Anda di halaman 1dari 21

Dugaan Kematian akibat Kekerasan pada Anak

Livia Theda
102016034
Mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana
Email: livia.2016fk034@civitas.ukrida.ac.id

Abstract
Child abuse is an event that still prevalent in society. The violence will certainly result
in injury, both to the child's body or to the child's psychic. The family, especially parents,
should be a place where children could get a sense of security and comfort, but unfortunately
those people are also the ones who can commit acts of violence against children. Excessive
violence can also cause unnatural deaths and can be seen during an autopsy on the victim's
body. There is already a law that protects children from acts of violence in the laws and
regulations of the Republic of Indonesia.
Keywords: Child abuse, parents, law

Abstrak
Kasus kekerasan pada anak merupakan kejadian yang masih banyak terjadi di
masyarakat. Kekerasan tersebut tentu akan mengakibatkan luka, baik pada tubuh anak ataupun
pada psikis anak. Seharusnya keluarga, khususnya orang tua menjadi tempat di mana anak
mendapatkan rasa aman dan nyaman tetapi sayangnya orang-orang itu juga lah yang dapat
melakukan tindakan kekerasan terhadap anak. Kekerasan yang dilakukan secara berlebihan
pun dapat menyebabkan kematian yang tidak wajar dan dapat terlihat saat dilakukan autopsi
pada tubuh korban. Sudah ada hukum yang melindungi anak dari tindakan kekerasan dalam
peraturan perundang-undangan Republik Indonesia.
Kata kunci: Kekerasan pada anak, orang tua, hukum

Pendahuluan
Forensik merupakan salah satu cabang ilmu kedokteran yang mempelajari ilmu
kedokteran dikaitkan untuk kepentingan penegakkan hukum serta keadilan. Untuk
penyelidikan, penyidikan serta penyelesaian masalah hukum di pengadilan sampai akhirnya
pemutusan perkara, diperlukan bantuan berbagai ahli di bidang terkait untuk memperjelas
jalannya peristiwa serta keterkaitan antara tindakan yang satu dengan yang lain dalam
rangkaian peristiwa tersebut. Dalam suatu tindak pidana terutama bila korban meninggal,
dokter diharapkan dapat menjelaskan penyebab kematian yang bersangkutan, mekanisme
terjadinya kematian tersebut, membantu memperkirakan saat kematian serta perkiraan cara
kematian. Untuk mengetahui semua itu, diperlukan mediko-legal, tanatologi, traumatologi,
dan segala sesuatu yang terkait agar dokter dapat memenuhi kewajibannya dalam membantu

1
penyidik serta dapat dengan benar memanfaatkan segala pengetahuan kedokterannya untuk
kepentingan peradilan serta kepentingan lain yang bermanfaat bagi kehidupan masyarakat.1,2

Aspek Hukum dan Medikolegal


Aspek Hukum
Berikut ini adalah hukum dan peraturan yang berlaku di Indonesia yang berkaitan dengan
kekerasan terhadap anak.1,3-9
1. KUHP Pasal 351
(1) Penganiayaan diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan
atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah,
(2) Jika perbuatan mengakibatkan luka-luka berat, yang bersalah diancam dengan
pidana penjara paling lama lima tahun.
(3) Jika mengakibatkan mati, diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun.
(4) Dengan penganiayaan disamakan sengaja merusak kesehatan.
(5) Percobaan untuk melakukan kejahatan ini tidak dipidana.

2. KUHP Pasal 353


(1) Penganiayaan dengan rencana terlebih dahulu, diancam dengan pidana penjara
paling lama empat tahun.
(2) Jika perbuatan itu mengakibatkan luka-luka berat, yang bersalah dikenakan pidana
penjara paling lama tujuh tahun.
(3) Jika perbuatan itu mengakibatkan kematian yang bersalah diancam dengan pidana
penjara paling lama sembilan tahun.

3. KUHP Pasal 354


(1) Barang siapa sengaja melukai berat orang lain, diancam karena melakukan
penganiayaan berat dengan pidana penjara paling lama delapan tahun.
(2) Jika perbuatan itu mengakibatkan kematian, yang bersalah diancam dengan pidana
penjara paling lama sepuluh tahun.

4. KUHP Pasal 355


(1) Penganiayaan berat yang dilakukan dengan rencana terlebih dahulu, diancam
dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun.

2
(2) Jika perbuatan itu mengakibatkan kematian, yang bersalah diancam dengan pidana
penjara paling lama lima belas tahun.

5. KUHP Pasal 356 ayat 1


Pidana yang ditentukan dalam pasal 351, 353, 354, dan 355 dapat ditambah dengan
sepertiga:
1. Bagi yang melakukan kejahatan itu terhadap ibunya, bapaknya yang sah, istrinya,
atau anaknya

6. KUHAP Pasal 108 ayat 1,3


(1) Setiap orang yang mengalami, melihat, menyaksikan, dan atau menjadi korban
peristiwa yang merupakan tindak pidana berhak untuk mengajukan laporan atau
pengaduan kepada penyelidik dan atau penyidik baik lisan maupun tertulis.
(3) Setiap pegawai negeri dalam rangka melaksanakan tugasnya yang mengetahui
tentang terjadinya peristiwa yang merupakan tindak pidana wajib segera
melaporkan hal itu kepada penyelidik atau penyidik.

7. Undang-Undang Republik Indonesia No. 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak


Pasal 13
(1) Setiap anak selama dalam pengasuhan orang tua, wali, atau pihak lain mana pun
yang bertanggung jawab atas pengasuhan, berhak mendapat perlindungan dari
perlakuan:
a. diskriminasi;
b. eksploitasi, baik ekonomi maupun seksual;
c. penelantaran;
d. kekejaman, kekerasan, dan penganiayaan;
e. ketidakadilan;
f. perlakuan salah lainnya.
(2) Dalam hal orang tua, wali atau pengasuh anak melakukan segala bentuk perlakuan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), maka pelaku dikenakan pemberatan
hukuman.

3
8. Undang-Undang Republik Indoensia No. 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak
Pasal 18
Setiap anak yang menjadi korban atau pelaku tindak pindana berhak mendapatkan
bantuan hukum dan bantuan lainnya.

9. Undang-Undang Republik Indonesia No. 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak


Pasal 78
Setiap orang yang mengetahui dan sengaja membiarkan anak dalam situasi darurat
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60, anak yang berhadapan dengan hukum, anak
dari kelompok minoritas dan terisolasi, anak yang tereksploitasi secara ekonomi
dan/atau seksual, anak yang diperdagangkan, anak yang menjadi korban
penyalahgunaan narkotika, alkohol, psikotropika, dan zat adiktif lainnya (napza), anak
korban penculikan, anak korban perdagangan, atau anak korban kekerasan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59, padahal anak tersebut memerlukan
pertolongan dan harus dibantu, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima)
tahun dan/atau denda paling banyak Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah).

10. Undang-Undang Republik Indonesia No. 35 Tahun 2014 Tentang Perlindungan Anak
Pasal 76 C
Setiap Orang dilarang menempatkan, membiarkan, melakukan, menyuruh melakukan,
atau turut serta melakukan Kekerasan terhadap Anak.

11.Undang-Undang Republik Indonesia No. 35 Tahun 2014 Tentang Perlindungan Anak


Pasal 80
1. Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
76C, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun 6 (enam) bulan
dan/atau denda paling banyak Rp 72.000.000,00 (tujuh puluh dua juta rupiah).
2. Dalam hal anak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) luka berat, maka pelaku
dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda
paling banyak Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah).
3. Dalam hal anak sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) mati, maka pelaku
dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan/atau
denda paling banyak Rp 3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah).

4
4. Pidana ditambah sepertiga dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
ayat (2), dan ayat apabila yang melakukan penganiayaan tersebut Orang
Tuanya.

Aspek Medikolegal
Alur pelayanan medikolegal di rumah sakit dimuali dari datangnya pihak korban ke
polisi atau langsung ke IGD atau poliklinik di rumah sakit. Jika korban datang ke polisi,
biasanya polisi akan membuatkan surat permintaan visum ke rumah sakit. Jika pihak korban
sudah membawa surat permintaan visum, maka dokter akan membuatkan visum. Namun jika
pihak korban tidak membawa surat tersebut makanya hanya akan dibuatkan surat keterangan
dokter atau hanya dibuatkan rekam medik forensik jika diduga terkait kasus pidana.
Dalam menangani berbagai kasus yang menyangkut manusia, seorang dokter dapat
mempunyai peranan ganda, yaitu sebagai ahli klinik dan sebagai ahli forensik yang bertugas
untuk membantu proses peradilan. Kewajiban itu juga diatur dalam peraturan perundang-
undangan yang berlaku di Indonesia. 1,3-9
1. KUHAP Pasal 133
(1) Dalam hal penyidik untuk kepentingan peradilan menangani seorang korban baik
luka, keracunan ataupun mati yang diduga karena peristiwa yang merupakan
tindak pidana, ia berwenang mengajukan permintaan keterangan ahli kepada ahli
kedokteran kehakiman atau dokter dan atau ahli lainnya.
(2) Permintaan keterangan ahli sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan
secara tertulis, yang dalam surat itu disebutkan dengan tegas untuk pemeriksaan
luka atau pemeriksaan mayat dan atau pemeriksaan bedah mayat.
(3) Mayat yang dikirim kepada ahli kedokteran kehakiman atau dokter pada rumah
sakit harus diperlakukan secara baik dengan penuh penghormatan terhadap
mayat tersebut dan diberi label yang memuat identitas mayat, dilak dengan diberi
cap jabatan yang dilekatkan pada ibu jari kaki atau bagian lain badan mayat.

2. KUHAP Pasal 134


(1) Dalam hal sangat diperlukan dimana untuk keperluan pembuktian bedah mayat
tidak mungkin lagi dihindari, penyidik wajib memberitahukan terlebih dahulu
kepada keluarga korban.
(2) Dalam hal keluarga keberatan, penyidik wajib menerangkan dengan sejelas-
jelasnya tentang maksud dan tujuan perlu dilakukannya pembedahan tersebut.

5
(3) Apabila dalam waktu dua hari tidak ada tanggapan apapun dari keluarga atau
pihak yang diberi tahu tidakdiketemukan, penyidik segera melaksanakan
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 133 ayat 3 undang-undang ini.

3. KUHAP Pasal 179


(1) Setiap orang yang diminta pendapatnya sebagai ahli kedokteran kehakiman atau
dokter atau ahli lainnya wajib memberikan keterangan ahli demi keadilan.
(2) Semua ketentuan tersebut di atas untuk saksi berlaku juga bagi mereka yang
memberikan keterangan ahli, dengan ketentuan bahwa mereka mengucapkan
sumpah atau janji akan memberikan keterangan yang sebaik-baiknya dan yang
sebenarnya menurut pengetahuan dalam bidang keahliannya.

4. KUHAP Pasal 184


(1) Alat bukti yang sah ialah:
a. keterangan saksi;
b. keterangan ahli;
c. surat;
d. petunjuk;
e. keterangan terdakwa.
(2) Hal yang secara umum sudah diketahui tidak perlu dibuktikan.

5. KUHAP Pasal 186


Keterangan ahli ialah apa yang seorang ahli nyatakan di sidang pengadilan.

6. KUHAP Pasal 187 C


Surat sebagaimana tersebut pada Pasal 184 ayat (1) huruf c, dibuat atas sumpah
jabatan atau dikuatkan dengan sumpah, adalah: (c) surat keterangan dari seorang ahli
yang memuat pendapat berdasarkan keahliannya mengenai sesuatu hal atau sesuatu
keadaan yang diminta secara resmi dan padanya.

7. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 1981 Pasal 2


Bedah mayat klinis hanya boleh dilakukan dalam keadaan sebagai berikut:

6
a. Dengan persetujuan tertulis penderita dan atau keluarganya yang terdekat
setelah penderita meninggal dunia, apabila sebab kematiannya belum dapat
ditentukan dengan pasti;
b. Tanpa persetujuan penderita atau keluarganya yang terdekat, apabila di duga
penderita menderita penyakit yang dapat membahayakan orang atau
masyarakat sekitarnya;
c. Tanpa persetujuan penderita atau keluarganya yang terdekat, apabila dalam
jangka waktu 2 x 24 (dua kali dua puluh empat) jam tidak ada keluarga
terdekat dari yang meninggal dunia datang ke rumah sakit.

8. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 1992 Tentang Kesehatan Pasal


70
(1) Dalam melaksanakan penelitian dan pengembangan dapat dilakukan bedah
mayat untuk penyelidikan sebab penyakit dan atau sebab kematian serta
pendidikan tenaga kesehatan.
(2) Bedah mayat hanya dapat dilakukan koleh tenaga kesehatan yang mempunyai
keahlian dan kewenangan untuk itu dan dengan memperhatikan norma yang
berlaku dalam masyarakat.
(3) Ketentuan mengenai bedah mayat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan
ayat (2) ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.

9. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan Pasal


121
1. Bedah mayat klinis dan bedah mayat anatomis hanya dapat dilakukan oleh
dokter sesuai dengan keahlian dan kewenangannya.
2. Dalam hal pada saat melakukan bedah mayat klinis dan bedah mayat anatomis
ditemukan adanya dugaan tindak pidana, tenaga kesehatan wajib melaporkan
kepada penyidik sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

10. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan Pasal
122 ayat 1 dan 2.
1. Untuk kepentingan penegakan hukum dapat dilakukan bedah mayat forensik
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

7
2. Bedah mayat forensik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh
dokter ahli forensik, atau oleh dokter lain apabila tidak ada dokter ahli forensik
dan perujukan ke tempat yang ada dokter ahli forensiknya tidak dimungkinan.

11. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan Pasal
124
Tindakan bedah mayat oleh tenaga kesehatan harus dilakukan sesuai dengan norma
agama, norma kesusilaan, dan etika profesi.

Pemeriksaan Medis
Pemeriksaan medis yang dilakukan disebut juga autopsi. Ada dua jenis autopsi, yaitu
autopsi klinik dan autopsi forensik atau medikolegal. Autopsi klinik dilakukan terhadap mayat
seseorang yang menderita penyakit, dirawat di rumah sakit namun kemudian meninggal
dengan tujuan untuk menentukan sebab kematian yang pasti. Sedangkan autopsi forensik
dilakukan terhadap mayat seseorang berdasarkan peraturan perundang-undangan dengan
tujuan untuk menentukan identitas, sebab pasti kematian, mengumpulkan bukti, membuat
laporan tertulis, serta membantu menentukan orang yang bersalah dan melindungi orang yang
tidak bersalah.2
Untuk melakukan autopsi forensik diperlukan Surat Permintaan Pemeriksaan atau
Pembuatan Visum et Repertum dari pihak yang berwenang, yaitu pihak penyidik. Dalam hal
ini, izin keluarga tidak diperlukan. Pelaksanaan autopsi forensik harus dilakukan secara
lengkap dan menyeluruh, yaitu pemeriksaan luar dan dalam. Dapat juga dilakukan
pemeriksaan tambahan jika diperlukan, seperti pemeriksaan toksikologi forensik, serologi
forensik, dan lainnya. Selain itu, autopsi harus dilakukan sedini mungkin dan dilakukan
sendiri oleh dokter serta diperlukan pemeriksaan dan pencatatan yang seteliti mungkin.2,9
Pemeriksaan luar yang dilakukan harus mengikuti sistematika yang diawali dengan
memeriksa dan mencatat label mayat, tutup mayat, serta bungkus mayat secara detail.
Kemudian dilanjutkan dengan mencatat pakaian, perhiasan, dan benda di samping mayat
dengan teliti. Selanjutnya melakukan pencatatan tanda-tanda kematian, seperti lebam mayat,
kaku mayat, suhu tubuh mayat, pembusukan, dan lainnya. Tidak lupa juga perlu dicatat
identitas mayat secara umum dan khusus. Pencatatan identitas khusus yang dimaksud seperti
tattoo, jaringan parut, kapalan, kelainan pada kulit, serta anomali atau kecacatan pada tubuh.
Setelah itu dilanjutkan dengan pemeriksaan rambut, mata, daun telinga, hidung, mulut dan
rongga mulut, dan alat kelamin. Tidak hanya itu, perlu juga diperhatikan kemungkinan

8
terjadinya ikterus, perubahan warna kebiruan di ujung jari, edema, sembab, tanda
perbendungan, bekas pengobatan, dan benda asing lainnya. Perlu juga dilakukan pemeriksaan
dan pencatatan secara teliti mengenai tanda-tanda kekerasan atau luka serta pemeriksaan patah
tulang. 2,9-11
Pemeriksaan dalam pada mayat dilakukan dengan pembedahan. Mayat akan
diletakkan terlentang dengan bagian bahu ditinggikan atau diganjal dengan sepotong balok
kecil. Insisi yang dilakukan ada 2 jenis, yaitu insisi I dan Y. Insisi I dimulai dari bagian bawah
dagu diteruskan ke arah umbilikus, melingkari umbilikus, dan dilanjutkan sampai ke simpisis
pubis. Sedangkan pada insisi Y, dimulai dari puncak kedua bahu dipertemukan di garis
pertengahan kira-kira setinggi insisura jugularis. Umumnya, insisi I merupakan insisi yang
ideal dilakukan, namun atas indikasi kosmetik dapat dipertimbangkan untuk melakukan insisi
Y. Setelah melakukan insisi, perlu diperhatikan juga letak organ serta keadaan rongga tubuh
pada mayat. Untuk pemeriksaan lebih lanjut, organ-organ dalam mayat pun dikeluarkan. 2,9-11
Ada 4 teknik untuk mengeluarkan organ dari tubuh mayat, yaitu: teknik Virchow,
Rokitansky, Letulle, dan Ghon. Teknik Virchow merupakan teknik yang tertua yang
dilakukan dengan cara mengeluarkan dan memeriksa organ satu per satu, namun cara ini
kurang baik untuk dilakukan pada kasus penusukkan atau penembakkan karena tidak dapat
menentukan arah serta dalamnya penetrasi yang terjadi. Teknik Rokitansky adalah teknik
yang dilakukan dengan melakukan beberapa irisan in situ kemudian baru seluruh organ
dikeluarkan dalam kumpulan-kumpulan organ. Namun teknik ini jarang dipakai karena tidak
baik untuk digunakan pada autopsi forensik. Teknik Letulle merupakan teknik yang dilakukan
dengan mengeluarkan organ sekaligus dari leher hingga organ perut dengan mempertahankan
hubungan antar organ. Namun teknik ini tidak dapat dilakukan sendiri karena sulit untuk
mengeluarkan organ yang panjang sekaligus. Teknik Ghon merupakan teknik mengeluarkan
organ tubuh secara berkelompok, yaitu organ leher dan dada, organ pencernaan bersama hati
dan limpa, dan organ urogenital. 2,9-11
Menurut kasus, pada pemeriksaan luar korban ditemukan luka memar pada kepala,
dada, paha, dan bokong berwarna merah, biru, dan hijau. Selain itu juga ditemukan adanya
beberapa jaringan parut berbentuk bulat pada kepala, paha, bokong, pipi, dan lengan. Pada
pemeriksaan dalam ditemukan adanya perdarahan di atas selaput meningen dan memar pada
batang otak, sedangkan organ-organ lainnya dalam batas normal.

9
Tanatologi
Tanatologi merupakan bagian dari ilmu kedokteran forensik yang mempelajari tentang
kematian dan perubahan yang terjadi setelah kematian serta faktor yang mempengaruhinya.2
Dalam tanatologi, mati dapat dibagi menjadi 5, yaitu mati somatis, mati suri, mati
seluler, mati serebral, dan mati batang otak. Mati somatis atau yang dikenal dengan mati klinis
merupakan keadaan di mana terhentinya sistem penunjang kehidupan, yaitu sistem saraf
pusat, sistem kardiovaskular, dan sistem pernapasan yang menetap. Mati suri merupakan
terhentinya sistem penunjang kehidupan berdasarkan pemeriksaan dengan alat kedokteran
sederhana, namun masih terdeteksi adanya tanda kehidupan dengan alat yang lebih canggih.
Mati seluler merupakan keadaan kematian organ dan jaringan tubuh beberapa saat setelah
kematian somatis. Umumnya susunan saraf akan mengalami kematian seluler dalam waktu 4
menit, otot masih dapat terangsang hingga 2 jam dan mengalami mati seluler dalam 4 jam,
serta dilatasi pupil masih dapat dirangsang dengan adrealin atau sulfas atropin hingga 20 jam
pasca kematian somatis. Selain itu, kulit masih dapat berkeringat hingga 8 jam dengan
rangsangan dari asetilkolin atau pilokarpin, kornea masih dapat ditransplantasikan, dan darah
masih dapat digunakan untuk transfusi hingga 6 jam pasca kematian. Mati serebral merupakan
kerusakan kedua hemisfer otak, selain batang otak dan serebelum, namun kedua fungsi utama
lainnya masih berjalan dengan bantuan alat. Sedangkan mati batang otak berarti terjadi
kerusakan intrakranial yang ireversibel, termasuk batang otak dan serebelum maka secara
keseluruhan seseorang tidak dapat dinyatakan hidup lagi.2
Kematian sendiri memiliki tanda-tanda, baik tanda pasti ataupun tidak. Tanda-tanda
kematian tidak pasti, antara lain pernapasan terhenti selama lebih dari 10 menit, sirkulasi
terhenti selama 15 menit dinilai dari arteri karotis, kulit pucat dan wajah tampak kebiruan,
tonus otot menghilang dan relaksasi, segmentasi pembuluh retina, dan pengeringan kornea
mata yang menimbulkan kekeruhan dalam waktu 10 menit.2
Tanda-tanda pasti kematian, yaitu lebam mayat, kaku mayat, penurunan suhu mayat,
pembusukan, adiposera, dan mumifikasi.2
1. Lebam mayat umumnya terjadi 20-30 menit pasca kematian, kemudian menjadi
lengkap dan menetap dalam waktu 8-12 jam. Sebelum waktu tersebut, lebam dapat
hilang saat ditekan dan berpindah saat posisi mayat diubah. Darah masih cukup cair
setelah 24 jam sehingga sejumlah darah masih dapat mengalir dan berpindah tempat
membentuk lebam yang baru. Terkadang bisa dijumpai juga warna biru kehitaman
akibat pecahnya pembuluh darah. Selain untuk menentukan jangka waktu kematian,
lebam mayat juga dapat digunakan untuk menentukan sebab kematian, misalnya

10
lebam akibat keracunan CO atau CN akan berwarna merah terang, sedangkan
keracunan nitrit atau nitrat akan berwarna kecoklatan. Tidak hanya itu, lebam mayat
juga dapat digunakan untuk membedakan dengan resapan darah akibat trauma. Bila
dilakukan irisan, warna merah pada lebam mayat akan hilang sedangkan resapan
trauma tidak.
2. Kaku mayat umumnya terjadi kira-kira 2 jam setelah mati klinis. Hal ini terjadi
akibat habisnya cadangan glikogen dalam otot sehingga tidak ada lagi ADP yang
dapat diubah menjadi ATP untuk energi otot.
3. Penurunan suhu juga terjadi karena adanya perpindahan panas melalui radiasi,
konduksi, konveksi, dan evaporasi. Penurunan suhu ini dapat dipengaruhi oleh
beberapa faktor seperti suhu lingkungan, kelembaban udara, posisi dan bentuk
tubuh, dan pakaian. Penelitian mengatakan, pada mayat yang telanjang terjadi
penurunan suhu sebesar 0,55 derajat celcius tiap 3 jam pertama, kemudian 1,1
derajat celcius 6 jam berikutnya, dan kira-kira 0,8 derajat celcius tiap jam
selanjutnya. Pengukuran ini dapat dilakukan dengan melakukan 4-5 kali pengukuran
suhu rektal berjarak kurang lebih 15 menit, dengan suhu lingkungan tetap dan suhu
saat kematian 37 derajat. Namun sekarang penghitungan dapat dilakukan dengan
komputer.
4. Pembusukkan mayat umumnya tampak 24 jam setelah kematian akibat proses
degradasi oleh bakteri. Perut kanan bawah tampak kehijauan yang kemudian
menyebar ke seluruh bagian perut dan dada dan bau busuk mulai tercium. Pembuluh
darah juga menjadi hijau kehitaman dan melebar. Kemudian kulit ari akan terkelupas
atau berisi cairan merah yang berbau busuk. Dilanjutkan dengan pembentukkan gas
di lambung dan usus sehingga perut menjadi tegang dan keluar cairan kemerahan
dari mulut dan hidung. Gas tersebut juga mengakibatkan pembengkakan pada tubuh
dan bunyi krepitasi. Setelah itu, rambut dan kuku mudah terlepas, kelopak mata dan
pipi membengkak, bibir menebal, lidah membengkak dan sering terjulur di antara
gigi. Penampilan ini membuat korban sulit dikenali. Organ dalam tubuh pun ikut
membusuk dengan kecepatan yang berbeda. Lambung menjadi kecoklatan, mukosa
saluran napas kemerahan, endocardium dan intima pembuluh darah kemerahan,
empedu menjadi kehijauan disekitarnya, otak melunak, hati berongga, limpa
melunak dan mudah robek, dan alat-alat dalam mengerut. Prostat dan uterus non-
gravid yang paling tahan terhadap pembusukkan.

11
Pembusukkan dapat terjadi lebih cepat bila suhu sekitar optimal, kelembaban udara
cukup, banyak bakteri pembusuk, menderita penyakit, atau sepsis. Hewan pengerat
juga bisa merusak tubuh mayat dalam beberapa jam setelah mati dengan membuat
lubang dangkal dengan tepi bergerigi. Tidak hanya gigitan hewan pengerat, tapi juga
larva lalat dapat dijumpai setelah mayat membusuk 36-48 jam pasca kematian. Telur
lalat akan menetas menjadi larva dalam 24 jam.
5. Adiposera atau yang dikenal dengan lilin mayat adalah terbentuknya bahan
keputihan yang lunak atau berminyak dan berbau tengik yang terjadi di dalam
jaringan lunak tubuh. Hal ini terjadi karena hidrolisis lemak tak jenuh yang
mengalami hidrogenisasi sehingga terbentuk asam lemak jenuh yang tercampur
dengan sisa otot, jaringan ikat, dan jaringan saraf.
6. Mumifikasi adalah proses pengeringan yang dapat menghentikan pembusukkan
akibat menguapnya cairan atau dehidrasi cairan yang cukup cepat. Jaringan berubah
menjadi keras dan kering, berwarna gelap, keriput, dan tidak membusuk akrena tidak
ada perkembangan kuman. Mumifikasi ini dapat terjadi dalam waktu yang lama bisa
mencapai 12-14 minggu pada suhu hangat, kelembaban rendah, dan tubuh yang
dehidrasi.
Perkiraan saat kematian sendiri dapat dinilai dari berbagai hal. Pada saat kematian,
terjadi perubahan pada mata. Diawali dengan kekeruhan makula dan diskus optikus mulai
memucat dalam waktu 30 menit, makula semakin pucat dan tepinya tidak tajam dalam 1 jam.
Kemudian, retina pucat dan diskus menjadi kuning dalam 2 jam disertai makula yang
warnanya semakin gelap. Tampak bercak vascular koroid dengan latar merah pada 3 jam dan
menjadi kabur serta homogen lebih pucat setelah 5 jam. Dilanjutkan dengan batas diskus yang
kabur dan pembuluh besar mengalami segmentasi dengan latar kuning kelabu pada 6 jam.
Dalam 7-10 jam akan mencapai tepi retina dan diskus semakin kabur. Dalam waktu beberapa
jam ini juga sklera menjadi keruh. Lama kelamaan diskus hanya dapat dikenali karena adanya
konvergensi segmen pembuluh darah pada 12 jam. Pada waktu 15 jam, hanya dapat
ditemukan makula berwarna coklat gelap. Selain perubahan pada mata, terjadi juga perubahan
pada lambung. Kecepatan pengosongan lambung mungkin tidak spesifik dan akurat untuk
menentukan saat kematian, namun keadaan lambung dan isinya mungkin dapat membantu
membuat keputusan. Selain itu, dapat juga dilihat dari pertumbuhan rambut dan kuku. Rambut
umumnya tumbuh 0,4 mm per hari, sedangkan kuku 0,1 mm per hari. Hal ini dapat digunakan
untuk memperkirakan saat kematian bila diketahui terakhir kali korban memotong rambut
atau kuku. Cairan dalam tubuh pun dapat membantu menentukan waktu kematian. Kadar

12
komponen darah berubah setelah kematian, cairan serebrospinal pun dapat menilai apakah
waktu kematian belum mencapai 10 jam atau bahkan lebih dari 10 jam hingga 30 jam. Cairan
vitreus dapat memperkirakan kematian antara 24-100 jam. Dan yang terakhir, terdapat reaksi
supravital, yaitu reaksi sesaat yang masih sama seperti tubuh seseorang yang hidup, misalnya
kelenjar keringat masih dapat melakukan sekresi 60-90 menit pasca mati, trauma masih dapat
menyebabkan perdarahan sampai 1 jam pasca mati, dan rangsang listrik masih dapat
menimbulkan kontraksi 90-120 menit pasca mati.2

Traumatologi
Traumatologi merupakan ilmu yang mempelajari tentang luka dan cedera serta
hubungannya dengan berbagai kekerasan. Pada kasus ini akan dibahas traumatologi mengenai
luka yang ditemukan pada tubuh korban.
Luka merupakan suatu kerusakan pada jaringan kulit akibat kekerasan. Kekerasan ini
dapat dikelompokkan menjadi 3 sifat, yaitu: mekanik, fisika, dan kimia. Kekerasan yang
bersifat mekanik dapat berupa kekerasan oleh benda tajam, tumpul, dan tembakan senjata api.
Yang termasuk dalam kekerasan yang bersifat fisika adalah suhu, listrik dan petir, perubahan
tekanan udara, akustik, dan radiasi. Sedangkan kekerasan yang bersifat kimia adalah asam
atau basa kuat. Pada kasus ini akan dibahas mengenai kekerasan yang bersifat mekanik,
khususnya kekerasan akibat benda tumpul. Ada beberapa luka yang dapat terjadi akibat
kekerasan benda tumpul, seperti: memar, luka lecet, dan luka terbuka atau robek.2
Memar merupakan perdarahan dalam jaringan bawah kulit akibat pecahnya kapiler dan
vena yang disebabkan oleh kekerasan benda tumpul. Kadang luka memar juga dapat
memberikan informasi mengenai bentuk benda penyebabnya. Letak, ukuran, dan bentuk
memar dapat dipengaruhi oleh berbagai faktor, seperti besarnya kekerasan, benda penyebab,
kondisi dan jenis jaringan, usia, jenis kelamin, corak, warna kulit, kerapuhan pembuluh darah,
dan penyakit. Lokasi memar pun mungkin terletak jauh dari tempat benturan akibat gravitasi.2
Menurut pandangan medikolegal, interpretasi luka memar merupakan hal yang penting
apalagi jika disertai dengan luka lecet atau laserasi karena luka memar akan memberi
gambaran yang makin jelas. Umur luka memar dapat diperkirakan berdasarkan perubahan
warnanya. Pada saat baru timbul, memar berwarna merah yang kemudian berubah menjadi
warna ungu atau hitam. Kemudian dalam waktu 4 sampai 5 hari berubah menjadi hijau yang
akan berubah menjadi kuning dalam waktu 7 sampai 10 hari dan berangsur menghilang dalam
waktu 14 sampai 15 hari. Perubahan warnanya berlangsung dari tepi, namun waktu perubahan
warnanya dapat bervariasi tergantung derajat dan berbagai faktor yang mempengaruhinya.2

13
Luka lecet merupakan luka yang terjadi pada epidermis akibat bersentuhan dengan
benda yang memiliki permukaan kasar atau runcing, misalnya aspal jalanan. Menurut aspek
medikolegal, interpretasi dari luka lecet ini diperlukan karena dapat mengungkapkan peristiwa
yang sebenarnya terjadi dengan memeriksa luka lecet tersebut secara teliti dan detail. Luka
lecet sendiri dapat diklasifikasikan menjadi luka lecet gores, serut, tekan, geser, dan robek.2
Luka lecet gores terjadi karena adanya benda runcing yang menggeser lapisan
epidermis kulit sehingga dapat menunjukkan arah kekerasan yang terjadi. Luka lecet serut
merupakan variasi dari luka lecet gores namun daerah tersentuhnya benda dengan permukaan
kulit lebih lebar. Luka ini juga dapat menentukkan arah kekerasan yang terjadi dilihat dari
letak penumpukkan epitel. Luka lecet tekan adalah luka yang disebabkan oleh penjejakan
benda tumpul pada kulit. Namun karena kulit memiliki jaringan yang lentur, maka bentuk dari
luka belum tentu sama dengan bentuk permukaan benda penyebab lukanya tapi masih dapat
digunakan untuk mengidentifikasi benda yang digunakan. Pada mayat, gambaran luka ini
seperti kulit yang kaku dengan warna lebih gelap daripada sekitarnya. Luka lecet geser
disebabkan oleh tekanan linier pada kulit yang diikuti dengan pergeseran. Kekerasan benda
tumpul juga dapat mengakibatkan luka robek, yaitu luka terbuka yang menyebabkan kulit
teregang ke satu arah dan melampaui elastisitas kulit. Umumnya, luka ini tidak beraturan, tepi
luka tidak rata, terdapat jembatan jaringan antara kedua tepi, dasar luka tidak beraturan, sering
tampak luka lecet atau memar di sekitar luka.2,12
Selain itu, kekerasan akibat benda tumpul yang cukup kuat juga dapat mengakibatkan
patah tulang. Apabila terjadi di daerah kepala, maka kekerasan akibat benda tumpul dapat
menyebabkan cedera atau trauma kepala, seperti: konkusi dimana terjadi hilangnya fungsi
otak sementara, kontusi yaitu otak mengalami memar dan fungsinya terganggu untuk
beberapa waktu dari hitungan jam hingga minggu, dan kompresi yang diakibatkan oleh otak
yang bengkak atau timbulnya hematom epidural/subdural.13
Tanda kekerasan lainnya yang ditemukan adalah jaringan parut berbentuk bulat pada
beberapa bagian tubuh dari anak tersebut. Jaringan parut merupakan jaringan yang terbentuk
pada proses penyembuhan luka. Penyembuhan luka sendiri terdiri dari 3 fase, yaitu fase
inflamasi, proliferasi, dan maturasi. Fase inflamasi terjadi segera setelah terjadinya trauma
atau luka sampai hari kelima dengan tujuan untuk menghentikan perdarahan dengan reaksi
hemostasis dan produksi trombosit, menyingkirkan jaringan mati, dan pencegahan infeksi.
Kemudian dilanjutkan dengan fase berikutnya, yaitu fase proliferasi yang berlangsung mulai
hari ketiga hingga 2 minggu pasca terjadinya luka. Fase ini ditandai dengan adanya jaringan
granulasi yang kaya akan pembuluh darah baru, fibroblas, makrofag, sel endotel, kolagen,

14
yang membentuk matriks untuk mengisi celah luka dan memberikan scaffold adhesi,
pertumbuhan dan diferensiasi sel. Hal ini bertujuan untuk memberntuk keseimbangan antara
pembentukkan jaringan parut dan regenerasi jaringan. Setelah fase proliferasi, terbentuklah
fase maturasi yang dimulai minggu ketiga setelah luka hingga sekitar 1 tahun yang bertujuan
untuk memaksimalkan struktur baru pengisi luka. 14

Toksikologi
Toksikologi adalah ilmu yang mempelajari sumber, sifat, serta khasiat racun, gejala-
gejala da pengobatan pada keracunan, serta kelainan yang didapatkan pada korban yang
meninggal. Racun sendiri merupakan zat yang bekerja pada tubuh secara kimiawi dan
fisiologik yang dalam dosis toksik akan menyebabkan gangguan kesehatan atau
mengakibatkan kematian. Racun bisa ditemukan dimana saja, baik itu di alam, pertanian,
laboratorium, ataupun lingkungan rumah tangga. 2
Biasanya diagnosis untuk keracunan ditegakkan dengan bantuan temuan tanda dan
gejala yang sesuai dengan racun penyebab baik secara makroskopis atau mikroskopis serta
barang bukti yang ditemukan. Namun yang terpenting dalam penegakkan diagnosis adalah
ditemukannya racun/sisa racun dalam tubuh ataupun cairan tubuh korban. Selain itu juga perlu
dipastikan apakah korban benar-benar kontak dengan racun. 2,14
Korban yang mati akibat keracunan dapat dikelompokkan menjadi 2 golongan, yaitu
yang sejak awal sudah dicurigai keracunan dan yang tidak dicurgai kemungkinan keracunan.
Oleh karena itu perlu dilakukan beberapa pemeriksaan penting, antara lain pemeriksaan di
tempat kejadian, autopsi, dan analisis toksikologi. Pemeriksaan di tempat kejadian dilakukan
untuk membantu menentukan penyebab kematian serta mengumpulkan keterangan sebanyak
mungkin dan sedetail mungkin mengenai korban, waktu meninggalnya korban, identitas
korban, kegiatan akhir sebelum waktu korban meninggal, keadaan kesehatan korban sebelum
meninggal, keadaan emosi korban, serta mengumpulkan barang bukti di tempat kejadian. 2,14
Selain melakukan pemeriksaan di tempat kejadian, dilakukan juga autopsi yang
meliputi pemeriksaan luar dan dalam. Dari pemeriksaan luar dapat ditemukan beberapa tanda,
seperti bau khas yang tercium dari mayat (bau ammonia, bau minyak tanah, bau kutu busuk,
bau alkohol, dan lainnya), pakaian korban, warna lebam mayat yang tidak biasa (merah
terang, kecoklatan), kelainan di tempat masuknya racun, perubahan pada kulit
(hiperpigmentasi, melanosis, keratosis), kuku (menebal tidak teratur, trofik), rambut
(alopesia), serta sklera (ikterik, perdarahan). Tanda-tanda yang ditemukan berbeda-beda
sesuai dengan racun penyebabnya. Sedangkan untuk pemeriksaan dalam dapat dilakukan

15
dengan pembedahan. Jika pada pemeriksaan luar tidak tercium bau, dapat dibuka rongga
tengkorak terlebih dahulu kemudian rongga perut dan dada agar baunya tidak tercampur
dengan bau viscera rongga perut. Kemudian diperhatikan warna otot dan organ dalam tubuh
serta adanya tanda-tanda peradangan atau nekrosis akibat racun. 2,14

Pemeriksaan Laboratorium
Untuk mendapatkan informasi dan bukti tambahan dapat juga dilakukan pemeriksaan
laboratorium jika diperlukan. Pemeriksaan ini harus dilakukan dengan bahan dalam keadaan
segar dan lengkap pada waktu autopsi. Menurut kasus ini, pemeriksaan laboratorium dapat
dilakukan untuk membantu pemeriksaan toksikologi.2
Dilakukan pengambilan bahan untuk pemeriksaan toksikologi yang diawali dengan
pengambilan darah dengan semprit dan jarum yang bersih sebanyak 2 contoh darah, yaitu 50
ml dari jantung sebelah kanan dan sebelah kiri, serta 2 contoh darah tepi yang diambil
sebanyak 30-50 ml dari tempat berlainan, umumnya vena leher atau subaksila dan arteri
femoralis. Kemudian untuk pemeriksaan lainnya, urin perlu diambil semua yang ada di dalam
kandung kemih karena merupakan tempat eksresi sebagian besar racun, bilasan lambung juga
diambil semuanya, usus beserta isinya diikat tiap 60 cm, semua hati perlu diambil untuk
pemeriksaan patologi anatomi karena hati merupakan tempat detoksikasi tubuh, kedua ginjal
harus diambil untuk melihat ada atau tidaknya intoksikasi logam, serta otak karena jaringan
lipoid dalam otak mempunyai kemampuan untuk menahan racun. 2,14

Interpretasi Temuan
Dari hasil pemeriksaan, korban dapat dinyatakan mati somatis/klinis apabila fungsi
ketiga sistem penunjang kehidupannya telah terhenti seperti yang dijelaskan sebelumnya.
Pada tubuh mayat ditemukan adanya memar berwarna merah, biru, hijau di daerah dada, paha,
bokong, dan kepala yang disebabkan oleh kekerasan benda tumpul namun luka tersebut
memiliki usia yang berbeda dengan kisaran 1-10 hari berdasarkan warna lukanya. Selain itu
ditemukan juga beberapa jaringan parut berbentuk bulat pada kepala, paha, bokong, pipi, dan
lengan yang bisa dikarenakan luka sundutan rokok dan merupakan kekerasan fisik. Pada
pemeriksaan dalam ditemukan perdarahan di atas selaput meningen dan memar pada batang
otak yang bisa disebabkan oleh cedera kepala akibat kekerasan benda tumpul atau terjatuh dan
terbentur. 2

16
Kesimpulan
Pada korban ditemukan adanya memar berwarna merah, biru, hijau serta jaringan parut
berbentuk bulat di daerah dada, paha, bokong, dan kepala yang menandakan bahwa korban
mengalami kekerasan fisik dan kekerasan akibat benda tumpul. Kekerasan yang terjadi di
daerah kepala, baik itu karena kekerasan fisik akibat benda tumpul, terjatuh, atau terbentur
menimbulkan cedera atau trauma kepala pada korban sehingga terjadi perdarahan di atas
selaput meningen dan memar pada batang otak. Hal tersebutlah yang menyebabkan kematian
pada korban karena kondisi tersebut merupakan kondisi yang harus segera ditangani. Apabila
tidak segera mendapatkan tindakan pertolongan maka akan terjadi gangguan saraf di otak,
deserebrasi, dan distress pernapasan yang dapat menyebabkan kematian.

Pembuatan Visum
Visum et Repertum adalah keterangan yang dibuat dokter atas permintaan penyidik
yang berwenang mengenai hasil pemeriksaan medis terhadap manusia, hidup maupun mati,
ataupun bagian/diduga bagian tubuh manusia, berdasarkan keilmuannya dan di bawah sumpah
untuk kepentingan peradilan.1,2,16
Penegak hukum mengartikan Visum et Repertum sebagai laporan tertulis yang dibuat
dokter berdasarkan sumpah atas permintaan yang berwajib untuk kepentingan peradilan
tentang segala hal yang dilihat dan ditemukan menurut pengetahuan yang sebaik-baiknya.1,2,16
Sedangkan Visum et Repertum dibuat berdasarkan Undang-Undang yaitu pasal 120
KUHAP, 179 KUHAP, dan 133 KUHAP dan dokter dilindungi dari ancaman membuka
rahasia jabatan meskipun Visum et Repertum dibuat dan dibuka tanpa izin pasien, asalkan ada
permintaan dari penyidik dan digunakan untuk kepentingan peradilan. 1,2,16
Ada beberapa jenis Visum et Repertum, yaitu Visum et Repertum perlukaan atau
keracunan, Visum et Repertum kejahatan susila, Visum et Repertum jenazah, dan Visum et
Repertum psikiatrik. 3 jenis visum yang pertama adalah Visum et Repertum mengenai tubuh
atau raga manusia yang berstatus sebagai korban, sedangkan jenis keempat adalah mengenai
mental atau jiwa tersangka atau terdakwa atau saksi lain dari suatu tindak pidana. Visum et
Repertum perlukaan, kejahatan susila dan keracunan serta Visum et Repertum psikiatri adalah
visum untuk manusia yang masih hidup sedangkan Visum et Repertum jenazah adalah untuk
korban yang sudah meninggal. Keempat jenis visum tersebut dapat dibuat oleh dokter yang
mampu, namun sebaiknya untuk Visum et Repertum psikiatri dibuat oleh dokter spesialis
psikiatri yang bekerja di rumah sakit jiwa atau rumah sakit umum. 1,2,16

17
Meskipun tidak ada keseragaman format, namun pada umumnya Visum et Repertum
memuat hal-hal seperti pembukaan yang berisi kata “Pro Justitia” yang artinya demi
peradilan, pendahuluan yang berisi identitas penyidik (peminta Visum et Repertum), identitas
korban yang diperiksa, kasus dan barang bukti, Identitas pemeriksa (Tim Kedokteran
Forensik), identitas TKP dan saat/sifat peristiwa, waktu dan tempat pemeriksaan. Pemberitaan
berisi pengamatan dan pemeriksaan “barang bukti” secara objektif tanpa disertai pendapat
pemeriksa. Pada bagian kesimpulan, landasannya subjektif medis (memuat pendapat
pemeriksa sesuai dengan pengetahuannya) dan hasil pemeriksaan medis sehingga kesimpulan
berisi identitas korban, jenis luka, jenis kekerasan, dan sebab kematian. Yang terakhir adalah
penutup yang menyatakan bahwa Visum et Repertum dibuat dengan sebenar-benarnya,
berdasarkan keilmuan serta mengingat sumpah dan sesuai dengan KUHAP. 1,2,16

18
Penyampaian Laporan Hasil Pemeriksaan

LAPORAN HASIL PEMERIKSAAN


BAGIAN ILMU KEDOKTERAN FORENSIK DAN MEDIKOLEGAL
RUMAH SAKIT X

Nomor : 027/VER/I/2019 Jakarta, 14 Desember 2019


Perihal : Hasil pemeriksaan terhadap beberapa jaringan
Lampiran :-
PRO JUSTITIA
VISUM ET REPERTUM
Saya yang bertanda tangan dibawah ini dr. Livia, dokter pada Rumah Sakit X, menerangkan
bahwa berdasarkan permintaan tertulis dari Kepala Kepolisian Sektor Polda Metro Jaya
tertanggal 14 Desember 2019 no 027/VER/I/2019, maka pada tanggal empat belas Desember
dua ribu sembilan belas, pukul tujuh belas Waktu Indonesia Bagian Barat, bertempat di
Rumah Sakit X, telah dilakukan pemeriksaan terhadap jaringan dengan no regristrasi 012345,
yang menurut surat tersebut adalah:-----------------------
Nama : ---------------------------------------------------------------------------------------------
Umur : ---------------------------------------------------------------------------------------------
Jenis kelamin : ---------------------------------------------------------------------------------------------
Bangsa : ---------------------------------------------------------------------------------------------
Agama : ---------------------------------------------------------------------------------------------
Pekerjaan : ---------------------------------------------------------------------------------------------
Alamat : ---------------------------------------------------------------------------------------------
HASIL PEMERIKSAAN---------------------------------------------------------------------------------
1. Pada dada, paha, bokong, dan kepala terdapat memar berwarna merah, biru, hijau-----------
2. Pada dada, paha, bokong, dan kepala terdapat jaringan parut berbentuk bulat-----------------
3. Ditemukan perdarahan di kepala tepatnya di atas selaput meningen----------------------------
4. Ditemukan adanya memar pada batang otak--------------------------------------------------------
5. Organ tubuh lainnya dalam batas normal------------------------------------------------------------

KESIMPULAN---------------------------------------------------------------------------------------------
Pada korban ditemukan adanya memar berwarna merah, biru, hijau serta jaringan parut
berbentuk bulat di daerah dada, paha, bokong, dan kepala yang menandakan bahwa korban
mengalami kekerasan fisik dan kekerasan akibat benda tumpul. Kekerasan yang terjadi di
daerah kepala, baik itu karena kekerasan fisik akibat benda tumpul, terjatuh, atau terbentur
menimbulkan cedera atau trauma kepala pada korban sehingga terjadi perdarahan di atas
selaput meningen dan memar pada batang otak yang menyebabkan kematian pada korban.-----
-------------------------------------------------------------------------------------------------
Demikianlah visum et repertum ini dibuat dengan sebenarnya dengan menggunakan keilmuan
yang sebaik-baiknya, mengingat sumpah sesuai dengan Kitab Undang-Undang Hukum Acara
Pidana (KUHAP)---------------------------------------------------------------------------------------
Dokter Pemeriksa,
dr. Livia

19
Daftar pustaka :
1. Departemen Ilmu Kedokteran Forensik dan Medikolegal Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia. Kompilasi peraturan perundang-undangan terkait praktik kedokteran. Jakarta:
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia;2014.h.3-26.
2. Budiyanto, A. Hertian, S. Mun’im, T.W.A. Sampurna, B. Sidhi. Ilmu kedokteran
forensik. Jakarta: Bagian Kedokteran Forensik Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia;1997.h.3-48.
3. Tombeng Y. Kekerasan fisik terhadap anak ditinjau dari aspek perlindungan hak-hak
anak. Lex Crimen 2014;3(2):32-7.
4. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Buku Kedua diunduh dari
http://hukum.unsrat.ac.id/uu/kuhpidana.htm.
5. Kitab Undang-Undang Acara Hukum Pidana diunduh dari
https://dochub.com/legdoc/698mM9/kuhap?pg=50.
6. Undang-Undang Republik Indonesia
7. Keputusan Menteri Kesehaan Repulik Indonesia Nomor 1226/Menkes/SK/XII/2009
Tentang Pedoman Penatalaksanaan Pelayanan Terpadu Korban Kekerasan Terhadap
Perempuan dan Anak di Rumah Sakit diunduh dari
https://www.persi.or.id/images/regulasi/kepmenkes/kmk12262009.pdf.
8. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 1981 diunduh dari
http://ditjenpp.kemenkumham.go.id/arsip/ln/1981/pp18-1981.pdf.
9. Dahlan S. Ilmu kedokteran forensik: Pedoman bagi dokter dan penegak hukum.
Semarang: Badan Penerbit Universitas Diponegoro; 2000.h. 141-8.
10. Idries, A.M., Tjiptomartono, A.L. Penerapan Ilmu Kedokteran Forensik Dalam Proses
Penyidikan. Jakarta: Sagung Seto; 2008: h. 1-52.
11. Mansjoer A, Suprohaita, Wardhani WI, Setiowulan W. Autopsi. Kapita Selekta
Kedokteran. Ed.3. Jilid II. Jakarta : Media Aesculapius; 2000.h. 171-82.
12. Sharma M, Khajja BS, Jha S, Mathur GK, Mathur VN. Forensic interpretation of
injuries/wounds found on the human body. J Punjab Acad Forensic Med Tox icol
2011;11(2):105-8.
13. World Health Organization. Buku saku pelayanan kesehatan anak di rumah sakit. Jakarta:
World Health Organization Indonesia; 2009.h. 272
14. Primadina N, Basori A, Perdanakusuma DS. Proses penyembuhan luka ditinjau dari aspek
mekanisme seluler dan molekuler. Quanun Medika 2019;3(1):32-6.

20
15. Teknik autopsi forensik. Jakarta: Badan Penerbit FKUI; 2000.h.7-56
16. Oktavinda Safitry. Mudah membuat visum et repertum kasus luka. Jakarta: Departemen
Ilmu Kedokteran Forensik dan Medikolegal Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia;
2013. h.2-13.

21

Anda mungkin juga menyukai