Anda di halaman 1dari 13

Pelaku kekerasan fisik terhadap anak diancam pidana yang diatur dalam Undang-Undang

Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anaksebagaimana yang telah diubah


oleh Undang-undang Nomor 35 tahun 2014 dan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004
tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga.
Korban berhak melaporkan secara langsung kekerasan dalam rumah tangga kepada
kepolisian baik di tempat korban berada maupun di tempat kejadian perkara atau
memberikan kuasa kepada keluarga atau orang lain untuk melaporkan kekerasan dalam
rumah tangga kepada pihak kepolisian baik di tempat korban berada maupun di tempat
kejadian perkara.
Penjelasan lebih lanjut dapat Anda simak dalam ulasan di bawah ini.

Ulasan:
Karena Anda masih berusia 15 tahun, maka Anda dikategorikan sebagai anak
sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 35 tahun 2014
tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang
Perlindungan Anak (UU 35/2014):
Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk
anak yang masih dalam kandungan.
Oleh karena itu, guna menjawab pertanyaan Anda, kami mengacu padaUndangUndang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak(UU Perlindungan
Anak) sebagaimana yang telah diubah oleh UU 35/2014.

Perbuatan ibu Anda yang menyiram Anda dengan air teh panas, menampar, dan
memukul

Anda

merupakan

bentuk-bentuk

kekerasan.Kekerasan adalah

setiap

perbuatan terhadap Anak yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan


secara

fisik,

psikis,

seksual,

dan/atau

penelantaran,

termasuk

ancaman

untuk

melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan


hukum. Demikian yang disebut dalam Pasal 1 angka 16 UU 35/2014.
Pada dasarnya, setiap orang dilarang menempatkan, membiarkan,melakukan, menyuruh
melakukan, atau turut serta melakukan kekerasan terhadap anak (Pasal 76C UU
35/201) yang ancaman sanksinya terdapat dalam Pasal 80 UU 35/2014 yang
berbunyi:
(1) Setiap Orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
76C, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun 6 (enam)
bulan dan/atau denda paling banyak Rp72.000.000,00 (tujuh puluh dua juta
rupiah).
(2) Dalam hal Anak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) luka berat, maka
pelaku dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau
denda paling banyak Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah).
(3) Dalam hal Anak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) mati, maka pelaku
dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan/atau
denda paling banyak Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah).
(4) Pidana ditambah sepertiga dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1), ayat (2), dan ayat (3) apabila yang melakukan penganiayaan tersebut
Orang Tuanya
Karena yang melakukan kekerasan terhadap Anda adalah orang tua Anda sendiri, maka
kita mengacu pada Pasal 76C jo. Pasal 80 ayat (1) jo. Pasal 80 ayat (4) UU
35/2014. Artinya, ancaman pidana penjara yang dijatuhkan kepada ibu Anda adalah
ditambah sepertiga dari pidana penjara dan/atau pidana denda yang disebut dalam Pasal
80 ayat (1) UU 35/2014.
Namun demikian, sebelum Anda melaporkan tindakan kekerasan yang dilakukan oleh
orang tua Anda kepada pihak berwajib, kami lebih menyarankan agar cara-cara
kekeluargaan dikedepankan. Terlepas dari sanksi pidana yang mengancam ibu Anda,
jalur pidana hendaknya dijadikan upaya terakhir (ultimum remedium) setelah upaya
perdamaian telah dilakukan.
Salah satu langkah yang dapat Anda lakukan adalah dengan melaporkan tindakan
kekerasan yang dilakukan oleh ibu Anda kepada Komisi Nasional Perlindungan Anak.
Adapun

mekanisme

dan

langkah-langkah

penanganan

anak

korban

kekerasan,

koordinasi pelayanan, monitoring, evaluasi dan pelaporan pelaksanaan pelayanan diatur


khusus

dalamPeraturan

Menteri

Negara

Pemberdayaan

Perempuan

dan

Perlindungan Anak Nomor 2 Tahun 2011 tentang Pedoman Penanganan Anak


Korban Kekerasan (Permen 2/2011). Peraturan ini merupakan pedoman bagi
Kementerian/Lembaga di Tingkat Pusat; SKPD Terkait di Tingkat Daerah; Organisasi
Masyarakat; Lembaga Pelayanan Penanganan Anak Korban Kekerasan dalam menangani
anak korban kekerasan (Lampiran Permen 2/2011).
Tidak hanya dapat dijerat dengan UU Perlindungan Anak dan perubahannya (UU
35/2014),

tindakan

kekerasan

yang

dilakukan

oleh

ibu

Anda

juga

diancam

dengan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan


Dalam Rumah Tangga (UU PKDRT). Hal ini karena kekerasan yang Anda alami
masuk dalam lingkup rumah tangga sebagaimana disebut dalam Pasal 1 angka 1 UU
PKDRT:
Kekerasan dalam Rumah Tangga adalah setiap perbuatan terhadap seseorang
terutama

perempuan,

yang

berakibat

timbulnya

kesengsaraan

atau

penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan/atau penelantaran rumah


tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau
perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga.
Adapun lingkup rumah tangga dalam UU PKDRT ini meliputi [Pasal 2 ayat (1) UU
PKDRT]:
a. suami, isteri, dan anak;
b. orang-orang yang mempunyai hubungan keluarga dengan orang sebagaimana
dimaksud

pada

huruf

karena

hubungan

darah,

perkawinan,

persusuan,

pengasuhan, dan perwalian, yang menetap dalam rumah tangga; dan/atau


c. orang yang bekerja membantu rumah tangga dan menetap dalam rumah tangga
tersebut.
Pada dasarnya, setiap orang dilarang melakukan kekerasan dalam rumah tangga
terhadap orang dalam lingkup rumah tangganya, dengan cara (Pasal 5 UU PKDRT):
a. kekerasan fisik;
b. kekerasan psikis;
c. kekerasan seksual; atau
d. penelantaran rumah tangga.
Lalu apa langkah hukum yang dapat Anda lakukan? Pasal 26 UU PKDRTberbunyi:
(1) Korban

berhak

melaporkan

secara

langsung

kekerasan

dalam

rumah

tangga kepada kepolisian baik di tempat korban berada maupun di tempat


kejadian perkara.
(2) Korban dapat memberikan kuasa kepada keluarga atau orang lain untuk
melaporkan kekerasan dalam rumah tangga kepada pihak kepolisian baik di
tempat korban berada maupun di tempat kejadian perkara.

Jadi, Anda sendiri sebagai korban bisa melaporkan langsung kepada kepolisian atau
memberikan kuasa kepada orang lain untuk melaporkan kekerasan yang Anda alami
kepada pihak kepolisian.
Adapun ancaman sanksi bagi ibu Anda terdapat dalam Pasal 44 ayat (1) dan (2) UU
PKDRT:
(1) Setiap orang yang melakukan perbuatan kekerasan fisik dalam lingkup rumah
tangga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf a dipidana dengan pidana
penjara

paling

lama

(lima)

tahun

atau

denda

paling

banyak

Rp

15.000.000,00 (lima belas juta rupiah).


(2) Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan
korban mendapat jatuh sakit atau luka berat, dipidana dengan pidana penjara
paling lama 10 (sepuluh) tahun atau denda paling banyak Rp 30.000.000,00
(tiga puluh juta rupiah).
Sebagai contoh kasus dapat kita temukan dalam Putusan Pengadilan Negeri Jakarta
Timur Nomor 971/Pid.Sus/2013/ PN.Jkt.Tim. Terdakwa didakwa dengan Pasal 44
ayat (1) UU PKDRT dan Pasal 80 ayat (4) UU Perlindungan Anak. Namun, hakim
memutus berdasarkan Pasal 80 ayat (4) UU Perlindungan Anak dan menyatakan
terdakwa telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana:
Melakukan Ancaman Kekerasan Terhadap Anak Kandung dan menjatuhkan pidana
penjara selama 8 (delapan) bulan dan denda Rp 500.000,- (lima ratus ribu rupiah).
Contoh lain dapat kita temukan dalam Putusan Pengadilan Negeri Tebing Tinggi
Nomor 295/ Pid.B / 2013 / PN-TTD. Terdakwa telah melakukan kekerasan atau
penganiayaan terhadap saksi korban yang masih berusia 5 tahun yang merupakan anak
tiri terdakwa dengan cara antara lain memukul korban dengan menggunakan sebatang
kayu dan gagang bekas pancing yang panjangnya sekitar 90 cm yang berada di depan
rumah sebanyak satu kali di bagian kepala hingga bagian punggung belakang. Akibat
perbuatannya itu, korban mengalami luka lecet di bagian punggung sebelah kiri dan
pembengkakan di bagian kepala. Terdakwa terbukti melanggar Pasal 80 ayat (2) dan (4)
UU Perlindungan Anak dan dijatuhi pidana penjara selama lima bulan.
Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.
Dasar hukum:
1. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anaksebagaimana
telah diubah oleh Undang-undang Nomor 35 tahun 2014 tentang Perubahan Atas
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak;
2. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam
Rumah Tangga;
3. Peraturan Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Nomor
2 Tahun 2011 tentang Pedoman Penanganan Anak Korban Kekerasan.

Putusan:
1. Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Timur Nomor 971/Pid.Sus/2013/ PN.Jkt.Tim.
2. Putusan Pengadilan Negeri Tebing Tinggi Nomor 295/ Pid.B / 2013 / PN-TTD.
Referensi:
http://peluk.komnaspa.or.id/, diakses pada 21 April 2015 pukul 14.38 WIB.

Langkah-langkah perlindungan anak yang paling strategis adalah dimulai dari keluarga.
Keluarga adalah benteng terdekat anak-anak yang harus dijaga kekokohannya.
Menghindarkan kekerasan pada anak yang paling awal adalah memberikan penyuluhan dan
pendidikan kepada calon orang tua ataupun orang tua tentang betapa berharganya anak-anak
mereka.
Kemudian lingkungannya, kemudian sekolahnya, kemudian masyarakat luas.
Bayangkanlah, jika setiap orang dalam keluarga memiliki pemahaman yang utuh tentang
bagaimana semestinya memperlakukan anak, maka akan terbentuk lingkungan yang ramah
anak.
Lalu jika lingkungannya sudah ramah anak, maka secara bertahap masyarakatnya juga ramah
anak.
Maka, pembenahannya harus komprehensif:
saat yang sama memperjuangkan konstitusi yang memperhatikan hak-hak anak, yang menjadi
payung hukum terhadap perlindungan anak;
saat yang lain, masyarakat juga dididik dan disadarkan akan hak anak dan pemenuhan
pendidikannya secara layak.
Jadi, mari ambil posisi strategis sesuai peran masing-masing.
Yang menjadi guru, punya peluang besar mendidik dan mempersiapkan anak-anak menjadi
sosok yang sadar akan kewajiban dan haknya, peduli masa depannya dan bertanggung jawab
atas hidupnya.
Yang menjadi orang tua, marilah menjadi orang tua yang maksimal dalam mempersiapkan anakanaknya untuk menjadi manusia yang baik agamany, baik akhlaqnya, peduli sekitar dan
memberikan manfaat pada kemanusiaan.
Yang berada di jajaran birokrat, mari kawal segala kebijakan birokrasi agar dapat memenuhi hakhak anak secara seimbang dan bertanggung jawab.
Jadi, beradakah dimanakah Anda?
Mari berbuat.

LANGKAH HUKUM BILA ANAK DIINTIMIDASI DEBT COLLECTOR


Untuk mengetahui apakah sikap yang dilakukan oleh debt collector terhadap anak Anda
merupakan suatu pengancaman atau tidak, kita merujuk pada Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana (KUHP). Ketentuan pidana mengenai pengancaman diatur dalam Bab XXIII tentang
Pemerasan dan Pengancaman KUHP. Mengenai ancaman kekerasan diatur dalam Pasal 368
ayat (1) KUHP:
Barang siapa dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara
melawan hukum, memaksa seorang dengan kekerasan atau ancaman kekerasan untuk
memberikan barang sesuatu, yang seluruhnya atau sebagian adalah kepunyaan orang itu atau
orang lain, atau supaya membuat hutang maupun menghapuskan piutang, diancam karena
pemerasan, dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun.

R. Soesilo menjelaskan pasal tersebut dalam bukunya Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal dan menamakan perbuatan dalam
Pasal 368 ayat (1) KUHP sebagai pemerasan dengan kekerasan yang mana pemerasnya:
1. Memaksa orang lain;
2. Untuk memberikan barang yang sama sekali atau sebagian termasuk kepunyaan orang itu
sendiri atau kepunyaan orang lain, atau membuat utang atau menghapuskan piutang;
3. Dengan maksud hendak menguntungkan diri sendiri atau orang lain dengan melawan hak;
4. Memaksanya dengan memakai kekerasan atau ancaman kekerasan.

Agar tindakan debt collector dapat dikenakan terhadap pasal mengenai pengancaman ini, tentu
harus memenuhi keempat unsur di atas. Jika melihat dari pertanyaan yang Anda sampaikan dan
terbatasnya informasi yang Anda berikan, sikap debt collector tersebut mungkin tidak dengan
maksud untuk menguntungkan dirinya sendiri atau orang lain. Yang ia lakukan bisa jadi hanya
berupa pernyataan dengan cara kekerasan bernada tinggi kepada anak Anda dan tidak disertai
tindakan lain seperti memaksa anak Anda untuk memberikan suatu barang dengan maksud
menguntungkan dirinya. Dengan demikian, jika ditinjau dari KUHP, menurut hemat kami,
tindakan tersebut bukanlah merupakan tindak pidana pengancaman. Penjelasan lebih lanjut
mengenai tindak pidana pengancaman dapat Anda simak dalam artikel Pasal untuk Menjerat
Pelaku Pengancaman.

Karena fokus pertanyaan Anda mengenai anak, maka kami menggunakan dasar hukum lain di
sini, yakni Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak (UU Perlindungan
Anak). Sikap debt collector yang memperlakukan anak Anda bisa jadi berkaitan dengan salah
satu hak anak yang diatur dalam Pasal 4 UU Perlindungan Anak bahwa setiap anak berhak
untuk dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara wajar sesuai dengan harkat
dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.

Masih berkaitan dengan perlakuan terhadap anak, menurut Pasal 13 ayat (1) UU Perlindungan
Anak:
Setiap anak selama dalam pengasuhan orang tua, wali, atau pihak lain mana pun yang
bertanggung jawab atas pengasuhan, berhak mendapat perlindungan dari perlakuan:
a. diskriminasi;
b. eksploitasi, baik ekonomi maupun seksual;
c. penelantaran;
d. kekejaman, kekerasan, dan penganiayaan;
e. ketidakadilan; dan perlakuan salah lainnya

Perlakuan kekerasan dan penganiayaan menurut penjelasan Pasal 13 ayat (1) huruf d UU
Perlindungan Anak misalnya perbuatan melukai dan/atau mencederai anak, dan tidak sematamata fisik, tetapi juga mental dan sosial.

Sikap debt collector yang bertanya kamu bisa baca kan? kepada anak Anda memang belum
tentu dikatakan sebagai pengancaman, akan tetapi jika dilakukan dengan cara kekerasan,
terutama kekerasan yang melukai dan/atau mencederai mental si anak, maka sikap tersebut
telah merampas hak anak untuk mendapatkan perlindungan dari kekerasan sebagaimana
disebut dalam Pasal 4 jo. Pasal 13 ayat (1) huruf d UU Perlindungan Anak.

Berdasarkan Pasal 80 ayat (1) UU Perlindungan Anak, setiap orang yang melakukan kekejaman,
kekerasan atau ancaman kekerasan, atau penganiayaan terhadap anak, dipidana dengan pidana
penjara paling lama 3 (tiga) tahun 6 (enam) bulan dan/atau denda paling banyak Rp
72.000.000,00 (tujuh puluh dua juta rupiah).

Menurut hemat kami, sebelum Anda membawa masalah ini ke ranah hukum, kami menyarankan
agar Anda memberikan pengertian kepada anak Anda dengan melalui pendekatan psikologis
secara baik-baik demi pemulihan mentalnya terlebih dahulu.

Adapun langkah hukum yang dapat Anda lakukan adalah dengan menyampaikan laporan
kepada pihak yang berwenang, dalam hal ini kepolisian.

Langkah lain yang juga dapat dilakukan adalah menghubungi Komisi Perlindungan Anak
Indonesia (KPAI). Menurut Pasal 74 UU Perlindungan Anak, dalam rangka meningkatkan

efektivitas penyelenggaraan perlindungan anak, dengan undang-undang ini dibentuk Komisi


Perlindungan Anak Indonesia yang bersifat independen.

Berdasarkan Pasal 3 Keputusan Presiden Nomor 77 Tahun 2003 tentang Komisi Perlindungan
Anak Indonesia, KPAI mempunyai tugas:
melakukan sosialisasi seluruh ketentuan peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan
perlindungan anak, mengumpulkan data dan informasi, menerima pengaduan masyarakat,
melakukan penelaahan, pemantauan, evaluasi, dan pengawasan terhadap penyelenggaraan
perlindungan anak;
memberikan laporan, saran, masukan, dan pertimbangan kepada Presiden dalam rangka
perlindungan anak.
Jadi, Anda sebagai orang tua yang dirugikan atas perlakukan kekerasan debt collector kepada
anak Anda dapat mengadukan tindakan tersebut kepada KPAI.

Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.

Dasar hukum:
1. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak
2. Keputusan Presiden Nomor 77 Tahun 2003 tentang Komisi Perlindungan Anak Indonesia

Referensi:
http://www.kpai.go.id/hubungi-kami/, diakses pada 11 Desember 2013 pukul 14.56 WIB

Ada Kegelisahan Penegakan Hukum


Perlindungan Anak

Upaya korban menggugat pelaku kekerasan seksual terhadap anak perlu


didorong.
FNH
Dibaca: 2831 Tanggapan: 0

Ketua KPAI, Asrorun Niam Sholeh (kiri) dan Kepala Divisi Pidana LBH Mawar
Sharon, Primayvira Limbong (kanan) dalam acara diskusi "Ngopi Bareng Kumi",
Rabu (7/5). Foto: RES

Revisi Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak (UU PA)
menjadi salah satu ide di tengah maraknya kasus kekerasan seksual yang menimpa
anak. Kepolisianmenerima banyak laporan dari masyarakat yang anggota
keluarganya menjadi korban pelecehan seksual. Setelah kasus di Jakarta
International School (JIS) terungkap, kasus sejenis banyak terungkap. Komisi
Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menetapkan status darurat perlindungan anak.
Agar kasus serupa tak terulang, KPAI memandang perlu memikirkan langkahlangkah yang menimbulkan efek jera kepada pelaku atau kepada orang yang
berpotensi
menjadi
pelaku.
Komisioner KPAI, Asrorun Niam Sholeh, melihat urgensi tanggap cepat pemerintah
untuk mengatasi maraknya kasus kekerasan seksual terhadap anak. Terutama
langkah aparat penegak hukum untuk memastikan penegakan hukum dalam kasus
semacam ini bisa berjalan maksimal. Kepada pelaku harus ada efek jera. Ironisnya,

meskipun ancaman hukuman sudah maksimal 15 tahun, aparat penegak hukum


masih belum memaksimalkannya. Walhasil, ada kegelisahan penegakan hukum
perlindungan

anak.

Ada kegelisahan dalam penegakan hukum, meskipun sudah ada hukuman


maksimal 15 tahun penjara, tapi jarang diterapkan. Dan kalaupun diterapkan, tidak
impas atas perbuatan yang dilakukan, kata Asrron dalam diskusi yang diadakan
di hukumonline,
Rabu
(07/5)
lalu.
Presiden SBY juga sudah meminta agar aparat penegak hukum menjatuhkan sanksi
berat kepada pelaku agar ada efek jera. Salah satunya, melakukan revisi terhadap
UU
Perlindungan
Anak.
Rencana revisi UU PA, kata Asrorun, sudah dibicarakan KPAI dengan Komisi VIII dan
Badan Legislasi (Baleg) DPR. KPAI juga sudah menyusun draf revisinya. Revisi ini
antara lain untuk memperkuat sanksi. Hukuman yang berat kepada pelaku di
ujung,

namun

juga

harus

disumbat

di

awal,

ungkapnya.

Ia menilai, maraknya kasus pelecehan seksual terhadap anak, dapat terjadi bukan
karena faktor longgarnya hukum di Indonesia. Tetapi juga paparan pornografi dan
cyber crime, longgarnya pengawasan keluarga dikarenakan kesibukan serta
hubungan emosional antara ibu dan anak yang juga sangat longgar. Yang perlu
diperhatikan itu faktor awalnya. Problemnya sekarang, diserahkan ke penegak
hukum,
namun
tidak
ada
langkah
proaktif,
jelas
Asruron.
Dengan adanya revisi UU PA, lanjutnya, bukan hanya persoalan proteksi yang
nantinya akan diatur, tetapi juga lebih kepada mengisi dan pemenuhan hak dasar
anak. Asruron juga menuturkan pentingnya perlindungan khusus serta perspektif
pendidikan

yang

harus

segera

diperbaiki.

Perspektif pendidikan juga harus dbongkar. Tidak sekadar kognitif saja atau fisik
sekolah, tetapi harus ada value di sana. Value di lingkungan sekolah penting untuk
memberikan

proteksi,

tuturnya.

Kepala Divisi Pidana LBH Mawar Sharon, Primayvira Limbong, menilai banyak hal
yang luput saat menangani kasus pelecehan seksual terhadap anak. Sebagai salah
satu lembaga bantuan hukum yang kerap memberikan dampingan kepada korban, ia
mengatakan kepentingan hak anak menjadi bagian yang tidak dipenuhi dalam hal
ini. Proses pengadilan hanya fokus kepada pelaku. Yang luput selama ini adalah
kepentingan
hak
anak.
Bagaimana
pemenuhannya?
Vira begitu Primavyra biasa disapa-- mendukung revisi UU PA. Tetapi revisi juga
harus dapat memberikan kepastian upaya rehabilitasi dan upaya pemenuhan
perlindungan saksi dan korban. Saat ini, lanjutnya, UU PA masih mengambang. UU

PA tidak memberikan ruang kepada korban tidak bisa melakukan gugatan kepada
pelaku, seperti yang diterapkan di luar negeri. UU kita belum berani. Kalau di luar,
korban

bisa

melakukan

gugatan

kepada

pelaku,

ungkapnya.

Vira berpendapat revisi UU PA harus menjamin adanya pemenuhan atas hak


pendidikan, pemenuhan atas hak penempatan permanen, dan pemenuhan atas hak
pemulihan psikologis. Vira sepakat dengan pemberian hukuman yang berat kepada
pelaku. Namun ia mengingatkan, penentuan hukuman jangan diambil dalam situasi
emosional. Untuk saat ini, ia berharap adanya reaksi yang cepat dari kepolisian
untuk menangani masalah ini, mulai dari penyelamatan hingga proses hukum.
Sampai saat ini, tidak ditemui adanya reaksi cepat atas kasus pelecehan seksual
anak oleh pihak kepolisian, pungkasnya.

Anda mungkin juga menyukai