Anda di halaman 1dari 7

LEGAL OPINION

KASUS AUDREY (PENGANIAYAAN SISWI SMP OLEH SISWI SMA DI


PONTIANAK)

Guna Memenuhi Tugas T2 Mata Kuliah Logika dan Penalaran Hukum


Dosen Pengampu :

Dr. Nurini Aprilianda, S.H., M. Hum.

Solehuddin, S.H., M. H

Oleh :

Dewi Gita Cahyanti (38)

165010107111009

KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN

UNIVERSITAS BRAWIJAYA

FAKULTAS HUKUM

MALANG

2019
A. FAKTA HUKUM

Kasus dugaan perundungan dan penganiayaan terhadap Audrey (14), siswi


SMP di Pontianak, Kalimantan Barat, oleh para siswi SMA setempat masih jadi
sorotan. Ada sejumlah fakta terbaru terungkap dari kasus yang memunculkan gerakan
#JusticeforAudrey di media sosial itu.

Kronologi kasus tersebut berawal dari kekerasan yang dialami Audrey di


Pontianak pada 29 Maret 2019. Kapolresta Pontianak Anwar Nasir menyebutkan,
Pada saat itu sepulang dari sekolah, Audrey diemput oleh seorang temannya untuk
pergi ke rumah kakak sepupunya dengan alasan ada sesuatu yang ingin dibicarakan.
Korban dan temannya tersebut menggunakan sepeda motor untuk pergi ke rumah
tujuan.

Saat di perjalanan, Audrey diikuti dari belakang oleh para pelaku dengan dua
sepeda motor. Hingga ketika berada di Jalan Sulawesi, pelaku cegat korban dan
penganiayaan bermula pada saat itu juga. “Wajah korban disiram dengan air.
Rambutnya ditarik dari belakang. Lalu dia terjatuh ke aspal,” ujar Husni, di
Mapolresta Pontianak, Kalimantan Barat, dikutip dari Kompas.com Selasa
(09/04/2019). Pelaku lain juga menginjak perut korban dan benturkan kepalanya ke
jalan beraspal. Setelah kejadian tersebut, korban dan temannya pergi melarikan diri ke
Taman Akcaya yang berada tidak jauh dari lokasi pengeroyokan dimulai. Namun
korban justru dikejar oleh para pelaku dan setelah tertangkap, perut korban ditendang
kembali oleh salah seorang pelaku. Saat warga sekitar mulai melihat kejadian itu, para
pelaku pergi melarikan diri.

Berikut beberapa fakta hukum yang berhasil diperoleh dari pemeriksaan polisi,
Pertama, Perkelahian itu diduga dipicu rasa sakit hati karena sepupu korban dituding
merebut pacar pelaku. Selain soal utang, karena orangtua salah satu pelaku pernah
meminjamkan uang kepada korban dan terus diungkit. "Sehingga salah satu pelaku
mengirim pesan singkat ke korban untuk bertemu di belakang Informa di Jalan
Sulawesi," tuturnya. Di jalan itu, aksi kekerasan terjadi.

Kedua, Korban dianiaya 3 orang bukan 12 orang. Ketua KPPAD Kalbar, Eka
Nurhayati Ishak, mengatakan bahwa total yang terlibat dalam kasus ini ada 12 siswi
SMA dari berbagai sekolah dan hanya 3 yang terlibat baku hantam. Kapolres Anwar
Nasir juga menegaskan, bahwa tersangka berjumlah tiga orang. Tidak benar jika
korban dianiaya 12 orang. "Isu yang menyebar bahwa anak ini satu orang dianiaya 12
orang, dan alat kelaminya ditusuk-tusuk seperti itu. Fakta yang ada tidak ada 12
orang, yang ada hanya tiga," katanya.

Hasil visum korban yang diungkap polisi pada Rabu 10 April kemarin.
Terduga pelaku juga membuat pengakuan soal kasus tersebut. Kapolresta Pontianak,
Kombes Anwar Nasir kemarin mengumumkan hasil visum Audrey yang dikeluarkan
oleh Rumah Sakit Pro Medika. Hasilnya kondisi kepala korban tidak ada bengkak
atau benjolan, mata juga tidak ada memar dan penglihatan normal. Kemudian telinga,
hidung dan tenggorokan (THT) tidak ditemukan darah. “Jantung dan paru dalam
kondisi cenderung normal, kondisi perut juga ditemukan datar dan normal,” ujar
Anwar.

Dia lalu mengungkapkan hasil visum pada organ intim korban yang
sebelumnya sempat dikabarkan dirusak pelaku. “Terkait alat kelamin selaput dara
tidak ditemukan luka robek atau memar, termasuk kulit juga tidak ada memar dan
lebam," katanya. Namun, dari hasil diagnosa dan terapi pasien, korban dinyatakan
depresi pascakejadian tersebut.

Polisi masih terus mengembangkan kasus tersebut. Pengakuan Terduga Pelaku


Tujuh terduga pelaku kekerasan terhadap Audrey meminta maaf dan mengklarifikasi
atas perkara tersebut. Itu mereka lakukan di sela pemeriksaan di Polresta Pontianak,
Rabu kemarin. Ketujuh terduga pelaku adalah siswi SMA masing-masing berinisial
Cc, De, LL, EC, TR, BN, dan DA. LL kepada wartawan mengaku menyesal atas
perbuatannya. Dia menyangkal mengeroyok dan menyolok alat kelamin korban.
"Saya minta maaf atas yang terjadi, tapi kami tidak mengeroyok, masalah menusuk
alat vital Audrey tidak pernah saya menyolok alat vital Audrey,” ujarnya.

B. IDENTIFIKASI ISU HUKUM


Berkaca dari dari peristiwa pemukulan, menendang dan membuat orang
terluka yang dilakukan oleh 3 orang siswi SMA kepada seorang siswi SMP bernama
Audrey berdasarkan kasus posisi di atas, maka isu hukum yang dapat diambil adalah
telah terjadi tindak pidana penganiayaan jika dilihat dari prespektif hukum pidana di
Indonesia yang mana didasarkan pada KUHP, akan tetapi karena konteksnya disini
korban dan pelaku pengaiayaan adalah anak di bawah umur maka ada asas di dalam
hukum yang disenut lex spesialis derogat lex generalis, peraturan khusus
mengenyampingkan peraturan yang umum. Dalam hal ini peraturan yang khusus
yakni UU Nomor 35 Tahun 2014 tentang perubahan atas UU Nomor 23 Tahun 2002
tentang Perlindungan Anak, khusunya Pasal 76 C dan Pasal 76 E UU Nomor 34 tahun
2014.

C. INVENTARISASI HUKUM
Dengan melihat fakta-fakta hukum yang ada di atas, maka dasar hukum yang
patut digunakan oleh pihak Audrey bahwa pada tanggal 29 Maret 2019 telah terjadi
peristiwa penganiayaan oleh 3 orang siswi SMA kepada korban siswi SMP bernama
Audrey.
Dengan alat-alat bukti yang ada maka dasar hukum yang kuat untuk
mengajukan gugatan ke pengadilan adalah :
1. Pasal 76 C
Setiap Orang dilarang menempatkan, membiarkan, melakukan, menyuruh
melakukan, atau turut serta melakukan Kekerasan terhadap anak.
2. Pasal 76 E
Setiap Orang dilarang melakukan Kekerasan atau ancaman Kekerasan, memaksa,
melakukan tipu muslihat, melakukan serangkaian kebohongan, atau membujuk
Anak untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul.

Pasal 76 C UU ini apabila terduga pelaku benar-benar melaukan kekerasan


terhadap korban dan apabila terduga pelaku benar-benar terbukti melakukan
kekerasan seksual tentu Pasal 76 E ini yang melarang kekerasan seksual terhadap
anak.

Sementara itu untuk ancaman sanksi terkait larangan terhadap Pasal 76 C


diatur dalam pasal 80 ayat (1) UU ini.

(1) Setiap Orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud Pasal 76 C,


dipidana penjara paling lama 3(tiga) tahun 6 (enam) bulan dan/ atau denda paling
banyak Rp. 72.000.000,00 (tujuh puluh juta rupiah).

dan untuk larangan terhadap pasal 76 E diatur dalam Pasal 82 ayat (1) UU ini

(1) Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76E
dipidana dengan
pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun
dan denda
paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).

D. ANALISIS
Bahwa berdasarkan fakta hukum maka menurut saya pelaku terindikasi
melanggar UU Nomor 35 Tahun 2014 tentang perubahan atas UU Nomor 23 Tahun
2002 tentang Perlindungan Anak, khusunya Pasal 76 C juncto Pasal 80 ayat (1) dan
Pasal 76 E juncto pasal 82 ayat (1) UU Nomor 35 tahun 2014.

Akan tetapi karena terduga pelaku masih dibawah umur maka terkait
penegakan hukumnya, penegak hukum dalam memberi sanksi tentunya mengacu pada
UU No. 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Anak.

Dalam UU SPPA kita mengenal adanya restorative justice (keadilan restoratif)


dan diversi. UU SPPA menekankan pada keadilan restoratif atau pemulihan situasi
anak pada kondisi semula/perbaikan maupun pemulihan keadaan setelah peristiwa.
Bukan pada keadilan retributif (menekankan keadilan pada pembalasan) atau keadilan
restitutif( menekankan keadilan pada ganti rugi).

Sedangkan diversi adalah pengalihan penyelesaian perkara anak dari proses


peradilan pidana ke proses di luar pengadilan. Diversi bisa dilaksanakan apabila
memenuhi syarat diancam dengan pidana penjara di bawah 7 tahun dan bukan
merupakan recidive (pengulangan tindak pidana).

Akan tetapi diversi ada kriteria yang diatur dalam pasal 7 UU 11/2012 yaitu:
1. Pada tingkat penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan perkara Anak di
pengadilan negeri wajib diupayakan Diversi.
2. Diversi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan dalam hal tindak
pidana yang dilakukan:
a. diancam dengan pidana penjara di bawah 7 (tujuh) tahun; dan
b. bukan merupakan pengulangan tindak pidana.

Pasal 8 ayat 3 UU Nomor 11 Tahun 2012 Dalam Hal proses Diversi wajib
memperhatikan:

a. kepentingan korban;
b. kesejahteraan dan tanggung jawab anak.
c. penghindaran stigma negatif;
d. penghindaran pembalasan;
e. keharmonisan masyarakat; dan
f. kepatutan, kesusilaan, dan ketertiban umum.

Dalam penyelesaian kasus ini, Perbuatan pelaku terhadap korban sangat tidak
dibenarkan. Karena selain menyebabkan kekerasan fisik juga secara psikis. Namun,
semua kembali lagi kepada upaya perbaikan keadaan seperti semula baik kepada
korban maupun pelaku kejahatan. Perlu dipahami, diversi diterapkan mulai dari tahap
penyidikan, penuntutan, dan pengadilan. Diversi diupayakan pada setiap tahapan.
Ketika diversi berhasil, maka proses nya dihentikan.

Namun jika gagal akan diteruskan ke tahap selanjutnya. Dalam kasus ini,
maka akan diupayakan diversi di setiap tahapan. Jika korban setuju dengan adanya
diversi, maka kasus akan berakhir damai. Namun jika diversi tidak berhasil proses
peradilan pidana akan dilanjutkan. Dalam hukum pidana kita mengenal adanya asas
ultimum remidium dimana pemidanaan atau sanksi pidana adalah alternatif / upaya
terakhir dalam penegakan hukum. Sehingga diutamakan alternatif penyelesaian lain
(primum remedium).

E. KESIMPULAN
Dari kronologi tindakan penganiayaan Audrey oleh 3 siswi SMA tersebut
maka telah jelas bahwa tindakan tersebut melawan hukum dan melanggar UU SPPA.
Tindakan kekerasan yang dilakukan oleh 3 siswi SMA tersebut telah memenuhi
unsur-unsur dalam pasal Pasal 76 C juncto Pasal 80 ayat (1) UU Nomor 35 tahun
2014 dengan ancaman pidana penjara paling lama 3(tiga) tahun 6 (enam) bulan dan/
atau denda paling banyak Rp. 72.000.000,00 (tujuh puluh juta rupiah).
Serta jika terbukti melakukan kekerasa seksual maka dijerat dengan Pasal 76
E juncto pasal 82 ayat (1) UU Nomor 35 tahun 2014 dengan dengan ancaman pidana
penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda
paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).

Malang, 22 April 2019


(Dewi Gita Cahyanti)
DAFTAR PUSTAKA

A. BUKU

Adam Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana,2014,Depok,PT Raja Grafindo Persada

B. PERUNDANG-UNDANGAN
Undang-Undang Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak
UU Nomor 35 Tahun 2014 tentang perubahan atas UU Nomor 23 Tahun 2002 tentang
Perlindungan Anak

C. INTERNET
https://www.kompasiana.com/rafif3346/5cad6d75a8bc15630f08e3b2/kasus-audrey-
pesan-moral-dan-perspektif-hukum?page=all
https://www.reqnews.com/mahasiswa/1526/begini-dasar-hukum-kasus-audrey
https://www.idntimes.com/news/indonesia/dini-suciatiningrum/kronologi-kasus-
penganiayaan-audrey

Anda mungkin juga menyukai