Anda di halaman 1dari 57

CASE REPORT

KEKERASAN SEKSUAL PADA ANAK

Disusun oleh:

Nabillah, S.Ked 112010198

Muhammad Gilang Gumilar, S.Ked 112011176

Petrafredinosa Hadriansyah, S.Ked 112011206

Reza Akbar Nasution, S.Ked 112011230

Akhdan Aufa, S.Ked 112013018

Pembimbing:
dr. Suryo Wijoyo Sp.KF MH

KEPANITERAAN KLINIK ILMU FORENSIK


RUMAH SAKIT UMUM DAERAH KABUPATEN BEKASI
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS YARSI
2019

0
STATUS PASIEN

I. IDENTITAS PASIEN
Nama : An. Cs
Jenis Kelamin : Perempuan
Usia : 15 tahun
Status Perkawinan : Belum menikah
Pekerjaan : Pelajar
Kebangsaan : Indonesia
Agama : Islam
Alamat : Kp. Cibuntu Rt 002/006 Ds. Cibuntu Kec. Cibitung Kab Bekasi.
Waktu Pemeriksaan : Kamis, 2 Mei 2019, jam 13.40 WIB.
Keterangan : Korban datang ke Rumah Sakit Umum Daerah Kabupaten Bekasi
dengan aparat kepolisian membawa Surat Permintaan Visum (SPV) utuk meminta
pembuatan Visum et Repertum (VER) pada tanggal 2 Mei 2019, jam 13.40 WIB.

KRONOLOGIS
Pada hari jumat tanggal 12 April 2019 ketika korban pulang sekolah, korban pulang
naik angkutan umum. Namun tiba-tiba angkutan umum yang dinaiki korban berbelok ke
arah perumahan puri dengan alasan bahwa si pelaku hendak menjemput sewa. Mobil
angkutan umum berhenti disebuah kebun lalu seluruh pintu dan kaca di tutup dan si pelaku
memaksa dengan cara menarik, mencekik dan mendorong korban, kemudian membuka
celana short korban dan memasukkan alat kelaminnya ke alat kelamin korban dengan
ancaman bila melawan dan berteriak korban akan dibunuh. Korban mengatakan melihat
cairan berupa darah keluar dari kemaluannya serta terasa sakit pada kemaluannya. Korban
mengenal pelaku yang merupakan mantan pacar dari sahabatnya dan mengatakan bahwa
pelaku dendam dengan dirinya karena korban penyebab putus nya pelaku dengan pacarnya
karena korban memberi tahu bahwa pelaku dulu sempat di penjara. Setelah itu, korban
langsung dibawa ke rumah milik pelaku, saat itu korban mengikuti karena pelaku
mengatakan bahwa dirinya akan bertanggung jawab bila korban hamil. Namun saat sampai
dirumah, pelaku membawa korban ke kamar dan kemudian di dorong, kerudung korban

1
ditarik, celana short korban dibuka, pakaian korban dibuka dan kembali melakukan
hubungan intim dan memasukkan jari pelaku ke kelamin korban. Sekitar pukul 22.00,
pelaku membawa korban ke kontrakan milik pelaku, dan di kontrakan tersebut pelaku
bersama dua orang temannya yang juga supir angkutan umum. Pelaku dan teman-
temannya meminum-minuman keras yakni anggur merah orang tua sebanyak lima botol.
Setelah kedua temannya tertidur, pelaku menghampiri korban dan memaksa melakukan
hubungan intim kembali. Pada hari sabtu, pelaku dan kedua temannya pergi untuk menarik
angkutan umum, dan saat itu korban berhasil kabur karena pintu kontrakan pelaku tidak
dikunci kemudian korban kabur kerumah temannya. Korban tidak langsung pulang
kerumah karena takut. Pada hari minggu, korban pulang ke rumah, namun menurut ibu
korban, abangnya menjemput paksa korban yang saat itu sedang dalam angkutan umum.
Pada hari rabu tanggal 24 April 2019, korban mengatakan bahwa ia kabur dari rumah ke
rumah temannya selama lima hari. Pada hari sabtu tanggal 27 April 2019, korban bersama
pacarnya dan mengatakan bahwa saat itu korban menceritakan seluruh kejadian yang ia
alami dengan pacarnya dan kemudian pacarnya mengajak untuk melakukan hubungan
intim, namun menurut pengakuan korban saat itu pacarnya hanya menempel dan
menggesekkan alat kelaminnya ke alat kelamin korban.
Pemeriksaan Fisik
 Keadaan umum : Sadar penuh, keadaan umum baik, sikap kooperatif
 Suhu : 36,3 derajat Celsius
 Tanda vital
o Tekanan darah : 116/70 mmHg
o Frekuensi nadi : 85 kali/menit
o Frekuensi napas : 22 kali/menit
 Keadaan gizi : Cukup

Status Generalis
 Kepala : Normocephal
 Konjungtiva : Anemis (-)
 Sklera : Ikterik (-)
 Telinga : Normotia

2
 Thoraks : dalam batas normal
 COR : bunyi jantung 1 dan 2 normal reguler
 Abd : hematom (-), nyeri tekan regio hipogastrium (-)
 Ekst : dalam batas normal
Status Lokalis Luka
 Terdapat dua robekan baru pada selaput dara pada jam sebelas, jam satu dan
terdapat dua buah robekan lama pada jam lima dan jam tujuh.

Pemeriksaan Penunjang
a. Pemeriksaan kehamilan : Negatif
b. Pemeriksaan HCG : Negatif
c. Pemeriksaan Urin : Bakteri (+1)
d. Pemeriksaan Mikrobiologi : Bakteri Gram (+), Sepermatozoa (+)

Tindakan/Pengobatan
 Pembuatan Visum et Repertum

3
Kesimpulan
Berdasarkan fakta-fakta yang ditemukan dari pemeriksaan atas korban tersebut
maka saya simpulkan bahwa korban adalah seorang perempuan, umur kurang lebih lima
belas tahun, warna kulit sawo matang, kesan gizi cukup. Robekan lama selaput dara
menandakan memang telah terjadi persetubuhan yang sudah lama terjadi, sedangkan
Robekan baru menandakan telah terjadi persetubuhan yang baru terjadi. Spermatozoa pada
pemeriksaan merupakan tanda langsung bahwa telah terjadi persetubuhan. Hal ini dapat
menimbulkan gangguan daya pikir lebih dari empat minggu.

Pembahasan Kasus
Prosedur medikolegal pada kasus ini sudah terpenuhi dengan adanya surat
permintaan visum tertulis dari Kepolisian Sektor Cikarang Barat, yang berisi tentang
permohonan untuk dilakukan pemeriksaan visum terhadap korban seorang pertemuan
berumur 15 tahun yang telah mengalami persetubuhan/pencabulan/perkosaan pada tanggal
2 Mei 2019.
Pada kasus ini surat permintaan visum sudah sesuai dengan ketentuan yang diatur
dalam KUHAP pasal 133 ayat 2 yaitu secara tertulis dengan komponen – komponen
sebagai berikut :
1. Institusi pengirim : Polsek Cikarang Barat
2. Nomor surat : B/63/VER/V/2019/Sek Cik Bar
3. Tujuan surat : Rumah Umum Daerah Kabupaten Bekasi
4. Identitas : An. Chintia Sri Wulandari : 15 tahun
5. Permintaan Penyidik : Pemeriksaan luar dan pembuatan Visum et Repertum
6. Jabatan pengirim : Joko Marya, Pangkat AIPTU, NRP. 71090380

Pemeriksaan Korban
Pada tanggal 2 Mei 2019, jam 13.40 WIB. Korban datang ke IGD RSUD Kab.
Bekasi beserta dengan aparat kepolisian untuk dibuatkan surat VER. Kemudian oleh dokter
jaga igd melakukan pemeriksaan luar.

4
 Pada pemeriksaan luar ditemukan Terdapat dua robekan baru pada selaput dara
pada jam sebelas, jam satu dan terdapat dua buah robekan lama pada jam lima dan
jam tujuh.

Hukuman Terhadap Pelaku

Korban dengan kekerasan seksual dapat dipidana seperti yang tertuang dalam
Pasal 287 KUHP yang berbunyi:
(1) Barangsiapa bersetubuh dengan seorang wanita di luar perkawinan, padahal
diketahuinya atau sepatutnya harus diduganya bahwa umurnya belum lima belas
tahun, atau kalau umurnya tidak jelas bahwa belum waktunya untuk dikawin, diancam
dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun.
(2) Penuntutan hanya dilakukan atas pengaduan, kecuali jika umur wanita belum
sampai dua belas tahun atau jika ada salah satu hal berdasarkan pasal 291 dan pasal
294.

Tindak pidana ini merupakan persetubuhan dengan wanita yang menurut undang-
undang belum cukup umur. Jika umur korban belum cukup 15 tahun tetapi sudah di atas
12 tahun, penuntutan baru dilakukan bila ada pengaduan dari yang bersangkutan. Jadi
dengan keadaan itu persetubuhan tersebut merupakan delik aduan, bila tidak ada
pengaduan, tidak ada penuntutan.

Tetapi keadaan akan berbeda jika:


a. Umur korban belum sampai 12 tahun
b. Korban yang belum cukup 15 tahun itu menderita luka berat atau mati akibat
perbuatan itu (KUHP pasal 291); atau
c. Korban yang belum cukup 15 tahun itu dalah anaknya, anak tirinya, muridnya, anak
yang berada di bawah pengawasannya, bujangnya atau bawahannya (KUHP pasal
294).

Dalam keadaan di atas, penuntutan dapat dilakukan walaupun tidak ada


pengaduan karena bukan lagi merupakan delik aduan. Pada pemeriksaan akan diketahui

5
umur korban. Jika tidak ada akte kelahiran maka umur korban yang pasti tidak diketahui.
Dokter perlu memperkirakan umur korban baik dengan menyimpulkan apakah wajah dan
bentuk tubuh korban sesuai dengan umur yang dikatakannya, melihat perkembangan
payudara dan pertumbuhan rambut kemaluan, melalui pertumbuhan gigi (molar ke-2 dan
molar ke-3), serta dengan mengetahui apakah menstruasi telah terjadi.
Hal di atas perlu diperhatikan mengingat bunyi kalimat: padahal diketahuinya
atau sepatutnya harus diduganya bahwa wanita itu umurnya belum lima belas tahun atau
kalau umurnya tidak jelas bahwa belum waktunya untuk dikawin. Perempuan yang belum
pernah mengalami menstruasi dianggap belum patut untuk dikawin.
Pasal 291 KUHP
(1) Kalau salah satu kejahatan yang diterangkan dalam pasal 286, 287, 288 dan
290 itu berakibat luka berat, diancam dengan pidana penjara paling lama dua belas
tahun.
(2) Kalau salah satu kejahatan yang diterangkan dalam pasal 285, 286, 287, 289
dan 290 itu berakibat matinya orang, diancam dengan pidana penjara paling lama
lima belas tahun.

Pasal 294 KUHP


Barangsiapa melakukan perbuatan cabul dengan anaknya, anak tirinya atau anak
piaraannya, anak yang di bawah pengawasannya, orang di bawah umur yang diserahkan
kepadanya untuk dipelihara, dididiknya atau dijaganya, atau bujangnya atau orang yang
di bawah umur, diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun.

Dengan itu maka dihukum juga:


1. Pegawai negeri yang melakukan perbuatan cabul dengan orang yang di
bawahnya/orang yang dipercayakan/diserahkan kepadanya untuk dijaga.
2. Pengurus, dokter, guru, pejabat, pengurus atau bujang di penjara, di tempat bekerja
kepunyaan negeri, tempat pendidikan, rumah piatu, RS jiwa atau lembaga semua
yang melakukan perbuatan cabul dengan orang yang dimaksudkan di situ.

6
Pada kasus persetubuhan di luar perkawinan yang merupakan kejahatan dimana
persetubuhan tersebut terjadi tanpa persetujuan wanita, seperti yang dimaksud oleh pasal
285 dan 286 KUHP; maka untuk kasus-kasus tersebut Visum et Repertum harus dapat
membuktikan bahwa pada wanita tersebut telah terjadi kekerasan dan persetubuhan.
Kejahatan seksual seperti yang dimaksud oleh pasal 285 KUHP disebut perkosaan, dan
perlu dibedakan dari pasal 286 KUHP.

Pasal 285 KUHP


Barangsiapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seorang wanita
bersetubuh dengan dia di luar perkawinan, diancam karena melakukan perkosaan dengan
pidana penjara paling lama dua belas tahun.
Pada tindak pidana di atas perlu dibuktikan telah terjadi persetubuhan dan telah
terjadi paksaan dengan kekerasan atau ancaman kekerasan. Dokter dapat menentukan
apakah persetubuhan telah terjadi atau tidak, apakah terdapat tanda-tanda kekerasan.
Tetapi ini tidak dapat menentukan apakah terdapat unsur paksaan pada tindak pidana ini.
Ditemukannya tanda kekerasan pada tubuh korban tidak selalu merupakan akibat
paksaan, mungkin juga disebabkan oleh hal-hal lain yang tak ada hubungannya dengan
paksaan. Demikian pula bila tidak ditemukan tanda-tanda kekerasan, maka hal itu belum
merupakan bukti bahwa paksaan tidak terjadi. Pada hakekatnya dokter tak dapat
menentukan unsur paksaan yang terdapat pada tindak pidana perkosaan; sehingga ia juga
tidak mungkin menentukan apakah perkosaan telah terjadi.
Yang berwenang untuk menentukan hal tersebut adalah hakim, karena perkosaan
adalah pengertian hukum bukan istilah medis sehingga dokter jangan menggunakan
istilah perkosaan dalam Visum et Repertum.

Pasal 286 KUHP


Barangsiapa bersetubuh dengan seorang wanita di luar perkawinan padahal
diketahuinya bahwa wanita itu dalam keadaan pingsan atau tidak berdaya, diancam
dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun.
Pada tindak pidana di atas harus terbukti bahwa korban berada dalam keadaan
pingsan atau tidak berdaya. Dokter perlu mencari tahu apakah korban sadar waktu

7
persetubuhan terjadi, adakah penyakit yang diderita korban yang sewaktu-waktu dapat
mengakibatkan korban pingsan atau tidak berdaya. Jika korban mengatakan ia menjadi
pingsan, maka perlu diketahui bagaimana terjadinya pingsan itu, apakah terjadi setelah
korban diberi minuman atau makanan. Pada pemeriksaan perlu diperhatikan apakah
korban menunjukkan tanda-tanda bekas kehilangan kesadaran, atau tanda-tanda telah
berada di bawah pengaruh obat-obatan.
Jika terbukti bahwa si pelaku telah telah sengaja membuat korban pingsan atau
tidak berdaya, ia dapat dituntut telah melakukan tindak pidana perkosaan, karena dengan
membuat korban pingsan atau tidak berdaya ia telah melakukan kekerasan.

Pasal 89 KUHP
Membuat orang pingsan atau tidak berdaya disamakan dengan menggunakan
kekerasan. Kejahatan seksual yang dimaksud dalam KUHP pasal 286 adalah pelaku tidak
melakukanupaya apapun; pingsan atau tidak berdayanya korban bukan diakibatkan oleh
perbuatan si pelaku kejahatan seksual.

8
BAB I

PENDAHULUAN

I.1 Latar Belakang

Kekerasan seksual merupakan kejahatan yang universal, kejahatan ini dapat ditemukan
diseluruh dunia, pada tiap tingkatan masyarakat, tidak memandang usia maupun jenis kelamin.
Besarnya insiden yang dilaporkan di setiap negara berbeda – beda.

Di indonesia menurut Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas


Perempuan) sejak tahun 1998 sampai 2011 tercatat 93.960 kasus kekerasan seksual terhadap
perempuan di seluruh Indonesia. Dengan demikian rata- rata ada 20 perempuan yang menjadi
korban kekerasan seksual tiap harinya. Hal yang mungkin mengejutkan adalah bahwa adalah
lebih dari ¾ dari jumlah kasus tersebut (70,11%) dilakukan oleh orang yang masih memiliki
hubungan dengan korban. Terdapat dugaan kuat bahwa angka -angka tersebut merupakan
fenomena gunung es, yaitu jumlah kasus yang dilaporkan juah lebih sedikit daripada jumlah
kejadian sebenarnya di masyarakat. Banyak korban enggan melapor mungkin karenamalu, takut
disalahkan, mengalami trauma psikis, atau karena tidak tahu harus melapor ke mana.

Seiring dengan meningkatnya kesadaran hukum di Indonesia, jumlah kasus kekerasan


seksual yang dilaporkan pun mengalami peningkatan. Pelaporan tentu hanya merupakan langkah
awal dari rangkaian panjang dalam mengungkapkan suatu kasus kekerasan seksual. Salah satu
komponen penting dalam pengungkapan kasus kekerasan seksual adalah visum et repertum yang
dapat memperjelas perkara dengan pemaparan dan intepretasi bukti bukti fisik kekerasan seksual.
Dokter, sebagai pihak yang dianggap ahli mengenai tubuh manusia, tentunya memiliki
peranyang besar dalam pembuatan visum et repertum dan membuat terang suatu perkarabagi
aparat penegak hukum. Karena itu, hendaknya setiap dokter – baik yang berada di kota besar
maupun di daerah terpencil, baik yang berpraktik di rumah sakit maupun tempat praktik pribadi
memiliki pengetahuan dan keterampilan yang mumpuni dalam melakukan pemeriksaan dan
penatalaksanaan korban kekerasan seksual.

9
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

II.1 Definisi kejahatan seksual

Kejahatan seksual adalah tindakan seksual apa pun yang dilakukan seseorang pada yang
lain tanpa persetujuan dari orang tersebut. Kejahatan seksual terdiri dari penetrasi genital, oral,
atau anal oleh bagian tubuh pelaku atau oleh sebuah object benda.

Kejahatan terhadap kesusilaan adalah setiap perbuatan yang dilakukan seseorang yang
menimbulkan kepuasan seksual dan di sisi lain perbuatan tersebut mengganggu kehormatan
orang lain. Kejahatan seksual adalah kejahatan yang timbul diperoleh melalui persetubuhan.

Persetubuhan adalah masuknya penis ke dalam vagina, sebagian atau seluruhnya dengan
atau tanpa ejakulasi, setidaknya melewati vestibulum. Pencabulan adalah setiap penyerangan
seksual tanpa terjadi persetubuhan.

II.2 Klasifikasi

Definisi kekerasan seksual ini mencakup pemerkosaan, perbudakan seksual, dan bentuk-
bentuk lain kekerasan seksual seperti penyiksaan seksual, penghinaan seksual di depan umum,
dan pelecehan seksual. Terdapat dua macam bentuk kekerasan seksual, yaitu ringan dan berat.6, 14.

II.2.1 Kategori Kejahatan Seksual

Terdapat dua macam bentuk kejahatan seksual, yaitu ringan dan berat.

1. Macam-macam kejahatan seksual ringan :


 Gurauan porno
 Siulan, ejekan dan julukan
 Tulisan / gambar

10
 Ekspresi wajah
 Gerakan tubuh
 Perbuatan menyita perhatian seksual tak dikehendaki korban ,melecehkan dan
atau menghina korban
 Melakukan repetisi kekerasan seksual ringan dapat dimasukkan ke dalam jenis
kekerasan seksual berat
2. Menurut Syaulia , et al.2008 , terdapat macam-macam kejahatan seksual berat :
 Pelecehan , kontak fisik : raba , sentuh organ seksual ,cium paksa ,rangkul
 Perbuatan yang rasa jijik ,terteror ,terhina
 Pemaksaan hubungan seksual
 Hubungan seksual dengan cara tidak disukai , merendahkan dan atau menyakitkan
 Pemaksaan hubungan seksual dengan orang lain , pelacuran tertentu .
 Hubungan seksual memanfaatkan posisi ketergantungan / lemahnya korban .
 Tindakan seksual dan kekerasan fisik , dengan atau tanpa bantuan alat yang
menimbulkan sakit,luka, atau cedera.

Bentuk indakan yang berkaitan dengan pelecehan seksual.14


a. Kontak
1. Sentuhan, memainkan atau kontak oral dengan dada atau genital.
2. Memasukkan jari atau benda ke dalam vulva atau anus
 Masturbasi oleh orang dewasa didepan anak kecil
 Ejakulasi kepada anak, baik dari orang dewasa ke anak maupun dari anak ke
dewasa
 Hubungan seks baik vaginal, anal atau oral, dilakukan maupun direncanakan pada
berbagai tingkatan:
a. Pemerkosaan dilakukan dengan penetrasi penis ke dalam vagina
b. Kontak genital lainnya, hubungan seks pada daerah kruris dimana penis
diletakkan diantara kaki. Atau kontak genital dengan bagian tubuh lainnya
dari anak seperti penis digosokkan pada paha.
c. Prostitusi, semua perlakuan diatas yang melibatkan pertukaran uang, hadiah,
bantuan pada anak sewaan.

11
b. Non-kontak
1. Eksibisionisme
2. Pornografi dalam berbagai bentuk : foto hubungan seksual atau foto anatomi tubuh
3. Memperlihatkan foto, film, video porno
4. Cerita-cerita erotis
5. Eksploitasi seksual lainnya
6. aktivitas sadis
7. Membakar daerah pantat atau genital anak.

Kekerasan seksual pada anak sering muncul dalam berbagai kondisi dan lingkup sosial.
(childhood sexual abuse)
Berbagai bentuk kekerasan seksual:
a. Kekerasan seksual dalam keluarga (Intrafamilial abuse)

Mencakup kekerasan seksual yang dilakukan dalam keluarga inti atau majemuk, dan
dapat melibatkan teman dari anggota keluarga, atau orang yang tinggal bersama dengan keluarga
tersebut, atau kenalan dekat dengan sepengetahuan keluarga. Kekerasan pada anak adopsi
ataupun anak tiri juga termasuk dalam lingkup ini.
Pelecehan seksual merupakan suatu kegiatan yang disembunyikan oleh pelakunya dan
keluarga merupakan tempat yang paling aman untuk menyembunyikan hal ini dari masyarakat.
Pelaku memiliki kesempatan yang besar untuk mengontrol dan memanipulasi sang anak untuk
tidak membuka mulut.
            Dikatakan bahwa dua pertiga dari anak-anak yang mengalami pelecehan seksual,
pelakunya adalah keluarga mereka sendiri. Ini tidak hanya meliputi orangtua kandung, namun
juga orangtua angkat, kekasih dari orangtua mereka, teman orangtua yang tinggal bersama,
maupun kakek, paman, bibi, sepupu, saudara laki-laki dan perempuan.
         Pelecehan seksual di dalam keluarga lebih cenderung untuk menjadi kronis, dapat bermula
segera setelah kelahiran dari sang anak dan berlanjut di masa kecil anak tersebut. Bagi beberapa
anak, pelecehan ini berlanjut hingga masa dewasa; seorang perempuan dapat membesarkan anak
dari ayahnya sendiri, dan turut berpartisipasi dalam kelanjutan pelecehan di generasi berikutnya.
Pelecehan seksual dalam keluarga, oleh sebab itu, lebih merupakan pola hubungan di mana
seluruh anggota keluarga ikut berpartisipasi dan batas-batas antar generasi sudah menjadi tidak

12
ada. Para dokter spesialis anak yang bekerja pada area ini harus waspada terhadap adanya siklus
pola pelecehan antar generasi.
          Ketika seorang nenek menyatakan bahwa anaknya tidak bersalah, hal ini mungkin
dilakukannya untuk melindungi anaknya, namun juga berarti bahwa mungkin sang nenek sedang
memikirkan seluruh keluarganya, termasuk dirinya sendiri, suaminya, sang paman dan bibi,
keponakan, yang mungkin merasa terancam dengan terungkapnya satu pelecehan seksual pada
salah satu anak di dalam keluarga. Untuk alasan inilah pelecehan seksual dalam keluarga menjadi
lebih sulit untuk diusut dan sering terjadi bahwa penyelidikan kasus pelecehan seksual dalam
keluarga berhubungan dengan anggota keluarga lainnya. Oliver Whiltshire (1983) melakukan
riset yang menunjukkan bahwa pelecehan dan penelantaran anak di dalam keluarga saling
berhubungan dan morbiditas serta mortalitas anak ditemukan pada keluarga tersebut.
b. Kekerasan seksual di luar keluarga (Extrafamilial abuse)

Mencakup kekerasan yang dilakukan oleh orang dewasa yang kenal dengan anak tersebut
dari berbagai sumber, seperti tetangga, teman, orangtua dari teman sekolah.
Banyak survei dalam komunitas yang menunjukkan bahwa kontak tubuh pada lingkup pelecehan
seksual di luar keluarga lebih sering terjadi daripada di dalam lingkup keluarga. Pelecehan ini
lebih sering ditemukan pada anak laki-laki.
          Batasan antara lingkup intrafamilial dan ekstrafamilial kadang menjadi kabur dan
pengenalan dari salah satunya sering mengantar pada yang lainnya. Seorang anak laki-laki yang
mengalami pelecehan seksual di rumah oleh ayahnya, mungkin secara tidak sadar membiarkan
dirinya berada dalam situasi yang berbahaya bersama dengan laki-laki lain, yang dapat
mengambil kesempatan untuk melakukan hal yang sama padanya jauh dari keluarganya.
         Pada pola pelecehan seksual di luar keluarga, pelaku biasanya orang dewasa yang dikenal
oleh sang anak dan telah membangun relasi dengan anak tersebut,  kemudian membujuk sang
anak ke dalam situasi dimana pelecehan seksual tersebut dilakukan, sering dengan memberikan
imbalan tertentu yang tidak didapatkan oleh sang anak di rumahnya. Sang anak biasanya tetap
diam karena bila hal tersebut diketahui mereka takut  akan memicu kemarah dari orangtua
mereka. Selain itu, beberapa orangtua kadang kurang peduli tentang di mana dan dengan siapa
anak-anak mereka menghabiskan waktunya. Anak-anak yang sering bolos sekolah cenderung
rentan untuk mengalami kejadian ini dan harus diwaspadai.

13
          Anak-anak dengan riwayat pelecehan seksual mengalami pengalaman yang buruk dan
menderita secara emosional maupun kesulitan tingkah laku. Anak-anak ini membutuhkan
bantuan setelah pelecehan seksual tersebut dideteksi dan dihentikan.
c. Institutional abuse

Kekerasan seksual dalam lingkup institusi tertentu seperti sekolah, tempat penitipan anak, kamp
berlibur, seperti kegiatan pramuka, dan organisasi lainnya.
d. Keluarga dengan anak yang mengalami pelecehan seksual

Beberapa karakteristik dari keluarga dengan anak yang mengalami pelecehan seksual
telah digambarkan. Keluarga tersebut, baik pada kasus incest maupun non-incest, memiliki
karakteristik yang kohesif, tidak terorganisir dengan baik, dan secara umum memiliki
disfungsional bila dibandingkan dengan keluarga lain yang tidak terdapat pelecehan seksual.
          Konteks keluarga yang berhubungan dengan pelecehan seksual ini antara lain adalah
dewasa yang juga pernah mengalami kekerasan pada masa kanak-kanaknya, termasuk kekerasan
dalam rumah tangga dan atau penggunaan alkohol, ketiadaan orangtua, hubungan yang tidak
baik dengan orangtua, adanya pelecehan seksual pada salah satu anggota keluarga, kurangnya
pengertian dalam keluarga, perceraian atau orangtua berpisah, dan pemindahan hak perawatan
anak. Dari kesemuanya ini, kekerasan dalam rumah tangga dan penyalahgunaan alkohol adalah
yang paling sering dilaporkan.

II.3 Perkosaan

 Pemerkosaan dalam kosakata bahasa Indonesia yang berarti “menundukkan dengan


kekerasan, memaksa dengan kekerasan atau menggagahi”. Berdasarkan pengertian
tersebut maka perkosaan mempunyai makna yang luas yang tidak hanya terjadi pada
hubungan seksual (sexual intercouse) tetapi dapat terjadi dalam bentuk lain seperti
pelanggaran hak asasi manusia yang lainnya.
 Menurut Soetardjo Wignjo Soebroto yang dimaksud dengan Pemerkosaan adalah suatu
usaha melampiaskan nafsu seksual seorang laki-laki terhadap seorang perempuan yang
menurut moral atau hukum yang berlaku adalah melanggar. Dalam pengertian demikian
bahwa apa yang dimaksud Pemerkosaan di satu pihak dapat dilihat sebagai suatu
perbuatan (yaitu perbuatan seorang secara paksa hendak melampiaskan nafsu

14
seksualnya) dan dilain pihak dapat dilihat sebagai suatu peristiwa pelanggaran norma
serta tertib sosial.

Menurut Dahlan,S.,2007 ,Tindak pidana kasus perkosaan di Indonesia harus memenuhi


berbagai unsur berikut :
 Unsur Pelaku :
1. Harus laki-laki
2. Mampu melakukan persetubuhan
 Unsur korban :
1. Harus perempuan
2. Bukan istri pelaku
 Unsur Perbuatan

Persetubuhan dengan paksa, pemaksaan tersebut harus dilakukan dengan


menggunakan kekerasan fisik atau ancaman kekerasan.

II.3.1 Faktor Penyebab Timbulnya Kekerasan Seksual (Perkosaan) Terhadap Anak


Secara umum dapat disebutkan bahwa faktor-faktor penyebab timbulnya
kejahatan dibagi dalam 2 (dua) bagian yaitu: faktor interna, dan faktor eksterna.11
- Faktor Interna

Faktor interna adalah faktor-faktor yang terdapat pada diri individu. Faktor ini
khusus dilihat dari individu serta dicari hal-hal yang mempunyai hubungan dengan kejahatan
perkosaan. Hal ini dapat ditinjau dari:
a) Faktor Kejiwaan, yakni kondisi kejiwaan atau keadaan diri yang tidak normal dari
seseorang dapat juga mendorong seseorang melakukan kejahatan. Misalnya, nafsu
seks yang abnormal, sehingga melakukan perkosaan terhadap korban wanita yang
tidak menyadari keadaan diri si penjahat, yakni sakit jiwa, psycho patologi dan aspek
psikologis dari instink-seksuil.

Dalam keadaan sakit jiwa, si penderita memiliki kelainan mental yang didapat baik
dari faktor keturunan maupun dari sikap kelebihan dalam pribadi orang tersebut,
sehingga pada akhirnya ia sulit menetralisir rangsangan seksual yang tumbuh dalam

15
dirinya dan rangsangan seksual sebagai energi psikis tersebut bila tidak diarahkan
akan menimbulkan hubungan- hubungan yang menyimpang dan dapat menimbulkan
korban pada pihak lain.
Sedangkan aspek psikologis sebagai salah satu aspek dari hubungan seksual adalah
aspek yang mendasari puas atau tidak puasnya dalam melakukan hubungan seksual
dengan segala eksesnya. Jadi bukanlah berarti dalam mengadakan setiap hubungan
seksual dapat memberikan kepuasan, oleh karena itu pula kemungkinan ekses-ekses
tertentu yang merupakan aspek psikologis tersebut akan muncul akibat ketidakpuasan
dalam melakukan hubungan seks. Dan aspek inilah yang dapat merupakan
penyimpangan hubungan seksual terhadap pihak lain yang menjadi korbannya. Orang
yang mengidap kelainan jiwa, dalam hal melakukan perkosaan cenderung melakukan
dengan sadis, sadisme ini terkadang juga termasuk misalnya melakukan di hadapan
orang lain atau melakukan bersama-sama dengan orang lain. Kemudian disamping
itu, zat-zat tertentu seperti alkohol dan penggunaan narkotika dapat juga membuat
seseorang yang normal melakukan perbuatan yang tidak normal.
Seseorang yang sudah mabuk akibat meminum minuman keras akan
berani melakukan tindakan yang brutal. Dalam kondisi jiwanya yang tidak stabil ia
akan mudah terangsang oleh hal-hal yang buruk termasuk kejahatan seksual.
b) Faktor Biologis. Di dalam kehidupannya manusia mempunyai berbagai macam
kebutuhan yang harus dipenuhi. Dalam memenuhi kebutuhan-kebutuhan tersebut,
manusia menciptakan aktivitasnya. Kebutuhan pada satu pihak merupakan apa yang
disebut motif dan pada ujung lain kebutuhan itu merupakan satu tujuan. Bila tujuan
itu tercapai, maka kebutuhan akan terpenuhi, mungkin hanya untuk sementara dan
merupakan batas penghentian aktivitasnya. Kebutuhan ini mungkin datangnya dari
dalam yang disebut dengan kebutuhan biologis atau kebutuhan organis.1

Witherington membagi kebutuhan biologis itu atas tiga jenis, yakini kebutuhan akan
makanan, kebutuhan seksuil dan proteksi7. Kebutuhan akan seksuil ini juga sama
dengan kebutuhan-kebutuhan yang lain yang menuntut pemenuhan.
Manusia memiliki hasrat seksual yang merupakan sifat dasar dalam individu yang
secara otomatis terbentuk sebagai akibat zat-zat hormon seks yang terdapat dalam diri
manusia. Dorongan seks ini sangat kuat dan dorongan ini menuntut untuk selalu

16
dipenuhi. Apabila kita tidak dapat mengendalikannya, maka akibatnya akan terjadi
kehilangan keseimbangan yang hal ini akan mempengaruhi gerak tingkah laku kita
masing- masing dalam aktivitas kehidupan kita sehari-hari. Pada tahap selanjutnya
jika kebutuhan akan seks ini tidak tersalurkan secara normal, maka dapat terjadi
penyimpangan-penyimpangan seperti halnya perkosaan. Kartini Kartono
mendeskripsikan latar belakang perkosaan: “Pada peristiwa perkosaan, sang
pemerkosa selalu disorong oleh nafsu-nafsu seks yang sangat kuat, dibarengi emosi-
emosi yang tidak dewasa dan tidak mapan. Biasanya dimuati oleh unsur kekejaman
dan sifat-sifat sadistis.”
Dia lebih menekankan faktor kriminogen perkosaan yang bersumber pada kesalahan
pelaku, yang gagal mengendalikan nafsu seksualnya. Hasrat seksualnya yang cukup
besar tidak diikuti dengan upaya pelampiasan yang dibenarkan secara hukum dan
agama. Ada potensi dalam diri pelakunya itu potensi distabilitas psikologis atau
ketidakseimbangan kejiwaan, sehingga mencoba mencari kompensasi dan
diagnosisnya melalui korban yang diperkosanya. Jadi faktor biologis dapat
merupakan salah satu sebab timbulnya kejahatan perkosaan.
c) Faktor Moral. Moral merupakan faktor penting untuk menentukan timbulnya
kejahatan. Moral sering disebut sebagai filter terhadap munculnya perilaku yang
menyimpang, sebab moral itu adalah ajaran tingkah laku tentang kebaikan-kebaikan
dan merupakan hal yang vital dalam menentukan tingkah laku. Dengan bermoralnya
seseorang maka dengan sendirinya dia akan terhindar dari segala perbuatan yang
tercela. Sedangkan orang yang tidak bermoral cenderung untuk melakukan
kejahatan.1

Pada kenyataannya, moral bukan sesuatu yang tidak bisa berubah, melainkan ada
pasang surutnya, baik dalam diri individu maupun masyarakat. Timbulnya
kasus-kasus perkosaan, disebabkan moral pelakunya yang sangat rendah. Dari kasus-
kasus tersebut banyak diantaranya terjadi, korbannya bukanlah orang asing lagi
baginya bahkan saudara dan anak kandung sendiri. Kasus-kasus tersebut memberi
kesan kepada kita bahwa pelakunya adalah orang-orang yang tidak bermoral sehingga
dengan teganya melakukan perbuatan yang terkutuk itu terhadap putri kandungnya

17
sendiri. Di lain kasus melakukan perbuatan yang tidak manusiawi itu secara
bersama-sama dan di hadapan teman-temannya tanpa adanya rasa malu.
Salah satu hal yang mempengaruhi merosotnya moral seseorang dipengaruhi oleh
kurangnya pendidikan agama. Agama merupakan unsur pokok dalam kehidupan
manusia yang merupakan kebutuhan spiritual yang sama. Norma-norma yang terdapat
di dalamnya mempunyai nilai yang tertinggi dalam hidup manusia. Sebab norma-
norma tersebut adalah norma-norma ketuhanan dan segala sesuatu yang digariskan
oleh agama adalah baik dan membimbing ke arah yang jalan yang baik dan benar,
sehingga bila manusia benar-benar mendalami dan mengerti isi agama, pastilah ia
akan menjadi manusia yang baik dan tidak akan berbuat hal-hal yang merugikan atau
kejahatan walaupun menghadapi banyak godaan.
- Faktor Eksterna

Faktor eksterna adalah faktor-faktor yang berada di luar diri si pelaku. Faktor
ekstern ini berpangkal pokok pada individu. Dicari hal-hal yang mempunyai hubungan
dengan kejahatan kesusilaan.12 Hal ini dapat ditinjau dari:
a) Faktor Sosial Budaya, meningkatnya kasus-kasus kejahatan kesusilaan atau
perkosaan terkait erat dengan aspek sosial budaya. Karena aspek sosial budaya
yang berkembang di tengah-tengah masyarakat itu sendiri sangat mempengaruhi naik
turunnya moralitas seseorang.

Suatu kenyataan yang terjadi dewasa ini, sebagai akibat pesatnya kemajuan ilmu
pengetahuan dan teknologi, maka tidak dapat dihindarkan timbulnya dampak negatif
terhadap kehidupan manusia. Akibat modernisasi tersebut, berkembanglah budaya
yang semakin terbuka pergaulan yang semakin bebas, cara berpakaian kaum hawa
yang semakin merangsang, dan kadang- kadang dan berbagai perhiasan yang mahal,
kebiasaan bepergian jauh sendirian, adalah faktor- faktor dominan yang
mempengaruhi tingginya frekuensi kasus perkosaan.
Aspek sosial budaya yang berkembang di tengah-tengah masyarakat dapat
mempengaruhi tinggi rendahnya moralitas masyarakat. Bagi orang yang mempunyai
moralitas tinggi atau iman yang kuat dapat mengatasi diri sehingga tidak
diperbudak oleh hasil peradaban tersebut, melainkan dapat menyaringnya dengan

18
menyerap hal-hal yang positif. Salah satu contoh faktor sosial budaya yang dapat
mendukung timbulnya perkosaan adalah remaja yang berpacaran sambil menonton
film porno tanpa adanya rasa malu. Kebiasaan yang demikian pada tahap
selanjutnya akan mempengaruhi pikiran si pelaku. Sehingga dapat mendorongnya
untuk menirukan adegan yang dilihatnya, maka timbul kejahatan kesusilaan
dengan berbagai bentuknya dan salah satu diantaranya adalah kejahatan perkosaan.
b) Faktor Ekonomi. Kondisi perekonomian juga dapat merupakan satu sebab seseorang
melakukan kejahatan kesusilaan atau perkosaan. Keadaan ekonomi yang sulit akan
membawa orang kepada pendidikan yang rendah dan pada tahap selanjutnya
membawa dampak kepada baik atau tidak baiknya pekerjaan yang diperoleh. Secara
umum, orang yang memiliki tingkat pendidikan yang rendah cenderung mendapat
pekerjaan yang tidak layak. Keadaan yang demikian menyebabkan seseorang dapat
kehilangan kepercayaan diri dan menimbulkan jiwa yang apatis, frustasi serta
hilangnya respek atas norma-norma yang ada di sekitarnya.

Keadaan perekonomian merupakan faktor yang secara langsung maupun tidak


langsung akan mempengaruhi pokok-pokok kehidupan masyarakat. Keadaan ini
mempengaruhi pula cara-cara kehidupan seseorang. Dalam kondisi-kondisi
pergolakan mudah sekali terjadi karena inalitas yang disebabkan adanya
ketegangan maupun insecurity pada masyarakatnya, misalnya: penghasilan sosial
yang rendah, keadaan perumahan yang buruk, dan sebagainya, kurang atau tidak
mendapat perhatian. Akibatnya akan kita jumpai peningkatan kriminalitas umumya.
Hal-hal yang berhubungan dengan masalah perekonomian adalah antara lain
urbanisasi. Dalam negara yang sedang berkembang ke arah negara modern, terjadi
perubahan dalam masyarakat. Salah satu perubahan tersebut adalah urbanisasi.
Urbanisasi ini dapat menimbulkan hal-hal yang positif dan negatif. Dampak negatif
yang dari urbanisasi adalah adanya pengangguran. Dapat dipastikan bahwa timbulnya
niat jahat akan lebih besar karena menganggur dibanding sebaliknya.
Situasi seperti tersebut di atas pada akhirnya juga merembet dalam hal pemenuhan
kebutuhan biologisnya. Sebahagian dari mereka yang tidak mampu menyalurkan
hasrat seksnya tersebut pada wanita tuna susila, akan menyalurkan dalam bentuk
onani, sedangkan yang lain mencari kesempatan untuk dapat melakukan hubungan

19
seksual secara langsung yaitu dengan jalan pintas mengintai korban untuk dijadikan
pelampiasan hasrat seksualnya tersebut. Pada akhirnya timbullah apa yang disebut
dengan kejahatan seksual dengan berbagai bentuknya, dan salah satu diantaranya
adalah kejahatan perkosaan.
Tetapi sebaliknya golongan orang yang berada atau kaya tidak tertutup melakukan
kejahatan susila, akibat kekayaannya sendiri. Perkosaan yang terjadi di hotel atau di
tempat- tempat penginapan tentu membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Dan di
dalam melakukan niatnya tersebut tidak jarang si pelaku yang berasal dari golongan
yang berada mempergunakan alat perangsang yang kesemuanya ini diperoleh dengan
uang yang tidak sedikit.
c) Faktor Media Massa. Media massa merupakan sarana informasi di dalam kehidupan
sosial, misalnya seperti surat kabar, majalah, televisi dan sebagainya itu merupakan
juga alat kontrol yang memegang peranan penting di dalam kehidupan bermasyarakat.

Surat kabar berisikan publikasi yang memberitakan informasi kepada masyarakat


tentang kejadian-kejadian atau peristiwa-peristiwa dalam kehidupan sehari-hari.
Akan tetapi ada kemungkinan pemberitaan surat kabar menjadi faktor terjadinya
kejahatan.12
Hal ini dapat dipahami, karena sering pemberitaan surat kabar sedemikian
rupa sehingga sering penjahat dibeberkan sebagai pahlawan karena berhasil melarikan
diri dari pengejaran penegak hukum, sehingga seorang yang telah bermental jahat
meniru penjahat tersebut.
Demikian juga pemberitaan tentang kejahatan perkosaan yang serimg diberitahukan
secara terbuka dan didramatisasi digambarkan tentang kepuasan pelaku. Hal seperti ini
dapat merangsang para pembaca khususnya para orang yang bermental jahat
yang dapat menimbulkan ide baginya untuk melakukan perkosaan. Banyak hal-hal
yang memungkinkan anak menjadi korban pelampiasan seks orang- orang dewasa yang
seharusnya melindunginya. Alat media massa yang paling besar pengaruhnya terhadap
timbulnya kejahatan kesusilaan atau perkosaan adalah pemutaran film-film porno,
kaset video porno dan beredarnya bacaan-bacaan porno yang menimbulkan hasrat seks
bagi yang melihat dan mendengarnya.
II.4 Tanda Persetubuhan

20
Tanda penetrasi biasanya hanya jelas ditemukan pada korban yang masih kecil
atau belum pernah melahirkan atau multipara. Pada korban-korban ini penetrasi dapat
menyebabkan terjadinya robekan selaput dara sampai ke dasar pada lokasi pukul 5 sampai 7,
luka lecet, memar sampai luka robek baik di daerah liang vagina, bibir kemaluan maupun
daerah perineum. Adanya penyakit keputihan akibat jamur Candida misalnya dapat
menunjukan adanya erosi yang dapat disalah artikan sebagai luka lecet oleh pemeriksa yang
kurang berpengalaman. Tidak ditemukannya luka-luka tersebut pada korban yang bukan
multipara tidak menyingkirkan kemungkinan adanya penetrasi. Tanda ejakulasi bukanlah
tanda yang harus ditemukan pada persetubuhan, meskipun adanya ejakulasi memudahkan
kita secara pasti menyatakan bahwa telah terjadi persetubuhan. Ejakulasi dibuktikan dengan
pemeriksaan ada tidaknya sperma dan komponen cairan mani.
1. Menentukan adanya tanda-tanda persetubuhan
a. Tanda-tanda fisik, antara lain memar pada alat kelamin, robeknya hymen, bercak
darah, cairan sperma, nyeri perineal, iritasi kencing, penyakit kelamin, nyeri serta
perdarahan anus dan sakit kerongkongan tanpa penyebab jelas bisa merupakan
indikasi seks oral.
b. Tanda perilaku emosional dan sosial, antara lain sangat takut kepada siapa saja atau
pada tempat tertentu atau orang tertentu, perubahan kelakuan yang tiba-tiba,
gangguan tidur (susah tidur, mimpi buruk, dan ngompol), menarik diri atau depresi,
serta perkembangan terhambat.

II.5 Faktor yang Mempengaruhi Pembuktian Persetubuhan


Persetubuhan adalah suatu peristiwa dimana terjadi penetrasi ke dalam vagina, penetrasi
tersebut dapat lengkap atau tidak lengkap dan dengan atau tanpa diserrtai ejakulasi.
Dengan demikian hasil dari upaya pembuktian adanya persetubuhan dipengaruhi oleh
berbagai factor antara lain :
1. Besarnya penis dan derajat penitrrasinya
2. Bentuk dan elastisitas selaput dara ( hymen)
3. Ada tidaknya ejakulasi dan keadaan ejakulasi itu sendiri
4. Posisi persetubuhan
5. Keaslian barang bukti serta waktu pemeriksaan

Pemeriksaan harus dilakukan sesegera mungkin sebab dengan berlangsungnya waktu


tanda – tanda persetubuhan akan menghilang dengan sendirinya. Sebelum dilakukan

21
pemeriksaan, dokter hendaknya mendapat izin tertulis dari pihak – pihak yang diperiksa. Jika
korban adalah seorang anak izin dapat diminta dari orang tua atau walinya.

II.6 Anamnesis

Pada korban kekerasan seksual, anamnesis harus dilakukan dengan bahasa awam yang

mudah dimengerti oleh korban.Anamnesis dapat dibagi dalam anamnesis umum dan khusus.

Pada anamnesis umum dapat ditanyakan :

- Umur atau tanggal lahir,

- Status pernikahan,

- Riwayat paritas dan/atau abortus,

- Riwayat haid (menarche, hari pertama haid terakhir, siklus haid),

- Riwayat koitus (sudah pernah atau belum, riwayat koitus sebelum dan/atau setelah

kejadian kekerasan seksual, dengan siapa, penggunaan kondom atau alat kontrasepsi

lainnya),

- Penggunaan obat-obatan (termasuk NAPZA),

- Riwayat penyakit (sekarang dan dahulu), serta

- Keluhan atau gejala yang dirasakan pada saat pemeriksaan.

Pada anamnesis khusus mencakup keterangan yang terkait kejadian kekerasan seksual

yang dilaporkan dan dapat menuntun pemeriksaan fisik, seperti8:

• What &How:

- Jenis tindakan (pemerkosaan, persetubuhan, pencabulan, dan sebagainya),

- Adanya kekerasan dan/atau ancaman kekerasan, serta jenisnya,

- Adanya upaya perlawanan,

22
- Apakah korban sadar atau tidak pada saat atau setelah kejadian,

- Adanya pemberian minuman, makanan, atau obat oleh pelaku sebelum atau setelah

kejadian,

- Adanya penetrasi dan sampai mana (parsial atau komplit),

- Apakah ada nyeri di daerah kemaluan,

- Apakah ada nyeri saat buang air kecil/besar,

- Adanya perdarahan dari daerah kemaluan,

- Adanya ejakulasi dan apakah terjadi di luar atau di dalam vagina, penggunaan kondom,

dan tindakan yang dilakukan korban setelah kejadian, misalnya apakah korban sudah

buang air, tindakan membasuh/douching, mandi, ganti baju, dan sebagainya.

• When:

- Tanggal dan jam kejadian, bandingkan dengan tanggal dan jam melapor, dan

- Apakah tindakan tersebut baru satu kali terjadi atau sudah berulang.

• Where:

- Tempat kejadian, dan

- Jenis tempat kejadian (untuk mencari kemungkinan trace evidence dari tempat kejadian

yang melekat pada tubuh dan/atau pakaian korban).

• Who:

- Apakah pelaku dikenal oleh korban atau tidak,

- Jumlah pelaku,

- Usia pelaku, dan

- Hubungan antara pelaku dengan korban

23
II.6.1 Anamnesis pada Anak

 Anamnesis dilakukan autoanamnesis atau alloanamnesis. Gunakan alat bantu untuk menjalin

hubungan akrab dengan korban, seperti: boneka, alat tulis atau gambar.

 Perhatikan sikap korban dan pengantar (apakah korban terlihat dikontrol atau ditekan dalam

memberikan jawaban)

 Melengkapi rekam medis dan identitas dokter pemeriksa, pengantar, tanggal, tempat dan

waktu pemeriksaan serta identitas korban. Menanyakan perkembangan seks dan hubungan

seks terakhir, siklus haid terakhir dan apakah masih haid saat kejadian

 Kronologis urutan kejadian

 Gali informasi tentang:

- Adakah perubahan perilaku anak setelah mengalami trauma, seperti: mimpi buruk, susah

tidur, murung, agresif dan suka menyendiri

- Keadaan kesehatan setelah trauma

- Adakah riwayat seperti ini sebelumnya

- Adakah riwayat penyakit dan masalah perilaku sebelumnya

 Apabila ditemukan amnesia, lakukan konseling atau rujuk bila memerlukan intervensi dari

psikiatri

II.6.2 Anamnesis pada Dewasa

 Anamnesis diperoleh baik dari korban maupun pengantar. Anamnesis dilakukan dalam

ruangan terpisah.

 Perhatikan sikap korban dan pengantar (apakah korban terlihat dikontrol atau ditekan dalam

memberikan jawaban)

24
 Melengkapi rekam medis dan identitas dokter pemeriksa, pengantar, tanggal, tempat dan

waktu pemeriksaan serta identitas korban. Menanyakan perkembangan seks dan hubungan

seks terakhir, siklus haid terakhir dan apakah masih haid saat kejadian

 Kronologis urutan kejadian

 Gali informasi tentang:

- Adakah perubahan perilaku anak setelah mengalami trauma, seperti: mimpi buruk, susah

tidur, murung, agresif dan suka menyendiri

- Keadaan kesehatan setelah trauma

- Adakah riwayat seperti ini sebelumnya

- Adakah riwayat penyakit dan masalah perilaku sebelumnya

 Apabila ditemukan amnesia, lakukan konseling atau rujuk bila memerlukan intervensi dari

psikiatri

II.7 Pemeriksaan Umum dan Khusus


Saat melakukan pemeriksaan fisik, gunakan prinsip “top-to-toe”. Artinya, pemeriksaan

fisik harus dilakukan secara sistematis dari ujung kepala sampai ke ujung kaki. Pelaksanaan

pemeriksaan fisik juga harus memperhatikan keadaan umum korban. Apabila korban tidak sadar

atau keadaan umumnya buruk, maka pemeriksaan untuk pembuatan visum dapat ditunda dan

dokter fokus untuk ”life-saving” terlebih dahulu.

Pemeriksaan fisik berupa pemeriksaan fisik umum dan khusus, pemeriksaan umum

meliputi :

- Keadaan Umum : Tingkat kesadaran, penampilan secara keseluruhan, keadaan

emosional (tenang, sedih / gelisah)

- Tanda vital
25
- Periksa gigi-geligi (pertumbuhan gigi ke 7 & 8)

- Pada persetubuhn oral, periksa lecet, bintik perdarahan /memar pada palatum, lakukan

swab pada laring dan tonsil

- Perkembangan seks sekunder (pertumbuhan mammae, rambut axilla dan rambut pubis)

- Jika pada baju ada bercak mani (kaku), bila mungkin pakaian diminta, masukkan dalam

amplop

- Tanda-tanda intoksikasi NAPZA, serta status lokalis dari luka-luka yang terdapat pada

bagian tubuh selain daerah kemaluan.

Untuk mempermudah pencatatan luka-luka, dapat digunakan diagram tubuh seperti pada gambar

Gambar 1. Diagram tubuh manusia untuk pencatatan luka

Pemeriksaan fisik khusus bertujuan mencari bukti-bukti fisik yang terkait dengan tindakan

kekerasan seksual yang diakui korban, prosedurnya meliputi :

- Posisi litotomi

26
Gambar 2. Posisi “Frog-leg” untuk melakukan pemeriksaan genitalia external.
Apabila anak tiba-tiba cemas, maka pemeriksaan dapat dilakukan dengan anak duduk di
pangkuan pengasuh (gambar 2).

Gambar 3. Pemeriksaan dilakukan dengan anak duduk di pangkuan pengasuh

Gambar 4. Pemeriksaan dengan posisi tengkurap “knee chest”.

- Periksa daerah pubis (kemaluan bagian luar), yaitu adanya perlukaan pada jaringan lunak

atau bercak cairan mani;

- Periksa luka-luka sekitar vulva, perineum dan paha (adanya perlukaan pada jaringan

lunak, bercak cairan mani)

- Jika ada bercak, kerok dengan skalpel dan masukkan dalam amplop

- Rambut pubis disisir, rambut yang lepas dimasukkan dalam amplop

- Jika ada rambut pubis yang menggumpal, gunting dan masukkan dalam amplop, cabut 3-

10 lembar rambut dan masukkan dalam amplop lain

27
- Labia mayora dan minora (bibir kemaluan besar dan kecil), apakah ada perlukaan pada

jaringan lunak atau bercak cairan mani;

- Vestibulum dan fourchette posterior (pertemuan bibir kemaluan bagian bawah), apakah

ada perlukaan;

- Hymen (selaput dara), catat bentuk, diameter ostium, elastisitas atau ketebalan, adanya

perlukaan seperti robekan, memar, lecet, atau hiperemi). Kebanyakan korban, pada

pemeriksaan, didapatkan temuan dalam batas normal atau tidak spesifik. Beberapa

temuan berupa (1) hymenal tags, (2) bumps atau (3) Adesi labia Clefts/notches pada

bagian setengah depan hymen posisi jam 9- dan jam 3- dari hymen, (4) Vaginal

discharge, (5) Genital/anal erythema, (6) Perianal skin tags, (7) Anal fissures, dan (8)

Dilatasi anal dilatation dengan adanya feses tertahan di ampulla. Beberapa temuan

pemeriksaan fisik yang dapat menjadi pertimbangan namun bukan untuk mendiagnosis

kekerasan seksual antara lain: (1) Notches/clefts pada bagian posterior hymen

dikonfirmasi, (2) Condylomata acuminata pada anak 2 tahun atau lebih tanpa riwayat

kontak seksual, (3) Immediate, marked dilatasi anal, dan (4) Anal scarring. Adapun

temuan pemeriksaan fisik yang dapat menjadi dasar diagnosis adanya trauma penetrasi

antara lain: (1) Lacerasi akut dan ekimosis hymen, (2) Tidak didapatkan jaringan hymen

pada berbagai posisi bagian posterior (3) Perbaikan transeksi hymen, (4) Laserasi anal,

dan (5) Kehamilan tanpa riwayat consensual intercourse.

28
Gambar 5. Variasi hymen normal (a) crescentic, (b) annular, (c) collar/cuffl-like
- Apabila ditemukan robekan hymen, catat jumlah robekan, lokasi dan arah robekan

(sesuai arah pada jarum jam, dengan korban dalam posisi litotomi), apakah robekan

mencapai dasar (insersio) atau tidak, dan adanya perdarahan atau tanda penyembuhan

pada tepi robekan;

Gambar 6. Robekan Hymen

29
GAMBAR 5 Jaringan granulasi pada selaput dara pada posisi jam 5 pada remaja berusia 17

tahun.

GAMBAR 6 Celah selaput dara yang dalam dan area dari jaringan selaput dara yang tidak ada
pada seorang gadis berusia 7 tahun

- Swab daerah vestibulum, buat sediaan hapus

- Vagina (liang senggama), cari perlukaan dan adanya cairan atau lendir;

- Serviks dan portio (mulut leher rahim), cari tanda-tanda pernah melahirkan dan adanya

cairan atau lendir;

- Uterus (rahim), periksa apakah ada tanda kehamilan;

- Anus (lubang dubur) dan daerah perianal, apabila ada indikasi berdasarkan anamnesis;

30
Gambar 7. Laserasi anal

- Mulut, apabila ada indikasi berdasarkan anamnesis,

- Daerah-daerah erogen (leher, payudara, paha, dan lain-lain), untuk mencari bercak mani

atau air liur dari pelaku; serta

- Tanda-tanda kehamilan pada payudara dan perut

- Tanda kehilangan kesadaran (pemberian obat tidur / bius) needle marks indikassi

pemeriksaan darah dan urin

Kesulitan utama yang umumnya dihadapi oleh dokter pemeriksa adalah pemeriksaan

selaput dara. Bentuk dan karakteristik selaput dara sangat bervariasi. Pada jenis-jenis selaput

dara tertentu, adanya lipatan-lipatan dapat menyerupai robekan. Karena itu, pemeriksaan selaput

dara dilakukan dengan traksi lateral dari labia minora secara perlahan, yang diikuti dengan

penelusuran tepi selaput dara dengan lidi kapas yang kecil untuk membedakan lipatan dengan

robekan.Pada penelusuran tersebut, umumnya lipatan akan menghilang, sedangkan robekan tetap

tampak dengan tepi yang tajam.

1. Penetrasi penis ke dalam vagina dapat mengakibatkan robekan selaput dara atau bila

dilakukan dengan kasar dapat merusak selaput lendir daerah vulva dan vagina ataupun

31
laserasi, terutama daerah posterior fourchette. Robekan selaput dara akan bermakna jika

masih baru, masih menunjukan adanya tanda kemerahan disekitar robekan. Pada

beberapa korban ada yang memiliki selaput dara yang elastis sehingga tidak mudah

robek. Pembuktian persetubuhan akan menghadapi kendala jika : korban dengan selaput

dara yang sebelumnya telah robek lama, korban diperiksa sudah lama, korban yang

memiliki selaput dara elastis, penetrasi yang tidak lengkap.

Pemeriksaan fisik normal Pemeriksaan fisik yang Pemeriksaan fisik


dan tidak spesifik mengarah ke sexual abuse diagnostik dengan trauma
penetrasi
Hymenal tags Notches/clefts pada bagian Lacerasi akut dan ekimosis
Hymenal bumps/mounds posterior hymen hymen
Adesi labia dikonfirmasi Tidak didapatkan jaringan
Clefts/notches pada bagian Condylomata acuminata hymen pada berbagai
setengah depan hymen pada anak 2 tahun atau lebih posisi bagian posterior
Vaginal discharge tanpa riwayat kontak Perbaikan transeksi hymen
Genital/anal erythema seksual Laserasi anal
Perianal skin tags Immediate, marked dilatasi Kehamilan tanpa riwayat
Anal fissures anal consensual intercourse
Dilatasi anal dilatation Anal scarring
dengan adanya feses
tertahan di ampulla

Menentukan ada tidaknya persetubuhan:

 Tanda langsung

- Adanya robekan selaput dara

- Luka lecet atau memar di lliang senggama

32
- Ditemukan sperma

 Tanda tidak langsung

- Kehamilan

- Penyakit hubungan seksual

II.8 Pemeriksaan Korban

II.8.a. Pemeriksaan tubuh

Pemeriksaan dilakukan pada selaput dara, apakah ada ruptur atau tidak. Bila

ada, tentukan ruptur baru atau lama dan catat lokasi ruptur tersebut, teliti apakah

sampai ke insertio atau tidak. Tentukan besar orifisium, sebesar ujung jari

kelingking, jari telunjuk, atau dua jari. Sebagai gantinya dapat juga ditentukan

ukuran lingkaran orifisium, dengan cara ujung kelingking atau telunjuk dimasukkan

dengan hati-hati ke dalam orifisium sampai terasa tepi selaput dara menjepit ujung

jari, beri tanda pada sarung tangan dan lingkaran pada titik itu diukur. Ukuran pada

seorang perawan kira-kira 2,5 cm. Lingkaran yang memungkinkan persetubuhan

dapat terjadi menurut Voight adalah minimal 9 cm.14

Harus diingat bahwa tidak terdapatnya robekan pada selaput dara, tidak dapat

dipastikan bahwa pada wanita tidak terjadi penetrasi; sebaliknya adanya robekan

pada selaput dara hanya merupakan pertanda adanya suatu benda (penis atau benda

lain yang masuk ke dalam vagina.

Apabila pada persetubuhan tersebut disertai dengan ejakulasi dan ejakulat

tersebut mengandung sperma, maka adanya sperma di dalam liang vagina

merupakan tanda pasti adanya persetubuhan. Apabila ejakulat tidak mengandung

33
sperma, maka pembuktian adanya persetubuhan dapat diketahui dengan melakukan

pemeriksaan terhadap ejakulat tersebut.

Komponen yang terdapat di dalam ejakulat dan dapat diperiksa adalah: enzim

asam fosfatase, kolin dan spermin. Baik enzim asam fosfatase, kolin maapun

spermin bila dibandingkan dengan sperma nilai pembuktiannya lebih rendah oleh

karena ketiga komponen tersebut tidak spesifik. Walaupun demikian enzim

fosfatase masih dapat diandalkan, karena kadar asam fosfatase yang terdapat dalam

vagina (berasal dari wanita itu sendiri), kadarnya jauh lebih rendah bila

dibandingkan dengan asam fosfatase yang berasal dari kelenjar fosfat.

Dengan demikian apabila pada kejahatan seksual yang disertai dengan

persetubuhan itu tidak sampai berakhir dengan ejakulasi, dengan sendirinya

pembuktian adanya persetubuhan secara kedokteran forensik tidak mungkin dapat

dilakukan secara pasti. Sebagai konsekuensinya, dokter tidak dapat secara pasti pula

menentukan bahwa pada seorang wanita tidak terjadi persetubuhan; maksimal

dokter harus mengatakan bahwa pada diri wanita yang diperiksanya itu tidak

ditemukan tanda-tanda persetubuhan, yang mencakup dua kemungkinan: pertama,

memang tidak ada persetubuhan dan yang kedua persetubuhan ada tapi tanda-

tandanya tidak dapat ditemukan.

Apabila persetubuhan telah dapat dibuktikan secara pasti maka perkiraan saat

terjadinya persetubuhan harus ditentukan; hal ini menyangkut masalah alibi yang

sangat penting di dalam proses penyidikan.

Dalam waktu 4-5 jam postkoital sperma di dalam liang vagina masih dapat

bergerak; sperma masih dapat ditemukan namun tidak bergerak sampai sekitar 24-

34
36 jam postkoital, dan masih dapat ditemukan sampai 7-8 hari bila wanita yang

menjadi korban meninggal. Perkiraan saat terjadinya persetubuhan juga dapat

ditentukan dari proses penyembuhan selaput dara yang robek. Pada umumnya

penyembuhan tersebut dicapai dalam waktu 7-10 hari postkoital.

II.8.b. Pemeriksaan pakaian

Dalam hal pembuktian adanya persetubuhan, pemeriksaan dapat dilakukan

pada pakaian korban untuk menentukan adanya bercak ejakulat. Dari bercak

tersebut dapat dilakukan pemeriksaan lebih lanjut untuk memastikan bahwa bercak

yang telah ditemukan adalah air mani serta dapat menentukan adanya sperma.

II.9 Pemeriksaan Pelaku

II.9.a. Pemeriksaan tubuh

Untuk mengetahui apakah seorang pria baru melakukan persetubuhan, dapat

dilakukan pemeriksaan ada tidaknya sel epitel vagina pada glans penis. Perlu juga

dilakukan pemeriksaan sekret uretra untuk menentukan adanya penyakit kelamin.14

II.9.b. Pemeriksaan pakaian

Pada pemeriksaan pakaian, catat adanya bercak semen, darah, dan

sebagainya. Bercak semen tidak mempunyai arti dalam pembuktian sehingga tidak

perlu ditentukan. Darah mempunyai nilai karena kemungkinan berasal dari darah

deflorasi. Di sini penentuan golongan darah penting untuk dilakukan. Trace

evidence pada pakaian yang dipakai ketika terjadi persetubuhan harus diperiksa.

Bila fasilitas untuk pemeriksaan tidak ada, kirim ke laboratorium forensik di

kepolisian atau bagian Ilmu Kedokteran Forensik, dibungkus, segel, serta dibuat

berita acara pembungkusan dan penyegelan.

35
II.10 Pembuktian Kekerasan

Tidak sulit untuk membuktikan adanya kekerasan pada tubuh wanita yang menjadi

korban. Dalam hal ini perlu diketahui lokasi luka-luka yang sering ditemukan, yaitu di daerah

mulut dan bibir, leher, puting susu, pergelangan tangan, pangkal paha serta di sekitar dan

pada alat genital.

Luka-luka akibat kekerasan seksual biasanya berbentuk luka lecet bekas kuku, gigitan

(bite marks) serta luka-luka memar.

Sepatutnya diingat bahwa tidak semua kekerasan meninggalkan bekas atau jejak

berbentuk luka. Dengan demikian, tidak ditemukannya luka tidak berarti bahwa pada wanita

korban tidak terjadi kekerasan itulah alasan mengapa dokter harus menggunakan kalimat

tanda-tanda kekerasan di dalam setiap Visum et Repertum yang dibuat, oleh karena tidak

ditemukannya tanda-tanda kekerasan mencakup dua pengertian: pertama, memang tidak ada

kekerasan, dan yang kedua kekerasan terjadi namun tidak meninggalkan bekas (luka) atau

bekas tersebut sudah hilang.

Tindakan pembiusan serta tindakan lainnya yang menyebabkan korban tidak berdaya

merupakan salah satu bentuk kekerasan. Dalam hal ini perlu dilakukan pemeriksaan untuk

menentukan adanya racun atau obat-obatan yang kiranya dapat membuat wanita tersebut

pingsan; hal tersebut menimbulkan konsekuensi bahwa pada setiap kasus kejahatan seksual,

pemeriksaan toksikologik menjadi prosedur yang rutin dikerjakan.

II.11Kendala Pembuktian Dalam Kasus Perkosaan

Dalam system peradilan yang dianutnegara kita, seorang hakim tidak dapat

menjatuhkan hukuman kepada seseorang terdakwa kecuali dengan sekurangnya dua alat

bukti yang sah ia merasa yakin bahwa tindak pidana itu memang telah terjadi (pasal 183

36
KUHAP). Sedang yang dimaksud dengan alat bukti yang sah adalah keterangan saksi,

keterangan ahli, surat, petunjuk, dan keterangan terdakwa (pasal 184 KUHAP). Berdasarkan

hal tersebut di atas, maka pada suatu kasus perkosaan dan kejahatan seksual lainnya perlu

diperjelas keterkaitan antara:

1) Bukti-bukti yang ditemukan di tempat kejadian perkara

2) Pada tubuh atau pakaian korban

3) Pada tubuh atau pakaian pelaku

4) Pada alat yang digunakan pada kejahatan ini (yaitu penis)

Keterkaitan antara berbagai faktor inilah yang sering dijabarkan dan merupakan salah

satu hal yang dapat menimbulkan keyakinan hakim. Pada banyak kasus perkosaan

keterkaitan empat faktor ini tidak jelas atau tidak dapat ditemukan sehingga mengakibatkan

tidak timbul keyakinan pada hakim yang bermanifestasi dalam bentuk suatu hukuman yang

ringan dan sekadarnya. Beberapa hal yang dapat mengakibatkan terjadinya hal ini adalah

sebagai berikut:

a. Masalah keutuhan barang bukti

Seorang korban perkosaan setelah kejadian yang memalukan tersebut umumnya akan merasa

jijik dan segera mandi atau mencuci dirinya bersih-bersih. Sprei yang mengandung bercak

mania tau darah seringkali telah dicuci dan diganti dengan sprei yang baru sebelum penyidik

tiba di TKP. Lantai yang mungkin mengandung benda bukti telah disapu dan dipel terlebih

dahulu agar “rapi” kelihatannya bila polisi datang. Ketika korban akan dibawa ke dokter

untuk diperiksa dan berobat seringkali ia mandi dan/atau mengganti pakaiannya terlebih

dahulu dengan yang baru dan masih bersih. Hal-hal semacam ini tanpa disadari akan

menyebabkan hilangnya banyak benda bukti seperti cairan/bercak mani, rambut pelaku,

37
darah pelaku, dan lain-lain yang diperlukan untuk pembuktian di pengadilan. Adanya

keterlambatan korban untuk melapor ke polisi karena perasaan malu dan ragu-ragu juga

menyebabkan hilangnya benda butki karena berlalunya waktu.

b. Masalah tehnis pengumpulan barang butki

Pengolahan TKP dan tehnik pengambilan barang bukti merupakan hal amat mempengaruhi

pengambilan kesimpulan. Pada suatu kejadian perkosaan dengan kejahatan seksual lainnya

penyidik mencari sebanyak mungkin benda bukti yang mungkin ditinggalkan di TKP seperti

adanya sidik jari, rambut, bercak mani pada lantai, sprei atau kertas tissue di tempat sampah,

dsb. Tidak dilakukannya pencarian benda bukti, baik akibat kurangnya pengetahuan, kurang

pengalaman atau kecerobohan, dapat mengakibatkan hilangnya banyak data yang penting

untuk pengungkapan kasus. Pada pemeriksaan terhadap tubuh korban cara pengambilan

sampel usapan vaginal yang salah juga dapat menyebabkan hasil negatif palsu. Pada

pemeriksaan persetubuhan dengan melalui anus (sodomi) pengambilan bahan usapan dengan

kapas lidi bukan dilakukan dengan pencolokan lidi ke dalam liang anus saja tetapi harus

dilakukan juga pada sela-sela lipatan anus, karena pada pengambilan pertama akan

didapatkan umumnya tinja dan bukan sperma. Adanya bercak mani pada kulit, bulu

kemaluan korban yang menggumpal atau pakaian korban, adanya rambut di sekitar bulu

kemaluan korban, adanya bercak darah atau epitel kux`lit pada kuku jari (jika korban sempat

mencakar pelaku) adanya hal-hal yang tidak boleh dilewatkan pada pemeriksaan.

c. Masalah tehnis pemeriksaan forensik dan laboratorium

Kemampuan pemeriksaan pusat pelayanan perkosaan berbeda-beda dari satu tempat ke

tempat lain. Suatu klinik yang tidak melakukan pemeriksaan sperma sama sekali tentu tak

dapat membedakan antara robekan selaput dara atau robekan akibat benda tumpul pada

38
masturbasi. Klinik yang hanya dapat melakukan pemeriksaan sperma langsung saja tentu tak

dapat membedakan tidak adanya persetubuhan dengan persetubuhan dengan ejakulasi dari

orang yang tidak memiliki sel sperma (pasca vasektomi/ mandul tanpa sel sperma). Suatu

klinik yang hanya dapat melakukan pemeriksaan sperma dengan uji fosfatase asam saja

misalnya tentu hanya dapat menghasilkan hasil yang terbatas: ini pasti bukan sperma atau ini

mungkin sperma. Tetapi jika klinik tersebut juga melakukan pemeriksaan lain seperti uji

PAN, Berberio, Florence, pewarnaan Baechi atau Malachite green maka kesimpulan yang

dapat ditariknya adalah: pasti sperma, cairan mani tanpa sperma (pelakunya mandul tanpa sel

sperma atau sudah disterilisasi) atau pasti bukan sperma. Pemeriksaan pada kasus perkosaan

untuk pencarian pelaku dilakukan dengan pemeriksaan pada bahan rambut atau bercak

cairan mani, bercak/cairan darah atau kerokan kuku. Pemeriksaan yang dilakukan

diantaranya adalah pemeriksaan pola permukaan luar (kutikula) rambut, pemeriksaan

golongan darah dan pemeriksaan sidik DNA. Pemeriksaan sidik DNA yang dilakukan pada

bahan yang berasal dari usapan vagina korban bukan saja dapat mengungkapkan pelaku

perkosaan secara pasti, tetapi juga dapat mendeteksi jumlah pelaku pada kasus perkosaan

dengan banyak pelaku (salome).

Pemeriksaan golongan darah dengan sidik DNA atas bahan kerokan kuku (jika korban

sempat mencakar) juga dapat diggunakan untuk mencari pelakunnya. Jika hanya

pemeriksaan golongan darah yang akan dilakukan pada bahan usapan vagina, maka bahan

liur dari korban dan tersangka pelaku perlu juiga diperiksa golongan darahnya untuk

menentukan golongan sekretor atau non sekretor. Orang yang termasuk golongan sekretor

(sekitar 85% dari populasi) pada cairan tubuhnya terdapat substansi golongan darah.

Kelompok orang ini jika melakukan perkosaan akan meninggalkan cairan mani dan golongan

39
darahnya sekaligus pada tubuh korban. Sebaliknya orang yang termasuk golongan non

sekretor (15% dari populasi) jika memperkosa hanya akan meninggalkan cairan mani saja

tanpa golongan darah. Dengan demikian jika pada tubuh korban ditemukan adanya substansi

golongan darah apapun, maka yang bersangkutan tetap harus dicurigai sebagai

tersangkannya. Adanya pemeriksaan sidik DNA telah mempermudah penyimpulan karena

tidak dikenal adanya istilah-istilah sekretor dan non sekretor pada pemeriksaan DNA. Dalam

hal tersangka pelaku tertangkap basah dan belum sempat mencuci penisnya, maka secara

konvensional leher kepala penisnya dapat diusapkan ke gelas objek dan diberi uap lugol.

Adanya sel epitel vagina yang berwarna coklat dianggap merupakan bukti bahwa penis itu

‘bersentuhan’ dengan vagina alias baru bersetubuh. Laporan terakhir pada tahun 1994,

menunjukkan bahwa gambaran epitel ini tak dapat diterima lagi sebagai bukti adanya epitel

vagina, karena epitel pria baik yang normal maupun yang sedang mengalami infeksi kencing

juga mempunyai epitel dengan gambaran yang sama. Pada saat ini bila seorang pria diduga

baru saja bersetubuh, maka kepala dan leher penisnya perlu dibilas dengan larutan NaCl. Air

cucian ini diperiksa ada tidaknya sel epitel secara mikroskopik dan jika ada maka

pemeriksaan dapat dilanjutkan dengan pemeriksaan DNA dengan metode PCR (Polymerase

Chain Reaction).10, 13

d. Masalah pengetahuan dokter pemeriksa

Pada saat ini akibat kelangkaan dokter forensik, maka kasus perkosaan dan kejahatan seksual

lainnya ditangani oleh dokter kebidanan atau bahkan dokter umum. Sebagai dokter klinik

yang tugasnya terutama mengobati orang sakit, maka biasanya yang menjadi prioritas utama

adalah mengobati korban. Ketidaktahuan mengenai prinsip-prinsip pengumpulan benda bukti

dan cara pemeriksaannya membuat banyak bukti penting terlewatkan dan tak terdeteksi

40
selama pemeriksaan. Umumnya dokter kebidanan hanya memeriksa ada tidaknya luka di

sekitar kemaluan, karena merasa hanya daerah inilah bidang keahliannya. Akibatnya tanda

kekerasan di daerah lainnya tidak terdeteksi. Pemeriksaan toksikologi atas bahan darah atau

urin untuk deteksi kekerasan berupa membuat korban pingsan atau tidak berdaya dengan

obat-obatan umumnya tak pernah dilakukan. Pemeriksaan ada tidaknya cairan mani biasanya

hanya dilakukan dengan pemeriksaan langsung saja, sehingga adanya cairan mani tanpa

sperma tak mungkin terdeteksi. Pemeriksaan kea rah pembuktian pelaku sejauh ini boleh

dikatakan tak pernah dilakukan karena masih dianggap bukan kewajiban dokter. Dengan

demikian selama ini dasar dari tuduhan terhadap pelaku perkosaan umumnya adalah hanya

dari kesaksian korban dan pengakuan tersangka saja, padahal kedua alat bukti ini seringkali

sulit dipercaya karena sifatnya yang subjektif.

e. Masalah pengetahuan aparat penegak hukum

Pada kasus-kasus semacam ini arah penyidikan harus jelas arahnya agar pengumpulan bukti

menjadi terarah dan tajam pula. Kesalahan dalam membuat tuduhan, misalnya akan dapat

membuat tersangka menjadi bebas sama sekali. Jika penyidik, jaksa serta hakim hanya

menganggap perlu mencari alat bukti berupa pengakuan terdakwa, dan mengabaikan

pembuktian secara ilmiah lewat pemeriksaan medis dan kesaksian ahli maka tentunya

pembuktian dilakukan seadanya.

II.12 labolatorium
Pada kasus kekerasan seksual, perlu dilakukan pemeriksaan penunjang sesuai indikasi

untuk mencari bukti-bukti yang terdapat pada tubuh korban. Pembuktian persetubuhan yang lain

adalah dengan memeriksa cairan mani di dalam liang vagina korban. Dari pemeriksaan cairan

mani akan diperiksa sel spermatozoa dan cairan mani sendiri.13

41
Seiring dengan teknik swab invasif konvensional, pengumpulan spesimen urin dapat

digunakan sebagai metode pengumpulan jejak biologis tambahan untuk keperluan forensik. Ini

dapat dianggap sebagai teknik pengumpulan non-invasif terutama dalam kasus dugaan pelecehan

seksual anak yang akut untuk mengurangi waktu tunda dan untuk meningkatkan sikap positif

pasien terhadap pengumpulan bukti. Jumlah yang lebih tinggi dari DNA pria yang terdeteksi

dalam spesimen urin akan menawarkan peluang yang lebih baik untuk identifikasi DNA bila

dibandingkan dengan penyeka konvensional.17

II.12.1 Menentukan cairan mani

Untuk menentukan adanya cairan mani dalam secret vagina perlu dideteksi adanya zat-

zat yang banyak terdapat dalam cairan mani, beberapa pemeriksaan yang dapat dilakukan untuk

membuktikan hal tersebut adalah :

II.12.1.aReaksi Fosfatase Asam

Fosfatase asam adalah enzim yang dikeluarkan oleh kelenjar prostat di dalam cairan

semen/mani dan didapatkan pada konsentrasi tertinggi di atas 400 kali dalam mani dibandingkan

yang mengalir dalam tubuh lain. Dengan menentukan secara kuantitatif aktifitas fosfatase asam

per 2 cm2 bercak, dapat ditentukan apakah bercak tersebut mani atau bukan. Aktifitas 25 U.K.A

per 1cc ekstrak yang diperoleh 1 cm2 bercak dianggap spesifik sebagai bercak mani.

II.12.1.b Reaksi Berberio

Prinsip reaksi ini adalah menentukan adanya spermin dalam semen. Spermin yang

terkandung pada cairan mani akan beraksi dengan larutan asam pikrat jenuh membentuk kristal

spermin pikrat.Bercak diekstraksi dengan sedikit aquades. Ekstrak diletakkan pada kaca objek,

biarkan mengering, tutup dengan kaca penutup. Reagen diteteskan dengan pipet di bawah kaca

penutup.

42
Interpretasi : hasil positif memperlihatkan adanya kristal spermin pikrat yang kekuning-

kuningan atau coklat berbentuk jarum dengan ujung tumpul.

II.12.1.c Reaksi Florence

Dasar reaksi adalah untuk menemukan adanya kholin. Bila terdapat bercak mani, tampak

kristal kholin-peryodida berwarna coklat, berbentuk jarum dengan ujung terbelah.

II.12.2 Pemeriksaan Spermatozoa

II.12.2.a Tanpa pewarnaan / pemeriksaan langsung

Pemeriksaan ini berguna untuk melihat apakah terdapat spermatozoa yang bergerak.

Pemeriksaan motilitas spermatozoa ini paling bermakna untuk memperkirakan saat terjadinya

persetubuhan. Umumnya disepakati bahwa dalam 2-3 jam setelah persetubuhan, masih dapat

ditemukan spermatozoa yang bergerak dalam vagina. Bila tidak ditemukan lagi, belum tentu

dalam vagina tidak ada ejakulat.

Gambar 5. Sperma pada pemeriksaan langsung

II.12.2.b Dengan pewarnaan (pulasan Malachite green 1 %)

43
Interpretasi : pada pengamatan di bawah mikroskop akan terlihat gambaran sperma

dengan kepala sperma tampak berwarna ungu menyala dan lehernya merah muda, sedangkan

ekornya berwarna hijau.

Gambar 6. Sperma dengan pewarnaan Malachite Green

II.12.2.c Pewarnaan Baecchi

Prinsip kerja nya yaitu asam fukhsin dan metilen biru merupakan zat warna dasar dengan

kromogen bermuatan positif. Asam nukleat pada kepala spermatozoa dan komponen sel tertentu

pada ekor membawa muatan negatif, maka akan berikatan secara kuat dengan kromogen kationik

tadi. Sehingga terjadi pewarnaan pada kepala spermatozoa.

Interpretasi : Kepala spermatozoa berwarna merah, ekor merah muda, menempel pada

serabut benang

1. Pemeriksaan pria tersangka, meliputi :

- Pemeriksaan golongan darah

- Menentukan adanya sel epitel vagina pada glans penis, menggunakan larutan lugol

- Pemeriksaan sekret uretra

44
- Dalam populasi 85% golongan sekretor yang dalam cairan tubuh (cairan mani,

keringat,liur) mengandung golongan darah. Jika bersetubuh dan ejakulasi maka golongan

darah ada pada tubuh korban

- Dalam kepala sel sperma terdapat DNA inti (c-DNA) dan dalam leher sel sperma ada

DNA mitochondria (mt-DNA). Ketika ejakulasi yang mengandung sel sperma,akan

meninggalkan jejak DNA pelaku. Dengan pemeriksaan DNA akan diketahui siapa dan

berapa orang pelaku.10

II.13 KUHP kejahatan seksual dan perlindungan anak


II.13.1 Undang-undang Pemerkosaan

 Pasal 285 KUHP

Barang siapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seorang wanita

bersetubuh dengan dia diluar perkawinan, diancam karena melakukan perkosaan dengan

pidana penjara paling lama dua belas tahun.

Pada tindak pidana di atas perlu dibuktikan telah terjadi persetubuhan dan telah terjadi

paksaan dengan kekerasan atau ancaman kekerasan. Dokter dapat menentukan apakah

persetubuhan telah terjadi atau tidak, apakah terdapat tanda-tanda kekerasan. Tetapi ini tidak

dapat menentukan apakah terdapat unsur paksaan pada tindak pidana ini.

Ditemukannya tanda kekerasan pada tubuh korban tidak selalu merupakan akibat

paksaan, mungkin juga disebabkan oleh hal-hal lain yang tak ada hubungannya dengan

paksaan. Demikian pula bila tidak ditemukan tanda-tanda kekerasan, maka hal itu belum

merupakan bukti bahwa paksaan tidak terjadi. Pada hakekatnya dokter tak dapat menentukan

unsur paksaan yang terdapat pada tindak pidana perkosaan; sehingga ia juga tidak mungkin

menentukan apakah perkosaan telah terjadi.

45
Yang berwenang untuk menentukan hal tersebut adalah hakim, karena perkosaan adalah

pengertian hukum bukan istilah medis sehingga dokter jangan menggunakan istilah

perkosaan dalam Visum et Repertum.

 Pasal 286 KUHP

Barang siapa bersetubuh dengan seorang wanita diluar perkawinan, padahal diketahui

bahwa wanita itu dalam keadaan pingsan atau tidak berdaya, diancam dengan pidana

penjara paling lama sembilan tahun.

Pada tindak pidana di atas harus terbukti bahwa korban berada dalam keadaan pingsan

atau tidak berdaya. Dokter perlu mencari tahu apakah korban sadar waktu persetubuhan

terjadi, adakah penyakit yang diderita korban yang sewaktu-waktu dapat mengakibatkan

korban pingsan atau tidak berdaya. Jika korban mengatakan ia menjadi pingsan, maka perlu

diketahui bagaimana terjadinya pingsan itu, apakah terjadi setelah korban diberi minuman

atau makanan. Pada pemeriksaan perlu diperhatikan apakah korban menunjukkan tanda-

tanda bekas kehilangan kesadaran, atau tanda-tanda telah berada di bawah pengaruh obat-

obatan.

Jika terbukti bahwa si pelaku telah telah sengaja membuat korban pingsan atau tidak

berdaya, ia dapat dituntut telah melakukan tindak pidana perkosaan, karena dengan membuat

korban pingsan atau tidak berdaya ia telah melakukan kekerasan.

Kejahatan seksual yang dimaksud dalam KUHP pasal 286 adalah pelaku tidak

melakukan upaya apapun; pingsan atau tidak berdayanya korban bukan diakibatkan oleh

perbuatan si pelaku kejahatan seksual.

46
 Pasal 287 KUHP

Barang siapa bersetubuh dengan seorang wanita diluar perkawinan, padahal diketahui

atau sepatutnya harus diduga, bahwa umumnya belum lima belas tahun, atau kalau

umurnya tidak ternyata, bahwa mampu dikawin, diancam pidana penjara paling lama

sembilan tahun.

 Pasal 288 KUHP

(1) Barang siapa bersetubuh dengan seorang wanita didalam perkawinan, yang diketahui

atau sepatutnya harus diduga bahwa belum mampu dikawin, diancam, apabila perbuatan

mengakibatkan luka-luka dengan pidana penjara paling lama empat tahun.

(2) Jika perbuatan mengakibatkan luka berat, dijatuhkan pidana penjara paling lama

delapan tahun

(3) Jika mengakibatkan mati, dijatuhkan pidana penjara paling lama dua belas tahun. Jika

suami melakukan pemaksaan seksual terhadap istri, maka tidak termasuk dalam hukum

undang-undang perkosaan, tetapi termasuk dalam kekerasan dalam rumah tangga seperti

undang-undang sebagai berikut :

Undang undang Republik Indonesia Nomor 23 \Tahun 2004 Tentang Penghapusan

Kekerasan Dalam Rumah Tangga :

 Pasal 5

Setiap orang dilarang melakukan keerasan dalam rumah tangga terhadap orang dalam

lingkup rumah tangganya, dengan cara :

a. kekerasan fisik

47
b. kekerasan psikis

c. kekerasan seksual

d. penelantaran rumah tangga

Dengan demikian dari Visum et Repertum yang dibuat oleh dokter diharapkan dapat

membuktikan bahwa korban memang belum pantas dikawin, memang terdapat tanda-tanda

persetubuhan, tanda-tanda kekerasan dan dapat menjelaskan perihal sebab kematiannya.

Di dalam upaya menentukan bahwa seseorang belum mampu dikawin dapat timbul

permasalahan bagi dokter karena penentuan tersebut mencakup dua pengertian, yaitu

pengertian secara biologis dan pengertian menurut undang-undang. Secara biologis seorang

perempuan dikatakan mampu untuk dikawin bila ia telah siap untuk dapat memberikan

keturunan, dimana hal ini dapat diketahui dari menstruasi, apakah ia belum pernah mendapat

menstruasi atau sudah pernah. Sedangkan menurut undang-undang perkawinan, maka batas

umur termuda bagi seorang perempuan yang diperkenankan untuk melangsungkan

perkawinan adalah 16 tahun. Dengan demikian dokter diharapkan dapat menentukan berapa

umur dari perempuan yang diduga merupakan korban seperti yang dimaksud dalam pasal 288

KUHP.

 Pasal 289 KUHP

Barangsiapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seorang  untuk

melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul, diancam karena melakukan

perbuatan yang menyerang kehormatan kesusilaan dengan pidana penjara paling lama 9

(sembilan) tahun.

Pasal 291 KUHP

48
Kalau salah satu kejahatan yang diterangkan dalam pasal 286, 287, 288 dan 290 itu

berakibat luka berat, diancam dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun.

Kalau salah satu kejahatan yang diterangkan dalam pasal 285, 286, 287, 289 dan 290

itu berakibat matinya orang, diancam dengan pidana penjara paling lama lima belas tahun.

II.13.2 Undang Undang Perlindungan Anak

Ketentuan Undang-undang No 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak sebagaimana telah

diubah dengan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 (“UU Perlindungan Anak”) yang

berkaitan dengan tindak pidana kesusilaan yaitu antara lain Pasal 76D (persetubuhan dengan

anak) dan Pasal 76E (pencabulan anak), sebagai berikut

 Pasal 76D Undang-Undang perlindungan Anak

Setiap orang dilarang melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa anak

melakukan persetubuhan dengannya atau orang lain.

 Pasal 76E Undang-Undang Perlindungan Anak

Setiap orang dilarang melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan, memaksa,

melakukan serangkaian kebohongan, atau membujuk anak untuk melakukan atau

membiarkan dilakukan perbuatan cabul

Hukuman dari perbuatan tersebut diatur dalam Pasal 81 dan Pasal 82 Undang-Undang

Perlindungan Anak sebagai Berikut:

 Pasal 81 Undang-Undang Perlindungan Anak :

(1) Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 76D

dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima

belas) tahun dan denda paling banyak Rp 5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah)

49
(2) Ketentuan pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku pula bagi setiap orang

yang dengan sengaja melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan, atau membujuk

anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain.

(3) Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh orang

tua, wali, pengasuh anak, pendidik, atau tenaga kependidikan, maka pidanannya

ditambah 1/3 (sepertiga) dari ancaman pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

 Pasal 82 Undang Undang Perlindungan Anak :

(1) Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76E

dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima

belas) tahun dan denda paling banyak Rp 5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).

(2) Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh orang

tua, wali, pengasuh anak, pendidik, atau tenaga kependidikan, maka pidananya ditambah

1/3 (sepertiga) dari ancaman pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

Dari rumusan Pasal 76D dan Pasal 76E, Pasal 81 dan Pasal 82 Undang-Undang

Perlindungan Anak diatas, terlihat bahwa tidak ada keharusan bagi delik ini untuk dilaporkan

oleh korbannnya. Dengan demikian, delik persetubuhan dengan anak dan pencabulan terhadap

anak merupakan delik biasa, bukan delik aduan. Delik biasa dapat diproses tanpa adanya

persetujuan dari yang dirugikan (korban).

UNDANG – UNDANG REPUBLIK INDONESIA


NOMOR 11 TAHUN 2012
TENTANG SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK

Pasal 1
3. Anak yang Berkonflik dengan Hukum yang selanjutnya disebut Anak adalah anak yang telah
berumur 12 (dua belas) tahun, tetapi belum berumur 18 (delapan belas) tahun yang diduga
melakukan tindak pidana.

50
4. Anak yang Menjadi Korban Tindak Pidana yang selanjutnya disebut Anak Korban adalah anak
yang belum berumur 18 (delapan belas) tahun yang mengalami penderitaan fisik, mental,
dan/atau kerugian ekonomi yang disebabkan oleh tindak pidana.

Pasal 69
(1) Anak hanya dapat dijatuhi pidana atau dikenai tindakan berdasarkan ketentuan dalam
UndangUndang ini.
(2) Anak yang belum berusia 14 (empat belas) tahun hanya dapat dikenai tindakan.
Pasal 71
(1) Pidana pokok bagi Anak terdiri atas:
a. pidana peringatan;
b. pidana dengan syarat:
1) pembinaan di luar lembaga;
2) pelayanan masyarakat; atau
3) pengawasan.
c. pelatihan kerja;
d. pembinaan dalam lembaga; dan
e. penjara.
(2) Pidana tambahan terdiri atas:
a. perampasan keuntungan yang diperoleh dari tindak pidana; atau
b. pemenuhan kewajiban adat.
(3) Apabila dalam hukum materiil diancam pidana kumulatif berupa penjara dan denda, pidana
denda diganti dengan pelatihan kerja.
(4) Pidana yang dijatuhkan kepada Anak dilarang melanggar harkat dan martabat Anak.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai bentuk dan tata cara pelaksanaan pidana sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Pasal 81
(1) Anak dijatuhi pidana penjara di LPKA apabila keadaan dan perbuatan Anak akan
membahayakan masyarakat.
(2) Pidana penjara yang dapat dijatuhkan kepada Anak paling lama 1/2 (satu perdua) dari
maksimum ancaman pidana penjara bagi orang dewasa.
(3) Pembinaan di LPKA dilaksanakan sampai Anak berumur 18 (delapan belas) tahun.
(4) Anak yang telah menjalani 1/2 (satu perdua) dari lamanya pembinaan di LPKA dan
berkelakuan baik berhak mendapatkan pembebasan bersyarat.
(5) Pidana penjara terhadap Anak hanya digunakan sebagai upaya terakhir.
(6) Jika tindak pidana yang dilakukan Anak merupakan tindak pidana yang diancam dengan
pidana mati atau pidana penjara seumur hidup, pidana yang dijatuhkan adalah pidana penjara
paling lama 10 (sepuluh) tahun.

Pasal 82
(1) Tindakan yang dapat dikenakan kepada Anak
meliputi:
a. pengembalian kepada orang tua/Wali;
b. penyerahan kepada seseorang;
c. perawatan di rumah sakit jiwa;

51
d. perawatan di LPKS;
e. kewajiban mengikuti pendidikan formal dan/atau pelatihan yang diadakan oleh
pemerintah atau badan swasta;
f. pencabutan surat izin mengemudi; dan/atau
g. perbaikan akibat tindak pidana.
(2) Tindakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d, huruf e, dan huruf f dikenakan paling
lama 1 (satu) tahun.
(3) Tindakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diajukan oleh Penuntut Umum dalam
tuntutannya, kecuali tindak pidana diancam dengan pidana penjara paling singkat 7 (tujuh) tahun.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai tindakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan
Peraturan Pemerintah.

BAB III
PENUTUP

III.1 Kesimpulan

Kekerasan seksual merupakan kejahatan yang universal. Kejahatan ini dapat ditemukan

diseluruh dunia, pada tiap tingkatan masyarakat dan tidak memandang usia .

Komponen penting dari pengungkapan kasus kejahatan seksual adalah visum et repertum

yang dibuat oleh dokter. Visum et repertum memuat tentang hasil pemeriksaan medis mengenai

bukti-bukti kekerasan seksual yang terdapat pada tubuh korban berserta interpretasinya, adanya

tanda-tanda persetubuhan sehingga dapat membantu membuat terang perkara bagi aparat

penegak hukum.

Pemeriksaan forensik pada kasus kejahatan seksual meliputi anamnesis mengenai kronologi

kejadian, pemeriksaan fisik umum dan pemeriksaan fisik khusus untuk mencari bukti-bukti fisik

kekerasan, serta pemeriksaan penunjang untuk pembuktian persetubuhan.

Pembuktian persetubuhan dilakukan dengan dua cara yaitu membuktikan adanya penetrasi

(penis) kedalam vagina dan atau anus/oral dan membuktikan adanya ejakulasi atau adanya air

52
mani didalam vagina/anus. Dari pemeriksaan cairan mani akan diperiksa sel spermatozoa dan

cairan mani sendiri.

Untuk menentukan adanya cairan mani dalam secret vagina perlu dideteksi adanya zat-zat

yang banyak terdapat dalam cairan mani, beberapa pemeriksaan yang dapat dilakukan untuk

membuktikan hal tersebut adalah pemeriksaan dengan reaksi fosfatase asam, reaksi berberio,

reaksi Florence.

Pemeriksaan untuk spermatozoa dapat dilakukan dengan pemeriksaan langsung maupun

dengan menggunakan pewarnaan malachite green 1 % maupun pewarnaan baecchi.

III.2 Saran

 Masyarakat
o Agar lebih waspada terhadap banyaknya kasus kejahatan seksual
o Setelah mengalami kejahatan seksual, hendaknya segera melapor ke pihak berwenang
agar dokter yang memeriksa dapat menemukan bukti sebanyak - banyaknya
 Kedokteran forensik
o Agar selain mengobati korban kejahatan seksual juga mengetahui prinsip – prinsip
pengumpulan benda bukti dan cara pemeriksaannya agar tidak membuat bnayak bukti
penting terlewatkan dan tak terdeteksi selama pemeriksaan
o Lebih teliti dalam melakuakn identifikasi temuan klinis dalam kasus kejahatan
seksual
o Akan lebih baik bila dalam kasus kejahatan seksual dapat dilengkapi dengan visum
yang melibatkan psikiater dan psikolog yang dapat menelaah salah satu gejala jangka
panjang seperti post traumatic stress disorder atau post traumatic rape síndrome.
Keterlibatan psikiater atau relawan pendamping ( umumnya psikolog, sosiolog, atau
sarjana keperawatan) sebagai “lingkaran dalam” korban kareba berkesempatan
menangkap akutualitas penderitaan korban.
 Pemerintah dan pihak kepolisian

53
o Lebih intensif dalam memberantas kasus perkosaan dengan tujuan menurunnya kasus
kejahatan seksual

DAFTAR PUSTAKA

1. Bawengan, Gerson W. 1977. Pengantar Psychologi Kriminil. Jakarta: Pradnya Paramita.


2. Budiyanto. Ilmu Kedokteran Forensik. Jakarta : Bagian Kedokteran Forensik Fakultas
Indonesia, 1997.
3. Budiyanto A, Widiatmaka W, Sudiono S. Ilmu Kedokteran Forensik. Jakarta : EGC,
2010.
4. Burgess AW, Marchetti CH. Contemporary issues. In: Hazelwood RR, Burgess AW,
editors. Practical aspects of rape investigation: A multidisiplinary approach. 4th ed. Boca
Raton (FL): CRC Press; 2009. h. 3-23.
5. Chelsea Leach, Martine B. Powell, Stefanie J. Sharman, and Jeromy Anglim. 2017. The
Relationship Between Children’s Age and Disclosures of Sexual Abuse During Forensic
Interviews. Child Maltreatment 2017, Vol. 22(1) 79-88.
6. Dahlan S. Ilmu kedokteran forensik. Badan Penerbit Universitas Diponegoro. Semarang.
2004: h.130-131.
7. DiMaio VJ, Dimaio D. Forensic Pathology Second Edition. London: CRC Press; 2001: h.
530-535.

54
8. Elizabeth C. Ahern, Samantha J. Andrews, Stacia N. Stolzenberg, and Thomas D. Lyon.
2015. The Productivity of Wh- Prompts in Child Forensic Interviews. Journal of
Interpersonal Violence 1–9.
9. Fauzi A, Lucyanawati M, Hanifa L, et al. Kekerasan Terhadap Perempuan. 2008.
10. Heather W, Gerald L, Danielle W, Dawn S, Mnh N, AND Frances S. 2018. Sexual
Assault Cases: Exploring The Importance of Non-DNA Forensic Evidence. NIJ Journal /
Issue No. 279.
11. H. Hari Sahordji, Pokok-pokok Kriminalogi, Aksara Baru, Jakarta, 1980, hal 35.
12. H. Hari Sahordji, Op Cit, hal 49.
13. Hoediyanto, Hariadi A, Ilmu Kedokteran Forensik dan Medikolegal, Departeman Ilmu
Kedokteran Forensik Fakultas Kodekteran Universitas Airlangga, Surabaya, Edisi
Ketujuh, 2010.
14. Idries AM, Tjiptomartono AL. Penerepan Ilmu Forensik dalam Proses Penyidikan Edisi
Revisi. Jakarta. Sagung Seto. 2013.
15. Joyce A. Adams MD. 2018. Understanding Medical Findings in Child Sexual Abuse: An
Update For 2018. Acad Forensic Pathol. 2018 8(4): 924-937.
16. Komnas Perempuan. Kekerasan seksual: Kenali dan tangani. Komnas Perempuan; 2011.
h. 1-5.
17. Minna Joki-Erkkilӓ, Sari Tuomisto, Mervi Seppӓnen, Heini Huhtala, Arja Ahola, Juha
Rainio, Pekka J. Karhunen. 2014. Clinical forensic sample collection techniques
following consensual intercourse in volunteers e Cervical canal brush compared to
conventional swabs. M. Joki-Erkkilӓ et al. / Journal of Forensic and Legal Medicine 27
(2014) 50-54.
18. Minna Joki-Erkkilӓ, Sari Tuomisto, Mervi Seppӓlӓ, Heini Huhtala, Arja Ahola, Pekka J.
Karhunen. 2016. Urine specimen collection following consensual intercourse – A forensic
evidence collection method for Y-DNA and spermatozoa. M. Joki-Erkkilӓ et al. / Journal
of Forensic and Legal Medicine 37 (2016) 50-54.
19. Moeljatno. Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP). Jakarta:Bumi Aksara. 2003.h.
106.
20. Moeljatno, 2014, Undang-Undang Peradilan Anak, Jakarta: Sinar Grafika.

55
21. R. Soesilo. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) serta komentar-komentarnya
lengkap pasal demi pasal.1996. Bogor : Politeia. h. 212.
22. Syamsuddin, Rahman. Peranan Visum et Repertum di Pengadilan. Al-Risalah. 2011;
11(1); 187-200.
23. Sara T. Stewart. 2011. Hymenal Characteristics in Girls with and without a History of
Sexual Abuse. Journal of Child Sexual Abuse. 20:5.521-536. DOI:
10.1080/10538712.2011.606106
24. Welington dos Santos Silva, MD and Ubirajara de Oliveira Barroso-Junior, MD, PhD.
2017. Child Sexual Abuse Confirmed by Forensic Examination in Salvador, Bahia,
Brazil. Am J Forensic Med Pathol 2017;38: 54–58.

56

Anda mungkin juga menyukai