Anda di halaman 1dari 12

Fakta Baru Ibu Bunuh Bayi di Surabaya, Korban Dianiaya sampai Berhenti Menangis

Kompas.com - 13/07/2022, 06:14 WIB Rekontruksi pembunuhan bayi 5 bulan oleh ibunya
sendiri di Surabaya, Selasa (12/7/2022).

Lihat Foto Rekontruksi pembunuhan bayi 5 bulan oleh ibunya sendiri di Surabaya, Selasa
(12/7/2022).(Dokumentasi Polsek Wonocolo)
SURABAYA, KOMPAS.com - Polisi menemukan fakta baru dalam kasus ibu bunuh bayi di
Surabaya, Jawa Timur. Ibu berinisial ES itu menganiaya AD, anaknya yang berusia 5 bulan,
berulang kali hingga berhenti menangis dan tewas. Fakta baru itu diketahui dalam
rekonstruksi kasus yang berlangsung di Jalan Siwalankerto Tengah Gang Anggur, Surabaya,
pada Selasa (12/7/2022). Dalam rekonstruksi itu, ES memperagakan 19 adegan di lokasi
pembunuhan. Kepala Kepolisian Sektor Wonocolo Roycke Hendrik Fransisco menjelaskan,
awalnya ES yang berstatus sebagai tersangka mengaku bayinya tewas setelah dilempar dua
kali dan dipukul sekali dengan tangan kosong pada bagian punggungnya. Baca juga: Ibu
Penganiaya Bayi 5 Bulan di Surabaya Ternyata Menikah Siri dengan Ayah Korban Namun,
berdasarkan hasil rekonstruksi, ternyata korban dilempar sekali, lalu dipukul pada bagian
punggung sebnyak dua kali. Setelah itu, korban dipukul di bagian dada yang menyebabkan
korban berhenti menangis. "Setelah itu korban dibalik dan dipukul sekali pada bagian
dadanya, setelah itu korban tidak lagi menangis setelah dipukul pada bagian dadanya,"
kata Roycke saat dikonfirmasi wartawan Selasa malam.
Dia menduga, usai dipukul sekali pada bagian dada, korban mengalami sesak napas dan
sirkulasi oksigen terhenti. Nantinya, fakta baru dalam persidangan itu akan ditambahkan pada
berita acara pemeriksaan tersangka. Rekontruksi, kata Roycke, juga melibatkan ESB, ibu
tersangka yang saat ini masih tinggal di rumah tersangka. Seperti diketahui, kabar kematian
AD, bayi 5 bulan, menggemparkan warga Gang Anggur Jalan Siwalankerto Tengah,
Kecamatan Wonocolo, Surabaya, Sabtu (25/6/2022) sore.
ESB, sang nenek, tidak kuasa menahan iba melihat jasad cucunya yang mulai membusuk dan
berubah warna. Saat polisi datang mengevakuasi, tubuh jenazah AD sudah menghitam dan
mengeluarkan aroma busuk. Di beberapa bagian tubuh AD juga terdapat luka memar diduga
akibat pukulan. Di belakang kepalanya keluar cairan diduga akibat pecahnya pembuluh
darah. Menurut ESB, cucunya yang mengalami stunting akibat kurang gizi itu kerap dianiaya
oleh ES, putrinya yang juga ibu kandung AD. ES disebut kerap melakukan penganiayaan
kepada anak keduanya itu apalagi saat sang anak rewel. Di sisi lain, ES sedang ribut dengan
suaminya. Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com..

Sumber : https://surabaya.kompas.com/read/2022/07/13/061453478/fakta-baru-ibu-
bunuh-bayi-di-surabaya-korban-dianiaya-sampai-berhenti
Kasus Bully-Ditendang Kakak Kelas di Malang hingga Koma, 12
Saksi Diperiksa
M Bagus Ibrahim - detikJatim
Kamis, 24 Nov 2022 13:42 WIB

Kapolres Malang AKBP Putu Kholis (Foto: M Bagus Ibrahim/detikJatim)


Malang -

12 Saksi diperiksa terkait kasus dugaan perundungan atau bully yang dialami MWF (8),
siswa SD Kec Kepanjen, Kab Malang. Dari 12 saksi, 7 di antaranya ABH (Anak yang
Berhadapan dengan Hukum).

"Penanganan (kasus) kami telah melakukan pemeriksaan kepada 12 saksi dan 7 ABH, kami
kategorikan ABH karena status nya masih di bawah umur," ujar Kapolres Malang AKBP
Putu Kholis kepada wartawan di kantornya, Kamis (24/11/2022).Sisanya, kata dia, 1 keluarga
korban, 1 guru, 3 teman korban yang mengetahui peristiwa perundungan . Sehingga total ada
12 saksi selain 7 anak di bawah umur.
Baca juga:
Siswa SD di Malang Ternyata Berkali-kali Dipalak dan Dibully Kakak Kelas

Kholis akan berkoordinasi dengan sejumlah pihak untuk pendampingan korban dan ABH.
Hal ini dilakukan agar proses yang sudah berjalan sesuai prosedur dan tidak ada
penyimpangan terhadap hak-hak anak yang berhadapan dengan hukum.

"Ada upaya-upaya pendampingan, mediasi dan nanti melibatkan BAPAS, BP3A, orangtua,
wali murid, kepala sekolah. Bila diperlukan dari diknas dan pihak terkait lain, agar
memastikan proses yang kami jalankan ini bisa sesuai prosedur," kata dia.

Sementara untuk mekanisme diversi terhadap penanganan perkara masih menunggu hasil
perkembangan proses penyelidikan. Dikatakan Kholis, pertimbangan hasil proses mediasi
dan pendampingan nanti akan muncul rekomendasi-rekomendasi yang akan ditindaklanjuti
penyidik dalam penanganan perkara.
Baca juga:
Siswa SD di Malang Jadi Korban Bully, Diseret hingga Ditendang Kakak Kelas

Sebelumnya, MFW dianiaya kakak kelasnya saat pulang sekolah, Jumat (11/11/2022) lalu.
Penganiayaan itu dilakukan di Bendungan Sengguruh yang berada di depan sekolahnya.
"Pengakuan anak saya, dia dari parkiran diseret tiga atau empat anak, kurang jelas, diseret ke
Bendungan. Dianiaya di situ. Ditendang kepalanya, dadanya, sempat sesak nafas," terang Edi.

Setelah kejadian tersebut, pada Sabtu (12/11/2022) MFW tidak masuk sekolah karena muntah
tidak berhenti-berhenti dan mengalami sakit kepala. Selama beberapa hari kondisi korban
semakin memburuk, kejang-kejang hingga sempat tak sadarkan diri (koma).
Korban pun dilarikan ke rumah sakit untuk menjalani perawatan. Kasus perundungan ini
telah dilaporkan polisi dan sedang dalam proses penyelidikan."Harapannya untuk proses
(hukum) ya dilakukan sesuai hukum yang berlaku, biar jerah dan tidak timbul masalah seperti
ini lagi," tandas Edi.

sumber : https://www.detik.com/jatim/hukum-dan-kriminal/d-6424084/kasus-bully-
ditendang-kakak-kelas-di-malang-hingga-koma-12-saksi-diperiksa
Kasus Kakek 89 Tahun Tewas Dikeroyok dan Fenomena Main Hakim
Sendiri

Kompas.com - 25/01/2022, 15:30 WIB 11

Polisi telah menetapkan lima tersangka terkait pengeroyokan terhadap pengendara mobil
berinisial HM (89) di Jalan Pulo Kambing Raya, Cakung, Jakarta Timur. HM dikeroyok
hingga tewas di lokasi. Lihat Foto Polisi telah menetapkan lima tersangka terkait
pengeroyokan terhadap pengendara mobil berinisial HM (89) di Jalan Pulo Kambing
Raya, Cakung, Jakarta Timur.

HM dikeroyok hingga tewas di lokasi.(KOMPAS.com/NIRMALA MAULANA ACHMAD)


Polisi telah menetapkan lima tersangka terkait pengeroyokan terhadap pengendara mobil
berinisial HM (89) di Jalan Pulo Kambing Raya, Cakung, Jakarta Timur. HM dikeroyok
hingga tewas di lokasi. Penulis Ahmad Naufal Dzulfaroh | Editor Rendika Ferri Kurniawan
KOMPAS.com - Media sosial belakangan diramaikan dengan video menampilkan
sekelompok warga yang mengejar pengendara mobil dan meneriakinya maling.

Padahal, pengendara mobil yang diketahui seorang kakek berusia 89 tahun itu bukan pencuri
karena tengah mengendarai mobil miliknya. "Bukan (maling), itu warga aja salah persepsi.
Itu punya sendiri kok, sudah kami cek," kata Kasat Reskrim Jakarta Timur AKBP Ahsanul
Muqaffi. Akibat provokasi itu, pengendara lainnya ikut mengejar mobil dan ikut menghakimi
si kakek hingga meninggal dunia. Kasus ini menjadi catatan panjang warga main hakim
sendiri dan berujung kematian. Akhir Oktober lalu, seorang pencuri di Garut juga tewas
dihakimi massa dan dikubur hidup-hidup. Lantas, mengapa aksi main hakim sendiri masih
sering terjadi?

Berikut penjelasan ahli:

Fenomena main hakim sendiri Dosen Studi Antropologi Universitas Padjadjaran (Unpad)
Budi Rajab mengatakan, peristiwa ini sekaligus menegaskan bahwa kekerasan masih melekat
di tubuh masyarakat. Sehingga, masyarakat mudah terprovokasi untuk melakukan aksi main
hakim sendiri pada seseorang yang dituduh berkelakuan lain, dalam hal ini berbuat kriminal.
Tak hanya itu, main hakim sendiri juga termasuk bukti belum adanya kepercayaan pada
penegak hukum. "Karena banyak kejadian, pengalaman mereka mungkin dengan tidak main
hakim sendiri, ketika diberikan ke kepolisian, pelaku tidak diapa-apain," kata Budi, saat
dihubungi Kompas.com, Selasa (25/1/2022). Selain itu, proses hukum yang panjang juga
membentuk persepsi bahwa polisi tak segera menangani suatu kasus kriminal.

Padahal, masyarakat menginginkan bahwa persoalan itu segera ditangani. Karena itu, aksi
main hakim sendiri pun lebih dipilih. Baca juga: 10 Daerah dengan Tingkat Literasi Digital
Tertinggi 2021, DIY Nomor 1 Senada, sosiolog Universitas Negeri Sebelas Maret (UNS)
Surakarta Drajat Tri Kartono menjelaskan, munculnya aksi main hakim sendiri basisnya
adalah ketidakpercayaan warga pada institusi penegak hukum dan lembaga-lembaga
pemasyarakatan.

Menurut dia, anggapan warga ketika menyerahkan pelaku kejahatan ke polisi adalah terjadi
ketidakadilan terhadap mereka. Lebih lanjut, Drajat menyebut, warga yang main hakim
sendiri ini sebagai prilaku kekerasan kolektif. Ia menyebut ada tiga jenis kekerasan kolektif,
yakni: Pertama, kekerasan kolektif instrumental yang dilakukan secara bersamaan sebagai
bentuk pembelaan, seperti menghakimi pelaku kejahatan. Kedua, kekerasan kolektif yang
terjadi karena demonstration effect atau ikut-ikutan. Ketiga, kekerasan kolektif yang
dilakukan karena heroisme atau merasa menjadi pahlawan dan harus membela komunitasnya.
Baca juga: Fakta-fakta Kerangkeng Manusia di Rumah Bupati Nonaktif Langkat "Tapi
kekerasan kolektif apapun itu, orang tidak segera merasa bersalah karena dilakukan bersama-
sama," kata Drajat, dikutip dari pemberitaan Kompas.com. "Sehingga kalau mereka menemui
pencuri, mereka sudah langsung bergerak secara instrumental dengan maksud pencurian tidak
lagi terjadi di daerah mereka," tambahnya. Drajat menilai, hal inilah yang menjadi
pembenaran aksi main hakim sendiri. Jadi, kekerasan kolektif akan berulang karena ada
dorongan untuk heroisme, bertindak bersama-sama, dan seringkali mengabaikan
kemanusiaan.

Sumber : https://www.kompas.com/tren/read/2022/01/25/153000265/kasus-kakek-89-tahun-
tewas-dikeroyok-dan-fenomena-main-hakim-sendiri?page=all
Medina Zein Divonis 6 Bulan Penjara Kasus Pencemaran Nama Baik
CNN Indonesia
Kamis, 29 Sep 2022 14:46 WIB

Medina Zein. CNN Indonesia/Patricia Diah


Jakarta, CNN Indonesia --

Selebgram Medina Zein divonis dengan pidana enam bulan penjara terkait kasus pencemaran
nama baik melalui media elektronik terhadap Marissya Icha.

"Mengadili, menyatakan, terdakwa Medina Susani alias Medina Zein telah terbukti secara sah
dan meyakinkan melakukan tindak pidana pencemaran nama baik melalui media elektronik,"
ujar hakim ketua Bawono Effendi saat membacakan amar putusan di Pengadilan Negeri (PN)
Jakarta Selatan, Kamis (29/9).

"Menjatuhkan pidana oleh karena itu dengan pidanan penjara selama enam bulan dan denda
Rp50 juta rupiah. Dengan ketentuan jika denda tersebut tidak dibayar, diganti dengan pidana
kurungan selama satu bulan.," imbuhnya.

Vonis ini lebih ringan daripada tuntutan jaksa penuntut umum yang ingin Medina Zein
dihukum satu tahun penjara untuk kasus pencemaran nama baik terhadap Marissya Icha.

Dalam perkara ini, Medina Zein dinyatakan bersalah melanggar Pasal 310 dan 311 KUHP
dan atau Pasal 27 ayat (3) UU RI Nomor 19 Tahun 2016 tentang ITE.

Dalam menjatuhkan putusan ini, hakim mengungkapkan hal-hal yang memberatkan maupun
meringankan untuk Medina Zein.

Hal memberatkan yakni perbuatan Medina sangat tidak sesuai dan bertentangan dengan nilai-
nilai etika kesopanan dan tidak mendidik penguna media sosial apalagi ia memiliki banyak
followersnya.

Sedangkan hal meringankan yaitu Medina belum pernah dihukum, ia merupakan seorang ibu
dari dua orang anak yang membutuhkan perhatian dan bimbingan dari seorang ibu, mengakui
bersalah dan bersedia memohon maaf kepada saksi Marissa Mulyana, dan memiliki gangguan
jiwa bipolar sehingga memerlukan perawatan intensif.
Diketahui, kegaduhan bermula saat Marissya Icha menduga Medina Zein menjual tas palsu
kepadanya. Oleh karena itu, Marissya meminta agar mantan bos kosmetik itu segera
mengembalikan uang pembelian tas tersebut.

Namun, Medina Zein justru mengancam dan menghina Marissya Icha melalui media sosial.
Tak terima dengan hal itu, Marissya Icha kemudian melaporkan Medina Zein ke Polda Metro
Jaya pada September 2021 atas dugaan pencemaran nama baik.
(lna/ain)

sumber : https://www.cnnindonesia.com/nasional/20220929143407-12-854260/medina-zein-
divonis-6-bulan-penjara-kasus-pencemaran-nama-baik

Anda mungkin juga menyukai