Anda di halaman 1dari 9

Mata Kuliah Delik-Delik Kontemporer

TINDAK PIDANA PELECEHAN PADA ANAK


(Studi Kasus Herry Wirawan)

FINA FEBRIANA (B012231020)


ULFA SRI ASTURI (B012231029)

PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUM


PROGRAM PASCASARJANA FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2023
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Kejahatan atau Tindak pidana merupakan persoalan yang dialami manusia dari
waktu ke waktu, mengapa tindak pidana dapat terjadi dan bagaimana memberantasnya
merupakan persoalan yang tiada hentinya diperdebatkan. Tindak pidana merupakan
problema manusia, yang mana terjadi pada seorang yang tidak menggunakan akal serta
ditambah dengan dorongan hawa nafsu dalam bertindak, sehingga terjadilah kejahatan
yang melampaui batas seperti kejahatan seksual.
Tindak pidana pencabulan merupakan salah satu dari berbagai macam tindak
pidana yang dikenal, pemerkosaan yang terjadi sekarang dilakukan tidak saja oleh-oleh
dan sebagainya, oleh karenanya orang yang melakukan tindak pidana pemerkosaan
harus mempertanggung jawabkan urusannya terlebih dahulu. Hal yang masih menjadi
keprihatinan dan kekahawatiran yaitu masih banyak anak-anak yang menjadi korban
dari tindak pidana pemerkosaan, khususnya yang melibatkan anak-anak. Pemerkosaan
termasuk kedalam tindak pidana dalam bidang kesusilaan. Kejahatan ini terus
mengalami perkembangan dari waktu ke waktu dan merupakan masalah yang harus
dihadapi dan diselesaikan dengan penanganan yang khusus. Dalam hukum pidana
positif, akibat hukum tindak pidana pemerkosaan dalam bentuk hukuman pokok adalah
dipenjara maksiamal 9 (sembilan) tahun dan minimal 3 (tiga) tahun. Dasar hukumnya
terdapat dalam pasal 287 KUHP karena korbannya adalah anak di bawah umur.
Seperti halnya warga Indonesia tak lama telah di hebohkan oleh sebuah berita
yang beredar di berbagai situs sosial media serta saluran siaran televisi pada tanggal 8
Desember 2021 bertepatan di kota Bandung yang berisikan kasus pemerkosaan 13
santriwati yang di lakukan oleh pelaku bernama Herry Wirawan. Dari hasil
penyelidikan terdakwa merupakan selaku guru pesantren asal Garut yang terbukti
bersalah atas kasus kejahatan seksual berupa pemerkosaan kepada santriwatinya sejak
2016 hingga sampai 2021 dengan beragam modus yang menyalahgunakan posisi
terdakwa selaku pengurus pondok pesantren di ciparai kabupaten bandung. Jaksa
penuntut umum (JPU) menuntut Herry Wirawan dengan hukuman mati dan kebiri
kimia kemudian pada tanggal 15 Februari 2022 terdakwa mendapatkan vonis penjara
seumur hidup dalam sidang vonis di PN Bandung, namun vonis itu memancing
kekecewaan banyak kalangan yang berharap bahwa seharusnya terdakwa dihukum
seberat mungkin.
Demikian pula keadaannya dengan maraknya tindak kekerasan atau ancaman
kekerasan seksual terhadap anak dibeberapa kota besar termasuk kota-kota besar di
Indonesia. Hampir setiap hari di beritakan terjadinya pelecehan seksual bahkan
perkosaan terhadap anak perempuan yang pelakuya adalah anak yang tergolong
dibawah umur. Bukan hanya dilakukan oleh orang lain atau orang luar yang tidak
dikenali, namun tidak menutup kemungkinan yang menjadi pelaku adalah orang
terdekat atau bahkan orang terpercaya di sekitar. Dari latar belakang yang telah dibahas
di atas maka penulis memilih judul “Tindak Pidana Pelecehan Pada Anak (Studi
Kasus Herry Irawan)”
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas maka muncul beberapa rumusan masalah yakni
Bagaimana Pandangan hukum positif dalam Tindak Pidana Pelecehan Pada Anak
(Studi Kasus Herry Irawan) ?
BAB II
PEMBAHASAN

Pandangan hukum positif dalam Tindak Pidana Pelecehan Pada Anak


1. Kronologi kasus
Perkara Perkara Nomor: 989/Pid.Sus/2021/PN Bdg merupakan kasus
pemerkosaan 13 santriwati yang di lakukan oleh pelaku bernama Herry Wirawan54.
Dari hasil penyelidikan terdakwa merupakan selaku guru pesantren asal Garut yang
terbukti bersalah atas kasus kejahatan seksual berupa pemerkosaan kepada
santriwatinya sejak 2016 hingga sampai 2021 dengan beragam modus yang
menyalah gunakan posisi terdakwa selaku pengurus pondok pesantren di ciparai
kabupaten bandung.
Bahwa Terdakwa pada hari dan tanggal yang tidak dapat ditentukan dengan
pasti yakni pada antara sekitar tahun 2016 sampai dengan tahun 2021 atau setidak-
tidaknya pada waktu-waktu antara tahun 2016 sampai dengan tahun 2021,
bertempat di Yayasan Komplek Sinergi Jalan Nyaman No.34 Parakan Saat Antapani
Tengah Bandung, di Yayasan Pesantren Tahfidz Madani Komplek Yayasan
Margasatwa Kecamatan Cibiru Bandung, Pesantren Manarul Huda Komplek
Margasatwa Kelurahan Pasir Biru Kecamatan Cibiru Kota Bandung,
memperhatikan ketentuan Pasal 84 ayat (1) KUHAP, Pengadilan Negeri Kota
Bandung yang berwenang untuk memeriksa dan mengadili perkara ini.
Kasus tersebut pertamakali terungkap saat salah satu korban selaku santriwati
pulang ke rumahnya. Pada saat itu pihak korban ingin merayakan Hari Raya Idul
Fitri bersama dengan keluarga. Kemudian 54 Putusan Pengadilan Negeri Bandung,
No 989/Pid.Sus/2021/PN Bdg. 42 orangtua korban saat itu melihat kejanggalan
pada anaknya seolah ada yang berubah pada diri anaknya, hingga diketahui anaknya
sedang hamil. Orangtua korban kemudian melapor ke Polda Jabar dengan
pendampingan kepala desa setempat. Ketika awal diterima, kasus ini tak langsung
terekspos di berbagai media dengan pertimbangan dampak psikologis dan sosial
dari korban kejahatan Herry Wirawan.
Berdasarkan data setempat korban dari kekerasan seksual terjadi di pondok
pesantren tersebut berjumlah 13 orang berusia belasan tahun dengan rata-rata usia
13 sampai 16 tahun. Dari 13 korban empat diantaranya telah melahirkan bahkan
salah satu korban telah melahirkan sebanyak dua kali. “Ada empat anak korban
yang sedang hamil, sudah melahirkan semua, ucap jaksa kejaksaan negri kejati
Bandung bahkan salah satu korban dua kali melahirkan akibat perbuatan Herry
wirawan”. Akibat dari perbuatannya pihak korban memiliki trauma psikologis dan
mental dengan harus menanggung beban menjadi orangtua saat usia masih belia.
Perbuatan asusila yang di lakukan menimbulakn ada 9 bayi yang dilahirkan dari
para korban. Korban yang melahirkan dua anak baru berusia 14 tahun. Dari belasan
korban Herry dan 11 di antaranya berasal dari Garut, Jawa Barat. Mereka memiliki
pertalian saudara serta bertetangga.
Kemudian jaksa penuntut umum (JPU) menuntut Herry Wirawan dengan
hukuman mati dan kebiri kimia dalam pembacaan tuntutan oleh jaksa yang digelar
tertutup di PN Bandung, 11 Januari 2022. Tuntutan itu diambil karena kejahatan
Herry Wirawan dilakukan secara terus menerus dan sistematis. Pada tanggal 15
Februari 2022 terdakwa mendapatkan vonis penjara seumur hidup dalam sidang
vonis di PN Bandung, namun vonis itu memancing kekecewaan banyak kalangan
yang berharap bahwa seharusnya terdakwa dihukum seberat mungkin. Kejaksaan
Tinggi (Kejati) Jawa Barat mengajukan banding terhadap putusan Majelis Hakim
Pengadilan Negeri (PN) Bandung, yang 43 menjatuhkan hukuman penjara seumur
hidup terhadap pelaku pemerkosaan Herry Wirawan.
Ketua Majelis Hakim PT Bandung Herri Swantoro mengabulkan hukuman
tersebut setelah Kejaksaan Tinggi Jawa Barat mengajukan banding atas putusan
Pengadilan Negeri Bandung, yang menghukum Herry pidana penjara seumur hidup.
"Menerima permintaan banding dari jaksa penuntut umum. Menghukum terdakwa
oleh karena itu dengan pidana mati," kata Herri Swantoro di Bandung, Jawa Barat,
Senin. Dalam putusan itu, hakim memperbaiki sejumlah putusan PN Bandung.
Herry Wirawan juga diputuskan oleh hakim untuk tetap ditahan. Hukuman itu
sesuai Pasal 21 KUHAP jis Pasal 27 KUHAP jis Pasal 153 ayat (3) KUHAP jis ayat
(4) KUHAP jis Pasal 193 KUHAP jis Pasal 222 ayat (1) jis ayat (2) KUHAP jis
Pasal 241 KUHAP jis Pasal 242 KUHAP, PP Nomor 27 Tahun 1983.5
2. Hukum Positif
Pertama, dari aspek yuridis. Bahwa berdasarkan keterangan saksi korban dari
kekerasan seksual yang di lakukan oleh Herry Wirawan bertempat di pondok
pesantren tersebut berjumlah 13 orang berusia belasan tahun dengan rata-rata usia
13 sampai 16 tahun. Bahwa dari sebagian persaksian di persidangan diketahui
bahwa yang dilakukan terdakwa bernama Herry Wirawan merupakan tindak pidana
pemerkosaan anak di bawah umur.
Kedua, dari aspek filosofis, Berdasarkan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
(KUHP), jika terdakwa dan santriwatinya tersebut adalah orang dewasa dan
melakukan hubungan seksual dengan kesadaran penuh dan atas dasar suka sama
suka, maka tidak dapat dilakukan penuntutan pidana terhadap terdakwa Herry
Wirawan. Hal ini karena hubungan seksual yang dapat dipidana adalah hubungan
seksual yang dilakukan dengan anak yang belum berusia 18 tahun, perbuatan
hubungan seksual antara laki-laki dan perempuan yang salah satunya terikat dalam
suatu perkawinan yang disebut dengan perzinaan sepanjang adanya pengaduan dari
pasangan resmi salah satu atau kedua belah pihak, dan hubungan seksual yang
dilakukan dengan paksaan atau pemerkosaan.
Dalam positif jika pelaku dan korban telah dewasa, maka tidak ada alasan bagi
wanita untuk menuntut si pria. Namun jika perbuatan tersebut dilakukan di mana
salah satu atau keduanya masih anak-anak, maka pelakunya dapat diancam pidana
karena pencabulan anak sebagaimana diatur dalam Pasal 81 ayat (1) dan (2) jo.
Pasal 76D Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak (UU
Perlindungan Anak) sebagaimana yang telah diubah oleh Undang-Undang Nomor
35 tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002
tentang 63 Perlindungan Anak (UU 35/2014) dan diubah kedua kalinya dengan
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016 tentang
Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang
Perlindungan Anak (Perpu 1/2016) sebagaimana yang telah ditetapkan sebagai
undang-undang dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2016 tentang Penetapan
Peraturan Pemerintah Pengganti UndangUndang Nomor 1 Tahun 2016 tentang
Perubahan Kedua Atas UndangUndang Nomor 23 Tahun 2002 tentang
Perlindungan Anak Menjadi Undang-Undang (UU 17/2016).
Kata “pelecehan seksual” berasal dari istilah padanan dalam Bahasa Inggris
yaitu sexual harassement. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) adalah
bentuk pelanggaran terhadap batasan seksual seseorang atau orang lain atau norma
perilaku seksual yang hidup di masyarakat. Pelecehan seksual merupakan semua
hal berkaitan dengan tingkah laku, kemauan, atau permintaan untuk melakukan
suatu perbuatan seksual secara lisan atau fisik misalnya isyarat/perilaku yang
sifatnya seksual sehingga menyebabkan seseorang merasa tersinggung,
dipermalukan, atau/dan bahkan terintimidasi. Merujuk pada definisi di atas tersebut,
konsep pengertian dari pelecehan seksual dalam makalah ini adalah suatu tindakan
atau perbuatan seseorang terhadap orang lain yang bersifat seksual mengakibatkan
keadaan fisik dan psikis seseorang terganggu, terintimidasi bahkan tersakiti.
Tindak pidana pelecehan seksual ini masuk ke dalam jenis tindak kejahatan di
bidang kesusilaan yang berhubungan dengan masalah seksual yang diatur dalam
Bab XIV Buku II KUHP. Pengelompokkan kejahatan kesusilaan terbagi atas 5
(lima) kelompok yaitu:
a. Tindak pidana yang menyerang rasa kesusilaan umum
b. Tindak pidana kesusilaan dalam hal persetubuhan
c. Tindak pidana kesusilaan dalam hal perbuatan cabul
d. Tindak pidana perdagangan anak dan perempuan serta menyerahkan anak
untuk kegiatan pengemisan
e. Tindak pidana kesusilaan berkaitan dengan pencegahan dan pengguguran
kehamilan

Korban menurut Pasal 1 angka 3 UU No. 31 Tahun 2014 merupakan orang yang
mengalami penderitaan fisik, mental, dan/atau kerugian ekonomi yang diakibatkan
oleh suatu tindak pidana. Pendapat Arief Gosita, bahwa korban merupakan
seseorang yang mengalami penderitaan jasmaniah dan rohaniah diakibatkan oleh
tindakan orang lain dalam memenuhi kepentingan diri sendiri atau orang lain yang
bertentangan dengan kepentingan dan hak asasi yang menderita. Pelecehan seksual
dimana anak yang menjadi korban merupakan bentuk dari penyiksaan anak saat
orang dewasa ataupun remaja yang berumur lebih tua menggunakan anak sebagai
objek dan alat rangsangan seksual.

Bentuk dari pelecehan seksual terhadap anak dapat berupa meminta atau
menekan seorang anak untuk melakukan suatu aktivitas seksual, memperlihatkan
paparan tidak senonoh dari alat kelamin pelaku, menampilkan pornografi untuk
anak, melakukan hubungan seksual, melakukan kontak fisik dengan kelamin anak
dan melihat alat kelamin anak tanpa kontak fisik (terkecuali dalam hal non-seksual
tertentu misal pemeriksaan medis), atau mempergunakan anak sebagai subjek
memproduksi pornografi anak.
Dalam hukum pidana positif, akibat hukum tindak pidana pemerkosaan dalam
bentuk hukuman pokok adalah dipenjara maksiamal 9 (sembilan) tahun dan
minimal 3 (tiga) tahun. Dasar hukumnya terdapat dalam pasal 287 KUHP karena
korbannya adalah anak di bawah umur. Dalam pasal terebut berbunyi “Barangsiapa
bersetubuh dengan perempuan yang bukan isterinya, sedang diketahuinya atau
harus patut disangkanya, bahwa umur perempuan itu belum cukup 15 tahun kalau
tidak nyata berapa umurnya, bahwa perempuan itu belum masanya untuk kawin,
dihukum penjara selama-lamanya Sembilan tahun.”

Ketiga, dari aspek sosiologis. Hukuman maksimal yang di berikan jaksa penuntut
umum (JPU) kepada Herry Wirawan dengan hukuman mati dan kebiri kimia
bertujuan untuk meminimalisir tindakan yang serupa dengan predator Herry
Wirawan. Tuntutan itu diambil karena kejahatan Herry Wirawan dilakukan secara
terus menerus dan sistematis. Sehingga pada tanggal 15 Februari 2022 terdakwa
mendapatkan vonis penjara seumur hidup dalam sidang vonis di PN Bandung,
namun vonis itu menjadi bentuk kekecewaan masyarakat karena hukuman yang di
jatuhkan kepada terdakwa tak sebanding dengan apa yang telah terdakwa perbuat.
Oleh sebabnya efek jera sebagai salah satu tujuan penghukuman tidak terwujud
secara maksimal. Maka masyarakat ingin Herry Wirawan di hukum seberat
mungkin dengan hukuman pidana mati, karena perbuatannya telah menyimpang
jauh dari kata kemanusiaan.
BAB III

PENUTUP

Kesimpulan
Tindak pidana pencabulan merupakan salah satu dari berbagai macam tindak pidana
yang dikenal, pemerkosaan yang terjadi sekarang dilakukan tidak saja dilakukan oleh orang
yang tidak dikenal melainkan banyak yang terjadi sekarang yang menjadi tersangka adalah
orang terdekat bahkan orang yang dipercaya dalam keluarga bahkan masyarakat. Herry
Wirawan merupakan seorang pimpinan pasantren asal Bandung Jawa Barat yang telah
memperkosa 13 orang anak santriwati dan menyebabkan 9 di antara dari mereka hamil dan
melahirkan. Kasasi yang telah diajukan oleh Herry Wirawan di tolak oleh Mahkamah Agung
(MA). Majelis Hakim Pengadilan Tinggi Bandung memvonisnya dengan hukuman mati.
Melihat perlindungan hukum yang ada, dengan ancaman atau hukuman yang tertulis
dalam Undang-Undang tidak menjamin akan berkurangnya kasus serupa, tetapi dengan adanya
Undang-Undang tersebut menjadi upaya negara untuk meminimalisir kasus kejahatan yang
akan terjadi di tengah tengah masyarakat.

Anda mungkin juga menyukai