Anda di halaman 1dari 10

PERAN LPSK DALAM PEMENUHAN RESTITUSI BAGI

KORBAN TINDAK PIDANA KEKERASAN SEKSUAL


TERHADAP ANAK DIBAWAH UMUR
Michael Hasudungan Sidauruk 1, Hudi Yusuf, S.H., M.H 2
Fakultas Hukum, Universitas Bung Karno
michaelhasudungan1@gmail.com

Abstrak
Pengaturan terkait restitusi masih terdapat kekurangan dalam hal pemenuhan hak-hak korban tindak
pidana. Perlu dikaji mengenai pengajuan hak restitusi yang diberikan kepada anak sebagai
korban tindak pidana dan akibat hukum restitusi yang tidak dibayarkan oleh pelaku. Penelitian
ini menggunakan jenis penelitian normatif. Pengumpulan bahan hukum dilakukan dengan
teknik studi pustaka dan dianalisis dengan cara analisis deskriptif. Peraturan Pemerintah
Nomor 43 Tahun 2017 tidak mengatur daya paksa jika pelaku tidak dapat melaksanakan
restitusi,sehingga tidak ada jaminan bahwa restitusi dapat dibayarkan kepada anak sebagai
korban tindak pidana. Oleh karena itu, hal ini menyebabkan tidak adanya kepastian bagi anak
yang menjadi korban tindak pidana untuk menerima restitusi dan pemberian sanksi terhadap
pelaku tindak pidana yang tidak membayarkan restitusi sesuai dengan putusan pengadilan
yang telah berkekuatan hukum tetap. Berbeda dengan Peraturan sebelumnya, Undang-Undang
Nomor 12 Tahun 2022 Tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual terkait restitusi terhadap
anak sebagai korban kekerasan seksual menekankan dalam hal harta kekayaan terpidana yang
disita tidak cukup untuk membayar restitusi maka terpidana akan dikenakan pidana penjara
pengganti yang tidak melebihi ancaman pidana pokoknya dan negara memberikan kompensasi
sejumlah restitusi kepada korban tindak pidana kekerasan seksual sesuai putusan pengadilan
melalui dana bantuan korban.

Kata Kunci: Hak Restitusi; Anak Korban; Tindak Pidana Kekerasan Seksual.

Abstract
Restitution arrangements are still lacking in terms of fulfilling the rights of victims of criminal acts.
It is necessary to study the application for the right of restitution given to children as victims
of criminal acts of violence and the legal consequences of restitution not being paid by the
perpetrators. This study uses a type of normative research. The collection of legal materials
was carriedout using literature study techniques and analyzed using descriptive analysis.
Government Regulation Number 43 of 2017 does not regulate coercion if the perpetrator is
unable to carry out restitution, so there is no guarantee that restitution can be paid to a child as a
victim of a crime. Therefore, this causes no certainty for children who are victims of criminal acts to
receive restitution and imposition of sanctions against perpetrators of criminal acts who do not
pay restitution in accordance with court decisions that have permanent legal force. Restitution
in Law Number 12 of 2022 concerning Crimes of Sexual Violence emphasizes that in the
event that the confiscated assets of the convict are not sufficient to pay restitution, the convict
will be subject to a replacement prison sentence which does not exceed the threat of the principal
sentence. The state then provides victim compensation

Keywords:Restitution Rights; Child Victims; Sexual Violence Crime


I. Pendahuluan

Anak-anak adalah generasi penerus bangsa yang memiliki peran penting dalam
kemajuan bangsa. Anak-anak harus diberikan kesempatan terbaik untuk berkembang dan
berkreasi di dunia yang sempurna, baik dari segi fisik, mental, sosial, dan sudut pandang
dunia lainnya sehingga anak-anak dapat menjalankan tugas-tugas tersebut. Anak-anak
membutuhkan rasa aman baik dari keluarga maupun lingkungan sosialnya karena mereka
kurang mampu melindungi diri mereka sendiri dari pengaruh luar seperti
lingkungannya.1

Kejahatan termasuk kekerasan terhadap anak telah meluas di Indonesia dalam


beberapa waktu terakhir. Lebih dari 11.952 kasus kebiadaban terhadap anak dirinci oleh
Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak pada tahun 2021. Berdasarkan
angka tersebut, kekerasan seksual terhadap anak mencapai sekitar 7.004 kasus,
menjadikannya sebagai jenis kekerasan seksual yang paling banyak terjadi pada anak.
Sylvi Kusumaningtyas, Kepala Unit Perlindungan Perempuan dan Anak (PPA) Polres
Bantul, mengungkapkan bahwa di wilayah hukum Polres Bantul, kasus-kasus yang paling
banyak terjadi sejak tahun 2014 terjadi pada tahun 2021 sebanyak 256 kasus, tahun 2019
sebanyak 229 kasus, dan tahun 2020 sebanyak 224 kasus. Kasus-kasus kebiadaban tersebut
meliputi kebiadaban mental, fisik, dan seksual. Kebiadaban yang paling sering terjadi
terhadap anak adalah kebiadaban seksual dengan pelakunya adalah orang terdekat dari
korban.

Berdasarkan penemuan-penemuan ini, dapat dikatakan bahwa kasus-kasus kebiadaban


seksual terhadap anak di bawah umur menjadi perhatian yang luar biasa karena
kompleksitas dampaknya. Anak-anak dapat melibatkan kemalangan fisik dan non-fisik,
bukan seolah-olah anak itu sendiri yang disakiti tetapi lebih dari itu berdampak pada
kehidupan keluarganya dengan kemalangan yang tidak relevan akibat kebiadaban seksual
terhadap anak.

Mengutip Pasal 28 B ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945 yang menyatakan bahwa "Setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan
berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekejaman dan diskriminasi", maka
sudah selayaknya wali, masyarakat, dan pemerintah memberikan perlindungan yang
layak dan memuaskan bagi anak yang menjadi korban tindak pidana. Anak-anak yang
menjadi korban harus mendapatkan kompensasi atas kemalangan yang mereka alami dan
diberikan dukungan untuk penyembuhan fisik dan mental mereka. Memberikan anak-
anak yang terlibat dalam kebiadaban seksual hak untuk mendapatkan kompensasi adalah
salah satu cara untuk memberikan mereka jaminan yang sah. Kompensasi adalah kegiatan
dari pelaku kejahatan untuk mengganti kerugian yang dialami oleh korban atau ahli
warisnya, baik kerugian yang disengaja maupun tidak disengaja. Dengan kompensasi ini,
korban mendapatkan kembali hak-hak yang sah, status sosial, dan keutuhan keluarga
mereka.2

Pemerintah telah membuat peraturan perundang-undangan yang memuat aturan


terkait kompensasi bagi anak yang menjadi korban tindak pidana, yaitu Peraturan
Pemerintah No. 43 Tahun 2017 tentang Tata Cara Pelaksanaan Restitusi bagi Anak yang
Menjadi Korban Tindak Pidana. Pasal 2 ayat (1) PP No. 43 Tahun 2017 menyatakan bahwa

1
Abu Huraerah, 2012, Kekerasan Terhadap Anak, Ctk. Pertama, Bandung: Nuansa Cendekia, hlm.
11.
2
Fauzy Marasabessy, 2016, Restitusi bagi Korban Tindak Pidana: Sebuah Tawaran Mekanisme Baru,
Jurnal Hukum & Pembangunan
"Setiap Anak yang menjadi korban tindak pidana berhak memperoleh kompensasi", pada
poin tersebut Pasal 3 menyatakan bahwa "Kompensasi bagi Anak yang menjadi korban
tindak pidana berupa ganti kerugian atas kehilangan kekayaan, ganti kerugian untuk
menanggung penderitaan akibat tindak pidana, dan penggantian biaya tindakan atau
perawatan mental".

Pada tanggal 9 Mei 2022 lalu, Pemerintah telah mengesahkan RUU TPKS menjadi
Undang-undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual yang
didalamnya pun telah mengatur tentang restitusi bagi korban tindak pidana kekerasan
seksual. Pasal 30 ayat (1) UU No. 12 Tahun 2022 menyebutkan bahwa “Korban tindak
pidana kekerasan seksual berhak mendapatkan restitusi dan layanan pemulihan”, dan
Pasal 31 ayat (1) menyebutkan bahwa “Penyidik, Penuntut Umum, dan Hakim wajib
memberitahukan hak atas restitusi kepada korban atau ahli warisnya dan LPSK”.

Sejauh ini negara telah memberikan perlindungan hukum terhadap anak yang menjadi
korban tindak pidana kekerasan seksual untuk mendapatkan ganti rugi atas dampak yang
dialaminya melalui diterbitkannya Peraturan Perundang-undangan yang didalamnya
mengatur tentang restitusi. Terjaminnya kepastian hukum atas pemberian restitusi
tersebut dalam bentuk Peraturan Perundang-undangan dapat mewujudkan keadilan bagi
anak yang menjadi korban tindak pidana kekerasan seksual.

II. Metode Penelitian

Penelitian ini adalah penelitian normatif yang dilakukan dengan cara meneliti
bahan pustaka atau data sekunder. Penelitian hukum normatif adalah penelitian
hukum kepustakaan, dimana dalam penelitian hukum normatif bahan pustaka
merupakan data dasar yang digunakan dalam menganalisis bahan hukum yang
mengacu pada norma hukum yang dituangkan dalam peraturan perundang-
undangan. Spesifikasi dalam penelitian ini adalah penelitian deskriptif analitis, yaitu
menggambarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku dikaitkan dengan teori
hukum atau asas hukum yang menyangkut permasalahan yang akan diteliti. Bahan
hukum yang akan digunakan adalah bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan
bahan hukum tersier.

III. Pembahasan

1. Pemahaman Umum tentang Kekerasan Seksual Pada Anak

Kekerasan seksual merupakan kata yang digunakan untuk menggambarkan perilaku


seksual yang tidak pantas atau interaksi seksual yang tidak pantas yang menyebabkan
kerugian bagi korban dan mengganggu keharmonisan sosial. Kekerasan seksual
merupakan masalah serius yang harus ditangani karena kesengsaraan yang dialami
korbannya. Pelaku kekerasan seksual meliputi berbagai kalangan, orang dewasa, remaja
bahkan anak-anak. Korban kekerasan seksual juga dapat dari berbagai kalangan, tetapi
yang umum dan banyak terjadi adalah kekerasan seksual terhadap perempuan dan anak3

Menurut Lyness, secara khusus membelai atau mencium organ seksual anak, dengan
sengaja membuka aurat anak, memperkosa anak, dan mengancam akan menggunakan
kekerasan jika anak tidak patuh adalah contoh kekerasan seksual terhadap anak. 4
Kekerasan seksual terhadap anak tidak hanya dilakukan oleh orang dewasa saja tetapi
3
A Wahid, M Irfan, 2011, Perlindungan Terhadap Korban Kekerasan Seksual, Bandung: Refika
Aditama, hlm. 32.
terkadang juga dilakukan anak-anak dengan teman sebayanya. Dari mayoritas kasus
kekerasan seksual yang terjadi melibatkan pelaku yang merupakan orang terdekat dengan
anak tersebut atau orang yang berada di lingkungan sekitar anak yang menjadi korban.
Kekerasan seksual yang sering terjadi di Indonesia ini bukan tanpa sebab, terdapat
beberapa faktor yang dapat memicu terjadinya tindakan kekerasan seksual, yaitu:
1. Faktor ekonomi atau kemiskinan
Contoh-contoh yang kemudian mengemuka sebelum dan sesudah perkosaan yang
berujung pada pembunuhan menunjukkan bahwa kekerasan seksual sering terjadi di
kalangan mereka yang kurang mampu secara sosial ekonomi. Karena kekurangan
sumber daya, orang miskin sering menelantarkan orang yang mereka cintai dan anak-
anak mereka.
2. Faktor pendidikan dalam keluarga
Sistem pendidikan yang diberikan keluarga dapat berfungsi sebagai pencegahan atas
kekerasan seksual terhadap anak-anak. Anak-anak muda yang membutuhkan
perlindungan orang dewasa karena lemah dan tidak berdaya tetapi malah menjadi
korban kejahatan baik yang dilakukan oleh orang dewasa maupun teman sebayanya.
Pemikiran dan pola pikir seorang anak sangat dipengaruhi oleh pendidikan orang tua.
Meskipun pendidikan di rumah berbeda dengan pendidikan formal, tujuannya adalah
agar keluarga dapat memberikan kekuatan moral dan mengembangkan cita-cita anak.
3. Faktor pornografi
Banyak kasus kekerasan seksual terhadap anak yang bersumber dari media maupun
kegiatan - kegiatan pornografi. Misalnya setelah menonton situs atau film porno lalu
pelaku menjadi bergairah untuk melakukannya secara langsung.
4. Faktor minuman keras
Begitupun juga akibat mengonsumsi minuman keras, yang dapat menjadikan pelaku
tidak sadar lalu melakukan tindak kejahatan5

Dalam Pasal 1 angka (2) Undang-undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan
pertama atas Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak,
menyebutkan bahwa “Perlindungan anak adalah segala kegiatan untuk menjamin dan
melindungi anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan
berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta
mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi”.

Upaya memberikan perlindungan terhadap hak-hak anak sebagai korban harus


memperhatikan prinsip-prinsip dalam perlindungan anak, yaitu :
a. Anak-anak tidak bisa melawan semuanya sendiri, dan anak adalah aset penting
kelangsungan hidup keluarga, masyarakat, dan juga Negara.
b. Kepentingan terbaik bagi anak harus diprioritaskan.
c. Ancaman dari kehidupan anak di luar sana, perlindungan terhadap anak harus dimulai
sejak dini dan berlanjut.
d. Tersedianya perlindungan terhadap hak-hak anak sebagai korban dapat meningkatkan
sistem peradilan pidana dan memberikan rasa keadilan bagi anak yang menjadi korban
tindak pidana

2. Pemenuhan Hak Atas Restitusi Terhadap Anak Sebagai Korban Tindak Pidana
Kekerasan Seksual

4
Utami Zahira, Nunung Nurwati, Hetty Krisnani, 2019, Dampak dan Penanganan Kekerasan Seksual
Anak di Keluarga,
5
Dani Durahman. (2019). Upaya Pencegahan Anak dari Pengaruh Minuman Keras Dihubungkan
dengan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 Tentang Perlindungan Anak: Tinjauan. Jurnal Ilmiah
Universitas Batanghari Jambi, 19(2), 406-415
Salah satu bentuk perlindungan hukum bagi anak korban kekerasan seksual adalah
dengan mengajukan tuntutan ganti rugi. Restitusi adalah pembayaran ganti rugi kepada
korban atau ahli warisnya. Menurut hukum pidana, restitusi didefinisikan sebagai
pembayaran ganti rugi sebagai bentuk itikad baik untuk memperbaiki penderitaan korban
kejahatan, meskipun korban tidak mungkin kembali ke keadaan semula. telah dilakukan.
Dalam konsep reparasi, tuntutan ganti rugi dilakukan melalui putusan pengadilan pidana
yang berkekuatan hukum tetap dan dibayarkan oleh pelaku.6

Restitusi terhadap anak korban tindak pidana diatur lebih lanjut dalam Peraturan
Pemerintah Nomor 43 Tahun 2017 tentang Pelaksanaan Restitusi Bagi Anak Korban
Tindak Pidana. PP No. 43 Tahun 2017 sebagai aturan pelaksana dari Pasal 71D ayat (2) UU
No. 35 Tahun 2014 tentang Perubahan pertama atas UU No. 23 tahun 2002 tentang
Perlindungan Anak. PP No. 43 Tahun 2017 ini juga melengkapi mekanisme ganti rugi atau
restitusi yang telah diatur dalam KUHAP dan Undang-undang Nomor 31 Tahun 2014
tentang Perlindungan Saksi dan Korban, bisa dikatakan PP No. 43 Tahun 2017 menjadi
peraturan yang lebih bersifat khusus.

PP No. 43 Tahun 2017 tersebut telah mengatur siapa saja yang berhak mendapat
restitusi, apa saja bentuk restitusi yang didapat anak sebagai korban, dan lainnya.
Diantaranya yaitu:
Pasal 2, menyebutkan :
1) Setiap anak yang menjadi korban tindak pidana berhak memperoleh restitusi
2) Anak yang menjadi korban tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
meliputi:
a. Anak yang berhadapan dengan hukum
b. Anak yang dieksploitasi secara ekonomi dan/atau seksual
c. Anak yang menjadi korban pornografi
d. Anak korban penculikan, penjualan, dan/atau perdagangan
e. Anak korban kekerasan fisik; dan f) Anak korban kejahatan seksual.
3) Restitusi bagi anak yang berhadapan dengan hukum sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) huruf a diberikan kepada anak korban.

Pada tanggal 9 Mei 2022, pemerintah juga mengesahkan RUU TPKS No. 12 tahun 2022
tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual, yang juga mengatur hak atas kompensasi bagi
korban kekerasan seksual. Pasal 30 ayat 1 menyatakan bahwa "korban kejahatan kekerasan
seksual berhak mendapatkan kompensasi dan layanan pemulihan," dan pasal 31 ayat 1
menyatakan bahwa "penyidik, penuntut umum, dan hakim wajib melaporkan hak atas
kompensasi. " korban atau ahli warisnya, dan LPSK. "

Melalui restitusi, Pemerintah bertujuan membuat pelaku kejahatan menyadari fakta


bahwa tindakan mereka telah merugikan korban sehingga pelaku memiliki kewajiban
untuk mengembalikan hakhak para korban yang telah dilanggar. Pelaku tindak pidana
wajib membayar denda, menerima pidana pokok dan/atau pidana tambahan, serta
menanggung biaya kerugian yang bersifat materiil dan immateriil yang diderita korban.

Anak-anak yang menjadi korban tindak pidana kekerasan seksual berhak mendapatkan
kompensasi dan ganti rugi berdasarkan dampak yang mereka alami. Namun, untuk
mendapatkan kompensasi, korban harus terlebih dahulu mengajukan permohonan ganti
rugi. Untuk pengajuan permohonan penggantian kerugian, terdapat mekanisme atau
prosedur pengajuan yang diatur dalam Perma No. 1 Tahun 2022 tentang Tata Cara
6
Nurhaurima, Silma, Zulkarnaen Koto, and Dyah Sulastri Dewi. "Hak Restitusi Bagi Anak Korban
Tindak Pidana Kekerasan Seksual." JOURNAL of LEGAL RESEARCH 3.4 (2021): 539-550.
Pengajuan Permohonan dan Pemberian Ganti Kerugian dan Kompensasi kepada Korban
Tindak Pidana. Perma No. 1 Tahun 2022 ini mengacu pada Peraturan Pemerintah No. 43
Tahun 2017, dimana ketentuan lebih lanjut mengenai teknis pelaksanaan pertimbangan
permohonan restitusi diatur dengan Peraturan Mahkamah Agung.

Untuk memastikan hak atas restitusi, gugatan ini diajukan oleh korban sebagai
pemohon. Pasal 2 ayat (1) a Perma No. 1 Tahun 2022 dengan jelas menyatakan
"permohonan kompensasi dalam perkara tindak pidana yang merupakan pelanggaran hak
asasi manusia yang berat, tindak pidana terorisme, tindak pidana perdagangan orang,
tindak pidana diskriminasi ras dan etnis, tindak pidana yang melibatkan anak, dan tindak
pidana lain yang ditentukan oleh LPSK sebagaimana dimaksud dalam ketentuan
peraturan perundang-undangan."

Sebelum mengajukan permohonan restitusi, pihak korban sebagai pemohon harus


melengkapi persyaratan permohonan restitusi. Adapun persyaratan tersebut termuat pada
Pasal 5 Perma No. 1 Tahun 2022 : Pasal 5, menyebutkan :
1. Permohonan Restitusi harus memuat :
a) Identias pemohon;
b) Identitas korban;
c) Uraian mengenai tindak pidana yang dialami;
d) Identitas terdakwa atau termohon;
e) Uraian kerugian yang diderita;
f) Besaran restitusi yang diminta.
2. Permohonan Restitusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dilengkapi dengan :
a) Fotokopi identitas pemohon dan/atau korban
b) Bukti kerugian materiil yang diderita pemohon dan/atau korban yang dibuat dan
disahkan oleh pejabat berwenang, atau berdasarkan alat bukti lain yang sah;
c) Bukti biaya perawatan dan/atau pengobatan korban yang disahkan oleh instansi
atau pihak yang melakukan perawatan dan/atau pengobatan atau berdasarkan alat
bukti lain yang sah
d) Uraian kerugian immateriil yang diderita oleh pemohon dan/atau korban;
e) Fotokopi surat kematian, apabila korban meninggal dunia
f) Surat keterangan hubungan keluarga, ahli waris, atau wali jika permohonan
diajukan oleh keluarga, ahli waris, atau wali korban
g) Surat kuasa khusus, jika permohonan diajukan melalui kuasa
h) Salinan atau petikan putusan pengadilan, jika perkara telah diputus dan berkekuatan
hukum tetap.
3. Apabila korban adalah anak, permohonan diajukan oleh orang tua, keluarga, ahli waris,
wali atau kuasanya, atau LPSK, sesuai dengan ketentuan peraturan perudang-
undangan.
4. Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dibuat secara tertulis
dalam bahasa Indonesia, ditandatangani oleh pemohon atau kuasanya, dan diajukan
kepada ketua pengadilan, baik secara langsung atau melalui LPSK, penyidik, atau
penuntut umum

Adapun mekanisme pengajuan dan pemberian restitusi sebelum putusan pengadilan


yang berkekuatan hukum tetap, dapat dilihat pada bagan dibawah ini :
Tabel diatas merupakan tata cara permohonan restitusi yang diajukan sebelum putusan
yang berkekuatan hukum tetap, yang diatur dalam Pasal 8 sampai Pasal 10 Perma No. 1
Tahun 2022. Permohonan restitusi juga dapat dajukan setelah putusan yang berkekuatan
hukum tetap, seperti yang diamanatkan pada Pasal 11 ayat (1) Perma No. 1 Tahun 2022
yang menyebutkan bahwa “Dalam hal Korban tidak mengajukan permohonan Restitusi
dalam proses persidangan terhadap pelaku tindak pidana, permohonan dapat diajukan
setelah putusan pengadilan berkekuatan hukum tetap”.

Mekanisme pengajuan dan pemberian restitusi setelah adanya putusan pengadilan


yang berkekuatan hukum tetap dapat dilihat pada tabel di bawah ini:
Bagan diatas merupakan tata cara permohonan restitusi yang diajukan setelah putusan
yang berkekuatan hukum tetap, yang diatur dalam Pasal 11 sampai Pasal 15 Perma No. 1
Tahun 2022. Adapun pada Pasal 14 ayat (11) Perma No. 1 Tahun 2022 menyebutkan bahwa
“Upaya hukum terhadap penetapan Pengadilan sebagaimana dimaksud pada ayat (9)
hanya dapat diajukan banding”, dan Pasal 14 ayat (12) menyebutkan bahwa “Penetapan
Pengadilan banding bersifat final dan mengikat”.

3. Pengaturan Tahapan Pengajuan Restitusi Yang Diberikan Kepada Anak Sebagai


Korban Tindak Pidana Kekerasan Seksual.

Tahapan pengajuan restritusi dibagi menjadi 2 cara, yaitu: pengajuan kompensasi yang
dilakukan beberapa waktu yang lalu melalui pilihan pengadilan yang resmi secara hukum
dan setelah pilihan pengadilan yang resmi secara hukum. Petunjuk yang mengawasi
tahapan pengajuan kompensasi yang dilakukan beberapa waktu setelah pilihan
pengadilan resmi: Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi
Manusia dan Peraturan Pemerintah Nomor 3 Tahun 2002 tentang Pemberian Kompensasi,
Kompensasi, dan Pemulihan kepada Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia yang Berat,
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2018 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 15
Tahun 2003 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1
Tahun 2002 tentang Pemberlakuan Tindak Pidana Penindasan Berbasis Ketakutan Menjadi
Undang-Undang, Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, Peraturan
Pemerintah Nomor 43 Tahun 2017, dan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang.

Proses pengajuan restitusi sebelum pengadilan mengeluarkan keputusan hukum yang


tetap masih tetap dilaksanakan melalui pengajuan restitusi yang diajukan oleh korban
tindak pidana melalui LPSK, Penyidik, atau Penuntut Umum. Berbeda dengan ketentuan
dalam KUHAP Pasal 98-101, pengajuan restitusi dilakukan melalui penggabungan perkara
gugatan ganti kerugian.

Aturan yang mengatur langkah-langkah pengajuan restitusi setelah putusan pengadilan


yang memiliki kekuatan hukum tetap meliputi Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014
tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan
Saksi dan Korban. Peraturan ini diterapkan dengan peraturan pelaksana, yaitu Peraturan
Pemerintah Nomor 44 Tahun 2018 yang kemudian dicabut dan diubah oleh Peraturan
Pemerintah Nomor 7 Tahun 2018 tentang Pemberian Kompensasi, Restitusi, dan Bantuan
kepada Saksi dan Korban, serta Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2022 tentang
Tata Cara Penyelesaian Permohonan dan Pemberian Restitusi dan Kompensasi kepada
Korban Tindak Pidana. Proses pengajuan permohonan restitusi setelah putusan
pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap juga dapat dilakukan melalui LPSK atau
langsung kepada Pengadilan.

Pengaturan mengenai permohonan restitusi dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun


2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual dijelaskan dalam Pasal 30-37. Menurut
ketentuan ini, korban tindak pidana kekerasan seksual memiliki hak untuk mendapatkan
restitusi dan layanan pemulihan, termasuk ganti rugi atas kehilangan kekayaan atau
penghasilan, ganti rugi yang timbul akibat penderitaan yang terkait langsung dengan
tindak pidana kekerasan seksual, penggantian biaya perawatan medis atau psikologi, serta
ganti rugi atas kerugian lainnya. Penyidik, Penuntut Umum, dan Hakim diwajibkan
memberitahukan hak atas restitusi kepada korban dan LPSK. Apabila pelaku adalah
seorang anak, pemberian restitusi akan dilakukan oleh orang tua atau wali, dan tata cara
pengajuan restitusi akan dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan.

Kesimpulan
Berdasarkan penelitian ini, dapat disimpulkan bahwa LPSK memiliki peran penting
dalam pemenuhan restitusi bagi korban tindak pidana anak di bawah umur. Restitusi
merupakan bentuk ganti rugi yang diberikan kepada korban atau ahli warisnya sebagai
bentuk itikad baik untuk memperbaiki penderitaan korban kejahatan. Restitusi juga dapat
membantu meningkatkan sistem peradilan pidana dan memberikan rasa keadilan bagi
korban tindak pidana anak.

Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual


memberikan hak restitusi bagi korban tindak pidana kekerasan seksual, termasuk ganti
rugi atas kehilangan kekayaan atau penghasilan, ganti rugi yang timbul akibat penderitaan
yang terkait langsung dengan tindak pidana kekerasan seksual, penggantian biaya
perawatan medis atau psikologi, serta ganti rugi atas kerugian lainnya. Penyidik, Penuntut
Umum, dan Hakim diwajibkan memberitahukan hak atas restitusi kepada korban dan
LPSK.

Namun, masih terdapat kendala dalam pemenuhan restitusi bagi korban tindak pidana
anak, seperti sulitnya mendapatkan bukti kerugian materiil dan immateriil, serta sulitnya
mengeksekusi putusan pengadilan terkait restitusi yang tidak dibayarkan oleh pelaku.
Oleh karena itu, diperlukan upaya untuk meningkatkan kesadaran masyarakat dan pihak
terkait mengenai pentingnya pemenuhan restitusi bagi korban tindak pidana anak, serta
perlu adanya upaya untuk mempermudah proses pengajuan restitusi dan eksekusi
putusan pengadilan.
Saran
Dalam rangka meningkatkan pemenuhan restitusi bagi korban tindak pidana anak,
beberapa saran yang dapat diberikan adalah sebagai berikut:
1. Sosialisasi dan Edukasi: LPSK perlu meningkatkan sosialisasi mengenai hak restitusi
bagi korban tindak pidana anak, baik kepada masyarakat umum maupun kepada pihak
terkait, seperti penyidik, penuntut umum, dan hakim. Peningkatan pemahaman
mengenai pentingnya pemenuhan restitusi bagi korban dapat membantu memperkuat
kesadaran akan hak-hak korban.
2. Pempermudah Proses Pengajuan Restitusi: Perlu adanya upaya untuk mempermudah
proses pengajuan restitusi bagi korban tindak pidana anak, termasuk penyediaan
panduan yang jelas dan akses yang mudah bagi korban untuk mengajukan
permohonan restitusi.
3. Eksekusi Putusan Pengadilan: Diperlukan upaya untuk mempermudah proses eksekusi
putusan pengadilan terkait restitusi yang tidak dibayarkan oleh pelaku. Kerjasama
antara LPSK dan lembaga penegak hukum dapat menjadi kunci dalam memastikan
pelaksanaan putusan pengadilan terkait restitusi.
4. Peningkatan Kesadaran Masyarakat: Masyarakat perlu diberikan pemahaman
mengenai pentingnya pemenuhan restitusi bagi korban tindak pidana anak. Melalui
pendekatan pendidikan dan sosialisasi, masyarakat dapat mendukung upaya-upaya untuk
meningkatkan pemenuhan hak restitusi bagi korban.
Daftar Pustaka
Huraerah, A. (2018). Kekerasan terhadap anak. Nuansa Cendekia.

Marasabessy, F. (2016). Restitusi Bagi Korban Tindak Pidana: Sebuah Tawaran Mekanisme
Baru. Jurnal Hukum & Pembangunan, 45(1), 53-75.

Abdul, W., & Irfan, M. (2001). Perlindungan Terhadap Korban Kekerasan Seksual. Bandung: PT
Refika Aditama.

Zahirah, U., Nurwati, N., & Krisnani, H. (2019). Dampak dan penanganan kekerasan seksual anak di
keluarga. Prosiding Penelitian Dan Pengabdian Kepada Masyarakat, 6(1), 10.

Durahman, D. (2019). Upaya Pencegahan Anak dari Pengaruh Minuman Keras Dihubungkan dengan
Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 Tentang Perlindungan Anak: Tinjauan. Jurnal Ilmiah
Universitas Batanghari Jambi, 19(2), 406-415.

Nurhaurima, S., Koto, Z., & Dewi, D. S. (2021). Hak Restitusi Bagi Anak Korban Tindak Pidana
Kekerasan Seksual. JOURNAL of LEGAL RESEARCH, 3(4), 539-550.

Anda mungkin juga menyukai