Disusun oleh :
1. Daniel Christianta (11000119130482)
2. Dian Erlita Febrina (11000119140310)
3. Erika Anamantika Putri (11000119140732)
Fakultas Hukum
Universitas Diponegoro
BAB I
KASUS POSISI
Pada tanggal 21 Januari 2021, seorang ayah dari salah satu siswi SMK Negeri 2 Padang
mengunggah sebuah video melalui siaran langsung di akun Facebook yang bernama Elianu.
Video tersebut kemudian menjadi viral lantaran mempertontonkan sebuah perdebatan antara
Elianu sebagai orang tua dari Jeni Cahyani Hia dan Zikri Zaini selaku wakil kepala sekolah di
bidang kesiswaan. Dalam video tersebut, Elianu tampak kesal karena anaknya dipaksa untuk
memakai hijab yang notabenenya bukan merupakan identitas dari keyakinan keluarga mereka.
Sebelumnya, Jeni Cahyani sempat dipanggil sebanyak tiga kali ke ruang BK karena tidak
menggunakan hijab yang telah menjadi sebuah peraturan dari sekolah tersebut untuk aturan
pakaian sekolah padahal pihak sekolah telah mengetahui bahwa Jeni merupakan salah satu siswi
yang beragama non muslim. Para guru menganggap bahwa Jeni telah melanggar aturan dengan
tampil berbeda dari siswi-siswi lainnya. Jeni mengaku bahwa dirinya kurang nyaman untuk
mengikuti aturan tersebut karena ia merasa hal itu bertentangan dengan keyakinan yang
dipeluknya. Di sisi lain, ia kerap dianggap sebagai seorang muslimah oleh orang-orang lantaran
hijab yang melekat pada kepalanya. Oleh karena itu, Jeni merasa aturan tersebut sangat
membebani dirinya sebagai seorang nasrani dan memutuskan untuk memanggil orang tuanya
datang ke sekolah guna menyampaikan keresahannya yang selama ini tidak digagas dengan baik
oleh para guru.
Sebagai orang tua dari Jeni Cahyani, Elianu merasa sekolah bersikap intoleran dengan
agama yang dipeluk oleh para muridnya dengan mengeluarkan tata tertib yang demikian. Ia
berpendapat bahwa tata tertib tersebut tidak sesuai dengan Peraturan Menteri Pendidikan dan
Kebudayaan yang telah mengatur jelas mengenai berbagai aturan di satuan pendidikan, termasuk
mengenai pakaian sekolah. Sebagai buntut dari perselisihan tersebut, orang tua Jeni akhirnya
melaporkan pihak sekolah kepada Komnas HAM dan melayangkan surat kepada Presiden
Republik Indonesia, Joko Widodo.
Kasus ini sempat menyita perhatian publik untuk beberapa saat bahkan mengejutkan
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Nadiem Makarim. Ia menyesalkan atas terjadinya hal
tersebut karena dirasa telah melanggar UU dan melukai nilai keberagaman dalam beragama. Ia
juga mengingatkan bahwa dalam hal pelaksanaan sisyem pendidikan tidak diperbolehkan adanya
sikap intoleransi dan diskriminasi. Untuk itu Kemendikbud berkoordinasi dengan pemerintah
daerah setempat untuk menindaklanjuti dan mengusut tuntas mengenai masalah ini serta
menerapkan sanksi tegas sehingga hal semacam ini tidak kembali terjadi dan bisa menjadi
pembelajaran bersama.
Sehari setelah kejadian tersebut, tepatnya pada tanggal 22 Januari 2021, Rusmadi selaku
kepala sekolah menggelar konferensi pers untuk memberikan klarifikasi. Di hari yang sama pula,
Ombudsman yang telah bekerja sama dengan Komnas HAM, memanggil Rusmadi untuk
dimintai keterangan mengenai duduk perkara yang terjadi. Ia mengaku bahwa telah terjadi
kesalahpahaman dan merasa pihak sekolah telah lalai dalam membuat aturan sehingga
memunculkan celah intoleransi kepada mereka yang beragama non muslim. Kemudian ia
meminta maaf atas kejadian yang telah terjadi dan ia menyetujui untuk dilakukannya pengkajian
ulang dan revisi terkait tata tertib sekolah.
Kasus ini berakhir damai dengan dilakukannya musyawarah yang juga melibatkan
organisasi-organisasi agama, seperti Persekutuan Gereja-Gereja Indonesia (PGI), Persekutuan
Gereja Pantekosta Indonesia (PGPI), dan Majelis Ulama Indonesia (MUI). Selesainya kasus ini
diakhiri dengan penandatanganan surat pernyataan yang menegaskan bahwa Jeni Cahyani Hia
tidak bersedia untuk menggunakan jilbab sesuai apa yang telah diatur dalam tata tertib sekolah.
BAB II
IDENTIFIKASI
Dalam kasus disebutkan bahwa pihak sekolah SMKN 2 Padang memaksa seorang siswi
yang bernama Jeni Cahyani Hia untuk memakai jilbab saat sekolah. Sikap yang diberikan oleh
pihak sekolah sama sekali tidak mencerminkan toleransi beragama dan Hak Asasi Manusia.
Disebut tidak mencerminkan toleransi beragama dan sudah melanggar Hak Asasi Manusia
dikarenakan siswi yang bernama Jeni ini non muslim yang dimana menggunakan jilbab ini
bukan merupakan identitas dari agama Jeni. Parahnya, warga sekolah menjuluki Jeni Cahyani
Hia tersebut sudah seperti beragama muslim. Maka dari itu pihak siswi yang didiskriminasikan
tersebut keberatan dan tidak nyaman dengan lingkungan sekolahnya. Wakil kepala sekolah juga
menyatakan bahwa ia merasa janggal karena hanya siswi tersebut yang tidak memakai jilbab
sedangkan para siswi lain yang notabennya non muslim pun jilbab.
Peraturan sekolah SMKN 2 Padang sudah termasuk pelanggaran HAM ringan dimana
pelanggaran ini memang tidak mengancam nyawa seseorang namun merugikan orang tersebut,
Jeni yang tidak merasa nyaman menggunakan jilbab harus mematuhi peraturan sekolah yang
wajib memakai. Peraturan tersebut sangat menentang UUD HAM dalam pasal 28E ayat 2 yang
berbunyi “setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan,menyatakan pikiran dan
sikap sesuai dengan hati nurani”. Kasus tersebut mengundang banyak protes dari para siswi non
muslim yang juga dituntut untuk memakai jilbab tetapi ada juga siswi yang tidak masalah dengan
peraturan tersebut. Sikap tidak bijak pihak sekolah sangat tidak mencerminkan toleransi terhadap
sesama manusia dan dianggap melukai nilai keberagaman dalam agama.
Dalam kasus ini sekolah SMKN 2 Padang menjelaskan jika hanya menghimbau siswi yang
nonmuslim untuk mengenakan jilbab, tetapi jika menurut pihak sekolah hanya menghimbau
teguran yang diberikan hanya cukup satu kali, jika peneguran yang diberi sudah lebih dari satu
kali sudah termasuk pemaksaan. Karena jeni sudah dihimbau lebih dari satu kali hingga Jeni
memanggil orang tuanya untuk dating kesekolah dan berbicara kepada pihak sekolah karena Jeni
sebagai nonmuslim tidak nyaman memakai jilbab. Tetapi pihak sekolah masih tetap memberi
teguran kepada jeni untuk menggunakan jilbab.
Seharusnya guru menjadi peran orang tua kedua sekaligus panutan di lingkungan sekolah
bagi para muridnya,namun jika tindakannya seperti ini sangat tidak pantas untuk dijadikan
panutan. Tetapi Fauzi Bahar yang merupakan mantan wali kota Padang juga ikut serta dalam
adanya kasus ini ia menolak aturan wajib berjilbab bagi siswa di sekolah dihilangkan Pemerintah
Provinsi Sumatera Barat. Fauzi Bahar mengkhawatirkan jika aturan tersebut diubah, maka akan
berpengaruh pada siswa muslim lainnya. Ia juga mengucap jika hanya karena segelintir orang ini
akan merusak generasi bangsa. Mantan wali kota Padang ini sangat melanggar Hak Asasi
Manusia karena ia memaksa agar siswi nonmuslim harus menyesuaikan dengan muslim yang
mayoritas berada di kota Padang. Alasan Fauzi Bahar ini sendiri membuat peraturan agar para
siswi terhindar dari DBD karena siswi memakai pakaian yang tertutup. Tidak hanya itu alasan
Fauzi membuat peraturan tersebut menghindari aksi pembulian untuk menyamaratakan dan tidak
terlihat siapa yang kaya dan siapa yang miskin. Karean dengan menggunakan jilbab perhiasan
yang digunakan tidak terlihat. Tetapi seharusnya jika memang itu tujuan dibuatnya peraturan
tersebut sangat tidak dibenarkan. Alasan yang pertama agar terhindar dari DBD seharusnya
cukup memberi peraturan menggunakan baju dan rok lengan panjang bagi para siswi, dimana
tidak nonmuslim pun disama ratakan. Dan alasan yang kedua menghindari pembulian dan
membedakan orang kaya dan miskin dikarenakan memakai perhiasan seharusnya cukup dengan
memberi peraturan pada saat sekolah tidak boleh memakai atau membawa perhiasan.
Kepala Disdik Sumbar, Adib Alfikri menegaskan tidak ada aturan bahwa siswi wajib
memakai jilbab dan semua mengacu pada peraturan dari kementrian. Ketentuan mengenai
pakaian siswa atau siswi telah diatur dalam Peraturan Mentri Pendidikan dan Kebudayaan
Nomor 45 tahun 2014. Permendikbud tidak mewajibkan model pakaian kekhususan agama
tertentu menjadi seragam sekolah. Selain itu, sekolah tidak boleh membuat peraturan bagi
peserta didik untuk menggunakan model pakaian kekhususan agama tertentu sebagai sebagai
pakaian seragam sekolah. Disini sudah sangat jelas karena Fauzi mantan Wali kota Padang dan
pihak SMKN 2 Padang salah sudah melanggar Hak Asasi Manusia.
Pihak yang berwajib harus dengan tegas menindaklanjuti kasus ini dikarenakan sudah
melanggar Hak Asasi manusia serta memberi pengarahan kepada pihak sekolah yang bersalah
agar tidak terjadi lagi hal yang serupa. Dan tidak menyepelekan hal-hal yang berkaitan dengan
agama maupun HAM karena seperti pada Pasal 28H ayat (1) dan (2) yang secara garis besar
menyatakan “Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan
mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan setiap orang berhak mendapat kemudahan dan
perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai
persamaan dan keadilan.”
Peran Kemendikbud dan KomnasHAM sangat membantu sekali atas kasus ini sehingga itu
menimbulkan suatu dorongan kepada sekolah agar bisa mengakui kesalahannya dan bisa menjadi
suatu pelajaran untuk kedepannya agar tidak lalai dalam memberikan peraturan serta tidak
bersikap intoleran kepada yang beragama non muslim. Pihak sekolah mengadakan konferensi
pers serta klarifikasi atas tindakannya terhadap siswi yang bernama Jeni Cahyani Hia dihadiri
juga oleh organisasi-organisasi gereja dan lain sebagainya. Dengan adanya klarifikasi dan
perdamaian terhadap yang bersangkutan diharapkan pihak sekolah bisa lebih bijak lagi dalam
membuat suatu peraturan yang dimana itu harus menjadi suatu contoh dan tata tertib yang baik
untuk para pelajar.
BAB III
PEMBAHASAN
III. Analisis Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan tentang Seragam Sekolah
Pasal 2
(1) Penetapan pakaian seragam sekolah bertujuan: a. menanamkan dan menumbuhkan
rasa nasionalisme, kebersamaan, serta memperkuat persaudaraan sehingga dapat
menumbuhkan semangat kesatuan dan persatuan di kalangan peserta didik;
(2) meningkatkan rasa kesetaraan tanpa memandang kesenjangan sosial ekonomi
orangtua/wali peserta didik;
(3) meningkatkan disiplin dan tanggungjawab peserta didik serta kepatuhan terhadap
peraturan yang berlaku;
(4) dan menjadi acuan bagi sekolah dalam menyusun tata tertib dan disiplin peserta didik
khususnya yang mengatur pakaian seragam sekolah
Analisis:
Bahwa merujuk pada Pasal 2 Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 45
Tahun 2014 tentang Seragam Sekolah menjelaskan bahwa tujuan dari penetapan seragam
sekolah adalah untuk menanamkan dan menumbuhkan rasa nasionalisme, serta memperkuat
tali persaudaraan sehingga dapat menumbuhkan semangat kesatuan dan persatuan di
kalangan peserta didik. Dalam hal ini, apabila terdapat unsur paksaan dan terlebih unsur
keagamaan, tujuan penetapan seragam sekolah sebagaimana diatur dalam Peraturan tersebut
menjadi tidak tercapai dan justru menimbulkan masalah serta pelanggaran hukum.
VII. Analisis Piagam PBB terhadap Kasus Siswi SMK Negeri 2 Padang
Pasal 3
“Perlindungan anak bertujuan untuk menjamin terpenuhinya hak-hak anak agar dapat
hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan
martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi,
demi terwujudnya anak Indonesia yang berkualitas, berakhlak mulia, dan sejahtera”
Analisis:
Pasal ini menyatakan adanya perlindungan anak yang dimana dalam kasus sudah
melanggar hak asasi dan sangat bertentangan dalam pasal 3. pihak sekolah SMKN 2
Padang memaksa seorang siswi yang bernama Jeni Cahyani Hia untuk memakai jilbab
saat sekolah dimana hal itu sudah melanggar Hak Asasi Manusia dan tidak terpenuhinya
hak hak korban.
Pasal 10
“Setiap anak berhak menyatakan dan didengar pendapatnya, menerima, mencari, dan
memberikan informasi sesuai dengan tingkat kecerdasan dan usianya demi
pengembangan dirinya sesuai dengan nilai-nilai kesusilaan dan kepatutan.”
Analisis:
Kasus SMKN 2 Padang pendapat korban tidak didengar dan korban tidak diberikan
kebebasan untuk berbicara sedangkan dalam pasal 10 menyatakan bahwa anak berhak
menyatakan pendapatnnya untuk pengembangan dirinya sendiri.
Pasal 13 ayat (1)
“Setiap anak selama dalam pengasuhan orang tua, wali, atau pihak lain mana pun yang
bertanggung jawab atas pengasuhan, berhak mendapat perlindungan dari perlakuan:
1. diskriminasi;
2. eksploitasi, baik ekonomi maupun seksual;
3. penelantaran;
4. kekejaman, kekerasan, dan penganiayaan;
5. ketidakadilan; dan
6. perlakuan salah lainnya.”
Analisis:
Pasal 13 ayat 1 poin 5 Dalam lingkungan sekolah yang dibimbing oleh wali seharusnya
bertanggung jawab atas pengasuhan dan berhak mendapat perlindungan berupa
ketidakadilan, dimana korban tidak mendapat keadilan dari pihak sekolah dikarenakan
pemaksaan yang terjadi untuk menggunakan hijab dimana itu bukan merupakan
agamanya yang mewajibkan untuk mengenakannya.
Pasal 21
“Negara dan pemerintah berkewajiban dan bertanggung jawab menghormati dan
menjamin hak asasi setiap anak tanpa membedakan suku, agama, ras, golongan, jenis
kelamin, etnik, budaya dan bahasa, status hukum anak, urutan kelahiran anak, dan
kondisi fisik dan/atau mental.”
Analisis:
Pemerintah yang seharusnya bertanggung jawab tetapi dalam kasus tersebut mengalami
pro kontra dimana mantan wali kota Padang tidak setuju jika peraturan untuk wajib
mengenakan hijab dihilingkan, Kepala Disdik Sumbar, Adib Alfikri menegaskan tidak
ada aturan bahwa siswi wajib memakai jilbab dan semua mengacu pada peraturan dari
kementrian. Ketentuan mengenai pakaian siswa atau siswi telah diatur dalam Peraturan
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 45 tahun 2014. Permendikbud tidak
mewajibkan model pakaian kekhususan agama tertentu menjadi seragam sekolah.
BAB IV
PENUTUP
I. Kesimpulan
Indonesia sebagai negara dengan beranekaragam suku, bangsa, agama, ras serta golongan
sudah seharusnya dan sepantasnya menjunjung tinggi adanya toleransi antar kelompok serta
golongan guna menjaga tali persaudaraan tetap erat dan tetap menjadi dasar nilai bagi setiap
orang dalam bersosialisasi dalam masyarakat. Dalam hal ini, perlakuan yang diberikan oleh
pihak sekolah SMKN 2 Padang kepada salah satu siswanya, yaitu Jeni Cahyani
menggambarkan tidak tertanam dengan kuatnya nilai-nilai toleransi di antara mereka.
Perbuatan yang dilakukan pihak sekolah SMKN 2 Padang sudah melanggar berbagai
peraturan mengenai Hak Asasi Manusia, sehingga sudah seharusnya perlu penyelidikan
terhadap seluruh pihak yang terlibat dalam kasus tersebut.