KELAS : 4-A
NIM : 18010000036
Pria di Sulawesi barat Cekik dan Aniaya Istrinya Hanya Gara-gara Menelepon Laki-
laki Lain
"Pelaku ditangkap tanpa perlawanan lalu dibawa ke Mapolsek Baras," kata AKP Hadi via
whatsapp, Senin (13/7/2020).Berdasarkan keterangan korban, pelaku mencekik leher korban
lalu didorong ke tembok kamar.
Korban kembali dicekik kemudian didorong kembali ke tembok lalu mencengkram leher baju
dan dihempaskan ke tembok.
AM ditangkap berdasarkan laporan polisi LP / 43/ VII / 2020 / Sek Baras Tgl 11 Juli 2020
tentang penganiayaan yang dilakukan kepada istrinya.
"Hasil pemeriksaan pelaku mengakui telah melakukan penganiayaan tersebut karena curiga
korban menelepon laki-laki lain di mana hubungan korban dengan tersangka AM sejak 3
tahun terakhir dalam kondisi kurang harmonis," ungkapnya.
"Jadi dugaannya karena cemburu," sambungnya.
Untuk sementara tersangka dilakukan pemeriksaan oleh penyidik guna mendalaminya lebih
lanjut kejadian tersebut.
ANALISIS :
Kekerasan dalam Rumah Tangga adalah setiap perbuatan terhadap seseorang terutama
perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual,
psikologis, dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan
perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup
rumah tangga (lihat Pasal 1 angka 1 UU No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan
Dalam Rumah Tangga –“UU KDRT”).
UU KDRT juga telah memberikan larangan bagi setiap orang untuk melakukan kekerasan
baik kekerasan fisik, kekerasan psikis, kekerasan seksual maupun penelantaran rumah tangga
terhadap orang dalam lingkup rumah tangganya (lihat Pasal 5 UU KDRT). Kekerasan fisik
yang dimaksud pasal tersebut adalah perbuatan yang mengakibatkan rasa sakit, jatuh sakit,
atau luka berat (lihat Pasal 6 UU KDRT) sehingga termasuk pula perbuatan menampar,
menendang dan menyulut dengan rokok adalah dilarang.
Pasal 26 ayat (1) UU KDRT menentukan bahwa yang dapat melaporkan secara langsung
adanya KDRT kepada polisi adalah korban. Sebaliknya, keluarga atau pihak lain tidak dapat
melaporkan secara langsung adanya dugaan KDRT kecuali telah mendapat kuasa dari korban
(lihat Pasal 26 ayat [2] UU KDRT).
Meski demikian, pihak keluarga masih dapat melakukan tindakan lain untuk mencegah
berlanjutnya kekerasan terhadap korban. Kewajiban masyarakat untuk turut serta dalam
pencegahan KDRT ini diatur dalam Pasal 15 UU KDRT yang berbunyi sebagai berikut:
“Setiap orang yang mendengar, melihat, atau mengetahui terjadinya kekerasan dalam rumah
tangga wajib melakukan upaya-upaya sesuai dengan batas kemampuannya untuk:
Dengan demikian, berdasarkan ketentuan di atas, yang dapat Anda lakukan sebagai kakak
adalah sebagaimana disebutkan dalam poin a s.d. poin d di atas. UU KDRT menyebutkan
bahwa permohonan (poin d) dapat disampaikan dalam bentuk lisan atau tulisan. Ditegaskan
pula dalam hal permohonan perintah perlindungan diajukan oleh keluarga, teman korban,
kepolisian, relawan pendamping, atau pembimbing rohani, maka korban harus memberikan
persetujuannya. Namun, dalam keadaan tertentu, permohonan dapat diajukan tanpa
persetujuan korban (lihat Pasal 30 ayat [1], ayat [3], dan ayat [4] UU KDRT). Yang dimaksud
dengan ”keadaan tertentu” dalam ketentuan tersebut, misalnya: pingsan, koma, dan sangat
terancam jiwanya. Simak pula Bagaimana Jika Korban KDRT Tidak Mau Melapor ke Polisi?
Selain itu, korban KDRT dilindungi haknya oleh UU KDRT yaitu untuk mendapatkan (Pasal
10 UU KDRT):
d. pendampingan oleh pekerja sosial dan bantuan hukum pada setiap tingkat proses
pemeriksaan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; dan
Ancaman pidana terhadap kekerasan fisik dalam lingkup rumah tangga ini adalah pidana
penjara pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau denda paling banyak Rp15 juta (lihat
Pasal 44 ayat [1] UU KDRT). Dan khusus bagi KDRT yang dilakukan oleh suami terhadap
istri yang tidak menimbulkan penyakit atau halangan untuk menjalankan pekerjaan jabatan
atau mata pencaharian atau kegiatan sehari-hari, ancaman pidananya adalah pidana penjara
paling lama 4 (empat) bulan atau denda paling banyak Rp5 juta (lihat Pasal 44 ayat [4] UU
KDRT).
Untuk kekerasan fisik maupun psikis yang tidak menimbulkan penyakit atau halangan untuk
menjalankan pekerjaan jabatan atau mata pencaharian atau kegiatan sehari-hari adalah
merupakan delik aduan (lihat Pasal 51 dan 52 UU KDRT) yaitu proses pidana hanya bisa
dilakukan apabila ada pengaduan atau laporan dari orang yang menjadi korban tindak pidana
(atau kuasanya). Menurut Mr. Drs. E Utrecht dalam bukunya Hukum Pidana II, dalam delik
aduan, penuntutan terhadap delik tersebut digantungkan pada persetujuan dari yang dirugikan
(korban). Pada delik aduan ini, korban tindak pidana dapat mencabut laporannya kepada
pihak yang berwenang apabila di antara mereka telah terjadi suatu perdamaian. Pencabutan
pengaduan ini dapat dilakukan dalam waktu 3 (tiga) bulan setelah pengaduan diajukan (lihat
Pasal 75 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana).
Dasar hukum:
1. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (Wetboek van Strafrecht, Staatsblad 1915 No 73);
Pasal 26 ayat (1) UU KDRT menentukan bahwa yang dapat melaporkan secara langsung
adanya KDRT kepada polisi adalah korban. Sebaliknya, keluarga atau pihak lain tidak dapat
melaporkan secara langsung adanya dugaan KDRT kecuali telah mendapat kuasa dari korban
(lihat Pasal 26 ayat [2] UU KDRT).
Meski demikian, pihak keluarga masih dapat melakukan tindakan lain untuk mencegah
berlanjutnya kekerasan terhadap korban. Kewajiban masyarakat untuk turut serta dalam
pencegahan KDRT ini diatur dalam Pasal 15 UU KDRT yang berbunyi sebagai berikut:
“Setiap orang yang mendengar, melihat, atau mengetahui terjadinya kekerasan dalam rumah
tangga wajib melakukan upaya-upaya sesuai dengan batas kemampuannya untuk:
Dengan demikian, berdasarkan ketentuan di atas, yang dapat Anda lakukan adalah
sebagaimana disebutkan dalam poin a s.d. poin d di atas. UU KDRT menyebutkan bahwa
permohonan (poin d) dapat disampaikan dalam bentuk lisan atau tulisan. Ditegaskan pula
dalam hal permohonan perintah perlindungan diajukan oleh keluarga, teman korban,
kepolisian, relawan pendamping, atau pembimbing rohani, maka korban harus memberikan
persetujuannya. Namun, dalam keadaan tertentu, permohonan dapat diajukan tanpa
persetujuan korban (lihat Pasal 30 ayat [1], ayat [3], dan ayat [4] UU KDRT). Yang dimaksud
dengan ”keadaan tertentu” dalam ketentuan tersebut, misalnya: pingsan, koma, dan sangat
terancam jiwanya. Simak pula Bagaimana Jika Korban KDRT Tidak Mau Melapor ke Polisi?
Selain itu, korban KDRT dilindungi haknya oleh UU KDRT yaitu untuk mendapatkan (Pasal
10 UU KDRT):
d. pendampingan oleh pekerja sosial dan bantuan hukum pada setiap tingkat proses
pemeriksaan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; dan
Ancaman pidana terhadap kekerasan fisik dalam lingkup rumah tangga ini adalah pidana
penjara pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau denda paling banyak Rp15 juta (lihat
Pasal 44 ayat [1] UU KDRT). Dan khusus bagi KDRT yang dilakukan oleh suami terhadap
istri yang tidak menimbulkan penyakit atau halangan untuk menjalankan pekerjaan jabatan
atau mata pencaharian atau kegiatan sehari-hari, ancaman pidananya adalah pidana penjara
paling lama 4 (empat) bulan atau denda paling banyak Rp5 juta (lihat Pasal 44 ayat [4] UU
KDRT).
Penegakan hukumnya selain menggunakan UU No. 23 tahun 2004 tentang
Penghapusan KDRT juga menggunakan KUHP dan UU No. 23 tahun 2002 tentang
Perlindungan Anak. Tercatat sejumlah sanksi pidana penjara antara 6 bulan hingga 2 tahun 6
bulan. yang telah diputuskan oleh Pengadilan Negeri dengan menggunakan pasal-pasal UU
No. 23 tahun 2004 diantaranya pasal 49 jo pasal 9 dan pasal 279 KUHP untuk tindak
penelantaran dan suami menikah lagi tanpa ijin istri; pasal 44 untuk tindak kekerasan fisik;
pasal 45 untuk tindak kekerasan psikis berupa pengancaman. Sedangkan putusan Pengadilan
dengan sanksi pidana penjara yang lebih tinggi hingga 6 tahun diputuskan terhadap sejumlah
kasus dalam relasi KDRT, yang didakwa dan dituntut dengan menggunakan pasal-pasal
KUHP (pasal 351, 352, 285, 286 jo 287, 289 & 335 untuk kasus penganiayaan anak dan
perkosaan anak); pasal 81 & 82 UU No. 23 tahun 2002 dan pasal 287 & 288 KUHP untuk
kasus perkosaan anak. Belum ditemukan tuntutan yang menggunakan ancaman pidana
penjara atau denda maksimal sebagaimana yang diatur dalam UU Penghapusan KDRT ini.
Selain itu dibutuhkan pula kondisi penegakan hukum yang bebas dan bersih dari korupsi,
suap dan kolusi di seluruh jajaran lembaga penegak hukum, layanan sosial dan layanan
publik yang terkait.