Anda di halaman 1dari 10

Pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) terhadap Tersangka Pengedar

Narkoba di Filipina

Marta Ulina Sinaga

Meylani Simarmata

Abstrak

Penelitian ini bertujuan untuk membahas tentang pelanggaran HAM terhadap


tersangka pengedar narkoba yang terjadi di Filipina. Perang melawan narkoba oleh
Presiden Rodrigo Duterte dimulai pada tahun 2016, telah membuat banyaknya korban
baik dari tersangka pengedar narkoba maupun aktivis HAM dan korban lainnya.
Pemerintahan Filipina melakukan tindakan yang melanggar HAM terhadap tersangka
pengedar narkoba. Hal ini disebabkan karena Filipina melakukan pembunuhan di luar
hukum dan tindakan main hakim sendiri yang membuat tersangka pengedar narkoba
kehilangan haknya untuk mendapatkan hukum yang sama.

Kata Kunci : Hak Asasi Manusia, Perang Anti Narkoba, Rodrigo Duterte.

Abstract

This study aims to discuss human rights violations against suspected drug dealers
that occur in the Philippines. President Rodrigo Duterte's war on drugs began in
2016, resulting in numerous casualties from both suspected drug dealers and human
rights activists and other victims. The Philippine government has committed human
rights violations against suspected drug dealers. This is because the Philippines
commits extra yudicial killings and vigilante acts that make suspected drug dealers
lose their right to a fair and competent trial.

Keywords : Human rights, anti-drug war, Rodrigo Duterte


Pendahuluan

Hak asasi manusia merupakan hak dasar yang dimiliki setiap manusia
berdasarkan martabatnya sebagai seorang manusia. Dalam hal ini, walaupun manusia
terlahir dengan jenis kelamin, warna kulit, bahasa ataupun budaya yang berbeda-beda
tetapi mereka tetap memiliki hak yang sama dimanapun mereka berada karena hak
tersebut sudah melekat pada mereka sebagai manusia.1 Hak paling dasar yang
dimiliki oleh manusia adalah hak untuk hidup. Hak tersebut tidak bisa dikurangi oleh
orang lain ataupun negara. Berdasarkan Konvenan Internasional Hak-Hak Sipil dan
Politik pasal ke-6 ayat 1 “Setiap manusia berhak atas hak untuk hidup yang melekat
pada dirinya. Hak ini wajib dilindungi oleh hukum. Tidak seorang pun dapat
dirampas hak hidupnya secara sewenang-wenang”.2

Konvenan Internasional Hak-Hak Sipil dan Politik atau Internasional


Covenant On Civil And Political Rights (ICCPR) merupakan ketentuan
internasional yang menjamin Hak Asasi Manusia terhadap sipil dan politik.
Konvenan ini secara hukum mengikat negara yang meratifikasinya untuk
melindungi hak-hak sipil dan politik. Hak tersebut mencakup hak untuk hidup, hak
beragama, kebebasan berpendapat, hak untuk pengakuan yang sama di mata hukum,
hak untuk tidak diperbudak, hak untuk tidak disiksa, dll. 3

Filipina merupakan negara yang telah meratifikasi perjanjian ini sejak 23


Oktober 1986.4 Sebagai negara yang telah meratifikasi perjanjian tersebut Filipina
memiliki tanggung jawab terhadap pemenuhan menjamin hak-hak warga negaranya
dan tidak melanggarnya. Pada tahun 2016, Rodrigo Duterte menjabat sebagai
Presiden Filipina dan menyatakan “Perang Melawan Narkoba” yang akhirnya
menyebabkan banyak korban yang berjatuhan. Sejauh ini, secara resmi lebih dari
8.600 orang telah tewas dalam kampanye Duterte melawan obat-obatan terlarang

1
Rhona K.M. Smith, DKK. Hukum Hak Asasi Manusia, Pusat Studi Hak Asasi Manusia (PUSHAM),
Yogyakarta, 2008, Hal 1.
2
Konvenan Internasional Hak-Hak Sipil dan Politik, Pasal 6.
3
Konvenan Internasional Hak-Hak Sipil dan Politik
4
OHCHR.org, Treaty bodies Treaties (ohchr.org)

2
sejak tahun 2016, namun beberapa perkiraan menyatakan bahwa korban sebenarnya
berjumlah tiga kali lipat dari angka tersebut.56

Metode Pengumpulan Data

Pengumpulan data memiliki tujuan untuk mendapatkan informasi dalam


penulisan suatu penelitian. Dalam penulisan ini, metode pengumpulan data dilakukan
dengan menggunakan data sekunder. Penulis mencari informasi dan referensi yang
berhubungan dengan judul dari buku, jurnal, artikel, ataupun internet. Kemudian,
penulis menjadikan informasi-informasi tersebut sebagai sumber rujukan dalam
penulisan ini.

Studi Terdahulu

Studi terdahulu merupakan suatu penelitian yang telah dilakukan oleh peneliti
sebelumnya yang mungkin memiliki hubungan dalam pembahasannya dengan
penelitian saat ini. studi terdahulu juga dapat menjadi sumber referensi dalam
penulisan yang dilakukan. Dalam penulisan ini, studi terdahulu yang menjadi acuan
dan referensi adalah tulisan Putu Mira Rosviyana dan Anak Agung Ketut Sukranatha
dari Fakultas Hukum Universitas Udayana dengan judul “Penegakan Hukum terhadap
Tersangka Pengedar Narkoba di Filipina Ditinjau dari Persepektif Ham
Internasional”. Metode Penelitian yang digunakan dalam penulisan ini adalah jenis
penelitian hukum normatif yang mengacu pada hukum nasional dan instrumen
internasional mengenai HAM. Penelitian ini membahas tentang hukum Filipina yang
bertentangan dengan Hak Asasi Manusia dalam menghukum pengedar narkoba.

Hasil dan Pembahasan

A. Pelanggaran HAM terhadap Pengedar Narkoba pada masa Presiden Rodrido


Duterte

5
Matamatapolitik, diakses dari Ribuan Mati di Filipina, Perang Narkoba Duterte Pelanggaran HAM
Berat? (matamatapolitik.com) pada tanggal 7 januari 2021.
6
Rodrigo Duterte merupakan presiden Republik Filipina yang dilantik pada 9
Mei 2016 yang ke 16. Setelah menjabat menjadi Presiden, Duterte mengeluarkan
salah satu kebijakan yang memiliki fokus terhadap pemberantasan peredaran narkoba
di Filipina yaitu ‘War on Drugs’. Filipina diketahui merupakan salah satu negara
dengan peredaran narkoba yang cukup tinggi. Menurut data statistik Dangerous
Drugs Board menyatakan bahwa dari 100.98 juta jumlah penduduk Filipina sebanyak
1.8 juta jiwa merupakan pengguna narkoba. Sejak masa kepemimpinan Duterte,
Presiden Filipina tersebut telah menciptakan kondisi dimana seseorang dapat secara
legal dapat dibunuh atau membunuh atas nama ‘War on Drugs’. Tidak heran dalam
pelaksanaan kebijakannya sering terjadi tindakan Extrajudicial Killing yang
menyebabkan banyak kematian kepada pengguna dan pengedar narkoba. Rafendi
Djamin sebagai Director of Southeast Asia and the Pasific at Amnesty International
menyebutkan bahwa kurang dari 100 hari terhitung pada 7 Oktober 2016 sejak masa
kepemimpinan Rodrigo Duterte sebagai Presiden Filipina, telah terjadi peningkatan
kasus pembunuhan diluar proses hukum (extrajudicial killing) yang sudah
menewaskan lebih dari 3.000 warga sipil Filipina, hal tersebut dapat disebut
pelanggaran hak asasi manusia.
Filipina merupakan salah satu negara anggota PBB dan telah meratifikasi
International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR), sehingga negara harus
bertanggung jawab terhadap atas pelaksanaan pemberian hak-hak sipil dan politik
rakyatnya. Negara Filipina berkewajiban untuk melaksanakan kebijakan dalam
menjalankan kewajiban untuk dapat menghormati Hak hidup masyarakat karena
ditegaskan dalam ICCPR dijelaskan pada Pasal 6 ayat (1) mengenai hak untuk hidup.
Hak tersebut wajib dan sudah dilindungi oleh hukum. Tidak ada seorang pun yang
dapat merampas hak hidup orang lain secara sepihak. Tetapi atas Pelaksanaan
kebijakan Extrajudicial Killing yang dilakukan oleh Pemerintah Filipina terhadap
para tersangka pengedar narkoba mengakibatkan mereka kehilangan hak – hak asasi
nya7.

7
Putu Mira Rosviyana, Anak Agung Ketut Sukranatha, Penegakan Hukum Terhadap Tersangka
Pengedar Narkoba Di Filipina Ditinjau Dari Persepektif Ham Internasional, Hal 10

4
Maka dari itu sudah jelas bahwa kebijakan yang dikeluarkan oleh presiden
Filipina Duterte telah menyimpang dari Kovensi Internasional yang telah diratifikasi
Filipina, Extrajudicial Killing atas nama kebijakan “war on dugs” telah melanggar
Hak Asasi Manusia.
Extrajudicial killing akibat ‘war on drugs’ sendiri telah menyebabkan banyak
kematian terhadap penduduk sipil Filipina. Dalam Extrajudicial Killing di Filipina
diketahui bahwa orang yang melakukan eksekusi terhadap pengedar narkoba dengan
menggunakan senjata api. Sejalan dengan kebijakan Presiden Filipina Rodrigo
Duterte, pada tahun 2016 para pelaku pengedar narkoba secara legal dapat ditembak
ditempat.
Extrajudicial Killing sendiri timbul akibat adanya kebijakan ‘war on drugs’
dari Presiden Filipina, Duterte. Dengan tetap mengesahkan Extrajudicial Killing atas
nama ‘War on Drugs’ Presiden Duterte mendukung dilakukannya pembunuhan
terhadap para pengedar dan pengguna narkoba. Kejadian tindak kekerasan yang terus
terjadi secara berulang yang dilakukan oleh polisi mengartikan bahwa serangan
tersebut sudah tersistematis. Extrajudicial Killing merupakan unsur sistematis, sudah
direncanakan dan diatur oleh pihak berwenang, sehingga dapat digolongkan sebagai
kejahatan terhadap kemanusiaan serta termasuk kedalam pelanggaran hukum hak
asasi manusia internasional dan nasional di Filipina8.
B. Respon Amnesty Internasional terhadap Pelanggaran HAM Filipina

Hukuman terhadap pengedar narkoba yang dilakukan Filipina pada era


Deterte telah melanggar Hak Asasi Manusia. Berdasarkan pasal 14 ICCPR, setiap
orang berhak untuk mendapatkan peradilan yang adil dan kompeten. Hak tersebut
juga berlaku pada pelanggaran mengenai obat-obatan terlarang dimana setiap orang
yang dianggap melakukan kejahatan obat-obatan terlarang berhak untuk mendapatkan
peradilan yang adil dan kompeten. Pemerintah Filipina telah gagal dalam
memberikan hak tersebut kepada pelaku pengguna atau pengedar narkoba dimana

8
Fivi Fajar Iryana Dan Handojo Leksono, Analisis Kebijakan Presiden Duterte Melakukan Extrajudicial
Killing Dalam Memberantas Narkoba Di Filipina Berdasarkan Statuta Roma 1998, Belli Ac Pacis. Vol. 4.
No.1 Juni 2018
pelanggaran HAM dilakukan Filipina dengan Pembunuhan ekstra Yudisial (Extra
Yudicial Killing).9

Penegakan Hukum Filipina terhadap tersangka pengedar narkoba telah


mengakibatkan tersangka tersebut kehilangan hak-haknya sebagai manusia.
Pemerintah Filipina wajib untuk bertanggung jawab terhadap perlakuannya kepada
tersangka pengedar narkoba karena hal yang dilakukan bertentangan dengan Hak
Asasi Manusia (HAM). PBB menyatakan bahwa Pemerintahan Filipina di era
Rodrigo Duterte telah melakukan penindakan yang agresif terhadap para pelaku yang
diduga melakukan pengedaran narkoba dengan mengorbankan HAM. Selain sudah
banyak menewaskan tersangka pengedar narkoba, setidaknya ada 248 aktivis HAM,
wartawan, profesional hukum dan anggota serikat buruh yang tewas antara tahun
2015 dan 2019.10

Penegakan Hukum Filipina dalam pemberantasan narkoba oleh Duterte juga


menyebabkan adanya keterlibatan Amnesty Internasional untuk menegakkan HAM.
Pemberantasan narkoba Filipina dinilai telah melanggar nilai-nilai yang ada dalam
Konvenan Internasional Hak-Hak Sipil dan Politik tentang hak untuk hidup,
mendapat hak yang sama di mata hukum dan mendapat peradilan yang adil. Amnesty
Internasional tidak membenarkan tindakan Filipina dalam pemberantasan narkoba
yang tanpa melalui proses peradilan. Banyaknya korban akibat kebijakan Filipina
membuat Amnesty Internasional mengambil tindakan untuk menghentikan aksi
Duterte tersebut. Adanya keterlibatan Amnesty Internasional dalam penolakan
hukuman mati Filipina adalah untuk memperjuangkan hak yang telah dilanggar oleh
Filipina.11

9
Cendri Januar, M. Husni Syam, Eka An Aqimuddin, Tanggung Jawab Pemerintah Filipina terhadap
Pembunuhan Ekstra Yudisial kepada Terduga Pengguna dan Pengedar Narkoba Menurut Kovenan
Internasional Hak-Hak Sipil dan Politik, dalam jurnal Ilmu Hukum, Volume 5, No. 1, Tahun 2019, Hal
219.
10
Voa Indonesia, diakses dari PBB: Operasi Antinarkoba di Filipina Korbankan HAM
(voaindonesia.com) Tanggal 7 januari 2021.
11
Veniati Sarlina, Respon Amnesty Internasional terhadap pemberantasan narkotika dan obat-obatan
berbahaya (narkoba) di Filipina pada masa Rodrigo Duterte, dalam ejurnal ilmu hubungan
internasional, Volume 6, Nomor 3, 2018. Hal 898.

6
Adanya keterlibatan Amnesty Internasional dalam memperjuangkan hak-hak
dalam Konvenan Internasional Hak-Hak Sipil dan Politik juga ditandai dengan
adanya perjanjian internasional terkait penghapusan hukuman mati. Perjanjian
tersebut kemudian diratifikasi Filipina pada desember 2015 dengan kategori
penentangan hukuman mati pada semua jenis kejahatan.12 Sehingga dari perjanjian
tersebut Filipina dilarang untuk melakukan hukuman mati pada tersangka kejahatan.

Selain itu, Amnesty Internasional juga memberikan seruan kepada senat untuk
menghentikan aksi penegakan hukuman mati terhadap tersangka pengedar narkoba.
Amnesty Internasional mengajak senat Filipina untuk :

1. Bekerja untuk mengakhiri eksekusi di luar hukum dalam “perang melawan


narkoba” dan memastikan penyelidikan yang cepat, tidak memihak,
independen dan efektif terhadap semua tersangka
2. Ganti pendekatan penegakan hukum untuk penggunaan narkoba dengan
pendekatan kesehatan masyarakat
3. Bekerja untuk mengalahkan RUU yang berusaha memperkenalkan kembali
hukuman mati
4. Memastikan lingkungan yang aman dan memungkinkan bagi pembela hak
asasi manusia.13

Namun, seruan Amnesty Internasional tidak diterima dengan baik karena para senator
menganggap bahwa kebijakan Duterte sangat efektif dalam memberantas narkoba.

Kesimpulan

Penegakan hukum dalam pemberantasan narkoba yang dilakukan oleh


pemerintah Filipina pada masa kepemimpinan presiden Rodrigo Duterte telah

12
Amnesty Internasional, Laporan global amnesty international Vonis hukuman mati dan eksekusi
2015, Peter Benenson House : London, tahun 2016. Hal 34.
13
Amnesty Internasional, End the attack on human rights in the Philippines.
mengakibatkan banyak korban baik dari tersangka pengedar narkoba maupun
masyarakat yang tidak bersalah. Tindakan Filipina dalam memberantas narkoba telah
melanggar Hak Asasi Manusia yang tercantum dalam Konvenan Internasional Hak-
Hak Sipil dan Politik tentang hak untuk hidup dan hak mendapatkan peradilan yang
adil.

Keterlibatan Amnesty Internasional dalam memperjuangkan Hak Asasi


Manusia di Filipina belum berhasil untuk dilakukan. Perjanjian penghapusan
hukuman mati dan seruan Amnesty Internasional kepada senator Filipina belum
mendapat hasil yang baik. Senator Filipina menganggap bahwa penegakan hukum
dalam pemberantasan narkoba pada pemerintahan Duterte sangat efektif untuk
memberantas narkoba.

Daftar Pustaka

Jurnal dan Buku

8
Amnesty Internasional, 2016, Laporan global amnesty international Vonis hukuman
mati dan eksekusi 2015, London : Peter Benenson House, 34, pp 1-37.

Fajar Iryana, Fivi & Leksono, Handojo, 2018, Analisis Kebijakan Presiden Duterte
Melakukan Extrajudicial Killing Dalam Memberantas Narkoba Di Filipina
Berdasarkan Statuta Roma 1998, Jurnal Belli Ac Pacis, Volume. 4. No.1, 44, pp
44-56.
Januar, Cendri, & Syam, M. Husni, & An Aqimuddin, Eka, 2019, Tanggung Jawab
Pemerintah Filipina terhadap Pembunuhan Ekstra Yudisial kepada Terduga
Pengguna dan Pengedar Narkoba Menurut Kovenan Internasional Hak-Hak
Sipil dan Politik, jurnal Ilmu Hukum, Volume 5, No. 1, 219, pp 214-222.

K.M. Smith, Rhona, DKK., 2008, Hukum Hak Asasi Manusia, Yogyakarta : Pusat
Studi Hak Asasi Manusia (PUSHAM), 1, pp 1-52.

Sarlina, Veniati, 2018, Respon Amnesty Internasional terhadap pemberantasan


narkotika dan obat-obatan berbahaya (narkoba) di Filipina pada masa Rodrigo
Duterte, ejurnal ilmu hubungan internasional, Volume 6, No. 3, 898, pp 893-
908.

Internet dan Artikel

Amnesty Internasional, End the attack on human rights in the Philippines. Diakses
dari End the attack on human rights in the Philippines | Amnesty International.
Voa Indonesia, diakses dari PBB: Operasi Antinarkoba di Filipina Korbankan HAM
(voaindonesia.com).
Putu Mira Rosviyana, Anak Agung Ketut Sukranatha, Penegakan Hukum Terhadap
Tersangka Pengedar Narkoba Di Filipina Ditinjau Dari Persepektif Ham
Internasional, 10, pp 1-14.
Matamatapolitik, diakses dari Ribuan Mati di Filipina, Perang Narkoba Duterte
Pelanggaran HAM Berat? (matamatapolitik.com).

OHCHR.org, Treaty bodies Treaties (ohchr.org).

Instrumen Hukum

Konvenan Internasional Hak-Hak Sipil dan Politik atau International Covenant on


Civil and Political Rights (ICCPR)
Hasil Cek Turnitin

10

Anda mungkin juga menyukai