Abstrak
Pengaturan terkait restitusi masih terdapat kekurangan dalam hal pemenuhan hak-hak korban tindak
pidana. Perlu dikaji mengenai pengajuan hak restitusi yang diberikan kepada anak sebagai
korban tindak pidana dan akibat hukum restitusi yang tidak dibayarkan oleh pelaku. Penelitian
ini menggunakan jenis penelitian normatif. Pengumpulan bahan hukum dilakukan dengan
teknik studi pustaka dan dianalisis dengan cara analisis deskriptif. Peraturan Pemerintah
Nomor 43 Tahun 2017 tidak mengatur daya paksa jika pelaku tidak dapat melaksanakan
restitusi,sehingga tidak ada jaminan bahwa restitusi dapat dibayarkan kepada anak sebagai
korban tindak pidana. Oleh karena itu, hal ini menyebabkan tidak adanya kepastian bagi anak
yang menjadi korban tindak pidana untuk menerima restitusi dan pemberian sanksi terhadap
pelaku tindak pidana yang tidak membayarkan restitusi sesuai dengan putusan pengadilan
yang telah berkekuatan hukum tetap. Berbeda dengan Peraturan sebelumnya, Undang-Undang
Nomor 12 Tahun 2022 Tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual terkait restitusi terhadap
anak sebagai korban kekerasan seksual menekankan dalam hal harta kekayaan terpidana yang
disita tidak cukup untuk membayar restitusi maka terpidana akan dikenakan pidana penjara
pengganti yang tidak melebihi ancaman pidana pokoknya dan negara memberikan kompensasi
sejumlah restitusi kepada korban tindak pidana kekerasan seksual sesuai putusan pengadilan
melalui dana bantuan korban.
Kata Kunci: Hak Restitusi; Anak Korban; Tindak Pidana Kekerasan Seksual.
Abstract
Restitution arrangements are still lacking in terms of fulfilling the rights of victims of criminal acts.
It is necessary to study the application for the right of restitution given to children as victims
of criminal acts of violence and the legal consequences of restitution not being paid by the
perpetrators. This study uses a type of normative research. The collection of legal materials
was carriedout using literature study techniques and analyzed using descriptive analysis.
Government Regulation Number 43 of 2017 does not regulate coercion if the perpetrator is
unable to carry out restitution, so there is no guarantee that restitution can be paid to a child as a
victim of a crime. Therefore, this causes no certainty for children who are victims of criminal acts to
receive restitution and imposition of sanctions against perpetrators of criminal acts who do not
pay restitution in accordance with court decisions that have permanent legal force. Restitution
in Law Number 12 of 2022 concerning Crimes of Sexual Violence emphasizes that in the
event that the confiscated assets of the convict are not sufficient to pay restitution, the convict
will be subject to a replacement prison sentence which does not exceed the threat of the principal
sentence. The state then provides victim compensation
Anak-anak adalah generasi penerus bangsa yang memiliki peran penting dalam
kemajuan bangsa. Anak-anak harus diberikan kesempatan terbaik untuk berkembang dan
berkreasi di dunia yang sempurna, baik dari segi fisik, mental, sosial, dan sudut pandang
dunia lainnya sehingga anak-anak dapat menjalankan tugas-tugas tersebut. Anak-anak
membutuhkan rasa aman baik dari keluarga maupun lingkungan sosialnya karena mereka
kurang mampu melindungi diri mereka sendiri dari pengaruh luar seperti
lingkungannya.1
Mengutip Pasal 28 B ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945 yang menyatakan bahwa "Setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan
berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekejaman dan diskriminasi", maka
sudah selayaknya wali, masyarakat, dan pemerintah memberikan perlindungan yang
layak dan memuaskan bagi anak yang menjadi korban tindak pidana. Anak-anak yang
menjadi korban harus mendapatkan kompensasi atas kemalangan yang mereka alami dan
diberikan dukungan untuk penyembuhan fisik dan mental mereka. Memberikan anak-
anak yang terlibat dalam kebiadaban seksual hak untuk mendapatkan kompensasi adalah
salah satu cara untuk memberikan mereka jaminan yang sah. Kompensasi adalah kegiatan
dari pelaku kejahatan untuk mengganti kerugian yang dialami oleh korban atau ahli
warisnya, baik kerugian yang disengaja maupun tidak disengaja. Dengan kompensasi ini,
korban mendapatkan kembali hak-hak yang sah, status sosial, dan keutuhan keluarga
mereka.2
1
Abu Huraerah, 2012, Kekerasan Terhadap Anak, Ctk. Pertama, Bandung: Nuansa Cendekia, hlm.
11.
2
Fauzy Marasabessy, 2016, Restitusi bagi Korban Tindak Pidana: Sebuah Tawaran Mekanisme Baru,
Jurnal Hukum & Pembangunan
"Setiap Anak yang menjadi korban tindak pidana berhak memperoleh kompensasi", pada
poin tersebut Pasal 3 menyatakan bahwa "Kompensasi bagi Anak yang menjadi korban
tindak pidana berupa ganti kerugian atas kehilangan kekayaan, ganti kerugian untuk
menanggung penderitaan akibat tindak pidana, dan penggantian biaya tindakan atau
perawatan mental".
Pada tanggal 9 Mei 2022 lalu, Pemerintah telah mengesahkan RUU TPKS menjadi
Undang-undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual yang
didalamnya pun telah mengatur tentang restitusi bagi korban tindak pidana kekerasan
seksual. Pasal 30 ayat (1) UU No. 12 Tahun 2022 menyebutkan bahwa “Korban tindak
pidana kekerasan seksual berhak mendapatkan restitusi dan layanan pemulihan”, dan
Pasal 31 ayat (1) menyebutkan bahwa “Penyidik, Penuntut Umum, dan Hakim wajib
memberitahukan hak atas restitusi kepada korban atau ahli warisnya dan LPSK”.
Sejauh ini negara telah memberikan perlindungan hukum terhadap anak yang menjadi
korban tindak pidana kekerasan seksual untuk mendapatkan ganti rugi atas dampak yang
dialaminya melalui diterbitkannya Peraturan Perundang-undangan yang didalamnya
mengatur tentang restitusi. Terjaminnya kepastian hukum atas pemberian restitusi
tersebut dalam bentuk Peraturan Perundang-undangan dapat mewujudkan keadilan bagi
anak yang menjadi korban tindak pidana kekerasan seksual.
Penelitian ini adalah penelitian normatif yang dilakukan dengan cara meneliti
bahan pustaka atau data sekunder. Penelitian hukum normatif adalah penelitian
hukum kepustakaan, dimana dalam penelitian hukum normatif bahan pustaka
merupakan data dasar yang digunakan dalam menganalisis bahan hukum yang
mengacu pada norma hukum yang dituangkan dalam peraturan perundang-
undangan. Spesifikasi dalam penelitian ini adalah penelitian deskriptif analitis, yaitu
menggambarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku dikaitkan dengan teori
hukum atau asas hukum yang menyangkut permasalahan yang akan diteliti. Bahan
hukum yang akan digunakan adalah bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan
bahan hukum tersier.
III. Pembahasan
Menurut Lyness, secara khusus membelai atau mencium organ seksual anak, dengan
sengaja membuka aurat anak, memperkosa anak, dan mengancam akan menggunakan
kekerasan jika anak tidak patuh adalah contoh kekerasan seksual terhadap anak. 4
Kekerasan seksual terhadap anak tidak hanya dilakukan oleh orang dewasa saja tetapi
3
A Wahid, M Irfan, 2011, Perlindungan Terhadap Korban Kekerasan Seksual, Bandung: Refika
Aditama, hlm. 32.
terkadang juga dilakukan anak-anak dengan teman sebayanya. Dari mayoritas kasus
kekerasan seksual yang terjadi melibatkan pelaku yang merupakan orang terdekat dengan
anak tersebut atau orang yang berada di lingkungan sekitar anak yang menjadi korban.
Kekerasan seksual yang sering terjadi di Indonesia ini bukan tanpa sebab, terdapat
beberapa faktor yang dapat memicu terjadinya tindakan kekerasan seksual, yaitu:
1. Faktor ekonomi atau kemiskinan
Contoh-contoh yang kemudian mengemuka sebelum dan sesudah perkosaan yang
berujung pada pembunuhan menunjukkan bahwa kekerasan seksual sering terjadi di
kalangan mereka yang kurang mampu secara sosial ekonomi. Karena kekurangan
sumber daya, orang miskin sering menelantarkan orang yang mereka cintai dan anak-
anak mereka.
2. Faktor pendidikan dalam keluarga
Sistem pendidikan yang diberikan keluarga dapat berfungsi sebagai pencegahan atas
kekerasan seksual terhadap anak-anak. Anak-anak muda yang membutuhkan
perlindungan orang dewasa karena lemah dan tidak berdaya tetapi malah menjadi
korban kejahatan baik yang dilakukan oleh orang dewasa maupun teman sebayanya.
Pemikiran dan pola pikir seorang anak sangat dipengaruhi oleh pendidikan orang tua.
Meskipun pendidikan di rumah berbeda dengan pendidikan formal, tujuannya adalah
agar keluarga dapat memberikan kekuatan moral dan mengembangkan cita-cita anak.
3. Faktor pornografi
Banyak kasus kekerasan seksual terhadap anak yang bersumber dari media maupun
kegiatan - kegiatan pornografi. Misalnya setelah menonton situs atau film porno lalu
pelaku menjadi bergairah untuk melakukannya secara langsung.
4. Faktor minuman keras
Begitupun juga akibat mengonsumsi minuman keras, yang dapat menjadikan pelaku
tidak sadar lalu melakukan tindak kejahatan5
Dalam Pasal 1 angka (2) Undang-undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan
pertama atas Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak,
menyebutkan bahwa “Perlindungan anak adalah segala kegiatan untuk menjamin dan
melindungi anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan
berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta
mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi”.
2. Pemenuhan Hak Atas Restitusi Terhadap Anak Sebagai Korban Tindak Pidana
Kekerasan Seksual
4
Utami Zahira, Nunung Nurwati, Hetty Krisnani, 2019, Dampak dan Penanganan Kekerasan Seksual
Anak di Keluarga,
5
Dani Durahman. (2019). Upaya Pencegahan Anak dari Pengaruh Minuman Keras Dihubungkan
dengan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 Tentang Perlindungan Anak: Tinjauan. Jurnal Ilmiah
Universitas Batanghari Jambi, 19(2), 406-415
Salah satu bentuk perlindungan hukum bagi anak korban kekerasan seksual adalah
dengan mengajukan tuntutan ganti rugi. Restitusi adalah pembayaran ganti rugi kepada
korban atau ahli warisnya. Menurut hukum pidana, restitusi didefinisikan sebagai
pembayaran ganti rugi sebagai bentuk itikad baik untuk memperbaiki penderitaan korban
kejahatan, meskipun korban tidak mungkin kembali ke keadaan semula. telah dilakukan.
Dalam konsep reparasi, tuntutan ganti rugi dilakukan melalui putusan pengadilan pidana
yang berkekuatan hukum tetap dan dibayarkan oleh pelaku.6
Restitusi terhadap anak korban tindak pidana diatur lebih lanjut dalam Peraturan
Pemerintah Nomor 43 Tahun 2017 tentang Pelaksanaan Restitusi Bagi Anak Korban
Tindak Pidana. PP No. 43 Tahun 2017 sebagai aturan pelaksana dari Pasal 71D ayat (2) UU
No. 35 Tahun 2014 tentang Perubahan pertama atas UU No. 23 tahun 2002 tentang
Perlindungan Anak. PP No. 43 Tahun 2017 ini juga melengkapi mekanisme ganti rugi atau
restitusi yang telah diatur dalam KUHAP dan Undang-undang Nomor 31 Tahun 2014
tentang Perlindungan Saksi dan Korban, bisa dikatakan PP No. 43 Tahun 2017 menjadi
peraturan yang lebih bersifat khusus.
PP No. 43 Tahun 2017 tersebut telah mengatur siapa saja yang berhak mendapat
restitusi, apa saja bentuk restitusi yang didapat anak sebagai korban, dan lainnya.
Diantaranya yaitu:
Pasal 2, menyebutkan :
1) Setiap anak yang menjadi korban tindak pidana berhak memperoleh restitusi
2) Anak yang menjadi korban tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
meliputi:
a. Anak yang berhadapan dengan hukum
b. Anak yang dieksploitasi secara ekonomi dan/atau seksual
c. Anak yang menjadi korban pornografi
d. Anak korban penculikan, penjualan, dan/atau perdagangan
e. Anak korban kekerasan fisik; dan f) Anak korban kejahatan seksual.
3) Restitusi bagi anak yang berhadapan dengan hukum sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) huruf a diberikan kepada anak korban.
Pada tanggal 9 Mei 2022, pemerintah juga mengesahkan RUU TPKS No. 12 tahun 2022
tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual, yang juga mengatur hak atas kompensasi bagi
korban kekerasan seksual. Pasal 30 ayat 1 menyatakan bahwa "korban kejahatan kekerasan
seksual berhak mendapatkan kompensasi dan layanan pemulihan," dan pasal 31 ayat 1
menyatakan bahwa "penyidik, penuntut umum, dan hakim wajib melaporkan hak atas
kompensasi. " korban atau ahli warisnya, dan LPSK. "
Anak-anak yang menjadi korban tindak pidana kekerasan seksual berhak mendapatkan
kompensasi dan ganti rugi berdasarkan dampak yang mereka alami. Namun, untuk
mendapatkan kompensasi, korban harus terlebih dahulu mengajukan permohonan ganti
rugi. Untuk pengajuan permohonan penggantian kerugian, terdapat mekanisme atau
prosedur pengajuan yang diatur dalam Perma No. 1 Tahun 2022 tentang Tata Cara
6
Nurhaurima, Silma, Zulkarnaen Koto, and Dyah Sulastri Dewi. "Hak Restitusi Bagi Anak Korban
Tindak Pidana Kekerasan Seksual." JOURNAL of LEGAL RESEARCH 3.4 (2021): 539-550.
Pengajuan Permohonan dan Pemberian Ganti Kerugian dan Kompensasi kepada Korban
Tindak Pidana. Perma No. 1 Tahun 2022 ini mengacu pada Peraturan Pemerintah No. 43
Tahun 2017, dimana ketentuan lebih lanjut mengenai teknis pelaksanaan pertimbangan
permohonan restitusi diatur dengan Peraturan Mahkamah Agung.
Untuk memastikan hak atas restitusi, gugatan ini diajukan oleh korban sebagai
pemohon. Pasal 2 ayat (1) a Perma No. 1 Tahun 2022 dengan jelas menyatakan
"permohonan kompensasi dalam perkara tindak pidana yang merupakan pelanggaran hak
asasi manusia yang berat, tindak pidana terorisme, tindak pidana perdagangan orang,
tindak pidana diskriminasi ras dan etnis, tindak pidana yang melibatkan anak, dan tindak
pidana lain yang ditentukan oleh LPSK sebagaimana dimaksud dalam ketentuan
peraturan perundang-undangan."
Tahapan pengajuan restritusi dibagi menjadi 2 cara, yaitu: pengajuan kompensasi yang
dilakukan beberapa waktu yang lalu melalui pilihan pengadilan yang resmi secara hukum
dan setelah pilihan pengadilan yang resmi secara hukum. Petunjuk yang mengawasi
tahapan pengajuan kompensasi yang dilakukan beberapa waktu setelah pilihan
pengadilan resmi: Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi
Manusia dan Peraturan Pemerintah Nomor 3 Tahun 2002 tentang Pemberian Kompensasi,
Kompensasi, dan Pemulihan kepada Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia yang Berat,
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2018 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 15
Tahun 2003 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1
Tahun 2002 tentang Pemberlakuan Tindak Pidana Penindasan Berbasis Ketakutan Menjadi
Undang-Undang, Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, Peraturan
Pemerintah Nomor 43 Tahun 2017, dan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang.
Kesimpulan
Berdasarkan penelitian ini, dapat disimpulkan bahwa LPSK memiliki peran penting
dalam pemenuhan restitusi bagi korban tindak pidana anak di bawah umur. Restitusi
merupakan bentuk ganti rugi yang diberikan kepada korban atau ahli warisnya sebagai
bentuk itikad baik untuk memperbaiki penderitaan korban kejahatan. Restitusi juga dapat
membantu meningkatkan sistem peradilan pidana dan memberikan rasa keadilan bagi
korban tindak pidana anak.
Namun, masih terdapat kendala dalam pemenuhan restitusi bagi korban tindak pidana
anak, seperti sulitnya mendapatkan bukti kerugian materiil dan immateriil, serta sulitnya
mengeksekusi putusan pengadilan terkait restitusi yang tidak dibayarkan oleh pelaku.
Oleh karena itu, diperlukan upaya untuk meningkatkan kesadaran masyarakat dan pihak
terkait mengenai pentingnya pemenuhan restitusi bagi korban tindak pidana anak, serta
perlu adanya upaya untuk mempermudah proses pengajuan restitusi dan eksekusi
putusan pengadilan.
Saran
Dalam rangka meningkatkan pemenuhan restitusi bagi korban tindak pidana anak,
beberapa saran yang dapat diberikan adalah sebagai berikut:
1. Sosialisasi dan Edukasi: LPSK perlu meningkatkan sosialisasi mengenai hak restitusi
bagi korban tindak pidana anak, baik kepada masyarakat umum maupun kepada pihak
terkait, seperti penyidik, penuntut umum, dan hakim. Peningkatan pemahaman
mengenai pentingnya pemenuhan restitusi bagi korban dapat membantu memperkuat
kesadaran akan hak-hak korban.
2. Pempermudah Proses Pengajuan Restitusi: Perlu adanya upaya untuk mempermudah
proses pengajuan restitusi bagi korban tindak pidana anak, termasuk penyediaan
panduan yang jelas dan akses yang mudah bagi korban untuk mengajukan
permohonan restitusi.
3. Eksekusi Putusan Pengadilan: Diperlukan upaya untuk mempermudah proses eksekusi
putusan pengadilan terkait restitusi yang tidak dibayarkan oleh pelaku. Kerjasama
antara LPSK dan lembaga penegak hukum dapat menjadi kunci dalam memastikan
pelaksanaan putusan pengadilan terkait restitusi.
4. Peningkatan Kesadaran Masyarakat: Masyarakat perlu diberikan pemahaman
mengenai pentingnya pemenuhan restitusi bagi korban tindak pidana anak. Melalui
pendekatan pendidikan dan sosialisasi, masyarakat dapat mendukung upaya-upaya untuk
meningkatkan pemenuhan hak restitusi bagi korban.
Daftar Pustaka
Huraerah, A. (2018). Kekerasan terhadap anak. Nuansa Cendekia.
Marasabessy, F. (2016). Restitusi Bagi Korban Tindak Pidana: Sebuah Tawaran Mekanisme
Baru. Jurnal Hukum & Pembangunan, 45(1), 53-75.
Abdul, W., & Irfan, M. (2001). Perlindungan Terhadap Korban Kekerasan Seksual. Bandung: PT
Refika Aditama.
Zahirah, U., Nurwati, N., & Krisnani, H. (2019). Dampak dan penanganan kekerasan seksual anak di
keluarga. Prosiding Penelitian Dan Pengabdian Kepada Masyarakat, 6(1), 10.
Durahman, D. (2019). Upaya Pencegahan Anak dari Pengaruh Minuman Keras Dihubungkan dengan
Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 Tentang Perlindungan Anak: Tinjauan. Jurnal Ilmiah
Universitas Batanghari Jambi, 19(2), 406-415.
Nurhaurima, S., Koto, Z., & Dewi, D. S. (2021). Hak Restitusi Bagi Anak Korban Tindak Pidana
Kekerasan Seksual. JOURNAL of LEGAL RESEARCH, 3(4), 539-550.