Ulasan:
Karena Anda masih berusia 15 tahun, maka Anda dikategorikan sebagai anak
sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 35 tahun 2014
tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang
Perlindungan Anak (UU 35/2014):
Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk
anak yang masih dalam kandungan.
Oleh karena itu, guna menjawab pertanyaan Anda, kami mengacu padaUndangUndang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak(UU Perlindungan
Anak) sebagaimana yang telah diubah oleh UU 35/2014.
Perbuatan ibu Anda yang menyiram Anda dengan air teh panas, menampar, dan
memukul
Anda
merupakan
bentuk-bentuk
kekerasan.Kekerasan adalah
setiap
fisik,
psikis,
seksual,
dan/atau
penelantaran,
termasuk
ancaman
untuk
mekanisme
dan
langkah-langkah
penanganan
anak
korban
kekerasan,
dalamPeraturan
Menteri
Negara
Pemberdayaan
Perempuan
dan
tindakan
kekerasan
yang
dilakukan
oleh
ibu
Anda
juga
diancam
perempuan,
yang
berakibat
timbulnya
kesengsaraan
atau
pada
huruf
karena
hubungan
darah,
perkawinan,
persusuan,
berhak
melaporkan
secara
langsung
kekerasan
dalam
rumah
Jadi, Anda sendiri sebagai korban bisa melaporkan langsung kepada kepolisian atau
memberikan kuasa kepada orang lain untuk melaporkan kekerasan yang Anda alami
kepada pihak kepolisian.
Adapun ancaman sanksi bagi ibu Anda terdapat dalam Pasal 44 ayat (1) dan (2) UU
PKDRT:
(1) Setiap orang yang melakukan perbuatan kekerasan fisik dalam lingkup rumah
tangga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf a dipidana dengan pidana
penjara
paling
lama
(lima)
tahun
atau
denda
paling
banyak
Rp
Putusan:
1. Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Timur Nomor 971/Pid.Sus/2013/ PN.Jkt.Tim.
2. Putusan Pengadilan Negeri Tebing Tinggi Nomor 295/ Pid.B / 2013 / PN-TTD.
Referensi:
http://peluk.komnaspa.or.id/, diakses pada 21 April 2015 pukul 14.38 WIB.
Langkah-langkah perlindungan anak yang paling strategis adalah dimulai dari keluarga.
Keluarga adalah benteng terdekat anak-anak yang harus dijaga kekokohannya.
Menghindarkan kekerasan pada anak yang paling awal adalah memberikan penyuluhan dan
pendidikan kepada calon orang tua ataupun orang tua tentang betapa berharganya anak-anak
mereka.
Kemudian lingkungannya, kemudian sekolahnya, kemudian masyarakat luas.
Bayangkanlah, jika setiap orang dalam keluarga memiliki pemahaman yang utuh tentang
bagaimana semestinya memperlakukan anak, maka akan terbentuk lingkungan yang ramah
anak.
Lalu jika lingkungannya sudah ramah anak, maka secara bertahap masyarakatnya juga ramah
anak.
Maka, pembenahannya harus komprehensif:
saat yang sama memperjuangkan konstitusi yang memperhatikan hak-hak anak, yang menjadi
payung hukum terhadap perlindungan anak;
saat yang lain, masyarakat juga dididik dan disadarkan akan hak anak dan pemenuhan
pendidikannya secara layak.
Jadi, mari ambil posisi strategis sesuai peran masing-masing.
Yang menjadi guru, punya peluang besar mendidik dan mempersiapkan anak-anak menjadi
sosok yang sadar akan kewajiban dan haknya, peduli masa depannya dan bertanggung jawab
atas hidupnya.
Yang menjadi orang tua, marilah menjadi orang tua yang maksimal dalam mempersiapkan anakanaknya untuk menjadi manusia yang baik agamany, baik akhlaqnya, peduli sekitar dan
memberikan manfaat pada kemanusiaan.
Yang berada di jajaran birokrat, mari kawal segala kebijakan birokrasi agar dapat memenuhi hakhak anak secara seimbang dan bertanggung jawab.
Jadi, beradakah dimanakah Anda?
Mari berbuat.
R. Soesilo menjelaskan pasal tersebut dalam bukunya Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal dan menamakan perbuatan dalam
Pasal 368 ayat (1) KUHP sebagai pemerasan dengan kekerasan yang mana pemerasnya:
1. Memaksa orang lain;
2. Untuk memberikan barang yang sama sekali atau sebagian termasuk kepunyaan orang itu
sendiri atau kepunyaan orang lain, atau membuat utang atau menghapuskan piutang;
3. Dengan maksud hendak menguntungkan diri sendiri atau orang lain dengan melawan hak;
4. Memaksanya dengan memakai kekerasan atau ancaman kekerasan.
Agar tindakan debt collector dapat dikenakan terhadap pasal mengenai pengancaman ini, tentu
harus memenuhi keempat unsur di atas. Jika melihat dari pertanyaan yang Anda sampaikan dan
terbatasnya informasi yang Anda berikan, sikap debt collector tersebut mungkin tidak dengan
maksud untuk menguntungkan dirinya sendiri atau orang lain. Yang ia lakukan bisa jadi hanya
berupa pernyataan dengan cara kekerasan bernada tinggi kepada anak Anda dan tidak disertai
tindakan lain seperti memaksa anak Anda untuk memberikan suatu barang dengan maksud
menguntungkan dirinya. Dengan demikian, jika ditinjau dari KUHP, menurut hemat kami,
tindakan tersebut bukanlah merupakan tindak pidana pengancaman. Penjelasan lebih lanjut
mengenai tindak pidana pengancaman dapat Anda simak dalam artikel Pasal untuk Menjerat
Pelaku Pengancaman.
Karena fokus pertanyaan Anda mengenai anak, maka kami menggunakan dasar hukum lain di
sini, yakni Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak (UU Perlindungan
Anak). Sikap debt collector yang memperlakukan anak Anda bisa jadi berkaitan dengan salah
satu hak anak yang diatur dalam Pasal 4 UU Perlindungan Anak bahwa setiap anak berhak
untuk dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara wajar sesuai dengan harkat
dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.
Masih berkaitan dengan perlakuan terhadap anak, menurut Pasal 13 ayat (1) UU Perlindungan
Anak:
Setiap anak selama dalam pengasuhan orang tua, wali, atau pihak lain mana pun yang
bertanggung jawab atas pengasuhan, berhak mendapat perlindungan dari perlakuan:
a. diskriminasi;
b. eksploitasi, baik ekonomi maupun seksual;
c. penelantaran;
d. kekejaman, kekerasan, dan penganiayaan;
e. ketidakadilan; dan perlakuan salah lainnya
Perlakuan kekerasan dan penganiayaan menurut penjelasan Pasal 13 ayat (1) huruf d UU
Perlindungan Anak misalnya perbuatan melukai dan/atau mencederai anak, dan tidak sematamata fisik, tetapi juga mental dan sosial.
Sikap debt collector yang bertanya kamu bisa baca kan? kepada anak Anda memang belum
tentu dikatakan sebagai pengancaman, akan tetapi jika dilakukan dengan cara kekerasan,
terutama kekerasan yang melukai dan/atau mencederai mental si anak, maka sikap tersebut
telah merampas hak anak untuk mendapatkan perlindungan dari kekerasan sebagaimana
disebut dalam Pasal 4 jo. Pasal 13 ayat (1) huruf d UU Perlindungan Anak.
Berdasarkan Pasal 80 ayat (1) UU Perlindungan Anak, setiap orang yang melakukan kekejaman,
kekerasan atau ancaman kekerasan, atau penganiayaan terhadap anak, dipidana dengan pidana
penjara paling lama 3 (tiga) tahun 6 (enam) bulan dan/atau denda paling banyak Rp
72.000.000,00 (tujuh puluh dua juta rupiah).
Menurut hemat kami, sebelum Anda membawa masalah ini ke ranah hukum, kami menyarankan
agar Anda memberikan pengertian kepada anak Anda dengan melalui pendekatan psikologis
secara baik-baik demi pemulihan mentalnya terlebih dahulu.
Adapun langkah hukum yang dapat Anda lakukan adalah dengan menyampaikan laporan
kepada pihak yang berwenang, dalam hal ini kepolisian.
Langkah lain yang juga dapat dilakukan adalah menghubungi Komisi Perlindungan Anak
Indonesia (KPAI). Menurut Pasal 74 UU Perlindungan Anak, dalam rangka meningkatkan
Berdasarkan Pasal 3 Keputusan Presiden Nomor 77 Tahun 2003 tentang Komisi Perlindungan
Anak Indonesia, KPAI mempunyai tugas:
melakukan sosialisasi seluruh ketentuan peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan
perlindungan anak, mengumpulkan data dan informasi, menerima pengaduan masyarakat,
melakukan penelaahan, pemantauan, evaluasi, dan pengawasan terhadap penyelenggaraan
perlindungan anak;
memberikan laporan, saran, masukan, dan pertimbangan kepada Presiden dalam rangka
perlindungan anak.
Jadi, Anda sebagai orang tua yang dirugikan atas perlakukan kekerasan debt collector kepada
anak Anda dapat mengadukan tindakan tersebut kepada KPAI.
Dasar hukum:
1. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak
2. Keputusan Presiden Nomor 77 Tahun 2003 tentang Komisi Perlindungan Anak Indonesia
Referensi:
http://www.kpai.go.id/hubungi-kami/, diakses pada 11 Desember 2013 pukul 14.56 WIB
Ketua KPAI, Asrorun Niam Sholeh (kiri) dan Kepala Divisi Pidana LBH Mawar
Sharon, Primayvira Limbong (kanan) dalam acara diskusi "Ngopi Bareng Kumi",
Rabu (7/5). Foto: RES
Revisi Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak (UU PA)
menjadi salah satu ide di tengah maraknya kasus kekerasan seksual yang menimpa
anak. Kepolisianmenerima banyak laporan dari masyarakat yang anggota
keluarganya menjadi korban pelecehan seksual. Setelah kasus di Jakarta
International School (JIS) terungkap, kasus sejenis banyak terungkap. Komisi
Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menetapkan status darurat perlindungan anak.
Agar kasus serupa tak terulang, KPAI memandang perlu memikirkan langkahlangkah yang menimbulkan efek jera kepada pelaku atau kepada orang yang
berpotensi
menjadi
pelaku.
Komisioner KPAI, Asrorun Niam Sholeh, melihat urgensi tanggap cepat pemerintah
untuk mengatasi maraknya kasus kekerasan seksual terhadap anak. Terutama
langkah aparat penegak hukum untuk memastikan penegakan hukum dalam kasus
semacam ini bisa berjalan maksimal. Kepada pelaku harus ada efek jera. Ironisnya,
anak.
namun
juga
harus
disumbat
di
awal,
ungkapnya.
Ia menilai, maraknya kasus pelecehan seksual terhadap anak, dapat terjadi bukan
karena faktor longgarnya hukum di Indonesia. Tetapi juga paparan pornografi dan
cyber crime, longgarnya pengawasan keluarga dikarenakan kesibukan serta
hubungan emosional antara ibu dan anak yang juga sangat longgar. Yang perlu
diperhatikan itu faktor awalnya. Problemnya sekarang, diserahkan ke penegak
hukum,
namun
tidak
ada
langkah
proaktif,
jelas
Asruron.
Dengan adanya revisi UU PA, lanjutnya, bukan hanya persoalan proteksi yang
nantinya akan diatur, tetapi juga lebih kepada mengisi dan pemenuhan hak dasar
anak. Asruron juga menuturkan pentingnya perlindungan khusus serta perspektif
pendidikan
yang
harus
segera
diperbaiki.
Perspektif pendidikan juga harus dbongkar. Tidak sekadar kognitif saja atau fisik
sekolah, tetapi harus ada value di sana. Value di lingkungan sekolah penting untuk
memberikan
proteksi,
tuturnya.
Kepala Divisi Pidana LBH Mawar Sharon, Primayvira Limbong, menilai banyak hal
yang luput saat menangani kasus pelecehan seksual terhadap anak. Sebagai salah
satu lembaga bantuan hukum yang kerap memberikan dampingan kepada korban, ia
mengatakan kepentingan hak anak menjadi bagian yang tidak dipenuhi dalam hal
ini. Proses pengadilan hanya fokus kepada pelaku. Yang luput selama ini adalah
kepentingan
hak
anak.
Bagaimana
pemenuhannya?
Vira begitu Primavyra biasa disapa-- mendukung revisi UU PA. Tetapi revisi juga
harus dapat memberikan kepastian upaya rehabilitasi dan upaya pemenuhan
perlindungan saksi dan korban. Saat ini, lanjutnya, UU PA masih mengambang. UU
PA tidak memberikan ruang kepada korban tidak bisa melakukan gugatan kepada
pelaku, seperti yang diterapkan di luar negeri. UU kita belum berani. Kalau di luar,
korban
bisa
melakukan
gugatan
kepada
pelaku,
ungkapnya.