Anda di halaman 1dari 32

LEMBAGA PENDIDIKAN DAN PELATIHAN POLRI PENDIDIKAN

DAN PELATIHAN RESERSE

KAJIAN KASUS DUGAAN KASUS PEMERKOSAAN DAN


PENCABULAN TERHADAP ANAK
DI KEC. MALILI, LUWU TIMUR, SULAWESI SELATAN
Megamendung, Oktober 2021
KAJIAN KASUS DUGAAN PEMERKOSAAN DAN PENCABULAN TERHADAP
ANAK DI KEC. MALILI, LUWU TIMUR, SULAWESI SELATAN

I. PENDAHULUAN

Tindak pidana merupakan problema manusia, yang mana terjadi pada


seorang yang tidak menggunakan akal serta ditambah dengan dorongan
hawa nafsu dalam bertindak, sehingga terjadilah kejahatan yang melampaui
batas seperti kejahatan seksual. Kejahatan Seksual yang cukup kiranya
untuk menggambarkan bahwa diskriminasi terhadap perempuan bukan
hanya dijumpai dalam novel tetapi juga terjadi di Indonesia. Diskriminasi
yang menimpa perempuan secara fisik meliputi perkosaan dan pencabulan.
Permasalahan hukum yang penting untuk dikaji secara mendalam salah
satunya adalah tindak pidana pemerkosaan dan pencabulan. Tindak pidana
pemerkosaan dan pencabulan dalam kenyataannya lebih banyak menimpa
kaum perempuan, baik itu anak dan dewasa, dan merupakan perbuatan
yang melanggar norma sosial, yaitu kesopanan, agama dan kesusilaan.

Terdapat beberapa faktor mengapa tindak pidana pemerkosaan dan


pencabulan terhadap anak semakin sering ditemui di Indonesia salah
satunya adanya kemajuan teknologi yang membawa dampak positif dan
negatif. Dampak positif perkembangan teknologi telah menyebabkan dunia
menjadi tanpa batas dan menyebabkan perubahan struktur sosial
masyarakat yang secara signifikan berlangsung dengan cepat. Dampak
negatif dari kemajuan teknologi berupa maraknya porno aksi dan pornografi
yang dapat dengan mudah diakses melalui internet.

Pencabulan adalah jenis kejahatan yang berdampak sangat buruk


terutama pada korbannya, sebab pencabulan akan melanggar Hak Asasi
Manusia serta dapat merusak martabat kemanusiaan, khususnya terhadap
jiwa, akal dan keturunan. Korban dalam kejahatan ini adalah anak-anak,
seperti pada dugaan kasus pencabulan yang terjadi di Kec. Malili, Luwu
Timur, Sulawesi Selatan yang dilakukan terduga SA (43th) Ayah
Korban/Mantan Suami Pelapor.

Seperti yang diutip dari CNN INDONESIA, Kasus itu berawal dari
seorang Aparatur Sipil Negara (ASN) di Luwu Timur, berinisial SA (43)
dilaporkan mantan istrinya berinisial RS (41). Sembari membawa tiga
anaknya yakni perempuan AL (8) dan AZ (4) serta satu anak laki-laki MR (6).
SA dilaporkan oleh mantan istrinya, RA setelah diduga mencabuli anak
kandungnya sendiri yang kala itu masih berusia di bawa 10 tahun. RA
melaporkan mantan suaminya, SA ke Mapolres Luwu Timur untuk dilakukan
pemeriksaan dan penyelidikan. Akan tetapi, penyelidikan kasus pencabulan
yang diduga dilakukan oleh ayah korban hanya berjalan selama dua bulan di
Mapolres Luwu Timur hingga dihentikan oleh penyidik dengan alasan tidak
ada bukti tindak pidana asusila seperti yang dilaporkan oleh ibu korban.

II. METODE

Kajian ini menggunakan penelitian hukum empiris yang dimana hukum


dikonsepkan sebagai suatu gejala empiris yang dapat diamati dalam
kehidupan nyata. Kajian ini menggunakan pendekatan kriminologis,
pendekatan kasus dan pendekatan fakta. Pendekatan Kriminologis bertujuan
mempelajari kejahatan yang diartikan sebagai pola tingkah laku yang
merugikan masyarakat, baik secara fisik maupun materi, baik yang
dirumuskan dalam hukum maupun tidak. Pendekatan kasus (the case
approach) dilakukan dengan cara meneliti kasus-kasus yang telah terjadi di
wilayah Polres Luwu Timur dan pendekatan fakta (the fact approach)
digunakan dengan mengadakan penelitian terhadap data.

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Kronologi

Dikutip dari CNN Indonesia, pengungkapan kasus itu bermula setelah


RA melihat perubahan pada kondisi anaknya. Kecurigaan ibu korban
pertama kali ketika melihat kondisi anak sulungnya, AL berubah menjadi
sosok yang pendiam dan tertutup. Dia juga jarang lagi main-main sama
adiknya dua orang. Dia juga menjadi memiliki selaput hitam di bawah
matanya, untuk anak seumuran dia yang masih sekolah itu tidak
memungkinkan. Pada 7 Oktober 2019, kala itu anak bungsunya AZ juga
mengeluhkan kondisi alat vital dan duburnya sakit. Sehingga RA yang
penasaran lantas memeriksa fisik anaknya. Saat diperiksa, ibu korban
akhirnya menemukan kelainan sebagaimana yang dilaporkan oleh sang
anak. Lalu ibu korban mengumpulkan ketiga anaknya untuk bercerita namu
mereka hanya diam saja. Lalu anak kedua dari RA yang laki-laki bercerita
bahwa pernah melihat kakanya dicabuli oleh ayahnya mantan suami RA.
Akhirnya RA melaporkan SA ke Mapolres Luwu Timur untuk dilakukan
penyelidikan dan pemeriksaan. Akan tetapi, penyelidikan kasus pencabulan
yang diduga dilakukan oleh ayah korban hanya berjalan selama dua bulan
hingga dihentikan oleh penyidik dengan alasan tidak ada bukti tindak pidana
asusila seperti yang dilaporkan oleh ibu korban.

Sebelumnya, Kapolres Luwu Timur, AKBP Silvester MM Simamora


mengatakan, bahwa kasus itu telah lama dihentikan oleh penyidik. Silvester
menjelaskan bahwa penyidik telah melakukan pemeriksaan terhadap saksi
dan mantan suaminya sebagai terlapor. Kemudian melakukan visum kedua
di Rumah Sakit Bhayangkara Makassar dengan didampingi ibu korban.
Hasilnya pada tubuh ketiga anak pelapor tersebut tidak ditemukan kelainan
pada alat kelamin atau pun dubur (anus). Berdasarkan hasil assessment di
P2TP2A Kabupaten Luwu Timur, kata Silvester, tidak ditemukan adanya
tanda-tanda trauma pada ketiga anak pelapor kepada ayahnya. Karena saat
terlapor datang ke kantor P2TP2A ketiga anaknya langsung menghampiri
dan duduk ke pangkuan ayahnya, sehingga penyidik melaksanakan gelar
perkara di Polres Luwu Timur dan di Polda Sulsel dengan hasil
menghentikan proses penyelidikan pengaduan tersebut, dengan alasan tidak
ditemukan bukti yang cukup sebagaimana yang dilaporkan.

Sebagai tambahan kronologi yang dikutip dari Merdeka.com, RS


melanjutkan melaporkan SA ke Mapolda Sulsel. Kedatangannya itu
didampingi tim Koalisi Bantuan Hukum Advokasi Kekerasan Seksual
Terhadap Anak, Senin (23/12/2019). Kedatangan mereka ke Polda Sulsel
untuk melaporkan kasus dugaan pencabulan yang dialami tiga anak yang
masih kecil-kecil itu oleh ayah kandungnya, SA. SA ini diketahui juga
seorang ASN di Luwu Timur namun berbeda instansi dengan RS. Antara
pelapor dan terlapor sudah bercerai beberapa tahun silam. Sebelum
melaporkan ke Polda Sulsel, RS pernah melaporkan kasus tersebut ke
Polres Luwu Timur pada 9 Oktober 2019. Namun, penyelidikan itu dihentikan
karena dianggap tidak cukup bukti setelah dilakukan pemeriksaan kejiwaan
dan pemeriksaan fisik baik kepada anak-anak selaku korban maupun kepada
ibunya.

Salah seorang pengacara dalam koalisi yang mendampingi korban saat


laporan di Polda Sulsel, Haswandy Mas direktur LBH Makassar mengatakan,
sejak adanya kasus tersebut tidak adanya pendampingan terhadap pelapor
maupun korban. Dia menambahkan, awal Oktober lalu kasus ini dilaporkan
ke Polres Luwu Timur dan penyidik sampaikan ke ibu korban bahwa harus
ada pendampingan. Kemudian, RS meminta pendampingan ke kantor Pusat
Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A) Luwu
Timur namun hasilnya nihil. Hingga kemudian penyidik menghentikan
penyelidikan.

B. Fakta-fakta Yang beredar.

1. Fakta yang dikutip dari Okenews.com,

a) Viral di Media Sosial

Kasus yang dilaporkan pada 2019 lalu itu sempat dihentikan


dengan alasan tak cukup bukti. Namun, kasus ini kembali viral pada
belum lama ini setelah curhatan ibunya diberitakan di mana-mana.
Kembali viralnya kasus tersebut membuat beberapa lembaga
mendesak Polres Luwu Timur untuk kembali melanjutkan
penyelidikan. Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Makassar, Sulawesi
Selatan, mendesak Markas Besar Kepolisian Republik Indonesia
(Mabes Polri) kembali membuka kasus ini. Kasus ini dihentikan
penyelidikannya oleh Kepolisian Resor (Polres) Luwu Timur dan
Kepolisian Daerah (Polda) Sulawesi Selatan karena dianggap tidak
cukup bukti. "Kami minta Polri mengambil alih dan melanjutkan proses
perkara ini," ucap tim penasehat para korban, Rezky Pratiwi saat
memberikan keterangan pers di kantor LBH Makassar, Kamis
(7/10/2021) malam.

b) Kasus Akan Kembali Dibuka

Polri akan memberikan asistensi terhadap penyidik apabila


penyelidikan kasus dugaan pemerkosaan anak di Luwu Timur
dilanjutkan kembali apabila terdapat alat bukti baru, penyidik akan
melakukan penyelidikan kembali secara transparan. "Dan juga
tentunya akan memberikan asistensi terhadap penyidik apabila
penyelidikan ini akan dilakukan kembali. Berdasarkan nanti apabila
terdapat alat bukti baru tentunya Polri penyidik akan melakukan
penyelidikan kembali terhadap kasus ini tentunya secara profesional,
transparan dan akuntabel," ucap Karo Penmas Divisi Humas Polri
Brigjen Rusdi Hartono, Jakarta, Minggu (10/10/2021). Rusdi
mengungkapkan, Polri akan mendapatkan alat bukti baru mengenai
kasus dugaan pemerkosaan anak di Luwu Timur. Sampai saat ini,
Polri masih menunggu alat bukti baru yang dimaksud tersebut. Polri
akan mendalami jika sudah mendapatkan alat bukti baru. "Nah, ini
yang kami tetap tunggu. Polri menunggu, kami dapat informasi akan
memberikan alat bukti baru. Polri akan menunggu dan ketika nanti
dapat bukti baru tersebut Polri akan mendalami," ujar Rusdi.

c) Fakta Baru

Tim asistensi Bareskrim Polri menemukan fakta baru mengenai


dugaan kasus pemerkosaan di Luwu Timur, bahwa kelamin dan dubur
tiga anak yang diduga korban pemerkosaan mengalami peradangan.
Rusdi Hartono mengungkapkan, tim asistensi menerima laporan
bahwa pada 31 Oktober 2019, pelapor RS, melakukan pemeriksaan
terhadap tiga anak itu di Rumah Sakit Vale Sorowako. "Tim
melakukan interview pada 11 Oktober 2021 dan didapati keterangan
terjadi peradangan di sekitar vagina dan dubur. Sehingga, ketika
dilihat ada peradangan pada vagina dan dubur diberikan antibiotik dan
parasetamol obat nyeri," kata Rusdi, Rabu (13/10/2021). Selain itu,
Kapolres Luwu Timur AKBP Silvester Simamora telah bertemu
pelapor Jumat (08/10/21) untuk memberikan pemahaman tentang
proses kasus yang dilaporkannya pada Polres Lutim pada Oktober
2019 lalu.

d) Terduga Pelaku Membantah

Terduga pelaku atau ayah kandung ketiga anak kasus dugaan


pemerkosaan akhirnya buka suara menjawab tuduhan yang
ditunjukan padanya. SA membantah tuduhan telah memerkosa anak
kandungnya sendiri. Dia menyebut mantan istrinya diduga sengaja
membuat-buat tuduhan pemerkosaan itu lantaran perceraian yang
terjadi antara mereka. Pengacara SA, Agus Melas, menegaskan
pihaknya tak khawatir jika kasus ini dibuka lagi. Tambahan dari
kutipan Merdeka.com, SA pun membuka suara sekaligus membantah
laporan mantan istrinya, RA. "Mungkin orang-orang tidak memahami
kejadian sebenarnya, sehingga dia (melaporkannya). Terus mamanya,
mantan istri saya itu memaksakan kehendak," ujar SA saat dihubungi
wartawan di Makassar. SA memastikan tidak ada yang mencoba
melindunginya dalam kasus ini. Alasannya, dia bukanlah orang
berpengaruh di Luwu Timur, hanya sebagai Aparatur Sipil Negara
(ASN) biasa di Inspektorat Pemkab Luwu Timur. "Kalau kita mau
secara analisa, secara logika, saya ini siapa memengaruhi (kasus) ini.
Sampai tuduhannya bahwa bisa mempengaruhi penyidik, dan aparat
hukum. Sedangkan bupati, ketua DPRD saja diambil (ditangkap),
apalagi semacam saya ini, kalau memang melakukan kesalahan," ujar
SA. Ditanyakan hubungan dengan anaknya, SA mengatakan, sejak
berkasus pada 2019, RA membawa tiga anak mereka pindah ke
Makassar. Kini setelah kasusnya kembali mencuat dan viral, dia tidak
pernah lagi bertemu anak-anaknya. "Saya tidak pernah lihat lagi itu
anak-anak, karena takutnya saya dilaporkan dengan masalah baru
lagi, itu saya jaga. Karena tahu karakter ini mamanya, jadi saya tidak
mau. Cukup saya kirimkan uang makannya tiap bulan, itu rutin,"
ujarnya. SA pun mengaku tetap memonitor pemberian nafkah kepada
anaknya dan memfotokopi semua bukti transfer. Dia bahkan
menanyakan ke bank untuk memastikan apakah nomor rekening
mantan istrinya itu masih aktif atau tidak, karena anak-anaknya tidak
memiliki rekening. SA pun mengaku sudah melaporkan balik mantan
istrinya ke Polres Luwu karena telah mencemarkan nama baiknya.
Hanya, laporannya belum mendapat respons dari aparat setempat.
"Makanya saya laporkan balik (pada 2019), tapi belum ada tindak
penyelesaian sampai sekarang," bebernya. Berkaitan dengan
mencuatnya kembali kasus itu setelah dihentikan Polres Luwu pada
2019, kemudian viral, SA juga akan kembali melakukan upaya hukum
balik, karena nama baiknya tercemar. "Itu kan beredar, karena liar ini
barang. Maksudnya begini, karena tidak terbukti ya kan, saya punya
hak untuk lapor balik, apalagi ini (viral) sudah se-Indonesia. Termasuk
(melaporkan) orang-orang itu, saya kumpul komentar-komentarnya
(medsos dan media), nanti saya saring mana yang dibawa ke ranah
hukum," tegasnya. Dia pun menyesalkan ramainya komentar terkait
kasus itu. Menurutnya, publik seharusnya menganalisa menggunakan
logika untuk mencari kebenarannya. Sebab, menurutnya, aparat
hukum tidak mungkin membiarkan kasus ini. Apalagi dia dituduh
melakukan kekerasan seksual pada anaknya bersama teman-
temannya. Saat berada di Makassar, SA mengaku sempat
mendatangi kantor Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan
Perempuan dan Perlindungan Anak (P2TP2A) untuk menanyakan
tanggung jawab dan perlindungan terhadap anaknya. Mengenai upaya
hak asuh ketiga anaknya yang akan ditempuh melalui pengadilan, SA
mengungkapkan sudah melakukannya sejak awal kasus itu pada
2019. "Kemarin tujuan saya pelaporan balik kan (ajukan hak asuh),
setelah berjalan, mungkin saya jadikan dasar untuk masuk pengadilan
untuk mendapatkan hak asuh. Hanya saja, ini viral lagi, ya mungkin
saya selesaikan dulu ini," imbuhnya.

e) Dugaan Adanya Pelaku Lain

Ada dugaan bahwa pelaku pencabulan dan pemerkosaan ini tidak


hanya dilakukan SA sebagai ayah kandungnya. Tetapi juga ikut
melibatkan dua rekan SA yang juga melakukan tindak asusila itu pada
tiga anak kandung SA. Dugaan kasus pemerkosaan yang dilakukan
ayah kandung pada tiga anaknya ini belum menemukan titik terang.
Pihak kepolisian masih terus berusaha mencari dan meminta bukti
baru untuk penangan kasus tersebut.

2. Dikutip dari sebuah artikel hasil wawancara Tempo.co bersama


pelapor.
a) Bukan saja tidak mendapat keadilan pelapor bahkan dituding
punya motif balas dendam melaporkan mantan suaminya. Ia
juga diserang sebagai orang yang mengalami gangguan
kejiwaan. Serangan ini diduga dipakai untuk mendelegitimasi
laporannya dan segala bukti yang ia kumpulkan sendirian demi
mendukung upanya mencari keadilan
b) Mantan suaminya masih ingin terlibat pengasuhan bersama.
Mantan suaminya bebas menjemput ketiga anaknya saat
pulang sekolah serta memberinya uang jajan atau mainan.
Situasi itu berjalan terlihat normal sampai Pelapor menyadari
kenyataan yang disembunyikan: Ketika membantu anaknya
mandi, ia menemukan beberapa bekas luka lebam di paha
anaknya. Si anak beralasan, lebam-lebam itu karena jatuh saat
bermain kejar-kejaran. Pelapor menyarankan agar mereka
berhati-hati. Meski demikian, bukan saja luka lebam, perilaku
anak-anaknya berubah drastis, lebih suka diam, sering
memukul. Malas makan. Sering pusing dan muntah.
c) Ketika Pelapor mencuci piring, anak bungsunya berteriak
bahwa kakaknya mengeluh sakit pada bagian vagina. Pelapor
segera mendekati anak sulungnya. Pelapor membujuk anaknya
bercerita namun si sulung terdiam lama. Kemudian menangis
tanpa berurai air mata. Pelapor kaget, panik. Si sulung, dengan
suara pelan seperti tercekik, berkata “Mamak, ayah melakukan
sesuatu pada vagina saya”, katanya. Ia bertanya kepada kedua
anaknya, “Benarkah ini, Nak?”. “Iya, Mamak. Saya juga dianu
pantatku,” kata anaknya yang kedua. “Saya juga Mamak,”
jawab anak bungsu.
d) Pelapor memeriksa anak-anaknya, menemukan luka di bagian
vagina dan anus.
e) Pelapor pergi membawa ketiga ananknya ke kantor Pusat
Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak,
Dinas Sosial Luwu Timur. Di unit inilah, idealnya, seorang yang
mengadukan kasus kekerasan bisa mendapatkan perlindungan.
Kepala Bidang Pusat Pelayanan, Firawati (nama nukan
sebenarnya), menerima Pelapor di ruangan kecil bersekat.
Sementara ketiga anaknya berada di fasilitas permainan di unit
itu. Pelapor menceritakan kepada Firawati mengenai kronologi
pengakuan anaknya mengalami kekerasan seksual oleh ayah
kandung sendiri. Firawati mengaku kenal dengan terduga
pelaku karena “sesama aparatur sipil negara”. Bukan pertama-
tama memprioritaskan ruang aman bagi pelapor dan ketiga
anaknya, Firawati malah menghubungi terduga pelaku,
mengabarkan ada pengaduan atas dugaan kasus pencabulan,
sehingga mantan suami Pelapor itu datang ke kantor Pusat
Pelayanan. Firawati berdalih alasan mempertemukan terduga
pelaku dengan ketiga anak untuk membuktikan apakah mereka
trauma saat bertemu ayahnya. Firawati juga berdalih
tindakannya itu atas izin Lydia. “Kan, sesama ASN. Mau
dikonfirmasi,” katanya. “Tahu, tidak? Semua anaknya berburu
ke bapaknya. Justru mamaknya ditinggalkan. Bahkan anak-
anak agak berat meninggalkan bapaknya waktu dipanggil sama
Mamaknya,” kata Firawati.
f) Pelapor, mengklaim dan membantah cerita Firawati itu,
“Bagaimana mungkin dia bicara seperti itu? Hari pertama saya
melapor dan minta pendampingan ke kepolisian, tapi Firawati
langsung menelepon [terduga] pelaku kalau saya datang sama
anak-anak,” kata Pelapor. “Setelah dia menelepon, dia bilang
ke saya kalau saya mengajari anak-anak memfitnah [terduga]
pelaku”. “Jika seandainya saya dipertemukan lagi dengan
Firawati, saya mau lihat bagaimana dia berbohong”. Bukan
cuma Pelapor dan ketiga anaknya berada dalam situasi rentan
saat terduga pelaku mendatangi mereka, mantan suaminya itu
seketika mendamprat Pelapor dengan tuduhan mengajari
ketiga anaknya mengadu, mengoceh kalau Pelapor tidak becus
mengasuh masa depan ketiga anaknya. Pengaduan itu tidak
memberikan perlindungan bagi Pelapor, alih-alih ia dipojokkan,
disuruh pulang ke rumah untuk menunggu kabar selanjutnya.
g) Kesokan harinya pelapor dipanggil kembali, Dari proses ini,
ketiga anaknya diperiksa secara psikologis oleh seorang
petugas dari Puspaga, akronim untuk Pusat Pembelajaran
Keluarga, unit kerja di Pusat Pelayanan Terpadu
Pemberdayaan Perempuan dan Anak. Belakangan diketahui si
petugas itu tidak memenuhi kualifikasi sebagai psikolog anak.
Pemeriksaan itu menghasilkan klaim ketiga anak Lydia “tidak
memperlihatkan tanda-tanda trauma” dan menyebut “hubungan
dengan orang tua cukup perhatian dan harmonis" serta
“keadaan fisik dan mental dalam keadaan sehat”. Tindakan
Firawati mempertemukan ketiga anak dengan ayahnya untuk
mengecek apakah mereka trauma atau tidak serta diperkuat
pemeriksaan psikologis bahwa anak-anak Pelapor tidak
menunjukkan tanda-tanda trauma inilah yang nantinya dipakai
oleh kepolisian Luwu Timur menghentikan penyelidikan.
h) Penanganan di Polres Luwu Timur “Saya Dipaksa Polisi
Menandatangani BAP”. Berharap bisa didampingi oleh petugas
Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan
Anak, pelapor akhirnya sendirian ketika melaporkan kasus
dugaan pencabulan ke Polres Luwu Timur. (Firawati dari Pusat
Pelayanan beralasan saat itu sedang rapat dengan parlemen
daerah, sementara pendamping lain sedang persiapan pindah
kantor dinas). Polisi menerima laporan Pelapor pada 9 Oktober
2019. Seorang petugas polisi wanita mengantarkan ketiga
anaknya ke sebuah Puskesmas untuk visum, tanpa
pendampingan. Kemudian, ketiganya dimintai keterangan oleh
penyidik berseragam, tanpa didampingi Pelapor, penasihat
hukum, pekerja sosial ataupun psikolog. Pelapor diminta
menandatangani berita acara pemeriksaan (BAP) tersebut tapi
dilarang membacanya terlebih dulu.
i) Lima hari berselang, Polres Luwu Timur memberitahukan
perkembangan hasil penyelidikan, mengabarkan laporannya
telah diterima dan akan diselidiki oleh Aipda Kasman. Pelapor
mendatangi kantor Polres untuk menanyakan hasil visum ketiga
anaknya. Ia juga sekaligus memberikan satu celana dalam
berwarna pink yang terdapat bercak darah atas inisiatifnya
sendiri.
j) Pada hari Jumat, 18 Oktober, polisi mengabarkan hasil visum
dari Puskesmas dan menurut seorang penyidik mengklaim
“tidak ditemukan apa-apa.” Pada hari yang sama, Pelapor
diinterogasi oleh penyidik tanpa didampingi penasihat hukum.
“Saya hanya ditanya masalah sehari-hari. Terus, penyidik
bilang nanti dilanjutkan. Dia yang akan isi bagian lainnya
karena alasan akan salat Jumat,” katanya. “Saya disuruh tanda
tangan di bagian bawah laporan itu. Saya bilang nanti saya
tanda tangan setelah ini dilanjutkan. Tapi, penyidik memaksa
saya. Dan saya ikut tanda tangan. Karena sudah siang dan
saya mau pulang untuk buat makanan anak-anak”. “Nah, saya
pikir sekarang, saya jadi bego kenapa saya tanda tangan,” kata
Lydia.
k) Pekan berikutnya, Polres Luwu Timur mengabarkan
perkembangan kasus, bahwa penyelidik telah menginterogasi
pelapor, terduga pemerkosa, dan tiga anak korban, telah
memeriksa secara medis tiga anak korban beserta hasil visum
et repertum, serta rencana selanjutnya ketiga anak itu akan
diperiksa secara medis dan psikologis ke Bidang Kedokteran
dan Kesehatan (Biddokkes) Polda Sulawesi Selatan di
Makassar.
l) Pada 28 Oktober, salah seorang anak Pelapor mengeluhkan
sakit pada bagian dubur. Pelapor memotret beberapa luka itu.
Dan, lagi-lagi atas inisiatifnya sendiri pada 1 November,
Pelapor membawa satu celana dalam yang terdapat cairan
hijau dan satu celana legging yang terdapat bercak darah ke
Polres Luwu Timur.
m) Penyidik kepolisian menghubunginya jika akan ada
pemeriksaan di Biddokkes Polda Sulsel pada 6 November. Saat
itu Lydia menerima ancaman dari mantan suaminya, terduga
pemerkosa. Ancamannya terduga pelaku akan menghentikan
nafkah bulanan kepada ketiga anak mereka jika Lydia
meneruskan proses pemeriksaan ke Makassar.
n) Pelapor bersama ketiga anaknya, ditemani salah satu
saudaranya, pergi Rumah Sakit Bhayangkara Makassar. Di sini
Pelapor dan ketiga anaknya dibawa ke ruang tunggu klinik jiwa.
Saudaranya yang mengantar ikut diperiksa. Di dalam ruangan
pemeriksaan ada dua dokter, penyidik, dan seorang staf Pusat
Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak
Luwu Timur. Saat pemeriksaan terhadap ketiga anaknya,
Pelapor merekam secara sembunyi-sembunyi lewat kamera
ponsel. Anak sulungnya terlihat dipangku oleh seorang staf
Pusat Pelayanan yang tengah duduk di sebuah sofa. Ada
penyidik, seorang perempuan dan dokter di ruangan
pemeriksaan itu. Si dokter kemudian meminta Pelapor
meninggalkan ruangan. Saat pemeriksaan terhadap Pelapor
dan saudaranya, mereka ditanya kondisi kesehatan mental
keluarga. Saudaranya ditanya soal kondisi psikologis Pelapor
sejak kecil dan sewaktu menikah, apakah ada anggota keluarga
memiliki riwayat gangguan jiwa. Saat giliran pelapor, dua dokter
menanyakan apa punya “kelainan” sebelum bercerai dengan
mantan suaminya, serta kondisi rumah tangga mereka dulu.
Wawancara dengan Lydia hanya berlangsung 15 menit.
o) Hasil pemeriksaan psikiatri ini terbit pada 11 November.
Pelapor disebut memiliki “gejala-gejala waham bersifat
sistematis yang mengarah gangguan waham menetap”.
p) Pada 15 November, terbit surat visum fisik ketiga anaknya oleh
tim Forensik Biddokkes Polda Sulsel, yang menyatakan tidak
ditemukan kelainan atau tanda kekerasan fisik terhadap ketiga
anak Pelapor.
q) Kepolisian Luwu Timur lalu menerbitkan surat pemberitahuan
perkembangan hasil penyelidikan pada 19 Desember 2019.
Surat ini mengacu proses penyelidikan serta gelar perkara pada
4 Desember 2019. Surat itu memuat ketetapan kepolisian
menghentikan proses penyelidikan tertanggal 10 Desember
2019, tanpa ada detail pertimbangan penghentian.
r) Rentang waktu laporan dan penghentian penyelidikan cuma 63
hari. Kasus ini dihentikan sangat awal sekali, prematur. Selang
dua bulan setelah dilaporkan, langsung dibuat administrasi
pengehentian penyelidikan. “Ini sangat cepat dan kami anggap
tidak masuk akal. Apalagi ini kasus kekerasan seksual yang
korbannya adalah anak, kenapa prosesnya terburu-buru?” kata
Rezky Pratiwi, Kepala Divisi Perempuan, Anak dan Disabilitas
dari Lembaga Bantuan Hukum Makassar.
s) Pada akhir Desember 2019, Pelapor menyetir mobil sendiri
dengan ketiga anaknya dari Luwu Timur ke Kota Makassar.
Pelapor mengadu ke Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan
Perempuan dan Anak Kota Makassar, yang ia harapkan bisa
mendapatkan keadilan memihak korban. Berbeda dari
penanganan di Luwu Timur, Pelapor diberi rujukan agar
melaporkan kasusnya ke LBH Makassar. Dari sinilah LBH
Makassar, melalui Koalisi Bantuan Hukum Advokasi Kekerasan
Seksual terhadap Anak, menjadi penasihat hukumnya ketika
kasus sudah dihentikan oleh Kepolisian Luwu Timur. Pusat
Pelayanan Kota Makassar juga memberi pendampingan
psikologis kepada ketiga anak Pelapor. Dalam laporan
psikologisnya, lewat metode observasi dan wawancara, ketiga
anak “tidak mengalami trauma tetapi mengalami cemas” serta
ketiganya konsisten menceritakan dan saling menguatkan
cerita satu sama lain mengalami kekerasan seksual oleh ayah
mereka. “Di Pusat Pelayanan Kota Makassar, psikolog anak
yang memeriksa anak-anak meyakini terjadi kekerasan
seksual,” ujar Rezky Pratiwi dari LBH Makassar.
t) Cerita mereka mendapatkan kekerasan seksual, kemungkinan
terduga pelakunya lebih dari satu orang, konsisten dengan
tuturan salah seorang korban kepada ibunya saat proses
penyelidikan ditangani Polres Luwu Timur. Cerita korban
diperkuat dalam rekaman foto dan video yang disimpan
Pelapor, yang menggambarkan bekas-bekas kekerasan fisik
ketiga anaknya.
u) Polisi di Polres Luwu Timur dan Polda Sulsel mengabaikan
cerita dan bukti-bukti tersebut.
v) Proses penyelidikan Polres Luwu Timur sudah “cacat prosedur”
dan tidak profesional sejak visum pertama hingga pengambilan
keterangan setiap anak. Seharusnya, anak-anak didampingi
oleh orang tua serta pendamping hukum, pekerja sosial atau
pendamping lain sebagaimana mandat dalam UU 11 Tahun
2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, ujar penasihat
hukum korban. “Kepolisian malah fokus kepada Pelapor yang
disebut punya motif lain. Ibu korban justru diperiksa psikiater
yang prosedurnya tidak layak. Keterangan terhadap anak tidak
didalami dan tidak dilakukan pemeriksaan saksi lain untuk
menemukan petunjuk-petunjuk baru. Misalnya, keterangan
tetangga atau orang yang mengenal mereka”, kata Rezky
Pratiwi.
w) Polda Sulsel Mendukung Penyelidikan Dihentikan
x) Pada 26 Desember 2019, LBH Makassar bersama Pelapor
mendatangi Polda Sulawesi Selatan dan meminta gelar perkara
khusus atas penghentian penyelidikan di Polres Luwu Timur.
Dalam surat itu dilampirkan foto-foto luka pada anus dan vagina
ketiga anak.
y) Selanjutnya, pada 10 dan 13 Februari 2020, tim hukum
melayangkan surat untuk gelar perkara, tapi tak ada jawaban
dari Polda Sulawesi elatan.
z) Pada 19 Februari, Kabid Humas Polda Sulawesi Selatan
Kombes Pol Ibrahim Tompo malah menyampaikan ke media
kalau mereka telah “melaksanakan gelar perkara internal” dan
penghentian penyelidikan disebutnya sudah sah dan sesuai
prosedur.
aa) Pada 5 Maret, tim Polda Sulawesi Selatan mengabarkan ke
LBH Makassar jika gelar perkara khusus akan dilakukan pada 6
Maret, pukul 13.00, di kantor Polda. Kabar serba mendadak itu
membuat penasihat hukum serba tidak siap. “Waktunya sangat
singkat untuk persiapan,” kata Rezky Pratiwi dari LBH
Makassar. “Psikolog anak yang mendampingi korban sejak
awal tidak dapat hadir karena benturan kegiatan”.
bb) Pada 14 April, hasil gelar perkara itu menyebut Polda Sulsel
merekomendasi Polres Luwu Timur untuk tetap menghentikan
proses penyelidikan atas laporan pencabulan tersebut.
cc) Penasihat hukum Pelapor Mendesak Mabes Polri Melanjutkan
Penyelidikan. Karena di kantor Polres Luwu Timur, Aipda
Kasman, penyidik yang menangani kasus ini seperti
menyembunyikan sesuatu. Kasman membanggakan
pekerjaannya, “Kami sudah lakukan visum sampai forensik.
Sampai ada hasil psikiater ibunya”. “Apakah saya bisa baca
salinan itu?” tanya Penasihat Hukum. “Saya tidak bisa
menyampaikan itu karena itu yang kami pegang,” Aipda
Kasman menyeringai. Seolah apa yang disebut hasil psikiater
dari RS Bhayangkara Makassar yang dirahasiakan itu rupanya
dianggap “kebenaran” oleh banyak orang di Luwu Timur.
dd) Dalam sesi wawancara dengan Kasman, penyidik ini seketika
duduk gelisah ketika saya menyodorkan rekaman. Ia mau
berbicara lebih terbuka setelah diizinkan oleh atasannya, Kasat
Reskrim Luwu Timur, Iptu Eli Kendek. “Kalau dinyatakan kami
maladministrasi atau cacat administrasi, itu persepsi LBH
Makassar. Tapi kami tetap memegang prinsip profesional. Kami
melakukan tindakan sesuai aturan, sesuai hukum,” ia memulai
alasan. “Kami juga sudah klarifikasi ke semua lembaga yang
disurati LBH Makassar,” klaimnya. LBH Makassar telah
mengirim surat aduan ke sejumlah lembaga pada Juli 2020, di
antaranya ke Kompolnas, Ombudsman, Kepala Dinas
Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Sulsel,
Bupati Luwu, Direktur Tindak Pidana Umum Bareskrim Mabes
Polri, dan Komnas Perempuan. Ke lembaga-lembaga itulah,
klaim Aipda Kasman, Polres Luwu Timur telah mengklarifikasi
dan “semua aman saja.”
ee) Komnas Perempuan, dalam surat rekomendasi yang dikirim ke
Mabes Polri, Polda Sulsel, dan Polres Luwu Timur, bertanggal
22 September 2020, justru meminta melanjutkan kembali
proses penyelidikan kasus pidana tersebut. Isi surat
rekomendasi Komnas Perempuan, di antaranya “harus
melibatkan secara penuh orang tua, kuasa hukum, serta
pendamping sosial korban, menyediakan fasilitas rumah aman,
konseling, dan fasilitas khusus lain bagi perempuan.”
Berikutnya, “Kepolisian perlu berkoordinasi dengan Dinas
Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Kota
Makassar demi memfasilitasi kebutuhan khusus tersebut.”
ff) Rekomendasi Komnas Perempuan inilah justru yang tidak
dilakukan oleh Polres Luwu Timur saat menangani pengaduan
kasus pencabulan terhadap ketiga anak Pelapor.
gg) Menurut Rezky Pratiwi dari LBH Makassar, ada keberpihakan
polisi dan Pusat Pelayanan Luwu Timur kepada terduga pelaku.
“Kalau sudah ada testimoni anak, harusnya dimulai dari situ.
Digali dulu bukti-bukti pendukung”. “Sangat kelihatan
keberpihakan itu. Kalau di kasus-kasus kekerasan seksual lain
yang kami dampingi, biasanya didiamkan oleh polisi. Kalau ini
malah dibuatkan administrasi pemberhentiannya”.
hh) Sejak peristiwa kekerasan seksual menimpa anak-anaknya,
Pelapor telah meninggalkan rumah masa depan dan persiapan
masa tuanya. Ia ingin menjual rumah itu karena ingin
membakar kenangan buruk itu. Anak-anaknya tak
menginginkan melihat rumah itu. Anak-anaknya menolak dan
menangis kalau Pelapor mengajak menengok rumah itu.
ii) Beberapa pekan setelah pencabulan itu, anak-anaknya
mengeluh kesakitan. Di sebuah puskesmas di Luwu Timur,
Pelapor meminta surat rujukan untuk membawa anak-anaknya
ke sebuah rumah sakit. Dalam surat rujukan itu tertulis
diagnosis internal thrombosed hemorrhoid + child abuse.
Kerusakan pada bagian anus akibat pemaksaan
persenggamaan. Diagnosis lain abdominal and pelvic pain.
Kerusakan pada organ vagina akibat pemerkosaan. Diagnosis
selanjutnya vaginitis atau peradangan pada vagina dan
konstipasi atau susah buang air besar.
jj) Di rumah sakit rujukan, anak-anaknya memperagakan apa
yang dilakukan ayah mereka setelah dokter bertanya apa
penyebab luka-luka di bagian anus dan vagina. Diagnosis awal,
dokumentasi foto dan rekaman video, serta hasil pemeriksaan
ke rumah sakit ini diabaikan oleh penyidik Polres Luwu Timur.
Polisi tidak melanjutkan secara serius temuan-temuan
kekerasan ini.
kk) Pelapor menegaskan kalau memang hasil visum polisi bilang
tidak ada ada luka dan tidak terjadi apa-apa, “kenapa polisi
menolak waktu saya mau kasih foto dan video ini? Mereka
bilang simpan saja, tidak perlu itu.”, “Terus kenapa bisa pantat
dan vagina anak saya luka sampai bengkak putih seperti
kelihatan daging putih?”, “Kenapa anak-anak saya menangis
kesakitan setiap mau buang air kecil dan buang air besar?
Kenapa anak-anak saya bilang ayahnya orang jahat dan tidak
mau ketemu lagi sekarang?”, “Kalau pelaku memang tidak
bersalah, kenapa dia tidak datang mencari anaknya, meminta
kejelasan ke anak-anak?”, “Kalau orang-orang bilang ini fitnah,
kenapa anak-anak fitnah ayahnya seperti itu?”, “Kalau
pertanyaan itu tidak terjawab, apakah polisi akan membantu
menemukan jawabannya? Tidak kan” Ujarnya.
3. Fakta lain yang dikutip dari Metrotvnews.com
a) 09 Okt 2019

Penyidik menerima surat pengaduan dari ibu korban, berisi


laporan dugaan tindak pidana perbuatan cabul. Penyidik meminta
visum Et Repertum ke Puskesmas malili. Hasilnya, tidak ada kelainan
pada organ kelamin dan dubur korban.

b) 24 Okt 2019
Penyidik meminta visum Et Repertum ke RS Bhayangkara
Makassar. Hasilnya tidak ada kelainan pada alat kelamin dan dubur
perlukaan pada tubuh lain tidak ditemukan.

c) 31 Okt 2019

Tim supervise mendapatkan informasi ibu korban melakukan


pemerikasaan medis terhadap ketiga anaknya di rs Vale Inco
Sorowako.

d) 11 Okt 2021

Tim mewawancarai dokter dan didapati keterangan terjadi


peradangan di sekitar organ reproduksi korban. Tim mewawancarai
petugas PPT PPA LUwu Timur. Kesimpulannya, tidak ada tanda-
tanda trauma pada ketiga korban terhadap ayahnya. Tim supervise
meminta para korban melakukan pemeriksaan di dokter sepesialis
kandungan di RS Vale Inco Sorowako.

e) 12 Okt 2021

Kesepakatan dibatalkan ibu korban dan pengacaranya dengan


alasan takut anaknya trauma.

C. Pandangan-pandangan

1. Pandangan penasehat hukum korban

Dikutip dari Suara.com, Rezky Pratiwi Ia mengemukakan,


memang sejak awal menilai, kasus ini harus dilanjutkan agar kasus
kekerasan seksual terhadap anak bisa diungkap secara terang
benderang. Menurut dia, perjalanan kasus ini cukup panjang dan baru
ramai dibicarakan publik setelah diulas media setelah dihentikan pada
Desember 2019. Bahkan, proses hukum dijalani ibu para korban tidak
mendapat bantuan hukum dan layanan lainnya. Memang sejak awal,
mencari bantuan ke TP2A Lutim, namun tidak mendapat penanganan
yang semestinya. Pihaknya pun menduga ada maladministrasi, karena
hanya dilakukan proses mediasi yang mempertemukan langsung para
korban dengan terlapor selalu ayahnya. Proses pendampingan pun
diduga ada keberpihakan mengigat terlapor merupakan ASN di
Inspektorat Pemda setempat. Sehingga asil asesemen tidak objektif.
Dan sangat disayangkan hasil asesmen TP2A dijadikan bahan
menghentikan penyelidikan. Penyidik juga menyimpulkan tidak ada luka
(hasil visum), dan ibunya dianggap punya waha (ganguan kejiwaan),
sehingga argumentasi itu muncul lalu diaminkan Polda Sulsel
menghentikan penyidikan saat gelar perkara ulang pada Maret 2020.
Sementara dari fakta-fakta baru dikumpulkan saat ini korban mencari
keadilan di Kota Makassar, tidak sesuai dengan hasil dari pemeriksaan
di Lutim. Rezky menuturkan kasus ini penting dibuka kembali karena
Pertama, kasus ini dihentikan sangat awal sekali, prematur. Selang dua
bulan setelah dilaporkan, langsung dibuat administrasi pengehentian
penyelidikan. Tapi tidak dilakukan pemeriksaan saksi lain, selain para
anak, pelapor dan terlapor. Jadi tidak ditemukan petunjuk dari saksi-
saksi lain. Kedua, lanjut dia, para korban anak tidak didampingi oleh
orang tua saat pemeriksaan, bahkan tidak ada pendamping lain,
pengacara atau lembaga sosial lainnya. Selain itu, semua proses
berlangsung sangat cepat, sehingga penyidik mengatakan tidak cukup
bukti. "Dari pemeriksaan psikolog di Makassar menyimpulkan terjadi
kekerasan seksual dilakukan bapaknya. Bahkan ada pelaku lain ikut
melakukan itu terhadap ketiga anak ini. Keterangan ini semua seragam,
bahkan anak paling kecil bisa memperagakan bagaiamana itu
dilakukan mereka," katanya.

2. Pandangan DPR RI

Dikutip dari SuaraBekaci.id, Tagar #PercumaLaporPolisi muncul


dan menjadi perhatian banyak pihak, beberapa diantaranya Komisi III
Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI, LBH Makassar dan Komisi Hukum
DPR RI Ahmad Sahroni. Wakil Ketua Komisi Hukum DPR RI Ahmad
Sahroni menilai, sikap polisi tidak proaktif dalam menindak laporan
kekerasan seksual. Sebagai Wakil Ketua Komisi Hukum DPR RI, ia
sangat menyayangkan sikap kepolisian. Menurutnya sikap tersebut
sudah barang pasti memunculkan ketidakpercayaan masyarakat
terhadap institusi Polri. “Sekarang seiring dengan mencuatnya berita
ini, muncul pula tagar #PercumaLaporPolisi, karena memang
laporannya malah ditolak. Ini sangat disayangkan, karena justru tugas
polisi adalah melindungi dan melayani masyarakat," kata Sahroni
kepada wartawan. Sahroni memandang perlu pembukaan kembali
penyelidikan kasus yang kini menyita perhatian publik lantaran kadung
viral di media sosial. Di sisi lain, ia meminta Polri memberikan
perlindungan kepada ibu korban dan ketiga anaknya, yang merupakan
pelapor sekaligus korban. "Karenanya saya akan minta dan pantau
terus agar yang pertama dilakukan Polri adalah melindungi pelapor dan
korban. Lalu buka dan usut kasus ini kembali. Jangan sampai kasus
seperti ini diacuhkan, yang akan membuat masyarakat malah malas
mengadu, hingga tindakan kekerasan maupun kriminalitas jadi
merajalela,” kata Sahroni. Ahmad Sahroni juga memandang Propam
harus turun tangan menyikapi keputusan Kapolres Luwu Timur dan
Kapolda Sulawesi Selatan. Keputusan itu ialah terkait penghentian
penyelidikan kasus dugaan pemerkosaan terhadap tiga anak oleh ayah
kandung di Luwu Timur. Ia meminta agar kapolres dan kapolda dapat
menjelaskan duduk perkara secara jelas dan transparan. Mengapa
kemudian mereka mengklaim bahwa penyetopan penyelidikan kasus
tersebut sudah sah dan sesuai prosedur. "Kapolres dan Kapolda harus
bisa menjelaskan alasan di balik keputusan ini, kalau perlu libatkan
Propam. Jangan sampai kita melenggangkan tindak pidana kekerasan
seksual seolah ini adalah masalah ringan,” imbuh Sahroni. Sebelumnya
ramai di media sosial, seorang ibu tunggal berjuang mendapat keadilan
bagi ketiga puterinya yang telah diperkosa mantan suaminya, yang
tidak lain ayah kandung ketiga anak itu. Perjuangan yang ditempuh
sejak peristiwa itu terbongkar 2019-2020 silam di Luwu Timur, Sulawesi
Selatan, hingga sekarang belum menemukan keadilan. Berbagai
laporan dan usaha dilakukan si ibu tunggal tapi pihak berwajib dan
terkait setempat tidak meresponnya. Kasus pemerkosaan ayah
kandung terhadap anaknya sendiri itu viral diperbincangkan publik.
3. Pandangan menurut Istana

Dikutip dari Kompas.com, Deputi V Kantor Staf Presiden (KSP)


Jaleswari Pramodhawardani mengatakan, pihaknya berharap Polri
kembali membuka proses penyelidikan kasus dugaan pemerkosaan
yang dilakukan seorang ayah terhadap tiga anak kandungnya di Luwu
Timur, Sulawesi Selatan. KSP menyampaikan keprihatinan mendalam
atas terjadinya tindak pemerkosaan dan kekerasan seksual yang
dialami oleh tiga kakak beradik berusia di bawah 10 tahun tersebut.
"Walaupun kasus telah berlangsung pada tahun 2019, dan penyelidikan
telah dihentikan oleh Polres, KSP berharap agar Polri membuka ulang
proses penyelidikan kasus tersebut," ujar Jaleswari dalam keterangan
tertulisnya, "Peristiwa perkosaan dan kekerasan seksual kepada anak
ini sangat melukai nurani dan rasa keadilan masyarakat," tegasnya.
Jaleswari menuturkan, Presiden Jokowi sangat tegas dan tidak bisa
mentolerir predator seksual anak. Karena itulah pada 7 Desember 2020
presiden meneken Peraturan Pemerintah (PP) No 70 Tahun 2020
tentang Tata Cara Pelaksanaan Tindakan Kebiri Kimia, Pemasangan
Alat Pendeteksi Elektronik, Rehabilitasi, dan Pengumuman Identitas
Pelaku Kekerasan Seksual terhadap Anak. Sebelumnya, dalam rapat
terbatas tentang Penanganan Kasus Kekerasan kepada Anak tanggal 9
Januari 2020 Presiden Jokowi juga memberi arahan agar kasus
kekerasan terhadap anak ditindaklanjuti secepat-cepatnya. "Presiden
Jokowi juga menginginkan agar pelaku kekerasan terhadap anak
diberikan hukuman yang bisa membuatnya jera. Terutama terkait
dengan kasus pedofilia dan kekerasan seksual pada anak," tutur
Jaleswari mengutip pernyataan Jokowi. “Perkosaan dan kekerasan
seksual terhadap anak (merupakan) tindakan yang sangat serius dan
keji. Tindakan tersebut tidak bisa diterima oleh akal budi dan nurani
kemanusiaan kita. Terlebih lagi bila yang melakukan adalah ayah
kandungnya. Oleh karena itu pelakunya harus dihukum berat”
tegasnya. Selain itu, dia menekankan suara korban yang merupakan
anak-anak harus didengarkan dan diperhatikan dengan seksama.
Termasuk suara Ibu para korban. "Bayangkan saja mereka adalah
anak-anak kita sendiri” kata Jaleswari yang juga berlatar belakang
aktivis perempuan ini. “Oleh karena itu, kalau memang ditemukan
adanya kejanggalan dan kesalahan dalam proses penyelidikan oleh
Polres Luwu Timur yang menyebabkan diberhentikannya proses
penyelidikan pada akhir tahun 2019 yang lalu, atau ditemukannya bukti
baru sebagaimana disampaikan oleh Ibu korban dan LBH Makassar,
maka kami berharap Kapolri bisa memerintahkan jajarannya untuk
membuka kembali kasus tersebut” jelasnya. Dia menambahkan, kasus
pemerkosaan dan kekerasan seksual pada anak serta penghentian
penyelidikan dengan alasan tidak adanya bukti ini semakin memperkuat
urgensi pengesahan RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual yang
mengandung norma khusus terkait tindak pidana kekerasan seksual.
Diberitakan sebelumnya, kejadian pemerkosaan dialami oleh tiga orang
anak berusia di bawah 10 tahun di Luwu Utara pada 2019. Kejadian ini
terungkap usai ibu kandung ketiga korban melaporkannya ke sejumlah
pihak terkait dan juga kepolisian. Terduga pelaku adalah mantan
suaminya, ayah kandung mereka sendiri, seorang aparatur sipil negara
yang punya posisi di kantor pemerintahan daerah. Namun, pada
prosesnya terjadi penghentian secara sepihak atas kasus ini oleh
kepolisian. LBH Makassar telah mengirim surat aduan ke sejumlah
lembaga pada Juli 2020, di antaranya ke Kompolnas, Ombudsman,
Kepala Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak
Sulsel, Bupati Luwu, Direktur Tindak Pidana Umum Bareskrim Mabes
Polri, dan Komnas Perempuan. Komnas Perempuan, dalam surat
rekomendasi yang dikirim ke Mabes Polri, Polda Sulsel, dan Polres
Luwu Timur, bertanggal 22 September 2020 meminta melanjutkan
kembali proses penyelidikan kasus pidana tersebut. Proses itu, tulis
Komnas Perempuan, di antaranya "harus melibatkan secara penuh
orangtua, kuasa hukum, serta pendamping sosial korban, menyediakan
fasilitas rumah aman, konseling, dan fasilitas khusus lain bagi
perempuan." Berikutnya, "Kepolisian perlu berkoordinasi dengan Dinas
Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Kota Makassar
demi memfasilitasi kebutuhan khusus tersebut." Rekomendasi inilah
justru yang tidak dilakukan oleh Polres Luwu Timur saat menangani
pengaduan kasus pencabulan terhadap ketiga anak tersebut. "Kalau
sudah ada testimoni anak, harusnya dimulai dari situ. Digali dulu
buktibukti pendukung." "Sangat kelihatan keberpihakan itu. Kalau di
kasus-kasus kekerasan seksual lain yang kami dampingi, biasanya
didiamkan oleh polisi. Kalau ini malah dibuatkan administrasi
pemberhentiannya.”

4. Pandangan KPAI

Dikutip dari Suara.com, Komisi Perlindungan Anak Indonesia


(KPAI) turut menyampaikan pandangannya terkait kasus perkosaan
terhadap tiga anak oleh ayahnya sendiri di Luwu Timur. Dalam
pandangan KPAI, sebaiknya kasus itu ditangani langsung oleh Polda
Sulawesi Selatan maupun Mabes Polri. Komisioner KPAI, Retno
Listyarti, mengatakan kasus tersebut sebaiknya tidak ditangani oleh
Polres Luwu Timur lantaran adanya perbedaan hasil visum milik polisi
dengan ibu korban. Hal itu diminta agar tidak terjadi saling fitnah dan
saling serang secara siber. "Maka sebaiknya kasus tidak lagi ditangani
pihak Polres Luwu Timur, namun sebaiknya di tangani Polda Sulawesi
Selatan atau Mabes Polri," kata Retno dalam keterangannya, Retno
juga berpendapat, pemeriksaan psikologis juga harus dilakukan secara
independen. Hal itu diminta sebagai pembanding dengan temuan
Polres Luwu Timur & P2TP2A Luwu Timur. "Ini untuk menghindari
konflik kepentingan. Proses harus transparan dan diawasi juga oleh
Kompolnas," sambungnya. KPAI juga mendorong Pemerintah Daerah
segera memenuhi hak anak-anak korban untuk mendapatkan
rehabilitasi psikologis maupun medis. Tidak hanya itu, perlindungan
bagi anak-anak korban maupun ibunya juga penting untuk dilakukan.
"Selain pemerintah daerah, ibu korban dapat meminta perlindungan
kepada LPSK (Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban)," beber
Retno. LPSK, kata Retno, nantinya dapat menyediakan rumah aman,
rehabilitasi psikologi, pendampingan hukum saat proses pemeriksaan.
Bahkan juga saat kasus digelar di pengadilan. Retno juga
mengapresiasi ibu korban melaporkan kejahatan seksual tersebut. Ibu
korban tidak menyembunyikan kasus ini meski pelakunya adalah ayah
korban. "Perjuangan sang ibu akan memberikan persepsi positif juga
pada anak-anaknya bahwa sang ibu begitu gigih memperjuangkan
keadilan bagi anak-anaknya, ini bukan perkara mudah," papar Retno.
Terakhir, Retno mendorong kepolisian untuk segera membuka kembali
kasus tersebut. Jika nantinya terbukti, tentu perilaku tersebut harus
dikenakan UU No. 35/2014 tentang Perlindungan kepada terduga
pelaku. "Karena dalam UUPA kalau pelakunya orang terdekat korban,
dapat dilakukan pemberatan sebesar 1/3 masa hukuman. Mengingat,
orangtua seharusnya melindungi anak-anaknya bukan malah menjadi
pelaku kekerasan seksual pada anaknya," tegas Retno.

5. Pandangan LBH Makassar

Dikutip dari CNN Indonesia, Lembaga Bantuan Hukum (LBH)


Makassar sebagai kuasa hukum tiga orang anak dugaan pemerkosaan
tidak lagi percaya proses penyelidikan kasus tersebut yang dilakukan
oleh Polres Luwu Timur, Sulawesi Selatan. Hal itu disebabkan karena
pihak Polres Luwu Timur tidak dapat menjaga identitas ibu dan para
korban hingga tersebar di media sosial. "Satu hal kenapa kami tidak
percaya dengan proses penyelidikan di Polres Luwu Timur. Menjaga
identitas korban saja tidak mampu. Faktanya dalam postingan klarifikasi
menyebut dalam klarifikasi identitas dari korban," kata Direktur LBH
Makassar, Muhammad Haedir. Menurut Haedir pihak Polres Luwu
Timur bekerja tidak secara profesional dalam menangani perkara
kekerasan anak yang seharusnya identitas ibu dan para korban itu
rahasiakan. Namun yang terjadi justru identitas korban tersebar di
media sosial melalui klarifikasi pemberitaan yang di posting di akun
Instagram Humas Polres Luwu Timur. "Ditambah fakta-fakta lainnya
dengan tidak memproses kasus ini, padahal sudah diberikan fakta-fakta
saat berada di Polda Sulsel," sambungnya. Prosedur dalam
penanganan kasus ini beber Haedir ada beberapa hal yang harus
dilakukan oleh penyidik sendiri, seperti hasil visum dan rekam medis
para korban di rumah sakit. "Ini harus diambil polisi sendiri, LBH tidak
punya kewenangan untuk melakukan penyelidikan. Yang punya
kewenangan adalah kepolisian, bukan juga oleh korban. Harusnya
membuka kasusnya dulu baru dilakukan penyelidikan," jelasnya.
Proses pencarian bukti kasus ini seharusnya dilakukan oleh penyidik.
Akan tetapi, korban diberikan beban untuk mencari bukti sendiri. "Yang
punya kewenangan mencari bukti dalam KUHP adalah penyidik. Jadi
tidak benar kami akan menyampaikan bukti baru, karena buktinya ada
di rumah sakit dan yang punya akses ke sana adalah polisi. Bukan
kami, berdasarkan kewenangan yang diberikan oleh undang-undang,"
pungkasnya. Sementara, Ketua Divisi Perempuan Anak dan Disabilitas
LBH Makassar, Resky Prastiwi menerangkan, pihak penyidik juga
dalam perkara harusnya memeriksa saksi-saksi yang lainnya.
"Harusnya ada pemeriksaan saksi-saksi, menggali petunjuk lain yang
sangat mungkinkan oleh penyidik. Jadi kami dalam perkara ini sewaktu
di Polda sudah menyampaikan dokumen petunjuk, itu tinggal di follow-
up saja," kata Rezky. Meski demikian, apabila kasus ini akan dibuka
kembali, kata Rezky pihaknya sebagai kuasa hukum dari para korban
akan siap bekerjasama dengan pihak kepolisian. "Supaya bukti-bukti
terhadap perkara ini kuat, kami sangat siap dan meminta untuk
dilibatkan secara penuh," jelasnya.

6. Pandangan POLRI

Dikutip dari Liputan6.com, Polri mengungkap bahwa laporan awal


soal kasus dugaan kekerasan seksual terhadap tiga anak di Luwu
Timur, Sulsel, adalah pencabulan bukan pemerkosaan. "Jadi bukan
perbuatan tindak pidana perkosaan, seperti yang viral di medsos dan
juga menjadi perbincangan di publik, ini yang perlu kita ketahui
bersama," kata Karo Penmas Divisi Humas Polri, Brigjen Rusdi
Hartono. Rusdi mengatakan, tak lama setelah laporan itu dibuat, ketiga
anak yang diduga menjadi korban pun menjalani visum di Puskesmas
Malili. Hasil visum diterima pada 15 Oktober 2019. "Kemudian tim
melakukan interview terhadap dokter nurul pada tanggal 11 Oktober
2021. Hasil interview tersebut, dokter Nurul menyampaikan bahwa hasil
pemeriksaannya tidak ada kelainan pada organ kelamin dan dubur
korban," ujar Rusdi. Kasus pemerkosaan tiga anak di Luwu Timur,
Sulawesi Selatan, oleh bapak kandungnya tengah mendapat sorotan
lantaran ada dugaan polisi memutarbalikkan fakta sehingga terjadi
penghentian penyidikan perkara. Kepala Biro Penerangan Masyarakat
Divisi Humas Polri, Brigjen Pol Rusdi Hartono menerangkan, duduk
perkara kasus pemerkosaan yang menimpa tiga anak di Luwu Timur
itu. Dia membenarkan, polres setempat menerbitkan Surat Penetapan
Penghentian penyidikan (SP3). Alat bukti yang dikumpulkan belum
mengarah adanya perbuatan pidana perihal dugaan pencabulan.
"Penyidik melakukan gelar perkara, kesimpulan tidak cukup bukti yang
terkait dengan tindak pidana pencabulan tersebut. Karena itu
dikeluarkanlah surat pengehentian penyidikan kasus," kata Rusdi dalam
keterangannya, Rusdi menerangkan, dikeluarkan SP3 bukan berarti
kasus tidak bisa dilanjutkan kembali. Menurut dia, apabila ditemukan
bukti baru maka tidak menutup kemungkinan penyidikannya dibuka
kembali. "Memang sudah dihentikan karena penyidik berkesimpulan
tidak cukup bukti tindak pidana pencabulan tersebut. Tapi ini tidak final
apabila ditemukan bukti baru penyidikan bisa dibuka kembali," ujar dia.
Sedangkan dikutip dari Merdeka.com, Alasan Polisi Menghentikan
Penyelidikan seperti yang di unkapkan oleh Kepala Bidang Hubungan
Masyarakat Polda Sulsel, Komisaris Besar E Zulpan mengatakan kasus
dugaan pencabulan terhadap tiga anak tersebut merupakan kasus
lama. Hanya saja, kepolisian tidak melanjutkan kasus tersebut karena
tidak menemukan cukup bukti. "Kasus itu tidak dilanjutkan, karena
penyidik tidak menemukan cukup bukti," ujarnya melalui pesan
WhatsApp. Zulpan mengaku berdasarkan pemeriksaan penyidik
Direktorat Reserse Kriminal Umum (Ditreskrimum) Polda Sulsel, tidak
ditemukannya ada tanda tindak pidana terhadap ketiga korban. Alasan,
tersebut yang membuat penyelidikan kasus tersebut dihentikan untuk
sementara. "Tidak ada penetapan tersangka pada proses tersebut.
Saat pendalaman kejadiannya tidak ada bukti yang dapat mendukung
tentang terjadinya kejadian tersebut," kata dia. Zulpan menjelaskan
kasus tersebut sebelumnya dilaporkan oleh ibu korban ke Kepolisian
Resor Luwu pada 9 Oktober 2019. Saat itu, ibu korban melaporkan atas
tuduhan dugaan tindak pidana pencabulan atau sodomi yang dilakukan
oleh mantan suaminya terhadap ketiga anak kandungnya. "Adanya
laporan itu, petugas saat itu langsung melakukan penyelidikan dengan
diterbitkannya Sprin (surat perintah) penyelidikan. Petugas sempat
memeriksa sejumlah saksi hingga korban dilakukan Visum Et Repertum
di Puskesmas Malili, Luwu Timur dan juga pemeriksaan di RS
Bhayangkara Polda, tetapi tidak ada bukti ditemukan," bebernya.
Zulpan menambahkan berdasarkan asesmen dari Pusat Pelayanan
Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A) Lutim
terhadap ketiga korban tersebut. Berdasarkan asesmen tersebut,
Zulpan mengaku tidak ada tanda-tanda trauma pada ketiga anak
tersebut kepada ayahnya. "Oleh karenanya,kasus ini juga dihentikan
dengan bukti adanya SP2HP A2 kepada pelapor. Penghentian
penyelidikan ini karena tidak kuatnya alat bukti," ucapnya. Komisi
Kepolisian Nasional (Kompolnas) menyarankan pelapor maupun kuasa
hukum mengajukan praperadilan terkait penghentikan penyelidikan
kasus dugaan pencabulan oleh penyidik Polres Luwu Timur.
Komisioner Kompolnas Poengky Indarti menjelaskan, jika hakim
Praperadilan menyatakan penghentian penyidikan dilakukan polisi sah,
maka kasus tersebut tidak dapat dibuka kembali. Namun menurut dia,
jika hakim Praperadilan menyatakan penghentian penyidikan tidak sah,
polisi wajib membuka kembali penyelidikan kasus tersebut. "Bukti baru
maksudnya dari hasil praperadilan itu. Jika Hakim memutuskan
penghentian kasus tidak sah, maka penyidik wajib membuka lidik sidik
lagi," ujar Poengky saat dihubungi merdeka.com, Jumat (8/10).

D. Analisa Yuridis
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (selanjutnya disebut KUHP)
mengatur tindak pidana pencabulan termasuk dalam kejahatan
terhadap kesusilaan dalam bab XIV yang dimulai dari Pasal 281 sampai
dengan

303 KUHP. Mengenai Pasal 294 Kitab Undang-Undang Hukum


Pidana (“KUHP”) yang berbunyi sebagai berikut:

Barang siapa melakukan perbuatan cabul dengan anaknya, anak


tirinya, anak angkatnya, anak di bawah pengawasannya yang belum
dewasa, anak tiri atau anak pungutnya, anak peliharaannya,atau
dengan seorang yang belum dewasa yang dipercayakan padanya
untuk ditanggung, dididik atau dijaga, atau dengan bujang atau orang
sebawahnya yang belum dewasa, dihukum penjara paling lama tujuh
tahun.

R. Soesilo dalam bukunya Kitab Undang-Undang Hukum Pidana


(KUHP) Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal
berpendapat, dalam Pasal 294 ayat (1) KUHP dapat dikenakan pula
misalnya sebagai contoh “mamak” (paman dari garis ibu) di tanah
Minangkabau yang menurut adat menjabat sebagai kepala keluarga
dan menjalankan kekuasaan orang tua, segala macam guru, misalnya
guru ngaji, guru olahraga, instruktur dan sebagainya. Tidak perlu
perbuatan itu dilakukan selama jam mengajar.

Lebih lanjut R. Soesilo menjelaskan pada Pasal 294 ayat (1)


KUHP menyebutkan semua terhadap orang yang belum dewasa, Yang
dimaksud dengan dewasa ialah sudah berumur 21 tahun atau belum
berumur 21 tahun namun sudah kawin atau pernah kawin.

Jadi dapat disimpulkan bahwa Pasal 294 ayat (1) KUHP


mengatur mengenai perbuatan cabul terhadap anak, terhadap
perbuatan cabul pada anak ini sekarang merujuk pada Pasal 76E dan
Pasal 82 UndangUndang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan
Anak sebagaimana yang telah diubah oleh Undang-Undang Nomor 35
tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun
2002 tentang Perlindungan Anak dan diubah kedua kalinya dengan
Peraturan

Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016 tentang


Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang
Perlindungan Anak sebagaimana yang telah ditetapkan sebagai
undangundang dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2016 tentang
Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1
Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 23
Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak Menjadi Undang-Undang.

IV. KESIMPULAN

Faktor penyebab terjadinya tindak pidana pencabulan terhadap anak di


Wilayah Hukum Polres Luwu Timur disebabkan oleh faktor internal terjadinya
tindak pidana pencabulan terhadap anak adalah adanya kelainan seksual
atau biasa disebut paraphilia yang menyimpang seperti pelaku memiliki
orientasi seksual terhadap anak (pedofilia). Sedangkan faktor eksternal
penyebab terjadinya tindak pidana pencabulan terhadap anak terdiri dari 5
(lima) faktor, yaitu seperti kurangnya kurangnya perhatian dari orang tua
terhadap anak, faktor ekonomi, faktor lingkungan, faktor teknologi, faktor
minuman beralkohol. Upaya penanggulangan secara represif dilakukan
melalui jalur penal oleh pihak kepolisian yaitu dengan cara menindak pelaku
tindak pidana pemerkosaan dan pencabulan terhadap anak, melakukan
penyelidikan dan penyidikan dilanjutkan dengan pelimpahan berkas perkara
ke kejaksaan agar pelaku bertanggung jawab atas perbuatannya.

Agar kedepannya upaya-upaya penanggulangan yang dilakukan para


penegak hukum lebih ditingkatkan lagi untuk dapat mengurangi jumlah
pelaku tindak pidana pemerkosaan dan pencabulan terhadap anak.

Agar kedepannya para penegak hukum lebih sering melakukan


sosialisasi kepada masyararakat mengenai faktor-faktor penyebab dan
upayaupaya pencegahan terjadinya tindak pidana pemerkosan dan
pencabulan terhadap anak.
Perlindungan korban masih belum berjalan optimal. Dalam kasus
Pemerkosaan dan Pencabulan ada kalanya korban setelah melapor harus
kembali ke rumah, sementara pelaku masih berada di rumah. Hal ini
kadangkala menimbulkan ketakutan tersendiri pada korban bahkan
memperparah kekerasan yang dialami. Dengan demikian rumah aman untuk
korban sangat penting untuk disediakan, fakta di lapangan belum tersedia
memadai.

Pemahaman masyarakat yang lemah. Banyak masyarakat masih


permisif, terutama keluarga besar yang justru mendukung kasus
Pemerkosaan dan Pencabulan untuk tidak diproses hukum untuk
menghindari aib keluarga.

SDM pemberi layanan yang masih belum responsive gender baik APH,
pendamping, peksos dll, termasuk ketersediaan SDM yang belum merata;

Keterbatasan sarana prasarana seperti ruang pelayanan khusus dan


rumah aman yang masih sedikit.

Anda mungkin juga menyukai