PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kejahatan atau Tindak pidana merupakan persoalan yang dialami manusia dari
waktu ke waktu, mengapa tindak pidana dapat terjadi dan bagaimana memberantasnya
merupakan persoalan yang tiada hentinya diperdebatkan. Tindak pidana merupakan
problema manusia, yang mana terjadi pada seorang yang tidak menggunakan akal serta
ditambah dengan dorongan hawa nafsu dalam bertindak, sehingga terjadilah kejahatan
yang melampaui batas seperti kejahatan seksual.
Tindak pidana pencabulan merupakan salah satu dari berbagai macam tindak
pidana yang dikenal, pemerkosaan yang terjadi sekarang dilakukan tidak saja oleh-oleh
dan sebagainya, oleh karenanya orang yang melakukan tindak pidana pemerkosaan
harus mempertanggung jawabkan urusannya terlebih dahulu. Hal yang masih menjadi
keprihatinan dan kekahawatiran yaitu masih banyak anak-anak yang menjadi korban
dari tindak pidana pemerkosaan, khususnya yang melibatkan anak-anak. Pemerkosaan
termasuk kedalam tindak pidana dalam bidang kesusilaan. Kejahatan ini terus
mengalami perkembangan dari waktu ke waktu dan merupakan masalah yang harus
dihadapi dan diselesaikan dengan penanganan yang khusus. Dalam hukum pidana
positif, akibat hukum tindak pidana pemerkosaan dalam bentuk hukuman pokok adalah
dipenjara maksiamal 9 (sembilan) tahun dan minimal 3 (tiga) tahun. Dasar hukumnya
terdapat dalam pasal 287 KUHP karena korbannya adalah anak di bawah umur.
Seperti halnya warga Indonesia tak lama telah di hebohkan oleh sebuah berita
yang beredar di berbagai situs sosial media serta saluran siaran televisi pada tanggal 8
Desember 2021 bertepatan di kota Bandung yang berisikan kasus pemerkosaan 13
santriwati yang di lakukan oleh pelaku bernama Herry Wirawan. Dari hasil
penyelidikan terdakwa merupakan selaku guru pesantren asal Garut yang terbukti
bersalah atas kasus kejahatan seksual berupa pemerkosaan kepada santriwatinya sejak
2016 hingga sampai 2021 dengan beragam modus yang menyalahgunakan posisi
terdakwa selaku pengurus pondok pesantren di ciparai kabupaten bandung. Jaksa
penuntut umum (JPU) menuntut Herry Wirawan dengan hukuman mati dan kebiri
kimia kemudian pada tanggal 15 Februari 2022 terdakwa mendapatkan vonis penjara
seumur hidup dalam sidang vonis di PN Bandung, namun vonis itu memancing
kekecewaan banyak kalangan yang berharap bahwa seharusnya terdakwa dihukum
seberat mungkin.
Demikian pula keadaannya dengan maraknya tindak kekerasan atau ancaman
kekerasan seksual terhadap anak dibeberapa kota besar termasuk kota-kota besar di
Indonesia. Hampir setiap hari di beritakan terjadinya pelecehan seksual bahkan
perkosaan terhadap anak perempuan yang pelakuya adalah anak yang tergolong
dibawah umur. Bukan hanya dilakukan oleh orang lain atau orang luar yang tidak
dikenali, namun tidak menutup kemungkinan yang menjadi pelaku adalah orang
terdekat atau bahkan orang terpercaya di sekitar. Dari latar belakang yang telah dibahas
di atas maka penulis memilih judul “Tindak Pidana Pelecehan Pada Anak (Studi
Kasus Herry Irawan)”
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas maka muncul beberapa rumusan masalah yakni
Bagaimana Pandangan hukum positif dalam Tindak Pidana Pelecehan Pada Anak
(Studi Kasus Herry Irawan) ?
BAB II
PEMBAHASAN
Korban menurut Pasal 1 angka 3 UU No. 31 Tahun 2014 merupakan orang yang
mengalami penderitaan fisik, mental, dan/atau kerugian ekonomi yang diakibatkan
oleh suatu tindak pidana. Pendapat Arief Gosita, bahwa korban merupakan
seseorang yang mengalami penderitaan jasmaniah dan rohaniah diakibatkan oleh
tindakan orang lain dalam memenuhi kepentingan diri sendiri atau orang lain yang
bertentangan dengan kepentingan dan hak asasi yang menderita. Pelecehan seksual
dimana anak yang menjadi korban merupakan bentuk dari penyiksaan anak saat
orang dewasa ataupun remaja yang berumur lebih tua menggunakan anak sebagai
objek dan alat rangsangan seksual.
Bentuk dari pelecehan seksual terhadap anak dapat berupa meminta atau
menekan seorang anak untuk melakukan suatu aktivitas seksual, memperlihatkan
paparan tidak senonoh dari alat kelamin pelaku, menampilkan pornografi untuk
anak, melakukan hubungan seksual, melakukan kontak fisik dengan kelamin anak
dan melihat alat kelamin anak tanpa kontak fisik (terkecuali dalam hal non-seksual
tertentu misal pemeriksaan medis), atau mempergunakan anak sebagai subjek
memproduksi pornografi anak.
Dalam hukum pidana positif, akibat hukum tindak pidana pemerkosaan dalam
bentuk hukuman pokok adalah dipenjara maksiamal 9 (sembilan) tahun dan
minimal 3 (tiga) tahun. Dasar hukumnya terdapat dalam pasal 287 KUHP karena
korbannya adalah anak di bawah umur. Dalam pasal terebut berbunyi “Barangsiapa
bersetubuh dengan perempuan yang bukan isterinya, sedang diketahuinya atau
harus patut disangkanya, bahwa umur perempuan itu belum cukup 15 tahun kalau
tidak nyata berapa umurnya, bahwa perempuan itu belum masanya untuk kawin,
dihukum penjara selama-lamanya Sembilan tahun.”
Ketiga, dari aspek sosiologis. Hukuman maksimal yang di berikan jaksa penuntut
umum (JPU) kepada Herry Wirawan dengan hukuman mati dan kebiri kimia
bertujuan untuk meminimalisir tindakan yang serupa dengan predator Herry
Wirawan. Tuntutan itu diambil karena kejahatan Herry Wirawan dilakukan secara
terus menerus dan sistematis. Sehingga pada tanggal 15 Februari 2022 terdakwa
mendapatkan vonis penjara seumur hidup dalam sidang vonis di PN Bandung,
namun vonis itu menjadi bentuk kekecewaan masyarakat karena hukuman yang di
jatuhkan kepada terdakwa tak sebanding dengan apa yang telah terdakwa perbuat.
Oleh sebabnya efek jera sebagai salah satu tujuan penghukuman tidak terwujud
secara maksimal. Maka masyarakat ingin Herry Wirawan di hukum seberat
mungkin dengan hukuman pidana mati, karena perbuatannya telah menyimpang
jauh dari kata kemanusiaan.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Tindak pidana pencabulan merupakan salah satu dari berbagai macam tindak pidana
yang dikenal, pemerkosaan yang terjadi sekarang dilakukan tidak saja dilakukan oleh orang
yang tidak dikenal melainkan banyak yang terjadi sekarang yang menjadi tersangka adalah
orang terdekat bahkan orang yang dipercaya dalam keluarga bahkan masyarakat. Herry
Wirawan merupakan seorang pimpinan pasantren asal Bandung Jawa Barat yang telah
memperkosa 13 orang anak santriwati dan menyebabkan 9 di antara dari mereka hamil dan
melahirkan. Kasasi yang telah diajukan oleh Herry Wirawan di tolak oleh Mahkamah Agung
(MA). Majelis Hakim Pengadilan Tinggi Bandung memvonisnya dengan hukuman mati.
Melihat perlindungan hukum yang ada, dengan ancaman atau hukuman yang tertulis
dalam Undang-Undang tidak menjamin akan berkurangnya kasus serupa, tetapi dengan adanya
Undang-Undang tersebut menjadi upaya negara untuk meminimalisir kasus kejahatan yang
akan terjadi di tengah tengah masyarakat.