Disusun oleh:
Pembimbing:
dr. Suryo Wijoyo Sp.KF MH
0
STATUS PASIEN
I. IDENTITAS PASIEN
Nama : An. Cs
Jenis Kelamin : Perempuan
Usia : 15 tahun
Status Perkawinan : Belum menikah
Pekerjaan : Pelajar
Kebangsaan : Indonesia
Agama : Islam
Alamat : Kp. Cibuntu Rt 002/006 Ds. Cibuntu Kec. Cibitung Kab Bekasi.
Waktu Pemeriksaan : Kamis, 2 Mei 2019, jam 13.40 WIB.
Keterangan : Korban datang ke Rumah Sakit Umum Daerah Kabupaten Bekasi
dengan aparat kepolisian membawa Surat Permintaan Visum (SPV) utuk meminta
pembuatan Visum et Repertum (VER) pada tanggal 2 Mei 2019, jam 13.40 WIB.
KRONOLOGIS
Pada hari jumat tanggal 12 April 2019 ketika korban pulang sekolah, korban pulang
naik angkutan umum. Namun tiba-tiba angkutan umum yang dinaiki korban berbelok ke
arah perumahan puri dengan alasan bahwa si pelaku hendak menjemput sewa. Mobil
angkutan umum berhenti disebuah kebun lalu seluruh pintu dan kaca di tutup dan si pelaku
memaksa dengan cara menarik, mencekik dan mendorong korban, kemudian membuka
celana short korban dan memasukkan alat kelaminnya ke alat kelamin korban dengan
ancaman bila melawan dan berteriak korban akan dibunuh. Korban mengatakan melihat
cairan berupa darah keluar dari kemaluannya serta terasa sakit pada kemaluannya. Korban
mengenal pelaku yang merupakan mantan pacar dari sahabatnya dan mengatakan bahwa
pelaku dendam dengan dirinya karena korban penyebab putus nya pelaku dengan pacarnya
karena korban memberi tahu bahwa pelaku dulu sempat di penjara. Setelah itu, korban
langsung dibawa ke rumah milik pelaku, saat itu korban mengikuti karena pelaku
mengatakan bahwa dirinya akan bertanggung jawab bila korban hamil. Namun saat sampai
dirumah, pelaku membawa korban ke kamar dan kemudian di dorong, kerudung korban
1
ditarik, celana short korban dibuka, pakaian korban dibuka dan kembali melakukan
hubungan intim dan memasukkan jari pelaku ke kelamin korban. Sekitar pukul 22.00,
pelaku membawa korban ke kontrakan milik pelaku, dan di kontrakan tersebut pelaku
bersama dua orang temannya yang juga supir angkutan umum. Pelaku dan teman-
temannya meminum-minuman keras yakni anggur merah orang tua sebanyak lima botol.
Setelah kedua temannya tertidur, pelaku menghampiri korban dan memaksa melakukan
hubungan intim kembali. Pada hari sabtu, pelaku dan kedua temannya pergi untuk menarik
angkutan umum, dan saat itu korban berhasil kabur karena pintu kontrakan pelaku tidak
dikunci kemudian korban kabur kerumah temannya. Korban tidak langsung pulang
kerumah karena takut. Pada hari minggu, korban pulang ke rumah, namun menurut ibu
korban, abangnya menjemput paksa korban yang saat itu sedang dalam angkutan umum.
Pada hari rabu tanggal 24 April 2019, korban mengatakan bahwa ia kabur dari rumah ke
rumah temannya selama lima hari. Pada hari sabtu tanggal 27 April 2019, korban bersama
pacarnya dan mengatakan bahwa saat itu korban menceritakan seluruh kejadian yang ia
alami dengan pacarnya dan kemudian pacarnya mengajak untuk melakukan hubungan
intim, namun menurut pengakuan korban saat itu pacarnya hanya menempel dan
menggesekkan alat kelaminnya ke alat kelamin korban.
Pemeriksaan Fisik
Keadaan umum : Sadar penuh, keadaan umum baik, sikap kooperatif
Suhu : 36,3 derajat Celsius
Tanda vital
o Tekanan darah : 116/70 mmHg
o Frekuensi nadi : 85 kali/menit
o Frekuensi napas : 22 kali/menit
Keadaan gizi : Cukup
Status Generalis
Kepala : Normocephal
Konjungtiva : Anemis (-)
Sklera : Ikterik (-)
Telinga : Normotia
2
Thoraks : dalam batas normal
COR : bunyi jantung 1 dan 2 normal reguler
Abd : hematom (-), nyeri tekan regio hipogastrium (-)
Ekst : dalam batas normal
Status Lokalis Luka
Terdapat dua robekan baru pada selaput dara pada jam sebelas, jam satu dan
terdapat dua buah robekan lama pada jam lima dan jam tujuh.
Pemeriksaan Penunjang
a. Pemeriksaan kehamilan : Negatif
b. Pemeriksaan HCG : Negatif
c. Pemeriksaan Urin : Bakteri (+1)
d. Pemeriksaan Mikrobiologi : Bakteri Gram (+), Sepermatozoa (+)
Tindakan/Pengobatan
Pembuatan Visum et Repertum
3
Kesimpulan
Berdasarkan fakta-fakta yang ditemukan dari pemeriksaan atas korban tersebut
maka saya simpulkan bahwa korban adalah seorang perempuan, umur kurang lebih lima
belas tahun, warna kulit sawo matang, kesan gizi cukup. Robekan lama selaput dara
menandakan memang telah terjadi persetubuhan yang sudah lama terjadi, sedangkan
Robekan baru menandakan telah terjadi persetubuhan yang baru terjadi. Spermatozoa pada
pemeriksaan merupakan tanda langsung bahwa telah terjadi persetubuhan. Hal ini dapat
menimbulkan gangguan daya pikir lebih dari empat minggu.
Pembahasan Kasus
Prosedur medikolegal pada kasus ini sudah terpenuhi dengan adanya surat
permintaan visum tertulis dari Kepolisian Sektor Cikarang Barat, yang berisi tentang
permohonan untuk dilakukan pemeriksaan visum terhadap korban seorang pertemuan
berumur 15 tahun yang telah mengalami persetubuhan/pencabulan/perkosaan pada tanggal
2 Mei 2019.
Pada kasus ini surat permintaan visum sudah sesuai dengan ketentuan yang diatur
dalam KUHAP pasal 133 ayat 2 yaitu secara tertulis dengan komponen – komponen
sebagai berikut :
1. Institusi pengirim : Polsek Cikarang Barat
2. Nomor surat : B/63/VER/V/2019/Sek Cik Bar
3. Tujuan surat : Rumah Umum Daerah Kabupaten Bekasi
4. Identitas : An. Chintia Sri Wulandari : 15 tahun
5. Permintaan Penyidik : Pemeriksaan luar dan pembuatan Visum et Repertum
6. Jabatan pengirim : Joko Marya, Pangkat AIPTU, NRP. 71090380
Pemeriksaan Korban
Pada tanggal 2 Mei 2019, jam 13.40 WIB. Korban datang ke IGD RSUD Kab.
Bekasi beserta dengan aparat kepolisian untuk dibuatkan surat VER. Kemudian oleh dokter
jaga igd melakukan pemeriksaan luar.
4
Pada pemeriksaan luar ditemukan Terdapat dua robekan baru pada selaput dara
pada jam sebelas, jam satu dan terdapat dua buah robekan lama pada jam lima dan
jam tujuh.
Korban dengan kekerasan seksual dapat dipidana seperti yang tertuang dalam
Pasal 287 KUHP yang berbunyi:
(1) Barangsiapa bersetubuh dengan seorang wanita di luar perkawinan, padahal
diketahuinya atau sepatutnya harus diduganya bahwa umurnya belum lima belas
tahun, atau kalau umurnya tidak jelas bahwa belum waktunya untuk dikawin, diancam
dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun.
(2) Penuntutan hanya dilakukan atas pengaduan, kecuali jika umur wanita belum
sampai dua belas tahun atau jika ada salah satu hal berdasarkan pasal 291 dan pasal
294.
Tindak pidana ini merupakan persetubuhan dengan wanita yang menurut undang-
undang belum cukup umur. Jika umur korban belum cukup 15 tahun tetapi sudah di atas
12 tahun, penuntutan baru dilakukan bila ada pengaduan dari yang bersangkutan. Jadi
dengan keadaan itu persetubuhan tersebut merupakan delik aduan, bila tidak ada
pengaduan, tidak ada penuntutan.
5
umur korban. Jika tidak ada akte kelahiran maka umur korban yang pasti tidak diketahui.
Dokter perlu memperkirakan umur korban baik dengan menyimpulkan apakah wajah dan
bentuk tubuh korban sesuai dengan umur yang dikatakannya, melihat perkembangan
payudara dan pertumbuhan rambut kemaluan, melalui pertumbuhan gigi (molar ke-2 dan
molar ke-3), serta dengan mengetahui apakah menstruasi telah terjadi.
Hal di atas perlu diperhatikan mengingat bunyi kalimat: padahal diketahuinya
atau sepatutnya harus diduganya bahwa wanita itu umurnya belum lima belas tahun atau
kalau umurnya tidak jelas bahwa belum waktunya untuk dikawin. Perempuan yang belum
pernah mengalami menstruasi dianggap belum patut untuk dikawin.
Pasal 291 KUHP
(1) Kalau salah satu kejahatan yang diterangkan dalam pasal 286, 287, 288 dan
290 itu berakibat luka berat, diancam dengan pidana penjara paling lama dua belas
tahun.
(2) Kalau salah satu kejahatan yang diterangkan dalam pasal 285, 286, 287, 289
dan 290 itu berakibat matinya orang, diancam dengan pidana penjara paling lama
lima belas tahun.
6
Pada kasus persetubuhan di luar perkawinan yang merupakan kejahatan dimana
persetubuhan tersebut terjadi tanpa persetujuan wanita, seperti yang dimaksud oleh pasal
285 dan 286 KUHP; maka untuk kasus-kasus tersebut Visum et Repertum harus dapat
membuktikan bahwa pada wanita tersebut telah terjadi kekerasan dan persetubuhan.
Kejahatan seksual seperti yang dimaksud oleh pasal 285 KUHP disebut perkosaan, dan
perlu dibedakan dari pasal 286 KUHP.
7
persetubuhan terjadi, adakah penyakit yang diderita korban yang sewaktu-waktu dapat
mengakibatkan korban pingsan atau tidak berdaya. Jika korban mengatakan ia menjadi
pingsan, maka perlu diketahui bagaimana terjadinya pingsan itu, apakah terjadi setelah
korban diberi minuman atau makanan. Pada pemeriksaan perlu diperhatikan apakah
korban menunjukkan tanda-tanda bekas kehilangan kesadaran, atau tanda-tanda telah
berada di bawah pengaruh obat-obatan.
Jika terbukti bahwa si pelaku telah telah sengaja membuat korban pingsan atau
tidak berdaya, ia dapat dituntut telah melakukan tindak pidana perkosaan, karena dengan
membuat korban pingsan atau tidak berdaya ia telah melakukan kekerasan.
Pasal 89 KUHP
Membuat orang pingsan atau tidak berdaya disamakan dengan menggunakan
kekerasan. Kejahatan seksual yang dimaksud dalam KUHP pasal 286 adalah pelaku tidak
melakukanupaya apapun; pingsan atau tidak berdayanya korban bukan diakibatkan oleh
perbuatan si pelaku kejahatan seksual.
8
BAB I
PENDAHULUAN
Kekerasan seksual merupakan kejahatan yang universal, kejahatan ini dapat ditemukan
diseluruh dunia, pada tiap tingkatan masyarakat, tidak memandang usia maupun jenis kelamin.
Besarnya insiden yang dilaporkan di setiap negara berbeda – beda.
9
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Kejahatan seksual adalah tindakan seksual apa pun yang dilakukan seseorang pada yang
lain tanpa persetujuan dari orang tersebut. Kejahatan seksual terdiri dari penetrasi genital, oral,
atau anal oleh bagian tubuh pelaku atau oleh sebuah object benda.
Kejahatan terhadap kesusilaan adalah setiap perbuatan yang dilakukan seseorang yang
menimbulkan kepuasan seksual dan di sisi lain perbuatan tersebut mengganggu kehormatan
orang lain. Kejahatan seksual adalah kejahatan yang timbul diperoleh melalui persetubuhan.
Persetubuhan adalah masuknya penis ke dalam vagina, sebagian atau seluruhnya dengan
atau tanpa ejakulasi, setidaknya melewati vestibulum. Pencabulan adalah setiap penyerangan
seksual tanpa terjadi persetubuhan.
II.2 Klasifikasi
Definisi kekerasan seksual ini mencakup pemerkosaan, perbudakan seksual, dan bentuk-
bentuk lain kekerasan seksual seperti penyiksaan seksual, penghinaan seksual di depan umum,
dan pelecehan seksual. Terdapat dua macam bentuk kekerasan seksual, yaitu ringan dan berat.6, 14.
Terdapat dua macam bentuk kejahatan seksual, yaitu ringan dan berat.
10
Ekspresi wajah
Gerakan tubuh
Perbuatan menyita perhatian seksual tak dikehendaki korban ,melecehkan dan
atau menghina korban
Melakukan repetisi kekerasan seksual ringan dapat dimasukkan ke dalam jenis
kekerasan seksual berat
2. Menurut Syaulia , et al.2008 , terdapat macam-macam kejahatan seksual berat :
Pelecehan , kontak fisik : raba , sentuh organ seksual ,cium paksa ,rangkul
Perbuatan yang rasa jijik ,terteror ,terhina
Pemaksaan hubungan seksual
Hubungan seksual dengan cara tidak disukai , merendahkan dan atau menyakitkan
Pemaksaan hubungan seksual dengan orang lain , pelacuran tertentu .
Hubungan seksual memanfaatkan posisi ketergantungan / lemahnya korban .
Tindakan seksual dan kekerasan fisik , dengan atau tanpa bantuan alat yang
menimbulkan sakit,luka, atau cedera.
11
b. Non-kontak
1. Eksibisionisme
2. Pornografi dalam berbagai bentuk : foto hubungan seksual atau foto anatomi tubuh
3. Memperlihatkan foto, film, video porno
4. Cerita-cerita erotis
5. Eksploitasi seksual lainnya
6. aktivitas sadis
7. Membakar daerah pantat atau genital anak.
Kekerasan seksual pada anak sering muncul dalam berbagai kondisi dan lingkup sosial.
(childhood sexual abuse)
Berbagai bentuk kekerasan seksual:
a. Kekerasan seksual dalam keluarga (Intrafamilial abuse)
Mencakup kekerasan seksual yang dilakukan dalam keluarga inti atau majemuk, dan
dapat melibatkan teman dari anggota keluarga, atau orang yang tinggal bersama dengan keluarga
tersebut, atau kenalan dekat dengan sepengetahuan keluarga. Kekerasan pada anak adopsi
ataupun anak tiri juga termasuk dalam lingkup ini.
Pelecehan seksual merupakan suatu kegiatan yang disembunyikan oleh pelakunya dan
keluarga merupakan tempat yang paling aman untuk menyembunyikan hal ini dari masyarakat.
Pelaku memiliki kesempatan yang besar untuk mengontrol dan memanipulasi sang anak untuk
tidak membuka mulut.
Dikatakan bahwa dua pertiga dari anak-anak yang mengalami pelecehan seksual,
pelakunya adalah keluarga mereka sendiri. Ini tidak hanya meliputi orangtua kandung, namun
juga orangtua angkat, kekasih dari orangtua mereka, teman orangtua yang tinggal bersama,
maupun kakek, paman, bibi, sepupu, saudara laki-laki dan perempuan.
Pelecehan seksual di dalam keluarga lebih cenderung untuk menjadi kronis, dapat bermula
segera setelah kelahiran dari sang anak dan berlanjut di masa kecil anak tersebut. Bagi beberapa
anak, pelecehan ini berlanjut hingga masa dewasa; seorang perempuan dapat membesarkan anak
dari ayahnya sendiri, dan turut berpartisipasi dalam kelanjutan pelecehan di generasi berikutnya.
Pelecehan seksual dalam keluarga, oleh sebab itu, lebih merupakan pola hubungan di mana
seluruh anggota keluarga ikut berpartisipasi dan batas-batas antar generasi sudah menjadi tidak
12
ada. Para dokter spesialis anak yang bekerja pada area ini harus waspada terhadap adanya siklus
pola pelecehan antar generasi.
Ketika seorang nenek menyatakan bahwa anaknya tidak bersalah, hal ini mungkin
dilakukannya untuk melindungi anaknya, namun juga berarti bahwa mungkin sang nenek sedang
memikirkan seluruh keluarganya, termasuk dirinya sendiri, suaminya, sang paman dan bibi,
keponakan, yang mungkin merasa terancam dengan terungkapnya satu pelecehan seksual pada
salah satu anak di dalam keluarga. Untuk alasan inilah pelecehan seksual dalam keluarga menjadi
lebih sulit untuk diusut dan sering terjadi bahwa penyelidikan kasus pelecehan seksual dalam
keluarga berhubungan dengan anggota keluarga lainnya. Oliver Whiltshire (1983) melakukan
riset yang menunjukkan bahwa pelecehan dan penelantaran anak di dalam keluarga saling
berhubungan dan morbiditas serta mortalitas anak ditemukan pada keluarga tersebut.
b. Kekerasan seksual di luar keluarga (Extrafamilial abuse)
Mencakup kekerasan yang dilakukan oleh orang dewasa yang kenal dengan anak tersebut
dari berbagai sumber, seperti tetangga, teman, orangtua dari teman sekolah.
Banyak survei dalam komunitas yang menunjukkan bahwa kontak tubuh pada lingkup pelecehan
seksual di luar keluarga lebih sering terjadi daripada di dalam lingkup keluarga. Pelecehan ini
lebih sering ditemukan pada anak laki-laki.
Batasan antara lingkup intrafamilial dan ekstrafamilial kadang menjadi kabur dan
pengenalan dari salah satunya sering mengantar pada yang lainnya. Seorang anak laki-laki yang
mengalami pelecehan seksual di rumah oleh ayahnya, mungkin secara tidak sadar membiarkan
dirinya berada dalam situasi yang berbahaya bersama dengan laki-laki lain, yang dapat
mengambil kesempatan untuk melakukan hal yang sama padanya jauh dari keluarganya.
Pada pola pelecehan seksual di luar keluarga, pelaku biasanya orang dewasa yang dikenal
oleh sang anak dan telah membangun relasi dengan anak tersebut, kemudian membujuk sang
anak ke dalam situasi dimana pelecehan seksual tersebut dilakukan, sering dengan memberikan
imbalan tertentu yang tidak didapatkan oleh sang anak di rumahnya. Sang anak biasanya tetap
diam karena bila hal tersebut diketahui mereka takut akan memicu kemarah dari orangtua
mereka. Selain itu, beberapa orangtua kadang kurang peduli tentang di mana dan dengan siapa
anak-anak mereka menghabiskan waktunya. Anak-anak yang sering bolos sekolah cenderung
rentan untuk mengalami kejadian ini dan harus diwaspadai.
13
Anak-anak dengan riwayat pelecehan seksual mengalami pengalaman yang buruk dan
menderita secara emosional maupun kesulitan tingkah laku. Anak-anak ini membutuhkan
bantuan setelah pelecehan seksual tersebut dideteksi dan dihentikan.
c. Institutional abuse
Kekerasan seksual dalam lingkup institusi tertentu seperti sekolah, tempat penitipan anak, kamp
berlibur, seperti kegiatan pramuka, dan organisasi lainnya.
d. Keluarga dengan anak yang mengalami pelecehan seksual
Beberapa karakteristik dari keluarga dengan anak yang mengalami pelecehan seksual
telah digambarkan. Keluarga tersebut, baik pada kasus incest maupun non-incest, memiliki
karakteristik yang kohesif, tidak terorganisir dengan baik, dan secara umum memiliki
disfungsional bila dibandingkan dengan keluarga lain yang tidak terdapat pelecehan seksual.
Konteks keluarga yang berhubungan dengan pelecehan seksual ini antara lain adalah
dewasa yang juga pernah mengalami kekerasan pada masa kanak-kanaknya, termasuk kekerasan
dalam rumah tangga dan atau penggunaan alkohol, ketiadaan orangtua, hubungan yang tidak
baik dengan orangtua, adanya pelecehan seksual pada salah satu anggota keluarga, kurangnya
pengertian dalam keluarga, perceraian atau orangtua berpisah, dan pemindahan hak perawatan
anak. Dari kesemuanya ini, kekerasan dalam rumah tangga dan penyalahgunaan alkohol adalah
yang paling sering dilaporkan.
II.3 Perkosaan
14
seksualnya) dan dilain pihak dapat dilihat sebagai suatu peristiwa pelanggaran norma
serta tertib sosial.
Faktor interna adalah faktor-faktor yang terdapat pada diri individu. Faktor ini
khusus dilihat dari individu serta dicari hal-hal yang mempunyai hubungan dengan kejahatan
perkosaan. Hal ini dapat ditinjau dari:
a) Faktor Kejiwaan, yakni kondisi kejiwaan atau keadaan diri yang tidak normal dari
seseorang dapat juga mendorong seseorang melakukan kejahatan. Misalnya, nafsu
seks yang abnormal, sehingga melakukan perkosaan terhadap korban wanita yang
tidak menyadari keadaan diri si penjahat, yakni sakit jiwa, psycho patologi dan aspek
psikologis dari instink-seksuil.
Dalam keadaan sakit jiwa, si penderita memiliki kelainan mental yang didapat baik
dari faktor keturunan maupun dari sikap kelebihan dalam pribadi orang tersebut,
sehingga pada akhirnya ia sulit menetralisir rangsangan seksual yang tumbuh dalam
15
dirinya dan rangsangan seksual sebagai energi psikis tersebut bila tidak diarahkan
akan menimbulkan hubungan- hubungan yang menyimpang dan dapat menimbulkan
korban pada pihak lain.
Sedangkan aspek psikologis sebagai salah satu aspek dari hubungan seksual adalah
aspek yang mendasari puas atau tidak puasnya dalam melakukan hubungan seksual
dengan segala eksesnya. Jadi bukanlah berarti dalam mengadakan setiap hubungan
seksual dapat memberikan kepuasan, oleh karena itu pula kemungkinan ekses-ekses
tertentu yang merupakan aspek psikologis tersebut akan muncul akibat ketidakpuasan
dalam melakukan hubungan seks. Dan aspek inilah yang dapat merupakan
penyimpangan hubungan seksual terhadap pihak lain yang menjadi korbannya. Orang
yang mengidap kelainan jiwa, dalam hal melakukan perkosaan cenderung melakukan
dengan sadis, sadisme ini terkadang juga termasuk misalnya melakukan di hadapan
orang lain atau melakukan bersama-sama dengan orang lain. Kemudian disamping
itu, zat-zat tertentu seperti alkohol dan penggunaan narkotika dapat juga membuat
seseorang yang normal melakukan perbuatan yang tidak normal.
Seseorang yang sudah mabuk akibat meminum minuman keras akan
berani melakukan tindakan yang brutal. Dalam kondisi jiwanya yang tidak stabil ia
akan mudah terangsang oleh hal-hal yang buruk termasuk kejahatan seksual.
b) Faktor Biologis. Di dalam kehidupannya manusia mempunyai berbagai macam
kebutuhan yang harus dipenuhi. Dalam memenuhi kebutuhan-kebutuhan tersebut,
manusia menciptakan aktivitasnya. Kebutuhan pada satu pihak merupakan apa yang
disebut motif dan pada ujung lain kebutuhan itu merupakan satu tujuan. Bila tujuan
itu tercapai, maka kebutuhan akan terpenuhi, mungkin hanya untuk sementara dan
merupakan batas penghentian aktivitasnya. Kebutuhan ini mungkin datangnya dari
dalam yang disebut dengan kebutuhan biologis atau kebutuhan organis.1
Witherington membagi kebutuhan biologis itu atas tiga jenis, yakini kebutuhan akan
makanan, kebutuhan seksuil dan proteksi7. Kebutuhan akan seksuil ini juga sama
dengan kebutuhan-kebutuhan yang lain yang menuntut pemenuhan.
Manusia memiliki hasrat seksual yang merupakan sifat dasar dalam individu yang
secara otomatis terbentuk sebagai akibat zat-zat hormon seks yang terdapat dalam diri
manusia. Dorongan seks ini sangat kuat dan dorongan ini menuntut untuk selalu
16
dipenuhi. Apabila kita tidak dapat mengendalikannya, maka akibatnya akan terjadi
kehilangan keseimbangan yang hal ini akan mempengaruhi gerak tingkah laku kita
masing- masing dalam aktivitas kehidupan kita sehari-hari. Pada tahap selanjutnya
jika kebutuhan akan seks ini tidak tersalurkan secara normal, maka dapat terjadi
penyimpangan-penyimpangan seperti halnya perkosaan. Kartini Kartono
mendeskripsikan latar belakang perkosaan: “Pada peristiwa perkosaan, sang
pemerkosa selalu disorong oleh nafsu-nafsu seks yang sangat kuat, dibarengi emosi-
emosi yang tidak dewasa dan tidak mapan. Biasanya dimuati oleh unsur kekejaman
dan sifat-sifat sadistis.”
Dia lebih menekankan faktor kriminogen perkosaan yang bersumber pada kesalahan
pelaku, yang gagal mengendalikan nafsu seksualnya. Hasrat seksualnya yang cukup
besar tidak diikuti dengan upaya pelampiasan yang dibenarkan secara hukum dan
agama. Ada potensi dalam diri pelakunya itu potensi distabilitas psikologis atau
ketidakseimbangan kejiwaan, sehingga mencoba mencari kompensasi dan
diagnosisnya melalui korban yang diperkosanya. Jadi faktor biologis dapat
merupakan salah satu sebab timbulnya kejahatan perkosaan.
c) Faktor Moral. Moral merupakan faktor penting untuk menentukan timbulnya
kejahatan. Moral sering disebut sebagai filter terhadap munculnya perilaku yang
menyimpang, sebab moral itu adalah ajaran tingkah laku tentang kebaikan-kebaikan
dan merupakan hal yang vital dalam menentukan tingkah laku. Dengan bermoralnya
seseorang maka dengan sendirinya dia akan terhindar dari segala perbuatan yang
tercela. Sedangkan orang yang tidak bermoral cenderung untuk melakukan
kejahatan.1
Pada kenyataannya, moral bukan sesuatu yang tidak bisa berubah, melainkan ada
pasang surutnya, baik dalam diri individu maupun masyarakat. Timbulnya
kasus-kasus perkosaan, disebabkan moral pelakunya yang sangat rendah. Dari kasus-
kasus tersebut banyak diantaranya terjadi, korbannya bukanlah orang asing lagi
baginya bahkan saudara dan anak kandung sendiri. Kasus-kasus tersebut memberi
kesan kepada kita bahwa pelakunya adalah orang-orang yang tidak bermoral sehingga
dengan teganya melakukan perbuatan yang terkutuk itu terhadap putri kandungnya
17
sendiri. Di lain kasus melakukan perbuatan yang tidak manusiawi itu secara
bersama-sama dan di hadapan teman-temannya tanpa adanya rasa malu.
Salah satu hal yang mempengaruhi merosotnya moral seseorang dipengaruhi oleh
kurangnya pendidikan agama. Agama merupakan unsur pokok dalam kehidupan
manusia yang merupakan kebutuhan spiritual yang sama. Norma-norma yang terdapat
di dalamnya mempunyai nilai yang tertinggi dalam hidup manusia. Sebab norma-
norma tersebut adalah norma-norma ketuhanan dan segala sesuatu yang digariskan
oleh agama adalah baik dan membimbing ke arah yang jalan yang baik dan benar,
sehingga bila manusia benar-benar mendalami dan mengerti isi agama, pastilah ia
akan menjadi manusia yang baik dan tidak akan berbuat hal-hal yang merugikan atau
kejahatan walaupun menghadapi banyak godaan.
- Faktor Eksterna
Faktor eksterna adalah faktor-faktor yang berada di luar diri si pelaku. Faktor
ekstern ini berpangkal pokok pada individu. Dicari hal-hal yang mempunyai hubungan
dengan kejahatan kesusilaan.12 Hal ini dapat ditinjau dari:
a) Faktor Sosial Budaya, meningkatnya kasus-kasus kejahatan kesusilaan atau
perkosaan terkait erat dengan aspek sosial budaya. Karena aspek sosial budaya
yang berkembang di tengah-tengah masyarakat itu sendiri sangat mempengaruhi naik
turunnya moralitas seseorang.
Suatu kenyataan yang terjadi dewasa ini, sebagai akibat pesatnya kemajuan ilmu
pengetahuan dan teknologi, maka tidak dapat dihindarkan timbulnya dampak negatif
terhadap kehidupan manusia. Akibat modernisasi tersebut, berkembanglah budaya
yang semakin terbuka pergaulan yang semakin bebas, cara berpakaian kaum hawa
yang semakin merangsang, dan kadang- kadang dan berbagai perhiasan yang mahal,
kebiasaan bepergian jauh sendirian, adalah faktor- faktor dominan yang
mempengaruhi tingginya frekuensi kasus perkosaan.
Aspek sosial budaya yang berkembang di tengah-tengah masyarakat dapat
mempengaruhi tinggi rendahnya moralitas masyarakat. Bagi orang yang mempunyai
moralitas tinggi atau iman yang kuat dapat mengatasi diri sehingga tidak
diperbudak oleh hasil peradaban tersebut, melainkan dapat menyaringnya dengan
18
menyerap hal-hal yang positif. Salah satu contoh faktor sosial budaya yang dapat
mendukung timbulnya perkosaan adalah remaja yang berpacaran sambil menonton
film porno tanpa adanya rasa malu. Kebiasaan yang demikian pada tahap
selanjutnya akan mempengaruhi pikiran si pelaku. Sehingga dapat mendorongnya
untuk menirukan adegan yang dilihatnya, maka timbul kejahatan kesusilaan
dengan berbagai bentuknya dan salah satu diantaranya adalah kejahatan perkosaan.
b) Faktor Ekonomi. Kondisi perekonomian juga dapat merupakan satu sebab seseorang
melakukan kejahatan kesusilaan atau perkosaan. Keadaan ekonomi yang sulit akan
membawa orang kepada pendidikan yang rendah dan pada tahap selanjutnya
membawa dampak kepada baik atau tidak baiknya pekerjaan yang diperoleh. Secara
umum, orang yang memiliki tingkat pendidikan yang rendah cenderung mendapat
pekerjaan yang tidak layak. Keadaan yang demikian menyebabkan seseorang dapat
kehilangan kepercayaan diri dan menimbulkan jiwa yang apatis, frustasi serta
hilangnya respek atas norma-norma yang ada di sekitarnya.
19
seksual secara langsung yaitu dengan jalan pintas mengintai korban untuk dijadikan
pelampiasan hasrat seksualnya tersebut. Pada akhirnya timbullah apa yang disebut
dengan kejahatan seksual dengan berbagai bentuknya, dan salah satu diantaranya
adalah kejahatan perkosaan.
Tetapi sebaliknya golongan orang yang berada atau kaya tidak tertutup melakukan
kejahatan susila, akibat kekayaannya sendiri. Perkosaan yang terjadi di hotel atau di
tempat- tempat penginapan tentu membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Dan di
dalam melakukan niatnya tersebut tidak jarang si pelaku yang berasal dari golongan
yang berada mempergunakan alat perangsang yang kesemuanya ini diperoleh dengan
uang yang tidak sedikit.
c) Faktor Media Massa. Media massa merupakan sarana informasi di dalam kehidupan
sosial, misalnya seperti surat kabar, majalah, televisi dan sebagainya itu merupakan
juga alat kontrol yang memegang peranan penting di dalam kehidupan bermasyarakat.
20
Tanda penetrasi biasanya hanya jelas ditemukan pada korban yang masih kecil
atau belum pernah melahirkan atau multipara. Pada korban-korban ini penetrasi dapat
menyebabkan terjadinya robekan selaput dara sampai ke dasar pada lokasi pukul 5 sampai 7,
luka lecet, memar sampai luka robek baik di daerah liang vagina, bibir kemaluan maupun
daerah perineum. Adanya penyakit keputihan akibat jamur Candida misalnya dapat
menunjukan adanya erosi yang dapat disalah artikan sebagai luka lecet oleh pemeriksa yang
kurang berpengalaman. Tidak ditemukannya luka-luka tersebut pada korban yang bukan
multipara tidak menyingkirkan kemungkinan adanya penetrasi. Tanda ejakulasi bukanlah
tanda yang harus ditemukan pada persetubuhan, meskipun adanya ejakulasi memudahkan
kita secara pasti menyatakan bahwa telah terjadi persetubuhan. Ejakulasi dibuktikan dengan
pemeriksaan ada tidaknya sperma dan komponen cairan mani.
1. Menentukan adanya tanda-tanda persetubuhan
a. Tanda-tanda fisik, antara lain memar pada alat kelamin, robeknya hymen, bercak
darah, cairan sperma, nyeri perineal, iritasi kencing, penyakit kelamin, nyeri serta
perdarahan anus dan sakit kerongkongan tanpa penyebab jelas bisa merupakan
indikasi seks oral.
b. Tanda perilaku emosional dan sosial, antara lain sangat takut kepada siapa saja atau
pada tempat tertentu atau orang tertentu, perubahan kelakuan yang tiba-tiba,
gangguan tidur (susah tidur, mimpi buruk, dan ngompol), menarik diri atau depresi,
serta perkembangan terhambat.
21
pemeriksaan, dokter hendaknya mendapat izin tertulis dari pihak – pihak yang diperiksa. Jika
korban adalah seorang anak izin dapat diminta dari orang tua atau walinya.
II.6 Anamnesis
Pada korban kekerasan seksual, anamnesis harus dilakukan dengan bahasa awam yang
mudah dimengerti oleh korban.Anamnesis dapat dibagi dalam anamnesis umum dan khusus.
- Status pernikahan,
- Riwayat koitus (sudah pernah atau belum, riwayat koitus sebelum dan/atau setelah
kejadian kekerasan seksual, dengan siapa, penggunaan kondom atau alat kontrasepsi
lainnya),
Pada anamnesis khusus mencakup keterangan yang terkait kejadian kekerasan seksual
• What &How:
22
- Apakah korban sadar atau tidak pada saat atau setelah kejadian,
- Adanya pemberian minuman, makanan, atau obat oleh pelaku sebelum atau setelah
kejadian,
- Adanya ejakulasi dan apakah terjadi di luar atau di dalam vagina, penggunaan kondom,
dan tindakan yang dilakukan korban setelah kejadian, misalnya apakah korban sudah
• When:
- Tanggal dan jam kejadian, bandingkan dengan tanggal dan jam melapor, dan
- Apakah tindakan tersebut baru satu kali terjadi atau sudah berulang.
• Where:
- Jenis tempat kejadian (untuk mencari kemungkinan trace evidence dari tempat kejadian
• Who:
- Jumlah pelaku,
23
II.6.1 Anamnesis pada Anak
Anamnesis dilakukan autoanamnesis atau alloanamnesis. Gunakan alat bantu untuk menjalin
hubungan akrab dengan korban, seperti: boneka, alat tulis atau gambar.
Perhatikan sikap korban dan pengantar (apakah korban terlihat dikontrol atau ditekan dalam
memberikan jawaban)
Melengkapi rekam medis dan identitas dokter pemeriksa, pengantar, tanggal, tempat dan
waktu pemeriksaan serta identitas korban. Menanyakan perkembangan seks dan hubungan
seks terakhir, siklus haid terakhir dan apakah masih haid saat kejadian
- Adakah perubahan perilaku anak setelah mengalami trauma, seperti: mimpi buruk, susah
Apabila ditemukan amnesia, lakukan konseling atau rujuk bila memerlukan intervensi dari
psikiatri
Anamnesis diperoleh baik dari korban maupun pengantar. Anamnesis dilakukan dalam
ruangan terpisah.
Perhatikan sikap korban dan pengantar (apakah korban terlihat dikontrol atau ditekan dalam
memberikan jawaban)
24
Melengkapi rekam medis dan identitas dokter pemeriksa, pengantar, tanggal, tempat dan
waktu pemeriksaan serta identitas korban. Menanyakan perkembangan seks dan hubungan
seks terakhir, siklus haid terakhir dan apakah masih haid saat kejadian
- Adakah perubahan perilaku anak setelah mengalami trauma, seperti: mimpi buruk, susah
Apabila ditemukan amnesia, lakukan konseling atau rujuk bila memerlukan intervensi dari
psikiatri
fisik harus dilakukan secara sistematis dari ujung kepala sampai ke ujung kaki. Pelaksanaan
pemeriksaan fisik juga harus memperhatikan keadaan umum korban. Apabila korban tidak sadar
atau keadaan umumnya buruk, maka pemeriksaan untuk pembuatan visum dapat ditunda dan
Pemeriksaan fisik berupa pemeriksaan fisik umum dan khusus, pemeriksaan umum
meliputi :
- Tanda vital
25
- Periksa gigi-geligi (pertumbuhan gigi ke 7 & 8)
- Pada persetubuhn oral, periksa lecet, bintik perdarahan /memar pada palatum, lakukan
- Perkembangan seks sekunder (pertumbuhan mammae, rambut axilla dan rambut pubis)
- Jika pada baju ada bercak mani (kaku), bila mungkin pakaian diminta, masukkan dalam
amplop
- Tanda-tanda intoksikasi NAPZA, serta status lokalis dari luka-luka yang terdapat pada
Untuk mempermudah pencatatan luka-luka, dapat digunakan diagram tubuh seperti pada gambar
Pemeriksaan fisik khusus bertujuan mencari bukti-bukti fisik yang terkait dengan tindakan
- Posisi litotomi
26
Gambar 2. Posisi “Frog-leg” untuk melakukan pemeriksaan genitalia external.
Apabila anak tiba-tiba cemas, maka pemeriksaan dapat dilakukan dengan anak duduk di
pangkuan pengasuh (gambar 2).
- Periksa daerah pubis (kemaluan bagian luar), yaitu adanya perlukaan pada jaringan lunak
- Periksa luka-luka sekitar vulva, perineum dan paha (adanya perlukaan pada jaringan
- Jika ada bercak, kerok dengan skalpel dan masukkan dalam amplop
- Jika ada rambut pubis yang menggumpal, gunting dan masukkan dalam amplop, cabut 3-
27
- Labia mayora dan minora (bibir kemaluan besar dan kecil), apakah ada perlukaan pada
- Vestibulum dan fourchette posterior (pertemuan bibir kemaluan bagian bawah), apakah
ada perlukaan;
- Hymen (selaput dara), catat bentuk, diameter ostium, elastisitas atau ketebalan, adanya
perlukaan seperti robekan, memar, lecet, atau hiperemi). Kebanyakan korban, pada
pemeriksaan, didapatkan temuan dalam batas normal atau tidak spesifik. Beberapa
temuan berupa (1) hymenal tags, (2) bumps atau (3) Adesi labia Clefts/notches pada
bagian setengah depan hymen posisi jam 9- dan jam 3- dari hymen, (4) Vaginal
discharge, (5) Genital/anal erythema, (6) Perianal skin tags, (7) Anal fissures, dan (8)
Dilatasi anal dilatation dengan adanya feses tertahan di ampulla. Beberapa temuan
pemeriksaan fisik yang dapat menjadi pertimbangan namun bukan untuk mendiagnosis
kekerasan seksual antara lain: (1) Notches/clefts pada bagian posterior hymen
dikonfirmasi, (2) Condylomata acuminata pada anak 2 tahun atau lebih tanpa riwayat
kontak seksual, (3) Immediate, marked dilatasi anal, dan (4) Anal scarring. Adapun
temuan pemeriksaan fisik yang dapat menjadi dasar diagnosis adanya trauma penetrasi
antara lain: (1) Lacerasi akut dan ekimosis hymen, (2) Tidak didapatkan jaringan hymen
pada berbagai posisi bagian posterior (3) Perbaikan transeksi hymen, (4) Laserasi anal,
28
Gambar 5. Variasi hymen normal (a) crescentic, (b) annular, (c) collar/cuffl-like
- Apabila ditemukan robekan hymen, catat jumlah robekan, lokasi dan arah robekan
(sesuai arah pada jarum jam, dengan korban dalam posisi litotomi), apakah robekan
mencapai dasar (insersio) atau tidak, dan adanya perdarahan atau tanda penyembuhan
29
GAMBAR 5 Jaringan granulasi pada selaput dara pada posisi jam 5 pada remaja berusia 17
tahun.
GAMBAR 6 Celah selaput dara yang dalam dan area dari jaringan selaput dara yang tidak ada
pada seorang gadis berusia 7 tahun
- Vagina (liang senggama), cari perlukaan dan adanya cairan atau lendir;
- Serviks dan portio (mulut leher rahim), cari tanda-tanda pernah melahirkan dan adanya
- Anus (lubang dubur) dan daerah perianal, apabila ada indikasi berdasarkan anamnesis;
30
Gambar 7. Laserasi anal
- Daerah-daerah erogen (leher, payudara, paha, dan lain-lain), untuk mencari bercak mani
- Tanda kehilangan kesadaran (pemberian obat tidur / bius) needle marks indikassi
Kesulitan utama yang umumnya dihadapi oleh dokter pemeriksa adalah pemeriksaan
selaput dara. Bentuk dan karakteristik selaput dara sangat bervariasi. Pada jenis-jenis selaput
dara tertentu, adanya lipatan-lipatan dapat menyerupai robekan. Karena itu, pemeriksaan selaput
dara dilakukan dengan traksi lateral dari labia minora secara perlahan, yang diikuti dengan
penelusuran tepi selaput dara dengan lidi kapas yang kecil untuk membedakan lipatan dengan
robekan.Pada penelusuran tersebut, umumnya lipatan akan menghilang, sedangkan robekan tetap
1. Penetrasi penis ke dalam vagina dapat mengakibatkan robekan selaput dara atau bila
dilakukan dengan kasar dapat merusak selaput lendir daerah vulva dan vagina ataupun
31
laserasi, terutama daerah posterior fourchette. Robekan selaput dara akan bermakna jika
masih baru, masih menunjukan adanya tanda kemerahan disekitar robekan. Pada
beberapa korban ada yang memiliki selaput dara yang elastis sehingga tidak mudah
robek. Pembuktian persetubuhan akan menghadapi kendala jika : korban dengan selaput
dara yang sebelumnya telah robek lama, korban diperiksa sudah lama, korban yang
Tanda langsung
32
- Ditemukan sperma
- Kehamilan
Pemeriksaan dilakukan pada selaput dara, apakah ada ruptur atau tidak. Bila
ada, tentukan ruptur baru atau lama dan catat lokasi ruptur tersebut, teliti apakah
sampai ke insertio atau tidak. Tentukan besar orifisium, sebesar ujung jari
kelingking, jari telunjuk, atau dua jari. Sebagai gantinya dapat juga ditentukan
ukuran lingkaran orifisium, dengan cara ujung kelingking atau telunjuk dimasukkan
dengan hati-hati ke dalam orifisium sampai terasa tepi selaput dara menjepit ujung
jari, beri tanda pada sarung tangan dan lingkaran pada titik itu diukur. Ukuran pada
Harus diingat bahwa tidak terdapatnya robekan pada selaput dara, tidak dapat
dipastikan bahwa pada wanita tidak terjadi penetrasi; sebaliknya adanya robekan
pada selaput dara hanya merupakan pertanda adanya suatu benda (penis atau benda
33
sperma, maka pembuktian adanya persetubuhan dapat diketahui dengan melakukan
Komponen yang terdapat di dalam ejakulat dan dapat diperiksa adalah: enzim
asam fosfatase, kolin dan spermin. Baik enzim asam fosfatase, kolin maapun
spermin bila dibandingkan dengan sperma nilai pembuktiannya lebih rendah oleh
fosfatase masih dapat diandalkan, karena kadar asam fosfatase yang terdapat dalam
vagina (berasal dari wanita itu sendiri), kadarnya jauh lebih rendah bila
dilakukan secara pasti. Sebagai konsekuensinya, dokter tidak dapat secara pasti pula
dokter harus mengatakan bahwa pada diri wanita yang diperiksanya itu tidak
memang tidak ada persetubuhan dan yang kedua persetubuhan ada tapi tanda-
Apabila persetubuhan telah dapat dibuktikan secara pasti maka perkiraan saat
terjadinya persetubuhan harus ditentukan; hal ini menyangkut masalah alibi yang
Dalam waktu 4-5 jam postkoital sperma di dalam liang vagina masih dapat
bergerak; sperma masih dapat ditemukan namun tidak bergerak sampai sekitar 24-
34
36 jam postkoital, dan masih dapat ditemukan sampai 7-8 hari bila wanita yang
ditentukan dari proses penyembuhan selaput dara yang robek. Pada umumnya
pada pakaian korban untuk menentukan adanya bercak ejakulat. Dari bercak
tersebut dapat dilakukan pemeriksaan lebih lanjut untuk memastikan bahwa bercak
yang telah ditemukan adalah air mani serta dapat menentukan adanya sperma.
dilakukan pemeriksaan ada tidaknya sel epitel vagina pada glans penis. Perlu juga
sebagainya. Bercak semen tidak mempunyai arti dalam pembuktian sehingga tidak
perlu ditentukan. Darah mempunyai nilai karena kemungkinan berasal dari darah
evidence pada pakaian yang dipakai ketika terjadi persetubuhan harus diperiksa.
kepolisian atau bagian Ilmu Kedokteran Forensik, dibungkus, segel, serta dibuat
35
II.10 Pembuktian Kekerasan
Tidak sulit untuk membuktikan adanya kekerasan pada tubuh wanita yang menjadi
korban. Dalam hal ini perlu diketahui lokasi luka-luka yang sering ditemukan, yaitu di daerah
mulut dan bibir, leher, puting susu, pergelangan tangan, pangkal paha serta di sekitar dan
Luka-luka akibat kekerasan seksual biasanya berbentuk luka lecet bekas kuku, gigitan
Sepatutnya diingat bahwa tidak semua kekerasan meninggalkan bekas atau jejak
berbentuk luka. Dengan demikian, tidak ditemukannya luka tidak berarti bahwa pada wanita
korban tidak terjadi kekerasan itulah alasan mengapa dokter harus menggunakan kalimat
tanda-tanda kekerasan di dalam setiap Visum et Repertum yang dibuat, oleh karena tidak
ditemukannya tanda-tanda kekerasan mencakup dua pengertian: pertama, memang tidak ada
kekerasan, dan yang kedua kekerasan terjadi namun tidak meninggalkan bekas (luka) atau
Tindakan pembiusan serta tindakan lainnya yang menyebabkan korban tidak berdaya
merupakan salah satu bentuk kekerasan. Dalam hal ini perlu dilakukan pemeriksaan untuk
menentukan adanya racun atau obat-obatan yang kiranya dapat membuat wanita tersebut
pingsan; hal tersebut menimbulkan konsekuensi bahwa pada setiap kasus kejahatan seksual,
Dalam system peradilan yang dianutnegara kita, seorang hakim tidak dapat
menjatuhkan hukuman kepada seseorang terdakwa kecuali dengan sekurangnya dua alat
bukti yang sah ia merasa yakin bahwa tindak pidana itu memang telah terjadi (pasal 183
36
KUHAP). Sedang yang dimaksud dengan alat bukti yang sah adalah keterangan saksi,
keterangan ahli, surat, petunjuk, dan keterangan terdakwa (pasal 184 KUHAP). Berdasarkan
hal tersebut di atas, maka pada suatu kasus perkosaan dan kejahatan seksual lainnya perlu
Keterkaitan antara berbagai faktor inilah yang sering dijabarkan dan merupakan salah
satu hal yang dapat menimbulkan keyakinan hakim. Pada banyak kasus perkosaan
keterkaitan empat faktor ini tidak jelas atau tidak dapat ditemukan sehingga mengakibatkan
tidak timbul keyakinan pada hakim yang bermanifestasi dalam bentuk suatu hukuman yang
ringan dan sekadarnya. Beberapa hal yang dapat mengakibatkan terjadinya hal ini adalah
sebagai berikut:
Seorang korban perkosaan setelah kejadian yang memalukan tersebut umumnya akan merasa
jijik dan segera mandi atau mencuci dirinya bersih-bersih. Sprei yang mengandung bercak
mania tau darah seringkali telah dicuci dan diganti dengan sprei yang baru sebelum penyidik
tiba di TKP. Lantai yang mungkin mengandung benda bukti telah disapu dan dipel terlebih
dahulu agar “rapi” kelihatannya bila polisi datang. Ketika korban akan dibawa ke dokter
untuk diperiksa dan berobat seringkali ia mandi dan/atau mengganti pakaiannya terlebih
dahulu dengan yang baru dan masih bersih. Hal-hal semacam ini tanpa disadari akan
menyebabkan hilangnya banyak benda bukti seperti cairan/bercak mani, rambut pelaku,
37
darah pelaku, dan lain-lain yang diperlukan untuk pembuktian di pengadilan. Adanya
keterlambatan korban untuk melapor ke polisi karena perasaan malu dan ragu-ragu juga
Pengolahan TKP dan tehnik pengambilan barang bukti merupakan hal amat mempengaruhi
pengambilan kesimpulan. Pada suatu kejadian perkosaan dengan kejahatan seksual lainnya
penyidik mencari sebanyak mungkin benda bukti yang mungkin ditinggalkan di TKP seperti
adanya sidik jari, rambut, bercak mani pada lantai, sprei atau kertas tissue di tempat sampah,
dsb. Tidak dilakukannya pencarian benda bukti, baik akibat kurangnya pengetahuan, kurang
pengalaman atau kecerobohan, dapat mengakibatkan hilangnya banyak data yang penting
untuk pengungkapan kasus. Pada pemeriksaan terhadap tubuh korban cara pengambilan
sampel usapan vaginal yang salah juga dapat menyebabkan hasil negatif palsu. Pada
pemeriksaan persetubuhan dengan melalui anus (sodomi) pengambilan bahan usapan dengan
kapas lidi bukan dilakukan dengan pencolokan lidi ke dalam liang anus saja tetapi harus
dilakukan juga pada sela-sela lipatan anus, karena pada pengambilan pertama akan
didapatkan umumnya tinja dan bukan sperma. Adanya bercak mani pada kulit, bulu
kemaluan korban yang menggumpal atau pakaian korban, adanya rambut di sekitar bulu
kemaluan korban, adanya bercak darah atau epitel kux`lit pada kuku jari (jika korban sempat
mencakar pelaku) adanya hal-hal yang tidak boleh dilewatkan pada pemeriksaan.
tempat lain. Suatu klinik yang tidak melakukan pemeriksaan sperma sama sekali tentu tak
dapat membedakan antara robekan selaput dara atau robekan akibat benda tumpul pada
38
masturbasi. Klinik yang hanya dapat melakukan pemeriksaan sperma langsung saja tentu tak
dapat membedakan tidak adanya persetubuhan dengan persetubuhan dengan ejakulasi dari
orang yang tidak memiliki sel sperma (pasca vasektomi/ mandul tanpa sel sperma). Suatu
klinik yang hanya dapat melakukan pemeriksaan sperma dengan uji fosfatase asam saja
misalnya tentu hanya dapat menghasilkan hasil yang terbatas: ini pasti bukan sperma atau ini
mungkin sperma. Tetapi jika klinik tersebut juga melakukan pemeriksaan lain seperti uji
PAN, Berberio, Florence, pewarnaan Baechi atau Malachite green maka kesimpulan yang
dapat ditariknya adalah: pasti sperma, cairan mani tanpa sperma (pelakunya mandul tanpa sel
sperma atau sudah disterilisasi) atau pasti bukan sperma. Pemeriksaan pada kasus perkosaan
untuk pencarian pelaku dilakukan dengan pemeriksaan pada bahan rambut atau bercak
cairan mani, bercak/cairan darah atau kerokan kuku. Pemeriksaan yang dilakukan
golongan darah dan pemeriksaan sidik DNA. Pemeriksaan sidik DNA yang dilakukan pada
bahan yang berasal dari usapan vagina korban bukan saja dapat mengungkapkan pelaku
perkosaan secara pasti, tetapi juga dapat mendeteksi jumlah pelaku pada kasus perkosaan
Pemeriksaan golongan darah dengan sidik DNA atas bahan kerokan kuku (jika korban
sempat mencakar) juga dapat diggunakan untuk mencari pelakunnya. Jika hanya
pemeriksaan golongan darah yang akan dilakukan pada bahan usapan vagina, maka bahan
liur dari korban dan tersangka pelaku perlu juiga diperiksa golongan darahnya untuk
menentukan golongan sekretor atau non sekretor. Orang yang termasuk golongan sekretor
(sekitar 85% dari populasi) pada cairan tubuhnya terdapat substansi golongan darah.
Kelompok orang ini jika melakukan perkosaan akan meninggalkan cairan mani dan golongan
39
darahnya sekaligus pada tubuh korban. Sebaliknya orang yang termasuk golongan non
sekretor (15% dari populasi) jika memperkosa hanya akan meninggalkan cairan mani saja
tanpa golongan darah. Dengan demikian jika pada tubuh korban ditemukan adanya substansi
golongan darah apapun, maka yang bersangkutan tetap harus dicurigai sebagai
tidak dikenal adanya istilah-istilah sekretor dan non sekretor pada pemeriksaan DNA. Dalam
hal tersangka pelaku tertangkap basah dan belum sempat mencuci penisnya, maka secara
konvensional leher kepala penisnya dapat diusapkan ke gelas objek dan diberi uap lugol.
Adanya sel epitel vagina yang berwarna coklat dianggap merupakan bukti bahwa penis itu
‘bersentuhan’ dengan vagina alias baru bersetubuh. Laporan terakhir pada tahun 1994,
menunjukkan bahwa gambaran epitel ini tak dapat diterima lagi sebagai bukti adanya epitel
vagina, karena epitel pria baik yang normal maupun yang sedang mengalami infeksi kencing
juga mempunyai epitel dengan gambaran yang sama. Pada saat ini bila seorang pria diduga
baru saja bersetubuh, maka kepala dan leher penisnya perlu dibilas dengan larutan NaCl. Air
cucian ini diperiksa ada tidaknya sel epitel secara mikroskopik dan jika ada maka
pemeriksaan dapat dilanjutkan dengan pemeriksaan DNA dengan metode PCR (Polymerase
Chain Reaction).10, 13
Pada saat ini akibat kelangkaan dokter forensik, maka kasus perkosaan dan kejahatan seksual
lainnya ditangani oleh dokter kebidanan atau bahkan dokter umum. Sebagai dokter klinik
yang tugasnya terutama mengobati orang sakit, maka biasanya yang menjadi prioritas utama
dan cara pemeriksaannya membuat banyak bukti penting terlewatkan dan tak terdeteksi
40
selama pemeriksaan. Umumnya dokter kebidanan hanya memeriksa ada tidaknya luka di
sekitar kemaluan, karena merasa hanya daerah inilah bidang keahliannya. Akibatnya tanda
kekerasan di daerah lainnya tidak terdeteksi. Pemeriksaan toksikologi atas bahan darah atau
urin untuk deteksi kekerasan berupa membuat korban pingsan atau tidak berdaya dengan
obat-obatan umumnya tak pernah dilakukan. Pemeriksaan ada tidaknya cairan mani biasanya
hanya dilakukan dengan pemeriksaan langsung saja, sehingga adanya cairan mani tanpa
sperma tak mungkin terdeteksi. Pemeriksaan kea rah pembuktian pelaku sejauh ini boleh
dikatakan tak pernah dilakukan karena masih dianggap bukan kewajiban dokter. Dengan
demikian selama ini dasar dari tuduhan terhadap pelaku perkosaan umumnya adalah hanya
dari kesaksian korban dan pengakuan tersangka saja, padahal kedua alat bukti ini seringkali
Pada kasus-kasus semacam ini arah penyidikan harus jelas arahnya agar pengumpulan bukti
menjadi terarah dan tajam pula. Kesalahan dalam membuat tuduhan, misalnya akan dapat
membuat tersangka menjadi bebas sama sekali. Jika penyidik, jaksa serta hakim hanya
menganggap perlu mencari alat bukti berupa pengakuan terdakwa, dan mengabaikan
pembuktian secara ilmiah lewat pemeriksaan medis dan kesaksian ahli maka tentunya
II.12 labolatorium
Pada kasus kekerasan seksual, perlu dilakukan pemeriksaan penunjang sesuai indikasi
untuk mencari bukti-bukti yang terdapat pada tubuh korban. Pembuktian persetubuhan yang lain
adalah dengan memeriksa cairan mani di dalam liang vagina korban. Dari pemeriksaan cairan
41
Seiring dengan teknik swab invasif konvensional, pengumpulan spesimen urin dapat
digunakan sebagai metode pengumpulan jejak biologis tambahan untuk keperluan forensik. Ini
dapat dianggap sebagai teknik pengumpulan non-invasif terutama dalam kasus dugaan pelecehan
seksual anak yang akut untuk mengurangi waktu tunda dan untuk meningkatkan sikap positif
pasien terhadap pengumpulan bukti. Jumlah yang lebih tinggi dari DNA pria yang terdeteksi
dalam spesimen urin akan menawarkan peluang yang lebih baik untuk identifikasi DNA bila
Untuk menentukan adanya cairan mani dalam secret vagina perlu dideteksi adanya zat-
zat yang banyak terdapat dalam cairan mani, beberapa pemeriksaan yang dapat dilakukan untuk
Fosfatase asam adalah enzim yang dikeluarkan oleh kelenjar prostat di dalam cairan
semen/mani dan didapatkan pada konsentrasi tertinggi di atas 400 kali dalam mani dibandingkan
yang mengalir dalam tubuh lain. Dengan menentukan secara kuantitatif aktifitas fosfatase asam
per 2 cm2 bercak, dapat ditentukan apakah bercak tersebut mani atau bukan. Aktifitas 25 U.K.A
per 1cc ekstrak yang diperoleh 1 cm2 bercak dianggap spesifik sebagai bercak mani.
Prinsip reaksi ini adalah menentukan adanya spermin dalam semen. Spermin yang
terkandung pada cairan mani akan beraksi dengan larutan asam pikrat jenuh membentuk kristal
spermin pikrat.Bercak diekstraksi dengan sedikit aquades. Ekstrak diletakkan pada kaca objek,
biarkan mengering, tutup dengan kaca penutup. Reagen diteteskan dengan pipet di bawah kaca
penutup.
42
Interpretasi : hasil positif memperlihatkan adanya kristal spermin pikrat yang kekuning-
Dasar reaksi adalah untuk menemukan adanya kholin. Bila terdapat bercak mani, tampak
Pemeriksaan ini berguna untuk melihat apakah terdapat spermatozoa yang bergerak.
Pemeriksaan motilitas spermatozoa ini paling bermakna untuk memperkirakan saat terjadinya
persetubuhan. Umumnya disepakati bahwa dalam 2-3 jam setelah persetubuhan, masih dapat
ditemukan spermatozoa yang bergerak dalam vagina. Bila tidak ditemukan lagi, belum tentu
43
Interpretasi : pada pengamatan di bawah mikroskop akan terlihat gambaran sperma
dengan kepala sperma tampak berwarna ungu menyala dan lehernya merah muda, sedangkan
Prinsip kerja nya yaitu asam fukhsin dan metilen biru merupakan zat warna dasar dengan
kromogen bermuatan positif. Asam nukleat pada kepala spermatozoa dan komponen sel tertentu
pada ekor membawa muatan negatif, maka akan berikatan secara kuat dengan kromogen kationik
Interpretasi : Kepala spermatozoa berwarna merah, ekor merah muda, menempel pada
serabut benang
- Menentukan adanya sel epitel vagina pada glans penis, menggunakan larutan lugol
44
- Dalam populasi 85% golongan sekretor yang dalam cairan tubuh (cairan mani,
keringat,liur) mengandung golongan darah. Jika bersetubuh dan ejakulasi maka golongan
- Dalam kepala sel sperma terdapat DNA inti (c-DNA) dan dalam leher sel sperma ada
meninggalkan jejak DNA pelaku. Dengan pemeriksaan DNA akan diketahui siapa dan
Barang siapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seorang wanita
bersetubuh dengan dia diluar perkawinan, diancam karena melakukan perkosaan dengan
Pada tindak pidana di atas perlu dibuktikan telah terjadi persetubuhan dan telah terjadi
paksaan dengan kekerasan atau ancaman kekerasan. Dokter dapat menentukan apakah
persetubuhan telah terjadi atau tidak, apakah terdapat tanda-tanda kekerasan. Tetapi ini tidak
dapat menentukan apakah terdapat unsur paksaan pada tindak pidana ini.
Ditemukannya tanda kekerasan pada tubuh korban tidak selalu merupakan akibat
paksaan, mungkin juga disebabkan oleh hal-hal lain yang tak ada hubungannya dengan
paksaan. Demikian pula bila tidak ditemukan tanda-tanda kekerasan, maka hal itu belum
merupakan bukti bahwa paksaan tidak terjadi. Pada hakekatnya dokter tak dapat menentukan
unsur paksaan yang terdapat pada tindak pidana perkosaan; sehingga ia juga tidak mungkin
45
Yang berwenang untuk menentukan hal tersebut adalah hakim, karena perkosaan adalah
pengertian hukum bukan istilah medis sehingga dokter jangan menggunakan istilah
Barang siapa bersetubuh dengan seorang wanita diluar perkawinan, padahal diketahui
bahwa wanita itu dalam keadaan pingsan atau tidak berdaya, diancam dengan pidana
Pada tindak pidana di atas harus terbukti bahwa korban berada dalam keadaan pingsan
atau tidak berdaya. Dokter perlu mencari tahu apakah korban sadar waktu persetubuhan
terjadi, adakah penyakit yang diderita korban yang sewaktu-waktu dapat mengakibatkan
korban pingsan atau tidak berdaya. Jika korban mengatakan ia menjadi pingsan, maka perlu
diketahui bagaimana terjadinya pingsan itu, apakah terjadi setelah korban diberi minuman
atau makanan. Pada pemeriksaan perlu diperhatikan apakah korban menunjukkan tanda-
tanda bekas kehilangan kesadaran, atau tanda-tanda telah berada di bawah pengaruh obat-
obatan.
Jika terbukti bahwa si pelaku telah telah sengaja membuat korban pingsan atau tidak
berdaya, ia dapat dituntut telah melakukan tindak pidana perkosaan, karena dengan membuat
Kejahatan seksual yang dimaksud dalam KUHP pasal 286 adalah pelaku tidak
melakukan upaya apapun; pingsan atau tidak berdayanya korban bukan diakibatkan oleh
46
Pasal 287 KUHP
Barang siapa bersetubuh dengan seorang wanita diluar perkawinan, padahal diketahui
atau sepatutnya harus diduga, bahwa umumnya belum lima belas tahun, atau kalau
umurnya tidak ternyata, bahwa mampu dikawin, diancam pidana penjara paling lama
sembilan tahun.
(1) Barang siapa bersetubuh dengan seorang wanita didalam perkawinan, yang diketahui
atau sepatutnya harus diduga bahwa belum mampu dikawin, diancam, apabila perbuatan
(2) Jika perbuatan mengakibatkan luka berat, dijatuhkan pidana penjara paling lama
delapan tahun
(3) Jika mengakibatkan mati, dijatuhkan pidana penjara paling lama dua belas tahun. Jika
suami melakukan pemaksaan seksual terhadap istri, maka tidak termasuk dalam hukum
undang-undang perkosaan, tetapi termasuk dalam kekerasan dalam rumah tangga seperti
Pasal 5
Setiap orang dilarang melakukan keerasan dalam rumah tangga terhadap orang dalam
a. kekerasan fisik
47
b. kekerasan psikis
c. kekerasan seksual
Dengan demikian dari Visum et Repertum yang dibuat oleh dokter diharapkan dapat
membuktikan bahwa korban memang belum pantas dikawin, memang terdapat tanda-tanda
Di dalam upaya menentukan bahwa seseorang belum mampu dikawin dapat timbul
permasalahan bagi dokter karena penentuan tersebut mencakup dua pengertian, yaitu
pengertian secara biologis dan pengertian menurut undang-undang. Secara biologis seorang
perempuan dikatakan mampu untuk dikawin bila ia telah siap untuk dapat memberikan
keturunan, dimana hal ini dapat diketahui dari menstruasi, apakah ia belum pernah mendapat
menstruasi atau sudah pernah. Sedangkan menurut undang-undang perkawinan, maka batas
perkawinan adalah 16 tahun. Dengan demikian dokter diharapkan dapat menentukan berapa
umur dari perempuan yang diduga merupakan korban seperti yang dimaksud dalam pasal 288
KUHP.
perbuatan yang menyerang kehormatan kesusilaan dengan pidana penjara paling lama 9
(sembilan) tahun.
48
Kalau salah satu kejahatan yang diterangkan dalam pasal 286, 287, 288 dan 290 itu
berakibat luka berat, diancam dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun.
Kalau salah satu kejahatan yang diterangkan dalam pasal 285, 286, 287, 289 dan 290
itu berakibat matinya orang, diancam dengan pidana penjara paling lama lima belas tahun.
diubah dengan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 (“UU Perlindungan Anak”) yang
berkaitan dengan tindak pidana kesusilaan yaitu antara lain Pasal 76D (persetubuhan dengan
Setiap orang dilarang melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa anak
Hukuman dari perbuatan tersebut diatur dalam Pasal 81 dan Pasal 82 Undang-Undang
(1) Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 76D
dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima
belas) tahun dan denda paling banyak Rp 5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah)
49
(2) Ketentuan pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku pula bagi setiap orang
yang dengan sengaja melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan, atau membujuk
(3) Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh orang
tua, wali, pengasuh anak, pendidik, atau tenaga kependidikan, maka pidanannya
ditambah 1/3 (sepertiga) dari ancaman pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(1) Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76E
dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima
belas) tahun dan denda paling banyak Rp 5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).
(2) Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh orang
tua, wali, pengasuh anak, pendidik, atau tenaga kependidikan, maka pidananya ditambah
1/3 (sepertiga) dari ancaman pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
Dari rumusan Pasal 76D dan Pasal 76E, Pasal 81 dan Pasal 82 Undang-Undang
Perlindungan Anak diatas, terlihat bahwa tidak ada keharusan bagi delik ini untuk dilaporkan
oleh korbannnya. Dengan demikian, delik persetubuhan dengan anak dan pencabulan terhadap
anak merupakan delik biasa, bukan delik aduan. Delik biasa dapat diproses tanpa adanya
Pasal 1
3. Anak yang Berkonflik dengan Hukum yang selanjutnya disebut Anak adalah anak yang telah
berumur 12 (dua belas) tahun, tetapi belum berumur 18 (delapan belas) tahun yang diduga
melakukan tindak pidana.
50
4. Anak yang Menjadi Korban Tindak Pidana yang selanjutnya disebut Anak Korban adalah anak
yang belum berumur 18 (delapan belas) tahun yang mengalami penderitaan fisik, mental,
dan/atau kerugian ekonomi yang disebabkan oleh tindak pidana.
Pasal 69
(1) Anak hanya dapat dijatuhi pidana atau dikenai tindakan berdasarkan ketentuan dalam
UndangUndang ini.
(2) Anak yang belum berusia 14 (empat belas) tahun hanya dapat dikenai tindakan.
Pasal 71
(1) Pidana pokok bagi Anak terdiri atas:
a. pidana peringatan;
b. pidana dengan syarat:
1) pembinaan di luar lembaga;
2) pelayanan masyarakat; atau
3) pengawasan.
c. pelatihan kerja;
d. pembinaan dalam lembaga; dan
e. penjara.
(2) Pidana tambahan terdiri atas:
a. perampasan keuntungan yang diperoleh dari tindak pidana; atau
b. pemenuhan kewajiban adat.
(3) Apabila dalam hukum materiil diancam pidana kumulatif berupa penjara dan denda, pidana
denda diganti dengan pelatihan kerja.
(4) Pidana yang dijatuhkan kepada Anak dilarang melanggar harkat dan martabat Anak.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai bentuk dan tata cara pelaksanaan pidana sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 81
(1) Anak dijatuhi pidana penjara di LPKA apabila keadaan dan perbuatan Anak akan
membahayakan masyarakat.
(2) Pidana penjara yang dapat dijatuhkan kepada Anak paling lama 1/2 (satu perdua) dari
maksimum ancaman pidana penjara bagi orang dewasa.
(3) Pembinaan di LPKA dilaksanakan sampai Anak berumur 18 (delapan belas) tahun.
(4) Anak yang telah menjalani 1/2 (satu perdua) dari lamanya pembinaan di LPKA dan
berkelakuan baik berhak mendapatkan pembebasan bersyarat.
(5) Pidana penjara terhadap Anak hanya digunakan sebagai upaya terakhir.
(6) Jika tindak pidana yang dilakukan Anak merupakan tindak pidana yang diancam dengan
pidana mati atau pidana penjara seumur hidup, pidana yang dijatuhkan adalah pidana penjara
paling lama 10 (sepuluh) tahun.
Pasal 82
(1) Tindakan yang dapat dikenakan kepada Anak
meliputi:
a. pengembalian kepada orang tua/Wali;
b. penyerahan kepada seseorang;
c. perawatan di rumah sakit jiwa;
51
d. perawatan di LPKS;
e. kewajiban mengikuti pendidikan formal dan/atau pelatihan yang diadakan oleh
pemerintah atau badan swasta;
f. pencabutan surat izin mengemudi; dan/atau
g. perbaikan akibat tindak pidana.
(2) Tindakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d, huruf e, dan huruf f dikenakan paling
lama 1 (satu) tahun.
(3) Tindakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diajukan oleh Penuntut Umum dalam
tuntutannya, kecuali tindak pidana diancam dengan pidana penjara paling singkat 7 (tujuh) tahun.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai tindakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan
Peraturan Pemerintah.
BAB III
PENUTUP
III.1 Kesimpulan
Kekerasan seksual merupakan kejahatan yang universal. Kejahatan ini dapat ditemukan
diseluruh dunia, pada tiap tingkatan masyarakat dan tidak memandang usia .
Komponen penting dari pengungkapan kasus kejahatan seksual adalah visum et repertum
yang dibuat oleh dokter. Visum et repertum memuat tentang hasil pemeriksaan medis mengenai
bukti-bukti kekerasan seksual yang terdapat pada tubuh korban berserta interpretasinya, adanya
tanda-tanda persetubuhan sehingga dapat membantu membuat terang perkara bagi aparat
penegak hukum.
Pemeriksaan forensik pada kasus kejahatan seksual meliputi anamnesis mengenai kronologi
kejadian, pemeriksaan fisik umum dan pemeriksaan fisik khusus untuk mencari bukti-bukti fisik
Pembuktian persetubuhan dilakukan dengan dua cara yaitu membuktikan adanya penetrasi
(penis) kedalam vagina dan atau anus/oral dan membuktikan adanya ejakulasi atau adanya air
52
mani didalam vagina/anus. Dari pemeriksaan cairan mani akan diperiksa sel spermatozoa dan
Untuk menentukan adanya cairan mani dalam secret vagina perlu dideteksi adanya zat-zat
yang banyak terdapat dalam cairan mani, beberapa pemeriksaan yang dapat dilakukan untuk
membuktikan hal tersebut adalah pemeriksaan dengan reaksi fosfatase asam, reaksi berberio,
reaksi Florence.
III.2 Saran
Masyarakat
o Agar lebih waspada terhadap banyaknya kasus kejahatan seksual
o Setelah mengalami kejahatan seksual, hendaknya segera melapor ke pihak berwenang
agar dokter yang memeriksa dapat menemukan bukti sebanyak - banyaknya
Kedokteran forensik
o Agar selain mengobati korban kejahatan seksual juga mengetahui prinsip – prinsip
pengumpulan benda bukti dan cara pemeriksaannya agar tidak membuat bnayak bukti
penting terlewatkan dan tak terdeteksi selama pemeriksaan
o Lebih teliti dalam melakuakn identifikasi temuan klinis dalam kasus kejahatan
seksual
o Akan lebih baik bila dalam kasus kejahatan seksual dapat dilengkapi dengan visum
yang melibatkan psikiater dan psikolog yang dapat menelaah salah satu gejala jangka
panjang seperti post traumatic stress disorder atau post traumatic rape síndrome.
Keterlibatan psikiater atau relawan pendamping ( umumnya psikolog, sosiolog, atau
sarjana keperawatan) sebagai “lingkaran dalam” korban kareba berkesempatan
menangkap akutualitas penderitaan korban.
Pemerintah dan pihak kepolisian
53
o Lebih intensif dalam memberantas kasus perkosaan dengan tujuan menurunnya kasus
kejahatan seksual
DAFTAR PUSTAKA
54
8. Elizabeth C. Ahern, Samantha J. Andrews, Stacia N. Stolzenberg, and Thomas D. Lyon.
2015. The Productivity of Wh- Prompts in Child Forensic Interviews. Journal of
Interpersonal Violence 1–9.
9. Fauzi A, Lucyanawati M, Hanifa L, et al. Kekerasan Terhadap Perempuan. 2008.
10. Heather W, Gerald L, Danielle W, Dawn S, Mnh N, AND Frances S. 2018. Sexual
Assault Cases: Exploring The Importance of Non-DNA Forensic Evidence. NIJ Journal /
Issue No. 279.
11. H. Hari Sahordji, Pokok-pokok Kriminalogi, Aksara Baru, Jakarta, 1980, hal 35.
12. H. Hari Sahordji, Op Cit, hal 49.
13. Hoediyanto, Hariadi A, Ilmu Kedokteran Forensik dan Medikolegal, Departeman Ilmu
Kedokteran Forensik Fakultas Kodekteran Universitas Airlangga, Surabaya, Edisi
Ketujuh, 2010.
14. Idries AM, Tjiptomartono AL. Penerepan Ilmu Forensik dalam Proses Penyidikan Edisi
Revisi. Jakarta. Sagung Seto. 2013.
15. Joyce A. Adams MD. 2018. Understanding Medical Findings in Child Sexual Abuse: An
Update For 2018. Acad Forensic Pathol. 2018 8(4): 924-937.
16. Komnas Perempuan. Kekerasan seksual: Kenali dan tangani. Komnas Perempuan; 2011.
h. 1-5.
17. Minna Joki-Erkkilӓ, Sari Tuomisto, Mervi Seppӓnen, Heini Huhtala, Arja Ahola, Juha
Rainio, Pekka J. Karhunen. 2014. Clinical forensic sample collection techniques
following consensual intercourse in volunteers e Cervical canal brush compared to
conventional swabs. M. Joki-Erkkilӓ et al. / Journal of Forensic and Legal Medicine 27
(2014) 50-54.
18. Minna Joki-Erkkilӓ, Sari Tuomisto, Mervi Seppӓlӓ, Heini Huhtala, Arja Ahola, Pekka J.
Karhunen. 2016. Urine specimen collection following consensual intercourse – A forensic
evidence collection method for Y-DNA and spermatozoa. M. Joki-Erkkilӓ et al. / Journal
of Forensic and Legal Medicine 37 (2016) 50-54.
19. Moeljatno. Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP). Jakarta:Bumi Aksara. 2003.h.
106.
20. Moeljatno, 2014, Undang-Undang Peradilan Anak, Jakarta: Sinar Grafika.
55
21. R. Soesilo. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) serta komentar-komentarnya
lengkap pasal demi pasal.1996. Bogor : Politeia. h. 212.
22. Syamsuddin, Rahman. Peranan Visum et Repertum di Pengadilan. Al-Risalah. 2011;
11(1); 187-200.
23. Sara T. Stewart. 2011. Hymenal Characteristics in Girls with and without a History of
Sexual Abuse. Journal of Child Sexual Abuse. 20:5.521-536. DOI:
10.1080/10538712.2011.606106
24. Welington dos Santos Silva, MD and Ubirajara de Oliveira Barroso-Junior, MD, PhD.
2017. Child Sexual Abuse Confirmed by Forensic Examination in Salvador, Bahia,
Brazil. Am J Forensic Med Pathol 2017;38: 54–58.
56