Anda di halaman 1dari 26

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Perundungan merupakan suatu tindakan yang mengintimidasi

seseorang atau lebih dengan menganggap target sasarannya memiliki suatu

kekurangan. Perundungan dilakukan dengan cara menghina korban,

menyuruh korban untuk melakukan sesuatu, maupun melakukan sesuatu

pada korban yang bisa berdampak negatif bagi korban baik secara fisik

maupun psikis. Perundungan dapat dilakukan baik secara langsung maupun

melalui online. Hal itu merupakan bentuk awal dari perilaku agresif yaitu

tingkah laku kasar, bisa secara fisik, psikis melalui kata-kata ataupun

kombinasi ketiganya. Pelaku mengambil keuntungan dari orang lain yang

dilihatnya mudah diserang. Salah satu faktor penyebab yang paling

mempengaruhi timbulnya anak melakukan perundungan yaitu kurangnya

pendidikan moral atau budi pekerti pada anak untuk saling menghargai

orang lain.1

Perundungan fisik adalah suatu bentuk kekerasan (adanya kontak

fisik dari pelaku terhadap korban) yang dilakukan oleh seseorang atau

sekelompok orang terhadap seseorang yang lebih lemah dengan maksud

untuk membuat orang tersebut merasa takut dan tidak berdaya serta dapat

1
Djamil, M. Nasir, Anak Bukan Untuk Dihukum, Sinar Grafika,jakarta, 2013, Hlm 8.

1
2

menyebabkan luka-luka hingga kematian,2 Kemudian beberapa faktor yang

pada umumnya menyebabkan seorang anak mendapatkan perundungan

teman-temannya ialah perbedaan ras, agama, faktor ekonomi/sosial dan

faktor psikologis. Tindakan perundungan sering dilakukan di kalangan anak

sekolah. Saat terjadi perundungan pada anak, pada umumnya hukuman di

luar jalur peradilan atau diversi lebih banyak dipiih dari pada harus

menjalani proses peradilan.

Kasus pertama perundungan yang dialami anak berinisial FH berusia

11 tahun di Singaparna, Tasikmalaya, Jawa Barat, menurut Komisi

Perlindungan Anak Indonesia tergolong berat dan kompleks lantaran korban

mengalami kekerasan secara fisik, seksual, dan psikologis. Dengan landasan

ini, Dugaan itu merujuk pada video berdurasi 50 detik yang tersebar di

media sosial. Di video itu, dua pelaku terlihat memegangi kaki kucing.

Kemudian pakaian si anak dilucuti lalu dipaksa berhubungan badan dengan

hewan itu. Saat berada di rumah sakit, korban mengalami penurunan

kesadaran karena masih tidak mau makan dan minum hingga mengalami

demam. "Jadi kemaluan si anak kelihatan di video itu beserta tangan para

pelaku. Lalu ada suara-suara tertawa. Hanya saja wajah mereka tidak

kelihatan," Video itu, kata dia, tadinya tersebar di WhatsApp warga

kampung setempat hingga kemudian diunggah ke media sosial, Dari situlah,

2
Coloroso, Barbara, Stop Bullying (Memutus Rantai Kekerasan Anak dari Prascekolah
Hingga SMU), PT. Ikrar Mandiri Abadi, Jakarta,2007. Hlm.47.
3

perilaku korban berubah. Dari hasil pemeriksaan medis, korban mengalami

suspect depresim thypoid, dan ensefalopati atau peradangan otak.3

Kasus kedua yang penulis dapatkan untuk dijadikan bahan penulisan

skripsi penulis yaitu siswa MTS kotamobagu Meninggal Dunia setelah

dibully 9 teman, korban diikat dan ditendang. Pada selasa, 14 juni 2022, jam

09.47 oleh tvone. Seorang siswa MTS meninnggal dunia setelah menjadi

korban bully atau perundungan di sekolahnya saat jam pelajaran.

Korban bernama bintang berumur 13 tahun di bully oleh 9

temannya, bintang juga diikat dan di tending. Setelah itu korban mengeluh

sakit di bagian perut dan langsung menceritakan ke orang tuanya. Korban

langsung dibawa ke rumah sakit pobundayan kotamobagu yang kemudian

dirujuk di rumah sakit prof kandouw manado dan dinyatakan mengalami

hisprung.4

Kasus ketiga di tendang kakak kelas di malang hingga koma, 12

saksi diperiksa, terkait kasus dugaan perundungan atau bully yang dialami

MWF berumur 8 tahun siswa SD Kec. Kepanjen, Kab. Malang. Dari 12

saksi. 7 diantaranya ABH (Anak yang berhadapan dengan hukum). MWF di

bully kakak kelasnya saat pulang sekolah di seret ke bendungan, di tending

kepalanya, dadanya dan MWF sesak nafas, hingga kejang-kejang membuat

3.
https://amp.kompas.com/regional/read/2022/07/24/060600878/kasus-bullying-yang-tew
skan-siswa-sd-di-tasikmalaya-kpai-menduga-pelaku diakses pada minggu,24 juli 2022.
4
https://www.tvonenews.com/daerah/sulawesi/46944-siswa-mts-kotamobagu-meninggal-
dunia-setelah-dibully-9-teman-korban-diikat-hingga-ditendang diakses pada tanggal Selasa, 14
Juni 2022 - .
4

kondisi makin memburuk, korbanpun dilarikan ke rumah sakit untuk

menjalani perawatan.

Dalam perkara perundungan yang berimplikasi pada tindak pidana

maka pelaku tindak pidana akan dijerat menggunakan pasal Kitab Undang-

Undang Hukum Pidana sebagaimana tindak pidana pada umumnya.

Perundungan pada anak merupakan bentuk tindakan kekerasan terhadap

anak, maka menurut Undang-Undang Nomor 35 tahun 2014 tentang

Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang

Perlindungan Anak, Perundungan adalah tindak pidana jika telah memenuhi

unsur-unsur di dalam undang-undang ini. Apabila seorang anak melakuan

tindak pidana bullying tidak dapat dikenakan sanksi pidana dikarenakan

dalam undang undang nomor 11 pasal 69 tahun 2012 anak yang belum

berusia 14 (empat belas) tahun hanya dapat dikenai Tindakan. saat terjadi

tindakan bullying pada anak, pada umumnya hukuman diluar peradilan atau

diversi lebih banyak dipilih dari pada harus menjalani proses peradilan.

Oleh sebab itu aturan tersebut rasa nya tidak sebanding dengan

dampak yang dirasakan oleh korban perundungan tersebut, dan dengan ada

nya aturan tersebut maka pelaku perundungan tidak akan jera melakukan

bullying tersebut.beberapa kondisi korban perundungan pada anak

menempatkan pelaku tindak pidana yakni seorang anak. Proses peradilan

terkait pelaku anak juga tetap memperhatikan mekanisme yang mengadopsi

dari Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan

Pidana Anak (untuk selanjutnya disebut Undang-Undang SPPA) yang


5

mengacu pada keadilan restoratif. Keadilan restoratif atau restorative justice

adalah suatu proses dimana semua pihak yang berhubungan dengan tindak

pidana tertentu bersama-sama memecahkan masalah, dan bagaimana

menangani akibat dimasa yang akan datang atau implikasinya dimasa

depan.

Maka mekanisme hukum secara formal yaitu diversi kepolisian tetap

dilakukan. Artinya prinsip yang pertama yang ada pada Undang-Undang

Perlindungan Anak anak harus dilindungi. Namun hal ini tidak serta merta

diberlakukan karena proses peradilan tetap mengacu pada Undang-Undang

No 11 Tahun 2012 sehingga pada perkara bullying yang berimplikasi pada

tindak pidana maka tetap menempuh jalur hukum.

Ketentuan dalam Undang–Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang

Perlindungan Anak sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang

Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23

Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak kemudian diubah kedua kalinya

dengan Peraturan Pemerintah Pengganti UndangUndang Nomor 1 Tahun

2016 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun

2002 tentang Perlindungan Anak (Perppu 1/2016) sebagaimana telah

ditetapkan menjadi undang-undang melalui Undang-Undang Nomor 17

Tahun 2016 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-

Undang Nomor 1 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-

Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, ditentukan

bahwa anak yang lahir memiliki hak untuk hidup dan berkembang, seorang
6

anak juga harus dilindungi dari kekerasan baik secara verbal ataupun fisik,

hal ini sesuai dengan aturan pokok Negara yaitu Undang-Undang Negara

Republik Indonesia Tahun 1945. Seorang buah hati merupakan bibit yang

memiliki potensi sebagai generasi selanjutnya yang mewarisi tujuan bangsa

negara, seorang anak memiliki andil dengan sifat-sifat yang istimewa untuk

menjaga keseimbangan Negara di masa depan. Seluruh anak yang hidup

berhak mendapatkan peluang yang seluas-luasnya untuk bertumbuh secara

ideal dan baik dari segi akademis ataupun non akademis agar di masa yang

akan datang mereka siap untuk mengemban tugas-tugas yang diwariskan

oleh para leluhur bangsa. Salah satu cara agar hal tersebut terlaksana yaitu

dengan cara mewujudkan kemakmuran di lingkungan anak yang sedang

berkembang harus menghapus hal-hal yang berbau diskriminasi.5

Dapat diketahui bahwa penjatuhan pidana penjara mempunyai

dampak negatif lebih banyak dibanding dampak positif bagi anak.

Penempatan anak dalam suatu lembaga pemasyarakatan menjadi upaya

terakhir dan untuk jangka waktu yang sesingkat mungkin, dengan

mengutamakan kepentingan terbaik bagi anak. Pemisahan sidang anak dan

sidang yang mengadili perkara tindak pidana yang dilakukan oleh orang

dewasa memang mutlak.6

Peran lingkungan sekitar sangat diperlukan dalam membentuk

kepribadian remaja. Setiap remaja sebenarnya memiliki potensi untuk dapat

5
Yuyarti, ‘Mengatasi Bullying Melalui Pendidikan Karakter’, Jurnal kreatif, 2018, Hlm
170.
6
Sri Sutatiek. Rekonstruksi Sistem Sanksi Dalam Hukum Pidana Anak Di Indonesia.
Aswaja Pressindo. Jakarta, 2012 Hlm 56.
7

mencapai kematangan kepribadian yang memungkinkan mereka dapat

menghadapi tantangan hidup secara wajar di dalam lingkungannya, namun

potensi ini tentunya tidak akan berkembang dengan optimal jika tidak

didukung oleh faktor fisik dan faktor lingkungan. Dalam hal ini remaja juga

rentan melakukan pergaulan bebas, dan juga bullying, bullying dilakukan

remaja untuk bersenangsenang ataupun menindas yang lemah untuk

mendapatkan kekuasaan ataupun kesenangan semata.7

Perilaku bullying yang dilakukan remaja biasanya terjadi di sekolah,

tetapi tidak menutup kemungkinan terjadi juga di rumah, lingkungan

bermain dan dimana saja. Perilaku perundungan biasanya antara kakak kelas

terhadap adik kelas, atau atasan terhadap bawahan dalam suatu lembaga

atau tempat bekerja.Korban perundungan biasanya sangat ingin untuk

membalaskan dendamnya kepada pelaku tetapi karna tidak memiliki

kekuatan maka sangat jarang yang melakukan pembalasan.

Perundungan adalah sebuah perilaku yang dilakukan secara

berulang-ulang untuk menyakiti orang lain. Banyak kasus yang terjadi

perilaku bullying di kalangan remaja baik perempuan ataupun laki-laki

menjadi pelaku maupun korban bullying.Jumlah kasus perundungan

semakin meningkat menurut ketua KPAI, dari jumlah kasus perundungan

belum semua kasus terdaftar, karena banyak yang tidak mendaftar menjadi

korban perundungan. Karena banyak korban yang tidak mendaftar ke KPAI

7
Yunus Winoto dan Andi Rahmat Sopian, “Remaja dan Pandangannya terhadap bullying”,
Jurnal Komunikasi dan Media. Vol 3 Nomor 2. 2019. hlm.121-132. https;//bullying terhadap anak
.com.
8

membuat pelaku semakin leluasa melakukan perundungan kepada orang

lain. 8

Undang-undang 35 tahun 2014 tentang perlindungan anak pasal 76c

menyatakan bahwa Setiap Orang dilarang menempatkan, membiarkan,

melakukan, menyuruh melakukan, atau turut serta melakukan Kekerasan

terhadap Anak. Berdasarkan hal tersebut, maka perbuatan para pelaku

bullying ini sudah termasuk dalam kategori perbarengan tindak pidana yaitu

concursus realis yang di atur dalam kitab undang-undang hukum pidana

(KUHP). Maka dari itu, penulis berpemndapat bahwasanya ancaman

hukuman maksimal para pelaku perundungan tersebut adalah 5 (lima) tahun

6 (enam) bulan dengan perhutungan ancaman pidana terberat. Bagi para

pelaku kejahatan yang masih dibawah umur, maka tidak diadili seperti

orang dewasa pada umumnya. Para pelaku dibawah umur diadili sesuai

undang-undang no 11tahun 2012 tentang sistem peradilan pidana anak.

Sebagian anak remaja, perundungan terkadang dijadikan alat untuk

menghibur diri, terkadang juga digunakan sebagai alat untuk mencari

perhatian dari kawan-kawan yang dianggap sebagai saingannya. Banyak

orang atau remaja melakukan perundungan untuk menarik perhatian kepada

diri mereka sendiri bisa juga dikatakan agar mendapatkan pengakuan dari

orang lain. Perilaku tersebut bahkan dapat menyebabkan pertengkaran jika

orang yang semakin ditindas adalah seseorang yang biasa, Kebanyakan

korban bullying akan merasa ingin melakukan hal yang sama jika mereka

8
Nurahma Yanti, “Fenomena bullying pada Media Sosial”, Jurnal Pustaka Ilmiah, Vol.4
Nomor 1, 2018, hlm. 575-581
9

mempunyai kesempatan untuk membalas. Karena mereka tidak bisa

melakukan pembalasan atau tidak bisa melawan jadi para korban akan diam

dan tidak melawan.9

dirumuskan dalam pasal 76C yaitu: Setiap orang dilarang

menempatkan, membiarkan, melakukan, menyuruh melakukan, atau turut

serta melakukan kekerasan terhadap anak”. Berdasarkan rumusan pasal 76C

maka unsur-unsurnya adalah: Setiap orang, berarti siapa saja, yaitu orang

sebagai subyek hukum. Dilarang menempatkan, membiarkan, melaku-

kan, menyuruh melakukan, atau turut serta melakukan Kekerasan adalah

segala perlakuan yang menimbulkan rasa sakit baik rasa sakit

ringan maupun rasa sakit berat. Perbuatan yang dilakukan dengan kekerasan

adalah setiap perbuatan yang mempergunakan kekuatan fisik. Penggunaan

kekerasan terjadi dalam memukul dengan tangan saja, memukul dengan

senjata, menyekap, mengikat, menahan dan sebagainya. Ancaman kekersan

adalah setiap perbuatan yang sedemikian rupa yang dapat menimbulkan

akibat rasa takut atau cemas pada seorang anak yang diancam; Terhadap

anak objeknya adalah anak yaitu seseorang yang belum berusia 18 (delapan

belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandunagan.

Pasal 76C merupakan pasal yang berisikan larangan untuk dilakukannya

kekerasan atau menempatkan, membiarkan, menyuruh melakukan, atau

turut serta melakukan kekerasan terhadap anak.10

9
Yayan Suratman, “Penegakan Bullying Terhadap Anak”, Jurnal Pustaka Ilmiah, Vol.4
Nomor 1, 2018, Hlm.75
10
Sartana, Afriyeni, N., “Perilaku perundungan maya (cyberbullying) pada remaja awal”,
Jurnal Psikologi Insight Universitas PendidikanIndonesia,Vol.1 Nomor 1, April 2017, Hlm. 25.
10

11
Pada kasus perundungan , pelaku seringkali ingin melihat

seseorang terluka dengan melakukan banyak cara dalam menyerang korban

seperti mengirim pesan kejam dan gambar yang menganggu serta

disebarkan dengan tujuan untuk mempermalukan korban hingga dapat

mengganggu mental korban sehinnga korban merasa takut buat

bersosialisasi dengan lingkungan nya tersebut dikarenakan korban sudah

trauma dengan bullying tersebut.11

Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) mewanti-wanti para

pelajar di sekolah rentan menjadi pelaku bullying di media sosial. Data

KPAI menunjukkan selain melakukan bully di sekolah, mereka juga

melakukan bully di media sosial. Berdasarkan survey per tanggal 30 Mei

2020 terdapat 25,5% terindikasi sebagai pelaku perundungan. Seperti yang

terjadi di Cilacap, Jawa Tengah bahwa Polisi menetapkan empat orang

tersangka perundungan terhadap anak yang videonya viral di media sosial,

nyatanya korban dan pelaku satu sekolah tapi beda kelas, salah satunya telah

alumni, dan semuanya masih di bawah umur.12

Berkaca pada definisi dari bullying diatas, maka hal tersebut dapat

dikategorikan sebagai salah bentuk kekerasan terhadap anak, sebagaimana

yang dikemukakan oleh Terry E bahwa Kekerasan anak secara psikis,

meliputi penghardikan, penyampaian kata-kata kotor, memperlihatkan buku,

gambar, dan film pornografi pada anak. Umunya, anak yang mendapatkan

perlakuan seperti diatas menunjukkan gejala perilaku maladaftif, seperti

11
Terry Brequet, , Bullying Rosyen Publishing, United State America, p. 2010.Hlm 37
12
Gultom, Maidin. Perlindungan Hukum Terhadap Anak. Bandung: Refika Aditama. 2010.
Hlm 33.
11

menarik diri, pemalu, menangis jika didekati, takut keluar rumah dan takut

bertemu orang lain. Kekerasan psikis, kekerasan jenis ini tidak begitu

mudah dikenali, akibat yang dirasakan korban tidak memberikan bekas yang

tampak jelas bagi orang lain.13

Anak sebagai pelaku tindak pidana yang berarti anak tersebut

terlibat di dalam melanggar aturan perundang-undangan. 14 Dilansir dari

Komisi Perlindugan Anak Indonesia mencatat jumlah kasus anak pelaku

kekerasan di sekolah (bullying) berjumlah 712 dengan rentang waktu tahun

2018 hingga 2021. Dimana anak sebagai pelaku kekerasan psikis berjumlah
15
214 kasus dan korban kekerasan psikis sebanyak 408 kasus. Situasi

perasaan tidak nyaman, menyerang martabat korban serta menurunkan

harga diri adalah dampat dari kekerasaan ini. Penggunaan kata kasar,

mempermalukan orang didepan umum, melontarkan ancaman didepan

umum adalah bentuk konkrit dari kekerasan jenis ini.16

Anak merupakan amanah dan karunia dari Tuhan Yang Maha Esa

memiliki harkat, martabat serta hak-hak sebagai manusia yang harus

dihormati. Anak merupakan tunas potensi, serta generasi penerus cita-cita

bangsa. Anak yang merupakan potensi dan sumber daya manusia bagi

pembangunan nasional memerlukan pembinaan dan perlindungan.17

13
Mutmainnah, “Membekali Anak dengan Keterampilan Melindungi Diri”, Jurnal
Pendidikan Anak,Vol. 3, Nomor, 1 Juni 2014, hlm.443-451. https//;anaktrampil.com.
14
Nashriana, Perlindungan Hukum Pidana Bagi Anak di Indonesia, PT RajaGrafindo
Persana, Jakarta, hlm. 36
15
Data Perlindungan Anak. Komisi Perlindungan. (KPAI).https://bankdata.kpai.
go.id/tabulasi-dataperlindungan-anak.
16
Riduan Syahrani, Rangkuman Intisari Ilmu Hukum, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung,
2008. hlm.13.
17
Kartini Kartono, Psikologi Apnormal, Pradnya Pramitha, Jakarta. 2004, hlm.35
12

Untuk itu hukum diharapkan memiliki peran yang optimal untuk

mendorong dan menjadi alat rekayasa terjadinya perubahan-perubahan

sosial sesuai yang diinginkan dan dicita-citakan oleh masyarakatnya, dalam

kontek ini tentu hukum tidak dapat dipisahkan dan jauh dari kehidupan

masyarakatnya, sesuai dengan apa yang menjadi inti pemikiran sosiological

jurisprudence, yaitu bahwa hukum yang baik hendaknya harus sesuai

dengan hukum yang hidup dalam masyaraka.

Dalam menyelesaikan permasalahan kejahatan khususnya kekerasan

bullying ada banyak usaha-usaha penanggulangan yang dapat dilakukan.

Baik upaya preventif maupun upaya represif, baik upaya yang dilakukan

melalui jalur penal maupun melalui jalur non penal.

Perlindungan anak diusahakan oleh setiap orang baik orangtua,

keluarga, masyarakat, pemerintah, maupun Negara, sehingga diperlukan

kerjasama yang baik antara Pemerintah dan penegak hukum. 18 Pasal 52

Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang hak asasi manusia,

menyebutkan bahwa setiap anak berhak atas perlindungan oleh orang tua,

keluarga, masyarakat dan negara. Hak anak adalah hak asasi manusia dan

untuk kepentingannya hak anak diakui dan dilindungi oleh hukum bahkan

sejak dalam kandungan.19

Sehingga berdasarkan uraian di atas, penulis merasa sangat perlu

untuk mengkaji lebih lanjut mengenai, Kebijakan hukum pidana dalam

18
Gultom, Maidin. Perlindungan Hukum Terhadap Anak. Bandung: Refika Aditama. 2010.
Hlm 33.
19
H.R Abdulsalam, Hukum Perlindungan Anak, Restu Agung, Jakarta, 2007, Hlm. 28.
13

penggulangan tindak pidana perundungan dengan pelaku anak terhadap

anak karena persoalan tersebut dijadikan perhatian serius bagi penulis.

A. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian dari latar belakang permasalahan tersebut, maka

yang menjadi rumusan masalah penelitian adalah sebagai berikut :

1. Bagaimana kebijakan hukum pidana dalam tindak pidana perundungan

dengan pelaku anak terhadap anak?

2. Bagaimana penanggulangan tindak pidana perundungan dengan pelaku

anak terhadap anak?

B. Tujuan dan Manfaat Penelitian

1. Tujuan Penelitian:

a. Untuk mengetahui bagaimana kebijakan hukum pidana dalam tindak

pidana perundungan dengan pelaku anak terhadap anak

b. Untuk mengetahui bagaimana penanggulangan tindak pidana

perundungan dengan pelaku anak terhadap anak

2. Manfaat penelitian

a. Manfaat secara teoristis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat dalam

ilmu pengetahuan khususnya untuk menambah wawasan bagi

kalangan akademik mengenai kepastian hukum tentang Kebijakan

Hukum Pidana Dalam Penanggulangan Tindak Pidana Perundungan

Dengan Pelaku Anak Terhadap Anak.


14

b. Manfaat secara praktis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan konstribusi serta

dijadikan bahan referensi untuk pengetahuan atas permasalahan

yang penulis teliti memecahkan hingga dapat membatu pemerintah

dalam permasalahan mengenai tentang Kebijakan Hukum Pidana

Dalam Penanggulangan Tindak Pidana Perundungan Dengan Pelaku

Anak Terhadap Anak.

C. Kerangka konseptual.

1. Kebijakan Hukum Pidana

Kebijakan hukum pidana itu atau politik hukum pidana (penal

police) itu pada intinya adalah bagaimana hukum pidana dapat

dirumuskan dengan baik dan memberikan pedoman kepada pembuat

undang-undang (kebijakan legislatif) , kebijakan aplikasi (kebijakan

yudikatif ), dan pelaksanaan hukum pidana (kebijakan eksekutif ).

Kebijakan legislatif merupakan tahap yang sangat menentukan bagi

tahap berikutnya kerena pada saat perundang-undangan pidana hendak

dibuat maka sudah ditentukan arah yang dituju, dengan kata lain

perbuatan-perbuatan apa yang dipandang perlu untuk dijadikan sebagai

suatu perbuatan yang dilarang oleh hukum pidana. Ini berarti

menyangkut masalah kriminalisasi 20

Dari definisi tentang kebijakan hukum pidana yang telah

diuraikan ,sekilas tampak bahwa kebijakan hukum pidana identik

20
Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, PT. Citra Aditya Bakti
Bandung, 2010.,hlm : 23-24.
15

dengan pembaharuan perundang- undangan hukum pidana yaitu

substansi hukum, bahkan sebenarnya ruang lingkup kebijakan hukum

pidana lebih luas daripada pembaharuan hukum pidana.

2. Penanggulangan Tindak Pidana

Penanggulangan tindak pidana pada hakikatnya merupakan bagian

integral dari upaya perlindungan masyarakat (social defence) dan upaya

mencapai kesejahteraan (social welfare). Kebijakan penanggulangan

kejahatan atau bisa disebut juga politik kriminal memiliki tujuan akhir

atau tujuan utama yaitu “perlindungan masyarakat untuk mencapai

kesejahteraan masyarakat”. Kebijakan penanggulangan kejahatan

(criminal policy) itu sendiri merupakan bagian dari kebijakan

penegakan hukum (law enforcement policy). Kebijakan penegakan

hukum merupakan bagian dari kebijakan sosial (social policy) dan

termasuk juga dalam kebijakan legislatif (legislatitive policy). Politik

kriminal pada hakikatnya juga merupakan bagian integral dari

kebijakan sosial yaitu kebijakan atau upaya untuk mencapai

kesejahteraan sosial.21

3. Perundungan

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Perlindungan Anak

Menurut pasal 1 ayat 15 a, perundungan dikatakan sebagai kekerasan di

mana setiap perbuatan terhadap anak yang berakibat timbulnya

kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, psikis, seksual, dan/atau

21
M.Ali Zaidan, Kebijakan kriminal, Sinar Grafika,Jakarta,2006.Hlm.102
16

penelantaran, termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan,

pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum. 22

Pengertian mengenai perundungan (bullying) menurut Komisi Nasional

Perlindungan Anak (KNPA) adalah kekerasan fisik dan psikologis

berjangka panjang yang dilakukan oleh seseorang atau kelompok

terhadap seseorang yang tidak mampu mempertahankan diri.23

4. Anak

Menurut Undang Undang 35 Tahun 2014 Tentang Perlindungan

Anak, “Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas)

tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan”. Anak adalah

generasi penerus bangsa, masa depan bangsa ditentukan bagaimana

kualitas anak saat ini, untuk menjaga harkat dan martabatnya, anak

berhak mendapatkan perlindungan khusus, terutama perlindungan

hukum.24

D. Landasan teori

1. Teori Kebijakan Hukum Pidana

Penggunaan upaya hukum, termasuk hukum pidana sebagai salah

satu upaya mengatasi masalah sosial termasuk dalam bidang kebijakan

penegakan hukum. Disamping itu, karena tujuannya untuk mencapai

kesejahteraan masyarakat pada umumnya, maka kebijakan penegakan

hukum ini pun termasuk dalam bidang kebijakan sosial, yaitu segala

usaha yang rasional untuk mencapai kesejahteraan masyarakat. Sebagai


22
Pasal 1 Ayat (15) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak
23
Komisi Nasional Perlindungan Anak (KNPA).
24
Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang No 35 Tahun 2014 Tentang Perlindungan Anak.
17

suatu masalah yang termasuk masalah kebijakan, maka penggunaan

hukum pidana sebenarnya tidak merupakan suatu keharusan. Tidak ada

kemutlakan dalam bidang kebijakan , karena pada hakikatnya dalam

masalah

Kebijakan hukum pidana pada dasarnya ialah keseluruhan dari

peraturan yang menetukan perbuatan apa yang dilarang dan termasuk

kedalam tindak pidana, serta bagaimana sanksi yang dijatuhkan

terhahadap pelakunya dengan tujuan untuk penanggulangan kejahatan.

Secara teori, banyak doktrin yang dikemukan oleh para ahli terkait

dengan pengertian kebijakan hukum pidana. Barda Nawawi, berpendapat

bahwa istilah “Kebijakan” diambil dari istilah “policy” (Inggris) dan

”politiek” (Belanda), sehingga “Kebijakan Hukum Pidana” dapat pula di

sebut dengan istilah “Politik Hukum Pidana” dan yang sering di kenal

dengan istilah “penal policy” “criminal law policy” atau

“strafrechspolitiek”.25

Dalam bukunya Barda Nawawi Arief mengutip pendapat dari Marc

Ancel yang menyatakan bahwa Penal Policy merupakan salah satu

komponen dari Modern Criminal Science disamping komponen yang lain

seperti, “Criminologi” dan “Criminal Law”.2 Marc Ancel berpendapat

bahwa “Penal Policy” ialah:

“suatu ilmu yang memiliki tujuan praktis untuk memungkinkan

peraturan hukum positif dirumuskan secara lebih baik dan untuk

25
Barda Nawawi Arief, Bunga Ra,pai Kebijakan Hukum Pidana Perkembangan Konsep
KUHP Baru, Cetakan Ke-1, Jakarta, Kencana Prenadamedia Grub, 2008, hlm 26;
18

memberi pedoman tidak hanya kepada pembuat undang-undang,

tetapi juga kepada pengadilan yang menerapkan undang-

undangdan juga kepada para penyelenggara atau pelaksana

putusan pengadilan’’.26

”Kebijakan Hukum Pidana” atau “Penal Policy” merupakan

suatu peraturan hukum yang dirumuskan dan ditetapkan oleh badan-

badan yang berwenang sebagai suatu pedoman (hukum positif) bagi

masyarakat maupun penegak hukum yang bertujuan untuk mencegah

dan menanggulangi suatu kejahatan atau dengan kata lain suatu tindak

pidana. Usaha penanggulangan kejahatan dengan hukum pidana pada

hakikatnya juga merupakan bagian dari usaha penegakan hokum

(khususnya penegakan hukum pidana), oleh karena itu sering pula

dikatakan bahwa kebijakan hukum pidana merupakan bagian pula dari

kebijakan penegakan hukum (law enforcement policy). Selain bagian

dari usaha penegakan hukum, juga merupakan bagian integral dari usaha

perlindungan masyarakat (social welfare) serta bagian integral dari

kebijakan atau politik sosial (social policy). Kebijakan sosial (social

policy) dapat diartikan sebagai usaha yang rasional untuk mencapai

kesejahteraan masyarakat dan sekaligus mencakup perlindungan

masyarakat, sehingga dalam pengertian “social policy” tekandung pula

“social walfare policy” dan “social defence policy”. Secara luas,

26
Ibid, hlm 26.
19

kebijakan hukum pidana dapat mencakup ruang lingkup kebijakan

dibidang hukum pidana materiil, dibidang hukum pidana formal dan

dibidang hukum pidana pelaksanaan pidana.27

Kebijakan hukum pidana dilaksanakan melalui tahap – tahap

konkretisasi/operasionalisasi/fungsionalisasi hukum pidana yang terdiri

dari:

a. Kebijakan formulasi/legislatif, yaitu tahap perumusan/penyusunan

hukum pidana. Dalam tahap ini merupakan tahap yang paling

startegis dari upaya pencegahan dan penanggulangan kejahatan

melalui kebijakan hukum pidana, karena pada tahap ini kekuasaan

formulatif/legislatif berwenang dalam hal menetapkan atau

merumuskan perbuatan apa yang dapat dipidana yang berorientasi

pada permasalahan pokok dalam hukum pidana meliputi perbuatan

yang bersifat melawan hukum, kesalahan/pertanggungjawaban

pidana dan sanksi apa yang dapat dikenakan oleh pembuat undang-

undang. Sehingga apabila ada kesalahan/kelemahan dalam kebijakan

legislatif maka akan menjadi penghambat upaya pencegahan dan

penanggulangan kejahtan pada tahap aplikasi dan eksekusi;

b. Kebijakan aplikatif/yudikatif, yaitu tahap penerapan hukum pidana.

Tahap aplikasif merupakan kekuasaan dalam hal menerapkan hukum

pidana oleh aparat penegak hukum atau pengadilan; dan

27
Tiwi Sasmita, Kabib Nawawi, Yulia Monita, Pelaksanaan Pembinaan Narapidana Anak
yang Dijatuhi Pidana Penjara Jangka Pendek di Lembaga Pembinaan Khusus Anak (LPKA),
PAMPAS: Journal Of Criminal Volume 2 Nomor 1, 2021.
20

c. Kebijakan administratif/eksekutif, yaitu tahap pelaksanaan hukum

pidana. tahap ini merupakan tahapan dalam melaksanakan hukum

pidana oleh aparat pelaksana/eksekusi pidana.

Fungsi teori dalam penelitian ini adalah untuk memberikan

pedoman/ petunjuk dan meramalkan serta menjelaskan gejala yang

diamati. Menurut teori konvensional, tujuan hukum adalah mewujudkan

keadilan (rech gewichtigheid), kemanfaatan dan kepastian hukum

(rechtzkherheid).28

2. Teori Penanggulangan kejahatan

Penanggulangan dan pencegahan terhadap tindak pidana merupakan

cara bereaksi terhadap fenomena tindakan pidana. Semenjak tindak

pidana banyak terjadi, respon terhadapnya lebih dikenal. Setiap

masyarakat akan bereaksi terhadap kejahatan sesuai dengan tingkat

kebudayaan yang telah dicapai oleh masyarakat yang bersangkutan.

Masyarakat yang sudah sedemikian modern dapat ditandai dengan

pembagian kerja yang tersusun dan kompleks, reaksi terhadap tindak

pidana semakin modern dengan ditandai adanya penggunaan jenis-jenis

sanksi yang ditetapkan secara rasional. Rasionalitas dalam penetapan

jenis-jenis sanksi merupakan cerminan dari taraf ilmu pengetahuan dan

juga kebudayaan suatu bangsa.

Kebijakan atau upaya penanggulangan kejahatan pada hakikatnya

merupakan bagian integral dari upaya perlindungan masyarakat (social

28
Achmad Ali, Menguak Tabir Hukum (suatu kajian filosofi dan sosiologi), Sinar Grafika,
Jakarta, 2002, hlm. 85.
21

defence) dan upaya mencapai kesejahteraan (social welfare). Kebijakan

penanggulangan kejahatan atau bisa disebut juga politik kriminal

memiliki tujuan akhir atau tujuan utama yaitu “perlindungan masyarakat

untuk mencapai kesejahteraan masyarakat”. Kebijakan penanggulangan

kejahatan (criminal policy) itu sendiri merupakan bagian dari kebijakan

penegakan hukum (law enforcement policy). Kebijakan penegakan

hukum merupakan bagian dari kebijakan social (social policy) dan

termasuk juga dalam kebijakan legislatif (legislative policy). Politik

riminal pada hakikatnya juga merupakan bagian integral dari kebijakan

sosial yaitu kebijakan atau upaya untuk mencapai kesejahteraan sosial.

kebijakan penanggulangan kejahatan bila dilihat lingkupnya, sangat

luas dan tinggi kompleksitasnya. Hal ini wajar karena karena pada

hakikatnya kejahatan merupakan masalah kemanusiaan dan sekaligus

masalah sosial yang memerlukan pemahaman tersendiri. Kejahatan

sebagai masalah sosial ialah merupakan gejala yang dinamis selalu

tumbuh dan terkait dengan gejala dan struktur kemasyarakatan lainnya

yang sangat kompleks, ia merupakan socio-political problems.

Salah satu bentuk dari perencanaan perlindungan sosial adalah

usahausaha yang rasional dari masyarakat untuk menanggulangi

kejahatan yang biasa disebut dengan politik kriminal (criminal politic).

Tujuan akhir dari politik kriminal adalah suatu perlindungan masyarakat.

Dengan demikian politik kriminal adalah merupakan bagian dari

perencanaan perlindungan masyarakat, yang merupakan bagian dari


22

keseluruhan kebijakan sosial. Upaya penanggulangan kejahatan yang

dilakukan terhadap anak sebenarnya tidaklah jauh berbeda dengan

kebijakan yang diterapkan terhadap orang dewasa.

Di dalam upaya penanggulangan kejahatan perlu ditempuh dengan

pendekatan kebijakan, dalam arti:

1. Ada keterpaduan antara politik kriminil dan politik sosial

2. Ada keterpaduan antara upaya penggulangan kejahatan dengan

penal maupun non penal Upaya penanggulangan kejahatan lewat jalur

“penal” lebih menitikberatkan pada sifat “repressive” (penindasan

/pemberantasan/penumpasan)sesudah kejahatan terjadi, sedangkan jalur

“non-penal” lebih menitikberatkan pada sifat “preventive”

(pencegahan/penangkalan) sebelum kejahatan terjadi. Dikatakan sebagai

perbedaan secara kasar, karena tindakan refresif pada hakikatnya dapat

dilihat sebagai tindakan preventif dalam arti luas.

Penanggulangan dan pencegahan terhadap Tindak Pidana

merupakan cara bereaksi terhadap fenomena Tindakan Pidana. Semenjak

Tindak Pidana banyak terjadi, respon terhadapnya lebih dikenal. Setiap

masyakarat akan bereaksi terhadap kejahatan sesuai dengan tingkat

kebudayaan yang telah dicapai oleh masyarakat yang bersangkutan.

Masyarakat yang sudah sedemikian modern dapat ditandai dengan

pembagian kerja yang tersusun dan kompleks, reaksi terhadap Tindak

Pidana semakin modern dengan ditandai adanya penggunaan jenis-jenis

sanksi yang ditetapkan secara rasional. Rasionalitas dalam penetapan


23

jenis-jenis sanksi merupakan cerminan dari taraf ilmu pengetahuan dan

juga kebudayaan suatu bangsa.29

E. Metode Penelitian

Metode penelitian adalah cara atau prosedur yang digunakan dalam

mengumpulkan data dalam penelitian. Metode penelitian yang digunakan

dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Tipe Penelitian

Tipe penelitian yang digunakan dalam skripsi ini adalah

penelitian yuridis normatif. Penelitian yuridis normatif adalah suatu

proses untuk menemukan aturan hukum, prinsip-prinsip hukum dan

doktrin-doktrin hukum.30 Penelitian hukum normatif dapat dilakukan

terutama terhadap bahan hukum primer dan sekunder, sepanjang

bahan-bahan itu mengandung kaidah-kaidah hukum.

2. Metode Pendekatan

Metode Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah:

a) Pendekatan perundang-undangan (Statuta Approach). Yakni ilmuan

hukum menyebutnya dengan pendekatan yuridis, yaitu penelitian

terhadap produk-produk Hukum.31

b) Pendekatan konseptual (Conceptual Approach). Yaitu penelitian

terhadap konsep-konsep hukum seperti: sumber hukum, fungsi

hukum, lembaga hukum, dan sebagainya.

29
M. Ali Zaidan, Kebijakan Kriminal, Sinar Grafika, Jakarta,2006. Hlm.102
30
.Bahder Johan Nasution, Metode Penelitian Ilmu Hukum, Cet.1, Mandar Maju, Bandung,
2008, hlm.90.
31
ibid, hlm.16
24

3. Pengumpulan bahan hukum

a. Bahan hukum primer

Bahan Hukum Primer yaitu bahan-bahan hukum yang mempunyai

kekuatan mengikat, terdiri dari:

a) Norma Dasar yaitu Undang-Undang Dasar Negara Republik

Indonesia Tahun 1945.

b) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

c) Undang-Undang Nomor 11 tahun 2012 tetang Sistem Peradilan

Anak.

d) Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan

Anak.

b. Bahan hukum skunder

Buku-buku, peraturan perundang-undangan yang berlaku dan

berkaitan, jurnal hukum, internet, artikel dan lain-lain yang dapat

digunakan sebagai literatur dalam penelitian.

c. Bahan Hukum Tersier

Bahan Hukum Tersier yaitu Bahan Hukum yang dapat

memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum

primer dan sekunder, seperti Kamus Hukum.

4. Analisis bahan hukum

Dalam menganailisis data,peneliti membangun teorinya dengan

menganalisis secara normatif dilakukan dengan pemilihan pasal-pasal

yang mengatur tentang Kebijakan hukum pidana dalam penanggulangan


25

bullying dengan pelaku anak terhadap anak kemudian membuat

sistematika dari pasal-pasal tersebut sehingga menghasilkan klasifikasi

tertentu sesuai dengan permasalahan yang dibahas dalam penelitian ini

sehingga dapat dimengerti, kemudian ditarik kesimpulan.

F. Sistematika Penulisan.

Untuk mempermudah dalam pembahasan penulisan skripsi ini terdiri

dari 4 (empat) Bab dan tiap-tiap bab tersebut terbagi lagi dalam sub bab

sesuai dengan keperluan dalam penulis. Adapun isi dari skripsi ini adalah

sebagai berikut:

BAB I: Pendahuluan

Dalam bab ini menguraikan permasalahan yang melatar

belakangi masalah, Perumusan masalah, Tujuan dan manfaat

penelitian, Kerangka konseptual, Kerangka teoritis, Metode

penelitian dan Sistematika penulisan.

BAB II: Tinjauan Pustaka

Pada bab ini merupakan Tinjauan Umum tentang kebijakan

hukum pidana, kebijakan penanggulangan, tindak pidana

perundungan.

BAB III: Pembahasan

Pada bab ini merupakan bab pembahasan sesuai dengan

perumusan masalah dalam proposal tentang kebijakan hukum

pidana dalam penanggulangan tindak pidana perundungan

dengan pelaku anak terhadap anak.


26

BAB IV: Penutup

Merupakan bab penutup yang memuat kesimpulan dari apa

yang telah diuraikan penulis dalam bab-bab sebelumnya dan

juga berisikan saran-saran.

Anda mungkin juga menyukai