Anda di halaman 1dari 3

NAMA : Anggi Pangestu Rahayu

NIM : 15643025

Kasus Pelecehan Seksual di JIS


Kasus Pelecehan Seksual di JIS adalah dugaan pelecehan seksual oleh karyawan dan guru
Jakarta International School terhadap anak didiknya. Kasus ini mulai dilaporkan pada tanggal
April 2014, dan hingga November 2014 masih dalam proses persidangan.

Kasus ini bermula dari laporan korban berinisial AK kepada orangtuanya atas dugaan tindakan
sodomi, yang kemudian diikuti laporan dari orangtua lainnya. Awalnya hanya 5 tersangka
tenaga kebersihan alih daya dari PT ISS bernama Afrischa Setyani, Agun Iskandar, Virgiawan
Amin alias Awan, Syahrial, dan Zainal Abidin yang ditangkap, namun kasus ini terus
berkembang sehingga melibatkan guru seperti Neil Bantleman dan Ferdinant Tjong. Keduanya
ditetapkan sebagai tersangka. Seiring pemeriksaan, daftar korban bertambah menjadi tiga
orang, yaitu AL, AK, dan DS. Polda bahkan menyatakan empat orang diminta penundaan
deportasinya untuk kepentingan pemeriksaan.

Namun seiring berjalannya persidangan, kasus ini diragukan penuh rekayasa. Kontras menilai
bahwa dalam kasus ini tindakan polisi kurang hati-hati, tidak independen dan memaksakan
sebuah kasus dari bukti-bukti yang sangat lemah.

Laporan pencemaran nama baik


Pada tanggal 12 Juni 2014, tiga tenaga pengajar di Jakarta International School (JIS), Elsa
Donohue, Neil Betlemen, dan Ferdinan Tjong mendatangi Polda Metro Jaya, untuk melaporkan
pencemaran nama baik atas kasus kekerasan seksual di sekolah tempat mereka bekerja. Pihak
yang dilaporkan adalah orangtua bernama Dewi, yang menggunakan sarana Whatsapp dan
email untuk menyebarkan informasi seolah pelapor melakukan tindakan pelecehan seksual.
Dalam pertemuan orang tua murid pada April lalu, Dewi mengatakan putranya lolos dari
serangan petugas kebersihan yang saat ini ditetapkan sebaga tersangka.

Tersangka bunuh diri


Salah seorang tersangka kasus ini, Azwar, ditemukan bunuh diri selama masa pemeriksaan di
Polda Metro Jaya pada tanggal 26 April 2014 dengan cairan pembersih. Polisi menyatakan
tersangka mungkin malu karena perbuatannya. Namun kemudian berkembang dugaan bahwa
cara bunuh dirinya tidak umum terjadi di tahanan. Bunuh diri dengan cairan pembersih
biasanya dilakukan oleh ibu rumah tangga, meskipun Azwar sebagai petugas kebersihan tentu
tahu bahwa cairan tersebut berbahaya. Lagipula, tidak jelas dari mana cairan itu bisa didapatkan
oleh tersangka karena di toilet tempat kejadian, tidak tersedia.
Visum
Hasil visum oleh polisi terhadap korban AK memperlihatkan penyakit kelamin herpes yang
dideritanya. Pemeriksaan kemudian dilakukan kepada tenaga alih daya yang menjadi petugas
kebersihan di JIS, dan terungkap 13 dari 28 orang terkena penyakit serupa. Polisi menyatakan
akan mendalami hasil visum ini untuk melihat apakah ada tersangka lain yang akan terjerat.

Namun di persidangan pengacara para terdakwa menyatakan bahwa dari keterangan saksi ahli
Patologi Forensik, Dokter Evi, tidak ditemukan luka akibat sodomi yang dilakukan banyak
orang di dubur MAK. Sehingga tidak dapat disimpulkan apakah benar terjadi tindakan
pelecehan seksual. Hasil pemeriksaan oleh Dr NP, yang memeriksa korban pertama kali, juga
menyatakan tidak ada penyakit menular seksual seperti yang telah diberitakan.

Dugaan penyiksaan
Saat persidangan, saksi David mengaku melihat ibu korban AK menyaksikan tersangka
Virgiawan Amin dan Agun Iskandar disiksa dan dimaki saat diperiksa di unit PPA Polda Metro
Jaya. Saksi David juga melihat wajah Zainal Abidin dan Syahrial lebam dan berdarah pada saat
sebelum Konferensi Pers digelar Polda Metro Jaya pada hari tersebut.

Gugatan Perdata
Orangtua murid diketahui melakukan gugatan perdata terhadap Jakarta Internasional School
senilai US$125 Juta . Sebagai reaksi atas gugatan tersebut, JIS menggugat PT ISS sebagai
perusahaan alih daya atas kelalaiannya melakukan supervisi pekerjaan terhadap karyawan-
karyawannya yang ditempatkan di JIS. Melalui surat, PT ISS Indonesia menjawab alih gugatan
tersebut. Mereka menyatakan tak mau bertanggung jawab atas perbuatan yang dilakukan
mantan karyawannya. "Mereka melakukan hal tersebut di luar lingkup kerja dan kebijakan
aturan PT ISS," ujar kuasa hukum JIS, Frans Winarta. Menurut dia, karyawan sudah disodori
kontrak untuk menanggung semua perbuatan kriminal yang dilakukan di tempat kerja kelak.
Jadi kontrak tersebut memutus gugatan apa pun terhadap perusahaan, baik pidana ataupun
perdata.

Sumber: https://id.wikipedia.org/wiki/Kasus_Pelecehan_Seksual_di_JIS
Ulasan kasus Pelecehan Seksual di JIS
Kasus Jakarta International School (JIS) adalah kasus yang cukup menyita perhatian di
pertengahan tahun 2014. Kasus ini merupakan salah satu dari beberapa kasus kekerasan seksual
pada anak yang terjadi di Indonesia.
Dari kasus di atas nampak bahwa perilaku kekerasan seksual yang mana memiliki dampak
yang negatif pada perilaku korban sebenarnya merupakan sebuah mata rantai kasus kekerasan
seksual yang terjadi secara berulang. Fakta yang terungkap dalam kasus JIS yang mana salah
satu pelaku kekerasan seksual di JIS ternyata juga merupakan korban kekerasan seksual pada
saat pelaku masih anak anak. Perilaku kekerasan seksual ternyata memiliki dampak langsung
maupun dampak tidak langsung. Dampak langsung bisa berupa perubahan sikap, perilaku
korban yang mengalami kekerasan seksual, serta rasa yang tidak nyaman yang dirasakan oleh
korban. Dampak tidak langsung yang berupa perubahan persepsi mengenai perilaku seks yang
benar yang mana dapat membuat korban menjadi seorang homoseksual, atau bahkan
melakukan kekerasan seksual kepada anak di bawahnya yang akan menjadi sebuah siklus.
Yang dulunya menjadi korban kekerasn seksual pada masa kanak kanak, ketika dewasa
menjadi seorang pelaku kekerasan seksual.
Menurut saya pelaku kejahatan seksual harus dipidanakan atau dihukum yang sesuai dengan
pasalnya untuk mengurangi banyaknya pelaku kejahatan seksual. Pelaku juga harus
mendapatkan pembelajaran psikologis untuk pembekalannya selama masa tahanan dan jika
masa tahanannya habis diharapkan pelaku kejahatan tidak akan mengulanginya lagi. Menurut
saya, korban juga harus mendapatkan penanganan khusus dari KOMNAS HAM dan
perlindungan anak, korban juga harus mendapatkan pembelajaran psikologis dan terapi mental
agar tidak terjadi gangguan kejiwaan pada anak.

Anda mungkin juga menyukai