. 2/PUU-XIX/2021 dalam putusan ini tidak ada suatu
perbedaan dengan Putusan MK Nomor 18-PUU-XVII-2019, dalam
putusan MK. No. 2/PUU-XIX/2021 ini hanya berupa penegasan terkait
eksekusi jaminan fidusia. Dalam putusan ini juga Majelis menilai
pemohon tidak memahami substansi Putusan MK No.18/PUU-XVII/2019
mengenai kekuatan eksekutorial sertifikat jaminan fidusia. Adanya
ketentuan tidak bolehnya pelaksanaan eksekusi dilakukan atas kekuasaan
sendiri, tapi harus mengajukan permohonan pelaksanaan eksekusi kepada
Pengadilan Negeri, pada dasarnya telah memberi keseimbangan posisi
hukum antara debitur dan kreditur serta menghindari timbulnya
kesewenang-wenangan dalam pelaksanaan eksekusi. (kreditur yang
mengajukan) salah satu pegawai lising atau pembiayaan

Anda mungkin juga menyukai