Anda di halaman 1dari 3

Kasus Guru Pesantren Perkosa Santri Hingga Hamil dan

Melahirkan

Nama kelompok
·       Ida Komang Ambarani             (16)
·       Ni Made Indraswari Danendra  (17)
·       Ni Luh Windy Permata Sari (21)
·       Ni Made Dwi Kiyana Maharani (22)
·       Ni Putu Tika Widaputri (28)
 

XI MIPA 6
Alamat : Jl. Raya Munggu – Tanah Lot,Mengwi,Badung,Bali
Telp. (0361) 7423740-848374
Kronologi/Peristiwa kejadian
Menurut Sultra.Tribunnews.com pada Rabu, 8 Desember 2021
HW (Herry Wirawan) berusia 36 tahun, seorang guru pesantren di Kota Bandung
merudapaksa 12 santrwati hingga 10 diantaranya telah hamil dan melahirkan. Tindak pidana
pencabualan anak di bawah umur itu terkuak di publik setelah pelaku melakukan persidangan
di Pengadilan Negeri (PN) Kelas 1A Khusus Bandung. Akibat perbuatan tak terpuji pelaku
yang juga merupakan pengurus pesantren, korban rata-rata dicabuli saat berumur 16-17
tahun, mengalami trauma berat. Perbuatan guru pesantren ini dilakukan berkali-kali selama 5
tahun terhitung sejak 2016 hingga 2021.
Jaksa Penuntut Umum (JPU) Kejaksaan Negeri Bandung, Agus Mudjoko mengatakan,
bahkan ada korban yang hamil dan melahirkan sebanyak dua kali. "Salah seorang korban ada
yang telah dua kali melahirkan akibat perbuatan terdakwa," ujar Agus Mudjoko sebagaimana
dikutip Kompas.com pada Rabu (8/12/2021). Menurut pengakuan pelaku dan saksi, tindakan
asusila dilakukan berkali-kali pada tempat yang berbeda-beda. Setidaknya, sudah ada 9
tempat berbeda yang diketahui menjadi lokasi guru pesantren mencabuli santriwati di
Bandung. Dilakukan di Yayasan Pesantren TM, Pesantren MH, Basecamp, apartemen di
Bandung, Hotel A, Hotel PP, Hotel BB, Hotel N, Hotel R.
Modus guru pesantren menghamili santriwati di Bandung, melancarkan aksinya dengan cara
mendekati orangtua korban, menjanjikan pendidikan gratis. Para santriwati diajarkan tentang
pengetahuan agama hingga ditanggung seluruh biaya selama menuntut pendidikan. Tetapi
nyatanya, pelaku memanfaatkan situasi itu untuk melakukan tindakan asusila kepada korban.
Adapun awal mula korban melancarkan aksinya, diduga dengan cara menggunakan
kekesaran dan ancaman kekerasan terhadap korban. Tentang kronologi singkat ini,
sebagaimana dibeberkan oleh Kepala Seksi Pidana Umum (Kasi Pidum) Kejaksaan Tinggi
(Kejati) Jawa Barat, Dodi Gozali Emil.

Penyelesaian/solusi yang dilakukan


Menurut detiknews majelis hukum menjatuhkan vonis hukuman seumur hidup kepada
terdakwa kasus pemerkosaan 13 santriwati yang dimana 10 diantaranya telah hamil dan
melahirkan di Pengadilan Negeri Bandung Pada tanggal 15 Februari 2022 . Majelis hukum
memberikan hukuman yang lebih ringan kepada Heri daripada tuntutan jaksa penuntut umum
CPU yang menuntut agar Heri dikenai hukuman mati sekali gus kebiri kimia. Namun pada
akhirnya pengadilan Bandung tanggal 4 April 2022 memutuskan terdakwa untuk dihukum
mati dan membatalkan hukuman seumur hidup yang sebelumnya diputuskan anak-anak yang
dilahirkan korban di Aceh di lingkungan Pesantren sebelumnya dan dicap yatim piatu oleh
Heri kini anak-anak diasuh pada akhirnya oleh Pemprov Jabar dan akan dikembalikan kepada
ibu-ibu setelah mereka siap dan mampu mengatasi trauma nya.

Tindakan pencegahan yang dilakukan


Setidaknya ada dua faktor penyebab maraknya pelecehan sosial di lingkungan pesantren yaitu
yang pertama, iming-iming dari pelaku (pendidikan gratis, pendekatan terhadap orang tua)
dan yang kedua adalah posisi santri yang tidak berdaya. Oleh karena itu, perlu adanya
tindakan pencegahan terhadap kasus ini. Diantaranya adalah pendidikan seksual yang mana
pendidikan ini akan memberikan kesadaran atas identitas diri, hubungan dengan pihak lain,
kesehatan produksi dan perilaku seksual yang bertanggung jawab. Selain itu, santriwati yang
menjadi korban kekerasan harus diberikan perlindungan hukum berupa jaminan keselamatan
bagi korban dan keluarganya, pelayanan kesehatan, rehabilitasi sosial dan pelaku dihukum
sesuai perundang-undangan yang berlaku. Penting bagi orang tua untuk melatih anak-anak
untuk dapat bersikap tegas walaupun itu bertentangan dengan perilakunya. Orang tua yang
ingin memasukan anaknya ke pesantren perlu memastikan bahwa pesantren yang dimasuki
memiliki aturan terkait kekerasan yang disepakati saat mendaftar dan aturan tersebut haruslah
jelas dan masuk akal. Upaya lain yang dapat dilakukan adalah menciptakan kultur pendidikan
yang lebih egaliter, adil gender, dan tidak menganggap perempuan sebagai makhluk kelas
dua. Penting juga untuk menjalin kerja sama dengan Komisi Perlindungan Anak Indonesia
(KPAI), aparat kepolisian, dan pihak terkait lainnya.

Kesimpulan
berdasarkan kejadian kasus ini dapat dinyatakan bahwa sosok HW merupakan guru dari
pesantren di daerah Bandung tersebut melakukan tindakan pelecehan seksual terhadap para
santriwati yang terdapat di pesantren itu. Tindakan tak senonoh itu dilakukan bukan hanya
satu atau dua orang, melainkan 15-21 santriwati diperlakukan dengan keji olehnya. Hingga
saat ini kasus tersebut masih ditangani oleh kejaksaan hukum. Akibat perbuatan tak terpuji
pelaku yang juga merupakan pengurus pesantren, korban rata-rata dicabuli saat berumur 16-
17 tahun, mengalami trauma berat. Perbuatan guru pesantren perkosa santriwati di Bandung
dilakukan berkali-kali selama 5 tahun terhitung sejak 2016 hingga 2021.
Modus guru pesantren menghamili santriwati di Bandung, melancarkan aksinya dengan cara
mendekati orangtua korban, menjanjikan pendidikan gratis. Menurut
Sultra.Tribunnews.com , HW dikenakan hukuman penjara seumur hidup namun hukuman
tersebut diganti menjadi lebih berat dengan dijatuhkan hukuman mati pada tanggal 4 April
2022, hingga Komisi Perlindungan Anak Indonesia atau KPAI ikut serta menindaklanjuti
kasus ini.
Tindak pencegahan yang dapat dilakukan adalah pentingnya memberi edukasi seksual kepada
anak, melatih anak-anak untuk bersikap tegas, dan jika ingin memasukkan anak ke pesantren,
pentingnya untuk memastikan dan menganalisis aspek pada pesantren tersebut agar terhindar
dari hal-hal yang tidak diinginkan. Selain itu upaya lain yang dapat dilakukan adalah
menciptakan kultur pendidikan yang lebih egaliter, adil gender, dan tidak menganggap
perempuan sebagai kelas dua dan juga menjalin kerja sama dengan badan-badan terkait
perlindungan anak.

Anda mungkin juga menyukai