Anda di halaman 1dari 16

EXTRAJUDICIAL KILLING SEBAGAI KEJAHATAN TERHADAP KEMANUSIAAN

Dosen Pengampu: Dr. Nuswantoro Dwiwarno, S.H., M.H.

Disusun Oleh Kelompok 6:


Shierly Patricia Angelina (11000119130315)
Kathrin Angelika Siregar (11000119130495)
Muhamad Adistya Putra Digjaya (11000119130663)
Erina Ananda Ridwan (11000119130206)
Muhammad Farhan Somi Putra (11000119140584)
Hifzhi Muhammad Ikram (11000119130609)
Nur Fitriana Kurniawati (11000119120141)
Muhammad Satrio Pinandito Wibowo (11000119140183)
Hanif Yuda Kartika (11000119130526)

Gabriel Sagala (11000119120041)

Hukum Pidana Internasional Kelas B

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS DIPONEGORO
2021

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Narkotika dan obat berbahaya (narkoba) memang menjadi salah satu masalah
yang menjadi ancaman di banyak negara, tidak terkecuali Filipina. Sebagai
contoh, narkoba jenis Opium telah masuk dan mulai digunakan di Filipina sejak
tahun 1521. Ketergantungan terhadap Narkoba di Filipina semakin lama
membesar dengan seiring berjalan nya waktu, hal tersebut diakibatkan dengan
masuknya heroin, ganja, morfin, dan kokain dan berbagai macam jenis obat-
obatan berbahaya lainnya. Masyarakat dapat menggunakan obat–obatan terlarang
tersebut secara bebas, karena selain pengaturan tentang opium belum ada
pengaturan lebih lanjut terkait dengan narkotika berbahaya lainnya. Hal ini
Menyebabkan sulit nya mengatur peredaran narkotika tersebut.
Negara Filipina merupakan sebuah negara di kawasan Asia Tenggara dengan
peredaran narkotika dan obat terlarang (narkoba) cukup tinggi. Statistik
Dangerous Drugs Board menunjukkan sebanyak 1.8 juta jiwa merupakan
pengguna narkoba dari 100.98 juta penduduk Filipina. Pada 9 Mei 2016 Rodrigo
Duterte dilantik sebagai presiden Republik Filipina yang ke 16. Salah satu
kebijakan Presiden Duterte dalam memberantas peredaran narkoba di Filipina
adalah ‘war on drugs’ atau perang melawan narkoba. Kebijakan ini dilaksanakan
berdasarkan Command Memorandum Circular No. 16 – 2016 tentang PNP Anti-
Illegal Drugs Campaign Plan - Project: “Double Barrel” tertanggal 1 Juli 2016.
Namun dalam pelaksanaannya, terjadi tindakan extrajudicial killing yang
menyebabkan kematian terduga pengguna dan pengedar narkoba.1
Pada 7 Oktober 2016, Rafendi Djamin sebagai Director of Southeast Asia and
the Pasific at Amnesty International menyatakan bahwa kurang dari 100 hari
kepemimpinan Rodrigo Duterte sebagai Presiden Filipina, gelombang
pembunuhan diluar proses pengadilan (extrajudicial killing/unlawful killing) telah
menewaskan lebih dari 3.000 orang, hal ini melanggar hak asasi manusia yang
ada di negara ini. Tindakan extrajudicial killing yang terjadi di Filipina berindikasi

1
Fivi Fajar Iryana dan Handojo Leksono, “Analisis Kebijakan Presiden Duterte Melakukan Extrajudicial
Killing Dalam Memberantas Narkoba di Filipina Berdasarkan Statuta Roma 1998”. Belli ac Pacis, Vol. 4
No. 1, 2018, hal. 44.
masuk dalam tindakan kejahatan terhadap kemanusiaan dibawah yurisdiksi
Mahkamah Pidana Internasional (International Criminal Court/ICC) yang
sebagaimana tercantum dalam Statuta Roma 1998.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah kami tuliskan diatas, maka terdapat
beberapa permasalahan yang dapat dibahas, antara lain:
1. Apakah tindakan Extrajudicial Killing di Filipina dapat dikualifikasikan sebagai
kejahatan terhadap kemanusiaan ditinjau dari hukum pidana internasional?
2. Bagaimana pelanggaran hak asasi manusia akibat tindakan Extrajudial
Killing?

C. Tujuan
Makalah ini bertujuan untuk mengetahui peran hukum pidana internasional
berdasarkan teori, azas, prinsip hukum pidana internasional terhadap tindakan
extrajudicial killing sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan dan berupaya
menjelaskan bagaimana upaya hukum yang harus dilakukan untuk menyelesaikan
masalah tersebut.

Kasus Posisi

Filipina merupakan sebuah negara di kawasan Asia Tenggara dengan


peredaran narkotika dan obat terlarang (narkoba) cukup tinggi. Statistik Dangerous
Drugs Board menunjukkan sebanyak 1.8 juta jiwa merupakan pengguna narkoba dari
100.98 juta penduduk Filipina. Pada 9 Mei 2016 Rodrigo Duterte dilantik sebagai
presiden Republik Filipina yang ke 16. Salah satu kebijakan Presiden Duterte dalam
memberantas peredaran narkoba di Filipina adalah ‘war on drugs’ atau perang
melawan narkoba. Kebijakan ini dilaksanakan berdasarkan Command Memorandum
Circular No. 16 – 2016 tentang PNP Anti-Illegal Drugs Campaign Plan - Project:
“Double Barrel” tertanggal 1 Juli 2016. Namun dalam pelaksanaannya, terjadi tindakan
extrajudicial killing yang menyebabkan kematian terduga pengguna dan pengedar
narkoba.

Pada 7 Oktober 2016, Rafendi Djamin sebagai Director of Southeast Asia and
the Pasific at Amnesty International menyatakan bahwa kurang dari 100 hari
kepemimpinan Rodrigo Duterte sebagai Presiden Filipina, gelombang pembunuhan
diluar proses pengadilan (extrajudicial killing/ unlawful killing) telah menewaskan lebih
dari 3.000 orang, hal ini melanggar hak asasi manusia yang ada di negara ini. Kepala
Kepolisian Filipina, Ronald dela Rosa mengatakan kepada senator bahwa pada 20
September, lebih dari 1.500 orang telah tewas dalam operasi polisi terhadap narkoba,
sementara ada lebih dari 2.000 pembunuhan oleh penyerang yang tak dikenal berada
dibawah penyelidikan. Jumlah pembunuhan kini diduga menjadi lebih dari 3.500 –
setidaknya 33 hari sejak Rodrigo Duterte berkuasa. Sejak terpilihnya, Presiden Duterte
telah secara aktif menciptakan iklim dimana orang bisa membunuh atau dibunuh, atas
nama ‘war on drugs.2

Rakyat Filipina sudah tahu rencana Duterte yang amat bernafsu untuk
membantai para pengedar dan pengguna narkoba, bahkan sebelum pencalonan
dirinya dalam pemilihan presiden baru. Pada bulan Mei 2016 Duterte, misalnya, ia
berkata: “Jika kebetulan Tuhan menempatkan saya di sana (posisi presiden),
waspadalah, karena 1.000 (orang yang telah ia eksekusi selama menjabat sebagai
Walikota Davao) akan menjadi 100.000. Kau akan melihat ikan-ikan di Teluk Manila
menjadi gemuk. Di sana lah aku akan membuang mayatmu (kriminal obat-obatan
terlarang),” demikian sebagaimana dikutip Human Right Watch.

Perang terhadap narkoba jadi jualan utama Duterte selama kampanye dan
rupanya sukses besar untuk mengantarkannya sebagai Presiden Filipina ke-16.
Duterte menepati janjinya. Usai dilantik pada 30 Juni 2016, per 1 Juli di tahun yang
sama ia mulai menerjunkan aparat kepolisian untuk menyerbu sarang pengedar dan
menangkapi pengguna dengan kekerasan yang tak main-main.

Jika melawan, taruhannya eksekusi ekstra yudisial (extrajudicial killing). Metode


ini kemudian ditiru oleh kelompok vigilante di seluruh negeri yang seakan mendapat
legitimasi dari sang presiden baru untuk memburu para pengguna dan pengedar
layaknya kecoa. Pengadilan bukan lagi dianggap sebagai lembaga yang diandalkan.
Duterte dan barisan pendukungnya pun rajin memaki dan mencibir beragam kritik atas
kebijakannya yang didasarkan pada prinsip Hak Asasi Manusia (HAM).3

Kebijakan War on Drug Presiden Duterte mendapat sorotan negatif dari mata
internasional karena dianggap melanggar HAM yang telah disepakati sejak dulu.
Amnesty International, laporannya yang dirilis pada 1 Februari 2016 , mengatakan
bahwa kebijakan war on drugs Duterte justru melanggar HAM dan disebut sebagai

2
Amnesty International Limited. 2016. “Philippines: Duterte’s 100 days of carnage”.
https://www.amnesty. org/en/latest/news/2016/10/philippines-dutertes-hundred-days-of-carnage/.
diakses pada 26 Oktober 2016
3
https://tirto.id/perang-narkoba-duterte-adalah-perang-melawan-orang-miskin-cvjg
“crime against humanity” atau kejahatan atas kemanusiaan. Mereka juga memaparkan
beberapa fakta kotor dibalik operasi polisi yang mana adanya oknum-oknum polisi
yang dibayar untuk melakukan pemnubuhan kepada orang lain yang tidak memiliki
kaitan dengan narkoba atas permintaan pribadi ataupun kelompok.

Tidak hanya Amnesty Internasional, Human Right Watch juga mengatakan hal
yang sama, yakni kebijakan War on Drugs Duterte merupakan “human rights calamity”
atau bencana besar HAM atas terbunuhnya lebih dari 1000 tersangka Narkoba dalam
waktu singkat. Kritik juga berdatangan dari badan-badan Narkoba di dunia yakni
International Narcotics Control Board (INCB) dan United Nations Office on Drugs and
Crime (UNODC).INCB berpendapat bahwa menggunakan extrajudicial killings untuk
mengontrol dan menghentikan masalah narkoba justru melanggar International Drug
Conventions.Tidak hanya organisasi, media-media internasional juga mulai kerap
memberitakan kebijakan Duterte dari sisi humanis. Dari perspektif media mainstream
internasional, kebijakan War on Drug Duterte jelas sangat melenceng dari nilai-nilai
HAM.

Pada 2 Agustus 2016, sebanyak 372 NGOs melayangkan surat terbuka kepada
Eksekutif Direktur UNODC, Yury Fedotov dan Werner Sipp dari INCB, meminta agar
UNODC dan INBC menindaklanjuti masalah pelanggaran HAM yang dilakukan
Presiden Filipina Terpilih, Rodrigo Duterte atas kebijakan War on Drugs nya yang telah
memakan korban ratusan dalam waktu singkat. Para NGOs ini juga menyatakan
ketidak setujuan mereka atas praktek Ekstrajudicial Killing yang dilakukan Duterte
dengan mengatasnamakan pemberantasan Narkoba. Padahal, Bandar narkoba pun
memiliki hak untuk di lindungi, hak untuk mendapatkan jaminan kesehatan guna
membantu menyembuhkan kecanduannya, dan hak menerima perlakuan medis.Serta
mereka juga memiliki hak untuk menjalani peradilan atas apa yang telah mereka
lakukan dan nantinya hakim yang akan menentukan hukuman mereka. Namun hal
yang dilakukan Duterte justru bertolak belakang dengan hak-hak mereka.Duterte,
dengan operasi Double Barrel nya langsung mengeksekusi mati para tersangka
narkoba.Lebih parah, Duterte tidak segan menyuarakan perintah membunuh Bandar
narkoba demi Filipina yang bersih dari benda terlarang tersebut.4

4
Khariza Praditya Rizky Mumpuni (2021) Kebijakan War On Drugs Presiden Rodrigo Duterte Melawan
Kritik Internasional. S1 thesis, Universitas Muhammadiyah Yogyakarta. Bab III hal 5-6.
UNODC dan INCB berkomitmen untuk melakukan pemberantasan narkoba
dengan pendekatan human rights, artinya, kedua badan tersebut tetap menjunjung
tinggi nilai-nilai kemanusiaan dan hak mereka dalam upaya pemberantasan dan
pencegahan narkoba di dunia. Melihat apa yang Duterte lakukan adalah hal yang
bertolak belakang dengan prinsip UNODC dan INCB ini, 372 NGOs tersebut mendesak
kedua badan internasional tersebut untuk menindak lanjuti kebijakan War on Drug
Duterte. INCB dalan laporan tahunannya tahun 2016 menyatakan, sistem kontrol
narkoba harus berdasarkan pada the principles of proportionality, collective
responsibility dan compliance dengan internasional human rights standards.
BAB II

B. Analisis

1. Tindakan Extrajudicial Killing sebagai Kejahatan terhadap Kemanusiaan Ditinjau dari


Hukum Pidana Internasional
Istilah kejahatan terhadap kemanusiaan telah lama dikenal dalam Hukum
Internasional terutama sejak berakhirnya Perang Dunia II. secara historis terminologi
munculnya istilah kejahatan terhadap kemanusiaan mulanya berasal dari istilah crimes
against humanity yang muncul pertama kali dalam peradilan penjahat PD II terhadap
tentara Nazi-Jerman maupun Jepang. Secara normatif, pengertian kejahatan terhadap
kemanusiaan telah tercantum dalam berbagai instrumen hukum, baik yang bersifat
5
internasional (dalam IMTN 1946, IMTT 1948, ICTY, ICTR 1994, Statuta Roma 1998).
Pengertian yang terdapat dalam instrumen tersebut tidak jauh berbeda. Saat ini
instrumen yang mengatur mengenai kejahatan ini adalah Statuta Roma 1998.
Berkaitan dengan kejahatan terhadap kemanusiaan ini, Pasal 7 Statuta Roma 1998
menegaskan bahwa:

“for the purpose of this Statuta, crimes against humanity means any of the
following acts when committed as part of a widespread or systematic attack directed
against any civilian population,…”

Dalam Statuta Roma tersebut lebih lanjut juga ditegaskan mengenai perbuatan-
perbuatan yang dapat dikualifikasikan sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan
meliputi pembunuhan; pemusnahan; perbudakan; deportasi atau pemindahan paksa;
memenjarakan atau perampasan kebebasan fisik secara kasar dengan melanggar
dasar-dasar HI; penyiksaan; perkosaan, perbudakan seksual, pemaksaan prostitusi,
pemaksaan sterilisasi, atau bentuk-bentuk kekerasan seksual lainnya; persekusi
terhadap suatu kelompok berdasarkan alasan-alasan politik, ras, nasional, etnis,
budaya, agama dan seterusnya; penghilangan paksa; kejahatan apartheid; perbuatan
tidak manusiawi lainnya, dengan sifat yang sama, secara sengaja menyebabkan
penderitaan berat atau luka serius atas badan, mental atau kesehatan fisik.

5
Setiyono, J, (2010), “Pertanggungjawaban Komando (Command Responsibility) dalam
Pelanggaran Ham Berat (Studi Kasus Kejahatan Terhadap Kemanusiaan di Indonesia)”,
(Doctoral dissertation, Universitas Diponegoro).
Salah satu variasi tindakan kejahatan terhadap kemanusiaan berdasarkan
Artikel 7 Statuta Roma 1998 sebagaimana disebutkan di atas adalah ‘pembunuhan’
(murder). Tindakan pembunuhan ini sesuai dengan extrajudicial killing di Filipina.
Berdasarkan Elements of Crimes Artikel 7 (1) (a). seseorang dapat dikatakan telah
melakukan kejahatan terhadap kemanusiaan berupa pembunuhan apabila telah
memenuhi unsur-unsur yaitu, pertama, pelaku membunuh satu atau lebih orang.
Penjelasan dalam catatan kaki Elements of Crimes mengenai istilah ‘membunuh’
(killing) dapat dipertukarkan dengan istilah ‘menyebabkan kematian’ (caused death).

Pembunuhan dalam kejahatan kemanusiaan ini tidak seperti kejahatan


pembunuhan biasa. Akan tetapi terdapat unsur-unsur yang membedakannya. Adapun
unsur-unsur dari kejahatan kemanusiaan ini adalah:6

a. Perbuatan merupakan serangan yang ditujukan terhadap penduduk sipil


(attack directed against any civilian population)
b. Perbuatan dilakukan sebagai bagian dari serangan yang bersifat meluas
atau sistematik (committees as part of a widespread or systematic attack); dan
c. Pelaku mengetahui bahwa atau menghendaki agar perbuatannya
merupakan bagian dari serangan yang bersifat meluas atau sistematik
terhadap penduduk sipil (knowledge that the conduct was part of or intended
the conduct to be part of a widespread or systematic attack directed against a
civilian population).
Jadi kejahatan tersebut haruslah dilakukan secara meluas atau sistematis
terhadap penduduk sipil dan bukannya merupakan kejahatan yang bersifat spontan
maupun sporadis. Meluas berarti dalam kejahatan terhadap kemanusiaan cenderung
merujuk pada jumlah korban (massive), skala kejahatan, dan sebaran tempat
(geografis) yang mana jumlah korbannya dalam skala yang besar/ banyak/ massal.
Tindakannya bersifat massive, berulang-ulang. Kemudian dilakukan secara kolektif
dengan considerable serious. Kemudian sistematis berarti ada rencana maupun pola
mengenai cara-cara yang dilakukan, mencerminkan suatu pola tetap/metode tertentu
yang diorganisir secara menyeluruh. Untuk dapat dikatakan sebagai kejahatan
kemanusiaan, maka salah satu dari kedua unsur tersebut baik meluas atau sistematis
haruslah terpenuhi.7

6
Fivi Fajar Iryana & Handoko Leksono, (2018), “Analisis Kebijakan Presiden Duterte Melakukan
Extrajudicial Killing dalam Memberantas Narkoba di Filipina Berdasarkan Statuta Roma
1998”, Belli Ac Pacis, 4(1), 44-56.
7
Ibid. hlm. 48
Dalam kasus extrajudicial killing dalam “war on drugs” yang terjadi di Filipina
diketahui bahwa terdapat ribuan korban jiwa atas kebijakan tersebut, serangannya juga
meluas atau sistematik yang mana ini dibuktikan dengan metode yang terorganisir dari
awal hingga akhir sampai jatuhnya ribuan korban jiwa di berbagai wilayah Negara
Filipina, serangan ini juga ditujukan pada penduduk sipil dibuktikan dengan kematian
drug personalities, bukan dalam keadaan negara sedang berperang. Selain itu, di sini
pelaku juga mengetahui mengetahui bahwa tindakannya merupakan kejahatan yang
telah direncanakan atau menjadi bagian dari unsur sistematis. Oleh karena itu,
tindakan extrajudicial killing ini telah memenuhi unsur-unsur kejahatan terhadap
kemanusiaan.

2. Pelanggaran HAM tindakan Extrajudial Killing

Duterte atas kebijakan War on Drugs telah memerintahkan pihak kepolisian dan
militer dengan operasi Double Barrel untuk tidak segan mengeksekusi mati para
tersangka Bandar yang melawan untuk ditangkap. Kebijakan Presiden Durtete
merupakan contoh dari Extrajudicial Killing yang telah jelas melanggar Hak asasi
manusia, terutama hak untuk hidup dan hak mendapatkan keadilan yang adil dalam
peradilan (fair trial). Yang mana pembunuhan di luar putusan pengadilan atau
Extrajudicial Killing dilarang keras oleh ketentuan-ketentuan HAM internasional,
layaknya dimuat dalam Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM), International
Covenant on Civil and Political Rights/ICCPR (Kovenan Internasional Tentang Hak-
Hak Sipil dan Politik).

Dalam DUHAM, hak untuk hidup dapat ditemukan tercantum dalam pasal 3
yang berbunyi “Setiap orang berhak atas kehidupan, kebebasan dan keselamatan
sebagai individu.” Selain itu Pasal 6 ayat (1) International Covenant on Civil and
Political Rights/ICCPR juga mengatur hak tersebut yang mana berbunyi “Setiap
manusia berhak atas hak untuk hidup yang melekat pada dirinya. Hak ini wajib
dilindungi oleh hukum. Tidak seorang pun dapat dirampas hak hidupnya secara
sewenang-wenang.” Dapat disimpulkan dari ketentuan-ketentuan diatas bahwa hak
untuk hidup seorang manusia selayaknya dilindungi hukum dari tindakan perampasan
yang sewenang-wenang. Ketentuan ini juga mengartikan pembunuhan yang
sewenang-wenang tidak dapat dibenarkan dalam bentuk dan alasan apapun, sekalipun
termasuk sebagai upaya pemberantasan narkoba. Tindakan membunuh, mengartikan
bahwa seseorang yang melakukan hal tersebut telah merampas hak untuk hidup milik
orang lain. Namun yang ditemukan dalam kasus ini ialah berbalik dari ketentuan
diatas, dimana negara sebagai aparat hukum malah bertindak sebagai oknum yang
sewenang-wenang. Oleh sebab itu, kebijakan War on Drugs Duterte secara mendasar
telah melanggar hak untuk hidup.

Tindakan extrajudicial killing juga secara otomatis merampas hak tersangka


layaknya right to have a fair trial. UDHR artikel ke-10 berbunyi, “Everyone is entitled in
full equality to a fair and public hearing by an independent and impartial tribunal, in the
determination of any criminal charge against him.” (UNCHR, 1948). Ketentuan tersebut
mengartikan bahwa seorang dengan status masih tersangka mempunyai suatu hak
untuk melakukan pembelaan untuk membersihkan namanya. Hal ini seharusnya
diterapkan dalam bentuk hak untuk memperoleh pengacara yang memiliki tugas untuk
membantu tersangka menghadapi proses pengadilan sampai hakim memutuskan
apakah benar tersangka tersebut terbukti bersalah atau tidak. Namun dengan
dilakukannya tindak sewenang-wenang pembunuhan oleh aparat kepolisian dan
militer, kesempatan para tersangka untuk mendapatkan hak untuk mendapatkan
pengadilan telah dirampas. Kejadian ini menjadi lebih miris, mengingat terjadinya
tindak sewenang-wenang lain yang dilakukan kelompok-kelompok vigilante, yang
entah tindakannya ditujukan kepada benar-benar pelaku narkoba atau malah
seseorang yang sebenarnya sama sekali tidak bersalah.

Dengan dilanggarnya hak-hak di atas, dapat disimpulkan bahwa kebijakan Durtete


sama sekali tidak menghargai perlindungan hak tersangka yang pada dasarnya juga
merupakan warga negaranya. Filipina merupakan negara demokrasi, yang seharusnya
mengedepankan sistem politik dari rakyat, untuk rakyat, dan oleh rakyat. Hal ini
mestinya menjadikan posisi rakyat sebagai hierarki paling atas sebuah pemerintahan,
yang mana menjadi kontradiksi apabila suatu negara yang menjunjung tinggi rakyatnya
justru merampas hak-hak individu rakyatnya
C. Upaya Penyelesaian

1. Penyelesaian melaui Mahkamah Pidana Internasional

Statuta Roma 1998 merumuskan kejahatan kemanusiaan dengan elemen-elemen


prinsip (chapeau elements), yang membedakan kejahatan terhadap kemanusiaan
dengan kejahatan biasa, yakni kejahatan ini haruslah dilakukan dalam konteks
‘serangan yang meluas atau sistematis kepada penduduk sipil’, dan aspek
‘pengetahuan’ dari pelaku. Kasus extrajudicial killing yang menewaskan ribuan korban
jiwa atau setidaknya 32 kematian dari 24 persitiwa yang dilaporkan oleh Human Rights
Watch yang diangkat dalam penelitian ini memenuhi unsur-unsur:

1. salah satu atau lebih dari sekain banyak perbuatan sebagaimana dicantumkan
diatas dengan dibuktikan kematian ribuan korban jiwa atau menyebabkan
hilangnya nyawa seseorang;
2. dilakukan sebagai bagian dari serangan yang meluas atau sistematik dibuktikan
dengan susunan acara pembunuhan dari awal hingga akhir atau jatuhnya ribuan
korban jiwa di berbagai wilayah di Negara Filipina;
3. serangan tersebut ditujukan kepada penduduk sipil dibuktikan dengan kematian
drug personalities bukan sebagai combatan atau bukan dalam keadaan negara
sedang berperang (declaring war);
4. pelaku mengetahui tindakannya sebagai bagian dari serangan yang meluas atau
sistematik dibuktikan dalam kasus kematian Edward, adanya susunan acara yang
rapi dan pelaku telah menarget korban dengan dibuktikan penanaman bukti palsu
berupa paket shabu didekat mayat korban sehingga menandakan pelaku
mengetahui bahwa tindakannya merupakan kejahatan yang telah direncanakan
atau menjadi bagian dari unsur sistematis.

Tindakan extrajudicial killing tersebut telah memenuhi unsur-unsur kejahatan


terhadap kemanusaian sebagaimana dipaparkan diatas. Dengan demikian
kejahatan tersebut dapat diupayakan penyelesaiannya melalui Mahkamah Pidana
Internasional atau dengan upaya-upaya penyelesaian yang lain yang dapat
ditempuh dalam menyelesaikan kasus kejahatan kemanusiaan tersebut.

Namun ketika Pengadilan Pidana Internasional melakukan penyelidikan kasus ini


pada bulan Februari 2019, Pengadilan Pidana Internasional (ICC) tidak
mendapatkan sambutan yang baik dari Filipina dengan mengatakan tidak akan
bekerjasama dalam melakukan penyelidikan terhadap kasus ini, dan mengancam
akan keluar dari Pengadilan Pidana Internasional (ICC) dengan cara melakukan
penarikan diri dari Statuta Roma 1998.20 Pada tanggal 19 Maret 2019 Filipina
benar-benar melakukannya. Rodrigo Duterte menyatakan bahwa Pengadilan
Pidana Internasional (ICC) tidak akan dapat melaksanakan yuridiksinya di Filipina
terutama terhadap dirinya. Tetapi, berdasarkan ketentuan penarikan diri dalam
statuta Roma 1998 ini Yuridiksi ICC atas kasus ini tidak semata-mata hilang
dengan adanya penarikan diri Filipina, ICC tetap dapat melakukan pemeriksaan
terhadap kasus ini dalam kurun waktu paling lama 1 Tahun hingga menjatuhkan
putusan, namun yang menjadi masalah adalah Filipina yang tidak mau bekerja
sama dengan ICC untuk menuntaskan kasus ini.
2. Resolusi Dewan HAM PBB Terhadap Sanksi Hukuman Mati Di Filipina
Resolusi adalah teks formal atas sebuah keputusan atau rekomendasi yang
dilakukan oleh beberapa negara dalam organisasi internasional dalam
menyikapi suatu masalah yang terjadi. Dewan HAM PBB membuat resolusi
terkait penanganan kasus tersebut yang di pimpin langsung oleh Islandia.
Resolusi tersebut mendapat banyak dukungan dari berbagai pihak. Dewan PBB
yang beranggotakan 47 negara melakukan pemungutan suara dan 18
diantaranya menyetujui adanya resolusi, 14 negara yang mentangnya, dan 15
negara yang menyatakan abstain. Dalam resolusi. tersebut, para petinggi
dewan PBB menyiapkan laporan tertulis menyeluruh bagaimana situasi HAM di
Filipina. Resolusi tersebut mengusulkan agar PBB melakukan penyelidikan
resmi terhadap kebijakan anti-narkoba yang diluncurkan oleh Duterte. Adanya
resolusi tersebut merupakan langkah penting sehingga diharapkan dapat
membawa angin segar bagi para korban dan keluarga yang berduka sehingga
memperoleh keadilan dan akuntabilitas.
3. Penerapan Prinsip Individual Responsibility Terhadap Presiden Duterte
Sebagai seorang Presiden, Duterte juga merupakan pemimpin tertinggi
angkatan bersenjata di Filipina. Sehingga mempunyai tanggungjawab terhadap
apa yang dilakukan oleh bawahannya. War on Drugs yang merupakan suatu
kebijakan yang berada dalam pemerintahannya mempunyai dasar pelaksanaan
yaitu Command Memorandum Circular No. 16 – 2016 tentang PNP Anti-Illegal
Drugs Campaign Plan - Project: “Double Barrel” (CMC No. 16-2016) tertanggal
1 Juli 2016. Pernyataan Presiden Rodrigo R Duterte untuk memberantas obat-
obatan terlarang selama enam bulan pertama masa jabatannya merupakan
salah satu dasar disusunnyaCMC No. 16-2016. Sehingga Presiden Duterte
mempunyai pengetahuan akan dilaksanakannya pemberantasan obat-obatan
terlarang oleh Polisi Nasional Filipina (PNP).
Selanjutnya konsep dari pemberantasan obat terlarang disebut dibagi menjadi
dua proyek (Double Barrel) yaitu Proyek Tokhang dan Proyek HVT. Proyek
Tokhang dianggap sebagai solusi bagi Dewan Penyalahgunaan Narkoba
(ADACs), Organisasi Non-Pemerintah (LSM), pemangku kepentingan, dan
aparat penegak hukum ditingkat Pemerintah Nasional dan Daerah untuk
melakukan pendekatan terhadap orang-orang yang dianggap menggunakan
atau mengedarkan narkoba. Konsep Tokhang melibatkan pelaksanaan
kunjungan rumah ke rumah untuk membujuk orang-orang yang diduga
menggunakan atau mengedarkan obat-obatan terlarang untuk menghentikan
aktivitas narkoba ilegal mereka. Kasus-kasus kematian akibat extrajudicial
killing yang dilakukan oleh PNP terjadi ketika melaksanakan proyek Tokhang
pada tahap kunjungan rumah ke rumah. Alasan yang paling banyak adalah
para terduga pengguna dan pengedar obat terlarang tidak mau berkoordinasi
dengan petugas, sehingga hal itu dianggap sebagai keadaan yang
membenarkan dan petugas diperbolehkan untuk menggunakan tindakan
memaksa. Bagaimanapun keadaan ini tidak dibenarkan kecuali petugas polisi
harus membuktikan adanya keadaan tersebut. Sebuah penyalahgunaan dalam
penerapan anggapan ini yang digunakan untuk membenarkan tindak
pembunuhan, telah menyalahi asas praduga tak bersalah.
Jika dihubungkan dengan pelaksanaan proyek Tokhang yang telah
menimbulkan extrajudicial killing maka Presiden Duterte seharusnya dapat
mengetahui bahwa bawahannya (dalam hal ini Polisi Filipina) telah melakukan
suatu kejahatan. Extrajudicial killing yang dilakukan oleh pasukan polisi di
bawah komando Duterte telah berulang kali terjadi kekerasan yang digunakan
polisi dianggap mencerminkan serangan yang sudah sistematis. Tidak ada
bukti bahwa Duterte telah mengambil langkah apapun untuk mencegah atau
menghukum mereka yang bertanggung jawab untuk pembunuhan. Sehingga
Presiden Duterte dapat dijatuhi beban tanggung jawab superior karena telah
gagal mencegah atau menghukum tindakan tersebut.
BAB III

A. Kesimpulan

Kasus yang diangkat dapat disimpulkan bisa diselesaikan melalui cara-cara:


Penyelesaian melaui Mahkamah Pidana Internasional, Statuta Roma 1998
merumuskan kejahatan kemanusiaan dengan elemen-elemen prinsip (chapeau
elements), yang membedakan kejahatan terhadap kemanusiaan dengan kejahatan
biasa, yakni kejahatan ini haruslah dilakukan dalam konteks ‘serangan yang meluas
atau sistematis kepada penduduk sipil’, selain itu juga ada menkanisme melalui
Resolusi Dewan HAM PBB Terhadap Sanksi Hukuman Mati Di Filipina Resolusi adalah
teks formal atas sebuah keputusan atau rekomendasi yang dilakukan oleh beberapa
negara dalam organisasi internasional dalam menyikapi suatu masalah yang terjadi.
Dewan HAM PBB membuat resolusi terkait penanganan kasus tersebut yang di pimpin
langsung oleh Islandia. Resolusi tersebut mendapat banyak dukungan dari berbagai
pihak. Dewan PBB yang beranggotakan 47 negara melakukan pemungutan suara dan
18 diantaranya menyetujui adanya resolusi, 14 negara yang mentangnya, dan 15
negara yang menyatakan abstain. Dalam resolusi. tersebut, para petinggi dewan PBB
menyiapkan laporan tertulis menyeluruh bagaimana situasi HAM di Filipina. Resolusi
tersebut mengusulkan agar PBB melakukan penyelidikan resmi terhadap kebijakan
anti-narkoba yang diluncurkan oleh Duterte. Adanya resolusi tersebut merupakan
langkah penting sehingga diharapkan dapat membawa angin segar bagi para korban
dan keluarga yang berduka sehingga memperoleh keadilan dan akuntabilitas. Yang
terakhir melalui mekanisme Penerapan Prinsip Individual Responsibility Terhadap
Presiden Duterte Sebagai seorang Presiden, Duterte juga merupakan pemimpin
tertinggi angkatan bersenjata di Filipina. Sehingga mempunyai tanggungjawab
terhadap apa yang dilakukan oleh bawahannya. War on Drugs yang merupakan suatu
kebijakan yang berada dalam pemerintahannya mempunyai dasar pelaksanaan yaitu
Command Memorandum Circular No. 16 – 2016 tentang PNP Anti-Illegal Drugs
Campaign Plan - Project: “Double Barrel” (CMC No. 16-2016) tertanggal 1 Juli 2016.
Pernyataan Presiden Rodrigo R Duterte untuk memberantas obat-obatan terlarang
selama enam bulan pertama masa jabatannya merupakan salah satu dasar
disusunnyaCMC No. 16-2016. Sehingga Presiden Duterte mempunyai pengetahuan
akan dilaksanakannya pemberantasan obat-obatan terlarang oleh Polisi Nasional
Filipina (PNP).
Selanjutnya konsep dari pemberantasan obat terlarang disebut dibagi menjadi dua
proyek (Double Barrel) yaitu Proyek Tokhang dan Proyek HVT. Proyek Tokhang
dianggap sebagai solusi bagi Dewan Penyalahgunaan Narkoba (ADACs), Organisasi
Non-Pemerintah (LSM), pemangku kepentingan, dan aparat penegak hukum ditingkat
Pemerintah Nasional dan Daerah untuk melakukan pendekatan terhadap orang-orang
yang dianggap menggunakan atau mengedarkan narkoba. Konsep Tokhang
melibatkan pelaksanaan kunjungan rumah ke rumah untuk membujuk orang-orang
yang diduga menggunakan atau mengedarkan obat-obatan terlarang untuk
menghentikan aktivitas narkoba ilegal mereka. Kasus-kasus kematian akibat
extrajudicial killing yang dilakukan oleh PNP terjadi ketika melaksanakan proyek
Tokhang pada tahap kunjungan rumah ke rumah. Alasan yang paling banyak adalah
para terduga pengguna dan pengedar obat terlarang tidak mau berkoordinasi dengan
petugas, sehingga hal itu dianggap sebagai keadaan yang membenarkan dan petugas
diperbolehkan untuk menggunakan tindakan memaksa. Bagaimanapun keadaan ini
tidak dibenarkan kecuali petugas polisi harus membuktikan adanya keadaan tersebut.
Sebuah penyalahgunaan dalam penerapan anggapan ini yang digunakan untuk
membenarkan tindak pembunuhan, telah menyalahi asas praduga tak bersalah.
DAFTAR PUSTAKA

Fivi Fajar Iryana dan Handojo Leksono, “Analisis Kebijakan Presiden Duterte Melakukan Extrajudicial
Killing Dalam Memberantas Narkoba di Filipina Berdasarkan Statuta Roma 1998”. Belli ac Pacis, Vol. 4
No. 1, 2018, hal. 44.

Amnesty International Limited. 2016. “Philippines: Duterte’s 100 days of carnage”.


https://www.amnesty. org/en/latest/news/2016/10/philippines-dutertes-hundred-days-of-carnage/.
diakses pada 26 Oktober 2016

Khariza Praditya Rizky Mumpuni (2021) Kebijakan War On Drugs Presiden Rodrigo Duterte Melawan
Kritik Internasional. S1 thesis, Universitas Muhammadiyah Yogyakarta. Bab III hal 5-6.

Setiyono, J, (2010), “Pertanggungjawaban Komando (Command Responsibility) dalam


Pelanggaran Ham Berat (Studi Kasus Kejahatan Terhadap Kemanusiaan di Indonesia)”,
(Doctoral dissertation, Universitas Diponegoro).

Fivi Fajar Iryana & Handoko Leksono, (2018), “Analisis Kebijakan Presiden Duterte Melakukan
Extrajudicial Killing dalam Memberantas Narkoba di Filipina Berdasarkan Statuta Roma
1998”, Belli Ac Pacis, 4(1), 44-56.

https://tirto.id/perang-narkoba-duterte-adalah-perang-melawan-orang-miskin-cvjg

Anda mungkin juga menyukai