Anda di halaman 1dari 6

PROPOSAL SKRIPSI

M. Ananta Firdaus, S.H., M.H.

Disusun Oleh :

Nadia Safira 2010211320061

KELAS B
ILMU HUKUM
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS LAMBUNG MANGKURAT
BANJARMASIN
2023
PELECEHAN SEKSUAL ANTAR ANAK DALAM PERSPEKTIF HUKUM PIDANA
INDONESIA (TINJAUAN YURIDIS EMPIRIS DI WILAYAH KOTA
BANJARMASIN)

A. Latar Belakang
Kejahatan pidana seksual antar anak adalah salah satu jenis kejahatan seksual
yang diarahkan pada korban anak-anak. Kejahatan ini melibatkan tindakan seksual
yang tidak senonoh atau merugikan, yang dilakukan oleh seseorang yang lebih tua atau
lebih kuat terhadap seorang anak di bawah umur. Kejahatan pidana seksual antar anak
bisa berupa tindakan fisik seperti pemerkosaan, pencabulan, atau pemaksaan
melakukan hubungan seksual. Namun, bisa juga berupa tindakan non-fisik seperti
pelecehan verbal atau pengambilan gambar atau video pornografi anak.
Kejahatan pidana seksual antar anak adalah tindakan yang sangat serius dan
merusak. Korban kejahatan ini bisa mengalami trauma psikologis yang berat dan lama,
serta masalah emosional yang serius dan bahkan berkepanjangan. Tindakan ini bisa
merusak masa depan anak-anak yang menjadi korban, karena bisa mempengaruhi
perkembangan emosi, perilaku, dan kesehatan mental mereka.
Tindakan kejahatan pidana seksual antar anak sangat dilarang oleh hukum di
banyak negara di seluruh dunia, dan pelakunya akan dihukum berat, tergantung pada
tingkat kejahatan dan keparahan kerusakan yang ditimbulkan pada korban. Karena itu,
sangat penting untuk meningkatkan kesadaran tentang kejahatan ini dan mendorong
masyarakat untuk melaporkan tindakan kejahatan ini kepada pihak berwenang,
sehingga korban bisa mendapatkan perlindungan dan pelaku bisa dihukum sesuai
dengan perbuatannya.

Tindak pidana perkosaan diatur dalam Pasal 285 KUHP yang


berbunyi:“Barangsiapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa
perempuan yang bukan isterinya bersetubuh dengan dia, dihukum, karena
memperkosa, dengan hukuman penjara selama-lamanya dua belas tahun.” Dari
rumusan Pasal 285 KUHP tersebut dapat diketahui bahwa perkosaan adalah delik biasa,
dan bukan delik aduan. Karena itu, polisi dapat memproses kasus perkosaan tanpa
adanya persetujuan dari pelapor atau korban. Jadi, tidak semua pasal dalam KUHP
tentang kesusilaan termasuk dalam delik aduan. Untuk dapat mengetahui apakah suatu
pengaturan mengenai suatu tindak pidana merupakan delik aduan atau delik biasa, kita
harus melihat konstruksi dari pasal yang mengatur.

Namun pencabulan pada anak termasuk dalam delik aduan, hal ini dijelaskan
pada ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan
Anak (“UU Perlindungan Anak”) sebagaimana yang telah diubah oleh Undang-Undang
Nomor 35 tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002
tentang Perlindungan Anak (“UU 35/2014”) dan diubah kedua kalinya dengan
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016 tentang
Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan
Anak (“Perpu 1/2016”) sebagaimana yang telah ditetapkan sebagai undang-undang
dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2016 tentang Penetapan Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua
Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak Menjadi
Undang-Undang yang berkaitan dengan tindak pidana kesusilaan yaitu antara lain Pasal
76D (persetubuhan dengan anak) dan Pasal 76E (pencabulan anak)1, sebagai berikut:

1. Pasal 76D UU 35/2014: Setiap Orang dilarang melakukan Kekerasan atau ancaman
Kekerasan memaksa Anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang
lain.
2. Pasal 76E UU 35/2014: Setiap Orang dilarang melakukan Kekerasan atau ancaman
Kekerasan, memaksa, melakukan tipu muslihat, melakukan serangkaian
kebohongan, atau membujuk Anak untuk melakukan atau membiarkan dilakukan
perbuatan cabul.

Hukuman dari perbuatan tersebut diatur dalam Pasal 81 dan Pasal 82 Perpu 1/2016
sebagai berikut:

1. Pasal 81 Perpu 1/2016


Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
76D dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama
15 (lima belas) tahun dan denda paling banyak Rp5 miliar. Ketentuan pidana
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku pula bagi setiap Orang yang dengan
sengaja melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan, atau membujuk Anak

1
Hukum Online, https://www.hukumonline.com/klinik/a/delik-aduan, diakses pada 19 Maret 2023, pukul :
16.17
melakukan persetubuhan dengannyaatau dengan orang lain. Dalam hal tindak
pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh orang tua, wali, orang-
orang yang mempunyai hubungan keluarga, pengasuh anak, pendidik, tenaga
kependidikan, aparat yang menangani perlindungan anak, atau dilakukan oleh lebih
dari satu orang secara bersama-sama, pidananya ditambah 1/3 (sepertiga) dari
ancaman pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1). Selain terhadap pelaku
sebagaimana dimaksud pada ayat (3), penambahan 1/3 (sepertiga) dari ancaman
pidana juga dikenakan kepada pelaku yang pernah dipidana karena melakukan
tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76D.
Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76D menimbulkan
korban lebih dari 1 (satu) orang, mengakibatkan luka berat, gangguan jiwa, penyakit
menular, terganggu atau hilangnya fungsi reproduksi, dan/atau korban meninggal
dunia, pelaku dipidana mati, seumur hidup, atau pidana penjara paling singkat 10
(sepuluh) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun. Selain dikenai pidana
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (3), ayat (4), dan ayat (5), pelaku dapat
dikenai pidana tambahan berupa pengumuman identitas pelaku. Terhadap pelaku
sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dan ayat (5) dapat dikenai tindakan berupa
kebiri kimia dan pemasangan alat pendeteksi elektronik. Tindakan sebagaimana
dimaksud pada ayat (7) diputuskan bersama-sama dengan pidana pokok dengan
memuat jangka waktu pelaksanaan tindakan. Pidana tambahan dan tindakan
dikecualikan bagi pelaku Anak.

2. Pasal 82 Perpu 1/2016

Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal


76E dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama
15 (lima belas) tahun dan denda paling banyak Rp 5 miliar. Dalam hal tindak pidana
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh orang tua, wali, orang-orang
yang mempunyai hubungan keluarga, pengasuh anak, pendidik, tenaga
kependidikan, aparat yang menangani perlindungan anak, atau dilakukan oleh lebih
dari satu orang secara bersama-sama, pidananya ditambah 1/3 (sepertiga) dari
ancaman pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1). Selain terhadap pelaku
sebagaimana dimaksud pada ayat (2), penambahan 1/3 (sepertiga) dari ancaman
pidana juga dikenakan kepada pelaku yang pernah dipidana karena melakukan
tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76E.

Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76E menimbulkan
korban lebih dari 1 (satu) orang, mengakibatkan luka berat, gangguan jiwa, penyakit
menular, terganggu atau hilangnya fungsi reproduksi, dan/atau korban meninggal
dunia, pidananya ditambah 1/3 (sepertiga) dari ancaman pidana sebagaimana
dimaksud pada ayat (1). Selain dikenai pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
sampai dengan ayat (4), pelaku dapat dikenai pidana tambahan berupa
pengumuman identitas pelaku. Terhadap pelaku sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) sampai dengan ayat (4) dapat dikenai tindakan berupa rehabilitasi dan
pemasangan alat pendeteksi elektronik. Tindakan sebagaimana dimaksud pada ayat
(6) diputuskan bersama-sama dengan pidana pokok dengan memuat jangka waktu
pelaksanaan tindakan. Pidana tambahan dikecualikan bagi pelaku Anak.

Dari rumusan Pasal 76D dan Pasal 76E UU 35/2014 jo. Pasal 81 dan Pasal
82 Perpu 1/2016 di atas, terlihat bahwa tidak ada keharusan bagi delik ini untuk
dilaporkan oleh korbannya. Dengan demikian, delik persetubuhan dengan anak dan
pencabulan terhadap anak merupakan delik biasa, bukan delik aduan. Delik biasa
dapat diproses tanpa adanya persetujuan dari yang dirugikan (korban)2.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana perspektif hukum pidana terhadap bentuk-bentuk pelecehan seksual
oleh dan terhadap anak?
2. Apa bentuk-bentuk pelecehan seksual antara anak yang terjadi di daerah
Banjarmasin?
3. Bagaimana penanggulangan tindak pidana pelecehan seksual oleh dan terhadap
anak di kota Banjarmasin?

2
Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2016 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang
Perlindungan Anak Menjadi Undang-Undang.
C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian
Penelitian ini dilakukan dengan tujuan agar kita dapat mengetahui perspektif hukum
pidana terhadap bentuk-bentuk pelecehan seksual oleh dan terhadap, tidak hanya itu
dalam penelitian ini kita juga akan mengetahui bentuk-bentuk pelecehan seksual antar
anak yang terjadi di kota Banjarmasin, terakhir penulis turut menyertakan
penanggulangan tindak pidana pelecehan seksual oleh dan terhadap anak di kota
Banjarmasin agar penelitian ini dapat digunakan sebagaimana mestinya.

Anda mungkin juga menyukai