Anda di halaman 1dari 8

ANALISIS KASUS AUDREY TERHADAP UU NO 11 TAHUN 2012

DOSEN PEMBIMBING :
Annisa Hafizhah, S.H., M.H

DISUSUN OLEH :

1. Afif Mursyid 210200279


2. Marco Filipi Siahaan 210200286
3. Hasnan Harrist Fadillah Purba 210200287
4. Sahat Tua Michael 210200291
5. Yose Armanda Kaban 210200579
6. Emir Zaldy Siregar 210200580
7. Septian Aditya 210200583
8. Hotasi Sitorus 210200603

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


FAKULTAS HUKUM
2024
KRONOLOGIS
Oknum terduga pelaku yang merupakan siswi pelajar SMA meminta korban
mepertemukan dengan kakak sepupunya, P dengan alasan ada yang ingin dibicarakan.
Audrey yang tidak mengenal para oknum menyanggupi hal itu dan menemui P bersama
oknum terduga pelaku. Setelah bertemu P, oknum yang menjemput ternyata tak sendiri. Ada
empat orang lain yang kemudian membawa Audrey dan P ke tempat sepi di Jalan Sulawesi,
Kota Pontianak. Kakak sepupu korban kemudian terlibat baku hantam dengan oknum
berinisial D. Sementara tiga teman D diduga melakukan kekerasan terhadap Audrey. Korban
di-bully, rambutnya dijambak dan disiram menggunakan air. Bahkan kepala korban
dibenturkan ke aspal, dan perut korban diinjak. Ada tiga oknum yang diduga melakukan
kontak fisik dengan korban Audrey.
Sementara itu, ada sembilan siswi lain yang menyaksikan kejadian tersebut, sambil
tertawa, tanpa berupaya menolong korban. Korban dianiaya di dua lokasi, selain di Jalan
Sulawesi dan di Taman Akcaya Kota Pontianak. Setelah melakukan penganiayaan, pelaku
meninggalkan korban begitu saja. Sebelum meninggalkan korban, pelaku sempat
menyampaikan ancaman agar apa yang dialami korban tak mengadukan apa yang dialami.
"Ada ancaman pelaku bahwa kalau sampai mengadu ke orangtuanya, akan mendapatkan
perlakuan lebih parah lagi," kata Wakil Ketua Komisi Penyelenggara Perlindungan Anak
Derah (KPPAD), Tumbur Manalu.
"Si korban ditendang, dipukul, diseret sampai kepalanya dibenturkan di aspal dan ada
pengakuan bahwa perbuatan pelaku juga pada bagian vital korban," ucap Eka.

FAKTA
29 Maret 2019
Berdasarkan keterangan tujuh dari 12 orang siswi SMA terkait dugaan kekerasan yang buka
suara usai dimintai keterangan oleh polisi di Polresta Pontianak, Rabu (10/4/2019),
perkelahian terjadi pada Jumat (29/3).
Pada Jumat (29/3) itu, berdasarkan cerita Ec alias NNA, dia dan A membuat janji bertemu
pada Sabtu (30/3) untuk menyelesaikan permasalahan mereka yang berawal dari ejek-ejekan
di medsos. Namun, rupanya A meminta pertemuan dilakukan di hari itu juga.
A dan Ec pun bertemu di pinggir sungai Kapuas. Dalam pertemuan itu, mereka terlibat adu
mulut dan berlanjut dengan baku hantam.
Tak berhenti di situ, perkelahian berlanjut ke lokasi lainnya, yaitu Taman Akcaya yang
jaraknya sekitar 500 meter dari tepi Kapuas. Di sana A berkelahi lagi dengan Ar dan LI. Ec
menyebut tak ada pengeroyokan, yang ada duel satu per satu.
Di lokasi yang sama, Komisioner KPPAD Pontianak Alik R Rosyad, yang mendampingi
korban dan pelaku karena masih termasuk kategori anak, juga menjelaskan kronologi
perkelahian tersebut. Menurut Alik, berdasarkan penjelasan para pelajar tersebut, perkelahian
diawali dari Ec dan A di Aneka Pavilion. Kemudian A mencoba lari ke Taman Akcaya, yang
berjarak sekitar 500 meter dari lokasi pertama.
A kemudian dikejar Ec. Saat sedang mengejar korban, Ec bertemu Ar di Jalan Uray Bawadi.
Ar kemudian diajak mengejar A, dan mereka bertemu korban di Taman Akcaya. Kemudian A
berkelahi dengan Ar. Setelah selesai berkelahi dengan A, LI datang dan berkelahi lagi dengan
A di lokasi yang sama.
5 April 2019
Ibu korban mengadukan kasus ini ke Polsek Pontianak.
8 April 2019
Kasus ini kemudian dilimpahkan ke Polresta Pontianak. Dari BAP orang tua, A disebut
sempat dijemput di rumahnya oleh temannya yang berinisial DE dan diantar ke rumah
sepupunya yang berinisial PP.
Selanjutnya, A dan PP pergi naik motor dan mengaku dibuntuti 4 perempuan. Mereka lalu
dicegat seseorang berinisial TR, yang lalu melakukan penganiayaan bersama EC dan LL.
9 April 201
Kasus dugaan kekerasan ini viral lewat tagar #JusticeForAudrey di media sosial Twitter. Pada
Selasa (9/4/2019), tagar tersebut menduduki posisi nomor 1 di Indonesia dan dunia.
10 April 2019
Pukul 12.20 WIB
Perkara yang sampai memicu petisi viral 'Justice for Audrey' ini sudah ditingkatkan ke
penyidikan. Polisi juga meminta hasil visum A pada pihak RS.
"Saat ini dari pihak Polresta sudah melakukan proses penyidikan, sudah ditingkatkan menjadi
penyidikan bukan lagi penyelidikan," kata Karo Penmas Divisi Humas Polri Brigjen Dedi
Prasetyo di Mabes Polri, Jalan Trunojoyo, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, Rabu
(10/4/2019).
Pukul 14.33 WIB
Polisi menyatakan ada 4 orang yang sedang diperiksa di Polresta Pontianak terkait dugaan
kekerasan terhadap A. Mereka yang diperiksa berstatus sebagai saksi.
"Untuk terduga pelaku pun saat ini lagi diproses, di-BAP oleh Polresta Pontianak. Kalau yang
beredar luas itu kan 3 orang (terduga pelaku), namun bisa saja nambah. Diperiksa sebagai
saksi itu ada 4 orang hari," kata Kabid Humas Polda Kalbar Kombes Donny Charles Go saat
dihubungi, Rabu (10/4/2019).
Pukul 15.11 WIB
Polisi memaparkan hasil visum terhadap A. Visum dilakukan sepekan setelah dugaan
pengeroyokan terjadi di rumah sakit tempat A dirawat.
Hasil visum dipaparkan oleh Kapolresta Pontianak Kombes M Anwar Nasir dalam jumpa
pers di Pontianak, Rabu (10/4/2019). Jumpa pers ini disiarkan lewat Instagram Live
kapolresta_ptk_kota.
"Hasil pemeriksaan visum dari RS Pro Medika baru keluar tertanggal hari ini," kata Anwar.
Anwar lalu membacakan hasil visum dari rumah sakit. Dari hasil visum, kepala korban tidak
bengkak dan tidak ada benjolan. Tidak ada memar di mata dan penglihatan normal.
Anwar mengatakan, dari pengakuan korban, terduga pelaku sempat menekan alat kelamin
korban. Berdasarkan hasil visum, tidak ada bekas luka di alat kelamin.
"Alat kelamin, selaput dara atau hymen, intact. Tidak tampak luka robek atau memar," ucap
Anwar.
"Kulit tidak ada memar, lebam, maupun bekas luka," tambahnya.
Pukul 19.30 WIB
Polisi menyatakan telah menetapkan 3 orang tersangka kasus dugaan kekerasan terhadap
anak yang dialami A. Ketiga orang yang menjadi tersangka itu ialah Ar, Ec alias NNA, dan
LI.
Mereka dijerat dengan Pasal 76C juncto Pasal 80 ayat 1 UU Perlindungan Anak tentang
kekerasan terhadap anak. Ancaman hukuman maksimalnya adalah 3,5 tahun penjara.
Pukul 22.01 WIB
Tujuh dari 12 siswi SMA yang terkait kasus dugaan kekerasan terhadap A, memberikan
klarifikasi. Ketujuh pelajar didampingi komisioner Komisi Perlindungan dan Pengawasan
Anak Daerah (KPPAD) Pontianak Alik R Rosyad dan sejumlah keluarga.
Mereka secara bergantian menyampaikan permintaan maaf kepada korban A. Di antara
mereka ada yang mengaku tidak berada di dua lokasi kejadian di Aneka Pavilion di Jalan
Sulawesi dan Taman Akcaya di Sutan Syahrir, Pontianak, pada Jumat (29/3).
Dikutip dari Antara, para pelajar itu menyebut tidak melakukan pengeroyokan. Mereka
mengaku berkelahi satu lawan satu, sementara teman-teman yang lain hanya menyaksikan.
Ada juga yang mencoba melerai perkelahian tersebut. "Jadi kami tidak mengeroyok Aud.
Kami berkelahi satu lawan satu," kata salah satu pelajar tersebut.
Ketiga tersangka penganiayaan terhadap A, menyampaikan permohonan maaf kepada korban,
pihak keluarga, serta masyarakat luas. Mereka juga menyatakan menyesal.
"Kami menyesal dan mohon maaf yang sebesar-besarnya kepada korban, pihak keluarga, dan
masyarakat umum," kata salah seorang tersangka dalam jumpa pers di Mapolresta Pontianak
seperti dilansir Antara, Rabu (10/4).

PUTUSAN SIDANG AKHIR DI PENGADILAN NEGERI


KASUS Audrey akhimya sampai pada titik akhir yakni sidang vonis yang digelar di
Pengadilan Negeri (PN) Pontianak, Selasa 3 September 2019.
Tiga terdakwa pun diputus bersalah dan harus menjalani masa hukuman pelayanan kepada
masyarakat selama tiga bulan di Pondok Panti Asuhan Aisiah. Ketiganya menjalani hukuman
dua jam per hari setelah pulang sekolah, kecuali Sabtu dan Minggu.
Atas vonis ini, sempat terjadi keributan di luar ruang sidang. Pihak keluarga Audrey merasa
kurang puas.

A. Hak Hak Anak


Berdasarkan ketentuan yang sebagaimana terkandung dalam pasal 3 Undang-Undang
Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak terdapat hak-hak yang diterima
oleh seorang anak terlepas statusnya sebagai pelaku atau korban di dalam persidangan.
Dalam kasus Audrey sudah terlaksana pemenuhan hak, yang meliputi :
1. Diperlakukan secara manusiawi dengan memperhatikan kebutuhan sesuai dengan
umurnya.
2. Dipisahkan dari orang dewasa.
3. Memperoleh bantuan hukum dan bantuan lain secara efektif.
4. Bebas dari penyiksaan, penghukuman atau perlakuan lain yang kejam, tidak
manusiawi, serta merendahkan derajat dan martabatnya.
5. Tidak dijatuhi pidana mati atau pidana seumur hidup.
6. tidak ditangkap, ditahan, atau dipenjara, kecuali sebagai upaya terakhir dan dalam
waktu yang paling singkat.
7. Sidang dilakukan secara tertutup.
8. Tidak dipublikasikan identitasnya.
9. Memperoleh pendampingan orang tua/Wali dan orang yang dipercaya oleh Anak.
10. Memperoleh pelayananan Kesehatan.
Apa bila berkaca dari kasus Audrey, dapat disimpulkan bahwasanya sudah terdapat
pemenuhan hak yang dilakukan oleh Aparat Penegak Hukum selama berlangsungnya masa
persidangan. Khususnya dalam hal persidangan yang dilakukan secara tertutup dan identitas
para pihak-pihak yang tidak dipublikasikan.
Namun di satu sisi terdapat suatu kejanggalan dalam kasus ini, yang dalam hal ini
hasil visum yang dikeluarkan memiliki fakta baru yang sangat berlawanan dengan keterangan
yang diberikan oleh pihak korban. Dari hasil visum, kepala korban tidak bengkak dan tidak
ada benjolan. Tidak ada memar di mata dan penglihatan normal. Alat kelamin, selaput dara
atau hymen, intact. Tidak tampak luka robek atau memar. Hal itu menyebabkan terdapat
pihak yang tidak memperoleh keadilan di muka pengadilan Anak yang objektif, tidak
memihak. Hal ini menyebabkan munculnya kemungkinan implikasi bahwasanya hukum tidak
ditegakkan sesuai dengan tujuannya yang meliputi keadilan Hukum, kepastian Hukum, dan
Kemanfaatan Hukum.

B. Aspek Kriminologi dalam Kasus Audrey


Dalam kasus ini terdapat beberapa kemungkinan alasan yang bisa dipakai sebagai Aspek
Kriminologi yang menyebabkan si pelaku melakukan Tindakan bullying kepada Audrey
1. Ketidasetabilan Emosi
Beberapa pelaku mungkin mengalami ketidakstabilan emosi, seperti marah,
frustasi, atau cemburu. Mereka mungkin mengekspresikan perasaan ini dengan
cara merendahkan atau menyakiti orang lain.

2. Dorongan Sosial
Bullying sering terjadi dalam konteks kelompok. Pelaku mungkin merasa
terdorong oleh tekanan dari teman sebaya atau lingkungan sosial untuk melakukan
tindakan tersebut.
3. Kurangnya Empati
Beberapa individu memiliki kurangnya empati terhadap perasaan orang lain.
Mereka mungkin tidak memahami dampak negatif dari tindakan mereka terhadap
korban.
4. Kekuasaan dan Kontrol
Bullying dapat memberikan perasaan kekuasaan dan kontrol kepada pelaku.
Mereka mungkin merasa lebih kuat atau superior dengan merendahkan orang lain.
5. Pengalaman Pribadi
Beberapa pelaku mungkin memiliki pengalaman pribadi yang menyebabkan
mereka merasa perlu untuk mengekspresikan ketidakpuasan atau kebencian
melalui tindakan bullying.
Jika kita melihat usia dari pelaku dan korban, dapat diasumsikan bahwasanya ke lima
hal tersebut dapat menjadi alasan dari si pelaku melakukan Tindakan bullying pada Audrey.
Mengingat pada saat itu umur mereka belum dapat dikategorikan dewasa, yang otomatis
perkembangan emosional juga psikisnya belum stabil.
Namun dengan adanya hasil visum yang keluar, diposisi ini Audrey bukan hanya
menjadi korban. Namun bisa saja Audrey menjadi pelaku bullying walaupun secara tidak
langsung. Memang benar Audrey menerima penganiayaan dari pelaku, namun kesaksian dari
pihak Audrey dapat dinilai terlalu dilebih lebihkan. Hal ini menyebabkan banyak Masyarakat
yang langsung melakukan justifikasi pada pelaku tanpa mendalamai dulu bagaimana
peristiwa sebenarnya yang terjadi pada Audrey dan pelaku.

C. Criminal Policy sebagaimana terkandung dalam Undang Undang Nomor 11 Tahun


2012
Undang-Undang (UU) Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak
(dikenal sebagai UU SPPA) telah memberikan pendekatan yang berbeda dari UU
sebelumnya, yaitu UU No. 3 Tahun 1997 tentang Peradilan Anak. Berikut beberapa poin yang
menunjukkan efektivitas UU SPPA dalam menangani kasus kejahatan anak:
1. Diversi: UU SPPA memperkenalkan konsep diversi, yang bertujuan untuk
menjauhkan anak dari penjara dan mengutamakan alternatif seperti pendekatan
restoratif dan rehabilitatif. Diversi membantu memperbaiki perilaku anak tanpa
mengorbankan hak-hak mereka.
2. Perlindungan Khusus: UU SPPA menegaskan bahwa anak memiliki harkat dan
martabat sebagai manusia seutuhnya. Oleh karena itu, anak berhak mendapatkan
perlindungan khusus dalam sistem peradilan. UU ini menggantikan Undang-
Undang Nomor 3 Tahun 1997 yang dinilai tidak lagi sesuai dengan
perkembangan dan kebutuhan hukum masyarakat.
3. Asas Perlindungan dan Keadilan: UU SPPA didasarkan pada asas perlindungan
dan keadilan. Perlindungan terhadap anak yang berhadapan dengan hukum
melibatkan berbagai bentuk pelayanan, perawatan, pendidikan, dan pembinaan.
Tujuannya adalah agar anak dapat tumbuh dan berkembang secara optimal.
4. Klasifikasi Saksi Pidana: UU ini juga mengatur klasifikasi saksi pidana
berdasarkan jenis tindak pidana yang dilakukan anak. Sanksi lebih
mengutamakan sistem pengawasan dan pembinaan karakter serta mental anak.
Meskipun UU SPPA telah memberikan kerangka hukum yang lebih baik untuk
perlindungan anak yang berhadapan dengan hukum, implementasinya tetap memerlukan
kerjasama dari berbagai pihak, termasuk lembaga penegak hukum, masyarakat, dan keluarga,
agar dapat berjalan dengan baik dan efektif.

KESIMPULAN
Dalam kasus ini kita dapat melihat bahwa peran sosial media sangat berperan penting
dalam menyebarkan berbagai informasi ke seluruh Indonesia maupun dunia. Audrey Balqis
Zildvanka umur 14 tahun yang merupakan siswi SMP adalah korban dari pengeroyokan 12
orang siswi SMA di Pontianak yang dilebih-lebihkan oleh netizen. Korban mengaku bahwa
telah dikeroyok dan dianiyaya dengan ditendang. dipukul, diseret sampai kepalanya
dibenturkan di aspal dan bagian organ vital korban dicolok oleh pelaku. Itu semua sebenarnya
tidaklah semuanya hoax tetapi memang ada yang hoax dan dilebih-lebihkan oleh korban,
karena faktanya pelaku tidak dikeroyok oleh 12 orang melainkan hanya 3 orang dan tidak ada
terjadi pengroyokan tetapi hanya perkelahian satu lawan satu dengan pelaku. Serta tidak ada
penganiayaan seperti disebutkan korban ditendang, dipukul, diseret, dibenturkan di aspal, dan
bagian vital dicolok pelaku tidak pernah melakukan hal tersebut kepada korban. Kasus ini
merupakan kasus perkelahian teman lama, karena pelaku dan korban memang merupakan
teman satu SMP.

SARAN
Saran yang dapat kami sampaikan adalah bahwa kita sebagai netizen sosial media
harus lebih waspada dan selektif dalam menerima informasi yang faktanya masih
dipertanyakan atau tidak jelas kebenarannya. Jangan mudah percaya dengan segala macam
hal yang disebarkan di sosial media, jangan mengkonsumsi berita dari sebelah pihak saja, dan
jangan mudah untuk menyebarkan berita yang belum tentu kebenarannya. Pepatah dulu
mengatakan bahwa "lidah lebih tajam daripada pedang" tetapi sekarang adalah "ketikan lebih
tajam daripada pedang", jadi kita sebagai pengguna social media harus lebih pintar dan lebih
bijak dalam memilah berita yang tersebar di internet.
Dasar Hukum:
1. Undang Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak
(UU SPPA)
2. Undang Undang Nomor 35 tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang Undang
Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak (“UU 35/2014”)

Anda mungkin juga menyukai