FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS DIPONEGORO
2021
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Narkotika dan obat berbahaya (narkoba) memang menjadi salah satu masalah
yang menjadi ancaman di banyak negara, tidak terkecuali Filipina. Sebagai
contoh, narkoba jenis Opium telah masuk dan mulai digunakan di Filipina sejak
tahun 1521. Ketergantungan terhadap Narkoba di Filipina semakin lama
membesar dengan seiring berjalan nya waktu, hal tersebut diakibatkan dengan
masuknya heroin, ganja, morfin, dan kokain dan berbagai macam jenis obat-
obatan berbahaya lainnya. Masyarakat dapat menggunakan obat–obatan terlarang
tersebut secara bebas, karena selain pengaturan tentang opium belum ada
pengaturan lebih lanjut terkait dengan narkotika berbahaya lainnya. Hal ini
Menyebabkan sulit nya mengatur peredaran narkotika tersebut.
Negara Filipina merupakan sebuah negara di kawasan Asia Tenggara dengan
peredaran narkotika dan obat terlarang (narkoba) cukup tinggi. Statistik
Dangerous Drugs Board menunjukkan sebanyak 1.8 juta jiwa merupakan
pengguna narkoba dari 100.98 juta penduduk Filipina. Pada 9 Mei 2016 Rodrigo
Duterte dilantik sebagai presiden Republik Filipina yang ke 16. Salah satu
kebijakan Presiden Duterte dalam memberantas peredaran narkoba di Filipina
adalah ‘war on drugs’ atau perang melawan narkoba. Kebijakan ini dilaksanakan
berdasarkan Command Memorandum Circular No. 16 – 2016 tentang PNP Anti-
Illegal Drugs Campaign Plan - Project: “Double Barrel” tertanggal 1 Juli 2016.
Namun dalam pelaksanaannya, terjadi tindakan extrajudicial killing yang
menyebabkan kematian terduga pengguna dan pengedar narkoba.1
Pada 7 Oktober 2016, Rafendi Djamin sebagai Director of Southeast Asia and
the Pasific at Amnesty International menyatakan bahwa kurang dari 100 hari
kepemimpinan Rodrigo Duterte sebagai Presiden Filipina, gelombang
pembunuhan diluar proses pengadilan (extrajudicial killing/unlawful killing) telah
menewaskan lebih dari 3.000 orang, hal ini melanggar hak asasi manusia yang
ada di negara ini. Tindakan extrajudicial killing yang terjadi di Filipina berindikasi
1
Fivi Fajar Iryana dan Handojo Leksono, “Analisis Kebijakan Presiden Duterte Melakukan Extrajudicial
Killing Dalam Memberantas Narkoba di Filipina Berdasarkan Statuta Roma 1998”. Belli ac Pacis, Vol. 4
No. 1, 2018, hal. 44.
masuk dalam tindakan kejahatan terhadap kemanusiaan dibawah yurisdiksi
Mahkamah Pidana Internasional (International Criminal Court/ICC) yang
sebagaimana tercantum dalam Statuta Roma 1998.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah kami tuliskan diatas, maka terdapat
beberapa permasalahan yang dapat dibahas, antara lain:
1. Apakah tindakan Extrajudicial Killing di Filipina dapat dikualifikasikan sebagai
kejahatan terhadap kemanusiaan ditinjau dari hukum pidana internasional?
2. Bagaimana pelanggaran hak asasi manusia akibat tindakan Extrajudial
Killing?
C. Tujuan
Makalah ini bertujuan untuk mengetahui peran hukum pidana internasional
berdasarkan teori, azas, prinsip hukum pidana internasional terhadap tindakan
extrajudicial killing sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan dan berupaya
menjelaskan bagaimana upaya hukum yang harus dilakukan untuk menyelesaikan
masalah tersebut.
Kasus Posisi
Pada 7 Oktober 2016, Rafendi Djamin sebagai Director of Southeast Asia and
the Pasific at Amnesty International menyatakan bahwa kurang dari 100 hari
kepemimpinan Rodrigo Duterte sebagai Presiden Filipina, gelombang pembunuhan
diluar proses pengadilan (extrajudicial killing/ unlawful killing) telah menewaskan lebih
dari 3.000 orang, hal ini melanggar hak asasi manusia yang ada di negara ini. Kepala
Kepolisian Filipina, Ronald dela Rosa mengatakan kepada senator bahwa pada 20
September, lebih dari 1.500 orang telah tewas dalam operasi polisi terhadap narkoba,
sementara ada lebih dari 2.000 pembunuhan oleh penyerang yang tak dikenal berada
dibawah penyelidikan. Jumlah pembunuhan kini diduga menjadi lebih dari 3.500 –
setidaknya 33 hari sejak Rodrigo Duterte berkuasa. Sejak terpilihnya, Presiden Duterte
telah secara aktif menciptakan iklim dimana orang bisa membunuh atau dibunuh, atas
nama ‘war on drugs.2
Rakyat Filipina sudah tahu rencana Duterte yang amat bernafsu untuk
membantai para pengedar dan pengguna narkoba, bahkan sebelum pencalonan
dirinya dalam pemilihan presiden baru. Pada bulan Mei 2016 Duterte, misalnya, ia
berkata: “Jika kebetulan Tuhan menempatkan saya di sana (posisi presiden),
waspadalah, karena 1.000 (orang yang telah ia eksekusi selama menjabat sebagai
Walikota Davao) akan menjadi 100.000. Kau akan melihat ikan-ikan di Teluk Manila
menjadi gemuk. Di sana lah aku akan membuang mayatmu (kriminal obat-obatan
terlarang),” demikian sebagaimana dikutip Human Right Watch.
Perang terhadap narkoba jadi jualan utama Duterte selama kampanye dan
rupanya sukses besar untuk mengantarkannya sebagai Presiden Filipina ke-16.
Duterte menepati janjinya. Usai dilantik pada 30 Juni 2016, per 1 Juli di tahun yang
sama ia mulai menerjunkan aparat kepolisian untuk menyerbu sarang pengedar dan
menangkapi pengguna dengan kekerasan yang tak main-main.
Kebijakan War on Drug Presiden Duterte mendapat sorotan negatif dari mata
internasional karena dianggap melanggar HAM yang telah disepakati sejak dulu.
Amnesty International, laporannya yang dirilis pada 1 Februari 2016 , mengatakan
bahwa kebijakan war on drugs Duterte justru melanggar HAM dan disebut sebagai
2
Amnesty International Limited. 2016. “Philippines: Duterte’s 100 days of carnage”.
https://www.amnesty. org/en/latest/news/2016/10/philippines-dutertes-hundred-days-of-carnage/.
diakses pada 26 Oktober 2016
3
https://tirto.id/perang-narkoba-duterte-adalah-perang-melawan-orang-miskin-cvjg
“crime against humanity” atau kejahatan atas kemanusiaan. Mereka juga memaparkan
beberapa fakta kotor dibalik operasi polisi yang mana adanya oknum-oknum polisi
yang dibayar untuk melakukan pemnubuhan kepada orang lain yang tidak memiliki
kaitan dengan narkoba atas permintaan pribadi ataupun kelompok.
Tidak hanya Amnesty Internasional, Human Right Watch juga mengatakan hal
yang sama, yakni kebijakan War on Drugs Duterte merupakan “human rights calamity”
atau bencana besar HAM atas terbunuhnya lebih dari 1000 tersangka Narkoba dalam
waktu singkat. Kritik juga berdatangan dari badan-badan Narkoba di dunia yakni
International Narcotics Control Board (INCB) dan United Nations Office on Drugs and
Crime (UNODC).INCB berpendapat bahwa menggunakan extrajudicial killings untuk
mengontrol dan menghentikan masalah narkoba justru melanggar International Drug
Conventions.Tidak hanya organisasi, media-media internasional juga mulai kerap
memberitakan kebijakan Duterte dari sisi humanis. Dari perspektif media mainstream
internasional, kebijakan War on Drug Duterte jelas sangat melenceng dari nilai-nilai
HAM.
Pada 2 Agustus 2016, sebanyak 372 NGOs melayangkan surat terbuka kepada
Eksekutif Direktur UNODC, Yury Fedotov dan Werner Sipp dari INCB, meminta agar
UNODC dan INBC menindaklanjuti masalah pelanggaran HAM yang dilakukan
Presiden Filipina Terpilih, Rodrigo Duterte atas kebijakan War on Drugs nya yang telah
memakan korban ratusan dalam waktu singkat. Para NGOs ini juga menyatakan
ketidak setujuan mereka atas praktek Ekstrajudicial Killing yang dilakukan Duterte
dengan mengatasnamakan pemberantasan Narkoba. Padahal, Bandar narkoba pun
memiliki hak untuk di lindungi, hak untuk mendapatkan jaminan kesehatan guna
membantu menyembuhkan kecanduannya, dan hak menerima perlakuan medis.Serta
mereka juga memiliki hak untuk menjalani peradilan atas apa yang telah mereka
lakukan dan nantinya hakim yang akan menentukan hukuman mereka. Namun hal
yang dilakukan Duterte justru bertolak belakang dengan hak-hak mereka.Duterte,
dengan operasi Double Barrel nya langsung mengeksekusi mati para tersangka
narkoba.Lebih parah, Duterte tidak segan menyuarakan perintah membunuh Bandar
narkoba demi Filipina yang bersih dari benda terlarang tersebut.4
4
Khariza Praditya Rizky Mumpuni (2021) Kebijakan War On Drugs Presiden Rodrigo Duterte Melawan
Kritik Internasional. S1 thesis, Universitas Muhammadiyah Yogyakarta. Bab III hal 5-6.
UNODC dan INCB berkomitmen untuk melakukan pemberantasan narkoba
dengan pendekatan human rights, artinya, kedua badan tersebut tetap menjunjung
tinggi nilai-nilai kemanusiaan dan hak mereka dalam upaya pemberantasan dan
pencegahan narkoba di dunia. Melihat apa yang Duterte lakukan adalah hal yang
bertolak belakang dengan prinsip UNODC dan INCB ini, 372 NGOs tersebut mendesak
kedua badan internasional tersebut untuk menindak lanjuti kebijakan War on Drug
Duterte. INCB dalan laporan tahunannya tahun 2016 menyatakan, sistem kontrol
narkoba harus berdasarkan pada the principles of proportionality, collective
responsibility dan compliance dengan internasional human rights standards.
BAB II
B. Analisis
“for the purpose of this Statuta, crimes against humanity means any of the
following acts when committed as part of a widespread or systematic attack directed
against any civilian population,…”
Dalam Statuta Roma tersebut lebih lanjut juga ditegaskan mengenai perbuatan-
perbuatan yang dapat dikualifikasikan sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan
meliputi pembunuhan; pemusnahan; perbudakan; deportasi atau pemindahan paksa;
memenjarakan atau perampasan kebebasan fisik secara kasar dengan melanggar
dasar-dasar HI; penyiksaan; perkosaan, perbudakan seksual, pemaksaan prostitusi,
pemaksaan sterilisasi, atau bentuk-bentuk kekerasan seksual lainnya; persekusi
terhadap suatu kelompok berdasarkan alasan-alasan politik, ras, nasional, etnis,
budaya, agama dan seterusnya; penghilangan paksa; kejahatan apartheid; perbuatan
tidak manusiawi lainnya, dengan sifat yang sama, secara sengaja menyebabkan
penderitaan berat atau luka serius atas badan, mental atau kesehatan fisik.
5
Setiyono, J, (2010), “Pertanggungjawaban Komando (Command Responsibility) dalam
Pelanggaran Ham Berat (Studi Kasus Kejahatan Terhadap Kemanusiaan di Indonesia)”,
(Doctoral dissertation, Universitas Diponegoro).
Salah satu variasi tindakan kejahatan terhadap kemanusiaan berdasarkan
Artikel 7 Statuta Roma 1998 sebagaimana disebutkan di atas adalah ‘pembunuhan’
(murder). Tindakan pembunuhan ini sesuai dengan extrajudicial killing di Filipina.
Berdasarkan Elements of Crimes Artikel 7 (1) (a). seseorang dapat dikatakan telah
melakukan kejahatan terhadap kemanusiaan berupa pembunuhan apabila telah
memenuhi unsur-unsur yaitu, pertama, pelaku membunuh satu atau lebih orang.
Penjelasan dalam catatan kaki Elements of Crimes mengenai istilah ‘membunuh’
(killing) dapat dipertukarkan dengan istilah ‘menyebabkan kematian’ (caused death).
6
Fivi Fajar Iryana & Handoko Leksono, (2018), “Analisis Kebijakan Presiden Duterte Melakukan
Extrajudicial Killing dalam Memberantas Narkoba di Filipina Berdasarkan Statuta Roma
1998”, Belli Ac Pacis, 4(1), 44-56.
7
Ibid. hlm. 48
Dalam kasus extrajudicial killing dalam “war on drugs” yang terjadi di Filipina
diketahui bahwa terdapat ribuan korban jiwa atas kebijakan tersebut, serangannya juga
meluas atau sistematik yang mana ini dibuktikan dengan metode yang terorganisir dari
awal hingga akhir sampai jatuhnya ribuan korban jiwa di berbagai wilayah Negara
Filipina, serangan ini juga ditujukan pada penduduk sipil dibuktikan dengan kematian
drug personalities, bukan dalam keadaan negara sedang berperang. Selain itu, di sini
pelaku juga mengetahui mengetahui bahwa tindakannya merupakan kejahatan yang
telah direncanakan atau menjadi bagian dari unsur sistematis. Oleh karena itu,
tindakan extrajudicial killing ini telah memenuhi unsur-unsur kejahatan terhadap
kemanusiaan.
Duterte atas kebijakan War on Drugs telah memerintahkan pihak kepolisian dan
militer dengan operasi Double Barrel untuk tidak segan mengeksekusi mati para
tersangka Bandar yang melawan untuk ditangkap. Kebijakan Presiden Durtete
merupakan contoh dari Extrajudicial Killing yang telah jelas melanggar Hak asasi
manusia, terutama hak untuk hidup dan hak mendapatkan keadilan yang adil dalam
peradilan (fair trial). Yang mana pembunuhan di luar putusan pengadilan atau
Extrajudicial Killing dilarang keras oleh ketentuan-ketentuan HAM internasional,
layaknya dimuat dalam Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM), International
Covenant on Civil and Political Rights/ICCPR (Kovenan Internasional Tentang Hak-
Hak Sipil dan Politik).
Dalam DUHAM, hak untuk hidup dapat ditemukan tercantum dalam pasal 3
yang berbunyi “Setiap orang berhak atas kehidupan, kebebasan dan keselamatan
sebagai individu.” Selain itu Pasal 6 ayat (1) International Covenant on Civil and
Political Rights/ICCPR juga mengatur hak tersebut yang mana berbunyi “Setiap
manusia berhak atas hak untuk hidup yang melekat pada dirinya. Hak ini wajib
dilindungi oleh hukum. Tidak seorang pun dapat dirampas hak hidupnya secara
sewenang-wenang.” Dapat disimpulkan dari ketentuan-ketentuan diatas bahwa hak
untuk hidup seorang manusia selayaknya dilindungi hukum dari tindakan perampasan
yang sewenang-wenang. Ketentuan ini juga mengartikan pembunuhan yang
sewenang-wenang tidak dapat dibenarkan dalam bentuk dan alasan apapun, sekalipun
termasuk sebagai upaya pemberantasan narkoba. Tindakan membunuh, mengartikan
bahwa seseorang yang melakukan hal tersebut telah merampas hak untuk hidup milik
orang lain. Namun yang ditemukan dalam kasus ini ialah berbalik dari ketentuan
diatas, dimana negara sebagai aparat hukum malah bertindak sebagai oknum yang
sewenang-wenang. Oleh sebab itu, kebijakan War on Drugs Duterte secara mendasar
telah melanggar hak untuk hidup.
1. salah satu atau lebih dari sekain banyak perbuatan sebagaimana dicantumkan
diatas dengan dibuktikan kematian ribuan korban jiwa atau menyebabkan
hilangnya nyawa seseorang;
2. dilakukan sebagai bagian dari serangan yang meluas atau sistematik dibuktikan
dengan susunan acara pembunuhan dari awal hingga akhir atau jatuhnya ribuan
korban jiwa di berbagai wilayah di Negara Filipina;
3. serangan tersebut ditujukan kepada penduduk sipil dibuktikan dengan kematian
drug personalities bukan sebagai combatan atau bukan dalam keadaan negara
sedang berperang (declaring war);
4. pelaku mengetahui tindakannya sebagai bagian dari serangan yang meluas atau
sistematik dibuktikan dalam kasus kematian Edward, adanya susunan acara yang
rapi dan pelaku telah menarget korban dengan dibuktikan penanaman bukti palsu
berupa paket shabu didekat mayat korban sehingga menandakan pelaku
mengetahui bahwa tindakannya merupakan kejahatan yang telah direncanakan
atau menjadi bagian dari unsur sistematis.
A. Kesimpulan
Fivi Fajar Iryana dan Handojo Leksono, “Analisis Kebijakan Presiden Duterte Melakukan Extrajudicial
Killing Dalam Memberantas Narkoba di Filipina Berdasarkan Statuta Roma 1998”. Belli ac Pacis, Vol. 4
No. 1, 2018, hal. 44.
Khariza Praditya Rizky Mumpuni (2021) Kebijakan War On Drugs Presiden Rodrigo Duterte Melawan
Kritik Internasional. S1 thesis, Universitas Muhammadiyah Yogyakarta. Bab III hal 5-6.
Fivi Fajar Iryana & Handoko Leksono, (2018), “Analisis Kebijakan Presiden Duterte Melakukan
Extrajudicial Killing dalam Memberantas Narkoba di Filipina Berdasarkan Statuta Roma
1998”, Belli Ac Pacis, 4(1), 44-56.
https://tirto.id/perang-narkoba-duterte-adalah-perang-melawan-orang-miskin-cvjg