Anda di halaman 1dari 2

Pengeroyokan Siswi SMP oleh 12 Siswi SMA Gara-gara Komentar di Facebook

Polresta Pontianak, Kalimantan Barat, tengah menyelidiki perkara pengeroyokan seorang siswi
Sekolah Menengah Pertama (SMP) berinisial AD (14) yang diduga dilakukan 12 siswi Sekolah
Menengah Atas (SMA) di Pontianak. Kasat Reskrim Polresta Pontianak, Kompol Husni Ramli
mengatakan, peristiwa pengeroyokan terjadi di dua tempat berbeda, yakni di Jalan Sulawesi,
Kecamatan Pontianak Kota dan Taman Akcaya, Jalan Sutan Syahrir Pontianak, Kalimantan
Barat, pada Jumat (29/3/2019) sekira pukul 14.30 WIB. Baca juga: Gara-gara Komentar soal
Cowok di Facebook, 12 Siswi SMA Keroyok Siswi SMP di Pontianak Saat itu, AD sepulang
sekolah dijemput seorang temannya untuk pergi ke rumah saudara sepupunya. Tak lama setelah
sampai di rumah saudaranya, korban bersama temannya itu pergi keluar dengan menggunakan
sepeda motor. Namun ternyata, di tengah perjalanan korban dibuntuti pelaku dengan
menggunakan dua sepeda motor. Saat di Jalan Sulawesi, korban dicegat pelaku. "Oleh salah
seorang pelaku, wajah korban disiram dengan air. Rambutnya ditarik dari belakang. Lalu dia
terjatuh ke aspal," kata Husni, di Mapolresta Pontianak, Kalimantan Barat, Selasa (9/4/2019).
Baca juga: Diduga Aniaya Dua Panwas, Caleg Demokrat Dilaporkan ke Polisi Setelah terbaring
di jalan, pelaku lain menginjak perut korban dan membenturkan kepalanya ke aspal. "Korban
bersama temannya itu kemudian melarikan diri menuju Taman Akcaya, yang memang berada tak
jauh dari situ," ujarnya. Korban kemudian dikejar lagi. Setelah dapat, korban dipiting, kemudan
salah satu pelaku menendang perutnya lagi. Kejadian tersebut menarik perhatian warga sekitar.
Dan membuat pelaku melarikan diri.

Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Ini Kronologi Pengeroyokan Siswi SMP
oleh 12 Siswi SMA Gara-gara Komentar di Facebook", Klik untuk
baca: https://regional.kompas.com/read/2019/04/09/19095911/ini-kronologi-pengeroyokan-
siswi-smp-oleh-12-siswi-sma-gara-gara-komentar-di.
Penulis : Kontributor Pontianak, Hendra Cipta
Editor : David Oliver Purba
ANALISIS
Dasar Hukum yang dipakai:
- Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem
Peradilan Pidana Anak
- Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak
(disingkat UUPA). Pasal 1 angka 1 UUPA memberikan pengertian atas anak sebagai seseorang
yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk yang masih berada dalam kandungan.
Senada dengan Pasal 1 ayat (3) UU SPPA, Anak yang Berkonflik dengan Hukum yang
selanjutnya disebut Anak adalah anak yang telah berumur 12 (dua belas) tahun, tetapi belum
berumur 18 (delapan belas) tahun yang diduga melakukan tindak pidana. Dalam hal tindak
pidana dilakukan oleh anak sebelum genap berumur 18 tahun dan diajukan ke sidang pengadilan
setelah anak melampaui batas umur 18 tahun tetapi belum mencapai umur 21 tahun anak tetap
diajukan ke sidang anak (Pasal 20 Undang-Undang RI Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem
Peradilan Pidana Anak).
Dalam penjatuhan sanksi terdapat dalam Pasal 69 ayat (2) UU SPPA disebutkan, pelaku tindak
pidana anak dapat dikenakan dua jenis sanksi, yakni tindakan bagi pelaku tindak pidana yang
berumur di bawah 14 tahun dan sanksi pidana bagi pelaku tindak pidana yang berumur 15 tahun
ke atas. Selanjutnya Pasal 82 UU SPPA disebutkan bahwa yang dimaksud sanksi tindakan adalah
dikembalikan kepada orang tua/wali, penyerahan kepada seseorang, perawatan di rumah sakit
jiwa, perawatan di LPKS, kewajiban mengikuti pendidikan formal/pelatihan yang diadakan
pemerintah atau badan swasta, pencabutan surat izin mengemudi dan perbaikan akibat tindak
pidana.
Sanksi pidana dijelaskan dalam Pasal 71 UU SPPA yang terdiri dari Pidana Pokok yakni pidana
peringatan, pidana dengan syarat seperti pembinaan di luar lembaga, pelayanan masyarakan atau
pengawasan, pelatihan kerja, pembinaan dalam lembaga hingga penjara. Sedangkan Pidana
Tambahan terdiri dari perampasan keuntungan yang diperoleh dari tindak pidana atau
pemenuhan kewajiban adat.
Akan tetapi sebelum masuk keadalam proses yang lebih lanjut harus diupayakan Diversi sesuai
yang tertuang dalam Paasal 7 “Pada tingkat penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan perkara
Anak di pengadilan negeri wajib diupayakan Diversi.” Sayangnya pihak korban menolak untuk
dilakukanyna Diversi/Mediasi, dengan pernyataan dari pihak korban yang memaafkan akan
tetapi proses hukumnya tetap berjalan.
Dengan kesimpulan akhir, penanganan anak yang melakukan tindakan hukum berbeda dengan
penanganan terhadap orang dewasa yang berhadapan hukum, dalam sistem peradilan pidana
anak sangat mengutamakan penanganan perkara anak mengedepankan keadilan restoratif.

Anda mungkin juga menyukai